Pendidikan Anti Korupsi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PENDIDIKAN ANTI KORUPSI



DISUSUN OLEH:



NAMA



: BUDI PUTRAWAN



NIM



: 2019F1A021



KELAS



: II/B (DUA/B)



JURUSAN



: ILMU HUKUM



FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM TAHUN 2020/2021



i



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI..............................................................................................................................................2 KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2 BAB I..........................................................................................................................................................3 PENDAHULUAN......................................................................................................................................3 A.



Latar Belakang..............................................................................................................................3



BAB II........................................................................................................................................................6 PEMBAHASAN.........................................................................................................................................6 1.



URGENSINYA PENDIDIKAN ANTI KORUPSI......................................................................6



2.



KETENTUAN HUKUM DAN SAKSI TINDAK PIDANA KORUPSI.....................................9



3.



UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI........................................................17



4.



BUDAYA KORUPSI DI TANAH AIR......................................................................................22



5.



KORUPSI DAN UPAYA PENCEGAHAN................................................................................27



6. PENTINGNYA PENEGAKAN HUKUM DALAM UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI........................................................................................................36 7. HUBUNGAN PENEGAKAN HUKUM DENGAN KEBERHASILAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA...........................................................................47 BAB III.....................................................................................................................................................58 PENUTUP................................................................................................................................................58 A. Kesimpulan.....................................................................................................................................58 DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................59



KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemudahan sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya saya tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga telimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di hari kiamat nanti. Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehatnya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata kuliah “PENDIDIKAN ANTI KORUPSI” Penulis tentunya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang jauh lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada Dosen mata kuliah “PENDIDIKAN ANTI KORUPSI” yang telah membimbing dalam menulis makalah ini. Akhirul kalam. Tsumma Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh.



Mataram, 18 Mei 2020



Penulis



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persoalan korupsi di Indonesia saat ini merupakan persoalan kronis, disamping persoalan Narkoba dan Terorisme. Pendidikan anti korupsi merupakan salah satu pilar dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang sampai dengan saat ini masih menjadi penyakit yang menjangkiti hampir seluruh lini kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dalam strategi pemberantasan korupsi, sekaligus harus ada penegasan mengenai peran dan partisipasi masyarakat dalam memerangi korupsi. Selain melaksanakan fungsi pengawasan, maka masyarakat dapat lebih berperan dan berpartisipasi dalam mensukseskan pemberantasan korupsi, bilamana bisa meningkatkan dan menegefektifkan pemberlakuan sanksi sosial terhadap pelaku korupsi. Masyarakat harus punya semangat melawan praktek korupsi dalam segala bentuknya dan tidak bersikap permisif terhadap pelaku korupsi. Oleh sebab itu sangatlah penting untuk menyoal pendidikan anti korupsi, mengingat sangat besarnya peran dari masyarakat dalam turut serta memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, disamping memang sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan UU nomor 30 Tahun 2002, dan sekaligus menegaskan peran KPK sebagai pilar dalam penegakan hukum guna memberantas tindak pidana korupsi. Pendidikan anti korupsi merupakan salah satu pilar ampuh dalam memerangi bahaya korupsi sejak dini, mengingat korupsi adalah bahaya laten yang bisa merusak tujuan terbentuknya Negara Indonesia yang sejak dahulu digagas oleh para pendiri bangsa kita. Salah satu tujuan negara Indonesia yang mulia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan negara tersebut tercermin dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam alinea ke-4 (empat) yaitu:  hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.



Implementasi pendidikan anti korupsi seyogyanya memang dilakukan sejak dini, mengingat korupsi selain jelas adalah sebuah kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai Extra Ordinary crime atau kejahatan luar biasa karena dampaknya yang sangat besar, korupsi juga sudah menjadi budaya yang disadari ataupun tidak sudah merusak tatanan nilai, terutama nilai moral yang ada dalam masyarakat Indonesia. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana- mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman, korupsi merupakan masalah yang sangat membahayakan bagi masa kini dan masa depan Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dan dilakukan secara sistematis. Perkembangannya terus berkembang dan terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah tindak pidana korupsi yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan Negara Komisi pemberantasan korupsi atau selanjutnya di sebut ( KPK ) sebagai institusi independen yang sangat diharapakan sebagai trigger mechanism atau sebagai lembaga pemicu dan pemberdaya atas skeptisme public atau lembaga pemicu terhadap lemahnya institusi penegak hukum dalam sistem ketatanegaraan yang baru. KPK memiliki sarana dan prasarana hukum dengan tingkat kewenangan sangat luar biasa atau extra ordinary power yang tidak dimiliki oleh institusi lain. karena itu, menjadi wajar apabila masyarakat memiliki harapan yang lebih searah dengan kewenangan yang luar biasa yang dimiliki KPK tersebut. Dengan extra ordinary power yang dimiliki KPK, diharapkan pula, segala bentuk, cara dan aplikasi korupsi dapat dijadikan suatu bagian tatanan pemberantasan korupsi Polemik tentang kekuasaan dan korupsi sudah menjadi pasangan langgeng dalam suatu birokrasi kekuasaan. Korupsi sebagai suatu bentuk extra ordinary crime memberikan suatu akibat yang tidak baik dalam perjalanan suatu negara khususnya dalam pencapaian tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat.



Korupsi di Indonesia telah melibatkan banyak kalangan, baik di pusat maupun di daerah, di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif maupun tokoh masyarakat. BAB II PEMBAHASAN 1. URGENSINYA PENDIDIKAN ANTI KORUPSI Korupsi telah menjadi perhatian semua pihak pada saat ini. Bentuk-bentuk dan perwujudan korupsi jauh lebih banyak daripada kemampuan untuk melukiskannya. Iklim yang diciptakan oleh korupsi menguntungkan bagi tumbuh suburnya berbagai kejahatan.1 Korupsi pun menjadi permasalahan yang sungguh serius dinegeri ini. Kasus korupsi sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Berkembang dengan pesat, meluas dimana–mana, dan terjadi secara sistematis dengan rekayasa yang canggih dan memanfaatkan teknologi modern. Kasus terjadinya korupsi dari hari kehari kian marak. Hampir setiap hari berita tentang korupsi menghiasi berbagai media. Bahkan Korupsi dianggap biasa dan dimaklumi banyak orang sehingga masyarakat sulit membedakan nama perbuatan korup dan mana perbuatan yang tidak korup. Meskipun sudah ada komisi pemberantasan korupsi (KPK) dan beberapa instansi antikorupsi lainnya, faktanya negeri ini menduduki rangking teratas sebagai negara terkorup didunia. Tindak korupsi di negeri ini bisa dikatakan mulai merajalela, bahkan menjadi kebiasaan, dan yang lebih memprihatinkan adalah korupsi dianggap biasa saja atau hal yang sepele. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah terjadinya korupsi, namun tetap saja korupsi menjadi hal yang sering terjadi. Memerangi korupsi bukan cuma menangkapi koruptor. Sejarah mencatat, dari sejumlah kejadian terdahulu, sudah banyak usaha menangkapi dan menjebloskan koruptor ke penjara. Era orde baru, yang berlalu, kerap membentuk lembaga pemberangus korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Komisi Empat pada tahun 1970, Komisi Anti Korupsi pada 1970, Opstib di tahun



1



Syed Hussain Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm.



1977, hingga Tim Pemberantas Korupsi. Nyatanya, penangkapan para koruptor tidak membuat jera yang lain. Koruptor junior terus bermunculan.2 Upaya pemberantasan korupsi semata-mata hanya lewat penuntutan korupsi, padahal yang perlu saat sekarang ini adalah kesadaran setiap orang untuk taat pada undang-undang korupsi.3 Bangsa Indonesia sekarang butuh penerus bangsa yang berakhlak mulia, dalam artian mempunyai sikap dan perilaku yang baik. Kesadaran tersebut membuat pemerintah memutar otak untuk bagaimana menciptakan hal tersebut. Lebih khusus kepada penanaman nilai antikorupsi pada setiap individu putra bangsa. Namun masalahnya adalah Membentuk hal tersebut tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan. Generasi sekarang memang masih mengalaminya (korupsi), tetapi generasi yang akan datang, semoga dikabulkan Tuhan dengan kerja keras semuanya, hanya akan melihat kejahatan korupsi, kemiskinan dan ketimpangan sosial pada deretan diorama di Museum Nasional.4 Harapan segenap bangsa ini adalah dimana korupsi tidak akan terjadi lagi digenerasi berikutnya. Lain sisi, penindakan korupsi sekarang ini belum cukup dan belum mencapai sasaran, hingga pemberantasan korupsi perlu ditambah dengan berbagai upaya di bidang pencegahan dan pendidikan. Menanggapi masalah tersebut beberapa kalangan elemen masyarakat mengungkapkan bahwa ada kekeliruan dalam upaya pemberantasan korupsi oleh pemerintah, karena fokusnya hanya kepada menindak para koruptor. Seperti apa yang dikatakan oleh M. Zaki: “di Indonesia, Pedagogi harapan tersebut, belum sepenuhnya masuk ke dalam lini pendidikan. Negara justru mensibukkan dirinya dengan mengotak-atik mahzab pidana mati dan perampasan aset diruang parlemen. Padahal esensi dari aktivitas



2



Faisal Djabbar (Fungsional Direktorat Pendidikan & Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam http://www.unindra.ac.id, akses 18 November 2014. 3 La Sina, Dampak dan Upaya Pemberantasan serta Pengawasan Korupsi di Indonesia (Jurnal Hukum Pro Justitia, 2008), Vol.26. No.1. 4 M. Fajroel Rahman, “Indonesia: Korupsi harus masuk ke Meseum”, dalam M. Reza S. Zaki. dkk, Negeri Melawan Korupsi (Yogyakarta: Bulaksumur Visual, 2012), hlm. 106.



pemberantasan korupsi adalah melakukan pencegahan agar tidak menimbulkan tindak pidana tersebut.5 Upaya pencegahan budaya korupsi dimasyarakat terlebih dahulu dapat dilakukan dengan mencegah berkembangnya mental korupsi pada anak bangsa Indonesia melalui pendidikan. Semangat antikorupsi yang patut menjadi kajian adalah penanaman pola pikir, sikap, dan perilaku antikorupsi melalui sekolah, karena sekolah adalah proses pembudayaan.6 Sedikit sekali upaya untuk pencegahan korupsi, salah satunya yaitu lewat pendidikan antikorupsi. Menyadari hal tersebut muncul gagasan untuk memasukkan materi antikorupsi kedalam kurikulum pendidikan SD-SMU di Indonesia. Proses pendidikan mestinya bersifat sistematis dan massif. Cara sistematis yang bisa ditempuh adalah dengan melaksanakan pendidikan antikorupsi secara intensif. Pendidikan antikorupsi menjadi sarana sadar untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi. Pendidikan antikorupsi merupakan tindakan untuk mengendalikan dan mengurangi korupsi berupa keseluruhan



upaya



untuk



mendorong generasi mendatang untuk mengembangkan sikap menolak secara tegas terhadap setiap bentuk korupsi. Mentalitas antikorupsi ini akan terwujud jika kita secara sadar membina kemampuan generasi mendatang untuk mampu mengidentifkasi berbagai kelemahan dari sistem nilai yang mereka warisi dan memperbaharui sistem nilai warisan dengan situasi-situasi yang baru. Dalam konteks pendidikan, “memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya” berarti melakukan rangkaian usaha untuk melahirkan generasi yang tidak bersedia menerima dan memaafkan suatu perbuatan korupsi yang terjadi.7 Pendidikan antikorupsi melalui jalur pendidikan lebih efektif, karena pendidikan merupakan proses perubahan sikap mental yang terjadi pada diri seseorang, dan melalui jalur ini lebih tersistem serta mudah terukur, yaitu perubahan perilaku anti korupsi. Perubahan dari sikap membiarkan dan 5



M. Reza S. Zaki, dalam Negeri Melawan Korupsi (Yogyakarta: Bulaksumur Visual, 2012). hlm.



20 6



Lukman Hakim, dalam Model Integrasi Pendidikan Antikorupsi dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Jurnal Pendidikan Agama islam- Ta’lim, 2012), Vol.10. No.2. 7 Sumiarti, Pendidikan Antikorupsi (Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan P3M STAIN Purwokerto INSANIA, 2007), Vol.12. No.2



memaafkan para koruptor ke sikap menolak secara tegas tindakan korupsi, tidak pernah terjadi jika kita tidak secara sadar membina kemampuan generasi



mendatang



untuk memperbaharui



sistem



nilai



yang



diwarisi



(korupsi) sesuai dengan tuntutan yang muncul dalam setiap tahap pernjalanan bangsa. Sekolah



dapat



mengambil



peran strategis



dalam



melaksanakan



pendidikan antikorupsi terutama dalam membudayakan perilaku antikorupsi di kalangan siswa.8 Pendidikan antikorupsi harus diberikan sejak dini dan dimasukkan dalam proses pembelajaran dalam proses pembelajaran mulai dari tingkat pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Hal ini sebagai upaya membentuk perilaku peserta didik yang antikorupsi. Kekhasan



pendidikan antikorupsi



ialah



dapat



menghasilkan



anak



bangsa yang jujur boleh jadi Indonesia akan menjadi bangsa yang teregister sebagai Pendidikan Antikorupsi Sebagai Satuan Pembelajaran Berkarakter dan Humanistik bangsa paling “bersih”. Diharapkan pemerintah dapat membangun kerja sama dengan berbagai pilar utama pendidikan yaitu: sekolah, orang tua, dan masyarakat serta pihak swasta dalam membangun karakter jujur dan membuat bangsa ini sehat secara mental dan moral.9 Inti dari materi pendidikan antikorupsi ini adalah penanaman nilai-nilai luhur yang terdiri dari sembilan nilai yang disebut dengan sembilan nilai antikorupsi. Sembilan nilai tersebut adalah: tanggung jawab, disiplin, jujur, sederhana, mandiri, kerja keras, adil, berani, dan peduli. Beberapa sekolah di Indonesia sebenarnya telah melaksanakan pendidikan antikorupsi dengan cara mengintegrasikannya melalui beberapa mata pelajaran.



