Perdirjen KSDAE No P.5/KSDAE/SET/KUM.1/9/2017 Tentang Petunjuk Teknis Penentuan ABKT [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM



Daftar Isi KATA SAMBUTAN PERDIRJEN KSDAE NOMOR : P. TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENENTUAN AREAL BERNILAI KONSERVASI TINGGI DI LUAR KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU DAFTAR ISI DAFTAR TABEL I.



PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG B. TUJUAN C. RUANG LINGKUP



vi



II. III.



BATASAN DAN PENGERTIAN JENIS DAN FUNGSI ABKT A. JENIS ABKT B. FUNGSI ABKT C. KATEGORI MASING-MASING ABKT



IV.



PANDUAN IDENTIFIKASI ABKT A. PRINSIP PENILAIAN DALAM IDENTIFIKASI ABKT B. METODE IDENTIFIKASI ABKT



V.



PELAPORAN A. PELAPORAN B. FORMAT LAPORAN C. FORMAT RINGKASAN KAJIAN PUBLIK LAPORAN



iii vi vii 1 1 3 3 4 6 6 9 9 16 16 21 37 37 37 38



Daftar DaftarTabel Isi Tabel 1. Keterlibatan Para Pihak dalam Penilaian ABKT Tabel 2. Kebutuhan Peta untuk Kepentingan Identifikasi ABKT Tabel 3. Data dan Sumber Data yang Diperlukan untuk Mendukung Penilaian Jasa Ekosistem Tabel 4. Daftar Indikatif Ekosistem yang Langka atau Terancam di Kalimantan dan Indikasi Kelas RePProT Dimana Ekosistem Tersebut Terdapat Tabel 5. Daftar Indikatif Ekosistem yang Langka atau Terancam di Sumatera dan Indikasi Kelas RePProT Dimana Ekosistem Tersebut Terdapat



19 23 24 32 34



vii



© Anthony Greer



Kawasan konservasi merupakan area khusus yang dialokasikan sebagai perlindungan lingkungan khususnya keanekaragaman hayati dan sistem penyangga kehidupan. Kawasan konservasi di Indonesia dipandang masih belum cukup untuk memberikan ruang perlindungan bagi keanekaragaman hayati di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya jenis satwa dan/ atau tumbuhan penting yang masih dapat dijumpai di area non kawasan konservasi. Menilik fakta di atas, maka pemerintah telah memberikan ruang perlindungan dan pengelolaan area tersebut sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 yang mengamanatkan adanya perlindungan terhadap ekosistem penting oleh pemerintah daerah. Salah satu area yang dimaksud dalam dua terminologi tersebut adalah areal yang bernilai konservasi tinggi (ABKT). Terminologi ABKT pada prinsipnya sama dengan kawasan bernilai konservasi tinggi (KBKT). Suharto et al. (2015) menyatakan bahwa lebih dari 4,2 juta Ha area budidaya telah diidentifikasi ABKT-nya melalui berbagai skema sertifikasi. Adapun sektor terbesar yang telah mengikuti skema identifikasi NKT di dalam proses sertifikasinya adalah sektor kehutanan seluas 1.990.856 Ha (FSC 2016) dan perkebunan kelapa sawit seluas 1.545.269 Ha (RSPO 2016). Hal tersebut menunjukkan bahwa terminologi nilai konservasi tinggi sejatinya telah dipahami oleh masyarakat luas di Indonesia. Skema tersebut mengharuskan unit manajemen untuk mengelola ABKT yang telah teridentifikasi dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan terbaik guna mempertahankan atau bahkan meningkatkan nilai konservasi tinggi di dalamnya. Nilai-nilai yang dimaksud berkaitan dengan keanekaragaman hayati, jasa lingkungan dan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat lokal.



