Pengantar Tasawuf [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENGANTAR TASAWUF



Dr. H. Saifulah, MHI



1



Dr. H. Saifulah, MHI., et al. PENGANTAR TASAWUF © 2013 Edisi Pertama, Cetakan Ke-1



Cover Percetakan Lay-out



: M. Daimul Abror, S.IP, M.Si : Yudharta Press : Askhabul Kirom



Dr. H. Saifulah, MHI., et al. PENGANTAR TASAWUF Pasuruan, Yudharta Press, 2013 Ed. 1 Cet. 1, 132 hlm



ISBN



Cetakan ke-1, Agustus 2013



Yudharta Press Jl. Universitas Yudharta Pasuruan Telp. (0343) Fax. (0343) Web Indonesia



2



KATA PENGANTAR



Alhamdulillah, bahwa hanya dengan petunjuk dan hidayah-Nya sajalah karya tulis yang berjudul “Pengantar Tasawuf” ini bisa terwujud dan sampai di hadapan para pembaca yang berbahagia. Semoga kiranya membawa manfaat yang sebesar-besarnya dan memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan tasawuf pada masa sekarang dan yang akan datang. Karya tulis ini memang bukanlah merupakan karya orisinil, tetapi kami membukukan dari hasil karya mahasiswa Universitas Yudharta Pasuruan. Dengan demikian, karya tulis ini akan bernilai dalam menambah dan mengembangkan kepustakaan tentang studi pendidikan Islam yang telah ada sebelumnya. Adapun faktor yang terus mendorong penulis untuk menyusun buku ini adalah membantu mahasiswa didalam memahami materi kuliah tasawuf. Demikianlah buku pengantar tasawuf ini kami susun, semoga bermanfaat bagi mahasiswa Universitas Yudharta 3



Pasuruan dan siapa saja pembaca yang berminat mempelajari tasawuf. Sebagai pepatah yang menyatakan tiada gading yang tak retak, maka karya tulis ini pun tentunya tiada terbebas dari kekurangan dan kelemahan di dalamnya. Namun kami (penulis) telah berusaha meminimalkan. Untuk itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharap tegur sapa serta saran-saran penyempurnaan, agar kekurangan dan kelemahan yang ada tidak sampai mengurangi nilai dan manfaatnya



bagi



perkembangan



studi



tasawuf



pada



umumnya.



Pasuruan, Agustus 2013 Penulis,



Dr. H. Saifulah, MHI



4



Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi Bab I Sejarah Tasawuf ...................................................................... 6 Bab II Pengertian dan Tujuan Tasawuf ....................................... 29 Bab III Macam-Macam Tasawwuf................................................ 46 BAB IV Tokoh-Tokoh Tasawuf ..................................................... 72 BAB V Maqamat dan Ahwal ....................................................... 104 Bab VI Dasar-Dasar al-Qur‟an dan Hadits tentang Ilmu Tasawuf .......................................................................................... 114



5



SEJARAH TASAWUF A. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Tasawuf dalam Islam 1. Pertumbuhan Tasawuf Jauh sebelum lahirnya agama Islam, memang sudah ada ahli Mistik yang menghabiskan masa hidupnya dengan mendekatkan diri kepada TuhanNya; antara lain terdapat pada India Kuno yang beragam Hindu maupun Budha. Orang-orang mistik tersebut dinamakan Gymnosophists oleh penulis barat dan disebut al-hukama‟ul urah oleh penulis Arab. Yang dapat diartikan sebagai orang-orang bijaksana yang berpakaian terbuka. Hal tersebut dimaksudkan, karena ahli-ahli mistik orang-orang India selalu berpakaian dengan menutup separuh badannya. Selanjutnya dapat dikemukakan beberapa nash yang mengandung ajaran tasawuf yaitu:



6



a. Nash-nash al-qur‟an, antara lain QS; Al-Ahzab ayat 41-42 yang artinya: Hai orang-orang yang beriman berdzikirlah dengan menyebut nama Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya di waktu pagi dan petang”. b. Nash-nash



hadits



yang



antara



lain



artinya



berbunyi;” Bersabda Rasulullah saw: takutilah firasat



orang-orang



mu‟min,



karena



ia



dapat



memandang dengan nur (petunjuk Allah). HR. Bukhari yang bersumber dari Abi Sa‟id AlKhudriyyi. Kehidupan Rasulullah saw yang menggambarkan kehidupan sebagai sufi yang sangat sederhana, karena beliau menjauhkan dirinya dari kehidupan mewah, yang sebenarnya merupakan amalan zuhud dalam ajaran Tasawuf. 2. Perkembangan Tasawuf a. Pada Fase pertama Abad 1-2 H / 7-8M. Bila



berbicara



masalah



sejarah



tasawuf.



sesungguhnya pertumbuhan dan perkembangan tasawuf



itu



sama



dengan



pertumbuhan



dan



perkembangan Islam itu sendiri. 7



Dalam sejarah perkembangan sejarah tasawuf yang pertama kali muncul adalah gerakan hidup zuhud



(asketisme)



dalam



pengertian



yang



sederhana, yaitu sekitar abad I dan II H. Pada masamasa awal ini apa yang disampaikan Nabi secara umum kepada para pengikutnya adalah perasaan yang mendalam pertanggung jawaban di hadapan pengadilan Tuhan, yang mengangkat perilaku mereka dari alam duniawi dan kepatuhan yang mekanis kepada hukum, kepada alam kegiatan moral. Pada



masa



sesudah



Nabi,



asketisme



berkembang dengan pesat karena adanya dua faktor utama, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah ataupun kondisi-kondisi pertama



sosial



hijriyah.



politik



Ada



tiga



pada



dua



pokok



abad



sumber



perkembangan ilmu tasawuf. 1) Ajaran Al-Qur`an dan As-Sunnah Faktor



utama



yang



mengembangkan



asketisme dalam Islam adalah ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Al-Sunnah yang berkaitan dengan uraian tentang ketidak 8



artian dunia maupun hiasannya, dan perlunya berusaha secara sungguh-sungguh demi akhirat, untuk



memperoleh



pahala



surga



ataupun



selamat dari siksa neraka. 2) Kehidupan Empat Sahabat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalah keteguhan para sahabat yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang meneliti kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad-abad sesudahnya. 3) Respon atas kehidupan politik. Konflik-konflik politik yang terjadi sejak masa terakhir masa khalifah Usman bin Affan mempunyai



dampak



terhadap



kehidupan



relegius, sosial, dan politik kaum muslimin. Konflik-konflik ini politik ini terus berlangsung sampai masa khalifah Ali bin Abi Thalib. kemudian umat Islam pecah menjadi beberapa kelompok aliran dalam Islam. 9



-



Perkembangan tasawuf pada masa sahabat Para sahabat juga mencontohi kehidupan rasulullah yang serba sederhana, dimana hidupnya



hanya



semata-mata



diabdikan



kepada Tuhannya. Beberapa sahabat yang tergolong Sufi di abad pertama, dan berfungsi sebagai maha guru bagi pendatang dari luar kota



Madinah,



yang



tertarik



kepada



kehidupan sufi, para sahabat-sahabat tersebut antara lain, Khulafaurrasyidin, Salman AlFarisiy, Abu Dzarr Al-Ghifary, dll. -



Perkembangan tasawuf pada masa tabi‟in Ulama-ulama sufi dari kalangan tabi‟in adalah murid dari ulama-ulama sufi dari kalangan shahabat. Kalau berbicara tasawuf dan perkembangannya pada abad pertama, dengan mengemukakan tokoh-tokohnya dari kalangan



shahabat,



maka



pembicaraan



perkembangan tasawuf pada abad kedua dengan tokoh-tokohnya pula. Tokoh-tokoh ulama sufi Tabi‟in antara lain, Al-Hasan Al-



10



Bashry, Rabi‟ah Al-Adawiyah, Sufyaan bin sa‟id Ats-Tsaury, Daud Ath-Thaaiy, dll. b. Pada Fase ke Dua (Abad ke 3-4H / 9-10 M) 1) Perkembangan



tasawuf



pada



abad



ketiga



hijriyyah Pada abad ini perkembangan tasawuf menjadi pesat, hal ini ditandai dengan adanya segolongan menyelidiki



ahli inti



tasawuf ajaran



yang



mencoba



tasawuf



yang



berkembang pada masa itu, sehingga mereka membaginya ke dalam tiga macam, yakni; Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, ilmu akhlaq dan Metafisika. Tokoh-tokoh sufi pada masa ini diantaranya;



Abu



Sulaiman



Ad-Daaraany,



Ahmad bin Al-Hawaary Ad-Damasqiy, Abul Faidh Dzuun Nun bin Ibrahim Al-Mishry, dll. 2) Perkembangan tasawuf pada abad ke empat hijriyyah Pada abad ini ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan kemajuannya di abad ketiga hijriyyah, karena usaha maksimal para ulama tasawuf 11



untuk



mengembangkan



ajaran



tasawufnya



masing-masing. Tokoh-tokoh sufinya antara lain Musa Al-Anshaary, Abu Hamid bin Muhammad, Abu Zaid Al-Adamy, Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab, dll. c. Fase Ketiga (Abad ke 5 H / 11 M). Pada abad ke 5 H. cenderung mengadakan pembaharuan, yaitu dengan mengembalikannya ke landasan Al-Quran dan As-Sunnah. Di samping adanya pertentangan yang turun temurun antara ulama sufi dengan ulama Fiqih, maka pada abad kelima ini, keadaan semakin rawan ketika berkembangnya mahzab Syi‟ah Ismaa‟iliyah; yaitu suatu mahzab yang hendak mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keturunan Ali bin Abi Thalib. Karena menganggapnya bahwa dunia ini harus diatur oleh imam, karena dialah yang langsung menerima petunjuk dari Rasulullah saw. Menurut mereka ada 12 Imam yang berhak mengatur dunia ini yang disebut sebagai Imam Mahdi yang akan menjelma ke dunia dengan membawa keadilan dan memurnikan agama Islam. 12



Kedua belas imam itu adalah: 1). Ali bin Abi Thalib, 2). Hasan bin Ali, 3). Husein bin Ali 4). Ali bin Husein, 5). Muhammad Al-Baakir bin Ali bin Husein, 6). Ja‟far shadiq bin Muhammad Al Baakir, 7). Musa Al-Kazhim bin Ja‟far Shadiq, 8). Ali Ridhaa bin Kazhim, 9). Muhammad Jawwad bin Ali Ridha, 10). Ali Al-Haadi bin Jawwaad, 11). Hasan Askary bin Al-Haadi, 12). Muhammad bin Hasan Al-Mahdi d. Fase Keempat ( Abad 6-8 H/ 12-14 M). Pada fase ini, tasawuf yang dikembangkan pada abad ke 3 dan ke 4. Tasawuf ini lebih dikenal dengan nama tasawuf falsafi yang ajarannya memadukan antara visi mistik dan visi rasional. Berbeda denagan tasawuf



sunni,



tasawuf



falsafi



menggunakan



terminologi dalam pengungkapannya. Faktof-faktor



yang



menyebabkan



lahirnya



kecenderungan filosofis ini antara lain, terciptanya peluang kontak dan intraksi dengan aliran-aliran mistik, baik sebagai akibat dari penerjemahan maupun berkat ekspansi Islam ke negeri-negeri yang memiliki kecenderungan mistik, seperti, India dan Persia. 13



Adanya pemanduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran-ajaran tasawuf filosofis ini dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf bercampur dengan sejumlah ajaran-ajaran fisafat di luar Islam, seperti Yunani dan Persia. India dan agama Nasrani, akan tetapi orientasinya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, karena para tokohtokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian aliran mereka terutama jika dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai umat Islam. Pada abad keenam, ketujuh dan kedelapan Hijriyyah 1) Perkembangan tasawuf pada abad keenam Hijriyyah; para ulama yang sangat berpengaruh pada zaman ini adalah Syihabuddin Abul Futu As-Suhrawardy, Al-Ghaznawy, 2) Perkembangan



tasawuf



pada



abad



ketujuh



Hijriyyah; ada beberapa ahli tasawuf yang berpengaruh di abad ini diantaranya; Umar Abdul Faridh, Ibnu Sabi‟iin, Jalaluddin ArRuumy.



14



Dalam beberapa abad ini, betul-betul ajaran tasawuf sangat sunyi di dunia Islam, artinya nasibnya lebih buruk lagi dari keadaannya pada abad keenam, dan ketujuh Hijriyyah. Faktor yang menyebabkan runtuhnya ajaran tasawuf ini antara lain, ahli tasawuf sudah kehilangan kepercayaan di kalangan masyarakat Islam. Serta adanya penjajah bangsa



eropa



yang



beragama



Nasrani



yang



menguasai seluruh negeri Islam. 3. Perkembangan Tasawuf Di Indonesia Tersebarnya ajaran tasawuf di Indonesia tercatat sejak masuknya agama Islam di Negara ini. Ketika pedagang-pedagang



muslim



mengIslamkan



orang



tidak



hanya



menggunakan



juga



menggunakan



Indonesia,



pendekatan



bisnis,



tetapi



orang-



pendekatan tasawuf. B. Asal-Usul Tasawuf Banyak pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar yang masuk ke dalam Islam. Sebagian penulis misalnya ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kebiasaan rahib-rahib Kristen yang menjauhi 15



dunia



dan



kesenangan



material.



Ada



pula



yang



mengatakan bahwa tasawuf timbul atas pengaruh ajaran Hindu dan disebutkan pula bahwa ajaran tasawuf berasal dari filsafat Phytagoras dengan ajaran-ajarannya yang meninggalkan



kehidupan



material



dan



memasuki



kehidupan kontemplasi. Dikatakan pula bahwa tasawuf masuk ke dalam Islam karena pengaruh filsafat Plotinus. Disebutkan bahwa menurut filsafat emanasi Plotinus bahwa ruh memancar dari zat Tuhan dan kemudian akan kembali kepada-Nya. Tetapi dengan masuknya ruh ke alam materi, ia menjadi kotor, dan untuk dapat kembali ke tempat Yang Maha Suci, terlebih dahulu ia harus disucikan. Tuhan Maha Suci dan Yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh yang suci, dan pensucian ruh ini terjadi dengan meninggalkan hidup kematerian, dan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin dan kalau bisa hendaknya bersatu dengan Tuhan semasih berada dalam hidup ini. Namun



demikian,



terlepas



atau



tidak



adanya



pengaruh dari luar itu, yang jelas bahwa dalam sumber ajaran Islam, al-Qur‟an dan al-Hadist terdapat ajaran yang dapat membawa kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa 16



Tuhan dekat dengan manusia, yang merupakan ajaran dalam mistisisme ternyata ada di dalam al-Qur‟an dan alHadist. Ayat 186 Surat Al-Baqarah misalnya menyatakan:             Artinya : “Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku. Aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika ia panggil Aku” (QS. Al-Baqarah : 186). Kata ‫ دعا‬yang terdapat dalam ayat di atas oleh sufi diartikan bukan berdoa dalam arti yang lazim dipakai, melainkan dengan arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan memperhatikan diri-Nya kepada mereka. Ayat 115 juga Surat Al-Baqarah juga menyatakan :           Artinya : “Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling di situ (kamu jumpai) wajah Tuhan”. 17



Bagi kaum sufi, ayat ini mengandung arti bahwa di mana saja Tuhan ada dan dapat dijumpai. Selanjutnya dalam hadits dinyatakan : ‫ف ًـَ ْفسَهُ فَقَدْ عَزَف َاهلل‬ َ َ‫هَيْ عَز‬ Artinya : “Siapa yang kenal pada dirinya, pasti kenal kepada Tuhan” Hadits lain juga mempunyai



pengaruh kepada



timbulnya paham tasawuf adalah hadits qudsi yang artinya: “Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin kenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan mereka pun kenal pada-Ku melalui diri-Ku”. Menurut hadits ini, bahwa Tuhan dapat dikenal melalui makhluk-Nya, dan pengetahuan yang lebih tinggi ialah mengetahui Tuhan melalui diri-Nya. Yang dilakukan Nabi Muhammad Saw di Gua Hira merupakan cahaya pertama dan utama bagi nur tasawuf, karena itulah benih pertama bagi kehidupan rohaniah. Di dalam mengingat Allah serta memuja-Nya di Gua Hira, putuslah ingatan dan tali rasa beliau dengan segala makhluk



lainnya.



