Pencucian Uang Bank [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Pencucian uang merupakan suatu upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan uang yang dihasilkan dari suatu aksi kejahatan, seperti prostitusi, perdagangan obat bius, korupsi, penyelundupan, penipuan, pemalsuan, perjudian, dan lain lain. Uang hasil kejahatan akan dicoba untuk disimpan dalam institusi keuangan (termasuk bank) dan dengan cara tertentu asal usul uang tersebut disamarkan. Untuk selanjutnya, uang tersebut digunakan kembali untuk membiayai aksi kejahatan lainnya, dan mencucinya lagi, demikian seterusnya.



Pencucian Uang Untuk mengenal tindakan anti pencucian uang (anti money laundering) terlebih dahulu harus diketahui apa itu pencucian uang. Pencucian uang merupakan suatu upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan uang yang dihasilkan dari suatu aksi kejahatan, seperti prostitusi, perdagangan obat bius, korupsi, penyelundupan, penipuan, pemalsuan, perjudian, dan lain lain. Uang hasil kejahatan akan dicoba untuk disimpan dalam institusi keuangan (termasuk bank) dan dengan cara tertentu asal usul uang tersebut disamarkan. Untuk selanjutnya, uang tersebut digunakan kembali untuk membiayai aksi kejahatan lainnya, dan mencucinya lagi, demikian seterusnya. Pengaruh Pencucian Uang Sebagai akibat dari pencucian uang, aksi kejahatan akan meningkat, yang pada akhirnya akan membahayakan keamanan masyarakat sehingga biaya sosial yang dikeluarkan pemerintah untuk memberantas tindak kejahatan juga akan meningkat. Disamping itu, kegiatan pencucian uang dapat berpengaruh kepada perekonomian, karena ada kemungkinan secara tiba-tiba uang tersebut ditarik dari sistem keuangan Indonesia dalam jumlah besar yang akan berdampak kepada kestabilan nilai rupiah dan suku bunga. Tindakan Anti Pencucian Uang Mengingat dampak negatif dari tindakan pencucian uang bisa membahayakan stabilitas negara, maka perlu dilakukan tindakan untuk mencegah terjadinya pencucian uang di Indonesia. Pemerintah melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) meminta perbankan dan jasa keuangan lainnya untuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan untuk mengantisipasi tindakan pencucian uang.



Sanksi Masyarakat wajib mendukung program pemerintah dalam tindakan anti pencucian uang. Pelaku tindakan pencucian uang dapat dikenakan sanksi pidana minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun, serta denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 15 miliar. Sanksi pidana tersebut diberikan kepada: 1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan pencucian uang. 2. Setiap orang yang menerima hasil tindakan pencucian uang. 3. Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai dalam bentuk rupiah minimal sebesar Rp 100 juta, atau dalam mata uang asing yang setara, yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah RI. MENGENAL MONEY LAUNDERING DAN TAHAP-TAHAP PROSES PENCUCIAN UANG • Pasal 1 ayat 1 UU No 25 tahun 2003 berbunyi: Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan , atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau diduga (seharusnya “patut diduga”) merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. • Pencucian uang atau money laundering adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram , yaitu uang dimaksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana , dengan cara antara lain dan terutama memasukan uang tersebut kedalam keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari system keuangan itu sebagai uang yang halal Tahap-tahap proses pencucian uang : •







Placement : Tahap pertama dari pencucian uang adalah menempatkan (mendepositokan) uang haram tersebut ke dalam system keuangan (financial system). Pada tahap placement tersebut, bentuk dari uang hasil kejahatan harus dikonversi untuk menyembunyikan asalusul yang tidak sah dari uang itu. Misal, hasil dari perdagangan narkoba uangnya terdiri atas uang-uang kecil dalam tumpukan besar dan lebih berat dari narkobanya, lalu dikonversi ke dalam denominasi uang yang lebih besar. Lalu di depositokan kedalam rekerning bank, dan dibelikan ke instrument-instrumen moneter seperti cheques, money orders dll Layering : Layering atau heavy soaping, dalam tahap ini pencuci berusaha untuk memutuskan hubungan uang hasil kejahatan itu dari sumbernya, dengan cara memindahkan uang tersebut dari satu bank ke bank lain, hingga beberapa kali. Dengan cara memecah-mecah jumlahnya, dana tersebut dapat disalurkan melalui pembelian dan penjualan investment instrument Mengirimkan dari perusahaan gadungan yang satu ke perusahaan gadungan yang lain. Para pencuci uang juga melakukan dengan mendirikan



perusahaan fiktip, bisa membeli efek-efek atau alalt-alat transfortasi seperti pesawat, alatalat berat dengan atas nama orang lain. •



Integration : Integration adakalanya disebut spin dry dimana Uang dicuci dibawa kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk pendapatan bersih bahkan merupakan objek pajak dengan menggunakan uang yang telah menjadi halal untuk kegiatan bisnis melalui cara dengan menginvestasikan dana tersebut kedalam real estate, barang mewah, perusahaan-perusahaan



BEBERAPA MODUS MONEY LAUNDERING 1. Loan Back, yakni dengan cara meminjam uangnya sendiri, Modus ini terinci lagi dalam bentuk direct loan, dengan cara meminjam uang dari perusahaan luar negeri, semacam perusahaan bayangan (immobilen investment company) yang direksinya dan pemegang sahamnya adalah dia sendiri, Dalam bentuk back to loan, dimana si pelaku peminjam uang dari cabang bank asing secara stand by letter of credit atau certificate of deposit bahwa uang didapat atas dasar uang dari kejahatan, pinjaman itu kemudian tidak dikembalikan sehingga jaminan bank dicairkan. 2. Modus operasi C-Chase, metode ini cukup rumit karena memiliki sifat liku-liku sebagai cara untuk menghapus jejak. Contoh dalam kasus BCCI, dimana kurir-kurir datang ke bank Florida untuk menyimpan dana sebesar US $ 10.000 supaya lolos dari kewajiban lapor. Kemudian beberapa kali dilakukan transfer, yakni New York ke Luxsemburg ke cabang bank Inggris, lalu disana dikonfersi dalam bentuk certiface of deposit untuk menjamin loan dalam jumlah yang sama yang diambil oleh orang Florida. Loan buat negara karibia yang terkenal dengan tax Heavennya. Disini Loan itu tidak pernah ditagih, namun hanya dengan mencairkan sertifikat deposito itu saja. Dari Floria, uang terebut di transfer ke Uruguay melalui rekening drug dealer dan disana uang itu didistribusikan menurut keperluan dan bisnis yang serba gelap. Hasil investasi ini dapat tercuci dan aman. 3. Modus transaksi transaksi dagang internasional, Modus ini menggunakan sarana dokumen L/C. Karena menjadi fokus urusan bank baik bank koresponden maupun opening bank adalah dokumen bank itu sendiri dan tidak mengenal keadaan barang, maka hal ini dapat menjadi sasaran money laundrying, berupa membuat invoice yang besar terhadap barang yang kecil atau malahan barang itu tidak ada. 4. Modus penyelundupan uang tunai atau sistem bank paralel ke Negara lain. Modus ini menyelundupkan sejumah fisik uang itu ke luar negeri. Berhubung dengan cara ini terdapat resiko seperti dirampok, hilang atau tertangkap maka digunakan modus berupa electronic transfer, yakni mentransfer dari satu Negara ke negara lain tanpa perpindahan fisik uang itu. 5. Modus akuisisi, yang diakui sisi adalah perusahaanya sendiri.Contoh seorang pemilik perusahaan di indonesia yang memiliki perusahaan secara gelap pula di Cayman Island, negara tax haven. Hasil usaha di cayman didepositokan atas nama perusahaan yang ada di Indonesia. Kemudian perusahaan yang ada di Cayman membeli saham-saham dari perusahaan yang ada di Indonesia (secara akuisisi). Dengan cara ini pemilik perusahaan