2. KETENTUAN HUKUM DAN SAKSI TINDAK PIDANA KORUPSI Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh pemerintah untuk memberikan rasa aman kepada setiap warga negara. 8



Oktavia Adhi Suciptaningsih, Pendidikan Antikorupsi Bagi Siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Gunung Pati (Jurnal Universitas PGRI Semarang, 2014), Vol.4. No.2. 9 Rosida Tiurma Manurung, Pendidikan Antikorupsi Sebagai Satuan Pembelajaran Berkarakter Dan Humanistik (Jurnal Sisioteknologi, 2012), Edisi. 27



Berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), negara bertanggung jawab atas perlindungan Hak Asasi Manusia. Hal ini tercantum dalam Pasal 281 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” Kemudian sebagai dasar perlindungan saksi maupun korban tercantum dalam Pasal 28G Ayat (1) yang berbunyi,”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Perlindungan terhadap saksi dan korban merupakan jaminan hak yang diberikan oleh Negara sehingga memiliki implikasi kewajiban pemerintah dalam melindungi hak saksi dan korban, baik dalam pengatturan substansi hukum juga yang paling penting adalah dalam penerapan norma



yang



telah ditetapkan.



Jaminan hak melalui norma hukum melahirkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang merupakn lex specialis perlindungan saksi dan korban di Indonesia. Peran saksi dan korban sangat sentral didalam menemukan kejelasan fakta hukum sebagai upaya menurunkan indeks kriminalitas (kejahatan), peranan keterangan saksi menjadi sangat penting terutama dalam kejahatan yang dikelompokkan menjadi extraordinary crime dan sebagai salah satu alat bukti sah yang tercantum pada Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia diatur secara khusus melalui lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Perubahannya melalui UndangUndang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Pasal 1 angka 8 tercantum ketentuan sebagai berikut:



 Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan UndangUndang ini. Dari ketentuan diatas peran sentral dipegang oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dimana perlindungan diberikan kewajiban kepada LPSK. Pada Undangundang Nomor 13 Tahun 2016 tidak secara khusus menyebutkan pelapor dengan istilah Whistleblower, tapi yang dimaksud dengan pelapor dalam penjelsan UU ini adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai suatu tindak pidana. Begitu juga dengan perlindungan terhadap justice collaborator, yang dimaksud dengan pelapor tersangka adalah saksi yang juga sebagai tersangka dalam kasus yang sama, sebagaimana konsideran Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 tahun 2006. Jenis saksi ini juga biasa disebut sebagai saksi mahkota, saksi kolaborator, dan kolaborator hukum. Saksipelaku ini memang tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti bersalah, tetapi keterangannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Dalam substansi pengaturan UU No.13 Tahun 2006 pelapor dan saksi pelaku tindak pidana tidak diatur lebih mendalam, hanya disinggung pada Pasal 10, yaitu: Saksi, Korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, itesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya Dalam Perubahan melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 pasal 1 angka 2 dan 4 mencantumkan pengertian saksi pelaku (justice collaboratir) dan pelapor (wistleblower). Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama. 4. Pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi. Selain memuat pengertian juga muncul beberapa substansi pengaturan yang secara khusus memberikan perlindungan terhadap pelapor tindak pidana dan saksi korban dengan tercantumnya pengertian pelapor dan beberapa



substansi pasal yang menjamin hak pelapor dan saksi pelaku yang beritikad baik. Substansi perlindungan tersebut dengan penambahan Pasa 15 ayat (3) sebagai berikut: Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.” 



Hak sebagaimana yang dimaksud pada pasal 5 ayat (2) adalah sebagai bentuk perlindungan hukum. Hak tersebut adalah:



a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; i. dirahasiakan identitasnya; j. mendapat identitas baru; k. mendapat tempat kediaman sementara; l. mendapat tempat kediaman baru; m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n. mendapat nasihat hukum; o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau p. mendapat pendampingan.







Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 juga menambahkan substansi pengaturan lain terhadap pelapor dan saksi pelaku, yaitu sebagai berikut:



Pasal 10 (1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik. (2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”







Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1(satu) pasal, yakni Pasal l0A yang berbunyi sebagai berikut:



Pasal l0A (1) Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan. (2) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya; b. pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau



c. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya. (3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. keringanan penjatuhan pidana; atau b. pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana. (4) Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim. (5) Untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.” Dalam pendekatan sosiologis, bentuk perhatian atau perlindungan yang diberikan oleh Negara melalui aparat penegak hukum kepada para saksi masih sangat minim. Sehingga hal ini menimbulkan phobia masyarakat dalam memberikan keterangan sebagai saksi atau korban. Tidak banyak orang yang bersedia mengambil resiko untuk melaporkan suatu tindak pidana jika dirinya, keluarganya, harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukan. Perlindungan yang ini minim juga menimbulkan keengganan saksi atau korban memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat dan dirasakan sendiri. Selain itu, berbagai bentuk kekerasan, ancaman kekerasan atau intimidasi yang diterima korban menjadi alasan utama yang mempengaruhi psikologi korban maupun saksi kejahatan dalam memberikan kesaksiannya atas suatu perbuatan pidana, bahkan seringkali seorang yang melaporkan suatu perbuatan pidana justru dilaporkan kembali telah melakukan pencemaran nama baik orang yang dilaporkan melakukan kejahatan. Beberapa faktor tersebut berdampak pada



banyak kasus yang tidak tersentuh proses hukum untuk diproses di persidangan, karena tidak adanya satupun saksi, korban dan/atau pelapor yang berani mengungkapkan kesaksiannya, sementara alat bukti yang didapat oleh penyidik sangat kurang memadai, sehingga penyidikpun tidak bisa memproses lebih lanjut suatu perkara pidana. Beberapa hal tersebut pula yang menjadi pertimbangan pembentuk undangundang, hal ini tercermin dalam penjelasan umum UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan: Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan, terutama yang berkenaan dengan Saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya Saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Padahal, adanya Saksi dan Korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Keberadaan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan penegak hukum. Kasuskasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh Saksi dan Korban takut memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak tertentu. Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum. Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu. Berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006 yang kemudian dilakukan penambahan (revisi) beberapa pasal melalui Undang-undang Nomor 31 Tahun



2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan suatu kemajuan hukum yang mampu menutupi kelemahan-kelemahan sistem peradilan pidana Indonesia berkaitan dengan terabaikannya elemen-elemen saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana sebagaimana KUHAP lebih banyak mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa saja untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dengan lebih spesifik (lex specialis) mengatur syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan bagi saksi dan atau korban yang sebelumnya terbagibagi dalam beberapa peraturan, serta mengamanatkan pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga perubahan dan penambahan pengaturan melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menunjukan kemauan yang kuat Negara dalam perlindungan pelapor dan saksi pelaku, hal ini menunjukkan respon positif dari pembentuk undang-undang dalam melihat penegakan hukum pidana terkait perlindungan bagi saksi dan korban. LPSK memiliki peran yang sangat besar dalam mendorong terwujudnya perlindungan hak-hak pelapor maupun saksi pelaku. Dalam mengoptimalkaii tugas dan fungsi LPSK terkait tindak pidana korupsi dapat bersinergi dengan lembaga atau instansi lain, baik dalam upaya perlindungan juga memberikan penyuluhan serta penyadaran hukum kepada masyarakat. Salah satunya adalah bersinergi dengan lembaga kepolisian, hal ini berdasarkan Peraturan KAPOLRI Nomor 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus terhadap Pelapor dan Saksi khusus terhadap pelapor, saksi dan keluarganya meliputi beberapa hal, yaitu: Pertama, perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental. Kedua, perlindungan terhadap harta. Ketiga, perlindungan berupa kerahasiaan dan penyamaran identitas. Keempat, pemberian keterangan tanpa



bertatap muka (konfrontasi) dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksanaan perkara. Sedangkan dalam undang-undang tentang Pemberantasan Korupsi, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundangundangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.10 Kebijakan hukum (legal policy) negara terhadap Pelapor Tindak Pidana Korupsi (whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (justice collaborator) Dalam pembentukan hukum (making law) pertimbangan segala bentuk hukum merupakan pertimbangan nilai-nilai dasar manusia yang telah ada. Berkaitan dengan itu, sesuai yang disampaikan Paton11 bahwa hak merupakan kepentingan induvidu, kepentingan tersebut bukan diciptakan oleh negara karena kepentingan itu telah ada dalam kehidupan bermasyarakat dan negara hanya memilihnya mana yang harus dilindungi. Pandangan ini yang diperkuat oleh Dworkin12 yang mengatakan bahwa hak bukan apa dirumuskan melainkan nilai yang mendasari perumusan itu. Dengan kata lain hak telah ada sebelum ditetapkan oleh undang-undang, yang berarti hak itu bersifat orisinal, Undang-Undang enjamin melalui kepastian hukum sebagai bentuk pengakuan terhadap asas legalitas. 10



Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 11



Dalam Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum, Cet Ke-7. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015, hlm. 151 12 Dalam Peter Mahmud. Ibid. hlm. 154



Pengaturan Perlindungan hak saksi pelapor dan saksi pelaku dalam tindak pidana korupsi, sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, cukup memadai dalam aspek pengaturannya, hal ini dibuktikan melalui perubahan beberapa pengaturan dan lahirnya beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjamin hak saksi pelapor dan saksi pelaku. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menjamin hak saksi pelapor dan saksi pelaku juga beberapa peraturan perundang-undangan lain. Tetapi dalam implementasinya (penegakkan) tidak mampu memberikan yang maksimal, hal ini dapat diukur masih kurangaya pelapor yang berani mengungkapkan kesaksiannya serta persepsi keliru masyarakat yang masih kuat terhadap saksi. Untuk itu perlu menggali permasalahan secara mendalam untuk menemukan solusi yang tepat guna pertimbangan pembentukan hukum baru. Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. 13 Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhankebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa, sekaligus berfungsi sebagai sarana menunjang.



3. UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu Negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab.



13



Ada beberapa upaya penanggulangan korupsi yang



Adam Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm. 15



ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan. Menurut pendapat H. Ismail Susanto, terdapat enam langkah yang harus dilakukan agar korupsi tidak hilang dan tidak dilakukan oleh masyarakat. Didalam sebuah essay-nya yang dimuat di Harian Republika mengatakan bahwa berdasarkan kajian terhadap berbagai sumber, didapatkan sejumlah cara sebagaimana ditunjukkan oleh Syariat Islam. Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan itu sulit berjalan dengan baik apabila gaji mereka tidak mencukupi, karena para birokrat juga manusia biasa. Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan kepada aparatur pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa seseorang memberikan sesuatu kalau tidak ada maksud tertentu. Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi tentu kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya itu melakukan tindakan korupsi. Bisa saja dia mendapatkan kekayaan itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau dengan cara lain yang halal. Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan bisa dilakukan jika para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah Negara bersih dari korupsi. Dengan takwa, seorang pemimpin melakukan tugasnya dangan penuh amanah. Karena dengan taqwa pula ia takut untuk melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah SWT pasti melihat semuanya dan di akhirat nanti pasti akan dimintai pertanggung jawaban. Kelima, hukuman yang setimpal. Pada dasarnya, orang akan takut menerima resiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal bagi para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah, hukuman setimpal atas koruptor membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Keenam, Pengawasan Masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Dari point-point tersebut dapat dieksplisitkan bahwa pemberantasan korupsi harus melibatkan semua pilar masyarakat. Pilar masyarakat adalah manusia (individu), budaya (yaitu berupa persepsi baik pemikiran maupun perasaan kolektif), dan sistem aturan yang



berlaku. Karena itu, korupsi akan lebih efektif diberantas bila pada tiga pilar tersebut dilakukan langkah-langkah yang terpadu. Bahwa ada individu yang memang bejat, ingin kaya secara instant, atau setidaknya dengan harta dengan jalan pintas, itu memang kenyataan di dunia ini. Tapi, individu yang baik sebenarnya banyak. Andaikan di dunia ini lebih banyak yang tidak baik, tentu kehidupan tidak bisa lagi berjalan dengan normal. Orang selalu dalam ketakutan karena tidak ingin ditipu, atau semangat untuk menipu. Kalau sudah begitu tidak ada lagi hubungan dengan manusia, baik berdagang maupun menikah. Jadi kita harus meyakini bahwa sebagian besar individu pada dasarnya adalah baik, karena Allah telah meniupkan sifat-sifat agungnya dalam diri manusia sejak masih didalam rahim. Didalam surat Qs. 15- al hijr; 29, yang artinya, maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-ku, maka tunduk kamu kepadanya dengan bersujud. Dapat disimpulkan bahwa pada awalnya manusia semuanya memiliki sifat yang baik, akan tetapi sebagian orang yang menjadi koruptor itu tentu karena pengaruh eksternal yang telah mengaburkan sifat-sifat baik tersebut. Yang paling utama adalah pendidikan, kedua lingkungan dan ketiga media. Tiga hal ini akan membangun suatu budaya, yakni suatu persepsi kolektif dalam masyarakat, apakah suatu hal itu akan dianggap normal atau tidak. Pada masyarakat yang budaya “uang pelicin” sudah dianggap wajar, maka orang tidak akan lagi peka dan merasa itu adalah korupsi. Demikian juga budaya “titip saudara” agar lolos ujian sekolah atau dapat pekerjaan. Andaikata dua hal ini dicoba pada masyarakat yang memilki persepsi sebaliknya, bahwa uang pelicin itu haram, dan nepotisme itu awal kehancuran, tentu akan terjadi sasuatu yang berbeda. Budaya adalah sesuatu yang dapat dibentuk peran pendidikan sangat besar.