2



Skema sertifikasi yang didasarkan atas kesukarelaan unit pengelola tentu hanya dapat dilaksanakan pada tingkat tapak di wilayah yang menjadi kewenangan masing-masing para pihak. Hal tersebut patut diapresiasi meskipun tujuan yang diharapkan dalam kontrak sosial tersebut (skema sertifikasi) belum tercapai. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan yang dapat mengikat komitmen dari para pihak sekaligus menindaklanjuti upaya yang telah dilakukan agar fungsi ABKT di masing-masing wilayah unit kelola tersebut dapat ditingkatkan. Dengan kebijakan tersebut, maka diharapkan tujuan keberlanjutan usaha dan kesehatan lingkungan khususnya bagi konservasi keanekaragaman hayati dapat dicapai.



B. Tujuan Tujuan penyusunan Petunjuk Teknis Penentuan Areal Bernilai Konservasi Tinggi di Luar Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru adalah sebagai petunjuk dan acuan bagi para pihak untuk dapat menentukan area yang dapat dikategorikan sebagai areal bernilai konservasi tinggi bagi keanekaragaman hayati, jasa lingkungan maupun sosial budaya masyarakat lokal.



C. Ruang Lingkup, meliputi: 1. Jenis areal bernilai konservasi tinggi; 2. Fungsi areal bernilai konservasi tinggi; 3. Kategori areal bernilai konservasi tinggi; 4. Metode identifikasi areal bernilai konservasi tinggi; dan 5. Pelaporan.



3



© Danau Sentarum



7. Lansekap atau Bentang Alam adalah mosaik geografis dari ekosistem-ekosistem atau sub-komponen daripadanya yang saling berinteraksi dimana susunan secara spasial serta modus interaksinya mencerminkan pengaruh dari kondisi geologi, iklim, topografi, tanah, biota dan aktivitas manusia. 8. Masyarakat Lokal adalah sekelompok orang yang telah tinggal dalam tenggang waktu yang cukup lama di suatu tempat atau daerah sehingga dapat dipandang sebagai satu kesatuan dengan lingkungannya. 9. Simpanan Karbon Tinggi adalah area dengan tutupan lahan hutan yang memiliki cadangan karbon tinggi yang berperan penting dalam mengendalikan peningkatan emisi. 10. Subsisten adalah kegiatan non komersil dalam pemanfaatan sumber daya hutan yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan untuk konsumsi pribadi dan / atau satu keluarga.



5



© ANTHONY KUHN, MANGROVE



ABKT 3 Ekosistem dan habitat



Area yang menyediakan jasa ekosistem.



ABKT 4 Jasa ekosistem



Area yang berisi ekosistem unik, langka, rentan atau terancam.



Area yang memiliki sumber daya alam yang menyediakan kebutuhan pokok bagi masyarakat lokal yang terkait dengan keanekaragaman hayati.



ABKT 5 Kebutuhan masyarakat



Area yang penting bagi identitas budaya tradisional dari masyarakat lokal yang terkait dengan keanekaragaman hayati.



ABKT 6 Nilai kultural



Area yang secara signifikan mengandung keanekaragaman spesies yang penting untuk dilestarikan.



ABKT 1 Keanekaragaman Spesies



Elemen bentang alam (patch, matriks, koridor) yang penting bagi terselenggaranya dinamika proses ekologi alami untuk mendukung populasi spesies yang penting untuk dilestarikan.



ABKT 2 Ekosistem dan mosaik pada level lanskap



Jenis Areal Bernilai Konservasi Tinggi



7



A. Fungsi ABKT Fungsi dari masing-masing ABKT adalah: 1. ABKT 1 – 3 berfungsi sebagai area perlindungan bagi keanekaragaman hayati yang penting di dalam sebuah lansekap (bentang alam) ataupun luasan yang lebih kecil, yakni: patch, matriks atau koridor. Patch merupakan area homogen penyusun lansekap yang dapat dibedakan dengan daerah di sekelilingnya. Adapun matriks didefinisikan sebagai patch yang dominan, sedangkan koridor merupakan patch yang berbentuk memanjang.