di Indonesia memliki dana yang sah, karena telah tercuci melalui hasil pejualan sahamsahamnya di perusahaan Indonesia. 6. Modus Real estate Carousel, yakni dengan menjual suatu property berkai-kali kepada perusahaan di dalam kelompok yang sama. Pelaku Money Laundrying memiliki sejumlah perusahaan (pemegang saham mayoritas) dalam bentuk real estate. Dari satu ke lain perusahaan. 7. Modus Investasi Tertentu, Investasi tertentu ini biasanya dalam bisnis transaksi barang atau lukisan atau antik. Misalnya pelaku membeli barang lukisa dan kemudian menjualnya kepada seseorang yang sebenarnya adalah suruhan si pelaku itu sendiri dengan harga mahal. Lukisan dengan harga tak terukur, dapat ditetapkan harga setinggitingginya dan bersifat sah. Dana hasil penjualan lukisan tersebut dapat dikategorikan sebagai dana yang sudah sah. 8. Modus over invoices atau double invoice. Modus ini dilakukan dengan mendirikan perusahaan ekspor-impor negara sendiri, lalu diluar negeri (yang bersistem tax haven) mendirikan pula perusahaan bayangan (shell company). Perusahaan di Negara tax Haven ini mengekspor barang ke Indonesia dan perusahaan yang ada d diluar negeri itu membuat invoice pembelian dengan harga tingi inilah yang disebut over invoice dan bila dibuat 2 invoices, maka disebut double invoices. 9. Modus Perdagangan Saham, Modus ini pernah terjadi di Belanda. Dalam suatu kasus di Busra efek Amsterdam, dengan melibatkan perusahaan efek Nusse Brink, dimana beberapa nasabah perusahaan efek ini menjadi pelaku pencucian uang. Artinya dana dari nasabahnya yang diinvestasi ini bersumber dari uang gelap. Nussre brink membuat 2 (dua) buah rekening bagi nasabah-nasabah tersebut, yang satu untuk nasabah yag rugi dan satu yang memiliki keuntungan. Rekening di upayakan dibuka di tempat yang sangat terjamin proteksi kerahasaannya, supaya sulit ditelusuri siapa benefecial owner dari rekening tersebut. 10. Modus Pizza Cinnction. Modus ini dilakukan dengan mnginvestasikan hasil perdagangan obat bius diinvestasikan untuk mendapat konsesi pizza, sementara sisi lainnya diinvestasikan di Karibia dan Swiss. 11. Modus la Mina, kasus yang dipandang sebagai modus dalam money laundrying terjadi di Amerika Serikat tahun 1990. dana yang diperoleh dari perdagangan obat bius diserahkan kepada perdagangan grosiran emas dan permata sebagai suatu sindikat. Kemudian emas, kemudian batangan diekspor dari Uruguay dengan maksud supaya impornya bersifat legal. Uang disimpan dalam desain kotak kemasan emas, kemudian dikirim kepada pedagang perhiasan yang bersindikat mafia obat bius. Penjualan dilakukan di Los Angeles, hasil uang tunai dibawa ke bank dengan maksud supaya seakan-akan berasal dari kota ini dikirim ke bank New York dan dari kota ini di kirim ke bank New York dan dari kota ini dikirim ke bank Eropa melalui Negara Panama. Uang tersebut akhirnya sampai di Kolombia guna didistribusi dalam berupa membayar onkosongkos, untuk investasi perdagangan obat bius, tetapi sebagian untuk unvestasi jangka panjang.



12. Modus Deposit taking, Mendirikan perusahaan keuangan seperti Deposit taking Institution (DTI) Canada. DTI ini terkenal dengan sarana pencucian uangnya seperti chartered bank, trust company dan credit union. Kasus Money Laundrying ini melibatkan DTI antara lain transfer melalui telex, surat berharga, penukaran valuta asing, pembelian obligasi pemerintahan dan teasury bills. 13. Modus Identitas Palsu, Yakni memanfaatkan lembaga perbankan sebagai mesin pemutih uang dengan cara mendepositokan dengan nama palsu, menggunakan safe deposit box untuk menyembunyikan hasil kejahatan, menyediakan fasilatas transfer supaya dengan mudah ditransfer ke tempat yang dikehendaki atau menggunakan elektronic fund transfer untuk melunasi kewajiban transaksi gelap, menyimpan atau mendistribusikan hasil transaksi gelap itu.



MODUS DAN MISTERI PENEMPATAN DANA ( PLACEMENT ) Apa dan bagaimana kebijakan penempatan dana ? Seandainya Anda seorang Direktur Investasi dari Dana Pensiun atau Jamsostek atau BUMN. Atau yang lebih sederhana, apabila Anda seorang Direktur Utama (CEO) suatu perusahaan besar, yang mempunyai manajer treasury tersendiri atau dalam kalangan perbankan disebutnasabah korporasi, bagaimana Anda akan menempatkan dana yang idle ? Bagi orang-orang yang bersifat konservatif , maka penempatan dana umumnya dilakukan di deposito. Mengapa? Karena bunga cukup tinggi, pendapatan TETAP, risiko rendah. Dulu bahkan bunga Deposito pada tahun 2001 mencapai 17% per annum. Saat ini bunga deposito bergerak turun, hal ini mencerminkan kondisi perbankan di Indonesia telah membaik. Mungkin bagi manajer investasi di Dana Pensiun atau Jamsostek, wajar harus menghitung ulang investasinya, karena mereka bertanggung jawab agar hasil bunga/keuntungan penempatan dana dapat mencukupi pembayaran para pensiunan. Jika bunga deposito melorot terus, maka bisa-bisa uang untuk membayar para pensiunan tidak akan mencukupi. Sehingga penempatan dana pun beralih kepada Obligasi atau ke reksadana, namun walau suku bunga deposito dibawah 7% per annum, ada upaya penempatan danadengan negosiasi special rate atau Extra rate bahkan plus premium. Pada saat ini nasabah korporasi masih menjadi andalan bagi unit corporate banking. Kerjasama saling menguntungkan antar korporasi ini diduga dilakukan melalui kedekatan personal. Banyak bank yang mempraktekkan corporate banking dengan modal kenalan atau kedekatan CEO si pembuat kebijakan korporasi. Negosiasi penempatan dana dan rate serta kompensasi sudah menjadi wewenang dan keputusan CEO. Tapi, apa yang terjadi jika sewaktu-waktu dana korporasi itu dinyatakan hilang atau dibobol? Rahasia dibalik hubungan baik dalam penempatan dana itu akan menjadi masalah ketika dana korporasi itu dinyatakan hilang atau dibobol penjahat perbankan. Hilangnya dana korporasi di bank tidak jarang menyeret aparat kepolisian untuk melacak sebab akibatnya. Bahkan tidak jarang, raibnya dana korporasi tersebut melibatkan nasabah dan pegawai bank itu sendiri. Apalagi kalau ternyata ditemukan motivasi penempatan dana itu karena adanya imbal balik fee dan kedekatan diantara CEO. Bukan tidak mungkin diantara CEO tersebut malah diduga terlibat dalam penggelapan dana korporasi. Kejahatan perbankan nasional masih relatif konvensional, seperti perampokan, pemalsuan dokumen seperti L/C, bilyet deposito, cheque, bahkan pembobolan rekening nasabah oleh oknum dalam bank



dan kolusi antara orang dalam dan luar bank .Lalu kenapa kenapa penempatan dana sangat dekat kaitannya dengan pembobolan bank, jawabannya karena setiap dana nasabah yang hilang biasanya Bank akan menggantinya ? Apakah ini sebuah permainan ? Ini masih merupakan misteri penempatan dana ???!!!!!! Kasus Batam Terbesar di Indonesia TAHUN-tahun terakhir, kata pencucian uang atau money loundry kian akrap di telinga. Sebab kejahatan yang termasuk baru ini, kian marak terjadi di Indonesia dan telah banyak kasusnya terbongkar dan beberapa diantaranya telah dijatuhi hukuman. Dari kasus yang ada, ternyata Batam menduduki peringkat pertama jumlah transaksi keuangan yang mencurigakan. Dari laporan yang disampaikan Hatief Hadikoesoemo selaku Direktur Pengawas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Indonesia, mulai 2001 sampai dengan Desember 2007 lalau, pihaknya telah menerima 12.624 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) dari seluruh Indonesia. Dan khusus di 2007 jumlah LTKM-nya 5.831. Dari jumlah tersebut, pelaporan yang paling banyak dilakukan bank-bank swasta (4414 LTKM), bank pemerintah (3417 LTKM), bank perkreditan rakyat (2.630 LTKM), bank asing (1156), dan asuransi, dana pensiun, manager investasi sebanyak 597 LTKM. Sementara lebihnya berasal dari bank joint venture, bank rural, perusahaan sekuritas, lembaga keuangan, dan pedagang valuta asing. “Sekian LTKM yang kami terima, kami pelajar. Dan sebanyak 533 LKTM telah kami serahkan kasusnya kepada pihak berwajib untuk ditindak secara hukum. Dari data tersebut, sebanyak 8 kasus memang murni tindakan pencucian uang dimana pelakunaya sudah dijatuhi hukuman,”terang Hatief di hadapan peserta Sosialisasi dan Diskusi Panel Pedagang Valuta Asing (PVA) Berizin Cegah Money Loundry di ball room Panorama Regency, Selasa (13/2). Beragam modus yang bisa dilakukan para pelaku tindakan money loundry. Salah satunya membawa uang tunai melalui pelabuhan. Modus ini sangat sering terjadi di Batam dan telah menempatkan kota industri ini sebagai kota tertinggi jumlah transaksi keuangan mencurigakannya yakni sebanyak 1.219 LKTM. Apa dan bagaimana money loundry tersebut? Berikut pemaparan Hatief dalam sosialiasi yang ditaja Bank Indonesia Batam dan dihadiri para pelaku industri keuangan seperti bank, PVA, perusahaan sekuritas, asuransi, lembaga keuangan, dan pelaku bisnis pariwisata. Sesuai Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pasal 1 angka 1 telah didefenisikan pencucian uang itu adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindakan pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harga kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harga kekayaan yang sah. Dengan defenisi tersebut jelas bahwa tindakan apapun yang bersumber dari dana yang tidak sah seperti hasil korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, perdagangan orang (trafficking), judi, obat bius, perampokan, dan tindakan pidana lainnya, termasuk dalam tindakan pidana pencucian uang. (sri murni) Uang Diputar di Banyak Bank BERAGAM cara dilakukan pelaku tindak pidana pencucian uang (money loundry) agar uang