Di



situ



pula



berawalnya



Nabi 18



Muhammad mendapat hidayah, membersihkan diri dan mensucikan menghinggapi



jiwa



dari



sukma,



noda-noda bahkan



penyakit



sewaktu



itu



yang pulalah



berpuncaknya kebesaran, kesempurnaan, dan kemuliaan jiwa Muhammad Saw. dan membedakan beliau dari kebiasaan hidup manusia biasa. Fakta sejarah menunjukkan bahwa selama hayatnya, segenap kehidupan beliau menjadi tumpuan masyarakat, karena segala sifat terpuji terhimpun pada dirinya, bahkan beliau merupakan lautan budi yang tidak pernah kering airnya kendatipun diminum oleh semua makhluk yang memerlukan



air.



Amal



ibadah



beliau



tiada



tara



bandingannya. Dalam sehari semalam Rasulullah minimal membaca istighfar minimal 70 kali, shalat fardhu, rawatib serta shalat dhuha yang tidak kurang dari delapan rakaat setiap hari. Shalat tahajjud beliau tidak lebih dari sebelas rakaat, dan lama sujudnya sama dengan lamanya sahabat membaca lima puluh ayat. Shalat beliau yang khusuk dan tuma‟ninah amat sempurna. Dalam berdoa, perasaan khauf dan raja‟ selalu dinampakkan Rasulullah dengan tangis dan sedu-sedunya.



19



Masih



banyak



lagi



amalan



Rasulullah



yang



menunjukkan ketasawufannya. Apa yang dikemukakan di atas dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa amalan tasawuf ternyata sudah dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. Pola hidup dan kehidupan Rasulullah yang sangat ideal itu menjadi suri tauladan bagi para sahabatnya, baik bagi sahabat dekat maupun sahabat yang jauh. Tumpuan perhatian mereka senantiasa ditujukan untuk mengetahui segala sifat, sikap dan tindakan Rasulullah, sehingga para sahabat tersebut dapat pula memantulkan cahaya yang mereka terima kepada orang yang ada di sekitarnya dan generasi



selanjutnya.



Amalan



tasawuf



sebagaimana



dipraktekkan oleh Rasulullah itu juga diikuti oleh para sahabatnya. Abu Bakar Ash-Shiddieq misalnya, pernah hidup dengan sehelai kain saja. Dalam beribadat kepada Allah Swt. karena khusu‟ dan tawadhu‟nya sampai dari mulutnya tercium bau limpanya, karena terbakar oleh rasa takut kepada Allah. Pada malam hari Ia beribadat dengan membaca Al-Qur‟an sepanjang malam. Umar bin Khattab dikenal dengan keadilan dan amanahnya yang luar biasa. Ia pernah berpidato di 20



hadapan orang banyak, sedangkan di dalam pakaiannya terdapat dua belas tambalan dan dia tidak memiliki kain yang lainnya. Usman bin Affan dikenal sebagai orang yang tekun beribadah dan pemalu, dan meskipun ia juga dikenal sebagai seorang sahabat yang tekun mencari rezeki, tetapi iapun terkenal sebagai pemurah, sehingga tidak sedikit kekayaannya digunakan untuk menolong perjuangan Islam. Sahabat selanjutnya adalah Ali bin Abi Thalib yang tidak peduli terhadap pakaiannya yang robek dan menjahitnya sendiri. Beberapa tokoh besar dalam sufi adalah : Rabi‟ah alAdawiyah, Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami, Husein bin Mansur al-Hajjaj, dan Al-Ghazali. Demikian fakta sejarah berbicara tentang kehidupan yang dipraktekkan oleh orang-orang yang bertasawuf, meninggalkan kemegahan dunia dan hanya mengabdikan diri untuk akhiratnya.



21



C. Tasawuf di dunia modern. Pada awal abad ke-21 M, terdapat banyak kaum muslim yang berusaha membangkitkan kembali ajaranajaran dan praktik Islam otentik, bukan sekedar untuk menghadapi dominasi politik dan kultural Barat. Hingga sekarang,



sebagian



besar



pengamat



Barat



masih



menganggap kaum pembaharu jenis ini sebagai “harapan Islam untuk memasuki abad modern”. Akan tetapi, dewasa ini, hancurnya identitas budaya Barat dan bangkitnya kesadaran tentang akar-akar ideologis dari gagasangagasan, seperti kemajuan dan pembangunan telah membuat kaum modernis fanatik semakin terlihat naif sekalipun tidak berbahaya. Di Prancis, tasawuf umum diterima secara luas di kalangan kaum intelektual melalui tulisan-tulisan seorang matematikawan



yang



kemudian



beralih



menjadi



metafisikawan, Rene Guenon, juga dikenal sebagai Syaikh „Abd Al-Wahid (w. Kairo 1951). Bukunya yang terkenal adalah The Crisis of the Modern World (1962). Selain itu, kontemporer



masih



lain,



terdapat



seperti



beberapa guru sufi



Syeikh



Fadhlallah



Haeri



(Beginning‟s End, 1987), M.H. Kabbani (The Naqshbandi Sufi 22



Way: History and Guidebook of the Saints of the Golden Chain, 1995) atau Feisal Abdul Rauf (Islam; A Search for Meanings, 1996). Merekalah sebagian dari yang tetap berjuang untuk menjadi suluh atau obor sufi di tengahnya kegelapan kehidupan modern dewasa ini.



D. Hakikat Tasawuf dan Aktualisasinya Dalam Konteks Kehidupan Modern Kehidupan modern semestinya mengikuti alur agama, bukan sebaliknya. Dan, Islam adalah tujuan utama. Sekalipun pada dasarnya saya tidak menyebut dinamika kehidupan saat ini dengan istilah modern. Tak lain karena kehidupan dari awal penciptaan Adam AS sampai hari kiamat nanti sejatinya tidak berbeda, masih kehidupan yang sama. Kehidupan yang ada ialah fase peralihan antara dunia dan akhirat. Di fase inilah, kita wajib menaati apa yang diperintahkan oleh Allah. Melaksanakan kelima rukun Islam dan meyakini keenam rukun iman. Tak ketinggalan di aspek ihsan, seharusnya kita jalani. Antara Sufisme Pra-Modernisme dan Pasca-Modernisme Memperhatikan uraian spiritualisme Islam dalam tulisan ini, maka secara garis besar, sufisme terbagi dalam 23



dua kelompok besar, yaitu sufisme pra-modernisme dan sufisme pasca-modernisme. Walaupun secara substantif tetap sama pada elan vital ajaran, praktik dan tradisinya, namun pada tataran aplikatif, praktis dan pragmatis terhadap



beberapa



hal



yang



membedakan



antara



keduanya. 1. Sufisme Pra-Modernisme a. Penekanan ajaran masih lebih banyak menekankan pada karakter pribadi, dan penggolongan dalam kelompok masih relatif belum berarti. Namun, pada akhirnya



terbagi-bagi



dalam



kelompok,



yang



otoritas personal sangat mendominasi. b. Sebagai model “escape” dari realitas politik dan sosial yang terjadi. c. Memiliki basis tradisi yang kuat, yang kemudian dikanoniskan



dalam



berbagai



naskah-naskah



kesufian, yang dewasa ini masih menjadi rujukan dalam cara bersufi. d. Orientasi mendalam



ukhrawi dalam



terkesan



lebih



kuat



keberimbangannya



dan



dengan



orientasi duniawi.



24



2. Sufisme Pasca-Modernisme a. Doktrin-doktrin kesufian mulai dikritik, diarahkan pada penyesuaian perkembangan masyarakat. b. Sufisme mulai memasuki area politik, ekonomi, dan berbagai



sektor



professional



yang



dahulunya



terkesan “duniawi”. c. Sufisme menjadi gejala kolektif lintas ordo. d. Sufisme juga mulai memasuki area baru, yakni sebagai wacana serta kerja intelektual dan akademis. Islam diturunkan sebagai rahmatan li al-„alamin, diturunkan dalam konteks zamannya untuk memecahkan problem kemasyarakatan pada masa itu. Konteks dan latar belakang perjuangan Rasulullah Saw. dalam situasi dan kondisi Arab Quraisy waktu itu. Pada masa sekarang harus dipahami dalam konteksnya yang tepat, yaitu pemahaman yang mondar-mandir, memasukkan konteks kekinian ke masa diturunkan Al-Qur‟an, dan kembali lagi ke masa kini. Banyak perubahan yang terjadi dari masa ke masa, zaman ke zaman menjadikan manusia semakin buruk. Yang memperburuk manusia adalah penyakit hati yang ada dalam hati nurani manusia itu sendiri. Diantaranya hasud (iri/dengki), yakni ingin menyaingi orang lain dan 25



ingin mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Tidak suka melihat orang lain maju, atau berhasil. Suka mengadu domba (nammam). Sombong (takabbur) merendahkan orang lain, merasa paling hebat. Bangga pada diri sendiri („ujub) dan sebagainya. Sedangkan penyakit hati yang bersifat jasmani ialah berupa hepatitis, infeksi/racun, kelainan genetic, gangguan imun, kanker dan lain sebagainya. Untuk penyakit fisik ini, tentu saja obatnya ada pada medis. Para ahli psikologi mencoba memberikan semacam tips untuk obat hati nurani, antara lain: 1.



Cintai dan hargai semua hal, semua orang dan diri sendiri.



2.



Yakin bahwa kita memiliki kemampuan.



3.



Selalu bersyukur akan semua karunia yang kita terima.



4.



Selalu gembira (jiwa yang sehat menciptakan tubuh yang sehat), dan



5.



Memahami bahwa di dunia ini tidak ada penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Sementara dalam literatur Islam banyak tips yang



selama ini kita kenal dengan istilah “Tombo Ati” yaitu:



26



Pertama, memahami Risalah Tuhan dengan benar dan mengingat maknanya. Kedua, berteman dengan orang baik. Ketiga, tirakat, puasa (tirakat amukti kebejan). Keempat, Ingat Tuhan: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah.”Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tentram” (QS. Ar-Ra‟d/13:28). Kelima, menjalankan perintah Tuhan dengan sungguhsungguh. Tips-tips di atas, pada dasarnya adalah tips yang dianjurkan untuk menjaga hati, bukan mengobati hati yang sudah terlanjur rusak. Ia bersifat mencegah, bukan mengobati. Untuk mengobati, diperlukan terapi yang lebih intens lagi. Terapi itu biasanya bersifat lebih keras, dan membutuhkan kemauan seseorang yang hendak diobati untuk sembuh. Oleh karenanya, lebih baik mencegah dari pada mengobati.



27



Daftar Pustaka



Abuddin, Nata. 2001. Ilmu Kalam, Filasafat dan Tawawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Labib, MZ. 2001. Rahasia Ilmu Tashowwuf. Surabaya: Bintang Usaha Jaya. Syukur, Amin. 2004. Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Syukur, Amin. Dkk. 2009. Terapi Hati dalam Seni Menata Hati. Semarang: Pustaka Nuun. Sholikhin, Muhammad. 2008. Filsafat Dan Metafisika dalam Islam. Yogyakarta: Narasi.



28



PENGERTIAN DAN TUJUAN TASAWUF A. Pengertian Tasawwuf Tasawuf



adalah



suatu



cabang



dari



ilmu



keIslaman yang lebih menekankan pada tujuan pembersihan diri melalui penerapan ajaran-ajaran akhlak secara sistematis dan peresapan nilai-nilai agama secara batiniah. Abdul



Wafa



Taftazani



mengatakan



bahwa



tasawuf adalah gerakan akhlak yang dikembangkan dari akidah-akidah Islam Tujuan tasawuf adalah keinginan yang kuat untuk merasa dekat dengan Allah. dalam hadist nabi: “Dan hambaku terus menerus bertaqarrub/mendekat kepadaku dengan perbatan-perbuatan baik sehingga aku mencintainya”. Siapa yang Aku cintai maka Aku akan menjadikan pendengaran, penglihatan, dan tangan baginya. 29



Metode itu harus ditempuh dengan cara yang baik yaitu Sumber ajaran Tasawuf 1. Ayat-ayat suci Al-Quran 2. Perkehidupan, perilaku, dan perkataan Rasullulah 3. Perilaku para sahabat 4. Perilaku para nabi sebelum Muhammad Saw Awalnya aliran tasawuf murni Islam namun Pada abad ke IV muncul thariqah-thariqah, hingga sebagian penganut tasawuf memasukkan ajaran mistik sebagai sumber ajarannya, campuran mistik Islam dan mistik asing dan falsafah. Gerakan ini sering melahirkan konsep tasawuf yang menyimpang, seperti ajaran tentang fana dan konsep penyatuan diri dengan Tuhan. Pada zaman Rasullulah dan para sahabat istilah tasawuf tidak dikenal, namun konsep tersebut ada pada realitas kehidupan pada masa itu. Gerakan tasawuf mulai tumbuh sekitar abad ke 1 hijriah dengan gerakan zuhud yakni mengasingkan diri dari kehidupan dunia.