2. ABKT 4 berfungsi sebagai perlindungan kawasan yang penting bagi berlangsungnya jasa ekosistem (lingkungan). Pengatur tata air yang dimaksud juga termasuk pada perlindungan daerah yang mampu mencegah erosi, sedimentasi dan abrasi. Hal tersebut bermakna bahwa perlindungan ABKT ini bertujuan untuk menjamin kelangsungan penyediaan berbagai jasa lingkungan alami yang sangat penting (key environmental services) yang secara logis dapat dipengaruhi oleh pemanfaatan lahan dalam sebuah lansekap.



8



3. Jenis ABKT 5 dan ABKT 6 berfungsi sebagai area perlindungan bagi wilayah yang memiliki fungsi sosial (termasuk ekonomi) dan budaya masyarakat. Perlindungan terhadap ABKT ini bertujuan untuk mengakui dan memberikan ruang kepada masyarakat lokal dalam rangka menjalankan pola hidup tradisionalnya yang tergantung pada hutan atau ekosistem lainnya. Hasil akhir yang diharapkan adalah adanya pola pemanfaatan yang berkelanjutan yang pada akhirnya juga mampu memberikan kontribusi dalam konservasi keanekaragaman hayati di area tersebut. Adapun area yang dimaksudkan tidak terbatas pada klaim hak milik atas suatu wilayah, namun bisa lebih luas lagi, pada hak guna masyarakat terhadap wilayah tertentu.



C. Kategori Masing-Masing ABKT a. Area yang Secara Signifikan Mengandung Keanekaragaman Spesies yang Penting untuk Dilestarikan Kategori area yang termasuk dalam jenis ABKT yang signifikan mengandung keanekaragaman spesies yang penting untuk dilestarikan adalah: 1. Apabila terdapat area yang diketahui berfungsi sebagai pendukung keanekaragaman hayati bagi kawasan lindung dan/ atau hutan konservasi. Konteks ini menunjukkan bahwa areaarea yang diketahui sebagai daerah penyangga (buffer zone) atau yang berfungsi sebagai koridor dan di dalamnya terdapat keanekaragaman hayati yang tinggi dimana di kawasan lindung dan/ atau hutan konservasi tersebut terdapat populasi induknya, maka area tersebut dapat dikategorikan sebagai ABKT ini. 2. Apabila terdapat area yang diketahui mengandung spesies endemik, langka dan / atau dilindungi. Kategori ini mensyaratkan bahwa seluruh keanekaragaman hayati pada level spesies/ sub spesies di suatu wilayah diidentifikasi dan dipastikan keberadaannya dan selanjutnya dianalisis status sebaran geografis, status keterancaman, status perdagangan dan status perlindungannya. Keberadaan nilai ini di suatu wilayah ditetapkan jika terdapat salah satu atau lebih spesies yang memiliki kriteria di bawah ini: i. Jenis endemik baik bersifat lokal (lokasi studi) maupun regional (dalam kesatuan pulau). ii.



Jenis yang memiliki status terancam berdasarkan redlist database IUCN, yakni dengan kategori critically endangered, endangered atau vulnerable.



iii.



Jenis yang termasuk dalam kategori Appendices I dan Appendices II CITES.



iv.



Jenis yang termasuk dalam kategori satwa prioritas konservasi (lihat: Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.57/Menhut-II/2008) dan/ atau dilindungi (lihat: Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999) atau peraturan perundangan lain di Indonesia sejenis.



9



3.