yang didapatkan secara tidak sah bisa dianggap seolah-olah sah. Hatief Hadikoesoem selaku Direktur Pengawas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Indonesia, memaparkan ada tiga mekanisme proses pencucian uang. Pertama, setelah pelaku mendapatkan uang secara tidak sah yang bisa bersumber dari penyuapan, korupsi, penyelundupan barang, penyelundupan manusia, perdagangan manusia (trafficking), perdagangan narkoba, perampokan, perjudian, dan tindakan lain yang melanggar hukum, pelaku akan menempatkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan. Penampatan bisa dilakukan di bank, baik bank umum pemerintah, bank umum swasta, bank perkreditan rakyat, bank asing, bank rural, maupun bank joint venture. Uang juga bisa ditempatkan di perusahaan sekuritas dan pasar modal dengan membeli saham-saham. Bisa pula di lembaga keuangan, asuransi, dana pensiun, dan manajer investasi. Biasanya pelaku tidak menempatkan uang tersebut di satu tempat, melainkan dibagi-bagi ke beberapa tempat. Jangka waktu penempatan biasanya juga tidak lama karena akan mudah dilacak. Setelah beberapa saat ditempatkan, uang tersebut langsung akan dipindahkan ke tempattempat penyimpanan lain dalam banyak bentuk transaksi keuangan. Tujuannya, agar asal usul uang tersebut sulit dilacak (audit trail). Proses pemindahan atau mengubah bentuk dana melalui transaksi keuangan yang kompleks inilah yang disebut proses layering. Proses ketiga adalah integration yang memiliki pengertian mengembalikan dana yang telah tampak sah kepada pemiliknya sehingga bisa digunakan dengan aman. Sehingga pelaku bisa dengan mudah berkelit dan lepas dari pelacakan tindak pidana pencucian uang. Selain menggunakan ruang lingkup bisnis keuangan, agar uang haram yang didapat dianggap seolah-olah sah, pelaku biasnya membelanjakan uangnya untuk produk-produk mahal, seperti properti, mobil, motor, dan lainnya. Tidak jarang, pelaku juga menginvestasikan uang tersebut dalam bisnis di sektor ril seperti membuka usaha industri atau membantu permodalan di perusahaan-perusahaan. “Proses transfer dana ini tidak hanya berlangsung di bank-bank dalam satu negara melainkan juga ke bank-bank luar negeri,”ujar Hatief. (sri murni) Harus Curigai Transaksi Besar KERJASAMA lembaga-lembaga keuangan seperti bank, pedagang valuta asing, perusahaan asuransi, sekuritas, manajer investasi, dan dana pensiun sangat penting untuk mencegah tindak pidana pencucian uang. Pemerintah melalui Bank Indonesia dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Indonesia, telah menetapkan agar lembaga-lembaga keuangan teliti dalam setiap transaksi keuangan yang dilakukan. Hatief Hadikoesoem selaku Direktur Pengawas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Indonesia menjelaskan, setiap lembaga keuangan di atas wajib membuat laporan transaksi keungan mencurigakan (LTKM), laporan transaksi keuangan tunai (LTKT) dan laporan pembawaan uang tunai (LPTU) atau cross border cash carrying yang biasanya dilakukan bea dan cukai. “LTKM harus dibuat kalau ada transaksi yang tidak wajar. Misalnya mentransfer dana dalam jumlah besar, membuka deposito dalam jumlah besar, dan tindakan lain dari nasabah yang di luar kebiasaannya,”ungkap Hatief. Beberapa ciri transaksi tidak wajar diantaranya, nasabah melakukan transaksi yang menyimpang dari karakteristik atau pola kebiasaan transaksi. Misalnya, menyetorkan uang deposito dalam



jumlah cukup besar. Ketika ditanya untuk mengisi prosedur informasi nasabah, biasanya ia berkelit dan tidak mau diketahui sumber dana tersebut. Padahal, untuk bank dan PVA sudah ditentukan menggunakan prinsip know you costumer (KUC) yang intinya menanyakan informasi kepada nasabah tentang asal dan kegunaan dana nasabah. “Kalau ada nasabah atau calon nasabah yang mau menyimpan uang dalam jumlah besar kemudian dia menolak memberikan informasi sumber uang tersebut dan memilih untuk tidak menyimpan uang di bank, itu patut dicurigai. Bank jangan asal menerima dana. Mentangmentang ada orang membawa banyak uang, kemudian begitu saja menerimanya tanpa mengetahui informasi asal uang tersebut,”pinta Hatief. Jika menemukan nasabah yang seperti itu, lanjut Hatief, bank harus segera membuat LTKM dan melaprokan kepada PPATK. Pelaporan dibuat paling lambat tiga hari kerja setelah kejadian. Sementara, kecurigaan juga perlu dilakukan untuk transasi keuangan tunai. Misalnya, seseoang menukar uang rupiah atau mata uang asing di PVA dalam jumlah komulatif Rp 500 juta ke atas, baik dilakukan satu kali maupun berulang-ulang. Transaksi bisa berupa penerimaan uang di rekening bank, penyetoran, penitipan baik yang dilakukan dengan uang tunai atau surat berharga seperti traveller cheque, cek, maupun bilyet giro. Pelaporan transaksi uang tunai ini harus dilakukan paling lambar 14 hari kerja setelah kejadian. Sedangkan untuk pembawaan uang tunai ke luar negara RI, hanya diperbolehkan dalam jumalh tidak sampai Rp 100 juta. Jika melebihi jumlah tersebut, si pembawa uang diharuskan membuat laporan ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dan Ditjen BC diwajibkan melaporkan kejadian tersebut kepada PPATK paling lambat lima hari setelah kejadian. (sri murni) SECARA alamiah, bank merupakan tempat paling nyaman untuk mencuci uang dan private banking dikenal sebagai salah satu produk bank yang berisiko tinggi digunakan oleh para kriminal sebagai sarana pencucian uang. Tingginya risiko produk bank ini karena private banking menawarkan jasa khusus dan bersifat personal kepada nasabah tertentu seperti pejabat publik, pengusaha, penasehat investasi dan politisi termasuk keluarga dan relasi mereka. Itu sebabnya, terhadap nasabah private banking, bank diwajibkan melakukan proses identifikasi yang lebih mendalam dan menyeluruh untuk mengetahui sumber pendapatan/kekayaan, kebutuhan dan transaksi yang diinginkan oleh nasabah tersebut. Bank diwajibkan pula mendokumentasikan secara lengkap bentuk dan jenis transaksi yang diinginkan nasabah private banking. Kompleksitas hubungan antara bank dan nasabah private banking memerlukan sistem yang harus didisain khusus untuk mengawasi dan melaporkan aktivitas yang mencurigakan dari nasabah tersebut agar bank dapat mengevaluasi secara objektif dan rasional seluruh aktivitas mereka. Bank memang bukan satu-satunya tempat mencuci uang. Secara teoritis, ada tiga metode yang dapat digunakan para kriminal memecah uang hasil kejahatan dengan maksud mengaburkan asal usul uang tersebut dan kemudian menyatukannya kembali untuk digunakan secara normal. Pertama, melibatkan sistem keuangan antara lain dengan menggunakan cek/surat berharga dan transfer elektronis. Kedua, pemindahan secara fisik dengan menggunakan jasa pengirim uang atau menyeludupkan uang tersebut ke luar negeri. Ketiga, menggunakan dokumen perdagangan barang atau jasa palsu. Metode pertama merupakan metode yang paling banyak digunakan karena secara alamiah kegiatan usaha bank kondusif untuk digunakan menyembunyikan uang. Tingginya risiko bank digunakan sebagai sarana pencucian uang menyebabkan otoritas