Para guru itulah yang menanamkan nilai-nilai sejak dini. Tentu saja



mereka pula yang berhak memberikan sikap keteladanan yang baik. Kalau sang guru sendiri dulu mendapatkan pekerjaan dengan menggunakan uang pelicin atau lulus ujian guru dengan mencontek, ya susah. Mereka merupakan bagian dari masalah dan bukan merupakan sebuah solusi. Budaya anti korupsi akan menghasilkan individuindividu anti-korupsi, yang akhirnya akan menjadi aktoraktor pencegahan atau pemberantasan korupsi. Pada masyarakat yang sarat



dengan korupsi, tentu saja sulit untuk mendapatkan individu-individu semacam ini. Namun dalam level mikro, seperti pada suatu sekolah, kantor atau suatu organisasi, budaya ini bisa ditumbuhkan melalui pendidikan, keteladanan pemimpin dan lewat kampanya yang massif, misalnya dengan pemasangan posterposter yang akan mengingatkan orang akan dampak mengerikan dari korupsi, atau azab Allah yang dijanjikan pada koruptor. Namun juga strategi individual dan kultural terkadang masih belum cukup juga. Korupsi juga terjadi dengan adanya aturan-aturan main yang salah. Sebagai contoh; aturan biaya mutasi kendaraan yang lumayan tinggi (10% harga kendaraan), membuat sebagian orang enggan untuk melakukan balik nama setelah membeli kendaraan bekas. Hasilnya, di beberapa daerah cukup sulit menemukan mobil dengan nama pemilik sebenarnya pada STNK. Ketika ada PNS untuk datang ke daerah itu dan akan menyewa mobil, yang ada hanyalah mobil seperti itu. Padahal di aturan sewa kendaraan dalam pekerjaan pemerintah, diwajibkan nama pemilik mobil seperti dalam KTP harus sama dalam nama STNK. Lalu solusinya apa? Solusi jangka pendeknya adalah bisa menggunakan fotocopy STNK palsu atau menyuap agar petugas kantor kas Negara dan auditor pura-pura tidak melihat. Cara yang lebih elegan adalah dengan membuat klausul tambahan pada aturan yang formal berlaku, yang kalau tetap dalam bentuk sekarang ini, akan menimbulkan akses yang rumit di lapangan. Perubahan aturan-aturan ini dapat berupa aturan sewanya atau aturan balik nama kendaraannya. Misalnya biayanya diturunkan, agar pemilik kendaraan tertarik untuk balik nama. Contoh lainnya adalah hubungan kerja yang kabur, sehingga tidak jelas apakah seorang direktur BUMN/BUMD itu perlu dibayar tinggi meskipun perusahaan merugi atau dia sebenarnya hanya perlu digaji secukupnya, sedang penghasilan yang tinggi tergantung prestasinya. Dari beberapa contoh diatas adalah contoh untuk merubah aturan dalam mencegah korupsi. Contoh yang lain adalah aturan yang dapat memberantas korupsi setelah terjadi. Perhitungan kekayaan pejabat setelah menjabat untuk dibandingkan dengan sebelumnya adalah salah satu ide yang baik. Kalau ada peningkatan yang tidak wajar dan tidak bisa dijelaskan, harta itu dapat disita untuk Negara, atau yang bersangkutan dipidana.



Caiden



(dalam



Soerjono,



1980)



memberikan



langkah-langkah



untuk



menanggulangi korupsi sebagai berikut : 1. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu. 2. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat. 3. Melakukan



perubahan



organisasi



yang



akan



mempermudah



masalah



pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi. Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan



dalam



pelaksanaan



pengawasan



melekat,



dengan



tidak



lupa



meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya. Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penanggulangan korupsi yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan Pengamanan termasuk Polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula. Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinjau dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical problems), juga



harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya korupsi. Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut : 1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial dengan bersifat acuh tak acuh. 2. Menanamkan aspirasi Nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan Nasional. 3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi. 4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi. 5.



Reorganisasi



dan



rasionalisasi



dari



organisasi



pemerintah,



melalui



penyederhanaan jumlah Kementerian beserta jawatan dibawahnya 6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”. 7. Adanya kebutuhan Pegawai Negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah. 8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur 9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien. 10.Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.



4. BUDAYA KORUPSI DI TANAH AIR Praktik korupsi begitu masif terjadi di Indonesia. Tidak hanya terjadi pada lembaga-lembaga eksekutif, melainkan juga terjadi dalam lembaga legislatif dan yudikatif. Korupsi yang semula hanya terjadi pada kalangan birokrasi, sekarang ini lingkaran setan korupsi politik juga melibatkan partai politik, politisi, kroni



bisnis, hingga aparat penegak hukum. Belum selesai kasus Irjen Polisi Joko Susilo yang begitu mencengangkan publik, kini publik kembali dikagetkan dengan kasus yang menjerat Akil Mochtar, ketua Mahkamah Konstitusi. Cukup mengagetkan, karena sebagai penegak hukum, bahkan figur penting dalam menjaga koridor konstitusi di negara Indonesia, Akil Mochtar justru sedang menghadapi kasus suap yang kian membuat redupnya wibawa hukum dan pemerintahan. Tanda korupsi yang melanda berbagai institusi penegak hukum memberikan sinyal kuat betapa mentalitas korup dimiliki oleh setiap orang yang memiliki kekuasaan di dalamnya. Kekuasaan dalam konteks ini adalah kekuasaan kewenangan dalam bidang apapun terkait dengan pelayanan publik. Berbagai fakta korupsi tersebut sesungguhnya menjadi suatu bukti bahwa korupsi berpotensi dilakukan oleh siapa saja, bahwa yang seharusnya menjadi penjaga gawang bagi diberlakukannya birokrasi yang anti korupsi pun hingga para penegah hukum. Hal ini menunjukkan betapa korupsi tidak saja menjadi persoalan hukum, melainkan juga merupakan persoalan mentalitas kebudayaan. Artinya, orang yang sangat mengerti dan paham tentang hukum pun dapat terjerat kasus korupsi, apalagi yang lain. Jika demikian, korupsi bukanlah sekedar persoalan hukum dan hanya bisa didekati dari aspek hukum semata, melainkan juga aspek lain yang melingkupinya. Aspek hukum hanyalah melihat korupsi sebagai problem yuridis semata dengan melihat perilaku dari sudut pandang hukum. Bahwa korupsi merupakan kasus hukum memang tidak bisa dipungkiri, tapi semata



melihat



korupsi



hanya



dalam



perspektif



hukum



semata



jelas



menyederhanakan persoalan. Dalam banyak hal, aspek hukum lebih banyak menyentuh pada aspek material atau fakta hukum terjadinya korupsi. Perspektif hukum lebih melihat korupsi sebagai fakta hukum, sehingga ia hanya bisa didekati melalui bukti adanya fakta material pelanggaran hukum. Seringkali tidak tersentuh adalah bahwa latar sosial budaya mengapa korupsi begitu mudah terjadi serta bagaimana korupsi sulit dicegah sebagai sebuah perilaku. Perspektif kebudayaan mencoba meletakkan korupsi sebagai problem mentalitas yang memberikan peluang terjadinya korupsi sekaligus kecenderungan membiarkan korupsi selalu terjadi dalam lingkungan pekerjaan. Menurut Bambang Widjajanto (dalam Hartiningsih 2011:344) mengatakan bahwa sikap



dan perilaku masyarakat dan penyelenggaraan Negara seringkali membentuk kebiasaan, tradisi, dan bahkan kebudayaan secara faktual dan potensial dapat menumbuhkan sikap permisif terhadap tindakan yang bersifat nepolitistik, kolutif, dan koruptif. Onghokham dalam Mochtar Lubis dan James C. Scot (1985:115-116) mengatakan bahwa korupsi adalah satu gejala sosial dan politik dalam sejarah dan masa kini. Dalam tulisan tersebut Onghokham mengungkapkan tentang sumbersumber tradisional dari gejala korupsi di Indonesia yang bermula dari ketika adanya pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan publik. Pada masa kerajaan, korupsi memang tidak dikenal, karena saat itu belum ada pemisahan secara jelas antara kepemilikan private dengan kepemilikan publik. Raja sebagai pemimpin tradisional kerajaan menganggap bahwa keseluruhan sumberdaya dalam wilayahnya adalah milik raja sebagai pribadi. Semua penghasilan kerajaan menjadi bagian dari kepemilikan pribadi. Menurut Ongkhokham (1985) selanjutnya, korupsi baru dikenal ketika sistem pemerintahan modern mulai dikenal, justru ketika kolonialisme Belanda mulai memisahkan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum. Dalam sistem tersebut, sudah mulai dikenal istilah pejabat sebagai orang yang diberi wewenang (otoritas/kekuasaan), karena dipercaya umum, dan penyalahgunaan darinya adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan umum yang diberikan kepadanya. Korupsi kemudian menjadi istilah yang menyertainya. Korupsi muncul dari penyalahgunaan kewenangan (abuse power) yang berakibat pada kerugian kepentingan umum atau negara. Korupsi dalam konteks ini berupa penyelewengan kepentingan umum demi kepentingan pribadi yang dapat berupa penyelewengan keuangan negara, pemerasan atau pungutan liar, suap, hingga menarik keuntungan dari kewenangan. Pengaruh kehidupan feodalistik-patrimonial yang melembaga cukup lama dalam kenyataannya tidak bisa hilang dalam masyarakat Indonesia. Tata kelola kewenangan kekuasaan dengan prinsip kerja modern pun tak mampu menggeser sifat patrimonial di dalamnya. Wajah modernitas birokrasi dengan langgam tradisional begitu kukuh dalam pengelolaan kewenangan. Tidak heran jika



mengapa isu Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah trending topic yang tidak pernah selesai dan selalu muncul ke permukaan dalam berbagai peristiwa penyelewengan kekuasaan. Sebagai bangsa dengan kultur patrimonial (baca juga: paternalistik) yang kuat, unsur-unsur kekerabatan hampir tidak pernah bisa dilepaskan dalam hampir semua pengelolaan kekuasaan. Yang menarik adalah bahwa sistem kekerabatan di Indonesia tidaklah bersifat tunggal, melainkan ia bisa saja melibatkan keluarga „batih‟ atau keluarga besar yang tidak melulu berarti ayah-ibu dan anak. Prinsip “keluarga batih” itu mengartikan bahwa hubungan kekerabatan itu bisa dirunut secara geneologis dalam konsep „trah‟ (dalam tradisi Jawa), yakni sebuah hubungan darah meskipun tidak harus sekandung. Dalam prinsip kekerabatan yang demikian maka logika birokrasi modern pun seringkali tidak kuasa mengubah watak birokrat untuk mengarusutamakan kepentingan keluarga daripada kepentingan publik. Watak birokrasi yang patrimonial memiliki kecenderungan menyalahgunakan kewenangan demi keuntungan pribadi maupun kekerabatannya. Hal ini bisa ditandai dengan berbagai kasus KKN yang melanda birokrasi kita sejak jaman dulu hingga sekarang. Dalam konteks kekinian, watak birokrasi yang masih bersifat tradisional meskipun sistem yang digunakan sudah modern masih saja ditemukan. Kompas (5 Desember 2012) melansir temuan institusi maupun perorangan yang mengkorupsi uang negara sepanjang 2004 sampai 2012. Temuan ini memberikan suatu isyarat bahwa unsur birokrat masih menduduki peringkat pertama dalam kasus korupsi. Birokrat dianggap sebagai orang yang memiliki kewenangan



mengelola



kekuasaan.



Kewenangan



pengelolaan



kekuasaan



sesungguhnya sudah diatur sedemikian rupa melalui berbagai aturan tata kelola pemerintahan, yang seharusnya tidak memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Namun demikian, mengapa kasus korupsi tetap saja melibatkan unsur-unsur birokrasi? Realitas ini tentu saja menarik untuk ditelusuri dan diungkapkan secara komprehensif. Dalam sistem budaya patrimonial dengan sifat kekerabatan kental yang membangun suatu budaya patron (atasan-majikan) dan client (bawahan-pesuruh).



Dalam konsepsi yang demikian, elit birokrat akan berposisi sebagai patron dan karyawan di bawahnya adalah clien. Bahkan dalam sistem kekerabatan yang kental, seorang elit birokrasi yang dapat membawa serta keluarga batihnya dalam gerbong briokrasinya akan berposisi sebagai patron (atasan) dan lainnya adalah bawahan. Mekanisme kerja pun tidak ubahnya seperti majikan dan buruh. Patronclient melahirkan mekanisme kerja „balas budi‟, karena patron sudah dianggap sebagai atasan yang pernah memberikan budi baik kepada bawahan. Tingginya tingkat korupsi yang dilakukan oleh birokrasi membuat negara ini seringkali disebut sebagai negara kleptokrasi. Kleptokrasi berhubungan dengan suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan begitu seriusnya tingkat korupsi suatu negara. Gejala kleptokrasi biasanya ditandai dengan keinginan kuat pengelola negara memperoleh keuntungan melalui korupsi sebagai tujuan organisasi, kepentingan negara dan kepentingan penguasa menjadi kabur batasnya. Kleptokrasi merupakan suatu bentuk korupsi tingkat tinggi (heavy corruption). Istilah ini berasal dari istilah penyakit kleptomania yang berarti kebiasaan mencuri dari seseorang yang tidak dilakukan untuk pencaharian. Suatu istilah terkait dengan penyakit psikologis seseorang untuk memiliki barang melalui pencurian. Menurut Muhammad Mustofa (2010:vii) ketika korupsi di Indonesia begitu serius, apalagi jika dilakukan oleh birokrasi, maka dapat dikatakan bahwa kleptokrasi merupakan ciri korupsi di Indonesia. Dengan ciri kleptokrasi, maka tindakan korupsi menjadi budaya atau dipandang secara lumrah saja oleh sebagian orang. Oleh karenanya, menjadi wajar jika korupsi kemudian sulit diberantas atau dicegah. Ciri suatu negara kleptokrasi seolah lekat dalam kondisi pengelolaan kenegaraan kita, yakni dengan tingginya korupsi di kalangan birokrasi. Ciri lainnya adalah terjadinya persekongkolan antara penguasa dengan pengusaha dalam tindakan korupsi. Persekongkolan birokrat dengan korporat tersebut terutama dalam rangka memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang merugikan



negara.



