Pengolahan Limbah B3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TOPIK 1 PERSYARATAN UMUM PENGOLAHAN LIMBAH B3 1.1 Pendahuluan Masalah limbah menjadi perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah Indonesia, khusunya sejak dekade terakhir ini, terutama akibat perkembangan industri yang merupakan tulang punggung peningkatan perekonomian Indonesia. Peraturan-peraturan tentang masalah ini telah banyak dikeluarkan oleh Pemerintah, tetapi di lapangan banyak mengalami hambatan. Penanganan limbah merupakan suatu keharusan guna terjaganya kesehatan manusia serta lingkungan pada umumnya. Namun pengadaan dan pengoperasian sarana pengolah limbah ternyata masih dianggap memberatkan bagi sebagian industri. Keaneka ragaman jenis limbah akan tergantung pada aktivitas industri serta penghasil limbah lainnya. Mulai dari penggunaan bahan baku, pemilihan proses produksi, pemilihan jenis mesin dan sebagainya, akan mempengaruhi karakter limbah yang tidak terlepas dari proses industri itu sendiri. Sebagian dari limbah industri tersebut berkatagori hazardous waste. Tetapi jenis limbah ini berasal pula dari kegiatan lain, seperti dari aktivitas pertanian (misalnya penggunaan pestisida), kegiatan enersi (seperti limbah radioaktif PLTN), kegiatan kesehatan (seperti limbah infectious dari rumah sakit) atau dari kegiatan rumah tangga (misalnya penggunaan batere merkuri). Namun sebagian besar jenis limbah yang dihasikan, biasanya berasal dari kegiatan industri. Limbah berkatagori non-hazardous tidak perlu ditangani seketat limbah hazardous, walaupun limbah tersebut berasal dari industri. Sesuai dengan PP 18/99 juncto 85/99, padanan kata untuk Hazardous Waste yang digunakan di Indonesia adalah Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan disingkat menjadi Limbah B3. 1.2 Tujuan Khusus Topik Setelah mempelajari topik persyaratan umum pengolahan limbah B3 diharapkan mahasiswa mempunyai kemampuan: 1. Menjelaskan definisi limbah B3 dan pengolahan limbah B3 2. Menjelaskan persyaratan lokasi dan fasilitas pengolahan limbah B3 3. Menjelaskan penanganan limbah B3 sebelum diolah 4. Menjelaskan pemilihan proses pengolahan limbah B3



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



1



1.3 Prasyarat Topik 1.3.1 Prasyarat Tenaga Pengajar Prasyarat yang harus dipenuhi oleh tenaga pengajar dalam memberikan topik ini adalah: 1 Tenaga pengajar harus mempunyai Satuan Acara Perkuliahan (SAP) dan Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) sesuai dengan tatap muka di kelas yang terdapat pada silabus Program Studi Teknik Kimia Industri untuk mahasiswa semester V. 2 Dalam memberikan materi pembelajaran tenaga pengajar harus menggunakan referensi yang sesuai dengan topik bahasan yang diajarkan dengan mudah serta dapat di akses oleh mahasiswa 3 Tenaga pengajar harus memiliki pengetahuan tentang pengolahan limbah dan kimia lingkungan. 1.3.2



Prasyarat Mahasiswa Prasyarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa yang mengikuti



perkuliahan pada topik persamaan kimia adalah: 1.



Mahasiswa mengetahui ilmu dasar untuk pengolahan limbah dan kimia lingkungan.



2.



Mahasiswa pada semester 5 pada Program Studi Teknik Kimia Industri Jururusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe



3.



Mahasiswa harus memiliki kehadiran dikelas minimal 80% 1.4 Definisi Limbah B3 Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 definisi dari bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah Bahan yang karena sifatdan atau konsentrasinyadan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain. Sedangkan limbah B3 merupakan Sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



2



maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain. Beberapa limbah B3 yang berasal hampir seluruh kegiatan di rumah tangga, seperti: pembersih saluran air, soda kaustik, semir, gas elpiji, minyak tanah, asam cuka, kaporit atau desinfektan, sprirtus, cairan setelah mencukur, obat-obatan, shampo anti ketombe, pembersih toilet, pembunuh kecoa, parfum, kosmetik, kamfer, obat-obatan, hairspray, air freshener, pembunuh nyamuk, korek api, alkohol, baterai, cairan pembersi pestisida dan insektisida, pupuk, cat dan solven pengencer, perekat, oli mobil, aki bekas, dll.



Gambar 1.1 Houshold Hazardous Waste



1.5 Definisi Pengolahan Limbah B3 Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), adalah proses untuk mengubah jenis, jumlah dan karakteristik limbah B3 menjadi tidak berbahaya dan/atau tidak beracun dan/atau immobilisasi limbah B3 sebelum ditimbun dan/atau memungkinkan agar limbah B3 dimanfaatkan kembali (daur ulang). Proses pengolahan limbah B3 dapat dilakukan secara pengolahan fisika Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



3



dan kimia, stabilisasi/solidifikasi, dan insenerasi yang akan dibahas pada topik berikutnya. Proses pengolahan secara fisika dan kimia bertujuan untuk mengurangi daya racun limbah B3 dan/atau menghilangkan sifat/karakteristik limbah B3 dari berbahaya



menjadi



tidak



berbahaya.



Proses



pengolahan



secara



stabilisasi/solidifikasi bertujuan untuk mengubah watak fisik dan kimiawi limbah B3 dengan cara penambahan senyawa pengikat B3 agar pergerakan senyawa B3 ini terhambat atau terbatasi dan membentuk massa monolit dengan struktur yang kekar. Sedangkan proses pengolahan secara insinerasi bertujuan untuk menghancurkan senyawa B3 yang terkandung di dalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3. Pemilihan proses pengolahan limbah B3, teknologi dan penerapannya didasari atas evaluasi kriteria yang menyangkut kinerja, keluwesan, kehadalan, keamanan, operasi dari teknologi yang digunakan, dan pertimbangan lingkungan. Timbunan limbah B3 yang sudah tidak dapat diolah atau dimanfaatkan lagi harus ditimbun pada lokasi penimbunan (landfill) yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. 1.6 Persyaratan Lokasi Pengolahan Limbah B3 Pengolahan limbah B3 dapat dilakukan di dalam lokasi penghasil limbah B3 atau di luar penghasil limbah B3. Untuk pengolahan di dalam lokasi penghasil, lokasi pengolahan disyaratkan : 1. 2.



Merupakan daerah bebas banjir, dan Jarak antara lokasi pengolahan dan lokasi fasilitas umum minimal 50 meter. Persyaratan lokasi pengolahan limbah B3 di luar lokasi penghasil adalah :



1. 2.



Merupakan daerah bebas banjir; Pada jarak paling dekat 150 meter dari jalan utama/jalan tol dan 50



3.



meter untuk jalan lainnya; Pada jarak paling dekat 300 meter dari daerah pemukiman, perdagangan, rumah sakit, pelayanan kesehatan atau kegiatan sosial, hotel, restoran, fasilitas keagamaan dan pendidikan; Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



4



4.



Pada jarak paling dekat 300 meter dari garis pasang naik laut, sungai, daerah pasang surut, kolam, danau, rawan, mata air dan sumur



5.



penduduk; Pada jarak paling dekat 300 meter dari daerah yang dilindungi (cagar alam, hutan lindung dan lain-lainnya). 1.7 Persyaratan Fasilitas Pengolahan Limbah B3 Dalam pengoperasian limbah B3 harus menerapkan sistem operasi yang meliputi: 1.7.1 Sistem Keamanan Fasilitas Sistem keamanan yang diterapkan dalam pengoperasian fasilitas pengolahan limbah B3 sekurang-kurangnya harus : 1. Memiliki sistem penjagaan 24 jam yang memantau, mengawasi dan mencegah orang yang tidak berkepentingan masuk ke lokasi. 2. Mempunyai pagar pengaman atau penghalang lain yang memadai dan suatu system untuk mengawasi keluar masuk orang dan kendaraan melalui pintu gerbang maupun jalan masuk lain. 3. Mempunyai tanda yang mudah terlihat dari jarak 10 meter dengan tulisan “Berbahaya”



yang



dipasang



pada



unit/bangunan



pengolahan



dan



penyimpanan, serta tanda “Yang Tidak Berkepentinan Dilarang Masuk” yang ditempatkan di setiap pintu masuk ke dalam fasilitas dan pada setiap jarak 100 meter di sekeliling lokasi. 4. Mempunyai penerangan yang memadai di sekitar lokasi.



1.7.2 Sistem Pencegahan Terhadap Kebakaran Untuk mencegah terjadi kebakaran atau hal lain yang tak terduga di fasilitas pengolahan, maka sekurang-kurangnya harus : 1. Memasang sistem arde (Electrical Spark Grounding) 2. Memasang tanda peringatan, yang jelas terlihat dari jarak 10 meter, dengan tulisan : “Awas Berbahaya”, “Limbah B3 (mudah terbakar, …, dll) Dilarang Keras Menyalakan Api Atau Merokok !”



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



5



3. Memasang peralatan pedeteksi bahaya kebakaran yang bekerja secara otomatis selama 24 jam terus menerus, berupa: - Alat deteksi peka asam (smoke sensing alarm), dan - Alat deteksi peka panas (heat sensing alarm), 4. Tersediannya system pemadam kebakaran yang berupa : - Sistem permanen dan otomatis, dengan menggunakan bahan pemadam air, busa, gas atau bahan kimia kering, dengan jumlah dan mutu sesuai kebutuhan. - Pemadam kebakaran portable dengan kapasitas minimum 10 kg untuk setiap 100 m2 dalam ruangan. 5. Menata jarak atau lorong antara kontainer – kontainer yang berisi limbah B3 minimum 60 cm sehingga tidak mengganggu gerakan orang, peralatan pemadam kebakaran, peralatan pengendali/pencegah tumpahan limbah, dan peralatan untuk menghilangkan kontaminasi ke semua arah di dalam lokasi. 6. Menata jarak antara bangunan-bangunan yang memadai sehingga mobil pemadam kebakaran mempunyai akses menuju lokasi kebakaran. 1.7.3 Sistem Pencegahan Tumpahan Limbah 1.



Fasilitas pengolahan limbah B3 harus mempunyai rencana, dokumen dan petunjuk teknis operasi pencegahan tumpahan limbah B3 yang meliputi. - Pemeriksaan Mingguan terhadap fasilitas pengolahan, dan - Sistem tanda bahaya peringatan dini yang bekerja selama 24 jam dan yang akan memberi tanda bahaya sebelum terjadi tumpahan/luapan limbah



(level control). 2. Pengawas harus dapat mengidentifikasi setiap kelainan yang terjadi, seperti malfungsi, kerusakan, kelalaian operator, kebocoran atau tumpahan yang dapat menyebabkan terlepasnya limbah dari fasilitas pengolahan ke lingkungan. Program ini juga harus menyangkut terlepasnya limbah dari fasilitas pengolahan ke lingkungan. Program ini juga harus menyangkut mekanisme tanggap darurat. 3. Penggunaan bahan penyerap (absorbent) yang sesuai dengan jenis dan karakteristik tumpahan limbah B3. 1.7.4 Sistem Penangulangan Keadaan Darurat. Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



6



Fasilitas pengolahan limbah B3 harus mempunyai sistem untuk mengatasi keadaan darurat yang mungkin terjadi. Persyaratan minimum untuk sistem tanggap darurat antara lain: 1. Ada koordinator penanggulangan keadaan darurat, yang bertanggungjawab melaksanakan tindakan-tindakan yang harus diakukan sesuai dengan prosedur penanganan kondisi darurat yang terjadi. 2. Jaringan komunikasi atau pemberitahuan kepada : - Tim penangulangan keadaan darurat, - Dinas pemadam kebakaran, - Pihak kepolisian, - Ambulan dan pelayanan kesehatan, - Sekolah, rumah sakit dan penduduk setempat, - Aparat pemerintah terkait setempat; 3. Memiliki prosedur evakuasi bagi seluruh pekerja fasilitas pengolahan limbah B3. 4. Mempunyai peralatan penanggulangan keadaan darurat. 5. Tersedianya peralatan dan baju pelindung bagi seluruh staf penanggulangan keadaan darurat di lokasi, dan sesuai dengan jenis limbah B3 yang ditangani di lokasi tersebut. 6. Memiliki prosedur tindakan darurat pengangkutan. 7. Menetapkan prosedur untuk penutupan sementara fasilitas pengolahan. 8. Melakukan pelatihan bagi karyawan dalam penanggulangan keadaan darurat yang dilakukan minimal dua kali dalam setahun. 1.7.5 Sistem Pengujian Peralatan 1.



Semua alat pengukur, peralatan operasi pengolahan dan perlengkapan pendukung operasi harus diuji minimum sekali dalam setahun.



2.



Hasil pengujian harus dituangkan dalam berita acara yang memuat hasil uji coba penanganan system keadaan darurat. Informasi tersebut harus selalu tersedia di lokasi fasilitas pengolahan limbah B3.



1.7.6 Pelatihan karyawan Perusahaan wajib memberikan pelatihan secara berkala kepad karyawan yang meliputi : 1. Pelatihan dasar, diantaranya; Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



7



- Pengenalan limbah; meliputi jenis limbah, sifat dan karakteristik serta bahayannya



terhadap



lingkungan



dan



manusia,



serta



tindakan



pencegahannya; - Peralatan pelindung: menyangkut kegunaan dan penggunaannya; - Pelatihan untuk keadaan darurat: meliputi kebakaran, ledakan, tumpahan, 2.



matinya listrik, evakuasi, dan sebagainnya; Prosedur inspeksi; Pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K); Peralatan keselamatan kerja (K3); Peraturan perundangan-undangan tentang pengolahan limbah B3.



Pelatihan khusus -



Pemeliharaan peralatan pengolahan dan peralatan penunjangnya; Pengoperasian alat pengolahan dan peralatan penujangnya; Laboratorium; Dokumentasi dan pelaporan; Prosedur penyimpanan dokumentasi dan pelaporan.