Area yang merupakan habitat bagi spesies atau sekumpulan spesies migran. Kaidah utama yang digunakan dalam penetapan area yang mengandung kategori ini adalah jika masing-masing habitat yang dimaksud hilang maka dampak bagi populasi beberapa satwa tertentu yang tergantung kepadanya akan berkalikali lipat besarnya dibandingkan dengan ukuran habitat itu sendiri. Sebagai contoh area yang dimaksud adalah: gua bagi jenis-jenis Chiroptera (kelelawar), danau dan lahan basah bagi burung migran, rawa padang rumput sepanjang tepi sungai bagi buaya bertelur, salt lick permanen bagi berbagai jenis ungulata, tempat tertentu dimana terdapat sumber makanan yang banyak bagi pemakan buah (pohon ara atau Ficus dalam jumlah yang banyak), pohon yang berlubang yang berupa pohon sarang bagi burung enggang (Bucerotidae) dan lain sebagainya. Area-area yang dinyatakan mengandung nilai ini adalah apabila terdapat salah satu atau lebih lokasi yang memenuhi kriteria di bawah ini: i. Area tersebut berfungsi sebagai habitat berkembangbiak dan/ atau bersarang.



10



ii. Area tersebut berfungsi sebagai habitat migrasi. iii.Area tersebut berfungsi sebagai tempat pergerakan satwa antara ekosistem yang berbeda. iv. Area tersebut berfungsi sebagai habitat berlindung (refugium).



b. Elemen Bentang Alam (Patch, Matriks, Koridor) yang Penting bagi Terselenggaranya Dinamika Proses Ekologi Alami untuk Mendukung Populasi Spesies yang Penting untuk Dilestarikan Terdapat tiga kategori yang dimaksud dengan ABKT yang penting bagi terselenggaranya dinamika proses ekologi alami untuk mendukung populasi spesies yang penting untuk dilestarikan, yaitu: 1. Apabila terdapat daerah inti (core areas) dari lansekap yang merupakan habitat bagi populasi induk. Area ini penting dicadangkan agar dapat menjamin berlangsungnya proses ekologi alami tanpa gangguan akibat fragmentasi dan pengaruh daerah bukaan (edge effect) di masa sekarang dan yang akan datang. Adapun contoh daerah inti antara lain adalah: zona inti dari tamana nasional atau blok perlindungan dari kawasan konservasi selain taman nasional. Pada beberapa kasus mungkin dapat dijumpai populasi induk pada area hutan alami di luar kawasan konservasi. Pada konteks ini, maka area tersebut juga dapat dikategorikan sebagai ABKT. 2. Terdapat bentang alam yang mengandung dua atau lebih ekosistem alami dengan garis batas yang tidak terputus (ecotone zone). Zona ekoton ini dapat dicirikan yakni keberadaan keanekaragaman hayati yang tinggi karena merupakan percampuran dari jenis-jenis flora dan fauna di dua ekosistem yang berbeda tersebut atau memiliki keanekaragaman hayati yang khas dan berbeda dengan dua ekosistem alami tersebut. Sebagai contoh zona ekoton adalah adanya ekosistem riparian diantara ekosistem perairan (sungai, danau) dengan ekosistem hutan dataran rendah.



3. Terdapat satu kesatuan lansekap dari berbagai ekosistem degan kondisi yang masih baik pada zona ketinggian yang berbeda. Sebagai contoh adanya satu kesatuan ekosistem yang tidak terputus mulai dari ekosistem hutan mangrove, ekosistem hutan pantai, ekosistem hutan dataran rendah hingga ekosistem pegunungan tinggi. Umumnya pembagian ekosistem ini dicirikan dengan adanya perbedaan substrat penyusun, vegetasi serta ketinggian tempatnya.