30



Istilah tasawuf baru muncul pada awal abad ke 2 hijriyah. istilah ini dirumuskan oleh Ma'ruf al-Kufkhy dan berkembang menjadi ilmu tersendiri yang terpisah dari ilmu fikih. Konsep tersebut dibukukan. Pada abad ke 4 muncul gerakan-gerakan tasawuf atau tarekat-tarekat, pengajaran praktek keagamaan ini dirumuskan oleh guru sufi atau juga disebut syaikh, namun muncullah gerakan tasawuf yang menyimpang. Pada abad ke 5 H. datang imam Al-Ghazali yang berusaha mengembalikan ajaran Tasawuf ke jalan yang benar, Setelah itu muncullah sufi-sufi besar dan ajaran tarekat-tarekat yang muncul dengan ajaran yang selaras dengan tuntunan Al-Quran dan Assunnah



B. Tujuan Tasawwuf Secara umum, tujuan terpenting dari sufi adalah agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Akan tetapi apabila di perhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga sasaran “antara” 31



dari tasawuf yaitu; pertama, tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Kedua, tasawuf yang bertujuan untuk ma‟rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode al-kasyf al-hijab. Ketiga, tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungan manusia dengan Tuhan apa arti dekat dengan Tuhan. Dari uraian singkat tentang tujuan sufisme ini terlihat adanya keragaman dalam tujuan itu. Namun dapat di rumuskan bahwa, tujuan akhir dari sufisme adalah etika murni atau psikologi murni, dan atau keduanya secara bersamaan yaitu: (a) penyerahan diri dari sepenuhnya kepada kehendak mutlak Tuhan karena Dia lah penggerak utama dari seluruh alam ini; (b) penanggalan secara total semua keinginan pribadi dan melepas diri dari sifat-sifat jelek yang berkenaan dari kehidupan duniawi-teresterial-yang di istilahkan sebagai “fana al-ma‟asi dan baqa al-ta‟ah”; dan (c) peniadaan kesadaran terhadap “diri sendiri” serta 32



pemusatan diri pada perenungan terhadap Tuhan semata tiada yang di cari kecuali Dia. Ilahi anta maksudi wa ridhaka mathlubi. C. Ma'rifat sebagai Tujuan Tasawuf 1. Tinjauan Umum Ma‟rifah Imam al-ghazali dan Abu Ali Zainundin AlFanani, mengatakan bahwa pembinaan pribadi dengan menggunakan dengan ajaran tasawuf, dapat melalui dua macam tahapan. Yaitu tahapan pembinaan



aspek



lahir;



berupa



kesopanan



terhadap sesama mahluk yang disebut dengan mengamalkan pergaulan yang sopan santun terhadap sesama makhluk, dengan cara berbuat sesuatu yang baik. Al-Junayd



sendiri



mengatakan,



ma‟rifah



terdiri dari dua macam tingkatan; yaitu sebagai hasil perenungan tentang ciptaan allah, yang disebut dengan “al-ta‟rif” dan hasil pengungkapan diri secara langsung dari Allah, yang disebut dengan “atta‟aruf”. 33



2. Maqam dan hal untuk mencapai ma‟rifah Peserta tasawuf yang akan melalui perjalanan sepritualnya, harus berniat dengan memurnikan keimanannya,



melakukan



taubat



nasuha,



melakukan zuhud dan melakukan ibadah secara terus menerus; baik ibadah lahir maupun ibadah batin. Khusus ibadah batin (dzikir dan tafakur) harus di perkuat dengan 4 macam sikap dan prilaku; yatu: Mengurangi perkataan, Mengurangi makan, Mengurangi tidur dan Mengisolir diri 3. Dzikir dan tafakur untuk ma‟rifah Dzikir



dan



tafakur



merupakan



amalan



peserta tasawuf untuk memperoleh ma‟rifah. Berdzikir dengan cara dan metode tertentu, yang telah di tetapkan oleh masing-masing penganut tarekat, dengan waktu tertentu dan jumlah dzikir yang harus diulang-ulangi. 4. Kondisi Fana dan Baqa dan Ma‟rifah Fana berarti lenyap (musnah) dan baqa artinya tetap (kekal). Fana dan baqa‟ selalu menyatu dalam kondisi kerohanian tertentu. Fana 34



merupakan



permulaannya,



sedangkan



baqa'



merupakan perjalanannya, tetapi keduanya tidak pernah diselingi oleh kondisi kerohanian yang lain, 5. Kondisi Yaqin degan ma‟rifah Timbulnya keyakinan terhadap kebenaran yang dihadapi oleh peserta tasawuf, di awali oleh kondisi muhadharah yang telah didapatkan degan pengetahuan hati, yang di sebut ilmu al-yaqin. Ketika penglihatan batin tetap dan menimbulkan keyakinan yang sangat pasti, maka itu lah yang disebut mushahadah; yaitu penglihatan batin yang sebenarnya, karena hamba dan tuhannya langsung bertatapan. Kondisi bathin ini disebut haqq Alyaqin. 6. Tajalli dengan Ma‟rifah Tajalli merupakan kondisi kerohanian yang dapat menyaksikan cahaya penjelmaan yang maha kuasa dalam ciptaannya, yang di sebut Al-Tajalli fii Af‟al Allah.



35



Secara berturut-turut tingkatan ajalli dari tingkatan pertama hingga yang ketiga, lalu menanjakkan kepada tingkatan ke-4 (tajalli dalam zatnya), lalu menjadi tiga macam kondisi yang dialami oleh sufi: a. Kondisi penyatuan hamba degan tuhannya b. Kondisi peniadaan sesuatu, lalu muncul zat yang esa, maka dialah satu-satunya yang ada c. Kondisi penyatuan kembali hambanya dengan tuhannya,



sehingga perilaku dan ucapan



hamba 7. Ittihad, Hulul dan Wahdatu Al-wujud dengan Ma‟rifah Ittihada adalah kondisi penyatuan hamba dengan tuhannya, setelah melalui peniadaan diri, penyaksian,



penemuan



zat



dengan



rasa



kenikmatan yang luar biasa, maka ini juga yang di sebut kebahagiaan yang tinggi (alsa‟addatu alquswa)



atau



kebahagiaan



yang



sempurna



(tamammu al-sa‟addah).



36



8. Jam‟u dan Farqu dengan ma‟rifah Arti jam‟u berbeda dengan ittihad, jam‟u artinya



bersatu



sedangkan



ittihad



artinya



menyatu, sedangkan farqu artinya pembeda, tapi dalam tasawuf di artikan perbedaan hamba dengan tuhannya pengalaman mistik D. Fungsi Tasawuf Adalah



kesadaran



murni



(fitrah)



yang



mengarahkan jiwa yang benar kepada amal dan kegiatan yang sungguh-sungguh menjauhkan diri dari keduniaan dalam rangka mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan untuk mendapatkan perasaan perhubungan yang erat dengan wujud yang mutlak. Tasawuf mempelajari cara dan jalan bagaimana agar seorang muslim dapat berada sedekat mungkin di hadirat Tuhannya. Tujuan



tasawuf



adalah



untuk



memperoleh



hubungan langsung secara sadar dengan Tuhan. Hakikatnya



adalah



kesadaran



akan



adanya 37



komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan



dengan



cara



mengasingkan



diri



dan



berkontemplasi. Beban-beban syariat yang di perintahkan kepada manusia dapat di bagi menjadi dua kategori: 1. Hukum–hukum yang berkaitan dengan amal-amal lahiriah. 2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan amal-amal bathin. Dengan kata lain ada amal-amal yang berkaitan dengan raga manusia dan ada amalamal yang berkaitan dengan hati manusia. Amal-amal yang berkaitan dengan raga dibagi menjadi 2 macam: 1. Perintah seperti sholat, zakat, haji dan lainlainnya. 2. Larangan seperti membunuh, berzina, mencuri, meminum khamer dan lain-lainnya Amal-amal yang berkaitan dengan hati juga di bagi menjadi 2 macam: perintah dan larangan. Yang berkenaan dengan perintah adalah iman kepada Allah, malaikatNya dan rasul-rasulNya. Demikian 38



juga perintah untuk, ikhlas, ridha, jujur, khusyuk, tawakal, dan sebagainya. Sedangkan yang berkaitan dengan larangan adalah kufur, munafiq, sombong, ujub, riya, menipu, dendam, dengki dan lain sebagainya. Amal-amal



kategori



kedua



yang



berkaitan



dengan hati lebih penting dan lebih utama dari amalamal kategori pertama dalam pandangan Allah. Meskipun keduanya sama-sama penting, sebab batin adalah dasar dan sumber dari lahiriyah. Rusaknya amal-amal



batin



akan



mengakibatkan



rusaknya



lahiriyah. “barang siapa mengharapkan perjumpaan dengan tuhannya, hendaknya dia mengerjakan amal saleh dan tidak mempersekutu seorang pun dalam beribadah pada tuhannya.”(QS, Al_Kahfi: 110) Oleh karena itu Rasullah memotifasi para sahabat untuk memperhatikan masalah perbaikan hati. Beliau juga menjelaskan bahwa baiknya sesorang tergantung pada baiknya hati dn kesembuhan dari penyakitpenyakit



yang



tersembunyi.



Beliau



bersabda:



“ingatlah! di dalam tubuh manusia ada segumpal darah. 39



Jika dia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan jika dia rusak mak rusaklah seluruh tubuhnya. Segumpal darah itu adalah hati. “(HR.bukhori Muslim) Nabi SAW juga mengajarkan kepada para sahabatnya bahwa Allah



hanya akan melihat hati



hamba-hambaNya. Baliau bersabda: “sesungguhnya Allah tidak akan melihat jasad dan bentuk kalian akan tetapi Allah melihat hati kalian.” Jika barometer baik dan tidaknya seseorang tergantung pada baik dan tidaknya hatinya yang merupakan sumber dari amal lahiriyah, maka dia di tuntut



untuk



memperbaiki



hati



dengan



membebaskannya dari sifat-sifat tercela yang di larang oleh Allah dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji yang di perintahkanNya. Dengan begitu hatinya akan menjadi sehat dan bersih, dan dia tergolong



orang



yang



menang,



selamat



dan



beruntung di akhirat. Allah berfirman “pada hari saat harta dan anakanak tidak berguna, kecuali orang-orang yang



40



menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS. Asy –syu‟ara: 88-89). Membersikan hati dan mensucika jiwa termasuk kewajiban individual (fardhu a‟in) yang paling penting dan perintah tuhan yanng paling utama. Berdasarkan al-Quran, al-hadits dan pendapat para ulama. 1. Dalil al-Quran a) Firman Allah “katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak atau pun yang tersembunyi” (QS.AlA‟raf:33) b) Firman Allah:”dan janganlah kalian mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi.”(QS. AlAn‟am: 151) 2. Dalil Hadits a) Semua



hadis



yang



menjelaskan



tentang



larangan untuk dendam, sombong, ria‟, dengki dan sifat-sifat tercela lainya, juga hadis-hadis yang memerintahkan kuntuk menghiasi hati 41



dengan



segala



ahalak



yang



terpuji



dan



melakukan muamalah dengan baik. b) Abu Hurairah meriwayatkan dari nabi Saw, beliau bersabda: “iman itu memiliki lebih dari tujuh



puluh



bagian



yang



paling



tinggi



tingkatannya adalah ucapan „tiada tuhan selain Allah„.



Yang



paling



rendah



adalah



menyingkirkan duri dari jalan (yang di lalui orang).



Dan



malu



adalah



bagian



dari



iman.”(HR. Bukhari dan Muslim) Dari hadis di atas dapat di pahami bahwa kesempurnaan iman seseorang di raih dengan menyempurnakan



sifat-sifat



yang



merupakan



bagian dari iman tersebut. Imannya bertambah jika sifat-sifat yang bertambah dan berkurang jika sifatsifat tersebut berkurang. Penyakit-penyakit batin cukup untuk menggugurkan amal-amal seseorang meskipun banyak. 3. Pendapat para ulama‟ Menurut para ulama‟ penyakit hati termasuk dosa besar yang membutuhkn tobat tersendiri. 42



Penulis kitab Jauharah at-Tauhid menyatakan hal tersebut dalam syairnya: Perintahkan kepada kebaikan dan hindarilah adu domba Gibah dan semua sifat tercela Seperti ujub, angkuh, dan penyakitr dengki Juga seperti pamer dan gemar berdebat Al-Bajuri



pensyarah



Jauharah



at-Tauhud



mengatakan bahwa yang di maksud oleh penulis dengan “sifat-sifat tercela” adalah semua sifat tercela yang di larang oleh syariat. Hanya saja, penulis



menyebutkan



spesifik



untuk



beberapa



memberi



sifat



tekanan



secara



terhadap



penyakitr hati tersebut. Adanya penyakit-penyakit tersebut di dalam penampilan yang baik ibarat pakaian yang bagus di pakaikan pada tubuh yang penuh dengan kotoran. Dalam hasyiyah-nya Ibnu Abidin menyatakan bahwa hukum mengetahui sifat ikhlas, ujub, dengki, dan pamer adalah fardhu ain . begitu juga halnya hukum mengetahui penyakit-penyakit hati lainnya, seperti sombong, rakus, dendam, marah, permusuhan,



benci,



tamak,



bakhil,



ceroboh, 43



angkuh, khianat, mencari muka, keengganan untuk menerima kebenaran, menipu, kejam , panjang angan-angan dan lain sebagainya. Hukum



menghilangkan



semua



penyakit-



penyakit hati adlah fardhu a‟in. Dan hal itu tidak mungkin di lakukan kecuali dengan mengetahui batasan,



penyebab,



tanda-tanda



dan



metode



pengobatannya. Barang siapa tidak mengetahui suatu kejahatan maka dia akan terperosok di dalamnya.



44



DAFTAR PUSTAKA Syadeli, Ahmad. 1997. Filsafat Umum. CV Pustaka Setia. B. Lewis, (ed). 1983. The Encyclopaedia of Islam, Vol. II Leiden: Ej. Brill,. Al Ghozali, 1977. Al-Munqidz min al-Dhalal (Kairo: AlMatba‟ah al-Islamiyah. Shohibulwafa,



'Arifin.



1975.



"Miftahus



Shudur".