perbankan mewajibkan bank berperan aktif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Bank dijadikan ujung tombak rejim anti pencucian uang, bahkan sebelum kegiatan pencucian yang ditetapkan pemerintah sebagai kejahatan. Bank bersama-sama dengan karyawannya berada di lini terdepan dalam upaya memerangi aktifitas keuangan illegal. Untuk alasan itu bank diwajibkan mengambil langkah-langkah konkrit untuk melakukan indentifikasi, memperkecil dan mengelola setiap risiko yang berasal dari uang haram yang mengancam individual bank dan industri perbankan. Untuk dapat melakukan kewajibannya tersebut, bank harus memiliki mekanisme kontrol dan mekanisme manajemen risiko serta memiliki sumber daya yang cukup. Bank diwajibkan melakukan customer due delegence (CDD) agar dapat melaporkan transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi tunai serta transfer lintas negara. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah dipergunakannya bank sebagai sarana pencucian uang. Kealpaan melakukan CDD menyebabkan bank dapat dikenakan sanksi administratif berupa : 1. teguran tertulis; 2. penurunan tingkat kesehatan bank; 3. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan; 4. pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan BI, atau; 5. pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang Perbankan. Disamping sanksi administratif, terhadap anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank dapat pula dengan sanksi pidana. Bahkan bank sebagai badan hukum juga dapat dikenakan sanksi pidana karena melakukan kejahatan pencucian uang. Memang, untuk dapat dijatuhi tindak pidana korporasi, undang-undang menetapkan persyaratan yang ketat. Pasal 6 UndangUndang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menetapkan pidana dijatuhkan terhadap bank apabila tindak pidana pencucian uang: 1. dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi; 2. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi; 3. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan 4. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi. Keempat persyaratan diatas bersifat kumulatif bukan alternatif. Artinya agar bank sebagai badan hukum dapat dijatuhi sanksi pidana maka keempat persyaratan tersebut harus dipenuhi. Sebagai penyeimbang dan untuk memberikan kepastian akan jaminan keamanan bagi bank dalam pelaksanaan penyampaian laporan undang-undang secara tegas menetapkan bahwa bank pejabat dan pegawainya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan. Klausula ini merupakan safe harbor bagi bank dalam



menjalankan kewajibannya. Immunitas seperti ini juga diterapkan di AS. Bahkan ruang lingkup perlindungan hukum yang diberikan kepada bank dan karyawannya sangat luas. Luasnya perlindungan hukum tersebut disimpulkan dari keputusan pengadilan dalam perkara Whitney Nat’l Bank v. Karam. Dalam perkara tersebut pengadilan memutuskan bank tidak perlu mengungkapkan catatan bank kepada pihak lain untuk membuktikan: 1. keberadaan atau isi laporan transaksi mencurigakan; 2. komunikasi yang berkaitan dengan penyampaian transaksi mencurigakan atau isinya; 3. komunikasi dengan otoritas dalam penyampaian laporan atau persiapan membuat laporan; 4. komunikasi dengan otoritas setelah laporan transaksi mencurigakan disampaikan; atau 5. keberadaan atau isi kominikasi lisan dengan otoritas berkaitan dengan kecurigaan atau kemungkinan pelanggaran hukum atau regulasi yang tidak jadi dilaporkan. Luasnya cakupan perlindungan tersebut dimaksudkan agar bank tidak ragu menyampaikan laporan sebagaimana yang diwajibkan oleh undang-undang. Proteksi lain yang diberikan kepada bank dalam menjalankan kewajibannya sebagai garda terdepan pencegahan tindak pidana pencucian uang adalah kehadiran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Secara konseptual, PPATK adalah unit intelijen keuangan (Financial Inteligent Unit/FIU). Pendirian suatu lembaga sebagai perantara antara bank dengan lembaga penegak hukum dimaksudkan untuk menjaga reputasi bank sebagai lembaga kepercayaan. Kepercayaan terhadap bank dapat terus terjaga karena bank tidak diwajibkan melaporkan transaksi keuangan mencurigakan, laporan transaksi tunai dan transfer lintas negara langsung kepada lembaga penegah hukum. Bank cukup melaporkan transaksitransaksi tersebut kepada FIU yang notabene adalah lembaga sipil. FIU kemudian melakukan pemeriksaan untuk memastikan laporan yang diterimanya dari bank mengandung unsur tindak pidana sebelum akhirnya memutuskan untuk melaporkan adanya unsur tindak pidana tersebut kepada aparat penegak hukum. Dengan pengaturan seperti itu, bank tidak berinteraksi langsung dengan aparat penegak hukum. Manfaat lain kehadiran FIU adalah untuk mengurangi kemungkinan nasabah bank yang tidak berdosa harus berhadapan dengan aparat penegak hukum. Singkat kata, potensi bank sebagai tempat nyaman pencucian uang sekaligus menjadikan bank sebagai garda terdepan mencegah dan memberantas pencucian uang. Untuk itu semua pihak yang terlibat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang perlu memberikan perlindungan terhadap bank agar kepercayaan masyarakat kepada bank tetap terjaga. Tidak ada satupun bank dapat terus hidup tanpa kepercayaan masyarakat. Pencucian uang (Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.



Dengan adanya dinamika nasional, regional maupun global yang diiringi dengan perkembangan produk, aktivitas dan teknologi informasi bank yang semakin kompleks, sehingga berpotensi akan meningkatkan peluang bagi para pelaku kejahatan untuk menyalahgunakan fasilitas dan produk perbankan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme, dengan modus operandi yang lebih canggih. Serta Rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) juga mengalami penyesuaian sehingga menjadi lebih komprehensif dalam mendukung upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Maka upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia yaitu menerbitkan dan melakukan penyesuaian atas Peraturan Bank Indonesia No.11/28/PBI/2009 yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada 1 Juli 2009 menjadi Peraturan Bank Indonesia No.14/27/PBI/2012 tentang “Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum” tertanggal 28 Desember 2012 dengan tujuan pencapaian harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan standar internasional.



II. Perbedaan PBI Nomor 11/28/PBI/2009 dengan PBI Nomor 14/27/PBI/2012 a. Pengaturan mengenai transfer dana b. Pengendalian mengenai area beresiko tinggi c. Pengaturan Customer Due Dilligence (CDD) sederhana khususnya dalam rangka mendukung dengan strategi nasional dan global keuangan inklusif (financial inclusion). d. Pengaturan mengenai Cross Border Correspondent Banking e. Pengaturan mengenai sanksi.



III. PERATURAN BANK INDONESIA No.14/27/PBI/2012 A. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Bank Pengirim Dalam Hal melakukan Transfer Dana baik Dalam Wilayah Indonesia (Domestic) atau luar Wilayah Indonesia (Foreign) yaitu: Bank Pengirim wajib memperoleh informasi dan melakukan identifikasi serta verifikasi terhadap Nasabah/WIC (Walk in Customer) pengirim dan/atau Nasabah/WIC penerima, paling kurang meliputi: i. nama Nasabah atau WIC pengirim; ii. nomor rekening Nasabah pengirim;



iii. alamat Nasabah atau WIC pengirim; iv. nomor dokumen identitas, nomor identifikasi, atau tempat dan tanggal lahir dari Nasabah atau WIC pengirim; v. sumber dana Nasabah atau WIC pengirim vi. nama Nasabah atau WIC penerima; vii. nomor rekening Nasabah penerima; viii. alamat WIC penerima; ix. jumlah uang dan jenis mata uang; dan x. tanggal transaksi



B. Pihak yang tergolong dalam area berisiko tinggi serta kewajiban yang harus dilakukan bank (pengendalian bank) terhadap area beresiko tinggi tersebut, antara lain: Nasabah, WIC, atau Beneficial Owner yang masuk dalam area berisiko tinggi adalah Nasabah, WIC, atau Beneficial Owner yang: i. Tergolong PEP (Politically Exposed Person) ii. menggunakan produk perbankan yang berisiko tinggi untuk digunakan sebagai sarana pencucian uang atau pendanaan teroris; iii. melakukan transaksi dengan pihak yang berasal dari negara berisiko tinggi; iv. melakukan transaksi tidak sesuai dengan profil; atau v. merupakan pihak yang terkait dengan PEP. Terhadap Nasabah, WIC, atau Beneficial Owner yang masuk dalam area berisiko tinggi (tergolong berisiko tinggi), Bank wajib melakukan: i. EDD (Enhanced Due Dilligence) secara berkala paling kurang berupa analisis terhadap informasi mengenai Nasabah atau Beneficial Owner, sumber dana, tujuan transaksi, dan hubungan usaha dengan pihak-pihak yang terkait; dan ii. pemantauan yang lebih ketat terhadap Nasabah atau Beneficial Owner.