Negara



dalam



tipologi



demikian



umumnya



lebih



mengandalkan pembiayaan negara pada sumber daya alam yang dieksploitasi secara tidak terkendali, yang orientasinya lebih memakmurkan birokrat yang korup dan korporasi mitranya daripada kemakmuran rakyatnya (Muhammad



Mustofa 2010: viii). Persekongkolan penguasa dengan pengusaha memang memberikan peluang bagi selalu terjadinya perilaku koruptif. Persekongkolan ini jelas merupakan kerjasama „jahat‟ karena merugikan keuangan negara. Hubungan antara birokrat dengan korporat lazimnya disebut sebagai „perselingkuhan‟, yakni sebuah hubungan tidak normal dari dua hal yang tidak sama. Karena logika korporat adalah logika keuntungan, sedangkan logika birokrat adalah logika kepentingan pengabdian pada publik. Ketika birokrasi dan korporat menjalin hubungan tidak normal, maka logika pengabdian pada pelayanan publik seringkali terkalahkan dari orientasi mendapatkan keuntungan pribadi. Perspektif inilah yang kemudian menguatkan suatu tesis bahwa penguasa (birokrat) dengan pengusaha (korporat) haruslah dua kekuatan yang harus dipisahkan. Bersatunya dua kekuatan tersebut menjadikan negara mudah dikendalikan oleh kekuatan birokratik dengan langgam korporasi yang bukan untuk menguntungkan negara, melainkan menguntungkan formasi kekuasaan politiknya. Teori klasik dari kalangan Marxis (Suseno 1996) menunjukkan suatu kecenderungan kuat perilaku koruptif mudah terjadi bagi penguasa yang dikuasai oleh pengusaha, apalagi ketika penguasa sekaligus dengan sendirinya adalah pengusaha. Naluri dasar manusia biasanya mudah tergoda dengan simbol-simbol material, termasuk di dalamnya adalah naluri penguasa. Itulah sebabnya, mengapa kekuasaan dalam berbagai bentuk pemerintahan, selalu dibatasi agar tidak menjadi absolut dan tidak terkendali. Itulah sebabnya, sifat birokrasi yang paternalistik telah memberikan peluang terjadinya politik patronclient yang mendorong terjadinya tindakan korupsi secara sistemik, melibatkan banyak orang. Seorang pejabat menjadi patron bagi setiap orang yang ada dibawah koordinasinya, yang lain adalah client yang harus menuruti kemauan dari patron. Korupsi menjadi sistemik karena melibatkan setiap unsur dalam bidang-bidangnya. Beberapa kasus korupsi yang banyak ditangani menunjukkan modus operandi adanya ketidakmampuan bawahan (staf) menolak perintah atasan (elit birokrasi) dalam memanipulasi data atau laporan pertanggungjawaban kegiatan atau staf dan atasan bekerjasama membuat laporan kegiatan fiktif agar mendapatkan keuntungan dari pengelolaan



kewenangan. Menjadi wajar jika tender proyek selalu dimenangkan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki kedekatan dengan birokrasi. Birokrasi justru hanya menjadi peluang bagi terjadinya prakti korupsi dan nepotisme. Kultur patrimonial atau paternalistik dalam bahasa yang berbeda cenderung menempatkan kekuasaan sebagai sarana menguntungkan kepentingan sendiri dan keluarga. Dalam sistem birokrasi yang berwatak paternalistik tersebut memiliki kecenderungan untuk menjadikan sistem kekerabatan sebagai bagian yang harus menerima keuntungan dari kekuasaan yang dimilikinya.



5. KORUPSI DAN UPAYA PENCEGAHAN 



Akibat Serius dari Tindak Pidana Korupsi



Tindak pidana korupsi merupakan istilah yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Pada prinsipnya pengertian yuridis tentang tindak pidana korupsi tertuang sebagaimana ditegaskan Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikatakan bahwa, korupsi adalah : Pasal 2 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Pasal 3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pada Pasal 2 Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat beberapa unsur penting yaitu: (1) Setiap Orang; (2) Melawan Hukum; (3) Memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi; (4) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara Setiap orang adalah perseorangan termasuk koorporasi (Pasal 1 angka 3 Undangundang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), setiap orang juga dapat berkenaan dengan jabatan atau pegawai negeri. Perihal pegawai negeri ini banyak yang



keliru memahaminya, seolah-olah pegawai negeri hanya mereka yang dimaksud dalam undang-undang tentang kepegawaian, padahal pegawai negeri itu cakupannya begitu luas, hal mana ditegasskan dalam Pasal 1 angka dua Undangundang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang merumuskan: Pegawai Negeri adalah meliputi: a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang kepegawaian; b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Mengenai pegawai negeri, sebagaimana yang disebutkan dalam huruf b di atas, Pasal 92 KUHP merumuskan: “Yang disebut pejabat/pegawai negeri, termasuk juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga orang-orang yang, bukan pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk undangundang badan pemerintahan, badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh Pemeritah atau atas nama Pemerintah; begitu juga semua anggota dewan waterschap, dan semua kepala rakyat Indonesia asli dan kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan yang sah.” Mengenai Unsur “melawan hukum” yang terdapat dalam pengertian yuridis di atas menurut Andi Hamzah dapat diartikan tanpa hak menikmati hasil korupsi”, 14 sedangkan “memperkaya diri sendiri” menurut Sudarto adalah berbuat apa saja, 14



Evi Hartanti, 2005, hlm. 17, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.



sehingga pembuat bertambah kaya, misalnya pemindahbukuan, penandatanganan kontrak dan sebagainya.15 Khusus mengenai sifat melawan hukum, dalam literatur ilmu hukum pidana paling tidak terdapat 2 (dua) hal yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiel. Sifat melawan hukum formil menurut D.Schaffmeister adalah semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah terpenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana), 16 dan menurutnya bahwa sifat melawan hukum formil terjadi karena memenuhi rumusan delik dari undang-undang. Sifat melawan hukum merupakan sarat untuk dapat dipidananya perbuatan bersumber pada asas legalitas,17 yang menurut Dupont Het legaliteitsbeginsel is een van de meest fundamentele beginselen van het strafrecht (asas legalitas adalah suatu asas yang paling penting dalam hukum pidana). 18 Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum dapatlah dikatakan sebagai sebuah kejahatan, dan tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang memiliki dampak yang luar biasa. Sebagai sebuah kejahatan yang dampaknya sangat luar biasa, dan dampak Korupsi dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan rakyat. maka Robert Klitgaard merinci beberapa hal akibat korupsi di antaranya :19 a. Suap menyebabkan dana untuk pembangunan rumah murah jatuh ke tangan yang tidak berhak. b. Komisi untuk para penanggung jawab pengadaan barang dan jasa bagi pemerintah daerah berarti bahwa kontrak jatuh ke tangan perusahaan yang tidak memenuhi syarat. c. Kepolisian sering kali karena telah disuap pura-pura tidak tahu bila ada tindak pidana yang seharusnya diusutnya. 15



Ibid. hlm. 19 D.Schaffmeister, et.al (diterjemahkan oleh J.E.Sahetapy), 1995, hlm. 39, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta. 17 Ibid. hlm.40 18 Komariah Emong Sapardjaja, Alumni, 2002, hlm. 6, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, Bandung 19 Robert Klitgaard, 2005, hlm. 1-2, Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah, (alih bahasa oleh Masri Maris), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 16



d. Pegawai pemerintah daerah menggunakan sarana masyarakat untuk kepentingan pribadi. e. Untuk mendapatkan surat izin dan lisensi, warga masyarakat harus memberi uang pelicin kepada petugas bahkan kadang-kadang harus memberi suap agar surat izin atau lisensi bisa terbit. f. Dengan memberi suap, warga masyarakat bisa berbuat sekehendak hati melanggar peraturan keselamatan kerja, peraturan kesehatan, atau peraturan lainnya sehingga menimbulkan bahaya bagi anggota masyarakat selebihnya. g. Layanan pemerintah daerah diberikan hanya bila warga telah membayar sejumlah uang tambahan di luar biaya yang resmi. h. Keputusan mengenai peruntukan lahan dalam kota sering dipengaruhi oleh korupsi. i. Petugas pajak memeras warga, atau lebih bersekongkol dengan wajib pajak, memberikan keringanan pajak pada wajib pajak dengan imbalan suap. Sebagai suatu penyakit, korupsi pada hakikatnya tidak saja membahayakan keuangan negara, Frans Magnis Suseno menjelaskan bahwa praktik korupsi di Indonesia telah sampai pada yang paling membahayakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.20 Pendapat Frans Magnis Suseno tersebut tentu didasari oleh kondisi perekonomian negara selalu berada dalam posisi yang kurang baik bagi perjalanan pembangunan di Indonesia, tetapi dalam perjalanannya kemudian lebih dari itu yaitu membahayakan dan merusak perekonomian masyarakat. Adnan Buyung Nasution menilai bahwa perbuatan dan dampak korupsi harus dilihat dari aspek yang lebih jauh, karena korupsi telah sedemikian mengganggu hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.21 bahkan Tim Kerja Komisi Nasional Hak asasi manusia mencatat di tahun 2006 terdapat persoalan-persoalan mendasar bagi terhambatnya



20



R. Diyatmiko Soemodihardjo, 2008, hlm. 3, Mencegah dan Memberantas Korupsi, Mencermati Dinamikanya di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta 21 Adnan Buyung Nasution, 2004, hlm. 413., Pergulatan Tanpa Henti, Pahit Getir Merintis Demokrasi, Aksara Karunia, Jakarta.



pemenuhan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia dan menempatkan korupsi sebagai faktor utama terhambatnya perlindungan tersebut.22 Demikian akutnya korupsi di Indonesia, sehingga Azhar menyatakan bahwa korupsi merupakan penyakit sosial yang bersifat universal dan telah terjadi semenjak awal perjalanan manusia.23 Dampak yang demikian luas pada dasarnya akan menjadi ancaman yang sangat serius bagi kelangsungan bangsa dan negara, bahkan Romli Atmasasmita menyatakan bahwa masalah korupsi sudah merupakan ancaman yang bersifat serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat nasional dan internasional.24 Sehingga terdapat kepincangan pada bagian pendapatan yang diterima oleh berbagai golongan masyarakat yang disebut sebagai relatif inequality atau terdapat tingkat kemiskinan yang absolut (absolut poverty).25 Kondisi yang demikian tentu yang sangat dirugikan adalah rakyat dalam tataran akar rumput, yang seharusnya mendapat jaminan kesejahteraan sesuai dengan jaminan yang dituangkan dalam konstitusi. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Jadi dengan demikian, secara konstitusional kesejahteraan rakyat merupakan hak asasi manusia yang harus diwujudkan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara, salah satu upayanya adalah pemanfaatan sumber daya alam yang ada, yang dalam pemanfaatannya adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.26 Sebagai negara yang kaya raya dengan segala sumber daya alam yang melimpah tidak sepantasnya rakyat Indonesia hidup dalam gelimang kemiskinan dan kesengsaraan dengan ragam kesedihan, dari mulai gizi buruk sampai 22



Amidhan, Catatan Akhir Tahun 2006, hlm. 6, Tentang Pelindungan dan Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Komnas HAM, Jakarta 23 Azhar, 2009, hlm. 160. Peranan Biro Anti Korupsi dalam Mencegah Terjadinya Korupsi di Brunei Darusalam, Jurnal Litigasi Volume 10, , FH. Unpas, Bandung 24 Romli Atmasasmita, 2005, hlm. 1, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, , Kencana, Jakarta 25 Romli Atmasasmita, 1995, hlm. 50, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Bandung 26 Ridwan, 2009,”Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Melalui Pendekatan Ekonomi Kerakyatan di Kabupaten Serang” Majalah Dinamika, Vol.34 No.4, hlm. 32



persoalan ketidakmampuan memenuhi hajat hidup yang layak dan kesehatan yang cukup memadai. Korupsi merupakan kejahatan yang secara kualitas maupun kuantitasnya luar biasa dan dapat merongrong kepentingan perekonomian rakyat secara signifikan, Ronny Rahman Nitibaskara menyatakan bahwa tindak pidana korupsi di masyarakat kita sudah menjadi endemik yang sulit diatasi. Tindak pidana korupsi bukan merupakan kejahatan luar biasa, hanya kualitas dan kuantitas perkembangbiakannya yang luar biasa.27 Senada dengan apa yang dikatakan Ronny Rahman Nitibaskara tersebut, menurut Hendarman Supandji Tindak Pidana Korupsi telah membawa dampak yang luar biasa terhadap kuantitas dan kualitas tindak pidana lainnya. semakin besarnya jurang perbedaan antara “si kaya” dan “si miskin” telah memicu meningkatnya jumlah dan modus kejahatan yang terjadi di masyarakat.28 Tingkat perkembangan korupsi yang demikian luar biasa menurut Yudi Kristiana disebabkan oleh penanganan korupsi belum sesuai dengan harapan publik.29 Berbanding terbaliknya penanganan korupsi di Indonesia Dengan harapan publik tersebut ditunjukkan oleh Asep Rahmat Fajar dengan memberikan bukti empirik bahwa “akhir-akhir ini salah satu lembaga penegakan hukum di Indonesia yang kembali mendapat sorotan tajam adalah lembaga kejaksaan. Terlebih lagi dengan adanya beberapa kasus yang secara nyata (sedang diproses oleh KPK) telah menunjukkan bahwa oknum jaksa melakukan proses jual beli perkara atau menerima suap dari pihak yang berperkara”.30 Di sini berlaku istilah “het recht hinkt achter de feiten” (hukum itu berjalan tertatihtatih mengikuti kenyataan).31 Salah satu hal yang menyebabkan tertatih-tatihnya hukum mengikuti kenyataan itu terjadi adalah masih adanya anggapan dari para ahli hukum bahwa 27



Ronny Rahman Nitibaskara, , 2005, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, , Kompas, hlm. 5,



Jakarta 28



Hendarman Supandji, 2009,"Peningkatan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dalam Pelaksanaan Tugas Kejaksaan”, Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum di Undip Semarang 29 Yudi Kristina, tanggal 29 Nopember 2008, “Pendekatan Kritis Terhadap Realitas Kinerja Kejaksaan”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional tentang “Strategi Peningkatan Kinerja Kejaksaan Republik Indonesia di Undip, hlm. 1, Semarang 30 Asep Rahmat Fajar, tanggal 29 Nopember 2008, ”Pembaharuan Kejaksaan : tentang “Strategi Peningkatan Kinerja Kejaksaan Republik Indonesia di Undip, hlm.6, Semarang. 31 Satjipto Rahardjo, 2004, Ilmu Hukum, Muhammadiyah Unversity Press, hlm. 4, Surakarta.



hukum sebagai sesuatu yang telah tersedia yang tinggal mempergunakan saja,mereka menyamakan hukum dengan undang-undang. Menurut mereka hukum adalah apa yang diatur oleh undang-undang. 32 Pendirian ini kemudian menganggap perubahan atas undang-undang adalah tidak penting yang kemudian menempatkan keadilan jauh dari masyarakat . Padahal menurut Sutiksno keadilan itu harus bersifat sosial.33 Eratnya pengaruh kondisi sosial terhadap hukum juga digambarkan oleh Unger bergantinya tatanan sosial akan menimbulkan tatanan hukum yang baru pula,34



di mana perubahan dalam dasar-dasar masyarakat



mengubah pula dasar-dasar nilai hukum,35 di mana dasar-dasar nilai hukum ini menurut Radbruch adalah keadilan, kegunaan (kemanfaatan) dan kepastian hukum.36 Guna menciptakan hukum yang berkeadilan dan memiliki kemanfaatan bagi seluruh rakyat, dan tidak hanya melandaskan pada kepastian hukum yang bersifat formil, maka perlu ditelusuri secara lebih seksama mengenai apa itu korupsi baik dalam tataran etimologis maupun tataran yuridis, dan bagaimana korupsi begitu cepat bergerak dalam aspek kehidupan masyarakat. 