Diterjemahkan oleh Aboebakar Atjeh menjadi "Kunci Pembuka Dada". Jilid 1 dan 2. Tasikmalaya, Jawa barat: Yayasan Serba Bakhti Suryalaya. Penterjemah/Pentafsir Al Qur'an Departemen Agama RI. (1974). "Al-Qur'an dan Terjemahnya", Jakarta: Depag RI. Idies, Sah. 1990. "Sufi Thought and Action". London: Octagon Press



45



MACAM-MACAM TASAWWUF Para ahli Ilmu Tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada empat bagian: Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki dan ketiga tasawuf amali, keempat tasawwuf sunni. Keempat macam tasawuf ini tujuannya sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias



diri



dengan



perbuatan



terpuji,



Dengan



demikian dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. 1. Pendekatan Tasawwuf Keempat macam tasawuf ini berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan,yaitu: a. Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat di kalangan 46



para



filosof,



seperti



filsafat



tentang



Tuhan,



manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya. Tokohnya antara lain: Al-hallaj, Akbariyyah. b. Tasawuf



akhlaqi



adalah



tasawuf



yang



berkonsentrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq



mazmunah



dan



mewujudkan



akhlaq



mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama‟ lama sufi. Tokohnya antara lain: Imam Al-Ghozali. Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan 47



bila mungkin mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut: 1) Takhalli Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi. 2) Tahalli Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan 48



adapun yang bersifat



dalam adalah seperti



keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan. 3) Tajalli Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan



perbuatan-perbuatan



yang



luhur-



tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya. c. Tasawuf



amali



pendekatan



yang



digunakan



adalah pendekatan amaliyah atau wirid, yang selanjutnya di sebut sebagai thariqah. Tokohnya antara lain: Abdul Qodir Al-jailani



49



d. Pada



tasawuf



sunni



aliran



ini



berusaha



memadukan aspek hakikat dan syari‟at yang senantiasa



memelihara



sifat



kezuhudan



dan



mengkonsentrasikan pendekatan diri pada Allah dengan berusaha sungguh-sungguh berpegang teguh terhadap ajaran sunnah dan shirah para sahabat. Adapun karakteristik tasawuf sunni ini adalah: a. Ajarannya benar-benar menurut Al-qur‟an dan sunnah dan tidak keluar dari syari‟at-syari‟at agama Islam b. Cenderung pada prilaku keagamaan dan pada pemikiran c. Banyak dikembangkan oleh kaum salaf d. Termotivasi untuk membersihkan jiwa lebih berorientasi pada aspek dalam yaitu cara hidup yang



lebih



mengutamakan



rasa,



lebih



mementingkan keagungan tuhan dan bebas dari egoisme. Harun Nasution mengatakan bahwa Alquran dan hadis mementingkan akhlak. Alquran dan hadis 50



menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolongmenolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikiran lurus. Nilainilai ini yang harus dimiliki seorang Muslim yang akan bertasawuf sebagai pembentukan ke arah pribadi yang mulia. Dalam tasawuf masalah ibadah sangat menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji, dan



lain



sebagainya,



yang



dilakukan



dalam



mendekatkan diri kepada Allah Swt. ibadah yang dilakukan itu erat kaitannya dengan akhlak. Dalam hubungan



ini



Harun



Nasution



lebih



lanjut



mengatakan, bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Alquran dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan ajaran 51



amar ma‟ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak/berpribadi mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah yang selalu melaksanakan pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka pada setiap kali beribadah. Hal itu dalam istilah sufi disebut dengan al-Takhallu bi akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau al-Ittishaf bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah. 2. Perkembangan Tasawuf Akhlaqi dan Falsafi Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf yang mengarah pada teori-teori prilaku dan tasawuf yang mengarah memerlukan



pada



teori-teori



pemahaman



yang



rumit



mendalam.



dan Pada



perkembangannya, tasawuf yang berorientasi kearah pertama sering disebut sebagai tasawuf akhlaqi. Ada yang menyebutnya sebagai tasawuf yang banyak 52



dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi. Pembagian dua jenis tasawuf di atas didasarkan atas kecenderungan ajaran yang dikembangkan, yakni kecenderungan pada prilaku atau moral keagamaan dan kecenderungan pada pemikiran. Dua kecenderungan



ini



terus



berkembang



hingga



mempunyai jalan sendiri-sendiri. Untuk melihat perkembangan tasawuf ke arah yang berbeda ini, perlu ditinjau lebih jauh tentang gerak sejarah perkembangannya. Pada



mulanya



tasawuf



merupakan



perkembangan dari pemahaman tentang makna institusi-institusi Islam. Sejak zaman sahabat dan tabi‟in, kecenderungan pandangan orang terhadap ajaran Islam secara lebih analitis sudah muncul. Ajaran Islam dipandang dari dua aspek, yaitu aspek lahiriah (seremonial) dan aspek batiniah (spiritual), atau aspek “luar” dan aspek “dalam”.



53



Perkembangan mengalami



tasawuf



beberapa



fase:



dalam



Islam



pertama,



yaitu



telah fase



asketisme (zuhud) yang tumbuh pada abad pertama dan kedua hijriyah. Sikap asketisme (zuhud) ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini, terdapat individu-individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam



kehidupan,



yaitu



tidak



mementingkan



makanan, pakaian maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dengan



kehidupan



akhirat,



yang



menyebabkan



mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan dan tingkah laku yang aksetis. Pada abad ketiga Hijriyah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan



tingkah laku. Perkembangan



doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi yang ditandai dengan upaya menegakkan moral ditengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang saat itu sehingga ditangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi 54



ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf



terlihat



sebagai



amalan



yang



sangat



sederhana dan mudah dipraktekkan oleh semua orang. Kesederhaannya dapat dilihat dari kemudahan landasan-landasan atau alur berpikirnya. Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas pengamalan Islam dalam praktek yang lebih menekankan prilaku manusia yang terpuji. Kaum salaf tersebut melaksanakan amalanamalan tasawuf dengan menampilkan akhlak atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan bathiniah ajaran Islam yang mereka nilai banyak



mengandung



muatan



anjuran



untuk



berakhlak terpuji. Oleh karna itu, ketika mereka menyaksikan ketidakberesan



prilaku (akhlak) di



sekitarnya, mereka menanamkan kembali akhlak mulia. Pada masa ini tasawuf identik dengan akhlak. Kondisi tersebut kurang lebih berkembang selama satu abad, kemudian pada abad ketiga hijriyah, mucul jenis tasawuf lain yang lebih menonjolkan pemikiran 55



yang eksklusif. Golongan ini diwakili oleh Al-Hallaj, yang kemudian dihukum mati karena menyatakan pendapatnya mengenai hulul (pada 309 H) Untuk itu, kehadiran



Al-Hallaj



di



anggap



membahayakan



pemikiran umat. Banyak pengamat menilai bahea tasawuf jenis ini terpengaruh unsure-unsur diluar Islam. Pada abad kelima hijriyah muncullah Imam alGhazali,



yang



sepenuhnya



menerima



tasawuf



berdasarkan al-Qur‟an dan as-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mu‟tazilah dan Bathiniyah. al-Ghazali berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran Ahlu Sunnah Waljama‟ah, dan bertentangan dengan tasawuf al-Hallaj dan Abu Yazid al-Bushtami, terutama mengenai soal karakter manusia.



56



Sejak abad keenam Hijriyah, sebagai akibat pengaruh kepribadian al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf sunni semakin meluas keseluruh pelosok dunia Islam. Sejak abad keenam Hijriyah, muncul sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang setengah-setengah. Artinya, tidak dapat disebut murni tasawuf, tetapi juga tidak dapat disebut murni filsafat.



Mereka



mendalam



pun



mengenai



banyak jiwa,



mempunyai



moral,



teori



pengetahuan,



wujud dan sangat bernilai baik ditinjau dari segi tasawuf dan filsafat, dan berdampak besar bagi para sufi mutakhir. Dengan munculnya para sufi yang juga filosof, orang mulai membedakannya dengan tasawuf yang mula-mula berkembang, yakni tasawuf akhlaki. Kemudian, tasawuf akhlaki ini identik dengan tasawuf Sunni. Hanya saja, titik tekan penyebutan tasawuf Sunni dilihat pada upayayang dilakukan oleh sufi-sufi yang memagari tasawufnya dengan alQur‟an dan as-Sunnah. Dengan demikian, aliran 57



tasawuf terbagi menjadi dua, yaitu tasawuf Sunni yang lebih berorientasi pada pengokohan akhlak, dan tasawuf falsafi, yakni aliran yang menonjolkan pemikiran-pemikiran



filosofis



dengan



ungkapan-



ungkapan ganjilnya (syathahiyat) dalam ajaran-ajaran yang dikembangkannya. Selama abad kelima Hijriyah, aliran tasawuf sunni terus tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, aliran tasawuf filosofis mulai tenggelam dan muncul kembali dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam hijriyah dan setelahnya. Tenggelamnya aliran kedua ini pada dasarnya merupakan imbas kejayaan aliran teologi Ahlu Sunnah Waljama‟ah diatas aliran-aliran lainnya. Kejayaan tasawuf sunni diakibatkan oleh kepiawaian Abu



Hasan



al-Asy‟ari



(wafat



324



H)



dalam



menggagas pemikiran-pemikiran Sunninya terutama dalam bidang ilmu kalam. Oleh karena itu, tasawuf pada abad kelima Hijriyah cenderung mengalami pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya pada landasan al-Qur‟an 58



dan as-Sunnah. Dalam penilaiannya, ia menegaskan bahwa para tokoh sufi aliran ini membina prinsipprinsip tasawuf atas landasan-landasan tauhid yang benar sehinga doktrin mereka terpelihara dari penyimpangan. Selain itu, mereka lebih dekat dari tauhid kaum salaf maupun Ahlu Sunnah yang menakjubkan. al-Ghazali dipandang sebagai pembela terbesar tasawuf Sunni. Pandangan tasawufnya seiring dengan para sufi aliran pertama, para sufi abad ketiga dan keempat hijriyah. Di samping itu, pandanganpandangannya seiring dengan al-Qusyairi dan alHarawi. Namun, dari segi-segi kepribadian, keluasan pengetahuan, dan kedalaman tasawufnya, al-Ghazali memiliki kelebihan dibandingkan dengan semua tokoh di atas. Ia sering diklaim sebagai seorang sufi terbesar dan terkuat pengaruhnya dalam khazanah ketasawufan di dunia Islam. Dengan



demikian,



abad



kelima



Hijriyah



merupakan tonggak yang menentukan kejayaan tasawuf Sunni. Pada abad tersebut, tasawuf Sunni 59



tersebar uas di kalangan dunia Islam. Fondasiya begitu dalam terpancang untuk jangka lama pada berbagai lapisan masyarakat Islam. Di luar dua aliran tasawuf di atas, ada juga yang memasukkan aliran tasawuf yang ketiga, yaitu tasawuf Syi‟I atau Syi‟ah. Pembagian yang ketiga ini didasarkan atas ketajaman pemahaman kaum sufi dalam menganalisis kedekatan manusia dengan Tuhan. Kaum Syi‟ah merupakan golongan yang dinisbatkan kepada pengikut Ali bin Abi Thalib. Pemikiran-pemikiran kefilsafatan juga sudah begitu berkembang



mendahului



wilayah-wilayah



Islam



lainnya. Oleh karena itu, perkembangan tasawwuf Syi‟I dapat ditinjau melalui kacamata keterpengaruhan Persia oleh pemikiran-pemikiran filsafat Yunani. Ibnu Khaldun melihat kedekatan tasawuf filosofis dengan sekte Isma„iliyyah dari Syi‟ah. Menurutnya, kedua kelompok ini meliki kesamaan, khususnya dalam persoalan “quthb” dan “abdal”. Bagi para sufi filosof,



60



quthb



adalah puncaknya kaum „arifin, sedangkan



abdal merupakan perwakilan.



3. Ajaran Tasawuf Akhlaqi Bagian



terpenting



tujuan



tasawuf



adalah



memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga merasa dan sadar berada di “hadirat” Tuhan. Keberadaan di “hadirat” Tuhan itu dirasakan sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Bagi kaum sufi, pengalaman Nabi dalam Isra‟ Mi‟raj, misalnya,



merupakan



sebuah



contoh



puncak



pengalaman rohani. Ini adalah pengalaman rohani tertinggi yang hanya dipunyai oleh seorang Nabi. Semua sufi berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang dapat mengantarkan seseorag ke hadirat Allah hanyalah dengan kesucian jiwa. Karena jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari Dzat Allah yang suci, segala sesuatu itu harus sempurna (perfection) dan suci, sekalipun tingkat kesucian dan kesempurnaan itu bervariasi menurut dekat dan jauhnya dari sumber aslinya. Untuk mencapai tingkat 61



kesempurnaan



dan



kesucian,



jiwa



memerlukan



pendidikan dan pelatihan mental yang panjang. Oleh karena itu, pada tahap pertama teori dan amalan tasawuf diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental pendisiplinan tingkah laku yang ketat. Sejalan dengan tujuan hidup tasawuf, para sufi berkeyakinan bahwa kebahagiaan yang paripurna dan langgeng bersifat spiritual. Berangkat dari falsafah hidup itu, baik dan buruknya sikap mental sesoramg terhadap



dinilai kehidupan



berdasarkan duniawi.



pandangannya Falsafah



hidup



seseorang tentang kehidupan material merupakan alat ukur bagi baik buruknya sikap mental



atau



rohaninya. Oleh karena itu, dalam rangka pendidikan mental, yang pertama dan utama dilakukan adalah menguasai atau menghilangkan penyebab utamanya, yaitu



hawa



nafsu.



Menurut



Al-Ghazali,



tak



terkontrolnya hawa nafsu yang ingin mengecap kenikmatan hidup duniawi adalah sumber utama dari kerusakan akhlak.



62



Dengan demikian, dalam rangka pendidikan mental-spritual, metode yang ditempuh para sufi adalah menanamkan rasa benci kepada kehidupan duniawi. Ini berarti melepaskan kesenangan duniawi untuk mencintai Tuhan. Para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriah. Itulah sebabnya, pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat. Tujuannya adalah menguasai hawa nafsu; menekan hawa nafsu sampai ke titik terendah; dan bila mungkin mematikan hawa nafsu sama sekali. Untuk itu, dalam tasawuf akhlaqi, sistem pembinaan akhlak disusun berikut ini. a. Takhalli Takhalli merupakn langkah pertama yang harus



dijalani



sufi.



Takhalli



adalah



usaha



mengosongkan diri dari perilaku atau akhlak tercela.



63



b. Tahalli Yang dimaksud tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Dengan demikian, tahap tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan tadi. Apabila satu kebiasaan telah dilepaskan, tetapi tidak segera ada penggantinya, maka kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi. Oleh karena itu, ketika



kebiasaan lama



ditinggalkan, harus segera diisi dengan satu kebiasaan baru yang baik. Jiwa manusia, seperti kata al-Ghazali, dapat diubah, dilatih, dikuasai, dan dibentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Sikap mental dan perbuatan baik yang sangat penting diisikan ke dalam jiwa manusia dan dibiasakan



dalam



perbuatan



dalam



rangka



pembentukan manusia paripurna, antara lain berikut ini:



64



1) Tobat Menurut Qamar Kailani dalam bukunya Fi Al-Tashawwuf Al- Islami, yang dimaksud dengan tobat adalah rasa penyesalan sungguh-sungguh dalam hati yang disertai permohonan ampun serta berusaha meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa. 2) Cemas dan harap (khauf dan raja‟) Sikap mental rasa cemas (khauf) dan harap (raja‟), merupakan salah satu ajaran tasawuf yang selalu dikaitkan kepada Hasan Al-Bashri (wafat tahun 110 H). Karena, secara historis dialah yang pertama kali memunculkan ajaran ini sebagai ciri kehidupan sufi. Rasa takut dapat mendorong seseorang untuk mempertinggi nilai dan kadar pengabdiannya dengan harap (raja‟), ampunan dan anugrah Allah. 3) Zuhud Sesuai dengan pandangan sufi, hawa nafsu duniawilah yang menjadi sumber kerusakan moral manusia. Sikap kecenderungan seseorang 65



kepada hawa nafsu mengakibatkan kebrutalan dalam mengejar kepuasan nafsunya. Dorongan jiwa yang ingin menikmati kehidupan duniawi akan menimbulkan kesenjangan antara manusia dengan Allah. Al-Ghazali, mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi keterikatan kepada dunia untuk kemudian menjauhinya dengan penuh kesadaran. Al-Qusyairi mengartikan zuhud



sebagai suatu sikap menerima rezeki



yang Diterimanya. Kendatipun didefinisikan dengan redaksi yang berbeda, inti dan tujuan zuhud adalah sama, yaitu tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir. Dunia harus



ditempatkan



sebagai



sarana



dimanfaatkan secara terbatas dan terkendali. Jangan



sampai



kenikmatan



duniawi



menyebabkan susutnya waktu dan perhatian kepada



tujuan



yang



sebenarnya,



yaitu



kebahagiaan yang abadi diakhirat Ilahi.