C. Pengaturan CDD (Customer Due Diligence) untuk global keuangan inklusif (financial inclusion):



Calon Nasabah yang terkait dengan global keuangan inklusif (financial inclusion) adalah calon nasabah yang: i. Tujuan pembukaan rekening terkait dengan program Pemerintahan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan, atau; ii. jumlah setoran awal paling besar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah), maksimum saldo pada akhir bulan paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), dan maksimum transaksi dalam 1 (satu) bulan sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Terhadap Calon Nasabah tersebut, Bank wajib meminta informasi nama lengkap termasuk nama alias apabila ada, alamat tempat tinggal sesuai dokumen identitas dan alamat tempat tinggal lain apabila ada, tempat dan tanggal lahir, dan pekerjaan



D. Apabila bank menyediakan jasa Cross Border Correspondent Banking, siapakah yang bertanggungjawab terhadap hubungan usaha dengan penyediaan jasa dimaksud? Yang bertanggung jawab atas hubungan usaha dengan Bank Penerima dan/atau Bank Penerus dalam rangka penyediaan jasa Cross Border Correspondent Banking adalah Pejabat Senior Bank tersebut yaitu Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai bank umum dan telah memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman mengenai anti pencucian uang atau pencegahan pendanaan terorisme, misalnya kepala divisi atau kepala bagian di kantor pusat Bank atau pimpinan di kantor cabang Bank. E. Sanksi yang dikenakan kepada Bank yang tidak melaksanakan kebijakan dan prosedur yang tertuang dalam pedoman pelaksanaan program APU (Anti Pencucian Uang) dan PPT (Pencegahan Pendanaan Terorisme): Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT) merupakan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Bank akan dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) apabila tidak melaksanakan kebijakan dan prosedur yang tertuang dalam pedoman pelaksanaan program APU dan PPT yang berdampak signifikan terhadap pelaksanaan program APU dan PPT antara lain menimbulkan dampak risiko reputasi bagi Bank. Peraturan Bank Indonesia No.14/27/PBI/2012 diberlakukan sejak tanggal 28 Desember 2012, harapannya dengan diberlakukannya peraturan baru ini, maka kegiatan serta ancaman teroris dapat diminimalisir dan dicegah sejak dini, dimana dalam hal ini yaitu pencegahan pendistribusian pendanaan teroris melalui sektor perbankan. Bantuan dan dukungan dari kita semua juga sangat berarti demi kelangsungan dan keberhasilan atas upaya yang dilakukan Bank Indonesia ini.



Pencucian uang (Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.



Dengan adanya dinamika nasional, regional maupun global yang diiringi dengan perkembangan produk, aktivitas dan teknologi informasi bank yang semakin kompleks, sehingga berpotensi akan meningkatkan peluang bagi para pelaku kejahatan untuk menyalahgunakan fasilitas dan produk perbankan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme, dengan modus operandi yang lebih canggih. Serta Rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) juga mengalami penyesuaian sehingga menjadi lebih komprehensif dalam mendukung upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Maka upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia yaitu menerbitkan dan melakukan penyesuaian atas Peraturan Bank Indonesia No.11/28/PBI/2009 yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada 1 Juli 2009 menjadi Peraturan Bank Indonesia No.14/27/PBI/2012 tentang “Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum” tertanggal 28 Desember 2012 dengan tujuan pencapaian harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan standar internasional.



II. Perbedaan PBI Nomor 11/28/PBI/2009 dengan PBI Nomor 14/27/PBI/2012 a. Pengaturan mengenai transfer dana b. Pengendalian mengenai area beresiko tinggi c. Pengaturan Customer Due Dilligence (CDD) sederhana khususnya dalam rangka mendukung dengan strategi nasional dan global keuangan inklusif (financial inclusion).



d. Pengaturan mengenai Cross Border Correspondent Banking e. Pengaturan mengenai sanksi.



III. PERATURAN BANK INDONESIA No.14/27/PBI/2012 A. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Bank Pengirim Dalam Hal melakukan Transfer Dana baik Dalam Wilayah Indonesia (Domestic) atau luar Wilayah Indonesia (Foreign) yaitu: Bank Pengirim wajib memperoleh informasi dan melakukan identifikasi serta verifikasi terhadap Nasabah/WIC (Walk in Customer) pengirim dan/atau Nasabah/WIC penerima, paling kurang meliputi: i. nama Nasabah atau WIC pengirim; ii. nomor rekening Nasabah pengirim; iii. alamat Nasabah atau WIC pengirim; iv. nomor dokumen identitas, nomor identifikasi, atau tempat dan tanggal lahir dari Nasabah atau WIC pengirim; v. sumber dana Nasabah atau WIC pengirim vi. nama Nasabah atau WIC penerima; vii. nomor rekening Nasabah penerima; viii. alamat WIC penerima; ix. jumlah uang dan jenis mata uang; dan x. tanggal transaksi



B. Pihak yang tergolong dalam area berisiko tinggi serta kewajiban yang harus dilakukan bank (pengendalian bank) terhadap area beresiko tinggi tersebut, antara lain: Nasabah, WIC, atau Beneficial Owner yang masuk dalam area berisiko tinggi adalah Nasabah, WIC, atau Beneficial Owner yang: i. Tergolong PEP (Politically Exposed Person) ii. menggunakan produk perbankan yang berisiko tinggi untuk digunakan sebagai sarana pencucian uang atau pendanaan teroris;



iii. melakukan transaksi dengan pihak yang berasal dari negara berisiko tinggi; iv. melakukan transaksi tidak sesuai dengan profil; atau v. merupakan pihak yang terkait dengan PEP. Terhadap Nasabah, WIC, atau Beneficial Owner yang masuk dalam area berisiko tinggi (tergolong berisiko tinggi), Bank wajib melakukan: i. EDD (Enhanced Due Dilligence) secara berkala paling kurang berupa analisis terhadap informasi mengenai Nasabah atau Beneficial Owner, sumber dana, tujuan transaksi, dan hubungan usaha dengan pihak-pihak yang terkait; dan ii. pemantauan yang lebih ketat terhadap Nasabah atau Beneficial Owner.



C. Pengaturan CDD (Customer Due Diligence) untuk global keuangan inklusif (financial inclusion): Calon Nasabah yang terkait dengan global keuangan inklusif (financial inclusion) adalah calon nasabah yang: i. Tujuan pembukaan rekening terkait dengan program Pemerintahan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan, atau; ii. jumlah setoran awal paling besar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah), maksimum saldo pada akhir bulan paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), dan maksimum transaksi dalam 1 (satu) bulan sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Terhadap Calon Nasabah tersebut, Bank wajib meminta informasi nama lengkap termasuk nama alias apabila ada, alamat tempat tinggal sesuai dokumen identitas dan alamat tempat tinggal lain apabila ada, tempat dan tanggal lahir, dan pekerjaan



D. Apabila bank menyediakan jasa Cross Border Correspondent Banking, siapakah yang bertanggungjawab terhadap hubungan usaha dengan penyediaan jasa dimaksud? Yang bertanggung jawab atas hubungan usaha dengan Bank Penerima dan/atau Bank Penerus dalam rangka penyediaan jasa Cross Border Correspondent Banking adalah Pejabat Senior Bank tersebut yaitu Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai bank umum dan telah memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman mengenai anti pencucian uang atau pencegahan pendanaan terorisme, misalnya kepala divisi atau kepala bagian di kantor pusat Bank atau pimpinan di kantor cabang Bank.



E. Sanksi yang dikenakan kepada Bank yang tidak melaksanakan kebijakan dan prosedur yang tertuang dalam pedoman pelaksanaan program APU (Anti Pencucian Uang) dan PPT (Pencegahan Pendanaan Terorisme): Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT) merupakan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Bank akan dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) apabila tidak melaksanakan kebijakan dan prosedur yang tertuang dalam pedoman pelaksanaan program APU dan PPT yang berdampak signifikan terhadap pelaksanaan program APU dan PPT antara lain menimbulkan dampak risiko reputasi bagi Bank. Peraturan Bank Indonesia No.14/27/PBI/2012 diberlakukan sejak tanggal 28 Desember 2012, harapannya dengan diberlakukannya peraturan baru ini, maka kegiatan serta ancaman teroris dapat diminimalisir dan dicegah sejak dini, dimana dalam hal ini yaitu pencegahan pendistribusian pendanaan teroris melalui sektor perbankan. Bantuan dan dukungan dari kita semua juga sangat berarti demi kelangsungan dan keberhasilan atas upaya yang dilakukan Bank Indonesia ini.



TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) 1. Sejarah Money laundering sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) yang sebenarnya sudah ada sejak tahun 1967. Pada saat itu, seorang perompak di laut, Henry Every, dalam perompakannya terakhir merompak kapal Portugis berupa berlian senilai £325.000 poundsterling (setara Rp5.671.250.000). Harta rampokan tersebut kemudian dibagi bersama anak buahnya, dan bagian Henry Every ditanamkan pada transaksi perdagangan berlian dimana ternyata perusahaan berlian tersebut juga merupakan perusahaan pencucian uang milik perompak lain di darat. Namun istilah money laundering baru muncul ketika Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika Serikat, pada tahun 1920-an, memulai bisnis Laundromats (tempat cuci otomatis). Bisnis ini dipilih karena menggunakan uang tunai yang mempercepat proses pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari hasil pemerasan, pelacuran, perjudian, dan penyelundupan minuman keras terlihat sebagai uang yang halal. Walau