1.8 Persyaratan Penanganan Limbah B3 Sebelum Diolah Sebelum melakukan pengolahan, terhadap limbah B3 harus dilakukan uji analisa kandungan/parameter fisika dan/atau kimia dan/atau biologi guna menetapkan prosedur yang tepat dalam proses pengolahan limbah B3 tersebut. Setelah kandungan/parameter fisika dan/atau kimia dan/atau biologi yang terkandung dalam limbah B3 tersebut di ketahui, maka terhadap selanjutnya adalah menentukan pilihan proses pengolahan limbah B3 yang dapat memenuhi kualitas dan baku mutu pembuangan dan/atau lingkungan yang ditetapkan. 1.9 Pem ilihan Proses Pengolahan Limbah B3 Setiap orang atau badan usaha yang kegiatannya menghasilkan limbah/sampah baik cair, padat, maupun gas diwajibkan untuk mengolah limbahnya sampai pada ambang batas yang diberlakukan sebelum dibuang ke lingkungan. Penerapan sistem pengolahan limbah harus disesuaikan dengan jenis dan karakteristik dari limbah yang akan diolah dengan mempertimbangkan hal-hal seperti: biaya pengolahan murah, pengoperasian dan perawatan alat mudah, harga alat murah dan tersedia suku cadang, keperluan lahan relatif kecil, bisa mengatasi Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



8



permasalahan limbah/sampah yang dihadapi tanpa menimbulkan efek samping terhadap lingkungan.



Proses pengolahan yang sesuai menurut jenis dan



karakteristik limbah B3 bisa dilihat pada gambar 1.2 berikut ini.



Gambar 1.2 Proses Pengolahan Limbah B3 Sesuai dengan Jenis dan Karaketristik Limbah B3 Pemilihan proses pengolahan limbah B3, teknologi dan penerapannya juga didasarkan atas evaluasi kriteria yang menyangkut kinerja, keluwesan, kehandalan, keamanan, operasi dari teknologi yang diguanakan, dan pertimbangan lingkungan.



Timbulan limbah B3 yang sudah tidak dapat diolah atau



dimanfaatkan lagi harus ditimbun pada lokasi penimbunan yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. 1.10 Rangkuman Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 definisi dari bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah Bahan yang karena sifatdan atau konsentrasinyadan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



9



dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain. Sedangkan limbah B3 merupakan Sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain. Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), adalah proses untuk mengubah jenis, jumlah dan karakteristik limbah B3 menjadi tidak berbahaya dan/atau tidak beracun dan/atau immobilisasi limbah B3 sebelum ditimbun dan/atau memungkinkan agar limbah B3 dimanfaatkan kembali (daur ulang). Proses pengolahan limbah B3 dapat dilakukan secara pengolahan fisika dan kimia, stabilisasi/solidifikasi, dan insenerasi 1. 2. 3. 4. 5.



1.11 Pertanyaan Apa yang dimaksud dengan limbah B3 dan pengolahan limbah B3? Apa yang harus dilakukan pertama sekali sebelum limbah B3 diolah? Tuliskan proses pengolahan limbah yang dapat dilakukan untuk mengolah limbah B3! Tuliskan persyaratan fasilitas pengolahan limbah B3 Tuliskan apa-apa saja yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan proses pengolahan limbah B3 1.12 Model Jawaban



1.



Limbah B3 merupakan Sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia



2.



serta mahluk hidup lain. Sebelum limbah B3 diolah, yang harus dialkukan pertama sekali adalah menentukan jenis dan karakteristik limbah B3 baru kemudian ditentukan proses pengolahan yang sesuai dengan jenis dan karakteristik



3.



limbah B3 tersebut. Proses pengolahan limbah yang dapat dilakukan untuk mengolah limbah B3 adalah: pengolahan secara fisika, pengolahan secara Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



10



kimia, pengolahan secara stabilisasi/solidifikasi dan pengolahan secara insenerasi. 4.



Persyaratan fasilitas pengolahan limbah B3: - Harus memiliki sistem keamanan fasilitas - Harus memiliki sistem pencegahan terhadap kebakaran - Harus memiliki sistem pencegahan terhadap tumpahan limbah - Harus memiliki sistem penanggulangan keadaan darurat - Harus memiliki sistem pengujian peralatan - Pelatihan karyawan 5. Yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan proses pengolahan limbah B3 adalah: biaya pengolahan murah, pengoperasian dan perawatan alat mudah, harga alat murah dan tersedia suku cadang, keperluan lahan relatif kecil, bisa mengatasi permasalahan limbah/sampah yang dihadapi tanpa menimbulkan efek samping terhadap lingkungan. 1.13 Tindak Lanjut Pada bagian 1.11 diwajibkan kepada mahasiswa untuk menyelesaikan beberapa pertanyaan soal latihan untuk melihat kemampuan mahasiswa dalam memahami topik 1. Kemudian mahasiswa diberikan skor penilaian dalam menyelesaikan soal latihan, dimana bobot nilai setiap soal adalah sebagai berikut: Tabel 1. Bobot nilai untuk soal latihan No. Soal 1 2 3 4 5 Total Nilai



Bobot Nilai 20 25 25 15 15 100



Skor 20 25 25 15 15 100



Berdasarkan skor nilai yang diperoleh dalam menyelesaikan soal pada latihan dan tugas maka kemampuan mahasiwa dapat diukur berdasarkan kelompok nilai sebagai berikut: 1 2 3 4 5 6



Jika nilai = 100 (sangat baik) Jika nilai = 80 (baik) Jika nilai = 60 (kurang baik) Jika nilai = 40 (tidak baik) Jika nilai = 20 (sangat tidak baik) Jika nilai = 0 ( sangat tidak memahami dan mengerti materi) Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



11



1.14 Daftar Tilik Penampilan Tabel 2. Daftar tilik penampilan dari sub topik 1 No. 1. 2. 3. 4. 5.



Penguasaan Materi



A



Penilaian B C D



E



Definisi limbah B3 Definisi pengolahan limbah B3 Persyaratan lokasi pengolahan limbah B3 Persyaratan fasilitas pengolahan limbah B3 Persyaratan penanganan limbah B3 sebelum diolah



Skala Nilai: A = Amat Baik B = BaiK C = Cukup D = Kurang E = Tidak ada



TOPIK II PENGOLAHAN LIMBAH B3 SECARA FISIKA DAN KIMIA 2.1 Pendahuluan Pengolahan limbah B3 adalah proses untuk mengubah jenis, jumlah dan karakteristik limbah B3 menjadi tidak berbahaya dan/atau tidak beracun dan/atau



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



12



immobilisasi limbah B3 sebelum ditimbun dan/atau memungkinkan agar limbah B3 dimanfaatkan kembali (daur ulang). Ada berbagai cara/sistem yang dapat dipilih untuk mengolah limbah B3 baik secara fisika, kimia atau kombinasi dari itu. Pemilihan sistem yang akan digunakan untuk mengolah suatu limbah B3 disesuaikan dengan karakteristik dan sifat-sifat limbah tersebut, yang mana prosesnya harus aman dan tidak menimbulkan bahaya bagi pekerjaannya, diusahakan dengan biaya yang seefisien mungkin dan dapat memberikan hasil olahan yang aman bagi manusia disekitarnya maupun lingkungannya, tidak hanya memindahkan limbah dari satu tempat /bentuk ke tempat/bentuk yang lain saja tetapi dapat mencapai kestabilan materi. Proses pengolahan secara fisika dan kimia bertujuan untuk mengurangi daya racun limbah B3 dan/atau menghilangkan sifat/karakteristik limbah B3 dari bahaya menjadi tidak berbahaya. Cara ini biasanya menghasilkan produk olahan berupa cairan, gas, debu, atau padatan. Produk-produk hasil olahan tersebut harus memenuhi baku mutu yang berlaku tentang pengendalian pencemaran sesuai dengan kelasnya. 2.2 Tujuan Khusus Topik Setelah mempelajari topik pengolahan limbah B3 secara fisika dan kimia 7 8



diharapkan mahasiswa mempunyai kemampuan: Menjelaskan pengolahan limbah B3 secara fisika Menjelaskan pengolahan limbah B3 secara fisika 2.3 Prasyarat Topik 2.3.1 Prasyarat Tenaga Pengajar Prasyarat yang harus dipenuhi oleh tenaga pengajar dalam memberikan topik ini adalah:



1.



Tenaga pengajar harus mempunyai Satuan Acara Perkuliahan (SAP) dan Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) sesuai dengan tatap muka di kelas yang terdapat pada silabus Program Studi Teknik Kimia Industri untuk mahasiswa semester V. Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



13



2.



Dalam memberikan materi pembelajaran tenaga pengajar harus menggunakan referensi yang sesuai dengan topik bahasan yang diajarkan dengan mudah serta dapat di akses oleh mahasiswa



3.



Tenaga pengajar harus memiliki pengetahuan tentang pengolahan limbah dan kimia lingkungan. 2.3.2



Prasyarat Mahasiswa Prasyarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa yang mengikuti



perkuliahan pada topik persamaan kimia adalah: 1.



Mahasiswa mengetahui ilmu dasar untuk pengolahan limbah dan



2.



kimia lingkungan. Mahasiswa pada semester 5 pada Program Studi Teknik Kimia



3.



Industri Jururusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe Mahasiswa harus memiliki kehadiran dikelas minimal 80% 2.4 Pengolahan Limbah B3 Secara Fisika Secara umum pengolahan limbah secara fisika merupakan proses fisik dengan bantuan peralatan mekanis tanpa menggunakan bahan kimia atau makhluk hidup (mikro-organisme). Misal: penyaringn(screening), pengendapan, dll. Dalam pengolahan limbah B3 terdapat tiga proses utama yang dilakukan secara fisika yaitu:



1. 2.



Pembersihan Gas, yang dapat dilakukan dengan proses: Elektrostatik Presipitator Penyaringan Partikel Wet Scrubber Adsorpsi dengan karbon aktif Pemisahan cairan dan padatan, yang dapat dilakukan



dengan proses: - Klarifikasi - Filtrasi - Flokulasi - Flotasi - Sendimentasi - Thickening 3.



Penyisihan Komponen-Kompoenen yang spesifik, yang dapat dilakukan dengan proses: Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



14



-



Kristalisasi Dialisa Elektrodialisa Evaporasi Leaching Reverse Osmosis Pemilihan proses pengolahan limbah B3 harus disesuaikan dengan jenis



limbah yang akan diolah serta zat/komponen apa yang akan direduksi. Selain itu seperti yang sudah dijelaskan pada Topik I, teknologi dan penerapannya harus didasarkan atas evaluasi kriteria yang menyangkut kinerja, keluwesan, kehandalan, keamanan, operasi dari teknologi yang diguanakan, dan pertimbangan lingkungan. 2.4.1 Pembersihan Gas Pembersihan gas bertujuan utnuk mengurangi pencemaran udara dari gasgas buang yang bersifat toksik seperti sulfur oksida, nitrogen oksida, karbon monoksida, dan hidrokarbon yang dapat dikontrol pengeluarannya melalui beberapa metode. Faktor yang mempengaruhi dalam pemilihan metode pembersihan gas khususnya gas buang pada dunia industri, adalah : a. Efisiensi yang didapat dalam menyaring partikel debu. b. Ukuran Partikel debu terkecil yang didapat. c. Bahan bakar yang digunakan pada ruang pembakaran. d. Kapasitas bahan bakar pada ruang pembakaran. e. Biaya pembangunan dan pemeliharaan. Pencemaran udara sebenarnya dapat berasal dari limbah berupa gas atau materi partikulat yang terbawah bersama gas tersebut. Berikut akan dijelaskan beberapa cara menangani pencemaran udara oleh limbah gas dan materi partikulat yang terbawah bersamanya dengan menggunakan elektostatik presipitator dan wet scrubber. A. Elektrostatic Presipitator Elektrostatik merupakan salah satu cabang fisika yang berhadapan dengan gaya yang dikeluarkan oleh medan listrik statik (tidak berubah) kepada sebuah Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



15



objek yang bermuatan. Aplikasi elektrostatik dalam dunia industri digunakan untuk mengatasi masalah limbah debu. Industri yang banyak mengaplikasikannya yaitu seperti PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap), pabrik gula, dan pabrik semen.



Salah



satu



penerapannya



yaitu



penggunaan



electrostatic



precipitator (ESP). Electrostatic precipitator (ESP) adalah salah satu alternatif penangkap debu dengan effisiensi tinggi (diatas 90%) dan rentang partikel yang didapat cukup besar. Dengan menggunakan electrostatic precipitator (ESP) ini, jumlah limbah debu yang keluar dari cerobong diharapkan hanya sekitar 0,16% (dimana efektifitas penangkapan debu mencapai 99,84%). Alat pengendap elektrostatik ini menggunakan arus searah (DC) yang mempunyai tegangan antara 25 – 100 kv. Alat pengendap ini berupa tabung silinder di mana dindingnya diberi muatan positif, sedangkan di tengah ada sebuah kawat yang merupakan pusat silinder, sejajar dinding tabung, diberi muatan negatif. Adanya perbedaan tegangan yang cukup besar akan menimbulkan corona discharga di daerah sekitar pusat silinder. Hal ini menyebabkan udara kotor seolah – olah mengalami ionisasi. Kotoran udara menjadi ion negatif sedangkan udara bersih menjadi ion positif dan masing-masing akan menuju ke elektroda yang sesuai. Kotoran yang menjadi ion negatif akan ditarik oleh dinding tabung sedangkan udara bersih akan berada di tengah-tengah silinder dan kemudian terhembus keluar.



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



16



Gambar 2.1 Penampang Electrostatic Precipitator Alat pengendap elektrostatik (ESP) digunakan untuk membersihkan udara yang kotor dalam jumlah (volume) yang relatif besar dan pengotor udaranya adalah aerosol atau uap air. Alat ini dapat membersihkan udara secara cepat dan udara yang keluar dari alat ini sudah relatif bersih. Jika intensitas pembuangan gas (asap pabrik) terlalu banyak, maka akan merusak lingkungan di sekitarnya. Hal terburuk yang akan terjadi secara perlahanlahan adalah rusaknya lapisan ozon di atmosfer yang merupakan salah satu bentuk penyebab



pemanasan



precipitator merupakan



global salah



satu



(global cara



agar



warming). industri



Electrostatic yang



berpotensi



menghasilkan limbah debu menjadi ramah lingkungan, setidaknya dapat mengurangi kandungan polutan yang dibuang melalui cerobong.



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



17



Gambar 2.2 (a) menunjukkan diagram skematik dari sebuah pengendap elektroststik. Potensial listrik negatif yang tinggi tertahan pada kumparan kawat yang ada di bagian tengah membentuk sebuah lompatan listrik di sekitar kawat. Gambar (b) menunjukkan contoh aplikasi pengendap elektrostatik, sedangkan gambar (c) adalah gambar cerobong tanpa pengendap elektrostatik. Jika dibandingkan, gambar (c) akan menghasilkan polusi udara lebih besar dibanding gambar (b).



B. Wet Scrubber Sistem scrubber adalah kumpulan berbagai macam alat kendali polusi udara yang dapat digunakan untuk membuang partikel dan/atau gas dari arus gas keluaran industri. Dahulu, scrubber berkaitan dengan peralatan kontrol polusi yang menggunakan liquid untuk mencuci polutan yang tidak diinginkan dari arus gas. Saat ini istilah scrubber juga digunakan untuk menggambarkan sistem yang menyuntikkan atau memasukkan bahan aktif kering atau liquid ke dalam gas kotor untuk mencuci gas asam.