66



4) Al-faqr Al-faqr



bermakna tidak menurut lebih



banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki sehingga tidak meminta suatu yang lain. Dengan



demikian,



pada



prinsipnya



sikap



mental fakir merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja, zuhud



lebih keras menghadapi



kehidupan duniawi, sedangkan fakir hanya sekadar pendislipinan diri dalam mencari memanfaatkan fasilitas hidup. Sikap fakir dapat munculkan sikap wara‟, yaitu sikap menurut para sufi, adalah sikap berhati-hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang jelas masalahnya. 5) Al-Shabru Salah satu sikap mental yang fundamental bagi seorang sufi adalah sabar. Sabar diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil, dan konsekuen dalam pendirian. Jiwanya tidak tergoyahkan;



pendiriannya



tidak



berubah 67



bagaimanapun berat tantangan yang dihadapi; pantang mundur dan tak kenal menyerah. Sikap sabar dilandasi oleh anggapan bahwa segala



sesuatu



yang



terjadi



merupakan



kehendak (iradah) Tuhan. Tercapainya karakter sabar merupakan respon dari keyakinan yang dipertahankan. Dengan kata lain, keyakinan adalah landasan sabar. al-Ghazali membedakan tingkatan sabar. Kemampuan menghadapi hawa nafsu, perut, dan sosial disebut iffah. Kesanggupan seseorang menguasai diri agar tidak marah dinamakan hilm. Ketabahan hati untuk menerima nasib dinamakan qana‟ah, sedangkan yang bersifat pantang menyerah dan satria dikatakan syaja‟ah. 6) Rida Sikap mental rida merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabah dan sabar. Rida mengandung pengertian menerima dengan lapang dada terbuka terhadap apa saja yang datang dari Allah, baik dalam menerima 68



serta melaksanakan ketentuan-tentuan agama maupun yang berkenan dengan masalah nasib dirinya. Rasa



cinta



yang



diperkuat



dengan



ketabahan akan meninbulkan kelapangan hati dan kesedihan yang tulus untuk berkorban dan berbuat apa saja yang diperintahkan oleh yang dicintai. Rela menuruti yang dikehendaki Allah tanpa ada merasa di paksa, tidak dibarengi sikap oposisi dan tidak pula terlintas rasa menyesali nasib yang dialami. 7) Muraqabah seorang calon sufi sejak awal sudah diajarkan bahwa dirinya tidak pernah lepas dari pengawasan Allah. Seluruh aktifitas hidupnya ditujukan untuk



berada sedekat



mungkin



dengan Allah. Kesadaran itu membawanya pada satu sikap mawas diri atau Muraqabah. Kata ini mempunyai arti yang mirip dengan Introspeksi atau self correction. Dengan kalimat yang lebih populer dapat dikatakan bahwa 69



Muraqabah adalah siap dan siaga setiap saat untuk meneliti keadaan diri sendiri. c. Tajalli Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Para sufi berpendapat bahwa untuk mencapai tingkat kesempurnaan



kesucian



jiwa



hanya



dapat



ditempuh dengan satu jalan, yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa kecintaan itu. Dengan kesucian jiwa, jalan untuk mencapai Tuhan akan



terbuka.



Tanpa



jalan



ini



tidak



ada



kemungkinan terlaksananya tujuan dan perbuatan yang dilakukan pun tidak dianggap sebagai perbuatan yang baik.



70



DAFTAR PUSTAKA



Al-Taftazani, abu, wafa‟, 1985, sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung: Pustaka. Anwar, Rosikhon, 2000, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, Asmaran, As, 1996, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers. Mahfud, 2009, Ilmu Tasawuf, Cirebon, Solihin, Muhtar, dan, Anwar, Rosikhon, 2002, kamus tasawuf, Bandung: Rosda Karya.



71



TOKOH-TOKOH TASAWUF A. Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani 1. Rabi’ah al-Adawiyyah a. Biografi Singkat Rabi‟ah al-Adawiyyah Nama lengkapnya adalah Rabi‟ah binti Isma‟il



al-Adawiyyah



al-Bashriyyah



al-



Qaisiyyah. Rabi‟ah digelari juga dengan “Umm al-Khair”. Beliau lahir pada tahun 95 H (713 M) di suatu perkampungan dekat kota Bashrah dan wafat di kota yang sama pada tahun 185 H (801 M). Rabi‟ah adalah putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Itulah sebabnya, orangtuanya



menamakan



Rabi‟ah.



Kedua



orangtuanya meninggal ketika beliau masih kecil. Dikisahkan bahwa sejak kanak-kanak beliau telah menghafal al-Qur‟an, sangat rajin beribadah dan hidup sederhana. 72



Konon



pada



saat terjadinya



bencana



perang di Bashrah, beliau dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais, banu Adawiyyah. Dari sini beliau dikenal dengan



al-Qaisiyyah



atau



al-Adawiyyah.



Beliau bekerja keras pada keluarga ini, namun kemudian dibebaskan karena tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Rabi‟ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat beliau sedang beribadah. Setelah dimerdekakan tuannya, Rabi‟ah hidup



menyendiri



menjalani



kehidupan



sebagai seorang zahidah dan sufiah. Beliau menjalani sisa hidupnya hanya dengan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sebagai kekasihnya. Beliau memperbanyak taubat dan menjauhi hidup duniawi. Beliau hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang lain. Dalam doanya pun, beliau tidak meminta halhal yang bersifat materi. Beliau adalah contoh 73



sufi pecinta Tuhan yang dengan konsep mahabbah-nya



menemukan



ma‟rifat



yang



sesungguhnya. Rabi‟ah al-Adawiyyah seumur hidupnya tidak pernah menikah. Sebagai wanita zahidah, beliau selalu menolak setiap lamaran beberapa pria shaleh dengan mengatakan: “Akad nikah adalah hak pemilik alam semesta. Sementara itu bagi diriku, hal tersebut tidak ada karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup di dalam naungan firmanNya. Akad nikah mesti dari-Nya, bukan dariku. b. Ajaran Tasawuf Rabi‟ah al-Adawiyyah Isi pokok ajaran tasawuf Rabi‟ah adalah tentang cinta, oleh karena itu dia mengabdi, melakukan alam shaleh bukan karena takut masuk neraka atau mengharap masuk surga, tetapi cintanya kepada Allah. Cintalah yang mendorongnya ingin selalu dekat dengan Allah dan cinta itu pulalah yang membuat dia 74



sedih karena takut terpisah dari yang dicintai. Bagi Rabi‟ah, Allah merupakan Dzat yang dicintai, bukan sesuatu yang ditakuti. Ajaran terpenting dari sufi wanita ini adalah mahabbah dan bahkan menurut banyak pendapat, dia merupakan orang pertama yang mengajarkan hubb (cinta) dengan isi dan pengertian



yang



khas



tasawuf.



Hal



ini



barangkali ada kaitannya dengan kodratnya sebagai wanita yang berhati lembut, penuh kasih dan memiliki rasa estetika yang dalam. Cinta murni kepada Tuhan merupakan puncak ajaran dalam tasawuf yang dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat yang puitis. Rabi‟ah



al-Adawiyyah,



dalam



perkembangan mistisme Islam tercatat sebagai peletak



dasar



kepada



Allah.



tasawuf Hal



ini



berdasarkan karena



cinta



generasi



sebelumnya merintis aliran asketisme dalam Islam berdasarkan rasa takut dan berharap kepada Allah. Rabi‟ah pula yang pertama-tama 75



mengajukan



pengertian



rasa



tulus



ikhlas



dengan cinta yang berdasarkan permintaan dari Allah. Sikap dan pandangannya tentang cinta dapat dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Rabi‟ah pernah berkata: “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka. Bukan pula karena ingin masuk surga. Akan tetapi, aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya. Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut pada neraka, bakarlah aku di dalamnya dan jika kupuja Engkau karena mengharap surga, jauhkanlah aku daripadanya, tetapi jika Engkau kupuja semata-mata karena Engkau, maka janganlah sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dariku.” Hubb al-Hawa‟ ialah rasa cinta yang timbul dari nikmat yang diberikan Allah. Adapun yang dimaksud nikmat disini adalah nikmat yang bersifat materi, sehingga hubb ini bersifat 76



indrawi. Hubb al-Hawa‟ yang diajukan Rabi‟ah ini tidak berubah, meskipun nikmat yang diterimanya bertambah atau berkurang. Hal ini karena dia tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada dibalik nikmat tersebut. Adapun al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apaapa. Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabi‟ah timbul karena perasaan cinta kepada Dzat yang dicintai. Karena



seluruh



lorong



hatinya



telah



dipenuhi cinta Illahi, maka tidak ada lagi tempat yang kosong untuk mencintai, bahkan juga untuk membenci yang lain. Seseorang pernah bertanya kepadanya, “Apakah engkau benci kepada setan?” Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci kepada setan.” karena begitu cintanya kepada 77



Tuhan, dia pernah ditanya tentang cintanya kepada Nabi Muhammad. Dia menjawab, “Aku cinta kepada Nabi, tetapi cintaku kepada Pencipta memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk.” Cinta



Rabi‟ah



kepada



Allah



begitu



mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya, sehingga membuatnya merasa selalu hadir bersama Tuhan. Hal ini seperti terungkap dalam syairnya: َ‫فَارْحَنِ ال ٍَوْمَ هُذًِْباً قَدْ اَتاَكا‬



‫سوَاكَا‬ ِ ًِ‫ٌاَ حَبِ ٍْبِ القَ ْلبِ هَال‬



َ‫سوَاكا‬ ِ ‫ب‬ َ ‫ح‬ ِ ٌُ ْ‫ئ وَرَحَتًِ َوسُ ُزوْرِي قَدْ اَبَى القَ ْلبِ اَى‬ ِ َ‫ٌاَ رَجا‬ Buah hatiku, aku tidak memiliki cinta selainMu Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu Engkaulah harapanku, kebahagianku dan kesenangankku Hati ini telah tertutup untuk mencintai selainMu Dalam kesempatan bermunajat, Rabiah berdialog dengan Tuhan sebagai berikut, “Wahai Tuhanku, tenggelamkan aku dalam mencintai-Mu



sehingga



tidak



ada



yang 78



menimbulkan aku selain diri-Mu. Ya Tuhan, bintang di langit telah gemerlapan, orangorang telah bertiduran dan pintu-pintu istana telah ditutup. Pada saat itulah semua pecinta telah menyendiri dengan yang dicintai dan inilah aku berada di hadirat-Mu.” Sewaktu fajar menyinsing, Rabi‟ah berkata, “Tuhanku, malam telah berlalu dan siang telah siap menampakkan



diri.



Aku



gelisah



apakah



amalanku Engkau terima, sehingga aku merasa bahagia ataukah Engkau tolak, sehingga aku merasa bersedih. Demi kemahakuasaanmu, inilah yang akan ku lakukan selama Engkau beri aku hayat. Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintumu, aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu telah memenuhi seluruh hatiku.” Melalui hubb, Rabi‟ah ingin memandang wajah Tuhan yang selalu dia rindu. Dia juga ingin dibukakan tabir yang memisahkan antara dirinya dan Tuhan. 79



2. Dzu an-Nun al-Mishri a. Biografi Singkat Dzu an-Nun al-Mishri Dzu



an-Nun



al-Mishri



adalah



nama



julukan bagi seorang sufi yang hidup di sekitar pertengahan



abad



III



Hijriah.



Nama



lengkapnya Abu al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Beliau dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir pada tahun 180 H (796 M) dan wafat ada tahun 246 H (856 M). Julukan “Dzu an-Nun” diberikan



kepadanya



sehubungan



dengan



berbagai kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya.



Diantaranya,



beliau



pernah



mengeluarkan seorang anak dari perut buaya di sungai Nil dengan selamat atas perminttan ibu dari anak tersebut. Asal mula Dzu an-Nun al-Mishri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang



sufi



banyak



diutarakan.



Dalam



perjalanan hidupnya, Dzu an-Nun al-Mishri selalu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Beliau pernah menjelajahi berbagai daerah 80



di



Mesir,



mengunjungi



Baitul



Maqdis,



Baghdad, Makkah, Hijaz, Syiria, pegunungan Lebanon, Anthokiah dan lembah Kan‟an. Hal ini memungkinkannya untuk



memperoleh



pengalaman yang banyak dan mendalam. Beliau hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu hadits, fiqh dan tasawuf sehingga beliau dapat mengambil pelajaran dari mereka. Beliau pernah mengikuti pengajian Imam Ahmad bin Hambal. Beliau mengambil riwayat hadits diantaranya dari Malik dan al-Laits. Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya, antara lain al-Hasim bin Mush‟ib an-Nakha‟i. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Saqran al-Abd



atau



Israfil



memungkinkan



al-Maghribi.



baginya



untuk



Ini



menjadi



seorang yang alim, baik dalam ilmu syariat maupun tasawuf. Sebelum



Dzu



an-Nun



al-Mishri,



sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, 81



tetapi beliau adalah orang yang perama yang memberi



tafsiran



terhadap



isyarat-isyarat



tasawuf. Beliau pun merupakan orang pertama di Mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqamat. Beliau adalah seorang wali dan orang yang pertama memberi definisi tauhid dengan corak sufistik. Beliau mempunyai pengaruh besar



terhadap



pembentukan



pemikiran



tasawuf. Tidaklah mengherankan jika sejumlah penulis menyebutnya sebagai selah seorang peletak dasar-dasar tasawuf. Pendapat



tersebut



cukup



beralasan



mengingat Dzu an-Nun al-Mishri hidup pada masa awal pertumbuhan ilmu tasawuf. Lagi pula, beliau seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberanian itulah yang



menyebabkannya



harus



berhadapan



dengan gelombang protes yang disertai dengan tuduhan zindik.Akibatnya, beliau dipanggil menghadap Khalifah al-Mutawakkil. Namun, 82



beliau dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penug penghormatan. Kedudukannya sebagai wali diakui secara umum tatkala beliau wafat meningga;kan dunia fana ini. b. Ajaran Tasawuf Dzu an-Nun al-Mishri Sebagai seorang sufi kenamaan, Dzu anNun



al-Mishri



memiliki



beberapa



ajaran.