Pentingnya Peran Serta Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi



Melihat dampak korupsi yang demikian dahsyat, dan sangat merugikan masyarakat, maka diperlukan sebuah keseriusan dalam penegakan hukum guna pemebrantasan tindak pidana korupsi. Berkaitan dengan penegakan hukum Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa Penegakan hokum adalah menegakkan nilainilai kebenaran dan keadilan.37di sini berati bahwa penegak hukum dipercaya oleh masyarakat untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang terkandung di dalam hukum. Namun demikian dalam penegakan hukum itu terdapat sisi yang penting yaitu peran serta masyarakat, yang kemudian disebut sebagai kontrol sosial. 32



Sutiksno, 2002, Filsafat Hukum (bagian1), Pradnya Paramita, hlm. 2, Jakarta, Sutiksno, 2003, Filsafat Hukum (bagian1), Pradnya Paramita, hlm. 60, Jakarta 34 Satjipto Rahardjo, 2009, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia, Genta Publishing, , hlm. 83, Yogyakarta 35 Sutiksno, op.cit. hlm. 19. 36 Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum (cetakan keenam), Citra Aditya Bakti, hlm. 19, Bandung. 37 Barda Nawawi Arief, , 2008, Masalah Penegakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, hlm. 23, Jakarta 33



Korupsi yang dilakukan dengan penggunaan kekuasaan pada intinya dilakukan karena lemahnya kontrol sosial, atau lingkungan sosial yang membentuknya demikian,38terutama lingkungan yang ada dalam kekuasaan yang sudah dihinggapi oleh tanggung jawab yang hilang. Jadi tak berlebihan jika James C. Scoot memiliki pendirian bahwa korupsi meliputi penyimpangan tingkah laku standar, yaitu melanggar atau bertentangan dengan hukum untuk memperkaya diri sendiri,39 oleh karenanya diperlukan kontrol sosial. Kontrol sosial menurut Ronny Hanitijo Soemitro, merupakan aspek normatif dari kehidupan sosial atau dapat disebut sebagai pemberi definisi dan tingkah laku yang menyimpang serta akibatakibatnya, seperti larangan-larangan, tuntutan-tuntutan, pemidanaan dan pemberian ganti rugi.40 bahkan menurutnya tingkah laku yang menyimpang tergantung pada kontrol sosial. Ini berarti, kontrol sosial menentukan tingkah laku bagaimana yang merupakan tingkah laku yang menyimpang. Makin tergantung tingkah laku itu pada kontrol sosial, maka semakin berat nilai penyimpangan pelakunya.41 jadi tindakan menyimpang tidak dibenarkan karena masyarakat secara umum merasa tindakan-tindakan tersebut tidak dapat diterima.42 Sikap penolakan masyarakat terhadap perilaku menyimpang tersebut dapat dikualifisir sebagai kejahatan, di mana kejahatan tersebut merupakan hal yang tercela bagi masyarakat. Oleh karena itu, menurut Emile Durkheim, kejahatan merupakan tindakan yang tidak disepakati secara umum oleh anggota masingmasing masyarakat. Suatu tindakan bersifat kejahatan ketika tindakan tersebut melanggar kesadaran bersama yang kuat dan terdefinisi. 43 Jadi dengan demikian menurut Emile Durkheim kejahatan merupakan hal yang disepakati oleh masyarakat sebagai sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Secara tegas Reiss 38



Topo Santoso dan Eva Achzani Zulfa, 2003, yang menyebutkan bahwa teori kontrol sosial mendasarkan asumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Kriminologi, RadjaGrafindo Persada, hlm. 58, Jakarta 39 Azhar, op.cit. hlm.161. 31, Ahmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indinesia, Bogor. 40 Ibid 41 Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Refika Aditama, hlm. 24. Bandung. 42 Ibid 43 Ibid



mendefinisikan kontrol sosial sebagai kemampuan kelompok sosial atau lembagalembaga di masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan menjadi efektif.44 Berkenaan dengan kontrol sosial tersebut Soerjono Soekanto, menjelaskan bahwa, kontrol sosial adalah segala sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan



dan nilai-nilai



kehidupan masyarakat



yang



bersangkutan.45 Menurut Satjipto Rahardjo sendiri bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat, kontrol sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang diorganisasi secara politik, melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya.46 Bahkan di Malaysia, kontrol sosial tidak hanya dilakukan oleh lembaga yang dibentuk secara resmi oleh pemerintah, tetapi juga melibatkan seluruh elemen masyarakat, hal tersebut di sampaikan oleh Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi, bahwa di Malaysia setiap warga harus menjadi pemantau atas korupsi di pemerintahan.47 Hal tersebut menjadi wajar, karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan sosial dan yang paling dirugikan adalah masyarakat. Jadi agar tidak terjadi



ketidaktertiban



sosial



diperlukan



adanya



aturan



dalam



rangka



menanggulangi tindakan dan akibat jahat dari tindakan korupsi, yang pada hakikatnya dapat merusak kehidupan sosial, dan peraturan tersebut harus sesuai dengan aspirasi masyarakat pada umumnya. Agar kontrol sosial terlembagakan dalam sistem perundang-undangan dan sebagai bentuk penyerapan aspirasi masyarakat, maka Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang 44



Romli Atmasasmita, 2005, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, hlm. 43,Bandung. 45 Satjipto Rahardjo, 2009,Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Genta Publishing, hlm. 119. Yogyakarta 46 Ibid 47 Kamri Ahmad, “Membangun Visi Baru Pemberantasan Korupsi dengan Progresif” Jurnal Progresif, Vol.1 No.2 hlm.131.



diubah oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, telah merumuskan mengenai peran serta masyarakat, hal mana ditegaskan dalam :



Pasal 41 1. Masyarakat dapat berpran serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. 2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk: a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi; b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. e. hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal: a) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.b,dan c;



b) diminta hadir dalam



proses penyelidikan, penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku; 3. Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.



4. Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundangundangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya. 5. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 42 (1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa



membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan



tindak pidana korupsi. (2) Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sebagai amanat Pasal 41 Ayat (5) dan Pasal 42 ayat (2) sebagaimana diuraikan di atas, maka pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara, di mana dalam Pasal 7 ditegaskan bahwa : setiap orang, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, yang telah berjasa dalam usaha pencegahan atau pemberantasan tindak pidana korupsi, berhak mendapat penghargaan. Bentuk penghargaan ini berupa piagam dan premi yang besarnya 2 per mil dari kekayaan Negara yang dikembalikan.48



6. PENTINGNYA



PENEGAKAN



HUKUM



DALAM



UPAYA



PEMBERANTASAN KORUPSI Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus , yang selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Belanda, yaitu 48



Ronny Rahman Nitibaskara, op.cit. hlm. 10



corruptive (korruptie), dapat atau patut diduga bahwa istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”, yang mengandung arti perbuatan korup, penyuapan. (Ermansjah Djaja, 2010 : 23) Adapun penyebab terjadinya korupsi di Indonesia menurut Abdullah Hehamahua, berdasarkan kajian dan pengalaman setidaknya ada delapan penyebab, yaitu sebagai berikut: a. Sistem Penyelenggaraan Negara yang Keliru Sebagai Negara yang baru merdeka atau Negara yang baru berkembang, seharusnya prioritas pembangunan di bidang pendidikan. Tetapi selama puluhan tahun, mulai dari orde lama, orde baru sampai orde reformasi ini, pembangunan difokuskan pada bidang ekonomi. Padahal setiap Negara yang baru merdeka, terbatas dalam memiliki SDM, uang, manajemen, dan teknologi. Konsekuensinya, semuanya didatangkan dari luar negeri yang pada gilirannya, menghasilkan penyebab korupsi yang kedua, yaitu : b. Kompensasi PNS yang Rendah Wajar apabila Negara yang baru merdeka tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar kompensasi yang tinggi kepada pegawainya, tetapi disebabkan prioritas pembangunan di bidang ekonomi, sehingga secara fisik dan cultural melahirkan pola yang konsumerisme, sehingga 90 % PNS melakukan KKN. Baik berupa korupsi waktu, melakukan kegiatan pungli maupun mark up kecil-kecilan demi menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran pribadi/keluarga. c. Pejabat yang Serakah Pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh sistem pembangunan di atas mendorong pejabat untuk menjadi kaya secara instant . Lahirlah sikap serakah dimana pejabat menyalahgunakan wewenang dan jabatannya, melakukan mark up proyek-proyek pembangunan, bahkan berbisnis dengan pengusaha, baik dalam bentuk menjadi komisaris maupun menjadi salah seorang share holder dari perusahaan tersebut.



d. Law Enforcement Tidak Berjalan Disebabkan para pejabat serakah dan PNS-nya KKN karena gaji yang tidak cukup, maka boleh dibilang penegakan hokum tidak berjalan hamper di seluruh lini kehidupan, baik di instansi pemerintahan maupun di lemmbaga kemasyarakatan karena segala sesuatu diukur dengan uang. Lahirlah kebiasaan plesetan kata-kata seperti KUHP (Kasih Uang Habis Perkara), Tin ( Ten persen), Ketuhanan Yang Maha Esa (Keuangan Yang Maha Esa), daan sebagainya. e. Disebabkan law enforcement tidak berjalan dimana aparat penegak hokum bisa dibayar mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan pengacara, maka hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sangat ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi koruptor. Bahkan tidak menimbulkan rasa takut dalam masyarakat, sehingga pejabat dan pengusaha tetap melakukan proses KKN.



f. Pengawasan yang Tidak Efektif Dalam sistem manajemen



yang modern selalu ada instrument yang



internal control yang bersifat in build dalam setiap unit kerja, sehingga sekecil apapun penyimpangan akan terdeteksi sejak dini dan secara otomatis pula dilakukan perbaikan. Internal control di setiap unit tidak berfungsi karena pejabat atau pegawai terkait ber-KKN. Beberapa informasi dalam banyak media massa, untuk mengatasinya dibentuklah Irjen dan Bawasda yang bertugas melakukan internal audit. g. Tidak Ada Keteladanan Pemimpin Ketika resesi ekonomi (1997), keadaan perekonomian Indonesia sedikit lebih baik dari Thailand. Namun pemimpin di tahailand memberi



contoh



kepada rakyatnya dalam pola hidup sederhana dan satunya kata dengan perbuatan, sehingga lahir dukungan moral damn material dari anggota masyarakat dan pengusaha. Dalam waktu relative singkat, Thailang telah mengalami recovery ekonominya. Di Indonesia tidak ada pemimpin yang bisa dijadikan teladan, maka bukan saja perekonomian Negara yang



belum



recovery bahkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara makin mendekati jurang kehancuran. h. Budaya Masyarakat yang Kondusif KKN Dalam



Negara



agraris



seperti



Indonesia,



masyarakat



cenderung



paternalistic. Dengan demikian, mereka turut melakukan KKN dalam urusan sehari-hari seperti mengurus KTP, SIM, STNK, PBB, SPP, pendaftaran anak ke sekolah atau universitas, melamar kerja, dan lain-lain, karena meniru apa yang dilakukan oleh pejabat, elit politik, tokoh masyarakat, pemuka agama, yang oleh masyarakat diyakini sebagai perbuatan yang tidak salah.(Ermansjah Djaja,2010:51) Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts resolution). Bahkan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktivitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dengan sungguh-sungguh serta dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagi melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan.( Artidjo Alkostar http://www.infolizer.com ) Penegakan hukum dilakukan disemua aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Pelaksanaan penegakan hokum dilakukan oleh aparat/lembaga penegak hukum. Dalam hal terjadi tindakan kriminal, prosesnya melalui aparat penegak hukum, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Agar terjadi proses yang “fair play” orang yang tersangkut perkara kriminal tersebut dapat didampingi pengacara atau advokat.







Faktor_Faktor Yang Mempengaruhi Penegakn Hukum



Berlangsungnya penegakan hukum sudah barang tentu dipengaruhi berbagai faktor: a. Peraturan perundang-undangan . Peraturan perundang-undangan haruslah jelas dan memuat substansi materi yang dapat memenuhi rasa keadilan dan bermanfaat bagi masyarakat. Antara peraturan perundangundangan jangan sampai bertentangan atau tidak sinkron satu dengan yang lain. Hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum maupun kesulitan hidup bermasyarakat. b. Faktor aparat penegak hukum, dalam hal ini adalah mentalitasnya. Banyak kasus yang tidak diselesaikan sesuai dengan prinsip keadilan dan kebenaran, karena aparat penegak hukum tidak melaksanakan tugas sebgaimana mestinya. Kasus suap yang terjadi



di lingkungan aparat penegak hukum mulai dari



polisi, jaksa dan hakim, yang dalam hal ini bukan rahasia lagi. Ada beberapa aparat kepolisian, kejaksaan maupun hakim yang disidang karena kasus suap maupun korupsi. Sesungguhnya harapan atau tumpuan terakhir dalam penegakan hukum adalah pada aparat penegak hukum. Akan tetapi, apabila mental para penegak hukum ada yang seperti itu, dan tidak profesional, maka jangan diharapkan penegakan hukum dapat berjalan dengan baik. Faktor ini sangat dominan dalam menentukan sukses tidaknya keberhasilan penegakan hukum di Indonesia. c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Bidang sarana dan fasilitas sudah barang tentu sangat berpengaruh dalam penegakan hukum, seperti alat alat laboratorium, alat yang membantu pembuktian : kamera monitor (CCTV), alat elektronika, alat transportasi dan lain sebagainya. d. Faktor masyarakat , yaitu: lingkungan dimana hukum diberlakukan Kesadaran masyarakat menjadi salah satu faktor penting dalam penegakan hukum. Untuk mencapai tingkat kesadaran yang tinggi, maka perlu adanya sosialisasi peraturan perundangundangan secara intens pada masyarakat. Setelah masyarakat mengetahui adanya peraturan tertentu, barulah bisa diharapkan muncul kesadaran dan selanjutnya terwujud dalam tindakan nyata.



e. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 



Pentingnya Penegakan Hukum di Indonesia



Menurut UUD 1945 Amandemen Pasal 1 ayat (3) : Indonesia ialah Negara Hukum. Sebagaimana layaknya suatu negara hukum, maka kepentingan masyarakat banyak harus mendapat perlindungan dari pemerintah, seperti tersebut dalam Alinea IV UUD 1945 Amandemen : ”...untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia ...” . Perlindungan tersebut selanjutnya merupakan hak-hak warga negara yang diatur dan dijabarkan dalam dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Warga negara berhak untuk hidup aman , damai, tenteram , terhindar dari berbagai tindak kejahatan. Bilamana terjadi tindak kejahatan, maka aparat penegak hukum harus segera bertindak sesuai kewenangan yang dimiliki. Dengan adanya tindakan oleh aparat penegak hukum, diharapkan kejahatan tidak semakin meluas. Bilamana penegakan hukum kurang baik seperti sekarang ini maka kejahatan semakin berkembang, korupsi semakin marak, kasus suap terjadi dimana-mana, penyalah gunaan narkotika, dan sebagainya hanya dapat dikendalikan dari lembaga pemasyarakatan. Akhirnya, sebaik apapun peraturan perundang-undangan yang ada pada akhirnya tergantung pada aparat penegak hukumnya. 