11



c. Area yang Berisi Ekosistem Unik, Langka, Rentan atau Terancam Keunikan, kelangkaan atau keterancaman suatu ekosistem dilihat dari penilaian pada seluruh unit biofisiografis dengan membandingkan kondisi dan luasnya pada masa lampau (sejarah), kondisi sekarang dan prakiraan kondisi pada masa depan berdasarkan trend sejarah masa lampau. Kategori ekosistem unik dan langka adalah apabila terdapat ekosistem yang jarang di suatu unit geografis. Pendekatan yang digunakan dalam menentukan keunikan dan kelangkaan adalah apabila luas ekosistem tersebut kurang dari 5% dari luas total unit bio-fisiografis baik akibat faktor alami atau manusia. Adapun kategori ekosistem rentan dan terancam adalah apabila ekosistem tersebut berdasarkan sejarahnya pembentukannya memiliki keunikan proses seperti jangka waktu pembentukannya yang lama dan tidak mudah kembali (irreversible) atau memiliki tingkat ekspolitasi yang tinggi akibat berbagai aktivitas manusia. Pendekatan yang digunakan adalah:



12



1.



apabila dalam suatu unit bio-fisiogeografis suatu ekosistem sudah mengalami kehilangan 50% atau lebih dari luas semulanya dan / atau



2.



apabila di dalam suatu unit bio-fisiogeografis terdapat ekosistem yang akan mengalami kehilangan 75% atau lebih dari luas semulanya berdasarkan asumsi semua kawasan konversi dalam tata ruang yang berlaku dapat dikonversikan.



Dalam konteks penilaian ABKT ini, analisis kajian harus di dalam suatu unit lansekap (umumnya batas yang digunakan adalah satuan DAS di area kajian). Selain itu harus dilakukan ground check untuk memastikan bahwa tegakan yang terdapat di ekosistem tersebut masih cukup baik.



d. Area yang Dapat Menyediakan Jasa Ekosistem Terdapat 8 kategori yang digunakan sebagai pendekatan untuk menentukan suatu kawasan memiliki ABKT yang dapat menyediakan jasa ekosistem, yaitu: 1. Area yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air, sumbersumber air dan atau area mempengaruhi ketersediaan air bagi kehidupan (a) mahluk hidup di sekitarnya, (b) menjamin keberlangsungan suatu ekosistem, dan (c) budidaya pertanian dan perairan. Yang dimaksud dengan ketersediaan air bagi kehidupan adalah sumber air berupa: mata air, sungai, danau/waduk, embung, rawa, rawa gambut dan air tanah. 2. Area yang penting sebagai pengatur dan pengendalian limpasan air permukaan. Area-area yang dapat dinilai sebagai pengatur dan pengendali limpasan permukaan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu (a) area yang mempunyai potensi tinggi untuk peresapan air sehingga dapat menurunkan jumlah limpasan permukaan dimana fungsinya melekat pada area tersebut dan (b) area yang berfungsi sebagai drainase alami tempat mengalirnya air permukaan, yaitu badan sungai di mana pada konteks ini perlindungannya dilakukan pada area penyangga yang mampu melindungi keberlanjutan fungsi sungai sebagai drainase alami. 3. Area yang penting sebagai pengatur dan pengendalian erosi dan sedimentasi. 4. Area atau tempat penting yang berfungsi sebagai sekat untuk mencegah meluasnya kebakaran hutan dan lahan. 5. Area yang dapat mengendalikan, melokalisir dampak dan menurunkan resiko bencana alam. Konteks bencana alam yang dimaksud dalam kategori ini adalah: banjir, kekeringan, angin kencang (puting beliung, dan lain sebagainya), tanah longsor, gelombang pasang, abrasi dan akresi pantai. 6. Area yang mampu melindungi dan menyediakan keberlanjutan fungsi infrastruktur yang penting bagi kehidupan seperti irigasi, pembangkit listrik dan jalan. Dalam konteks ini, perlindungan yang dimaksud adalah pada daerah hulu yang berfungsi sebagai penyedia air bagi irigasi dan pembangkit listrik tenaga air dan tebing-tebing yang berada di kanan atau kiri jalan. 7. Area yang dapat memberikan pengaruh terhadap proses penyerbukan (polinasi). Konteks ini mengharuskan perlindungan terhadap jenis binatang penyerbuk dan habitat utamanya. 8. Area yang dapat memberikan perlindungan pada keseimbangan iklim mikro yang sesuai untuk mahluk hidup yang tinggal di dalamnya. Termasuk dalam area ini adalah area dengan cadangan karbon tinggi yang berkontribusi dalam mitigasi emisi gas rumah kaca (GHG). Konteks ini mengharuskan bahwa areal yang memiliki cadangan karbon tinggi harus dilindungi.