Ajaran tersebut mempunyai pengaruh yang cukup kuat di kalangan masyarakat muslim, khususnya bagi pengamal sufistik. Diantara ajaran-ajaran Dzu an-Nun al-Mishri adalah sebagai berikut: 1) Pandangan Dzu an-Nun al-Mishri tentang Ma‟rifat Dzu an-Nun al-Mishri adalah pelopor paham ma‟rifat. Walaupun istilah ma‟rifat sebelumnya



sudah



dikenal,



namun



pengertian ma‟rifat versi tasawuf barulah dikenal



dengan



kemunculannya.



Disamping itu, jasa yang paling besar adalah



ajarannya



yang



menetapkan 83



keharusan melewati maqamat dan ahwal dalam perjalanan menuju ma‟rifat. Dengan kata lain, sejak kemunculan Dzu an-Nun alMishri berkembanglah pengertian ma‟rifat yang khas di dunia sufi. Selain itu, mulailah tersusun amalan-amalan tertentu dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah, yang dikenal maqamat dan ahwal. Dzu



an-Nun



al-Mishri



berhasil



memperkenalkan ma‟rifat versi tasawuf, berikut penjelasannya: Pertama, beliau membedakan antara ma‟rifat sufiyyah dengan ma‟rifat aqliyyah. Ma‟rifat



yang



pertama



menggunakan



pendekatan kalbu yang biasa digunakan para sufi, sedangkan a‟rifat yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua, menurut Dzu an-Nun al-Mishri, ma‟rifat



sebenarnya



adalah



musyahadah



qalbiyyah (penyaksian hati), sebab ma‟rifat 84



merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali. Ketiga, teori-teori Dzu an-Nun alMishri menyerupai gnosisme ala NeoPlatonik.



Teori-teorinya



itu



kemudian



dianggap sebagai jembatan menuju teoriteori wahdahasy-syuhud dan ittihad. Beliau pun



dipandang



sebagai



orang



yang



pertama kali memasukkan unsur filsafat ke dalam tasawuf. 2) Pandangan Dzu an-Nun al-Mishri tentang Maqamat dan Ahwal Pandangan tentang



Dzu



maqamat



an-Nun



al-Mishri



dikemukakan



pada



beberapa hal saja, yaitu taubat, sabar, tawakal dan ridha. Menurutnya



bahwa



simbol-simbol



zuhud adalah sedikit cita-cita, mencintai kefakiran dan memiliki rasa yang cukup disertai



dengan



kesabaran.



Kendati



demikian, dapat diketahui bahwa jumlah 85



maqam yang disebut al-Mishri lebih sedikit dibandingkan



dengan



para



sufi



sesudahnya.



3. Abu Yazid al-Busthami a. Biografi Singkat Abu Yazid al-Busthami Nama



lengkapnya



adalah



Abu



Yazid



Thaifur bin Isa bin Sorushan al-Busthami. Beliau lahir di daerah Bustham (Persia). Nama kecilnya adalah Thaifur. Kakeknya bernama sorushan, seorang Zoroaster yang memeluk Islam di Bustham, timur laut Persia. Keluarga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, tetapi lebih memilih



hidup



sederhana.



Sejak



dalam



kandungan, konon kabarnya Abu Yazid telah memiliki kelainan. Ibunya berkata, jika ia menyantap



makanan



yang



diragukan



kehalalannya, si janin akan memberontak dan ia pun menjadi muntah. Ketika meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan 86



seorang yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orangtuanya. Suatu waktu gurunya menerangkan suatu ayat dari Surah Luqmaan yang berbunyi, “Bersyukurlah kepada Aku dan kepada kedua orangtuamu.” Ayat ini sungguh menggetarkan Abu Yazid. Beliau kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa beliau selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah. Perjalanan Abu Yazid menjadi dufi membutuhkan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, beliau terlebih dahulu menjadi seorang faqih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali as-Sindi. Beliau mengajarkan berbagai ilmu, diantaranya ilmu tauhid dan ilmu hakikat. Dalam menjalani kehidupan zuhud selama tiga belas tahun, Abu Yazid mengembara di sejumlah gurun pasir di Syiria. Beliau makan, minum dan tidur sedikit sekali. Hal itu 87



dilakukannya



karena



semata-mata



ingin



bertaqarrub kepada Allah dan memperoleh keridhaan-Nya.Abu



Yazid



meninggal



di



Bustham pada tahun 261 H (874 M) dan ada yang mengatakan wafat pada tahun 264 H (877 M). Beliau dimakamkan sejajar dengan alHujwiri. b. Ajaran Tasawuf Abu Yazid al-Busthami Dalam ajaran tasawuf yang terpenting dari Abu Yazid adalah fana dan baqa. Dari segi bahasa, fana berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Fana ialah hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala



perbuatan



manusia



sehingga



ia



kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar dan ia telah menghilangkan



semua



kepentingan



ketika



berbuat sesuatu.Jalan menuju fana menurut 88



Abu



Yazid



dikisahkan



dalam



mimpinya



menatap Tuhan. Beliau bertanya, “Bagaimana caranya agar aku bisa sampai pada-Mu?” Tuhan menjawab,



“Tinggalkan



diri



kemarilah.”



Abu



sendiri



Yazid



(nafsu)mu



dan



sebenarnya



pernah melontarkan kata fana dalam salah satu ucapannya: ُ‫اَعْزِفُهُ حَتَى فٌََ ٍْتُ ثُنَ عَزَفْتُهُ بِهِ فَحٍََ ٍْت‬ Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana, kemudian aku tahu padaNya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup. Adapun baqa berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan menurut istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa tidak dapat dipisahkan dengan paham fana karena keduanya merupakan paham yang berpasangan.



Jika



seorang



sufi



sedang



mengalami fana, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa.



89



B. Tokoh Tasawuf Falsafi 1. Ibnu Arabi a. Biografi Singkat Ibnu Arabi Nama lengkap beliau adalah Abu Bakar bin Ali Ahmad bin Abdullah ath-Tha‟i al-Haitami al-Andalusia. Ia terkenal dengan panggilan Muhyidin Ibnu Arabi. Ia lahir di Murcia, AndalusiaSpanyol tahun 560 H dari keluarga terpandang dan wafat pada tahun 638 H. Orangtuanya sendiri adalah seorang sufi yang memiliki kebiasaan berkelana. Pada usia 8 tahun, Ibnu Arabi sudah merantau ke Lisabon untk belajar agama dari seorang ulama yang bernama Syaikh Abu Bakar bin Khalaf. Setelah belajar ilmu al-Quran dan hukum Islam, ia pindah lagi ke Sevilla dan disana ia mempelajari al-Quran, Hadits, dan Fiqih dari seorang ulama Andalusia terkenal yaitu Ibnu Hazm az-Zhohiri. Ibnu Arabi adalah penulis produktif. Menurut Bowne, ada 500 judul karya tulis dan 90 judul diantaranya asli tulisan 90



tangannya yang disimpan di perpustakaan Mesir.



Diantaranya



adalah



al-Futuhat



al-



Makiyyah yang ditulis pada tahun 1201 M, tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji dan juga Fushush al-Hikam. b. Ajaran Tasawuf Ibnu Arabi 1) Wahdah al-Wujud Ajaran Wahdah



sentral



Ibnu



al-Wujud



Arabi



(kesatuan



adalah wujud).



Menurut Ibnu Taimiyah, Wahdah al-Wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya, orang-orang yang menganut paham tersebut mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib alwujud yang dimiliki al-Khalik adalah juga dimiliki oleh makhluk. 2) Insan kamil Insan



Kamil



dipergunakan



oleh



adalah kaum



nama



yang



sufi



untuk



menanamkan seorang muslim yang telah sampai tingkat tertinggi. Tingkat tertinggi 91



itu, menurut sebagian sufi, adalah ketika seseorang telah sampai pada fana‟ fillah. Masalah Insan Kamil dalam pandangan Ibnu Arabi tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan nur Muhammad, seperti ditegaskan, “Ketahuilah yang dimaksud dengan Insan Kamil hanyalah nur Muhammad, yaitu roh Illahi yang Dia titipkan kepada Nabi Adam. Ia adalah esensi kehidupan dan awal manusia, sementara nabi muhammad adalah insan kamil yang paling sempurna. Menurut Ibnu Arabi untuk mencapai derajat itu harus melalui jalan sbb: 



Fana, yaitu sirna di dalam wujud Tuhan hingga



kaum



sufi



menjadi



satu



dengannya. 



Baqa, yaitu kelajutan wujud bersama Tuhannya



sehingga



dalam



pandangannya, wujud Tuhan ada pada kesegelaannya.



92



Semua



ini,



menurut



Ibnu



Arabi



merupakan upaya pencapaian ke tingkat Insan Kamil yang hanya dapat diperoleh melalui pengembangan daya institusi atau dzauq.



2. Ibnu Masarrah a. Biografi Singkat Ibnu Masarroh Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah



bin



Masarrah



(269-319



H).



Ia



merupakan salah seorang sufi sekaligus filsuf dari Andalusia, Spanyol. Ia juga memberikan pengaruh yang besar terhadap mazhab alMariyyah. Ibnu Hazm mengatakan bahwa Ibnu Masarrah memiliki kecenderungan yang besar terhadap filsafat. Sementara itu, menurut Mushthafa



Abdul



Raziq,



Ibnu



Masarrah



termasuk sufi aliran Ittihadiyyah. Bersamaan dengan masa Ibnu Masarrah, di Andalusia telah muncul tasawuf Falsafi. Ia lebih banyak disebut-sebut sebagai filsuf 93



ketimbang pandangan



sufi.



Namun,



filsafatnya



pandangan-



tertutupi



oleh



kezahidannya. Pada mulanya, Ibnu Masarrah merupakan penganut sejati aliran Mu‟tazilah, tetapi



ia



berpaling



pada



mazhab



Neo-



Platonisme. Oleh karena itu, ia dianggap mencoba



menghidupkan



kembali



filsafat



Yunani Kuno. Walaupun demikian, Ibnu Masarrah tergolong sufi yang memadukan paham



sufistiknya



dengan



pendekatan



filosofis. b. Ajaran Tasawuf Ibnu Masarrah Diantara ajaran-ajaran Ibnu Masarrah adalah sebagai berikut: Jalan



menuju



keselamatan



adalah



menyucikan jiwa, zuhud, dan mahabbah yang merupakan asal dari semua kejadian. Dengan penakwilan ala Philun atau aliran Isma‟iliyyah terhadap ayat-ayat Alquran, ia menolak adanya kebangkitan jasmani.



94



C. Tokoh Tasawuf Sunni 1. Abu Said Al Hasan Al Basri Hasan Al Basri adalah ulama‟ terkemuka dari generasi tabi‟in. Ia lahir di Madinah pada 642/21 H. Ayahnya Yassar, yang berasal dari daerah Maisan (terletak antar Basrah dan Wasit) adalah anggota angkatan perang Persia, tertawan oleh pasukan Islam di Irak pada 638/16 H, kemudian memeluk Islam, dan menjadi maulah (anggota keluarga) Zaid bin Sabit. Ibunya, Khairah, adalah maulah Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad. Hasan Al-Basri termasuk ulama‟ besar yang disegani. Ia dikenal sebagi Imam Basrah. Pada dirinya berpadu kepribadian ulama‟ Makkah dan Madinah, yang banyak berpegang pada nas (alQuran dan Sunnah Nabi) dengan kepribadian ulama‟



Irak,



pemikiran.



yang



banyak



Pengetahuannya



menggunakan



luas,



mencakup



bidang tafsir dan hadits, bidang akidah dan fiqih, sastra Arab dan lebih-lebih bidang kerohanian, yang kemudian menjadi perhatian ilmu tasawuf. 95



Ia dikenal sebagai zahid besar, yang menjadi rujukan bagi zahid-zahid yang muncul kemudian. Hasan



al-Basri



dikenal



berani



memberi



peringatan kepada pihak penguasa. Kepada Umar Hubairat, yang diangkat menjadi Gubernur di Irak (722/103) dan telah berjanji untuk senantiasa melaksanakan



perintah



Khalifah



Yazid,



ia



memberi nasihat : “Tanamkanlah perasaan gentar pada Allah, bukan kepada Yazid, Allah mampu memisahkan anda dari si Yazid, sedang Yazid tidak mampu memisahkan anda dari Allah, Allah pada suatu saat akan mengirin malaikat-Nya untuk merenggut anda dari kursi jabatan anda, dan menarik anda dari istana yang luas ini untuk dibawa ke ruang kubur yang sempit, pada saat itu tiada sesuatu yang dapat membebaskan anda kecuali amal anda sendiri. Hai Aba Hubairat, tiada



kepatuhanm



kepada



makhluk



dalam



mendurhakai Khalik.”