Fakta Penegakan Hukum Kejahatan Korupsi



1. Tebang Pilih Penegakan Hukum terhadap Kepala Daerah Dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi secara umum, dan secara khusus terhadap pelanggaran PBJP terdapat suatu kenyataan adanya praktek penegakan hukum tebang pilih. Tidak saja hal ini bertentangan dengan prinsip hukum semua warga negara memiliki hak untuk diperlakukan setara di depan hukum tetapi juga diperlakukan secara tidak sama. Adapun yang menjadi sebab perlakukan penagakan hukum aparat polisian dan kejaksaan bukan saja disebabkan karena kasus korupsi sering dipandang sebagai kasus yang membawa `berkah', utamanya bagi pengacara (lihat UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat), tetapi juga disebabkan karena keberadaan UU Tindak Pidana



Korupsi dan UU KPK. Sikap dualisme dalam pemberantasan kejahatan korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi dan UU KPK. Adapun beberapa alasan dan fakta dan bahwa tebang pilih dan perlakuan tidak sama di depan hukum oleh penegak hukum dapat diajukan sebagai berikut. Pertama, Praktek penegakan hukum dalam tebang pilih terhadap terdakwa atau tersangka terjadi ketika baik polisi, jaksa dan juga pihak kekuatan masyarakat, sebagai gerakan masyarakat madani membiarkan pelaku kejahatan tidak saja dengan bebas berkeliaran bahkan menjadi calon kepala daerah, tetapi juga setelah mendapatkan keputusan hakim sekalipun mereka dapat kembali menduduki jabatan publik tertentu. Hal ini biasanya terjadi ketika terdakwa, tersangka dan/atau terhukum dapat dijadikan sumber ATM oleh karena mereka mampu membayar oknum-oknum penegak hukum yang nakal. Kedua, Perlakuan penegak hukum menjadi tidak setara atau tebang pilih karena sifat dari UU KPK yang secara sengaja memuat pengelompokan proses penegakan hukum ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah korupsi yang menimbulkan kerugian negara di bawah Rp 1 milyar diproses oleh Polisi dan Jaksa. Dalam model penegakan kejahatan korupsi model ini dikesankan masyarakat bahwa aparat penegak hukum, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah memiliki ruang fleksibel untuk menunda-nunda penyelidikan dan penyidikan. Akibatnya, pelaku kejahatan korupsi model ini menampakkan bukan saja tidak adanya kepastian hukum dalam penindakannya akan tetapi dengan penundaan tersebut mengundang ketidak puasan bagi masyarakat. Sedangkan kategori korupsi kedua adalah perbuatan seseorang yang telah menimbulkan kerugian negara di atas satu (1) milyar yang juridiksi kewenangan proses hukumnya melalui KPK. Dalam kasus yang ditangani oleh KPK, dampaknya cukup membuat guncangan yang menakutkan bagi terdakwa, tersangka dan terhukum. KPK jauh lebih tegas dan dipandang sebagai lembaga penegak hukum paling dipercayai di negeri ini. Misalnya, beberapa kasus yang melibatkan anggota legislative



pusat (DPR), Menteri-menteri (mantan), dan



sekitar 7 (tujuh) kasus Gubernur yang selain telah mendapatkan putusan mengikat dan sebagian masih berada dalam proses hokum, begitu juga Bupati dan



Walikota(Data Sekunder/penelusuran dari dokumen media cetak dan elektronik lainnya, November 2010 dalam Tonthowi Jauhari, 2012). 2. Kewenangan Kepala Daerah Menentukan Penerima Proyek Kepala Daerah memiliki peluang dalam KKN lebih terbuka karena dapat menentukan staf yang akan menjadi kepala proyek, dimana praktek suap dan grafitasi tidak mudah dilacak. Namun, ketika peran serta masyarakat cukup efektif dalam pengungkapan kejahatan korupsi juga memberikan bantuan positif dalam memproses kejahatan korupsi dilakukan staf-staf pemerintahan daerah. Adanya fakta dan kasus pada 5 September 2008, bahwa Robert Edison Siahaan dan Imal Raya Harahap, Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pematang Siantar diberhentikan oleh DPRD Pematangsiantar dalam rapat plenonya. Putusan MA nomor 01/KHS/2009, pemberhentian wali kota dan wakilnya dapat dibenarkan secara hukum karena melanggar pasal 29 ayat (2) UU Nomor 32/2005, yaitu melanggar sumpah dan janji kepala daerah dan wakil wali kota. Selain itu, mereka dinyatakan bersalah karena oleh Komisi Pengawas Persaing Usaha (KPPU) pada 13 November 2006, melakukan persekongkolan lelang perbaikan bangsal di Unit Kerja Rumah Sakit Umum Kota Pematang Siantar (Indonesian Procurement Watch. Hukum Online, Jumat 1/7/2009). Pelanggaran dilakukan oleh kepala daerah dan wakilnya dapat terjadi ketika mereka berada dalam prapemilihan. Dalam Pasal, 56 disebutkan bahwa: a. Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. b. Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pasal 56, khsusunya ayat (2) membuka peluang besar yang kontradiktif terhadap terjadinya korupsi yang terjadi dalam PBJP. Pelanggaran korupsi PBJP ini tidak lepas dari upaya kepala daerah untuk mengembalikan biaya memenangkan Pilkada. Riyaz Rasyid menyatakan bahwa sejumlah kepala daerah terlibat korupsi terdorong mengumpulkan dana



untuk mengembalikan dana yang dipergunakan baik langsung maupun tidak langsung dalam Pilkada. (Korupsi kepala Daerah Untuk Mengembalikan Biaya Memenangkan Pilkada. Sumber KPK On Line). 3. Izin dari Presiden Hambat Pemeriksaan Sifat atas prilaku tebang pilih ini oleh penegak hukum tersebut bertentangan selain bertentangan dengan asas kesetaraan hukum (equality before the law), . tetapi juga bertentangan dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004, tentang Pencepatan' Pemberantasan Korupsi. Sebab, dalam faktanya proses penegakan hukum menjadi terhambat ketika pejabat-pejabat negara, seperti Menteri, Gubernur dan juga Bupati-Bupati hanya dapat diperika jika mereka telah mendapatkan suara izin dari pihak Presiden. Sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Terkait dengan hal tersebut di atas, maka tindakan Penyidikan terhadap Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur dalam Pasal 36 dan berbunyi sebagai berikut: (1) Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik. (2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan. (3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).



(4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.



(5) Tindakan penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah dilakukan wajib dilaporkan kepada Presiden paling lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam. Proses pengeluaran izin oleh Presiden itu juga acapkali menjadi penghambat proses penegakan hukum bagi polisi, jaksa dan KPK dan bahkan penerbitan surat izin sering kali diterbitkan tidak sesuai dengan pasal 36 ayat at (2). Karena banyak surat izin yang diterbitkan oleh Presiden melebihi ketentuan 60 hari (ICW: Demokrat Lindungi Kepala Daerah Korupsi. 25 Oktober 2010 dalam Thontowi, 2012) 4. Sanksi Ringan Tidak Membuat Jera Dalam teori hukum pidana, bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan tidak saja dipandang sebagai hukum yang menimbulkan penderitaan secara fisik dan psikis dan dibatasi kebebasan hak-hak keperdataan dan hak politik, tetapi juga diharapkan agar pelaku kejahatan merasa jera atau kapok sehingga tidak berkehendak melakukan kembali. Dalam konteks kejahatan korupsi, misalnya dari 154 terdakwa korupsi yang diajukan ke meja hijau, lebih dari separuhnya divonis hukuman ringan oleh majelis hakim. Lembaga pemantau korupsi di Indonesia. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa sepanjang 2009, dari 154 koruptor yang diajukan ke meja hijau.81 di antaranya atau lebih dari 50 persen hanya dijatuhi hukuman satu tahun penjara oleh majelis hakim. Pil pahit akan pemberantasan korupsi di bumi Indonesia itu tercermin dari banyaknya koruptor yang divonis hukuman ringan oleh majelis hakim yang menyidangkan perkaranya. Menurut salah seorang pengurus ICW Emerson Yuntho. Ada pula yang divonis kurang dari satu tahun penjara hingga hukuman percobaan. Emerson menyebut, ada dua koruptor yang hanya diganjar hukuman tiga bulan oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Sumbawa dan Bengkulu. Selain itu, Emerson juga mengungkapkan ada fenomena para terdakwa kasus korupsi hanya dijatuhi hukuman percobaan. Alhasil dengan vonis tersebut, terdakwa



korupsi tidak perlu lagi menjalani hukuman di penjara. Dikatakan



Emerson, dalam hal penegakan hukum, pemberantasan korupsi di Indonesia pada 2009 mengalami kemunduran. Sebab sepanjang 2009 tercatat 16 koruptor divonis hukuman percobaan. Umumnya mereka dijatuhi vonis satu tahun penjara dengan



masa percobaan dua tahun. Jumlah koruptor yang diganjar hukuman percobaan itu lebih banyak dibanding 2008 yang tercatat 10 orang. Dari data itu, Emerson mencermati adanya kecenderungan bagi Para hakim untuk menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa korupsi sesuai batas minimal hukuman yang ditentukan Undang Undang-Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). "Keputusan majelis hakim atas hukuman para koruptor itu jelas sangat men-ciderai rasa keadilan masyarakat ("Hukuman



Koruptor



Terlalu



Ringan"



(http://bataviase.co.id/detailberita10541506.html) Berdasarkan catatan ICW, selama tahun 2009, dari 199 perkara korupsi dengan 378 orang terdakwa yang diperiksa dan divonis oleh pengadilan di seluruh Indonesia, sebanyak 224 terdakwa (59,26 persen) divonis bebas oleh pengadilan. Hanya 154 terdakwa (40,74 persen) ) yang akhirnya divonis bersalah. Dari jumlah yang diputuskan bersalah tersebut terdapat berbagai variasi tingkat hukuman yang diterima oleh para pelaku korupsi. Sebanyak 82 terdakwa (21,69 persen) divonis di bawah satu tahun penjara. Sementara itu, vonis di atas 1,1 tahun hingga dua tahun terdapat 23 terdakwa (6,08 persen). Dan, divonis 2,1 tahun hingga lima tahun sebanyak 26 terdakwa (6,88%) serta divonis 5,1 tahun hingga sepuluh tahun sebanyak enam terdakwa (1,59 persen) Yang mengherankan, hanya terdapat satu terdakwa yang divonis di atas sepuluh tahun (0,26 persen). Lebih memprihatinkan lagi, terdapat 16 terdakwa perkara korupsi divonis percobaan (4,23 persen). Bagaimana dengan kasus-kasus yang ditanani



oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Bila tersangka



korupsi di pengadilan umum seringkali divonis bebas atau terlampau ringan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) justru sebaliknya. Menurut catatan ICW, dari 31 kasus korupsi yang ditangani selama 2008, tak seorang koruptor pun yang divonis bebas. Atas dasar itu, maka secara langsung atau tidak langsung bahwa situasi penegakan yang tebang pilih, lambat dalam tindakan penyididikan dan penyididikan karena lambat penerbitan Surat perizinan, dan ringannya hukuman tampak secara tidak langsung berkorelasi negatif terhadap PBJP. Sehingga kecenderungan isu utama pemerintahan SBY, terkait dengan perang melawan



korupsi sebagaimana terus digelora kan oleh Presiden den Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ibarat ramasih jauh panggang dari api". Kenyataan di lapangan, pasukan tempur yang berada di garis paling depan masih banyak melakukannya dengan setengah hari. Di pengadilan umum. banyak koruptor hanya menerima hukuman ringan, bahkan sebagian divonis di bawah satu tahun. Mengenai hukuman yang tidak setimpal terhadap para perampok uang negara ini, ICW menyebut, pengadilan umum sebagai 'surga' vonis ringan bagi koruptor (Jawahir Thontowi. Penegakan Hukum dan Diplomasi Pemerintahan SBY Bandung. 2009). Vonis yang dijatuhkan para hakim Tipikor pun rata-rata empat tahun dua bulan penjara. Itu masih belum terlalu berat dan kurang- menghasilkan efek jera dan ketakutan. Kadar hukuman hukuman tersebut tentu jauh di bawah hukuman maksimal yang menurut beberapa pasal dalam Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, yang hukumannya dapat mencapai 20 penjara, bahkan pidana penjara seumur hidup. 5. Perlindungan Whistle Blower dan/atau Saksi Pelapor Terdapat aspek penegakan hukum yang acapkali lupus dari perhatian penegak hukum mengingat mereka berkedudukan sebagai orang yang sesungguhnya memiliki kontribusi dalam persoalan penegakan hukum adanya pelanggaran atau tindakan korupsi terhadap PBJP. Peniup angin atau pemberi informasi penting tentang korupsi Whistle Blower dan saksi pelapor sungguh sangat penting namun karena kurangnya perlidungan mereka menjadi tidak memiliki keberanian untuk melaporkan keadaan sebenarnya. Fakta di lapangan menujukan betapa banyaknya saksi pelapor, utamanya kalangan kepala Dina, sebagai bawahan kepala Daerah menjadi korban terpidana korupsi. Hal ini bukan saja secara dikarenakan konstruksi tuntutan kejahatan korupsi harus selalu didasarkan adanya bukti formil, dokumen, saksi, keterangan dan pengakuan, melainkan juga didasarkan kepada paradgima hukum konserfatif atau dogmatis juridis, sehingga pelaku yang sebenarnya (the actual culprit) dapat terhindar dari pertanggungjawaban hukum pidana. Tidak mudahnya barang bukti yang dijadikan landasan penuntutan oleh Polisi dan Jaksa acapkali dijadikan



argumen aparat penegak hukum untuk secara cepat menindaklanjuti penyelidikan dan penyidikan, serta penuntutan. Dalam konteks ini memang selain perlu UU Perlindungan



Saksi dan



Korban dimaksudkan agar setiap orang yang mendengar atau mengalami sendiri suatu perkara pidana korupsi merasa aman dari berbagai ancaman saat ia memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU 13/2006 maka Saksi, Korban, dan Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana ataupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya, namun yang menarik adalah Penjelasan tentang Pelapor dalam: UU 13/2006 yang dapat menikmati status "aman" sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 10 ayat (1) tersebut hanya terbatas pada Pelapor yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana.