Scrubber adalah salah satu peralatan pokon yang



mengontrol emisi gas, terutama gas asam. Wet scrubber adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan variasi alat yang menggunakan liquid untuk membunag polutan. Pada wet scrubber, arus gas kotor dibawa menuju kontak dengan liquid pencuci dengan cara menyemprotkan, mangalirkannya atau dengan metode kontak lainnya. Tentu saja desain dari alat kontrol polusi udara (termasuk wet scrubber) tergantung pada kondisi proses industri dan sifat alami polutan udara yang bersangkutan. 2.4.2 Pemisahan Cairan dan Padatan (Perlakuan Lumpur) Tujuan utama dari pengolahan atau perlakuan lumpur adalah:



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



18



1. 2. 3. 4.



menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur, mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air di dalam lumpur, mendestruksi organisme patogen, memanfaatkan hasil samping proses perlakuan lumpur yang memiliki nilai



ekonomis, seperti gas methane yang dihasilkan pada proses ‘digestion’, 5. mengkondisikan lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan aman dan dapat diterima lingkungan. Limbah padat yang berasal dari unit proses dan unit pengolahan limbah, seperti cake atau lumpur padat umumnya memiliki kadar air 90 – 99.9%, sehingga tidak dapat langsung ditangani seperti limbah padat proses produksi lain seperti packages atau fiber, yang siap untuk ditangani dengan menggunakan insinerator atau landfill. Limbah dengan kadar air tinggi, seperti limbah lumpur, harus terlebih dahulu diolah dengan sludge dewatering untuk mengurangi kadar air dalam limbah. Pada proses ini, pengurangan kadar air yang dilakukan secara bertahap, yaitu mengurangi kadar air lumpur: (i) dari 99% menjadi 97% pada tahap A dan (ii) 97% menjadi 85% pada tahap C. Pengadukan pada tahap B berfungsi mengatur kondisi yang memudahkan proses pengurangan kadar air pada tahap C. Proses pengeringan lumpur selanjutnya adalah pengeringan yang umumnya dilakukan dengan cara filtrasi (sand filter, vacuum filtration, pressure filtration), penguapan dengan bantuan sinar matahari (drying beds), dan mobile dewatering unit. Pengolahan atau perlakuan lumpur dapat dilakukan melalui beberapa tahapan proses berikut ini: 1.



Thickening/concentration (pemekatan) untuk mengurangi volume lumpur



2.



yang akan diolah dengan pemadatan atau meningkatkan kandungan padatan, Stabilitation treatment untuk menstabilkan senyawa organik dan



3.



menghancurkan pathogen, De-watering dan drying untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan



4.



air dan sekaligus berguna untuk mengurangi volume lumpur, Disposal (pembuangan akhir) yang mempertimbangkan



masalah



lingkungan, aesthetic , dan ekologi. A. Thickening Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



19



Thickening



merupakan proses pemekatan lumpur untuk mengurangi



volume lumpur yang akan diolah dengan cara pemadatan atau meningkatkan kandungan padatan. Proses thickening yang umum digunakan adalah gravity thickening, centrifugation, dan flotation. Prinsip kerja masing-masing peralatan tersebut disampaikan sebagai berikut ini. A.1 Gravity Thickening Proses ini umumnya digunakan sebagai pretreatment sebelum lumpur diolah lebih lanjut ke proses de-watering lainnya. Prinsip dasar yang digunakan pada proses ini adalah pengendapan secara gravitasi. Pada proses ini, lumpur dibiarkan untuk mengendap pada bidang yang memiliki surface loading sekitar 300 sampai dengan 500 m3/m2.d. Dengan proses ini primary sludge dapat dipekatkan pada 150 kg/m2 dengan kandungan padatan sekitar 10%. Untuk meningkatkan efisiensi proses, biasanya



ditambahkan chemical



conditioners.



Hal



penting



yang



harus



diperhatikan pada proses ini adalah timbulnya bau akibat proses an-aerobik. Skema peralatan proses gravity thickening dapat dilihat pada Gambar 2.3.



Gambar 2.3 Skema peralatan Gravity Thickener A.2 Centrifugation Dengan metoda ini, lumpur dipekatkan sampai kandungan padatan di dalam lumpur mencapai 20% (meskipun umumnya peralatan ini digunakan untuk memekatkan lumpur hanya sampai kandungan padatan 10%). Proses pemisahan padatan terjadi saat lumpur dimasukkan ke dalam mangkuk yang berputar dengan kecepatan > 30 rev/detik. Lumpur dipisahkan ke bagian luar mangkuk dan Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



20



dikeluarkan dari mangkuk dengan menggunakan screw conveyor atau scroll (lihat Gambar2. 4).



Gambar 2.4 Solid Bowl Centrifuge A.3 Flotation Proses flotation atau flotasi yang digunakan untuk mengolah limbah yang berupa lumpur memiliki prinsip seperti proses flotation untuk penyisihan minyak. Proses flotasi banyak digunakan untuk menyisihkan bahan-bahan yang Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



21



mengapung seperti minyak dan lemak agar tidak mengganggu proses pengolahan berikutnya. Flotasi juga dapat digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan tersuspensi (clarification) atau pemekatan lumpur endapan (sludge thickening) dengan memberikan aliran udara ke atas (air flotation). B. Stabilisasi Lumpur (Sludge Stabilization) Stabilisasi lumpur merupakan upaya mengurangi kandungan senyawa organik dalam lumpur atau mencegah aktivitas mikroorganisme. Tujuan stabilisasi lumpur adalah agar lumpur menjadi stabil dan tidak menimbulkan bau busuk dan gangguan kesehatan saat dilakukan proses maupun saat pembuangan ke lingkungan. Stabilisasi lumpur dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti digestasi anaerobik, stabilisasi aerobik, dan stabilisasi dengan kapur. B.1 Digestasi Anaerobik Proses ini merupakan suatu proses degradasi senyawa organik dalam lumpur secara anaerobik. Stabilisasi ini biasanya hanya untuk lumpur biologi dan dilakukan sebelum proses pengeluaran air dari lumpur. Dengan proses digestasi ini, sekitar 50% senyawa organik dalam lumpur dapat diubah menjadi gas bio yang tersusun dari metan (CH4) dan CO2 apabila di dalam senyawa organik tersebut terdapat kandungan sulfur, maka dihasilkan H2S. Produk gas bio ini sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi, sedangkan lumpur sisa yang diperoleh bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. Digestasi lumpur dilakukan dalam tangki tertutup dengan sistem pengeluaran gas dan dapat dilengkapi dengan sistem pengadukan. Waktu retensi yang diperlukan antara 10-20 hari dengan beban padatan antara 2-4 kg/m 3. Hasil pemekatan dengan sistem ini mencapai kadar padatan kering antara 2-5% atau kandungan air 95-98% untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur campuran kimia-fisika-biologi kadar padatan kering hanya mencapai 1,5-4% atau kandungan air 96-98,5%. Kelebihan sistem ini adalah pengurangan volume lumpur dengan penguraian dalam artian pengurangan lumpur diubah menjadi gas yang dapat dimanfaatkan sebagai energi panas. Kelemahan dari sistem ini adalah cara pengoperasiannya agak sulit. Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



22



B.2 Stabilisasi Aerobik Pada prinsipnya proses ini sama seperti proses lumpur aktif pada pengolahan air limbah, yaitu degradasi senyawa organik dalam lumpur terjadi secara aerobik. Proses stabilisasi aerobik dapat dilakukan dalam suatu tanki terbuka, sebelum ataupun setelah dilakukan proses pengeluaran air dari dalam lumpur. Metode stabilisasi aerobik lumpur yang sudah mengalami proses pengeluaran air merupakan bentuk pengomposan yang banyak dilakukan di industri. Proses stabilisasi dilakukan dengan beban padatan berkisar antara 1,6-4,8 kg/m3,jam dengan waktu retensi 10-15 hari. Udara dimasukkan ke dalam tanki untuk mensuplai oksigen, sehingga kadar oksigen terlarut dapat diperhatikan minimal 1-2 mg/L. Dengan pengaturan pH, kelembaban suhu dan penambahan nutrisi yang sesuai, maka lumpur hasil proses stabilisasi dapat dimanfaatkan sebagai kompos. Hasil pemekatan dengan sistem ini mencapai kadar padatan kering antara 2,5-7% atau kandungan air 93-97,5% untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur campuran kimia-fisika-biologi kadar padatan kering hanya mencapai 1,5-4% atau kandungan air 96-98,5%. Kelebihan sistem ini adalah lebih mudah dalam pengoperasian dan mudah dalam pengontrolan. Kelemahan dari sistem ini adalah banyak membutuhkan energi, yaitu energi listrik untuk pembangkit oksigen. B.3 Stabilisasi dengan Kapur Penambahan kapur ke



dalam



lumpur



mengakibatkan



aktifitas



mikroorganisme terhenti, tetapi tidak mempengaruhi kandungan senyawa organik dalam lumpur. Proses stabilisasi ini umumnya dilakukan untuk mengatasi masalah bau yang timbul. Untuk menjamin lumpur tetap stabil, maka pH lumpur harus dipertahankan di atas pH 11,8. Metoda stabilisasi ini perlu pengawasan pH dan juga perlakuan pencampuran bahan kimia kapur dengan lumpur secara baik agar pH lumpur homogen. Hasil pemekatan dengan sistem ini mencapai kadar padatan kering antara 3-6% atau kandungan air 94-97% untuk lumpur kimiafisika, sedangkan untuk lumpur campuran kimia-fisika-biologi kadar padatan kering hanya mencapai 1-1,5% atau kandungan air 98,5-99%. Kelebihan sistem Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



23



ini adalah pengoperasian mudah dan biaya operasional relatif rendah. Kelemahan sistem ini adalah tidak terjadi pengurangan kandungan air atau volume lumpur. Pada pengoperasian sistem ini sering terjadi perubahan nilai pH sehingga perlu dipantau terus menerus. C. Pengeluaran Air dari Lumpur (Sludge Dewatering) Tujuan proses pengeluaran air lumpur ialah menghilangkan sebanyak mungkin air yang terkandung dalam lumpur setelah proses pengentalan. Persyaratan kadar padatan kering lumpur yang diinginkan tergantung pada penanganan akhir yang akan dilakukan, umumnya berkisar 30%. Proses pengeluaran air lumpur dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain menggunakan alat seperti belt press, filter press, screw press, drying bed, centrifugal, rotary drum vacuum filter. C.1 Belt Press Proses pengeluaran air lumpur yang digunakan di industri antara lain belt filter press. Tipe alat ini banyak digunakan di industri pulp dan kertas. Pengeluaran air dari lumpur yang dapat dilakukan dengan alat ini melalui 2 tahapan, : a. Daerah Pengeluaran Air (Draining Zone) Pada daerah ini lumpur mengalir dan tersebar secara merata di atas lembaran wire. Pengeluaran air dilakukan tanpa tekanan, hanya mengandalkan gravitasi sampai mencapai kadar padatan tertentu, selanjutnya lumpur memasuki daerah pengeringan bertekanan. Daerah Pengeringan Bertekanan (Pressing Zone) Air keluar dari lumpur dengan cara dijepit di antara dua belt atau wire sambil ditekan oleh rol secara bertahap di daerah pressing zone, dengan tekanan meningkat sejalan dengan mengecilnya rol. Pada saat dijepit, air diperas ke luar sampai akhir daerah bertekanan, yang selanjutnya memasuki daerah pengelupasan lumpur dari belt atau wire (share zone). Sebelum difungsikan kembali



di



daerah



pengeluaran



air,



belt



atau



wire



perlu



dicuci



dahulu. Umumnya kadar padatan kering yang bisa dicapai antara 30-40% atau kandungan air 60-70%, untuk lumpur kimia-fisika dan 22-30% atau kandungan air



70-78%,



untuk



lumpur



biologi.



Pengkondisian



lumpur



dengan



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



24



menambahkan polimer perlu dilakukan untuk mempercepat dan mempermudah pengeluaran air. Alat pengering lumpur dirancang untuk beban 150-300 kg padatan kering/m lebar wire per jam untuk lumpur yang sulit dipisahkan airnya, sedangkan untuk lumpur yang mudah dipisahkan airnya 250-500 kg padatan kering/m lebar wire/jam. Belt penjepit baik bagian atas maupun bawah, setelah melepaskan lumpur, perlu dicuci, sebelum difungsikan kembali di daerah pengeluaran air. Kelebihan alat ini adalah kapasitas olah yang besar dan kandungan padatan kering yang relatif tinggi. Kelemahan yaitu membutuhkan biaya operasional yang relatif tinggi karena penggunaan bahan kimia polielektrolit yang tinggi dan kebutuhan energi listrik yang besar. Disamping itu maintenance membutuhkan biaya yang lebih tinggi dan operasional lebih sulit karena permasalahan di belt/wire dan tracking sistem (alat pengarah belt/wire). C.2 Filter Press Prinsip kerja sistem ini adalah memberi tekanan pada lumpur yang berada di antara lempengan-lempengan filter (filter plate). Tekanan diberikan melalui gaya hidrolik di kedua sisi lempengan. Filter ini tersusun dari plate and frame filter berjumlah banyak, dimana bagian dalam dari frame tersebut ditarik oleh filter kain yang bersambungan. Setelah frame terkunci karena tekanan hidrolik atau tekanan tangan, lumpur akan tertekan masuk dari tabung suplai ke dalam ruang filtrasi. Air yang tersaring karena tekanan itu akan jatuh dari frame, lumpur akan mengental karena kehilangan air dan tersiasa di bagian dalam. Penambahan tekanan berkisar antara 1-10 kgf/cm2, tetapi karena resistan tekanan yang masuk bertambah besar, maka akan terbentuk cukup adonan di bagian dalam. Apabila sudah terjadi kondisi seperti ini maka pengisian lumpur dihentikan. Tipe alat penyaring tekanan ini umumnya digunakan di industri kecil, antara lain seperti industri tekstil. Kelebihan dari sistem ini adalah sederhana dalam konstruksi dan biaya operasional yang relatif lebih rendah. Kelemahan adalah hanya dapat digunakan untuk penanganan lumpur yang sedikit. C.3 Drying Bed