96



2. Abu Abdillah Al Haris Bin Asad Al Basri Al Muhasi Abu Abdillah Al Haris Bin Asad Al Basri Al Muhasi adalah ulama‟ terkemuka dalam lapangan tasawuf. Ia lahir di Basrah, Irak, pada 781 (165H), pindah pada usia kanak-kanak ke Baghdad, Ibukota Daulat Abbasiyah, dan juga wafat di ibu kota tersebut pada 875 (243 H), dalam usia 87 tahun. Sebagai tokoh yang cukup lama berada dalam lingkungan ahli hadits dan fikih, maka tasawuf yang dipilih dan diajarkannya adalah tasawuf yang kuat berpegang pada al-Quran dan Sunnah Nabi, tidak mau melanggar batas-batas syariat. Juga sebagai yang pernah membarikan perhatian besar pada persoalan-persoalan ilmu kalam, maka tasawufnya adalah tasawuf yang yang memberikan penghargaan tinggi pada akal. Ia



meyakini



kebenaran



isi



hadits



yang



diriwayatkannya yang menyatakan : “Allah tidak menerima



shalat



seseorang



yang



puasanya, 97



hajinya, umrahnya, sedekahnya, jihadnya, dan berbagai kebaikan yang diucapkannya, apabila ia tidak memikirkannya (memahaminya).” Pandangan-pandangan al-Muhasibi dalam lapangan tasawuf dapat dijumpai dalam tulisantulisannya yang cukup banyak. Al- Muhasibi juga mempunyai murid-murid yang banyak, Junaid al Baghdadi, juga sufio terkemuka, adalah satu di antara mereka, sangat mengagumi keagungan kepribadian al-Muhasibi, dan sangat bersedih sekali, ketika sang guru ini wafat. 3. Al Qusyairi Al-Qusyairi, lengkapnya Abul-Qasim Abdul Karim al Qusyairi, adalah sufi terkemuka dari abad ke-11 (5 H). Ia lahir pada 986 (376 H) di Istiwa, dekat dengan salah satu pusat pengajaran ilmu-ilmu agama, kota Nisyapur (di Iran). Dengan berlatar belakang kematangan dalam ilmu syari‟at, tidak mengherankan bahwa tasawuf yang diambil dan diajarkan oleh al-Qusyairi yang 98



sejalan dengan ajaran syari‟at. Dari tulisantulisannya yang dijumapi terlihat bahwa ia berupaya menyadarkan orang bahwa tasawuf yang benar adalah tasawuf yang berdasarkan pada akidah yang benar, seperti yang dianut oleh para salaf atau Ahlus Sunnah, tidak menyalahi aturan syariat. Karya al-Qusyairi yang amat berharga bagi sejarah kesufian adalah karya tulisnya yang bernama Ar-Risalah Qusyairiat, karena dengan karya tulis tersebut, ia telah berhasil mengabdikan warisan kaum sufi abad ke tiga dan empat hijriyah, berupa keteranganketerangan



tentang



perjalanan



hidup



dan



wejangan-wejangan para tokoh sufi. Al-Qusyairi memperingatkan bahwa tasawuf yang tidak disertai dengan upaya yang sungguhsungguh untuk menyucikan diri dan menjauhkan diri dari yang tercela adalah tasawuf yang batil atau yang berpura-pura; setiap kebatinan yang menyalahi syariat yang lahir, bukanlah kebatinan setiap tauhid yang tidak bersesuaian dengan al99



Quran dan Sunnah bukanlah tauhid, tapi talhid atau penyelewengan, dan setiap makrifat yang tidak disertai wara‟ atau menjauhi apa saja yang diragukan kehalalannya dan istiqamah (lurus dan teguh



pendirian)



bukanlah



makrifah,



tapi



khufarat (khayalan kosong). 4. Abu Hamid Al-Ghazali Adalah ulama‟ yang amat berpengaruh dan diagungkan di dunia Islam. Gelarnya antara lain adalah Hujjat al Islam yang mengandung arti: bukti kebenaran Islam. Ia dilahirkan di Desa Gazelah, dekat Tus, Iran Utara, pada 1058 (450 H). Setelah dididik dalam lingkungan orang tua dan guru yang zahid pada masa kecil, ia belajar pada masa Nizamiyah di Tus, Jurjan, dan Nisyapur. Di Nisyapur inilah, ia berusia 20-28 tahun, berguru dan



bergaul



dengan



Imam



Al-Juwaini.



Selanjutnya ia berada di Muaskar (1085-1090/478483 H) dan Baghdad (1090-1095/483-488 H). Di



100



Baghdad inilah ia menjadi pemimpin Madrasah Nizamiyah dan guru besar yang amat disegani. Al-Ghazali selain mahir berbicara, juga amat produktif menulis. Karya tulisnya relati banyak, lebuh dari 228 buku atau risalah, dalam berbagai lapangan: tasawuf, teologi, falsafat, logika, fikih dan lain-lain. sebagai ulama‟ yang mengerti filsafat, al-Ghazali mengingatkan ulama‟ agar tidak menyerang falsafat secara membabi buta, sebab hal itu akan merugikan agama. Ada 20 pendirian para filosof yang dikupas dan diserang oleh al-Ghazali, tiga diantaranya, yaitu: pendirian bahwa alam adalah qadim (tak bermulai), Tuhan tidak mengetahui juziyyah (perincian:kasus



individual),



dan



tidak



ada



kebangkitan jasmani di Hari Kiamat. Sebagai ulama‟



yang



mengunggulkan



akhirnya



memilih



jalan



tasaawuf,



dan



lebih



al-Ghazali



mengingatkan bahwa pengetahuan akal tentang banyak hal dalam wilayah empiris atu matematis, memang diterima oleh hati dengan keyakinan 101



yang penuh. Adapun pengetahuan akal tentang Tuhan yang didasarkan pada dalil-dalil, dapat juga diterima hati, tetapi tidak dengan keyakinan yang penuh. Hati baru merasa memiliki makrifat (pengetahuan) tentang Tuhan dengan keyakinan yang



penuh,



yang



tidak



mungkin



dapat



digoyahkan oleh apapun, bila mata hati mengarah ke wilayah gaib terbuka, atau tidak lagi tertutup oleh hijab (penutup) apapun, sehingga bisa secra langsung menyaksikan rahasia tuhan, dengan rasa bahagia sejati yang tiada taranya. Hanya para nabi yang memilki hati demikian, tanpa usaha. Yang bukan nabi haruslah menempuh perjuangan (mujahadah)



panjang



dan



keras



untuk



menyucikan hatinya sedemikian rupa, sampai mata hati itu terbuka, seperti yang diusahakan para sufi. Para nabi dan sufi, dengan demikian, memiliki tingkat makrifat yang berbeda di atas tingkat makrifat teolog, filosof dan kaum awam.



102



DAFTAR PUSTAKA Al-Ghazali, Syakirin, H.M. 2010. Ilmu Tasawuf Sebuah Pengantar. Sukoharjo: Aswaja Institut Surakarta http://aftanet.blogspot.com/2009/09/tasawuf-sunnipemikiran-dan-tokoh.html http://www.ikhsanuddin.com/2010/11/tasauf-irfanidan-tokoh-tokohnya.html http://tasawuffalsafidantokohnya.blogspot.com/



103



MAQAMAT DAN AHWAL A. Pengertian Maqamat Maqamat bentuk jamak dari maqam berarti tahapan, tingkatan, atau kedudukan. Jadi, maqamat adalah tahapan rohani yang ditempuh oleh para pengamal tasawuf untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ada beberapa tingkatan dalam maqam yaitu: 1. Tobat Orang yang menempuh jalan sufi terlebih dahulu harus bertobat dari dosa, yang dilakukan oleh anggota badan, maupun yang tersembunyi di dalam hati. 2. Wara‟, Wara‟ yaitu meninggalkan segala sesuatu yang syubhat, yaitu segala sesuatu yang yang diragukan hukumnya, tidak jelas halal-haramnya, 104



dan meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna. 3. Zuhud Zuhud yaitu mengosongkan hati dari cinta terhadap dunia dan menjalani beribadah



kepada



hidup untuk



Allah



SWT,



serta



mengosongkan hati dari selain Allah SWT dan memusatkan hati kepada cinta-Nya. 4. Faqir Faqir



yaitu



menjalani



hidup



dengan



kesadaran bahwa ia hanya membutuhkan Allah SWT. 5. Sabar Sabar yaitu sabar dalam menjalani perintah, sabar dalam meninggalkan larangan, sabar dalam menghadapi kesulitan, dan sabar atas ni‟mah yang dilimpahkan oleh Allah SWT kepadanya. 6. Tawakal Tawakal



yaitu



menyerahkan



segala



sesuatunya kepada Allah SWT, tidak bergantung



105



kepada selain-Nya, dan tidak pula kepada amal perbuatannya (nafsunya). 7. Rida Rida yaitu menerima dengan senang hati segala sesuatu yang ditakdirkan oleh Allah SWT dan menyadari bahwa ketentuan-Nya lebih baik daripada keinginannya.



B. Pengertian Ahwal Ahwal adalah bentuk jamak dari „hal‟ yang biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. “ahwal” sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Lebih lanjut kaum sufi mengatakan bahwa hal adalah anugerah dan maqam adalah perolehan. Tidak ada maqam yang tidak dimasuki hal dan tidak ada hal yang terpisah dari maqam. Hal juga terdiri dari beberapa macam. Namun, konsep pembagian atau formulasi serta jumlah hal



106



berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Diantara macammacam hal yaitu : 1. Muraqabah Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau



mengamati



tujuan.



Adapun



secara



terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi oleh penciptanya. 2. Khauf Al-khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan



sampai



Allah



merasa



tidak



senang



kepadanya. 3. Raja‟ Raja‟ adalah sikap optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Allah SWT yang disediakan bagi hambaNya yang saleh dan dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar untuk melakukan



107



berbagai amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang buruk dan keji. 4. Syauq Syauq



bermakna



lepasnya



jiwa



dan



bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah. Jika pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu dan bersama Allah. 5. Mahabbah Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya taubat yang 108



menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. al-Junaid menyebut



mahabbah



kecenderungan



hati.



sebagai



Artinya,



hati



suatu seseorang



cenderung kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha. Tokoh utama paham mahabbah adalah Rabi‟ah alAdawiyah (95 H-185 H). Menurutnya, cinta kepada Allah merupakan cetusan dari perasaan cinta dan rindu yang mendalam kepada Allah. 6. Tuma‟ninah Secara bahasa tuma‟ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran



karena



ia



telah



mencapai



tingkat



kebersihan jiwa yang paling tinggi. 7. Musyahadah Dalam



perspektif



tasawuf



musyahadah



berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat 109



melihat Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah. 8. Yaqin al-yaqin



berarti



perpaduan



antara



pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan alJunaid yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal . C. Mahabbatullah Imam



al-Ghazali



mengatakan



bahwa



cinta



kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan ia menduduki derajad/level 110



yang tinggi. Dalam tasawuf, setelah di raihnya maqam mahabbah ini tidak ada lagi maqam yang lain kecuali buah dari mahabbah itu sendiri. Pengantarpengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain-lain nantinya akan berujung pada mahabatullah (cinta kepada Allah). Menurut Sang Hujjatul Islam ini kata mahabbah berasal dari kata hubb yang sebenarnya mempunyai asal kata habb yang mengandung arti biji atau inti. Sebagian sufi mengatakan bahwa hubb adalah awal sekaligus akhir dari sebuah perjalanan keberagamaan kita. Kadang kadang kita berbeda dalam menjalankan syariat karena mazhab/aliran. Cinta kepada Allah yang merupakan inti ajaran tasawuf adalah kekuatan yang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan itu. dan menerima terhadap apa-apa yang di berikan Allah. Bahkan ia akan selalu ridha terhadap Allah walaupun cobaan berat menimpanya. Menurut bahagia



di



al-Ghazali akhirat



makhluk



adalah



yang



yang paling



paling kuat



kecintaannya kepada Allah Swt. Menurutnya, ar111



ru‟yah (melihat Allah) merupakan puncak kebaikan dan kesenangan. Bahkan kenikmatan surga tidak ada artinya dengan kenikmatan kenikmatan perjumpaan dengan Allah Swt. “Shalat adalah mi‟rajnya orang beriman” begitulah bunyi sabda Nabi Saw. untuk menisbatkan kualitas shalat bagi para pecinta. Shalat merupakan puncak pengalaman ruhani di mana ruh para pecinta akan naik ke sidratul muntaha, tempat tertinggi di mana Rasulullah di undang langsung untuk bertemu dengan-Nya. Seorang Aqwiya (orangorang yang kuat kecintaannya pada Tuhan) akan menjalankan shalat sebagai media untuk melepaskan rindu mereka kepada Rabbnya, sehingga mereka senang sekali menjalankannya dan menanti-nanti saat shalat untuk waktu berikutnya, bukannya sebagai tugas



atau



kewajiban



yang



sifatnya



memaksa.



Seorang pecinta akan berhias wangi dan rapi dalam shalatnya, melebihi saat pertemuan dengan orang yang paling ia sukai sekalipun. Bahkan mereka kerap kali menangis dalam shalatnya. Kucuran air mata para pecinta itu



merupakan



bentuk



ungkapan 112



kerinduan



dan



kebahagiaan



saat



berjumpa



denganNya dalam sholatnya. Mencintai Allah bukan sebatas ibadah vertikal saja (mahdhah), tapi lebih dari itu ia meliputi segala hal termasuk muamalah. Keseimbangan antara hablun minallah dan hablun minannas Jadi cinta kepada Allah pun bisa diterjemahkan ke dalam cinta kemanusiaan yang lebih kongkrit, misalnya bersikap dermawan dan memberi makan fakir miskin. Sikap dermawan inilah yang dalam sejarah telah di contohkan oleh Abu bakar, Abdurahman bin Auf, dan sebagainya. Bahkan karena cintanya yang besar kepada Allah mereka memberikan sebagian besar hartanya dan hanya



menyisakan



sedikit



saja



untuk



dirinya.



Mencintai Allah berarti menyayangi anak-anak yatim, membantu saudara saudara kita yang di timpa bencana, serta memberi sumbangan kepada kaum dhuafa dan orang lemah yang lain.



113



DASAR-DASAR AL-QUR’AN DAN HADIST TENTANG ILMU TASAWUF A. Dasar-Dasar Al-Qur’an Tentang Ilmu Tasawuf al-Qur‟an dan as-Sunnah adalah nash. Setiap muslim kapan dan dimanapun dibebani tanggung jawab



untuk



memahami



dan



melaksanakan



kandungannya dalam bentuk amalan yang nyata. Tasawuf, pada awal pembentukannya, adalah akhlak atau keagamaan, sedangkan moral keagamaan ini banyak diatur dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah. Sumber pertamannya adalah ajaran-ajaran Islam sebab tasawuf ditimba dari al-Qur‟an as-Sunnah dan amalan Serta ucapan para sahabat. Amalan serta ucapan para sahabat itu tentu saja tidak keluar dari ruang lingkup al-Qur‟an as-Sunnah. Karena itu, dua sumber utama tasawuf



adalah al-Qur‟an dan as-



Sunnah. 114



al-Qur‟an merupakan kitab Allah yang di dalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik aqidah, syari‟ah, aupun muamalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat yang termaktub dalam al-Qur‟an. Ayat-ayat al-Qur‟an itu, di satu sisi memang ada yang perlu dipahami secara tekstual-lahiriah, tetapi di sisi lain juga ada hal yang perlu dipahami secara kontekstual-rohaniah. Jika dipahami secara lahiriah saja, ayat-ayat al-Qur‟an akan terasa kaku, kurang dinamis, dan tidak mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis. Secara umum, ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya nanti melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur‟an dan as-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya. al-Qur‟an antara lain berbicara tentang kemungkinan



manusia



dapat



saling



mencintai 115



(mahabbah)



dengan



tuhan.



Hal



itu



misalnya



difirmankan dalam Q.S. Al-Maidah ayat 54



yang



berbunyi:                                         Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak allah akan mendatangkan suatu kaum yang allah mencintai mereka dan merekapun mencintainya, yang berikap lemah lembut terhadap orang yang mu‟min, yang bersikap keras terhadap orang yang kafir, yang berjihad di jalan allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencelah. Itulah karuniah allah, diberikan kepada siapa yang dikehendakinya, dan allah mahaluas (pemberiannya) lagi maha mengetahui” Berdasarkan dasar al-Qur‟an tentang tasawuf secara eksplisit, di atas memiliki ciri-ciri yaitu :



116







Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah.







Bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir.







Mereka berjihad di jalan Allah







Tidak takut kepada celaan pencela Dari ayat di atas para ahli sufi menafsirkannya



bahwa akan datang suatu kaum yang dicintai Allah dan mereka juga mencintai Allah, sebagaimana yang tercantum



didalam



Tafsir



al-Misbah



karangan



Quraish Shihab bahwa Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah. Cinta Allah kepada hamba-Nya dipahami para mufassir dalam arti limpahan kebaikan dan anugerah-Nya. Cinta Allah dan karunianya tidak terbatas dan cinta manusia kepada Allah bertingkat-bertingkat, tetapi yang jelas adalah cinta kepada-Nya merupakan dasar dan prinsip perjalanan menuju Allah, sehingga semua peringkat (maqam) dapat mengalami kehancuran



117



kecuali cinta. Cinta tidak bisa hancur dalam keadaan apapun selama jalan menuju Allah tetap ditelusuri. Bahwa Allah memerintahkan manusia agar senantiasa memohan



bertaubat ampunan



membersihkan



diri



kepada-Nya



dan



sehingga



memperoleh cahaya dari-Nya. Hal ini sesuai dengan ayat al-Qur‟an surah at-Tahrim ayat 8 yaitu:                                                



Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orangorang beriman bersama dengan dia ; sedang cahaya mereka memancar dihadapan dan disebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan,”Ya Tuhan kami, sempurnakanlah 118



bagi kami cahaya kami ; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” al-Qur‟an pun menegaskan pertemuan dengan allah di manapun hamba-hambahnya berada. Hal ini sebagaimana dalam surah al-Baqarah ayat 115 yaitu :                Artinya: “Dan kepuyaan allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah allah. Sesungguhnya allah Mahaluas (rahmat-nya lagi maha mengetahui).” Bagi kaum sufi ayat tersebut mengandung arti bahwa dimana Tuhan ada, di situ pula Tuhan dapat dijumpai. Maksudnya kapanpun dan dimanapun kita berada Allah selalu bersama kita karena dzat-Nya tidak dibatasi ruang dan waktu dan tidak pula dibatasi



oleh



tempat.



Allah



pun



menjelaskan



kedekatan manusia dengan-nya, seperti disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 186 yaitu:                     119



Artinya: “Jika hamba-hambaku bertanya padamu tentang diri-ku, aku adalah dekat, aku mengabulkan seruan orang yang memanggil jika ia panggil aku.” Kalangan sufi mengartikan kata “da‟a” dalam ayat itu bukan berarti berdo‟a yang lazim dipakai, tetapi berseru dan memanggil. Pada ayat 16 surat Qaf, allah menjelaskan:                 Artinya: “Sebenarnya kami ciptakan dan kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadannya. Kami lebih dekat kepadanya dari pada pembuluh darahnya sendiri.” Berdasarkan ayat di atas, kebanyakan para sufi berpendapat bahwa untuk mencari tuhan, orang tak perlu pergi jauh-jauh. Ia cukup kembali pada dirinya sendiri. al-Qur‟an pun mengingatkan manusia agar tidak



diperbudak



kemewahan



harta



kehidupan benda



yang



duniawi



dan



menggiurkan.



Sebagaimana difirman Allah dalam surah Fatir ayat 5 yaitu: 120



                



Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya janji allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdaya.” Dalam pemahaman kalangan sufi, ayat di atas menjadi salah satu dasar untuk menjauhi kehidupan dunia yang penuh dengan tipuan. Ayat-ayat al-qur‟an yang



menjadi



landasan



sebagai



tingkatan



dan



keadaan para sufi. 



Tingkatan zuhud, misalnya (yang banyak diklaim sebagai



awal



beranjaknya



tasawuf),



telah



dijelaskan dalam surah An-Nisa‟ ayat 77 dan ayat 5 yaitu:                                 121



Artinya : “Tidakkah kamu perhatikan orangorang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” ‫ل وَالْاَخِ َزةُ خٍَْزٌ لِوَيِ اتَقَى‬ ٌ ٍِْ‫قًلْ هَتَاعُ الدًٍَُْا قَل‬ Artinya: “Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sementara, dan akherat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa.” 



Sementara tingkatan taqwa berlandaskan firman Allah:       Artinya: “Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi allah ialah orang yang paling taqwa di atara kamu.” 122







Tingkatan



tawakal,



menurut



para



sufi,



berlandaskan firman-firman Allah dalam surah atThalak ayat 3 dan az-Zumar ayat 39 yaitu :        Artinya: “Dan barang siapa bertawakal kepada allah, niscaya allah mencukupkan (keperluan)nya.”     Artinya: “Dan hanya kepada Allah-lah orangorang yang beriman itu bertawakal.” 



Tingkatan syukur antara lain berlandaskan kepada firman Allah dalam Q.S. Ibrahim ayat 7 yaitu:    



Artinya: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti kami akan menambahkan (nikmat) kepadamu.” 



Tingkat sabar berlandaskan pada firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 155 yaitu :   Artinya : “Dan berikanlah berita gembira kepada orangorang yang sabar.” 123







Tingkatan Rida berdasarkan pada firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 119 yaitu:       Artinya: “Allah rida terhadap mereka, dan mereka pun rida terhadap-Nya.” Demikianlah, sebagian ayat al-Qur‟an yang



dijadikan



sebagai



landasan



kaum



sufi



dalam



melaksanakan praktek-praktek kesufiannya. B. Dasar-Dasar Hadist Tentang Ilmu Tasawuf Sejalan dengan apa yang disebutkan dalam alQur‟an, sebagaimana dijelaskan di atas, tasawuf juga dapat dilihat dalam kerangka hadist. Dalam hadist rasulullah banyak dijumpai keterangan kehidupan rohaniah manusia. Berikut ini beberapa matan hadist yang dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf. ًَُ‫ف وَفْسًَُ فَ َق ْد عَزَفَ َرّب‬ َ َ‫ه عَز‬ ْ ‫َم‬ Artinya: “Barang siapa yang mengenal dirinya sendiri berarti ia mengenal tuhannya.” ِ‫ُكىْتُ َكىْزاً مَخْفٍِاً فََأ َّببْتُ َأنْ ُأعْزَفَ فَخَلَقْتُ الخَ ْلقُ َفبًِ ِ عَزِ ُفىْاوى‬ 124



Artinya: “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka aku menjadikan agar mereka mengenal-ku.” ‫ش ِّبهَا‬ ُ ُ‫يْ ٌَبْط‬ ُ ِ‫ق ّبِ ًِ َو ٌَ َديُ اَلذ‬ ُ‫ط‬ ِ ‫ي ٌَى‬ ْ ِ‫ي ٌَ ْبصُ ُزّبِ ًِ وَلِسَاوًُُ اَلذ‬ ْ ِ‫اَلذ‬ ًِْ‫ق َوّب‬ ُ‫ط‬ ِ ‫ً ٌَى‬ ْ ِ‫ي ٌَمْشِى ِّبهَا َفبِى ٌَسْمَعُ َفبِى ٌَ ْبصُ ُز َوّب‬ ْ ِ‫وَرِجْلًَُ اَلذ‬ ‫ً ٌَمْشِى‬ ْ ِ‫ش َوّب‬ ُ ُ‫ً ٌَبْط‬ ْ ِ‫ٌَعْ ِق ُل َوّب‬ Artinya: “Senantiasa seorang hamba itu mendekatakan diri kepada-ku dengan amalanamalan sunah sehingga aku mencintainya. Maka tatkala mencintainya, jadilah aku pendagerannya yang dia pakai untuk melhat dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan tanganya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha; maka dengan-ku-lah dia mendengar, melihat, berbicara, berfikir, meninjau dan berjalan.” Hadist di atas memberi petunjuk bahwa manusia dan tuhan dapat bersatu. Diri manusia dapat lebur dalam diri tuhan, yang selanjutnya dikenal dengan istilah fana‟-nya mahluk sebagai yang mencintai kepada tuhan seperti yang dicintainya. Dalam Hadist Qudsi juga dijelaskan yaitu: “Tidaklah para hamba yang beribadah kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku fardhukan kepadanya. Dan 125



hamba yang beribadah kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunat, maka Aku juga mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatan yang ia gunakan untuk melihat, tangan yang ia pakai memegang dan kaki yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, maka Aku akan melindunginya” Hadis ini menjelaskan bahwa sesungguhnya seorang hamba mampu meninggalkan syahwat dan tenggelam



dalam



ketaatan,



sehingga



ia



hanya



menggunakan anggota badannya sesuai dengan tujuan penciptaannya, sebagai taufik dan hidayah Allah SWT. Hadis ini memberi pengertian, bahwa dasar kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah melalui perbuatan-perbuatan yang sunnah. Oleh karena itu, selama seorang hamba beribadah kepadaNya melalui ibadah-ibadah sunat hingga sampai pada tingkatan cinta kepada-Nya, maka pada saat itu dia mampu tenggelam dengan melihat kesucian Allah, tidak melihat sesuatupun kecuali Allah berada di sisinya. Pengalaman semacam ini merupakan derajat terakhir bagi orang-orang yang menuju akhirat dan 126



jalan pertama bagi orang yang ingin sampai kepada Allah. Dengan mengikuti sunah tercapailah ma‟rifat, dengan melakukan perbuatan fardhu tercapailah qurbah (dekat dengan Allah) dan dengan selalu melaksanakan perbuatan sunat tercapailah mahabbah Allah. Dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW, juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau



adalah



sufi.



Nabi



Muhammad



telah



mengasingkan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan yang pada waktu itu diagung-agungkan oleh orang Arab tengah tenggelam didalamnya, seperti dalam praktek perdagangan dengan prinsip menghalalkan segala cara. Dalam hadis juga banyak dijumpai keteranganketerangan



yang



berbicara



tentang



kehidupan



rohaniah manusia. Di antaranya adalah sebagai berikut: ”Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Maka tatkala 127



mencintainya, jadilah Aku pendengarnya yang dia pakai untuk mendengar dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha ; maka dengan-Ku-lah dia mendengar, melihat, berbicara, berpikir, meninju dan berpikir.” Dari hadis ini dapat dipahami bahwa manusia dan Tuhan dapat bersatu. Diri manusia dapat lebur dalam diri Tuhan yang selanjutnya dikenal dengan istilah fana, yakni fana‟-nya makhluk sebagai yang mencintai kepada Tuhan seperti yang dicintainya. Fana adalah menghilangnya daripada pengenalan ghair, baqa adalah pengetahuan Tuhan, yang di dapat oleh



seorang



yang



sudah



menghilangnya



pengetahuan tentang ghair. Dalam hal ini nafs kita dalam jalan fana (ubudiyyah yakni penghambaan, ibadah) dan Tuhan dalam jalan baqaa (rububiyyah yakni penguasaan). “Dari Abi Yahya Suhaib bin Sinan RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: sangat mengagumkan keadaan seorang mukmin. Sesungguhnya segala keadaannya untuknya baik sekali, dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi orang mukmin. Kalau mendapat 128



kenikmatan, ia bersyukur, maka bersyukur itu lebih baik baginya. Dan kalau menderita kesusahan ia sabar, maka kesabaran itu lebih baik baginya. (HR. Muslim). Dari Umar bin Khattab ra., katanya: Aku mendengar Rasul Allah SAW bersabda: ”Semua amal perbuatan itu hanyalah dinilai menurut masing-masing niatnya, dan setiap orang hanyalah menurut apa yang diniatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya itu kepada keridhaan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk keduniaan atau wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu pun diberi penilaian untuk tujuan apa ia hijrah tadi”. (H.R. Al-Bukhari). Dari Ibnu Mas‟ud ra. Dari Rasul Allah, bersabda: sesungguhnya jujur itu mendorong untuk beramal saleh, dan sesungguhnya amal saleh itu menunjukkan jalan ke surga. Dan seorang yang benar-benar/terus-menerus berbuat jujur (sehingga menjiwai dan berbudi), ditetapkan disisi Allah sebagai ahli jujur. Dan sesungguhnya dusta itu mendorong untuk berbuat keji dan perbuatan keji itu menyampaikan ke neraka. Dan seorang yang benar-benar/terus-menerus berdusta, ditetapkan disisi Allah sebagai ahli dusta. (Mutafaq Alaih). Dalam Hadist Qudsi juga dijelaskan yaitu: “Tidaklah para hamba yang beribadah kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada 129



yang telah Aku fardhukan kepadanya. Dan hamba yang beribadah kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunat, maka Aku juga mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatan yang ia gunakan untuk melihat, tangan yang ia pakai memegang dan kaki yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, maka Aku akan melindunginya”. Hadis ini menjelaskan bahwa sesungguhnya seorang hamba mampu meninggalkan syahwat dan tenggelam



dalam



ketaatan,



sehingga



ia



hanya



menggunakan anggota badannya sesuai dengan tujuan penciptaannya, sebagai taufik dan hidayah Allah SWT. Hadis ini memberi pengertian, bahwa dasar kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah melalui perbuatan-perbuatan yang sunat. Oleh karena itu, selama seorang hamba beribadah kepada-Nya melalui ibadah-ibadah sunat hingga sampai pada tingkatan cinta kepada-Nya, maka pada saat itu dia mampu tenggelam dengan melihat kesucian Allah, tidak melihat sesuatupun kecuali Allah berada di sisinya. Pengalaman semacam ini merupakan derajat 130



terakhir bagi orang-orang yang menuju akhirat dan jalan pertama bagi orang yang ingin sampai kepada Allah. Dengan mengikuti sunah tercapailah ma‟rifat, dengan melakukan perbuatan fardhu tercapailah qurbah (dekat dengan Allah) dan dengan selalu melaksanakan perbuatan sunat tercapailah mahabbah Allah. Dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW, juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau



adalah



sufi.



Nabi



Muhammad



telah



mengasingkan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan yang pada waktu itu diagung-agungkan oleh orang Arab tengah tenggelam didalamnya, seperti dalam praktek perdagangan dengan prinsip menghalalkan segala cara.



131



DAFTAR PUSTAKA



Anwar, Rosihon dan Mukhtar Solihin. 2006. Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia. Departemen



Agama



RI.



2005..Al-Qur‟an



dan



Terjemahannya, Bandung: Diponegoro, Rahmat, Jalaluddin. 2001. Meraih Cinta Ilahi; Pencerahan Sufistik, Bandung: Remaja Rosdakarya. Sayyid Abi Bakar Ibnu Muhammad Syatha, 2002. Missi Suci Para Sufi, Yogyakarta: Mitra Pustaka, Shayk Ibrahim Gazuri Ilahi, 1996. Anal Haqq, Jakart : Raja Grafindo Persada, Shihab, Quraish. 2001. Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati,



132