demikian, Al Capone tidak dituntut dan dihukum dengan pidana penjara atas kejahatan tersebut, akan tetapi lebih karena telah melakukan penggelapan pajak. Selain Al Capone, terdapat juga Meyer Lansky, mafia yang menghasilkan uang dari kegiatan perjudian dan menutupi bisnis ilegalnya itu dengan mendirikan bisnis hotel, lapangan golf dan perusahaan pengemasan daging. Uang hasil bisnis illegal ini dikirimkan ke beberapa bank-bank di Swiss yang sangat mengutamakan kerahasian nasabah, untuk didepositokan. Deposito ini kemudian diagunkan untuk mendapatkan pinjaman yang dipergunakan untuk membangun bisnis legalnya. Berbeda dengan Al Capone, Meyer Lansky justru terbebas dari tuntutan melakukan penggelapan pajak, tindak pidana termasuk tindak pidana pencucian uang yang dilakukannya. 2. Pengaturan Hukum Sebelum tahun 1986, tindakan pencucian uang bukan merupakan kejahatan. Pada tahun 1980-an, jutaan uang hasil tindak kejahatan masuk dalam bisnis legal dan usaha-usaha ekonomi lain. Bahkan praktek money laundering tidak lagi sesederhana yang dilakukan Al Capone atau Meyer Lansky. Contohnya adalah pengakuan dari seorang mafia obat bius, Franklin Jurador yang menceritakan pemindahtanganan uang hasil kejahatan ke bisnis legal dilakukan dalam berbagai transaksi antara lain jual beli fiktif asset atau penitipan fiktif untuk keperluan investasi, yang melibatkan lebih banyak pihak, tidak hanya secara domestik namun juga antar negara, dengan transaksi yang lebih rumit. Bahkan berkembangnya transaksi money laundering juga didukung fasilitas financial dunia perbankan, seperti layanan nomor rekening istimewa atau nostro account yang diberikan bank-bank Swiss sejak tahun 1930-an. Layanan ini mengidentifikasi nasabah dengan nomor sandi yang digunakan untuk transaksi sehingga bank tidak Sie Infokum – Ditama Binbangkum



2



mengetahui siapa nasabah dan pihak yang menjadi lawan transaksi. Beberapa bank di kawasan lepas pantai juga menyediakan fasilitas transfer uang antar negara, manajemen pengelolaan dana dan perlindungan asset yang mempermudah kegiatan pencucian uang. Perkembangan kejahatan kerah putih ini menimbulkan kekhawatiran internasional sebab dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas perekonomian karena perputaran dana dalam jumlah besar yang terjadi secara cepat dari satu tempat ke tempat lain bahkan dari satu atau lebih negara ke satu atau lebih negara lain. Untuk itu maka masalah money laundering mulai menjadi perhatian dan dibentuk beberapa peraturan perundang-undangan baik yang bersifat internasional maupun nasional : a. Amerika Serikat : Memiliki berbagai macam peraturan perundang-undangan seperti The Bank Secrecy Act (1970), Money Laundering Central Act. (1986), The Annunzio Wylie Act. dan Money Laundering Suppression Act. (1994). Dalam Bank Secrecy Act, terdapat kewajiban lembaga keuangan untuk melaporkan setiap transaksi alat pembayaran yang melebihi $10,000 kepada Internal Revenue Service yang dikenal dengan nama Currency Transaction Report (CTR). Termasuk juga di dalamnya Foreign Transactions Reporting Act yang memperbesar jumlah informasi keuangan yang harus disampaikan kepada instansi-instansi pemerintah yang bersangkutan dengan tindakan pidana, perpajakan dan penuntutan.



Setelahnya dalam Money Laundering Central Act (MLCA) diatur adanya unsur yang harus dipenuhi untuk mengkategorikan tindak pidana pencucian uang yakni : (1) terdapat transaksi finansial atau perpindahan internasional; dan (2) terdapat kegiatan melanggar hukum tertentu. b. Swiss, Thailand, Spanyol, Italia, Inggris, Jerman dan Perancis Swiss memiliki The Money Laundering Act (1998), Thailand memiliki The Money Laundering Prevention and Suppresion Act (1999), Spanyol memiliki The Money Laundering Law (1993), sementara untuk negara Italia, Inggris, Jerman dan Perancis memiliki Penal Code yang mengatur ketentuan anti money laundering. c. Indonesia Pada tahun 1988, United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau lebih dikenal UN Drugs Convention ditandatangani 106 negara, dan Indonesia menjadi salah satu negara anggota yang kemudian baru meratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Selanjutnya pada tahun 1989 dan 1990 negara-negara yang tergabung dalam Group 7 melahirkan The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang bertujuan mendorong Negara-negara agar menyusun peraturan perundang-undangan untuk mencegah mengalirnya uang hasil perdagangan narkotik baik melalui bank maupun lembaga keuangan bukan bank. Pada bulan April 1990, FATF memperluas pesertanya mencakup pusat keuangan 15 negara yang kemudian mengeluarkan rekomendasi yang paralel dengan UN Drug Convention agar Negara-negara menciptakan peraturan perundang-undangan mengawasi money laundering. Sie Infokum – Ditama Binbangkum



3



Upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius ini diikuti dengan upaya pemberantasan pencucian uang dalam skala internasional karena kegiatan pencucian uang kerap kali digunakan untuk menutupi hasil perdagangan obat bius yang diwujudkan dalam pembentukan konvensi The International Anti-Money Laundering Legal Regime. Konvensi ini mewajibkan negaranegara penandatangan menjadikan pencucian uang sebagai suatu tindakan kriminal dan tergolong kejahatan berat. Selanjutnya pada tahun 1998 dibentuk Basle Committee on Banking Regulations dan Supervisory Practices yang terdiri dari perwakilanperwakilan Bank Sentral dan badan-badan pengawas negara-negara industri, dimana bank harus mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang dikenal dengan Know Your-Customer Rule. Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah diubah kedua kali dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003. Walaupun secara de jure BI telah mengeluarkan peraturan BI No. 3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Pengenalan Nasabah namun peraturan ini sulit diterapkan untuk memberantas transaksi money laundering. Penerapan ini dibatasi oleh UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya kecuali untuk kepentingan perpajakan, untuk penyelesaian



piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, atau dalam hal si nasabah meninggal dunia sehingga ahli waris yang sah wajib diberitahukan mengenai simpanan nasabah yang bersangkutan. Akan tetapi, penerbitan Peraturan Bank Indonesia ini belum dianggap cukup oleh FATF untuk menanggulangi pencucian uang. FATF sendiri sudah mengeluarkan beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan praktek pencucian uang. Rekomendasi tersebut mempunyai tiga ruang lingkup yaitu mengenai peningkatan sistem hukum nasional, peningkatan peranan sistem finansial, dan memperkuat kerjasama internasional. Semua rekomendasi FATF ini menjadi standar internasional untuk mengukur apakah anggota FATF telah mematuhi rekomendasi itu dan memberikan usulan-usulan untuk perbaikan upaya pemberantasan pencucian uang, dan Indonesia dipandang belum mendukung upaya pemberantasan pencucian uang. Indonesia dimasukkan dalam daftar Negara wilayah yang tidak bekerjasama Non Cooperative Countries and Teritories (NCCTs) pada bulan Juni 2001 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dari FATF, dan hal ini berlangsung sampai dengan Februari 2002 mengingat FATF menganggap kurang ada upaya Indonesia dalam memerangi pencucian uang, yang dibuktikan dengan belum adanya program penegakan hukum pencucian yang efektif, belum ada tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan money laundering, belum adanya peningkatan kerja dalam lembaga keuangan untuk memerangi praktek money laundering, belum adanya sistem yang mewajibkan pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan, belum adanya kerja sama dengan Negara-negara lain, institusi-institusi internasional atau belum adanya identifikasi nasabah dan belum ada perangkat hukum untuk mengatasi praktek money laundering yang dibuktikan dengan belum adanya Undang-Undang Anti Pencucian Uang. Sie Infokum – Ditama Binbangkum



4



Baru pada Februari 2005, Indonesia dikeluarkan dari daftar hitam setelah FTAF mengadakan review langsung ke Indonesia dengan mengadakan wawancara dengan para pemimpin instansi yang menangani money laundering, kemudian Presiden mengutus beberapa Menteri ke Negara Amerika, Inggris, Perancis, Australia, Jepang untuk menjelaskan keseriusan Pemerintah Indonesia menangani kasus money laundering. Pada tanggal 17 April 2002 telah diundangkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang melalui Lembaran Negara No. 30. UU ini tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pencucian uang, hanya dalam penjelasan dinyatakan bahwa upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenal sebagai pencucian uang (money laundering). Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Undang-Undang ini yakni harta kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai setara yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan korupsi; penyuapan; penyeludupan barang; penyeludupan tenaga kerja; penyeludupan imigran; perbankan; narkotika; psikotropika; perdagangan budak, wanita, dan anak; perdagangan senjata gelap;



penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan, yang dilakukan baik di wilayah RI atau di luar wilayah RI dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Berbeda dengan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, perubahan UU ini yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan definisi tentang pencucian uang mendefinisikan pencucian uang sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamar asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1). Perubahan dalam UU No. 25 Tahun 2003 antara lain meliputi : a. pengertian Penyedia Jasa Keuangan yang diperluas meliputi jasa lainnya yang terkait dengan keuangan guna mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan bentuk penyedia jasa keuangan yang ada di masyarakat namun belum diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan munculnya bentuk penyedia jasa keuangan baru. Hal ini tampak dari ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2002 : Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi, yang kemudian diubah menjadi Pasal 1 angka 5 UU No. 25 Tahun 2003 : Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, custodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos. Sie Infokum – Ditama Binbangkum