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



25



Salah satu metode paling sederhana adalah drying bed atau bak pengering lumpur. Pengeluaran air lumpur dilakukan melalui media pengering secara gravitasi dan penguapan sinar matahari. Lumpur yang berasal dari pengolahan air limbah secara langsung tanpa proses pemekatan terlebih dahulu dapat dikeringkan dengan drying bed. Deskripsi bak pengering berupa bak dangkal berisi media penyaring pasir setinggi 10-20 cm dan batu kerikil sebagai penyangga pasir antara 20-40 cm, serta saluran air tersaring (filtrat) di bagian bawah bak. Pada bagian dasar bak pengering dibuat saluran atau pipa pembuangan air dan di atasnya diberi lapisan kerikil (diameter 10-30 mmÆ) setebal 20 cm dan lapisan pasir kasar (3-5 mmÆ) setebal 20-30 cm. Media penyaring merupakan bahan yang memiliki pori besar untuk ditembus air. Pasir, ijuk dan kerikil merupakan media penyaring yang sering digunakan. Pengisian lumpur ke bak pengering sebaiknya dilakukan 1 kali sehari dengan ketebalan lumpur di bawah 15 cm. Mengingat keterbatasan daya tembus panas matahari, maka kedalaman bak ikurang dari 50 cm. Jika lumpur masuk terlalu banyak, permukaan lumpur tampak mengering tetapi lapisan bawah masih basah, sehingga pengurangan air perlu waktu berhari-hari. Jika saringan tersumbat maka air tidak dapat keluar, sehingga pengurangan kadar air tidak terjadi. Pengurangan kandungan air dalam lumpur menggunakan sistem pengeringan alami dengan matahari, maka air akan keluar melalui saringan dan penguapan. Pada mulanya keluarnya air melalui saringan berjalan lancar dan kecepatan pengurangan air tinggi, tetapi jika bahan penyaring (pasir) tersumbat maka proses pengurangan air hanya tergantung kecepatan penguapan. Kecepatan pengurangan air pada bak pengering lumpur seperti ini bergantung pada penguapan dan penyaringan, dan akan sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca seperti suhu, kelembaban, kecepatan angin, sinar matahari, hujan, ketebalan lapisan lumpur, kadar air, sifat lumpur yang masuk dan struktur kolam pengeringan. Waktu pengeringan biasanya antara 3-5 hari. Kelebihan sistem ini adalah pengoperasian yang sangat sederhana dan mudah, biaya operasional relatif rendah dan hasil olahan lumpur bisa kering atau



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



26



kandungan padatan yang tinggi. Kelemahan sistem ini adalah membutuhkan lahan yang luas dan sangat tergantung cuaca. C.4 Screw Press Screw press menghasilkan lumpur kering (cake) dengan kadar padatan kering 30 – 70% atau kandungan air 30-70%. Apabila lumpur yang akan diolah berasal dari campuran lumpur kimia-fisika dengan lumpur biologi, maka perlu ditambahkan koagulan polimer atau polielektrolit (PE), sebaliknya apabila hanya berasal dari lumpur kimia-fisika tanpa penambahan koagulan polimer atau polielektrolit (PE), dengan pemakaian umumnya sekitar 1-2 ppm. Besarnya tekanan yang dihasilkan tergantung dari pengaturan perbedaan jarak antara puncak ulir tekan sepanjang poros dengan kekuatan tekan flange penahan yang ditentukan oleh kondisi dan jumlah pegas yang digunakan Alat screw press sangat hemat energi. Penggunaan alat screw press makin banyak diterapkan di industri khususnya industri pulp dan kertas. C.5 Centrifugal Pada prinsipnya alat ini memisahkan padatan dalam lumpur dari cairan melalui proses sedimentasi dan sentrifugasi. Ada beberapa tipe sentrifugasi tetapi yang umum digunakan adalah tabung horizontal berbentuk kerucut-silindris yang di dalamnya dilengkapi juga dengan screw conveyor yang dapat berputar. Kecepatan putaran conveyor ini sedikit lebih lambat dibandingkan dengan putaran tabung horizontal. Lumpur masuk melalui suatu tabung yang tak bergerak terletak sepanjang garis pusat tabung, kemudian didorong keluar oleh conveyor dan didistribusikan ke bagian sisi tabung. Lumpur mengendap dan dipadatkan oleh adanya kekuatan centrifugasi, kemudian dibawa oleh conveyor ke daerah pengeringan dalam tabung di bagian yang runcing, cairannya yang telah terpisah dikeluarkan di bagian yang lainnya. Pada sistem ini padatan kering mencapai sampai 50% atau kandungan air 50%. Pengkondisian lumpur dengan menambahkan koagulan polimer adalah untuk mempercepat dan mempermudah pengeluaran air. Pemakaian koagulan polimer antara 2 – 6 kg/ton padatan lumpur kering.



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



27



Biaya investasi dan operasi alat sentrifugal mahal, karena diperlukan bahan kimia pengkondisi dan konsumsi energi listrik yang tinggi. Biaya pemeliharaannya juga tinggi jika dibandingkan dengan alat yang lain. C.6 Rotary Drum Vacuum Filter Penyaringan terjadi pada permukaan drum yang berputar. Drum berputar ini dibagi dalam beberapa bagian yang masing – masing berada di bawah tekanan vakum. Sekitar 20 – 40% bagian drum akan terendam lumpur dan mengambil zat padat membentuk padatan lumpur yang menempel di permukaan karena diserap pompa vakum. Sebelum bagian drum dengan padatan lumpur yang menempel terendam kembali, padatan tersebut akan terlepas setelah dicuci. Lumpur kimia-fisika dapat dikeluarkan airnya sampai mencapai padatan kering sebesar 7-9% atau kandungan air 91-93% tanpa perlu dikondisikan dahulu dengan bahan kimia. Lumpur biologi mencapai padatan kering sebesar 4-9% atau kandungan air 91-96%, sedangkan



lumpur campuran mencapai padatan kering



sebesar 5-9% atau kandungan air 91-95%. Beban lumpur kimia – fisika umumnya 30 kg padatan kering /m 2 jam, sedangkan untuk lumpur biologi atau lumpur campuran bebannya lebih kecil yaitu 10 -20 kg padatan kering/m2jam dengan hasil padatan kering sekitar 15% dan sebelumnya perlu dikondisikan terlebih dahulu. Kelebihan dari cara ini adalah kapasitas pengolahan yang besar. Kelemahannya adalah pencapaian padatan kering yang masih rendah dan alat ini lebih cocok digunakan untuk lumpur yang berserat.



2.5 Pengolahan Limbah B3 secara Kimia Pengolahan air buangan secara kimia biasanya dilakukan untuk menghilangkan partikel-partikel yang tidak mudah mengendap (koloid), logamlogam berat, senyawa fosfor, dan zat organik beracun; dengan membubuhkan bahan kimia tertentu yang diperlukan. Penyisihan bahan-bahan tersebut pada prinsipnya berlangsung melalui perubahan sifat bahan-bahan tersebut, yaitu dari tak dapat diendapkan menjadi mudah diendapkan (flokulasi-koagulasi). Beberapa



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



28



proses yang digunakan dalam mengolah limbah secara kimia seperti: netralisasi, pengendapan, flokulasi-koagualasi, oksidasi reduksi. 2.3.1 Netralisasi Netralisasi limbah diperlukan jika kondisi limbah masih diluar range pH baku mutu limbah (BML) yang diperlukan (pH 6-8), sebab limbah di luar kondisi tersebut dapat bersifat racun atau korosif. Dalam beberapa hal netralisasi dapat dilakukan dengan cara mencampur limbah yang bersifat asam dengan limbah yang bersifat basa. Pencampuran dilakukan di dalam suatu bak equalisasi (bak penstabil) pada level ketinggian tetap. Bak ini juga sering disebut sebagai tangki netralisasi. Tangki netralisasi dilengkapi dengan alat sensor pH untuk mengontrol hasil reaksi. Secara umum reaksi netralisasi tersebut sebagai berikut: Asam + Basa  Garam + Air (kondisi lebih netral) Netralisasi menggunakan bahan kimia dilakukan dengan menambahkan bahan yang bersifat asam kuat atau basa kuat. Air limbah yang bersifat asam umumnya dinetralkan dengan larutan kapur (Ca(OH2)), soda kostik (NaOH) atau nantrium karbonat (Na2CO3).



Karena larutan kapur harganya lebih murah



daripada bahan kimia lainnya, maka larutan ini lebih sering dipakai di berbagai industri. Air limbah yang bersifat basa dinetralkan dengan asam kuat seperti H 2SO4, HCl atau dengan gas CO2.



Netralisasi dengan CO2 dapat dilakukan dengan



memasukkan gas CO2 melalui bagian bawah tangki netralisasi.



Gas akan



membentuk gelembung-gelembung gas yang akan bereaksi dengan basa yang ada sehingga dihasilkan asam karbonat (H2CO3). 2.3.2 Pengendapan Jika konsentrasi logam berat di dalam air limbah cukup tinggi, maka logam tersebut dapat dipisahkan dari limbah dengan jalan pengendapan. Pengendapan dapat dilakukan dengan mengubah bentuk logam yang ada ke dalam Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



29



bentuk hidriksinya. Hal ini dilakukan dengan penambahan larutan kapur (Ca (OH)2) atau soda kostik (NaOH) dengan memperhatikan kondisi pH dimana hidroksida logam tersebut mempunyai nilai kelarutan minimum. Untuk lebih jelasnya hubungan antra konsentrasi logam dengan pH dapat dilihat pada Gambar 4.2. Dari gambar 4.2 terlihat bahwa kelarutan minimum krom dan seng terjadi pada pH 7,5 dan 10,2. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa konsentrasi krom maupun seng akan meningkat dengan tajam jika kondisi pH berubah dari nilai 7,5 atau 10,2. Jadi untuk mengendapkan logam yang ada secara optimal kondisi pH memegang peran yang sangat penting. 2.3.3 Koagulasi dan Flokulasi Koagulasi dan flokulasi digunakan untuk memisahkan padatan tersuspensi dari cairan jika kecapatan pengendapan secara alami padatan tersebut lambat atau tidak efisien. Koagulasi dilakukan dengan menambahkan bahan kimia koagulan ke dalam air limbah. Koagulan yang sering digunakan di lingkungan industri antara lain larutan kapur Ca(OH)2; tawas (Al2(SO4)3. 18H2O; FeCl3; FeCl2; FeSO4. 7H2O dan lain-lain. 2.3.4 Oksidasi-Reduksi (Redoks) Oksidasi adalah reaksi kimia yang akan meningkatkan bilangan valensi materi yang bereaksi dengan melepaskan elektron. Reaksi oksidasi selalu diikuti dengn reaksi reduksi.



Reduksi adalah reaksi kimia yang akan menurunkan



bilangan valensi materi yang bereaksi dengan menerima elektron dari luar. Reaksi kimia yang melibatkan kadua reaksi oksidasi dan reduksi ini dikenal dengan reaksi redok. Reaksi kimia Oksidasi-Reduksi dapat merubah bahan pencemar yang bersifat racun menjadi tidak berbahaya atau menurunkan tinngkat/daya racunnya. Contoh pengolahan limbah B3 dengan reaksi redoks: 1) Krom valensi enam (krom heksavalen) merupakan bahan kimia yang sangat beracun, sehingga keberadaannya di dalam limbah harus ditangani dengan sangat hati-hati. Untuk menurunkan tingkat racun dari krom heksavalen ini Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



30



dapat dilakukan dengan mengadakan reaksi redok. Krom heksavalen dapat direduksi menggunakan sulfur dioksida (SO2) menjadi krom trivalen yang mempunyai tingkat/daya racun jauh lebih rendah dari pada krom heksavalen. Reaksi dasar dari krom ini adalah sebagai berikut: SO2 + H2O  H2SO3 2CrO3 + 3H2SO3  Cr2(SO4)3 + 3H2O Cr2(SO4)3 + 3Ca(OH)2  2Cr(OH)3 + CaSO4 Krom trivalen lebih aman dari pada krom heksavalen sehingga lebih dapat diterima di lingkungan. 2) Limbah yang mengandung sianida juga mempunyai sifat racun yang sangat kuat, sehingga diperlukan pengolahan terlebih dahulu sebelum limbah tersebut di-landfill. Sianida yang sangat beracun tersebut dapat dioksidasi ke dalam bentuk sianat yang daya racunnya jauh lebih rendah. Reaksi oksidasinya sebagai berikut: NaCN + Cl2 + 2NaOH  NaCNO + 2NaCl + H2O 2NaCNO + 3Cl2 + 4NaOH  2CO2 + N2 + 6NaCl + 2H2O Kedua rekasi tersbut sangat sensitif terhadap perubahan kondisi pH. Reaksi pertama membutuhkan pH lebih besar dari pada 10 untuk memproduksi natrium sianida, sedangkan reaksi kedua akan terjadi lebih cepat pada kondisi pH sekitar 8.



Proses klorinasi alkalin akan lebih baik dilakukan dengn



pemutih hipoklorid seperti menggunakan peroksida dan ozon untuk lebih menyempurnakan reaksi penghancuran sianida. 2.6 Rangkuman Pengolahan limbah B3 secara fidika merupakan proses fisik dengan bantuan peralatan mekanis tanpa menggunakan bahan kimia tertentu atau mikroorganisme. Terdapat tiga proses utama yang dilakukan secara fisika yaitu pembersihan gas (elektrostatik presipitator, adsorpsi dengan karbon aktif dll); pemisahan cairan dan padatan (klarifikasi, filtrasi, flokulasi, thickening, dll); dan penyisihan komponen-komponen yang sepesifik (kristalisasi, dialisa, evaporasi, dll). Pengolahan limbah B3 secara kimia dilakukan untuk menghilangkan partikel-partikel yang tidak mudah mengendap, logam-logam berat, senyawa Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



31



fosfor, dan zat organik beracun dengan menambahkan bahan kimia tertentu yang diperlukan. Beberapa proses yang digunakan dalam mengolah limbah B3 secara kimia seperti: netralisasi, pengendapan, flokulasi-koagulasi dan juga oksidasireduksi. 2.7 Pertanyaan 1. Jelaskan perbedaan antara pengolahan limbah secara fisika dan kimia! 2. Sebutkan proses utama yang dilakukan secara fisika dalam pengolahan 3.



limbah B3 Jelaskan prinsip kerja dari proses pembersihan gas, pemisahan cairan dan



4.



padatan! Jelaskan prinsip dari pengolahan secara netralisasi, koagualasi dan flokulasi serta oksidasi-reduksi!