7. HUBUNGAN PENEGAKAN HUKUM DENGAN KEBERHASILAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA 



Tipologi Korupsi



Sudah sangat dikenal oleh awam bahwa korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara. Fakta senyatanya lebih luas, bahwa korupsi merupakan perbuatan bejat, busuk, jahat, jelek, tidak jujur, dan konotasi negatif lainnya, bahkan extra ordinary crime. Dengan demikian pengertian, lingkup, dan bentuk korupsi dapat ditelisik secara harfiah, yuridis, sosiologis, politis, dan sebagainya. Terkait hal itu, terdapat banyak bentuk dan perbuatan ataupun perilaku menyimpang dalam lingkup sebagai korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setidaknya ada 8 (delapan) kelompok delik korupsi, yaitu : a. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;



b. Kelompok delik penyuapan (aktif maupun pasif); c. Kelompok delik penggelapan dalam jabatan; d. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion); e. Kelompok delik pemalsuan; f. Kelompok delik berkaitan dengan pemborongan, leveransir, dan rekanan; g. Kelompok delik gratifikasi; h. Kelompok delik yang merintangi



dan menghalang-halangi



penanganan perkara korupsi. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) maka tindak pidana korupsi dapat dikumulasikan dengan tindak pidana pencucian uang. Selanjutnya bila berpijak pada United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption, 2003 (Konvensi PBB Anti Korupsi, 2003), ruang lingkup korupsi ternyata lebih luas yaitu : a. Penyuapan pejabat publik nasional (briberry of national publici); b. Penyuapan terhadap pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik (briberry of foreign public official and officials of public international organization); c. Penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan lain oleh seorang pejabat publik (embezzlement, misappropriation or other diversion of property by a public official); d. Memperdagangkan pengaruh (trading in influence); e. Penyalahgunaan jabatan atau wewenang (abuse of functions); f. Memperkaya diri secara tidak sah (illicit enrichment); g. Penyuapan pada sektor privat (briberry in the private sector);



h. Penggelapan kekayaan di sektor privat (embezzlement of property in the privat sector) Kemudian Muladi49 yang mengutip World Bank menyebutkan bahwa korupsi sebagai an abuse of public power for private gains, dengan bentuk antara lain : a. Political Corruption (Grand Corruption) yang terjadi di tingkat tinggi (penguasa, politisi, pengambil keputusan) dimana mereka memiliki suatu kewenangan



untuk



memformulasikan,



membentuk



dan



melaksanakan



UndangUndang atas nama rakyat, dengan memanipulasi institusi politik, aturan prosedural dan distorsi lembaga pemerintahan, dengan tujuan meningkatkan kekayaan dan kekuasaan;



b. Bureaucratic Corruption (Petty Corruption), yang biasa terjadi dalam administrasi publik seperti di tempat-tempat pelayanan umum; c. Electoral Corruption, dengan tujuan untuk memenangkan suatu persaingan seperti dalam pemilu, pilkada, keputusan pengadilan, jabatan pemerintahan dan sebagainya; d. Private or Individual Corruption, korupsi yang bersifat terbatas, terjadi akibat adanya kolusi atau konspirasi antar individu atau teman dekat; e. Collective or Aggregated Corruption, dimana korupsi dinikmati beberapa orang dalam suatu kelompok seperti dalam suatu organisasi atau lembaga; f. Active and Passive Corruption dalam bentuk memberi dan menerima suap (bribery) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atas dasar tugas dan kewajibannya; g. Corporate Corruption baik berupa corporate criminal yang dibentuk untuk menampung hasil korupsi ataupun corruption for corporation dimana seseorang atau beberapa orang yang memiliki kedudukan penting dalam suatu perusahaan melakukan korupsi untuk mencari keuntungan bagi perusahaannya tersebut. 49



Muladi, Konsep Total Enforcement Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Korupsi, Pencegahan dan Pemberantasannya”, Lemhanas RI dan ADEKSI-ADKASI, Jakarta, 8 Desember 2005, hlm. 4-5.



Mengalir dari uraian di atas, bidang-bidang atau hal-hal yang menjadi obyek korupsi adalah kompleks bahkan multikompleks. Dalam kesepakatan bersama antara Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Sekretaris Jenderal Komisi Pemberantasan Korupsi tanggal 29 Maret 2012 tentang Pemetaan 10 (sepuluh) Area Rawan Korupsi Tahun 2012, telah ditentukan 10 (sepuluh) Area Rawan Korupsi yaitu: a. Pengadaan barang dan jasa Pemerintah; b. Keuangan dan perbankan; c. Perpajakan; d. Minyak dan gas; e. BUMN dan BUMD; f. Kepabean dan cukai; g. Penggunaan APBN, APBD, dan APBNP ataupun APBDP; h. Aset negara dan daerah; i. Pertambangan; dan j. Pelayanan Umum. Penggambaran 10 (sepuluh) area rawan korupsi tersebut, tentu bisa bertambah sesuai dinamika pembangunan dan aktifitas atau dinamika masyarakat, pemerintah dan negara. Misalnya area pemilihan umum (Pemilu) dan bahkan dalam area pendidikan. Selanjutnya mengapa orang melakukan korupsi, jawaban dan latar belakangnya juga multikompleks. Terdapat beberapa pendapat dan teori-teori yang menjelaskan timbulnya praktik korupsi yaitu :50 1) Teori Klitgaard Menurut teori Robert Klitgaard, monopoli kekuatan oleh pimpinan (monopoly of power) ditambah dengan besarnya kekuasaan yang dimiliki (discretion of official) dan tanpa adanya pengawasan yang memadai (minus 50



Dikutip dari http://sutardjo70.wordpress.com/2011/12/22/memahami-korupsi-untuktidak korupsi, diakses tanggal 11 April 2014



accountability) maka hal tersebut menjadi pendorong terjadinya korupsi. Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi otonomi daerah telah menggeser praktik korupsi yang dahulu hanya didominasi oleh pemerintah pusat (saat itu kekuasaan ada pada pemerintah pusat) kini menjadi marak terjadi di daerah (karena otonomi daerah telah memberikan kekuasaan kepada pimpinan di daerah). Hal ini selaras dengan teori Klitgaard bahwa korupsi mengikuti kekuasaan. 2) Teori Ramirez Torrez Sementara itu, teori Ramirez Torrez menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan kalkulasi atau perhitungan (crime of calculation) bukan hanya sekedar keinginan (passion). Seseorang akan melakukan korupsi jika hasil yang didapat dari korupsi lebih tinggi dan lebih besar dari hukuman yang didapat serta kemungkinan tertangkapnya yang relatif kecil. 3) Teori Jack Bologne (GONE) Menurut teori Jack Bologne (GONE) akar penyebab korupsi ada 4 (empat), yaitu: a) Greedy (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada pada diri setiap orang. b) Opportunity (kesempatan), berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan korupsi. c) Need (kebutuhan), berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya. d) Exposures (pengungkapan), berkaitan dengan tindakan-tindakan atau hukuman yang tidak memberi efek jera pelaku maupun masyarakat pada umumnya. 4) Teori Vroom Teori Vroom



menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kinerja seseorang dengan kemampuan dan motivasi yang dimiliki. Berdasarkan Teori Vroom tersebut, kinerja (performance) seseorang merupakan fungsi dari kemampuannya (ability) dan motivasi (motivation). Kemampuan seseorang ditunjukkan dengan tingkat keahlian (skill) dan tingkat pendidikan (knowledge) yang dimilikinya. Jadi, dengan tingkat motivasi yang sama seseorang dengan skill dan knowledge yang lebih tinggi akan menghasilkan kinerja yang lebih baik. Hal tersebut terjadi dengan asumsi variabel M (Motivasi) adalah tetap. Tetapi Vroom juga membuat fungsi tentang motivasi yaitu motivasi seseorang akan dipengaruhi oleh harapan (expectation) orang yang bersangkutan dan nilai (value) yang terkandung dalam setiap pribadi seseorang. Jika harapan seseorang adalah ingin kaya, maka ada dua kemungkinan yang akan dia lakukan. Jika nilai yang dimiliki positif, maka dia akan melakukan hal-hal yang tidak melanggar hukum agar bisa menjadi kaya. Namun jika dia seorang yang memiliki nilai negatif, maka dia akan berusaha mencari segala cara untuk menjadi kaya salah satunya dengan melakukan korupsi. 5) Teori Kebutuhan Maslow



Maslow menggambarkan hierarki kebutuhan



manusia sebagai bentuk piramida. Pada tingkat dasar adalah kebutuhan yang paling mendasar. Semakin tinggi hierarki, kebutuhan tersebut semakin kecil keharusan untuk dipenuhi. Teori Kebutuhan Maslow tersebut menggambarkan hierarki kebutuhan dari paling mendasar (bawah) hingga naik paling tinggi adalah aktualisasi diri. Kebutuhan paling mendasar dari seorang manusia adalah sandang dan pangan (physical needs). Selanjutnya kebutuhan keamanan adalah perumahan atau tempat tinggal, kebutuhan sosial adalah berkelompok, bermasyarakat, berbangsa. Ketiga kebutuhan paling bawah adalah kebutuhan utama (prime needs) setiap orang. Setelah kebutuhan utama terpenuhi, kebutuhan seseorang akan meningkat kepada kebutuhan penghargaan diri yaitu keinginan agar kita dihargai, berperilaku terpuji, demokratis dan lainya. Kebutuhan paling tinggi adalah kebutuhan pengakuan atas kemampuan kita, misalnya kebutuhan untuk diakui sebagai kepala, direktur maupun walikota yang dipatuhi bawahannya.







Optimalisasi Pemberantasan Korupsi



Pemberantasan korupsi merupakan prioritas utama guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Oleh karena itu kebijakan optimalisasi pemberantasan korupsi harus ditindaklanjuti dengan strategi yang komprehensif, integral, dan holistik agar benar-benar dapat mencapai hasil yang diharapkan. Menyimak penyebab terjadinya korupsi, dapat disimpulkan terkait aspek-aspek manusia, regulasi, birokrasi, political will, komitmen, dan konsistensi penegak hukum serta budaya masyarakat. Untuk itu secara garis besar strategi yang diterapkan meliputi aspek-aspek sebagai berikut: a. Peningkatan Integritas dan Etika Penyelenggara Negara; b. Pemantapan dan Percepatan Reformasi Birokrasi; c. Penguatan Budaya Anti Korupsi Masyarakat; dan d. Penegakan Hukum yang Tegas, Konsisten, dan Terpadu.



Peningkatan Integritas dan Etika Penyelenggara Negara dalam Rangka Mewujudkan Aparatur Negara yang Profesional dan Berintegritas Lemahnya integritas dan etika penyelenggara atau aparatur negara menjadi penyebab utama terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan. Aparatur negara merupakan faktor utama keberhasilan pemerintah mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN). Tanpa aparatur yang berintegritas dan beretika mustahil program kerja pemerintah dapat berjalan dengan baik. Untuk itu, salah satu aspek utama dari program reformasi birokrasi ialah reformasi aspek sumber daya



manusia



(SDM),



karena



aspek



inilah



yang



nantinya



akan



mengimplementasikan atau menggerakkan semua program reformasi birokrasi. Namun demikian, pembangunan integritas dan etika aparatur negara tidak dapat dilakukan secara singkat hanya melalui program reformasi birokrasi belaka. Pembangunan integritas dan etika aparatur negara harus dilakukan secara simultan, sejak di bangku sekolah hingga pendidikan-pendidikan kedinasan. Oleh



karena itu, perlu ada reorientasi kurikulum pendidikan formal dan pendidikan kedinasan dengan memasukkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, baik yang bersumber dari agama, budaya maupun ideologi bangsa yaitu Pancasila. Nilainilai luhur tersebut harus diaktualisasikan dalam setiap kegiatan penyelenggaraan negara agar upaya membangun integritas dan etika aparatur negara dapat diwujudkan secara konkrit dalam kehidupan sehari-hari, hingga akhirnya dapat membentuk aparatur negara yang profesional dan berdisiplin tinggi. Aparatur negara yang berintegritas dan beretika merupakan salah satu syarat bagi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik, bersih dan bebas KKN. Di banyak negara penguatan integritas dan etika pejabat publik merupakan salah satu cara efektif untuk membangun sikap dan kesadaran dalam memberantas atau setidak-tidaknya mengurangi korupsi secara efektif. Lebih jauh lagi adanya integritas dan etika tersebut dapat memberikan dukungan bagi terwujudnya good governance. Dengan demikian, maka penguatan integritas dan etika merupakan suatu keharusan agar upaya pemberantasan korupsi dapat berjalan baik.