5



b. perluasan definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan, yakni : Pasal 1 angka 6 UU No. 15 Tahun 2002 : Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini, menjadi Pasal 1 angka 7 UU No. 25 Tahun 2003 : Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah: a. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan; b. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau



c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. c. Pembatasan jumlah hasil tindak pidana yang diperoleh dari tindak pidana dihapus karena penentuan suatu perbuatan dapat dipidana tidak bergantung besar kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh, sebagaimana diatur berdasarkan : Pasal 2 UU No. 15 Tahun 2002 : Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan: a. korupsi; b. penyuapan; c. penyelundupan barang; d. penyelundupan tenaga kerja; e. penyeludupan imigran; f. perbankan; g. narkotika; h. psikotropika; i. perdagangan budak, wanita, dan anak; j. perdagangan senjata gelap; k. penculikan; l. terorisme; m. pencurian; n. penggelapan; o. penipuan; yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia, menjadi Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003, yakni : (1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana : a. korupsi; b. penyuapan; Sie Infokum – Ditama Binbangkum



6



c. penyelundupan barang; d. penyelundupan tenaga kerja; e. penyelundupan imigran; f. di bidang perbankan; g. di bidang pasar modal; h. di bidang asuransi; i. narkotika; j. psikotropika; k. perdagangan manusia; l. perdagangan senjata gelap; m. penculikan; n. terorisme; o. pencurian; p. penggelapan;



q. penipuan; r. pemalsuan uang; s. perjudian; t. prostitusi; u. di bidang perpajakan; v. di bidang kehutanan; w. di bidang lingkungan hidup; x. di bidang kelautan; atau y. tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4(empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. (2) Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatana terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n. d. Ruang lingkup tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk mencegah berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan dimana pelaku tindak pidana berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil tindak pidana namun perbuatan tersebut tidak dipidana. Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait yang mempidana tindak pidana asal antara lain: - UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; - UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; - UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; - UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. e. Jangka waktu penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dipersingkat, dengan tujuan agar harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang dapat segera dilacak, sebagaimana diatur berdasarkan : Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2002 : (2) Penyampaian Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diketahui oleh Penyedia Jasa Keuangan, menjadi: Sie Infokum – Ditama Binbangkum



7



Pasal 13 UU No. 25 Tahun 2003 : (2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan. f. Terdapat ketentuan baru yang menjamin adanya kerahasiaan penyusunan dan penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang disampaikan kepada PPATK atau penyidik (anti-tipping off) bahkan dengan disertai sanksi pidana penjara, dengan tujuan untuk mencegah berpindahnya hasil tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang, sebagaimana diatur berdasarkan :



Pasal 10A UU No. 25 Tahun 2003 : (1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini, wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini. (2) Sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib dirahasiakan dalam persidangan pengadilan. (3) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun. (4) Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. g. Penjabaran lebih rinci dan lebih tegas dalam beberapa pasal mengenai ketentuan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal assistance), merupakan bukti bahwa Pemerintah Indonesia memberikan komitmennya bagi komunitas internasional untuk bersama-sama mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. 3. Unsur-Unsur Pasal 1 angka 1 UU No. 25 Tahun 2002, mendefinisikan Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-seolah menjadi Harta Kekayaan yang sah. Pendefinisian di atas mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a. Pelaku b. Transaksi keuangan atau alat keuangan atau finansial untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah c. Merupakan hasil tindak pidana Sie Infokum – Ditama Binbangkum



8



ad. a) Pelaku Dalam UU No. 15 Tahun 2002 maupun perubahannya dalam UU No. 25 Tahun 2003, digunakan kata “setiap orang”, dimana dalam Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara pengertian korporasi terdapat dalam Pasal 1 angka 3 yang menyatakan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. ad. b)Transaksi keuangan atau alat keuangan atau finansial untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah Istilah transaksi jarang atau hampir tidak dikenal dalam sisi hukum pidana tetapi lebih banyak dikenal pada sisi hukum perdata, sehingga undang-undang tindak pidana pencucian uang mempunyai ciri kekhususan



yaitu di dalam isinya mempunyai unsur-unsur yang mengandung sisi hukum pidana maupun perdata. UU No. 25 Tahun 2003 mendefinisikan Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan. Transaksi keuangan yang menjadi unsur pencucian uang adalah transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai yang belum dilaporkan dan mendapat persetujuan dari Kepala PPATK. Definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah (Pasal 1 angka 7 UU No. 25 Tahun 2003) : a. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan; b. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana, dan definisi Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 25 Tahun 2003 adalah transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan dengan uang tunai atau instrumen pembayaran lain yang dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan. ad. c) Merupakan hasil tindak pidana Penyebutan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2003, dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak pidana dinyatakan pada Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003 yang telah mengubah UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dalam pembuktian nantinya hasil tindakan pidana akan merupakan unsur-unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan ada atau terjadi tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut, Sie Infokum – Ditama Binbangkum



9



pembuktian disini bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan. Apabila digambarkan maka unsur-unsur pokok pencucian uang adalah sebagai berikut : Pelaku Perbuatan Melawan Hukum (hasil tindak pidana) menjadi Transaksi Keuangan LEGAL 4. Dampak Money Laundering Baik cara perolehan uang yang illegal maupun transaksi keuangan untuk melegalkan uang hasil tindakan illegal menimbulkan dampak ekonomi mikro dan makro. Dampak ekonomi mikro : a. cara perolehan uang yang illegal mengganggu jalannya mekanisme



pasar. Esensi sistem pasar adalah adanya pengakuan dan perlindungan terhadap pemilikan pribadi atas faktor-faktor produksi maupun atas barang-barang serta jasa-jasa yang digunakan untuk keperluan konsumsi. Namun dengan adanya peluang perolehan uang yang ilegal telah menunjukkan tidak adanya perlindungan dari penguasa atas hak milik, pasar menjadi tidak efisien yang ditunjukkan dengan meningkatnya biaya transaksi pasar, adanya akses yang asimetris pada informasi pasar yang menyebabkan transaksi bersifat zero sum game dalam arti bahwa keuntungan suatu pihak dapat membawa kerugian bagi pihak lain. b. transaksi keuangan untuk melegalkan hasil perolehan uang yang illegal membawa dampak penurunan produktifitas masyarakat. Dampak ekonomi makro : a. tindak pidana pencucian uang menghindarkan kewajiban pembayaran pajak yang berarti mengurangi penerimaan Negara; b. apabila transaksi keuangan yang dilakukan adalah dengan membawa uang yang ilegal ke luar negeri maka akan menambah defisit neraca pembayaran luar negeri, selain itu juga mengakibatkan berkurangnya dana perbankan yang menyebabkan kesulitan bank melakukan ekspansi kredit; c. Apabila Negara memperoleh sejumlah uang ilegal dari luar negeri maka akan menambah kegoncangan stabilitas ekonomi makro. Terlebih untuk Negara yang tidak memiliki cukup banyak instrumen moneter sehingga tidak mampu mensterilisasi dampak moneter pemasukan modal. Jika bank sentral membeli devisa yang masuk itu sebagai upaya untuk mempertahankan nilai tukar luar negeri mata uang nasionalnya, jumlah uang beredar akan bertambah dengan cepat dan tambahan jumlah Sie Infokum – Ditama Binbangkum



10



uang beredar itu akan menyulut inflasi sehingga menimbulkan gangguan pada keseimbangan internal perekonomian. Akan tetapi jika bank sentral tidak membeli devisa yang masuk akan menguatkan nilai tukar mata uang nasional yang menyebabkan berkurangnya insentif kegiatan ekspor. Pengurangan ini akan menambah defisit neraca pembayaran luar negeri. 5. Tahapan Pencucian Uang a. tahap penempatan (placement), merupakan tahap pengumpulan dan penempatan uang hasil kejahatan pada suatu bank atau tempat tertentu yang diperkirakan aman guna mengubah bentuk uang tersebut agar tidak teridentifikasi, biasanya sejumlah uang tunai dalam jumlah besar dibagi dalam jumlah yang lebih kecil dan ditempatkan pada beberapa rekening di beberapa tempat; b. tahap pelapisan (layering), merupakan upaya untuk mengurangi jejak asal muasal uang tersebut diperoleh atau ciri-ciri asli dari uang hasil kejahatan tersebut atau nama pemilik uang hasil tindak pidana, dengan melibatkan tempat-tempat atau bank di negara-negara dimana kerahasiaan bank akan menyulitkan pelacakan jejak uang. Tindakan ini dapat berupa : mentransfer ke negara lain dalam bentuk mata uang asing, pembelian property, pembelian saham pada bursa efek menggunakan deposit yang ada di Bank A untuk meminjam uang di Bank B dan sebagainya.