2.8 Model Jawaban 1. Perbedaan pengolahan limbah B3 secara fisika dan kimia terletak pada ada tidaknya pemakaian bahan kimia maupun mikroorganisme, dimana pada pengolahan secara fisika dilakukan dengan bantuan peralatan mekanis tanpa menggunakan bahan kimia atau makhluk hidup (mikro-organisme). Misal: penyaringn (screening), pengendapan, dll. Sedangkan pada pengolahan secara kimia dilakukan dengan bantuan bahan kimia. Pengelolaan cara kimia dan umumnya dikombinasikan pada cara fisika. Misal: oksidasi, netralisasi, koagulasi, dan flokulasi. Selain itu dari segi ekonomis, pengolahan secara 2.



fisika cenderung lebih murah daripada pengolahan secara kimia. Proses utama pada pengolahan limbah B3 secara fisika adalah: proses pembersihan gas, proses pemisahan cairan dan padatan, serta pemisahan



3.



komponen-komponen yang spesifik. Prinsip kerja dari proses pembersihan gas adalah mengurangi pencemaran udara dari gas-gas buang yang bersifat toksik yang dapat dikontrol pengeluarannya melalui beberapa metode, salah satu metodenya dengan menggunakan alat pengendap elektroststik. Prinsip kerja dari proses pemisahan cairan dan padatan adalah pengurangan kadar air yang dilakukan secara bertahap: -Tahap A mengurangi kadar air lumpur dari 99% menjadi 97% - Tahap B dilakukan pengadukan yang berfungsi mengatur kondisi yang memudahkan proses pengurangan kadar air pada tahap C Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



32



- Tahap C mengurangi kadar air lumpurdari 97% menjadi 85%. - Tahap D, proses pengeringan lumpur yang umumnya dilakukan dengan cara filtrasi, penguapan dengan bantuan sinar matahari, dan mobile dewatering 4.



unit. Prinsip Netralisasi: Netralisasi dilakukan denan mencampur limbah yang bersifat asam dengan limbah yang bersifat basa. Pencampuran dilakukan dalam suatu bak equalisasi atau tangki netralisasi. Prinsip Koagulasi dan Flokulasi: Koagulasi dilakukan dengan menambahkan bahan kimia koagulan seperti Ca(OH)2, Al2(SO4)3.18H2O dll ke dalam air limbah. Prinsip dari oksidasi-reduksi: untuk menurunkan tingkat racun dalam limbah dapat dilakukan dengan mereduksi racun menjadi limbah yang mempunyai tingkat racun jauh lebih rendah. Contoh: sianida yang sangat beracun dapat dioksidasi ke dalam bentuk sianat yang daya racunnya jauh lebih rendah.



2.9 Tindak Lanjut Pada bagian 2.5 diwajibkan kepada mahasiswa untuk menyelesaikan beberapa pertanyaan soal latihan untuk melihat kemampuan mahasiswa dalam memahami topik II. Kemudian mahasiswa diberikan skor penilaian dalam menyelesaikan soal latihan, dimana bobot nilai setiap soal adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Bobot nilai untuk soal latihan dan tugas No. Soal 1 2 3 4 Total Nilai



Bobot Nilai 15 25 30 30 100



Skor 15 25 30 30 100



Berdasarkan skor nilai yang diperoleh dalam menyelesaikan soal pada latihan dan tugas maka kemampuan mahasiwa dapat diukur berdasarkan kelompok nilai sebagai berikut: 1 2 3 4 5



Jika nilai = 100 (sangat baik) Jika nilai = 80 (baik) Jika nilai = 60 (kurang baik) Jika nilai = 40 (tidak baik) Jika nilai = 20 (sangat tidak baik) Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



33



6 Jika nilai = 0 ( sangat tidak memahami dan mengerti materi)



2.10 Daftar Tilik Penampilan Tabel 2.2 Daftar titik penampilan dari sub topik II No.



Penguasaan Materi



A



Penilaian B C D



E



1. Pengertian pengolahan limbah B3 secara fisika dan kimia 2. Pembersihan gas 3. Pemisahan cairan dan padatan 4. Thickening 5. Stabilisasi lumpur 6. Sludge dewatering 7. Netralisasi 8. Pengendapan 9. Koagulasi dan flokulasi 10. Reduksi-oksidasi Skala Nilai: A = Amat Baik B = BaiK C = Cukup D = Kurang E = Tidak ada



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



34



TOPIK III PENGOLAHAN LIMBAH B3 SECARA INSENERASI 3.1 Pendahuluan Dalam hal pengelolaan limbah padat, proses insinerasi atau pembakaran adalah teknologi pengolahan limbah dengan cara mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90 % (volume) dan 75% (berat). Sistem ini sebenarnya bukan merupakan solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena sistem ini hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata menjadi bentuk lain yang tidak kasat mata yaitu gas. Di sisi lain, pembakaran limbah merupakan alternatif yang menarik dalam metode pengurangan limbah. Insenerator adalah alat untuk membakar sampah padat.



Insenerator sering digunakan untuk



mengolah limbah B3 yang memerlukan persyaratan teknis pengolahan dan hasil olahan yang sangat ketat. Supaya dapat menghilangkan sifat bahaya dan sifat racun bahan yang dibakar, insenerator harus dioperasikan pada kondisi di atas temperatur destruksi dari bahan yang dibakar. 3.2 Tujuan Khusus Topik Setelah mempelajari topik pengolahan limbah B3 secara fisika dan kimia diharapkan mahasiswa mempunyai kemampuan: 7 Menjelaskan definisi insenerasi 8 Menjelaskan proses pengolahan limbah B3 secara insenerasi 9 Menjelaskan Jenis-Jenis Insenerator 3.3 Prasyarat Topik 3.3.1 Prasyarat Tenaga Pengajar Prasyarat yang harus dipenuhi oleh tenaga pengajar dalam memberikan topik ini adalah: 1 Tenaga pengajar harus mempunyai Satuan Acara Perkuliahan (SAP) dan Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) sesuai dengan tatap muka di kelas yang terdapat pada silabus Program Studi Teknik Kimia Industri untuk mahasiswa semester V. Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



35



2 Dalam memberikan materi pembelajaran tenaga pengajar harus menggunakan referensi yang sesuai dengan topik bahasan yang diajarkan dengan mudah serta dapat di akses oleh mahasiswa 10 Tenaga pengajar harus memiliki pengetahuan tentang pengolahan limbah dan kimia lingkungan. 3.3.2



Prasyarat Mahasiswa Prasyarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa yang mengikuti



perkuliahan pada topik persamaan kimia adalah: 1. Mahasiswa mengetahui ilmu dasar untuk pengolahan limbah dan kimia lingkungan. 2. Mahasiswa pada semester 5 pada Program Studi Teknik Kimia Industri Jururusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe 3. Mahasiswa harus memiliki kehadiran dikelas minimal 80% 3.4 Definisi Insenerasi Sebagian besar limbah organik berbahaya terdiri dari karbon, hidrogen, oksigen dengan campuran halogen, sulfur, nitrogen dan logam berat. Struktur molekul umumnya akan menentukan tingkat bahaya substansi organik terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Bila molekul sebuah limbah organik dapat dihancurkan atau direduksi menjadi karbondioksida, air dan substansi organik yang lebih sederhana, maka limbah tersebut bisa dikurangi tingkat bahayanya. Destruksi termal umumnya menjadi pilihan teknologi pengolahan dalam pengelolaan limbah berbahaya dan insinerator merupakan teknologi proses termal yang paling sering digunakan untuk mengolah limbah organik berbahaya, karena teknologi ini memungkinkan destruksi yang tinggi dalam banyak jenis limbah organik, walaupun pada saat yang sama dikeluarkan pencemaran udara dapat ditanggulangi dengan sarana dan kontrol yang sesuai. Insinerasi adalah sebuah proses yang memungkinkan materi combustible (bahan bakar) seperti halnya limbah organik mengalami pembakaran, kemudian dihasilkan gas/partikulat, residu noncombustible dan abu. Gas/partikulat tersebut dikeluarkan melalui cerobong setelah melalui sarana pengolah pencemar udara yang sesuai. Residu yang bercampur debu dikeluarkan dari insinerator dan disingkirkan pada lahan-urug.



Disamping pengurangan massa dan volume, sasaran utama



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



36



insinerator bagi limbah berbahaya adalah mengurangi sifat bahaya dari limbah itu sendiri, misalnya dalam detoksifikasi. Oleh karenanya peranan temperatur serta waktu tinggal yang akan sesuai akan memegang peranan penting dalam insinerator limbah B3. Pengolahan secara insenerasi bertujuan untuk menghancurkan senyawa B3 yang terkandung di dalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3. Ukuran, disain dan spesifikasi insenerator yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik dan jumlah limbah yang akan diolah. Insenerator dilengkapi dengan alat pencegah pencemar udara untuk memenuhi standar emisi. Insenerator sudah banyak dipakai oleh industri, usaha pengolahan limbah B3, rumah sakit, pengelola sampah kota serta sampah pasar. Abu dan asap dari insenerator harus aman untuk dibuang ke lingkungan. Kualitas hasil buangan (asap dan abu) banyak dipengaruhi oleh jenis dan karakteristik bahan yang dibakar serta kinerja dari insenerator yang digunakan. Untuk mencapai kondisi yang diinginkan, diperlukan suatu insenerator yang dapat bekerja dengan baik yang dilengkapi dengan suatu sistem kotrol pengendalian proses pembakaran agar dapat dipastikan bahwa semua bahan dapat terbakar pada titik optimum pembakarannya dan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian teknologi insenerator yang akan digunakan harus dapat mengatasi semua permasalahan dalam pembuangan dan pemusnahan limbah B3 Teknologi insinerasi merupakan cara pengolahan yang baik bagi materi combustible yang mempunyai nilai kalor yang memadai untuk itu, misalnya limbah hidrokarbon (cair dan padat). Limbah berbahaya yang patogen, seperti dari rumah sakit sangat ampuh ditangani cara ini.



Keuntungan lain adalah kemungkinan



pemanfaatan panas yang ditimbulkannya. Kelemahan dari cara ini adalah modal awal yang relatif tinggi dibanding cara lain. Disamping itu masalah pencemaran udara yang dapat ditimbulkan, membutuhkan sarana yang baik dan cocok menanggulanginya. Kontrol atau pengoperasian insinerator membutuhkan operator yang terlatih secara baik. Operasi sebuah insinerator pengolah limbah berbahaya adalah jauh lebih kompleks dibanding teknlogi lainnya, terutama dengan adanya variasi komposisi limbah untuk mencapai efisiensi destruksi termal yang diinginkan. Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



37



Bila sebuah insinerator tidak dilengkapi dan difungsikan dengan baik, maka akan menimbulkan dampak merugikan bagi kesehatan manusia misalnya dengan timbulnya bau, partikulat, gas-gas berbahaya yang mungkin lembur.



Formasi



pencemaran udara yang potensial seperti HCL, CO, SO2, NO, logam berat dan abu partikulat lainnya dapat menimbulkan dampak serius. 3.5 Proses Pembakaran Insenerasi Proses insinerasi pada dasarnya adalah reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan oksigen. Jika proses ini berlangsung secara sempurna, komponen utama penyusun bahan organik (H dan C) akan dikonversi menjadi gas karbon dioksida dan uap air. Unsur-unsur penyusun limbah padat organik lainnya seperti belerang (S), nitrogen (N) dioksidasi menjadi oksida-oksida dalam fasa gas (SOx, NOx) sedangkan unsur inert lainnya tetap berada pada fasa padat atau teruapkan dan terbawa oleh gas-gas produk insinerasi yang berpotensi menimbulkan pencemaran. Untuk mengurangi pencemaran, insinerator dilengkapi dengan sistem pengendalian polusi udara yang pada prinsipnya merupakan peralatan untuk menangkap gas-gas pencemar produk insinerasi. Pada prinsipnya limbah dapat dikategorikan menjadi tiga macam berdasarkan kemampuan untuk dibakar yaitu: (i) limbah yang tidak dapat dibakar, yaitu limbah dengan heating value di bawah 1700 kkal/kg; (ii) limbah yang dapat dibakar dengan bantuan bahan bakar, yaitu limbah dengan heating value 17005000 kkal/kg, dan (iii) limbah yang dapat terbakar dengan sendirinya, yaitu limbah dengan heating value di atas 5000 kkal/kg. Temperatur yang digunakan untuk membakar limbah padatan tersebut dipengaruhi oleh kandungan atau komposisi limbah tersebut. Pembakaran bertemperatur tinggi (> 1200 0C) digunakan jika limbah mengandung PCB, dioxin. Pembakaran dengan temperatur medium (1000 – 1200 0C) digunakan jika limbah itu mengandung senyawa-senyawa toksik. Pembakaran dengan temperatur normal (700 – 1000 0C) digunakan jika limbah itu tidak



mengandung



komponen



toksik. Scrubber ditambahkan



jika



PCB, gas



yang



dioksin



atau



senyawa



dilepaskan



dari



insinerator



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



38



mengandung komponen komponen seperti Cl, Br, F dan S. Jika komponen limbah mengandung (i) nitrogen (N), perlu penanganan NO X dari hasil pembakaran dan (ii) logam berat, perlu pemisahan partikulat dalam gas buang. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value) limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang mungkin diperoleh dari sistem insinerasi. Jika sistem insinerasi dilengkapi dengan peralatan pengendali pencemaran udara, heating value akan menentukan volume fluida pendingin yang diperlukan untuk melengkapi sistem agar gas-gas produk proses insinerasi berada pada kondisi temperatur yang sesuai dengan spesifikasi peralatan pengendali pencemaran. 3.6 Prinsip Kerja Insenerator Proses insenerasi akan berlangsung melalui 3 tahapan, yaitu: 1. Tahapan pertama adalah membuat air dalam limbah B3 menjadi uap air, hasilnya limbah menjadi kering dan siap terbakar. 2. Selanjutnya terjadi proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna, dimana temperatur belum terlalu tinggi. 3. Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna.



Ruang



bakar pertama digunakan sebagai pembakar limbah, suhu dikendalikan antara 400 C - 600 C. Ruang bakar kedua digunakan sebagai pembakar asap dan bau dengan suhu antara antara 600 C ~ 1200 Suplay oksigen dari udara luar ditambahkan agar terjadi oksidasi sehingga materi-materi limbah akan teroksidasi dan menjadi mudah terbakar, dengan terjadi proses pembakaran yang sempurna, asap yang keluar dari cerobong menjadi transparan.