Pemantapan dan Percepatan Reformasi Birokrasi Dalam Rangka Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik, Bersih, dan Bebas KKN Reformasi birokrasi merupakan suatu upaya untuk menata ulang biorkrasi pemerintahan agar mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Reformasi birokrasi awalnya mencakup 3 (tiga) aspek pokok yaitu : Kelembagaan (organisasi); Ketatalaksanaan (business process); dan sumber daya manusia (aparatur). a) Aspek Kelembagaan Reformasi di bidang kelembagaan diperlukan untuk menata ulang struktur organisasi agar terbentuk organisasi yang tepat fungsi dan ukuran (right sizing) sehingga tercipta organisasi modern yang mampu mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi secara efektif, efisien, transaparan, dan akuntabel serta lebih mengutamakan pelayanan kepada masyarakat. b) Aspek Ketatalaksanaan Reformasi di bidang tata laksana diperlukan agar dalam setiap pelaksanaan tugas dan fungsi, baik yang sifanya teknis yuridis



maupun administratif mempunyai panduan yang jelas sehingga hasil-hasilnya dapat terukur dengan jelas. Reformasi ketatalaksanaan dilakukan dengan membangun sistem, proses, dan prosedur kerja (SOP) yang jelas, tertib, tidak tumpang tindih, sesuai dengan prinsip good governance. c) Aspek Sumber Daya Manusia (SDM) Reformasi di bidang SDM, meliputi 3 (tiga) hal yaitu : perubahan pola pikir (mindset), perubahan budaya kerja (culture set), dan perubahan tata laku (behavior). (1). Perubahan pola pikir (mindset) Perubahan pola pikir harus dilakukan oleh seluruh aparatur negara mulai dari pimpinan paling atas sampai pegawai paling bawah. Pola pikir sebagai penguasa yang cenderung ingin dilayani harus diubah menjadi pelayanan masyarakat, karena pada dasarnya aparatur negara merupakan abdi masyarakat sehingga harus mengutamakan pelayanan kepada masyarakat. Dengan adanya perubahan pola pikir diharapkan aparatur negara memiliki sense of belonging, sense of responsibility, dan sense of crisis dalam setiap melaksanakan tugas pokok, fungsi, dan kewenangannya. (2). Perubahan budaya kerja (culture set) Perubahan budaya kerja (culture set) sangat erat kaitannya dengan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) terutama dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, khususnya dalam hal waktu, anggaran, peralatan dan lain sebagainya. Aparatur negara diharapkan selalu berusaha menambah wawasan dan meningkatkan kapabilitas profesionalnya dengan tidak menunda-nunda pekerjaan dan berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan dengan tepat waktu dan penggunaan anggaran sehemat dan secermat mungkin. (3). Perubahan tata laku (behavior) Sebagai abdi negara/masyarakat, setiap aparatur negara harus memiliki perilaku terpuji, terutama pada saat menjalankan tugas dan fungsinya. Aparatur negara harus mampu memberi tauladan kepada masyarakat, terutama dalam hal ketaatan dan kepatuhan terhadap norma-norma hukum yang berlaku. Jangan sampai aparatur negara justru melakukan pelanggaran hukum. Terlebih lagi bila aparatur negara tersebut adalah aparatur penegak hukum.



Adapun percepatan reformasi birokrasi meliputi 9 (sembilan) program dimulai dari penataan struktur birokrasi, seleksi penerimaan CPNS, pelayanan publik sampai dengan efisiensi penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana kerja pegawai negeri. Melalui reformasi birokrasi diharapkan dapat dibangun profil dan perilaku aparatur yang berintegritas tinggi, berprofuktifitas tinggi, dan bertanggung



jawab,



serta



mengutamakan



pelayanan



masyarakat



guna



mewujudkan birokrasi yang bersih, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Dengan adanya reformasi birokrasi diharapkan dapat terwujud organisasi pemerintahan yang modern yang mengutamakan pelayanan publik, „right sizing‟ (tepat ukuran dan tepat fungsi) dengan prosedur kerja yang jelas demi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Pembangunan



Budaya



Anti



Korupsi



Masyarakat



Dalam



Rangka



Membangun Sikap dan Mental Masyarakat yang Anti Korupsi Upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas KKN pada hakikatnya tidak bisa hanya dilakukan oleh aparatur negara atau instansi pemerintah. Sebab pada hakikatnya stakeholder kepemerintahan yang baik, bersih, dan bebas KKN itu ada 3 (tiga), yaitu : negara, sektor swasta, dan masyarakat. Negara atau pemerintah, konsepsi pemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari itu melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat; sektor swasta, pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti : industri pengolahan perdagangan, perbankan, dan koperasi, termasuk kegiatan sektor informal; dan masyarakat, dalam konteks kenegaraan, kelompok masyarakat pada dasarnya berada ditengah-tengah atau diantara pemerintah dan perseorangan, yang mencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi.51 Dengan demikian, maka sikap dan mental masyarakat terhadap praktik KKN dalam penyelenggaraan negara juga sangat menentukan upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas KKN. Selama ini tata nilai 51



Sedarmayanti, Good Governance “Kepemimpinan Yang Baik”, Bagian Kedua, (Membangun Sistem Manajemen Kinerja Guna Meningkatkan produktivitas Menuju Good Governance), Bandung: Mandar Maju, 2012, hlm. 4-5.



masyarakat hanya menghargai seseorang dari aspek materi semata, sehingga sikap masyarakat banyak mentolerir perilaku koruptif. Apalagi bila hasil korupsi tersebut sebagian disumbangkan ke masyarakat untuk kegiatan sosial maupun keagamaan. Seolah-olah hal ini telah menghapuskan dosa-dosa para pelaku korupsi. Oleh karena itulah, maka perlu meluruskan tata nilai masyarakat seperti ini karena cenderung mendorong terjadinya praktik korupsi. Upaya meluruskan tata nilai di masyarakat tersebut dapat dilakukan melalui penyuluhan hukum, pendidikan anti korupsi yang sudah dimulai sejak dini di bangku sekolah, pembentukan komunitas masyarakat anti korupsi, keteladanan, dan kampanye anti korupsi yang dilakukan dalam pelbagai media terutama media massa. Dengan gerakan kampanye anti korupsi yang massif serta penanaman nilainilai anti korupsi sejak dini, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat betapa berbahayanya korupsi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu bagi pelaku harus menyadari bahwa keuntungan yang diperoleh dari korupsi tidak sebanding dengan penderitaan yang akan diterimanya (menyesal sampai tujuh keturunan). Dengan tumbuhnya kesadaran seperti itu, diharapkan mampu membentuk sikap dan mental masyarakat yang anti korupsi. Kondisi demikian idealnya diperkuat dengan pemahaman dan pengamalan nilainilai kebangsaan, Pancasila, dan nasionalisme Indonesia.



Penegakan Hukum yang Tegas, Konsisten, dan Terpadu Dalam Rangka Mewujudkan Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan, Yaitu Timbulnya Efek Jera Bagi Koruptor dan Mencegah Calon Koruptor Penegakan hukum yang konsisten dan terpadu sangat penting bagi terwujudnya pilar-pilar keadilan dan kepastian hukum. Pilar-pilar keadilan dan kepastian hukum merupakan pondasi utama berjalannya proses demokratisasi. Demokratisasi merupakan salah satu prinsip dari tata kelola pemerintahan yang baik, sebab demokratisasi membuka ruang bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara. Selain itu, kepastian hukum juga sangat diperlukan bagi kalangan usaha dalam berinvestasi dalam suatu negara. Sebab tanpa adanya kepastian hukum, maka resiko berusaha tidak dapat diprediksi



sehingga dapat menurunkan iklim investasi. Kecilnya angka investasi akan memperkecil lapangan kerja baru bagi masyarakat, sehingga akan terjadi banyak pengangguran yang berpotensi menimbulkan ancaman dan gangguan bagi keamanan. Selanjutnya, penegakan hukum yang konsisten dan terpadu juga akan membawa kemanfaatan bagi masyarakat yaitu timbulnya efek jera, sehingga dapat mencegah seseorang yang hendak melakukan korupsi. Manfaat lainnya ialah tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap upaya penegakan hukum dan aparatur penegak hukum, sehingga dukungan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum akan menguat. Sebaliknya bila terjadi inkonsistensi dan ketidakterpaduan dalam penegakan hukum, masyarakat akan menilai bahwa dalam proses penegakan hukum terjadi tarik menarik kepentingan, sehingga kepercayaan kepada penegak hukum akan melemah. Implikasinya, hal ini akan melemahkan budaya hukum dan kepatuhan terhadap hukum oleh masyarakat. Dengan demikian tidak seharusnya pemberantasan tindak pidana korupsi hanya ditumpukan pada satu lembaga saja. Bahkan para penegak hukum sadar akan pentingnya keterpaduan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dengan dituangkannya suatu kesepakatan bersama antara Kejaksaan RI, Polri, dan KPK Nomor : KEP-049/A/JA/03/2012, B/23/III/2012, Nomor : SPJ-39/01/03/2012, tanggal 29 Maret 2012. Adapun ruang lingkup kesepakatan bersama tersebut meliputi : a) Pencegahan tindak pidana korupsi; b) Penanganan perkara tindak pidana korupsi; c) Pengembalian kerugian negara perkara tindak pidana korupsi; d) Perlindungan hukum bagi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama (whistle blower atau justice collaborator) dalam pengungkapan tindak pidana korupsi; e) Bantuan personil dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi;



f) Pendidikan/pelatihan bersama dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi; g) Jumpa pers dalam rangka penanganan perkara tindak pidana korupsi.



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dampak korupsi demikian besar, sehingga mampu mengurangi kualitas kesejahteraan masyarakat, tingginya kerugian Negara akibat korupsi akan berdampak pada kewajiban negara dalam memberikan hak kesejahteraan. Jadi rakyat atau masyarakatlah yang akan menjadi korban. Untuk itulah peran serta masyarakat dalam pencegahan tindak pidna korupsi sangat dibutuhkan dan memiliki peran yang sangat penting sebagai bentuk dari kontrol sosial, tingginya kontrol sosial akan mampu mempersempit ruang gerak bagi korupsi dan memperlebar ruang bagi anti korupsi. Agar tingkat pertumbuhan korupsi dapat terus ditekan, maka uapaya mendorong kesadaran masyarakat dalam pencegahan tindak pidana korupsi perlu terus diupayakan, salah satunya adalah pemberian penghargaan pada masyarakat bagi pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai mana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara, harus diwujudkan secara nyata. Optimalisasi pemberantasan korupsi dalam banyak hal sangat tergantung dari sejauh mana konsistensi penegakan hukum terhadap pelaku korupsi, komitmen menegakkan hukum serta disiplin para penegak hukum. Namun demikian, dalam menegakkan ketiganya seringkali ditemukan berbagai kendala kultural yang menjadikan pemberantasan korupsi tidak optimal. Salah satu penyebab masifnya korupsi di Indonesia adalah kultur patrimonial dalam birokrasi kita. Struktur birokrasi di Indonesia sudah berubah menjadi birokasi yang rasional modern, sebagaimana dilembagakan oleh Max`Weber, tetapi karena kultur patrimonial masih cukup kuat, menjadikan birokrasi justru hanya menjadi peluang bagi terjadinya prakti korupsi dan nepotisme. Kultur patrimonial atau paternalistik dalam bahasa yang berbeda cenderung menempatkan kekuasaan sebagai sarana menguntungkan kepentingan



sendiri dan keluarga. Dalam sistem birokrasi yang berwatak paternalistik tersebut memiliki kecenderungan untuk menjadikan sistem kekerabatan sebagai bagian yang harus menerima keuntungan dari kekuasaan yang dimilikinya. Dalam konstruksi sosial, korupsi lebih dianggap sebagai kejahatan terhadap negara, bukan kejahatan terhadap masyarakat. Hal ini ditandai dengan ketidakpedulian masyarakat terhadap berbagai tindak pidana korupsi. Rendahnya partipasi masyarakat terhadap tindak pidana korupsi, selain disebabkan ketidakpahaman mereka terhadap korupsi dan ruang lingkupnya, juga karena persepsi yang salah terkait dengan persepsi ruang publik dan ruang personal. Ketidakpahaman ini membuat mereka juga seringkali tidak dapat memisahkan seeorang sebagai anggota dalam masyarakat, sekaligus juga seseorang yang memiliki jabatan publik. Kepedulian yang diharapkan muncul lebih terkait dengan kepemilikan harta benda sendiri, bukan kepada harta kekayaan negara. Itulah sebabnya, mereka seringkali tidak merasa kehilangan ketika uang negara dikorupsi. Masyarakat juga cenderung tidak menganggap diri sebagai korban, ketika uang negara dikorupsi. Kondisi ini menempatkan perilaku koruptif selalu mendapatkan pembiaran dalam masyarakat kita. Tragisnya, jika seorang koruptor mampu merepresentasikan diri sebagai orang dermawan di mata publik. Praksis, keseluruhan hasil-hasil kejahatannya akan dapat ditutup dari kemampuannya menunjukkan diri sebagai orang ‟dermawan; di mata publik.



DAFTAR PUSTAKA Adnan Buyung Nasution, 2004, Pergulatan Tanpa Henti, Pahit Getir Merintis Demokrasi, Aksara Karunia, Jakarta Amidhan, Catatan Akhir Tahun 2006,



Tentang Pelindungan dan



Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Komnas HAM, Jakarta Asep Rahmat Fajar, tanggal 29 Nopember 2008, ”Pembaharuan Kejaksaan : tentang “Strategi Peningkatan Kinerja Kejaksaan Republik Indonesia di Undip, Semarang. Satjipto Raharjo, 2006, Ilmu Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti Muladi. 2005. Konsep Total Enforcement Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Korupsi, Pencegahan dan Pemberantasannya”, Lemhanas RI dan ADEKSI-ADKASI, Jakarta, 8 Desember 2005 Arief, Basrief. 2013. Perampasan Aset Hasil Kejahatan, Jakarta: Kejaksaan Agung Bakker JWM (1984) Filsafat Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius Buku Saku Pemberantasan Korupsi, http: www. upsi,kpk .go.id/ modules/ wmpdownloads /singlefile,php?=10&lid=19/. Chazawi, Adam. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, 2008. Hiariej, Eddy O.S. . Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga, 2009 Mahmud, Peter. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015. Makarao, Mohammad Taufik, dan Suhasril. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.