c. tahap penggabungan (integration), merupakan tahap mengumpulkan dan menyatukan kembali uang hasil kejahatan yang telah melalui tahap pelapisan dalam suatu proses arus keuangan yang sah. Pada tahap ini uang hasil kejahatan benar-benar telah bersih dan sulit untuk dikenali sebagai hasil tindak pidana, muncul kembali sebagai asset atau investasi yang tampak legal. 6. Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 dimuat dalam : Pasal 3 (1) Setiap orang yang dengan sengaja: a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain; b. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain; c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; Sie Infokum – Ditama Binbangkum



11



f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah). (2) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 6 (1) Setiap orang yang menerima atau menguasai: a. penempatan; b. pentransferan; c. pembayaran; d. hibah; e. sumbangan; f. penitipan; atau



g. penukaran, Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah). (2)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi Penyedia Jasa Keuangan yang melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pasal 7 Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau korporasi Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Dari pasal-pasal di atas, ditunjukkan adanya pengaturan terhadap jenis-jenis tindak pidana sebagai berikut : 1. Tindak pidana pencucian uang : yaitu tindakan untuk menempatkan, mentransfer, membayar/membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga lainnya, atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut. 2. Tindak pidana percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang. Sie Infokum – Ditama Binbangkum



12



3. Tindak pidana menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, atau penukaran atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Selain itu juga ditemukan adanya pengaturan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang : a. penyedia jasa keuangan yang sengaja tidak menyampaikan laporan yang diwajibkan kepada PPATK atas transaksi keuangan mencurigakan atau transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, bila dilakukan dalam 1 (satu) kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; b. setiap orang yang membawa uang tunai ke dalam atau keluar wilayah Negara Republik Indonesia berupa rupiah sejumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih untuk melapor kepada Dirjen Bea dan Cukai; c. bagi direksi, pejabat atau pegawai penyedia jasa keuangan yang memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain baik secara langsung atau tidak langsung dengan cara apapun mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK; d. larangan bagi saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan di sidang pengadilan untuk menyebut nama atau alamat



pelapor atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor. 7. Modus-Modus Pencucian Uang Dalam perbuatan tindak pidana pencucian uang terdapat pengkategorian beberapa modus yang didasarkan pada tipologinya : a. tipologi dasar : 1). modus orang ketiga, yaitu dengan menggunakan seseorang untuk menjalankan perbuatan tertentu yang diinginkan oleh pelaku pencurian uang, dapat dengan menggunakan atau mengatasnamakan orang ketiga atau orang lain lagi yang berlainan. Ciri-cirinya adalah : orang ketiga hampir selalu nyata dan bukan hanya nama palsu dalam dokumen, orang ketiga biasanya menyadari ia dipergunakan, orang ketiga tersebut merupakan orang kepercayaan yang bisa dikendalikan, dan hubungannya dengan pelaku sangat dekat sehingga dapat berkomunikasi setiap saat. 2). modus topeng usaha sederhana, merupakan kelanjutan modus orang ketiga, dimana orang tersebut akan diperintahkan untuk mendirikan suatu bidang usaha dengan menggunakan kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. 3). modus perbankan sederhana, dapat merupakan kelanjutan modus pertama dan kedua, namun juga dapat berdiri sendiri. Disini terjadi perpindahan sistem transaksi tunai yang berubah dalam bentuk cek kontan, cek perjalanan, atau bentuk lain dalam deposito, tabungan yang dapat ditransfer dengan cepat dan digunakan lagi dalam pembelian aset-aset. Modus ini banyak meninggalkan jejak melalui dokumen rekening koran, cek, dan data-data lain yang mengarah Sie Infokum – Ditama Binbangkum



13



pada nasabah itu, serta keluar masuknya dari proses transaksi baik yang menuju pada seseorang maupun pada aset-aset, atau pun pada pembayaran-pembayaran lain. 4).modus kombinasi perbankan atau usaha, yang dilakukan oleh orang ketiga yang menguasai suatu usaha dengan memasukkan uang hasil kejahatan ke bank untuk kemudian ditukar dengan cek yang kemudian digunakan untuk pembelian aset atau pendirian usahausaha lain. b. tipologi ekonomi : 1).model smurfing, yakni pelaku menggunakan rekan-rekannya yang banyak untuk memecah sejumlah besar uang tunai dalam jumlahjumlah kecil dibawah batas uang tunai sehingga bank tidak mencurigai kegiatan tersebut untuk kemudian uang tunai tersebut ditukarkan di bank dengan cek wisata atau cek kontan. Bentuk lain adalah dengan memasukkan dalam rekening para smurfing di satu tempat pada suatu bank kemudian mengambil pada bank yang sama di kota yang berbeda atau disetorkan pada rekening-rekening pelaku pencucian uang di kota lain sehingga terkumpul dalam beberapa rekening pelaku pencucian uang. Rekening ini tidak langsung atas nama pelaku namun bisa menunjuk pada suatu perusahaan lain atau rekening lain yang disamarkan nama pemiliknya. 2).model perusahaan rangka, disebut demikian karena perusahaan ini sebenarnya tidak menjalankan kegiatan usaha apapun, melainkan



dibentuk agar rekening perusahaannya dapat digunakan untuk memindahkan sesuatu atau uang. Perusahaan rangka dapat digunakan untuk penempatan (placement) dana sementara sebelum dipindah atau digunakan lagi. Perusahaan rangka dapat terhubung satu dengan yang lain misal saham PT A dimiliki oleh PT B yang berada di daerah atau Negara lain, sementara saham PT B sebagian dimiliki oleh PT A, PT B, PT C, dan/atau PT D yang berada di daerah atau Negara lain 3).modus pinjaman kembali, adalah suatu variasi dari kombinasi modus perbankan dan modus usaha. Contohnya : pelaku pencucian uang menyerahkan uang hasil tindak pidana kepada A (orang ketiga), dan A memasukkan sebagian dana tersebut ke bank B dan sebagian dana juga didepositokan ke bank C. Selain itu A meminjam uang ke bank D. Dengan bunga deposito bank C, A kemudian membayar bunga dan pokok pinjamannya dari bank D. Dari segi jumlah memang terdapat kerugian karena harus membayar bunga pinjaman namun uang illegal tersebut telah berubah menjadi uang pinjaman yang bersih dengan dokumen yang lengkap. 4). modus menyerupai MLM. 5).modus under invoicing, yaitu modus untuk memasukkan uang hasil tindak pidana dalam pembelian suatu barang yang nilai jual barang tersebut sebenarnya lebih besar daripada yang dicantumkan dalam faktur. 6).modus over invoicing, merupakan kebalikan dari modus under invoicing. 7).modus over invoicing II, dimana sebenarnya tidak ada barang yang diperjualbelikan, yang ada hanya faktur-faktur yang dijadikan bukti pembelian (penjualan fiktif) sebab penjual dan pembeli sebenarnya adalah pelaku pencucian uang. Sie Infokum – Ditama Binbangkum



14



8).modus pembelian kembali, dimana pelaku menggunakan dana yang telah dicuci untuk membeli sesuatu yang telah dia miliki. c. tipologi IT : 1). modus E-Bisnis, hampir sama dengan modus menyerupai MLM, namun menggunakan sarana internet. 2). modus scanner merupakan tindak pidana pencucian uang dengan predicate crime berupa penipuan dan pemalsuan atas dokumendokumen transaksi keuangan. d. tipologi hitek adalah suatu bentuk kejahatan terorganisir secara skema namun orang-orang kunci tidak saling mengenal, nilai uang relatif tidak besar tetapi bila dikumpulkan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Dikenal dengan nama modus cleaning dimana kejahatan ini biasanya dilakukan dengan menembus sistem data base suatu bank. 8. Pembuktian Terbalik UU Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana (Pasal 35 UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003). Hal ini merupakan salah satu kekhususan tindak pidana pencucian



uang dibandingkan dengan pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimana terdakwa tidak dibebani kewajiban tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66), namun pembuktian terbalik untuk tindak pidana pencucian uang hanya dapat dilakukan oleh terdakwa pada tingkat pengadilan bukan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. 9. Kesulitan Penerapan UU Tindak Pidana Pencucian Uang a. Fungsi PPATK hanya bersifat administratif, yaitu untuk mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK (Pasal 26 huruf a) dan bilamana dari hasil analisis ditemukan transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang maka PPATK baru melaporkan kepada kepolisian dan kejaksaan (Pasal 26 huruf g), atau paling lambat 3(tiga) hari kerja sejak ditemukan adanya petunjuk atas dugaan transaksi keuangan yang mencurigakan, PPATK wajib menyerahkan hasil analisis kepada penyidik untuk ditindaklanjuti (Pasal 31). Selain itu PPATK tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan pemblokiran atas dana yang diduga merupakan hasil tindak pidana. b. Pihak kepolisian dan penuntut umum memiliki kesulitan dalam membuktikan terjadinya tindak pidana pencucian uang karena modusnya yang bervariasi dan biasanya tidak ditemukan adanya cukup alat bukti.