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



39



Gambar 3.1 Proses Insenerasi 3.7 Jenis-Jenis Insenerator Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3, yaitu: (a) Rotary Kiln, (b) Multiple Hearth, (c) Fluidized Bed, (d) open pit, (e) Single Chamber, (f) Multiple Chamber, (g) Aqueous Waste Injection, (h)Starved Air Unit A. Rotary Kiln Sistem insinerator jenis rotary kiln merupakan sistem pembuangan limbah yang paling universal dari segi jenis dan kondisi limbah yang dikelola. Insinerator jenis ini dapat digunakan untuk mengolah berbagai jenis limbah padat dan sludge, cair maupun limbah gas. Perangkat insinerator jenis rotary kiln biasanya terdiri dari sistem pengumpan, injeksi udara, kiln atau silinder horisontal yang dapat berputar pada sumbunya, after burner, sistem pengumpul dan pengambilan abu, dan sistem pengendali pencemaran udara. Pada insinerator jenis ini, limbah



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



40



dimasukkan di salah satu ujung dan dibakar pada ujung lainnya dengan waktu tinggal tertentu. Putaran silinder bervariasi antara 3/4 sampai 4 rpm. Kiln biasanya dipasang dengan kemiringan tertentu terhadap horisontal dengan ujung yang lebih tinggi merupakan tempat masuk bahan dan ujung lainnya tempat keluar abu. Sumber panas biasanya diperlukan untuk meningkatkan dan mempertahankan suhu kiln hingga temperatur operasinya. Bahan bakar tambahan biasanya diinjeksikan melalui burner konvensional atau suatu burner jenis cincin jika bahan bakar tersebut berupa gas. Beberapa variasi desain kiln diantaranya, adalah: –



aliran paralel co-current atau berlawanan counter current,







slagging atau non-slagging, dengan atau tanpa refractory. Jenis aliran di dalam rotary kiln ada dua macam yaitu counter



current dan co-current. Jika gas dan bahan yang diinsenerasi mengalir pada arah yang sama kiln tersebut dinamakan paralel sedangkan jika arah aliran gas dan bahan berlawanan kiln dinamakan counter current. Counter current biasanya digunakan untuk mengolah aqueous waste atau setidaknya mempunyai kandungan air sekitar 60% berat. Limbah diumpankan diakhiri tanur, jauh dari pembakaran. Gas yang keluar dari kiln akan mengeringkan bahan basah yang masuk kiln dalam arah berlawanan dengan aliran gas. Limbah yang berisi fraksi volatil ringan (berisi minyak sebagai contohnya) menggunakan kiln jenis co-current. Zat volatil ini akan diuapkan segera setelah limbah diumpankan ke kiln. Pemakaian co-current kiln



memungkinkan



diperolehnya waktu tinggal yang lebih lama guna pembakaran volatil dibandingkan dengan pemakaian sistem counter current. Jika limbah cair diumpankan secara co-current, air akan diuapkan di ujung akhir pembakar dan terjadi penurunan temperatur di ujung akhir tanur. Akibatnya diperlukan pengering yang lebih panjang untuk membakar habis limbah tersebut. Penghancuran campuran organik diperoleh dengan mengkombinasikan temperatur pembakaran dan waktu tinggal. Biasanya, makin tinggi temperatur pembakaran makin singkat waktu tinggal untuk menghancurkannya. Begitu juga sebaliknya,



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



41



makin lama waktu tinggal maka dapat digunakan temperatur lebih rendah untuk menghancurkan limbah tersebut. Dalam operasi kiln model slugging, limbah dibakar dengan temperatur tinggi



hingga



abu



sisa



pembakaran



berada



pada



kondisi



meleleh.



Biasanya, slagging kiln beroperasi pada temperatur antara 2600-2800 F. Proses penghancuran bahan organik tercapai oleh kombinasi antara temperatur tinggi dan waktu tinggal. Biasanya, makin tinggi temperatur makin rendah waktu tinggal yang dibutuhkan dan sebaliknya. Operasi kiln pada temperatur tinggi mengurangi waktu tinggal yang dibutuhkan oleh gas buang sehingga biasanya afterburner yang dibutuhkan slagging kiln berukuran lebih kecil dibanding yang dibutuhkan nonslagging. Lelehan abu merupakan heat sink yang menstabilkan temperatur dalam sistem. Kiln dapat mempertahan profil temperatur yang konstan pada suatu kondisi pengumpanan yang berubah cepat sehingga faktor-faktor pengamanan dalam disain dan operasi peralatan downstream dapat dikurangi jika digunakan kiln sistem slagging. Sistem kiln mempunyai banyak titik-titik sumber kebocoran gas. Agar kebocoran tersebut mengarah ke dalam kiln, sistem kiln dioperasikan dengan aliran draft negative yaitu dengan menggunakan ID-fan. ID fan dipasang di sistem pengendali pencemaran untuk menghisap gas dari kiln melalui equipment line dan mengeluarkannya melalui cerobong ke atmosfir. Untuk me-recover energi dari aliran gas buang insinerator kiln dapat dilengkapi dengan waste heat boiler yang dipasang diantara afterburner dan scrubber. Waste heat boiler menurunkan temperatur gas sehingga memungkinkan digunakannya fabric filter, bag house dan pengendali partikulat. Rotary kiln mempunyai beberapa keunggulan dan kekurangan, keunggulan itu antara lain: -



mampu membakar variasi aliran limbah limbah mengalami perlakuan awal yang minimum dapat membakar berbagai macam limbah (padatan atau cair) pada waktu



-



bersamaan tersedia dalam berbagai macam jenis mekanisme pengumpan (ram feeder, screw, injeksi langsung, dan lain-lain)



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



42



-



dengan mudah mengontrol waktu tinggal limbah dalam pengering mempunyai turbulensi yang tinggi dan kontak yang efektif dengan udara di dalam pengering. Sedangkan kekurangan Rotary Kiln antara lain:



-



partikulat yang terbawa oleh aliran gas relatif tinggi diperlukannya after-burner yang terpisah untuk menghancurkan senyawa-



-



senyawa volatil kondisi di sepanjang tanur (kiln) sulit dikontrol jumlah udara berlebih (excess) yang dibutuhkan relatif besar yaitu sekitar



-



100 % dari stoikiometri Seal tanur yang efektif sulit diperoleh jumlah panas yang hilang cukup berarti.



Gambar 3.2 Insinerator Rotary Kiln B. Multiple Hearth Multiple-hearth furnace terdiri dari sebuah rak baja, tungku berbentuk lingkaran yang disusun seri, satu di atas yang lainnya dan biasanya berjumlah 5-8 buah, shaft rabble arms beserta rabble teeth-nya dengan kecepatan berputar 3/4-2 rpm. Temperatur pembakaran 1400-1800 oF (760-980 oC). Umpan dimasukkan dari atas tungku secara terus menerus dan abu dari proses dikeluarkan melalui silo. Limbah yang dapat diproses dalam multiple-hearth furnace memiliki kandungan padatan minimum antara 15-50 %-berat. Limbah yang kandungan padatannya di bawah 15 %-berat padatan mempunyai sifat seperti cairan daripada padatan. Limbah semacam ini cenderung untuk mengalir di dalam tungku dan Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



43



manfaat rabble tidak akan efektif. Jika kandungan padatan di atas 50 % berat, maka lumpur bersifat sangat viscous dan cenderung untuk menutuprabble teeth. Udara dipasok dari bagian bawah furnace dan naik melalui tungku demi tungku dengan membawa produk pembakaran dan partikel abu. Multiple-heart furnace terdiri dari tiga zona, yaitu: zona pengeringan, zona pembakaran, dan zona pendinginan. Zona pengeringan terletak di bagian atas furnace, gunanya memanaskan dan menguapkan air yang dikandung oleh umpan sekaligus mendinginkan gas panas yang akan keluar dari furnace. Zona pembakaran terletak dibagian tengah furnace. Limbah lumpur yang memasuki zona ini dipanaskan sampai terbakar (temperatur pembakaran). Jika lumpur terlalu kering (berisi lebih dari 25 %-berat padatan) atau kandungan minyak



dalam



limbah



tinggi



maka



sebuah



afterburner



perlu



ditambahkan. Afterburner ini berguna untuk menjaga kalau ada senyawa volatil yang



tidak



terbakar



yang



menyebabkan



asap



dan



bau



emisi.



Letak afterburner yang efektif adalah pada aliran sebelum gas keluar dari insinerator. Zona pendinginan terletak pada bagian bawah furnace, gunanya untuk mendinginkan abu sisa pembakaran dengan cara memindahkan panas sensibelnya pada udara pembakar yang diumpankan dari bawah furnace. C. Fluidized Bed Incinerator (Insinerator Unggun Pancar) Limbah yang dapat diolah Fluidized Bed Incinerator adalah cairan organik, gas dan butiran atau padatan dari proses sumur minyak. Dalam tungku unggun ini penghancuran limbah terjadi di mana bahan dalam keadaan terfluidakan dan proses pembakaran terjadi pada temperatur sekitar 1400-2000 oF (760-1100 oC). Di dalam tungku terdapat suatu media padat granular yang berfungsi sebagai penyimpan panas biasanya, berupa pasir. Fluidized bed incinerator (FBI) menggunakan forced draft fan untuk menggerakkan unggun maupun untuk mengalirkan gas hasil insinerasi dalam sistem. Limbah dimasukkan dari bagian samping insinerator sehingga proses pengeringannya otomatis seketika. Kandungan air di flashkan menjadi steam Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



44



begitu memasuki unggun pasir. Unggun yang panas terfluidisasi membuat kontak maksimum antara permukaan limbah dengan udara yang berarti memaksimumkan efisiensi pembakaran. Pengumpanan bahan bakar digunakan start-up dan reheat, bergantung pada nilai kalor bahan yang diinsinerasi, untuk mempertahankan temperatur proses. Bahan yang digunakan sebagai unggun biasanya berupa pasir silika tetapi dapat juga limestone, alumina atau bahan keramik. Unggun akan mengembang sekitar 30-60% volume unggun pada keadaan dingin jika difluidakan dengan laju udara 2-3 ft/detik. Salah satu kelebihan sistem FBI adalah dimungkinkannnya penggunaan limestone atau batu alkali lainnya dalam unggun yang dapat berguna juga sebagai penangkap zat-zat halogen dan senyawa-senyawa lain sehingga dapat mengurangi kandungan asam dalam gas buang. Untuk dapat diproses dengan FBI limbah harus dibersihkan dari bahan-bahan kaca dan logam-logam dengan bertitik didih rendah (aluminium) karena senyawa -senyawa ini walaupun dalam jumlah sedikit akan menimbulkan slag pada unggun. Di samping itu, ukuran umpan harus tertentu dan homogen. Udara diumpankan melalui fluidizing air inlet pada tekanan 3,5-5 psig. Udara masuk ke wind boxkemudian ke tuyere plate dan ke unggun pasir. Udara ini menciptakan derajat keturbulenan yang tinggi dalam unggun pasir sehingga bagian atas pasir seperti fluida. Abu hasil proses insinerasi ikut keluar bersama-sama dengan gas buang yang selanjutnya dibersihkan di sistem scrubber abu. Pencampuran antara udara dan bahan yang diinsinerasi dalam FBI cukup efektif sehingga kebutuhan akan udara pembakar tidak terlampau besar, biasanya sekitar 40% di atas stoikiometri. Suhu ruangan di atas unggun terfluidakan dipertahankan sekitar 1500F dan waktu tinggal bahan di dalam ruangan ini biasanya cukup untuk mencapai pembakaran sempurna. D. Open Pit Insinerator Insinerator jenis ini dikembangkan untuk mengendalikan insinerasi bahanbahan eksplosif, yaitu yang menimbulkan bahaya ledakan atau pelepasan panas yang tinggi pada insinerator tertutup biasa. Udara pembakar disemprotkan ke Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



45



dalam ruang bakar dari atas insinerator dengan kecepatan tinggi sehingga menciptak an turbulensi. Temperatur pembakaran mencapai 2000F dan menghasilkan gas dengan emisi partikulat yang rendah. E. Single Chamber Incinerators Limbah padat pada sistem ini diletakkan di atas grid kemudian dibakar. Sistem ini dapat dilengkapi peralatan penyalaan atau tidak. Pada sistem ini upaya mengendalikan emisi dilakukan dengan menambahkan after-burner dan damper, keduanya dimaksudkan untuk mengendalikan proses pembakaran. Sebagian besar emisi disebabkan oleh proses pembakaran yang tidak sempurna. F. Multiple Chamber Incinerators Dalam upaya untuk mencapai pembakaran bahan secara sempurna dan mengurangi partikulat yang terbawa gas buang, insinerator dengan banyak ruang bakar telah dikembangkan. Ruang bakar utama digunakan untuk membakar padatan. Ruang bakar kedua memperpanjang waktu tinggal produk gas yang tidak terbakar dan merupakan tempat masuk bahan bakar tambahan guna pembakaran produk gas yang belum terbakar dan padatan-padatan yang terbawa aliran gas buang yang keluar dari ruang bakar utama. Pada insinerator jenis ini, baffle-baffle didisain untuk mengarahkan aliran gas hingga membuat belokan 90o dalam arah horisontal maupun vertikal sehingga memungkinkan terjadinya pengendapan padatan yang terbawa aliran gas. Pada jenis in-line insinerator arah belokan gas hanya vertikal. Jenis in biasanya dilengkapi dengan sistem pengeluaran abu otomatis atau konveyor pembuang debu dan beroperasi secara kontinu. G. Aqueous Waste Injection Aqueous Waste injection terdiri dari sebuah nozel yang berguna untuk mengatomisasi limbah yang akan dibakar, dan alat penunjang lainnya. Jenis-jenis nozel: mechanical atomizing nozzles, rotary cap burners, external low-pressure air atomizing burner, external high-pressure two-flow burner, internal mix nozzles, dan sonic nozzles.Limbah yang dapat diolah dengan sistem ini adalah limbah cair dan lumpur yang dapat dipompa. Temperatur pembakaran antara Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



46



1300-3000 oF (700-1650 oC). Limbah yang akan dibakar diatomisasi dengan ukuran partikel antara 40-100 mm dan disemburkan ke dalam ruang bakar. Efisiensi destruksi ditentukan oleh banyaknya pengembunan dan uap yang bereaksi. Turbulansi sangat diinginkan untuk mendapatkan destruksi limbah organik setinggi mungkin. Penempatan dan peletakan alat pembakar (fuel burner) serta nozel penginjeksi akan tergantung pada aliran cairan yang akan diinsinerasi (aksial, radial ataupun tangensial). H. Starved Air Unit Dalam upaya mengurangi emisi partikulat, laju udara pembakar yang masuk melalui grid dapat dikurangi. Sebagai akibatnya pembakaran sempurna gas-gas hasil proses pirolisa dan gasifikasi padatan tidak terjadi di atas unggun. Gas-gas tersebut dibakar di ruang yang terpisah dari ruang insinerasi yaitu di ruang bakar kedua (secondary). Sistem insinerasi demikian dinamakan SAU. Limbah padat ditempatkan dalam ruang bakar primary dan dibakar dengan udara yang jumlahnya kurang dari volume stoikiometrinya, biasanya sekitar 70-80% dari volume stoikiometri. Gas hasil pembakaran ini akan berupa gas-gas bakar yang selanjutnya dialirkan ke ruang bakar kedua. Ke dalam ruang bakar kedua ini udara dimasukkan secara terkendali untuk membakar gas dari ruang bakar pertama. Ruang bakar kedua didisain sedemikian rupa sehingga gas mempunyai waktu tinggal yang cukup untuk terjadinya pembakaran total zat-zat organik dalam gas hasil proses di ruang bakar pertama. Untuk mencapai pembakaran sempurna, jumlah udara yang dimasukkan cukup berlebih yaitu sekitar 140-200% dari volume stoikiometri. 3.8 Rangkuman Pengolahan secara insenerasi merupakan cara pengolahan limbah B3 dengan tujuan untuk menghancurkan senyawa B3 yang terkandung didalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3.



Teknologi secara insenerasi



merupakan cara pengolahan yang baik bagi materi combustible yang mempunyai nilai kalor yang memadai untuk itu, misalnya limbah hidrokarbon (cair dan padat). Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



47



Proses insenerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas dimana aspek terpenting dalam proses ini adalah nilai kandungan energi limbah. Tiga proses utama insenerasi adalah membuat air dalam limbah B3 menjadi uap air, proses pirolisis, dan pembakaran sempurna. 3.9 Pertanyaan 1. 2. 3. 4. 5. 1



Apa yang dimaksud dengan insenerasi! Jelaskan prinsip kerja dari insenerator! Jelaskan tujuan pengolahan limbah B3 secara insenerasi! Sebutkan jenis-jenis dari insenerator! Jelaskan prinsip kerja dari multiple chamber incinerators!



3.10 Model Jawaban Insenerasi merupakan proses yang memungkinkan materi combustible (bahan bakar) seperti halnya limbah organik mengalami pembakaran, kemudian dihasilkan gas/partikulat, residu non-combustible dan abu yang dikeluarkan



2



melalui cerobong setelah melalui sarana pengolah pencemar udara yang sesuai. Prinsip kerja insenerator adalah adalah membuat air dalam limbah B3 menjadi uap air, hasilnya limbah menjadi kering dan siap terbakar. Selanjutnya terjadi proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna, dimana temperatur belum terlalu tinggi. Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna. Ruang bakar pertama digunakan sebagai pembakar limbah, suhu dikendalikan antara 400 C 600 C. Ruang bakar kedua digunakan sebagai pembakar asap dan bau dengan suhu antara antara 600 C ~ 1200 Suplay oksigen dari udara luar ditambahkan agar terjadi oksidasi sehingga materi-materi limbah akan teroksidasi dan menjadi mudah terbakar, dengan terjadi proses pembakaran yang sempurna,



3



asap yang keluar dari cerobong menjadi transparan. Tujuan pengolahan secara insenerasi untuk menghancurkan senyawa B3 yang terkandung di dalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3 dengan



4



prinsip pembakaran. Jenis-jenis insenerator: rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single



5



chamber, multiple chamber, aqueous waste injection, starved air unit. Prinsip kerja multiple chamber incinerators adalah: aliran gas diarahkan hingga membuat belokan 90°C dalam arah horizontal maupun vertikan melalui baffle-



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



48



baffle sehingga memungkinkan terjadinya pengendapan padatan yang terbawa aliran gas. 3.11 Tindak Lanjut Pada bagian 3.9 diwajibkan kepada mahasiswa untuk menyelesaikan beberapa pertanyaan soal latihan untuk melihat kemampuan mahasiswa dalam memahami topik III. Kemudian mahasiswa diberikan skor penilaian dalam menyelesaikan soal latihan, dimana bobot nilai setiap soal adalah sebagai berikut: Tabel 3.1 Bobot nilai untuk soal latihan dan tugas No. Soal 1 2 3 4 5 Total Nilai



Bobot Nilai 20 25 15 15 25 100



Skor 20 25 15 15 25 100



Berdasarkan skor nilai yang diperoleh dalam menyelesaikan soal pada latihan maka kemampuan mahasiwa dapat diukur berdasarkan kelompok nilai sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Jika nilai = 100 (sangat baik) Jika nilai = 80 (baik) Jika nilai = 60 (kurang baik) Jika nilai = 40 (tidak baik) Jika nilai = 20 (sangat tidak baik) Jika nilai = 0 ( sangat tidak memahami dan mengerti materi)



3.12 Daftar Tilik Penampilan Tabel 2. Daftar titik penampilan dari sub topik III No.



Penguasaan Materi



1. 2.



Pengerian proses insenerasi Tujuan pengolahan limbah B3 dengan



3. 4. 5.



proses insenerasi Proses pembakaran insenerasi Prinsip kerja insenerator Jenis-jenis insenerator



A



Penilaian B C D



E



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



49



Skala Nilai: A = Amat Baik B = BaiK C = Cukup D = Kurang E = Tidak ada



TOPIK IV PENGOLAHAN LIMBAH B3 DENGAN CARA STABILISASI/SOLIDIFIKASI DAN LANDFILLING 4.1 Pendahuluan Setelah limbah B3 melewati beberapa proses pengolahan baik itu fisika, kimia, ataupun insenerasi yang disesuaikan dengan jenis limbahnya, maka diperlukan pengolahan akhir seperti stabilisasi/solidifikasi dan landfilling. Pengolahan secara stabilisasi/solidifikasi bertujuan untuk mengubah sifat fisik dan kimiawi limbah B3 dengan cara penambahan senyawa pengikat (aditif) B3 agar pergerakan senyawa B3 ini terhambat atau terbatasi dan membentuk massa monolit dengan struktur yang kekas (massive). Sedangkan landfilling merupakan proses penimbunan akhir limbah B3 yang sudah dihilangkan kadar racunnya pada proses sebelumnya pada suatu lahan urug. Pada bab ini akan dibahas secara singkat mekanisme dari proses stabilisasi/solidifikasi dan landfilling. 4.2 Tujuan Khusus Topik Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



50



Setelah mempelajari topik pengolahan limbah B3 secara fisika dan kimia 1 2 3 4



diharapkan mahasiswa mempunyai kemampuan: Menjelaskan definisi stabilisasi/solidifikasi Menjelaskan mekanisme stabilisasi/solidifikasi Menjelaskan definisi landfilling Menjelaskan mekanisme landfilling 4.3 Prasyarat Topik 4.3.1 Prasyarat Tenaga Pengajar Prasyarat yang harus dipenuhi oleh tenaga pengajar dalam memberikan topik ini adalah: 1. Tenaga pengajar harus mempunyai Satuan Acara Perkuliahan (SAP) dan Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) sesuai dengan tatap muka di kelas yang terdapat pada silabus Program Studi Teknik Kimia Industri untuk mahasiswa semester V. 2. Dalam memberikan materi pembelajaran tenaga pengajar harus menggunakan referensi yang sesuai dengan topik bahasan yang diajarkan dengan mudah serta dapat di akses oleh mahasiswa 3. Tenaga pengajar harus memiliki pengetahuan tentang pengolahan limbah dan kimia lingkungan. 4.3.2 Prasyarat Mahasiswa Prasyarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa yang mengikuti perkuliahan pada topik persamaan kimia adalah: 1. Mahasiswa mengetahui ilmu dasar untuk pengolahan limbah dan kimia lingkungan. 2. Mahasiswa pada semester 5 pada Program Studi Teknik Kimia Industri Jururusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe. 3. Mahasiswa harus memiliki kehadiran dikelas minimal 80%. 4.4 Definisi Stabilisasi/Solidifikasi Proses stabilisasi/solidifikasi adalah suatu tahapan proses pengolahan limbah B3 untuk mengurangi potensi racun dan kandungan limbah B3 melalui upaya memperkecil/membatasi daya larut, pergerakan/penyebaran dan daya



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



51



racunnya (immobilisasi unsur yang bersifat racun) sebelum limbah B3 tersebut dibuang ke tempat penimbunan akhir (landfill). Prinsip kerja stabilisasi/solidifikasi adalah pengubahan watak fisik dan kimiawi limbah B3 dengan cara penambahan senyawa pengikat sehingga pergerakan senyawa-senyawa B3 dapat dihambat atau terbatasi dan membentuk ikatan massa monolit dengan struktur yang kekar (massive). Pada proses stabilisasi dan solidifikasi, interaksi antara limbah dan bahan aditif dapat terjadi secara fisika maupun kimia. Interaksi secara kimia lebih diinginkan karena bahan pencemar yang terikat secara kimia bersifat lebih stabil. Keluaran proses ini adalah limbah yang bersifat lebih stabil atau padat, sehingga memenuhi syarat untuk dibuang ke land fill, sesuai dengan aturan yang berlaku. 4.5 Senyawa Pengikat Proses Stabilisasi/Solidifikasi Adapun bahan-bahan atau senyawa pengikat yang umum digunakan untuk proses stabilisasi/solidifikasi (bahan aditif) anatara lain: Bahan pencampur ( gipsum, pasir, lempung, fly ash), bahan perekat/pengikat (semen, kapur, tanah liat, dll) Teknologi solidifikasi/stabilisasi yang telah banyak dikembangkan dan dipatenkan, umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH 2), dan bahan termoplastik. Selain itu juga telah dikembangkan penggunaan tanah liat termodifikasi, polimer, dsb. Semen Untuk keperluan ini biasa digunakan semen Portland tipe I, yaitu semen yang digunakan untuk konstruksi. Untuk limbah yang mengandung sulfat dengan konsentrasi 150-1500 mg/kg digunakan portland tipe II, dan limbah dengan konsentrasi



sulfat



tinggi



(> 1500



mg/kg)



digunakan



portland



tipe



V. Stabilisasi/solidifikasi yaitu mencampur limbah dengan semen dan air hingga menghasilkan massa yang padat dan keras. Limbah yang telah disolidifikasi dengan metoda ini masih dapat terlarut dan bermigrasi keluar, walaupun dengan laju yang lebih lambat. Kapur Stabilisasi/solidifikasi



dengan



menggunakan



kapur



(CaOH2),



biasanya



berhubungan dengan reaksi antara kapur dengan bahan pozzolan. Pozzolan adalah bahan yang jika bereaksi dengan kapur dan air dapat membentuk material yang Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



52



menyerupai semen. Termasuk bahan pozzolan ini adalah fly ash, debu kiln semen, dll. Penggunaan kapur dapat menaikkan pH limbah yang bersifat asam, sehingga dapat membantu proses stabilisasi. Selain itu pemakaian fly ash juga memberikan keuntungan, karena bahan ini sering memiliki karbon yang tidak terbakar yang dapat menyerap senyawa organik dari limbah. Proses solidifikasi dilakukan dengan cara mencampur kapur, bahan pozzolan, dan air, dengan limbah. Pada proses ini diperoleh massa yang menyerupai tanah dengan kelarutan bahan pencemar yang lebih rendah. Proses Termoplastik Bahan termoplastik yang digunakan berupa aspal, bitumen, parafin, polyethylene, dll. Di antara bahan-bahan tersebut yang paling umum digunakan adalah aspal. Keunggulan proses termoplastik ini adalah tingkat kelarutan bahan pencemar lebih kecil dibanding proses lainnya. Proses menggunakan aspal, dilakukan dengan cara mencampurkan limbah dengan aspal yang telah dipanaskan hingga suhu antara 130-230 oC 4.6 Mekanisme Proses Stabilisasi/Solidifikasi Proses stabilisasi/solidifikasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6 golongan yaitu: 1. Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah dibungkus dalam matriks struktur yang besar. 2. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation, tetapi bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat mikroskopik. 3. Precipitation. 4. Adsorpsi, yaitu proses di mana bahan pencemar diikat secara elektrokimia pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi. Logam berat yang terlarut dalam limbah dapat dipisahkan dengan cara mengubah sifatnya sehingga kelarutannya menjadi lebih kecil, proses ini yang dikenal dengan presipitasi. 5. Absorpsi, adalah solidifikasi bahan pencemar dengan menyerapnya ke bahan padat. 6. Detoxification, yaitu proses yang mengubah suatu senyawa beracun menjadi senyawa lain yang tingkat racunnya lebih rendah atau hilang sama sekali. Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



53



4.7 Metoda Alternatif untuk Solidifikasi di Lapangan Penerapan teknik solidifikasi di lapangan dapat dilakukan dengan beberapa alternatif diantaranya in-drum mixing, in-situ mixing, dan plant mixing. In-drum mixing Limbah B-3 yang berada di dalam drum dapat disolidifikasi dengan memasukkan bahan tambahan, yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, dan kemudian diikuti dengan pengadukan. Untuk melaksanakan proses ini perlu diperhatikan kondisi drum yang digunakan, agar tidak terjadi kebocoran. In-situ mixing Metoda ini merupakan metoda yang paling banyak digunakan untuk solidifikasi di lapangan. Komposisi campuran yang umum digunakan adalah 100 bagian lumpur limbah, 15 bagian kapur, dan 5 bagian debu kiln semen. Bahan tersebut dimasukkan ke dalam lagoon, kemudian diaduk dengan alat pengaduk. Karena keterbatasan kemampuannya dalam mensolidifikasi/stabilisasi limbah, metoda ini sebaiknya diterapkan jika tidak diperlukan pengadukan seluruh limbah secara seragam dengan bahan tambahannya. Plant mixing Untuk pengadukan dan pencampuran yang lebih sempurna, dapat digunakan metoda pencampuran di dalam plant. Pencampuran dapat dilakukan dengan menggunakan pug mill atau extruder. Pelaksanaan metoda ini dapat pula dilakukan dengan peralatan yang bersifat mobile (transportable). 4.8 Tata Cara Kerja Stabilisasi/Solidifikasi: 1. Limbah B3 sebelum distabilisasi/solidifikasi harus dianalisa karakteristiknya guna menentukan resep stabillisasi/solidifikasi yang diperlukan terhadap limbah B3 tersebut.



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



54



2. Setelah dilakukan stabilisasi/solidifikasi, selanjutnya terhadap hasil olahan tersebut dilakukan uji TCLP untuk mengukur kadar/konsentrasi parameter dalam lindi. 3. Terhadap hasil olahan tersebut selanjutnya dilakukan uji kuat tekan (Compressive Strenghth) dengan “Soil Penetrometer Test”, dengan harus mempunyai nilai tekanan minimum sebebsar 10 ton/m2 dan lolos uji “Paint Filter test”. 4. Limbah B3 olahan yang memenuhi persyaratan kadar TCLP, nilai uji kuat tekan dan lolos paint filter test selanjutnya harus di timbun di tempat penimbunan (landfill) yang ditetapkan pemerintah atau yang memenuhi persaratan yang ditetapkan. Stabilisasi dengan semen cocok untuk tanah yang tidak kohesif, yaitu tanah berpasir atau kerikil yang mengandung sedikit tanah berbutir halus, sedangkan kapur dan pozzolan cocok untuk tanah kohesif. 4.9 Landfilling Pengolahan dengan cara landfilling atau penimbunan memerlukan lokasi yang luas, jauh dari pemukiman penduduk dan aktivitasnya. Lokasi penimbunan juga tidak boleh berhubungan dengan faktor-faktor pendukung kehidupan seperti tempat sumber air atau lokasi serapan air tanah. Lokasi penimbunan yang sudah penuh harus ditutup dan tidak dapat digunakan sebagai lokasi pemukiman. Kualitas limbah B3 yang akan ditimbun harus dianalisis di laboratorium terlebih dahulu dan lolos dari persyaratan yang diperlukan, antara lain: 1. Memenuhi baku mutu uji Toxity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan lolos uji Plai Filter Test dan uji kuat tekan (Compressive Strength) 2. Sudah melalui proses stabilisasi/solidifikasi, insenerasi atau pengolahan fisika atau kimia 3. Tidak bersifat: 4. Mudah meledak 5. Mudah terbakar 6. Reaktif 7. Menyebabkan Infeksi 8. Tidak mengandung zat organik lebih besar dari 10 persen 9. Tidak mengandung PCB 10. Tidak mengandung dioxin 11. Tidak mengandung radioaktif 12. Tidak berbentuk cair atau lumpur.



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



55



Pada saat penimbunan limbah B3 harus dilakukan pencatatan yang memuat informasi dokumentasi (dokumen limbah B3/ waste tracking form) mengenai asal penghasil limbah B3, karakteristik awal limbah B3, volume, tanggal, dan lokasi (koordinat) penimbunan. Salah satu teknologi landfill yang umum digunakan dalam industri adalah secure landfill. Teknologi secure landfill dilaksanakan dengan mengurung (encapsule) limbah B3 dalam suatu lahan penimbunan (landfill). Bagian dasar dari landfill tersebut dilapisi berbagai tingkatan lapisan pengaman yang berfungsi untuk mengurung limbah B3, agar polutan tidak terdistribusi ke lingkungan sekitarnya melalui proses perembesan ke dalam air tanah. Jenis limbah B3 yang dapat langsung ditimbun dan landfill sangat sedikit (misalnya: limbah asbes). Sebagian besar limbah B3 anorganik harus diproses terlebih



dahulu



dengan



cara



stabilisasi/solidifikasi



untuk



mengurangi



/menghilangkan sifat racun limbah B3. 4.10 Sistem Pelapisan Landfill 4.10.1 Sistem Pelapisan Dasar Sistem pelapisan dasar yang digunakan adalah sbb: Sub-base untuk landfill terbuat dari tanah liat yang dipadatkan dengan konduktivitas hidrolika jenuh maksimum 1 x 10-9 m/det. Ketebalan lapisan ini paling kurang 1 m. Secondary Geomembrane adalah berupa lapisan High Density Polyethylene (HDPE) dengan ketebalan 1,5 mm . Lapisan ini dirancang untuk menahan segala instalasi, operasi dan penutupan akhir landfill. Primary Soil Liner adalah terdiri dari lapisaan tanah liat geosintesis (geosynthetic clay liner, GCL). GCL ini tebuat dari lempung bentonit yang diapit oleh lapisan geotekstil. Dalam keadaan basah jika terjadi kebocoran, lempung ini mengembag dan kemudian menyumbat kebocoran lapisan atasnya. Primary Geomembrane adalah lapisan yang mempunyai ketebalan 1,5 mm. Hal ini dirancang untuk menahan segala tekanan sewaktu instalasi, konstruksi,operasi dan penutupan akhir landfill. 4.10.2 Sistem Pelapisan Penutup Akhir Landfill Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



56



Sistem pelapisan penutup akhir landfill dilaksanakan sebagai berikut: Intermediate Soil Cover akan ditempatkan diatas timbunan limbah setelah lapisan terakhir limbah terbentuk. Lapisan ini terbuat dari tanah setempat dengan ketebalan paling sedikit 25 cm. Cap soil Barrier adalah lapisan yang ternbentuk dari lempung yang dipadatkan seperti yang terpasang pada pelapisan dasar landfill. Cap geomembrane adalah lapisan HDPE dengan ketebalan 1,0 mm. Cap drainage layer ditempatkan diatas cap geomembrane. Cap drainage ini terbuat dari HDPE geonet dengan transmissivitas planar paling rendah 30 cm, dan granular soil dengan konduktivitas hidrolika minimum 1 x 10-4 m/det. Komponen paling atas



dari cap geomembrane adalah geotekstil yang dirancang untuk



meminimisasi penyumbatan. Vegetative layer adalah lapisan tanah setempat dengan ketebalan 60 cm yang ditempatkan diatas cap drainege layer. Vegetation adalah lapisan penutup landfill



4.10.3 Sistem Pengendalian dan Pemantauan Air Lindi (leachate) Lindi adalah air hujan yang jatuh ke area landfill, yang kontak dengan limbah B3 baik lansung maupun tidak lansung dikumpulkan dan dipompa. Tahap pemeliharaan dan pemantauan akhir sampai 30 tahun kemudian.



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



57



Gambar 4.1 Penampang Secure Landfill 4.11 Rangkuman Prinsip kerja stabilisasi/solidifikasi adalah pengubahan watak fisik dan kimiawi limbah B3 dengan cara penambahan senyawa pengikat sehingga pergerakan senyawa-senyawa B3 dapat dihambat atau terbatasi dan membentuk ikatan massa monolit dengan struktur yang kekar (massive). Senyawa pengikat yang biasa digunakan adalah semen, kapur(CaOH2), dan bahan termoplastik. Proses landfilling atau penimbunan merupakan proses akhir dalam pengolahan limbah B3 setelah melewati proses stabilisasi/solidifikasi. Terdapat tiga sistem pelapisan landfilling yaitu sistem pelapisan dasar, sistem pelapisan penutup akhir landfill, dan sistem pengendalian dan pemantauan air lindi. 4.12 Pertanyaan 1. Jelaskan definisi stabilisasi/solidifikasi! 2. Jelaskan prinsip kerja dari stabilisasi/solidifikasi! 3. Jelaskan mekanisme dari landfilling! 4. Jelaskan proses stabilisasi/solidifikasi dengan menggunakan bahan pengikat kapur! Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



58



5. Jelaskan perbedaan dari macroencapsulation dan microencapsulation! 4.13 Model Jawaban 1 Proses stabilisasi/solidifikasi adalah suatu tahapan proses pengolahan limbah B3 untuk mengurangi potensi racun dan kandungan limbah B3 melalui upaya memperkecil/membatasi daya larut, pergerakan/penyebaran dan daya racunnya sebelum limbah B3 tersebut dibuang ke tempat penimbunan akhir. 2 Prinsip kerja stabilisasi/solidifikasi adalah pengubahan watak fisik dan kimiawi limbah B3 dengan cara penambahan senyawa pengikat sehingga pergerakan senyawa-senyawa B3 dapat dihambat atau terbatasi dan membentuk ikatan massa monolit dengan struktur yang kekar (massive). 3 Mekanisme landfilling: sistem pelapisan dasar, sistem pelapisan penutup akhir, dan sistem pengendalian dan pemantauan air lindi. 4 Proses stabilisasi/solidifikasi limbah B3 menggunakan



kapur



biasanya



berhubungan dengan reaksi antara kapur dengan bahan pozzolan. Penggunaan kapur dapat menaikkan pH kimbah yang bersifat asam, sehingga dapat membantu proses stabilisasi. Proses solidifikasi dilakukan dengan cara mencampr kapur, bahan pozzolan, dan air dengan limbah. Pada proses ini diperoleh massa yang menyerupai tanah dengan kelarutan bahan pencemar yang lebih rendah. 5 Perbedaan antara macroencapsulation dan microencapsulation adalah bentuk matriks yang terbentuk setelah proses berlangsung, dimana bahan berbahaya dalam limbah dibungkus dalam matriks struktur besar pada proses macroencapsulation, tetapi pada proses miroencapsulatoin bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat mikroskopik. 4.14 Tindak Lanjut Pada bagian 4.12 diwajibkan kepada mahasiswa untuk menyelesaikan beberapa pertanyaan soal latihan untuk melihat kemampuan mahasiswa dalam memahami topik IV. Kemudian mahasiswa diberikan skor penilaian dalam menyelesaikan soal latihan, dimana bobot nilai setiap soal adalah sebagai berikut: Tabel 4.1 Bobot nilai untuk soal latihan dan tugas No. Soal 1



Bobot Nilai 20



Skor 20



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



59



2 3 4 5 Total Nilai



20 20 20 20 100



20 20 20 20 100



Berdasarkan skor nilai yang diperoleh dalam menyelesaikan soal pada latihan dan tugas maka kemampuan mahasiwa dapat diukur berdasarkan kelompok nilai sebagai berikut: 1 Jika nilai = 100 (sangat baik) 2 Jika nilai = 80 (baik) 3 Jika nilai = 60 (kurang baik) 4. Jika nilai = 40 (tidak baik) 5. Jika nilai = 20 (sangat tidak baik) 2 Jika nilai = 0 ( sangat tidak memahami dan mengerti materi)



4.15



Daftar Tilik Penampilan Tabel 4.2 Daftar titik penampilan dari sub topik IV No.



Penguasaan Materi



1. 2. 3.



Definisi stabilisasi/solidifikasi Mekanisme proses stabilisasi/solidifikasi Senyawa pengikat proses



4. 5.



stabilisasi/solidifikasi Definisi landfilling Sistem pelapisan landfilling



A



Penilaian B C D



E



Skala Nilai: A = Amat Baik B = BaiK C = Cukup D = Kurang E = Tidak ada



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



60



DAFTAR PUSTAKA Damanhuri, E. : Diktat kuliah pengelolaan limbah B3 TL-3204 Edisi Semeter II 2009/2010,Teknik Lingkungan ITB Kep.Bapedal 01/Bapedal/09/1995: tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah B3 Kep.Bapedal 03/Bapedal/09/1995: tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Peraturan Pemerintah Nomor 18/1999: Pengelolaan Limbah B3 Wentz, C.A.: Hazardous waste management, McGraw-Hill Book, 1989



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



61



TAKARIR Anaerobik Digestion: proses degradasi senyawa organik dalam lumpur secara anaerobik sehingga 50% senyawa organik dalam lumpur dapat diubah menjadi gas bio yang tersusun dari CH4 dan CO2. Bahan Berbahaya dan Beracun (B3): Bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinyadan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat



mencemarkan



dan/atau



merusakkan



lingkungan



hidup



dan/atau



membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain. Disposal: pembuangan akhir Elektroda: konduktor yang dilalui arus listrik dari satu media ke media lainnya. Floatasi: proses pemisahan campuran zat padat dan air dengan memanfaatkan gelembung udara. Flokulasi: prose pembentukan flok yang pada dasarnya menggunakan pengelompokkan aglomerasi antara partikel dengan koagulan (menggunakan prose pengadukan lambat atau slow mixing) Global Warming: suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Heating value: nilai panas/nilai bakar Insenerasi: proses yang menungkinkan materi yang mempunyai nilai bajkar seperti halnya limbah organik mengalami pembakaran, kemudian dihasilkan gas/partikulat, redisu, dan abu. Insenerator: suatu alat untuk melakukan proses insenerasi.



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



62



Koagulasi: proses destibilisasi muatan koloid padatan tersuspensi dengan suatu koagulan, sehingga akan terbentuk flok-flok halus yang dapat diendapkan. Proses pengikatan partikel koloid dengan cara pengadukan cepat (flash mixing) Landfill: tempat penimbuna/pembuangan akhir limbah B3 yang didisain sesuai dengan syarat-syarat dan standar tertentu. Lethal Dosis (LD 50): dosis tertentu yang dinyatakan dalam miligram berat bahan uji per kilogram berat badan (BB) hewan uji yang menghasilkan 50% respon kematian pada populasi hewan uji dalam jangka waktu tertentu. Limbah B3: sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain. Monolit: suatu bentukan yang terjadi karena proses stabilisasi/solidifikasi pada proses pengolahan limbah B3 dengan struktur yang massiv dan sangat keras. Netralisasi: proses pencampuran limbah yang bersifat asam dengan limbah yang bersifat basa yang diperlukan jika kondisi limbah masih diluar range pH baku mutu limbah (BML) yang diperlukan (pH 6-8), sebab limbah di luar kondisi tersebut dapat bersifat racun atau korosif. Pencampuran dilakukan di dalam suatu bak equalisasi (bak penstabil) pada level ketinggian tetap. Oksidasi: reaksi kimia yang akan meningkatkan bilangan valensi materi yang bereaksi dengan melepaskan elektron PLTU: pembangkit listrik tenaga uap Reduksi: reaksi kimia yang akan menurunkan bilangan valensi materi yang bereaksi dengan menerima elektron dari luar. Stabilisasi: proses penstabilan senyawa organik dan menghancurkan senyawa patogen



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



63



Solidifikasi: proses pengurangan potensi racun dan kandungan limbah B3 melalui upaya memperkecil/membatasi daya larut, pergerakan/penyebaran dan daya racunnya dengan cara penambahan senyawa pengikat. Sludge stabilization: upaya mengurangi kandungan senyawa organik dalam lumpur atau mencegah aktivitas mikroorganisme dengan cara menstabilkan lumpur sehingga tidak menimbulkan bau busuk dan gangguan kesehatan saat dilakukan proses maupun saat pembuangan ke lingkungan. Sludge de-watering: proses pengeluaran air dari lumpur dengan tujuan menghilangkan sebanyak mungkin air yang terkandung dalam lumpur setelah proses pengentalan sehingga kadar padatan yang tertinggal berkisar 30%. Thickening:



proses pemekatan untuk mengurangi volume lumpu yang akan



diolah dengan pemadatan atau meningkatkan kandungan padatan. Toksik: zat yang bila dapat memasuki tubuh dalam keadaan cukup dan secara konsisten dapat menyebabkan fungsi tubuh menjadi tidak normal. Toksisitas: kemampuan racun untuk menimbulkan kerusakan bila masuk ke dalam tubuh dan lokasi organ yang rentan terhadapnya. Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP): salah satu cara untuk menentukan karakteristik limbah beracun dengan menitikberatkan pada penentuan kencederungan limbah mengalami pelindian atau leaching sehingga dapat ditentukan apakah limbah boleh dikubur dalam tanah (landfill). Wet Scrubber: istilah yang digunakan untuk menggambarkan variasi alat yang menggunakan liquid untuk membunag polutan.



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



64



Modul Ajar Pengolahan Limbah B3



65