13



e. Area yang Memiliki Sumber Daya Alam yang Menyediakan Kebutuhan Pokok bagi Masyarakat Lokal yang Terkait dengan Keanekaragaman Hayati Kaidah utama yang digunakan dalam penetapan area yang mengandung ABKT ini adalah jika pemanfaatan sumber daya di dalamnya dilakukan secara lestari atau berkelanjutan. Prasyarat di dalam menetapkan keberadaan nilai ini adalah adanya masyarakat lokal yang memanfaatkan area berhutan atau sumber daya air yang terkait dengan keanekaragaman hayati, yakni sebagai: 1. Lahan berburu dan penjeratan (untuk daging hewan buruan, kulit dan bulu) 2. PHBK (produk hutan bukan kayu) seperti kacang-kacangan, beri, jamur, tanaman obat, rotan 3. Bahan bakar untuk aktivitas rumah tangga seperti memasak, penerangan, dan pemanasan 4. Ikan (sebagai sumber protein utama) dan spesies air tawar lainnya yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal



14



5. Bahan bangunan (tiang, jerami, kayu) 6. Pakan ternak dan penggembalaan musiman 7. Sumber air yang penting untuk air minum dan sanitasi; dan 8. Barang-barang yang dipertukarkan dengan barang esensial lainnya, atau dijual tunai yang kemudian digunakan untuk membeli barang esensial seperti obat-obatan atau pakaian, atau untuk membayar uang sekolah. Adapun syarat area tersebut merupakan areal bernilai konservasi tinggi jika sumber daya hutan atau ekosistem yang dimaksud (air dan lain sebagainya) merupakan satu-satunya sumber daya yang mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat lokal dan tidak dapat tersubstitusi oleh sumber daya lain baik karena kemampuan secara finansial maupun karena status budayanya. Misalnya masyarakat lokal hanya mengandalkan kayu bakar dari hutan karena tidak memiliki kemampuan/ atau kemauan untuk membeli kompor karena berbagai alasan kebiasaan (ketidaksesuaian dengan budayanya)



f. Area yang Penting bagi Identitas Budaya Tradisional dari Masyarakat Lokal yang Terkait dengan Keanekaragaman Hayati Faktor terpenting dalam analisis jenis ABKT ini adalah mengidentifikasi adanya masyarakat lokal di dalam dan sekitar area kajian yang masih memegang teguh budaya lokal setempat khususnya apabila identitas budaya tradisional tersebut terkait dengan pemanfaatan keanekaragaman hayati. Pemanfaatan dalam konteks ini tidak hanya mencakup penggunaan seluruh atau sebagian sumber daya dalam budaya atau identitas budayanya (misalnya penggunaan sumber daya tumbuhan/ satwa tertentu untuk ritual atau budaya lainnya oleh komunitas lokal), namun juga terkait ide-ide yang bersumber pada keanekaragaman hayati (misalnya: situs arkeolog di mana bentuknya terpengaruh oleh bentuk jenis flora atau fauna tertentu). Apabila terdapat masyarakat lokal yang memiliki budaya yang menunjukkan identitasnya khususnya yang terkait dengan keanekaragaman hayati, maka area yang memiliki situs tersebut termasuk dalam kategori ABKT.



15



c. Prinsip Kehati-hatian Prinsip ini mengharuskan penilai untuk melihat ketersediaan data di dalam setiap pengambilan keputusan keberadaan ABKT di dalam area studi. Jika telah dibuktikan kebenaran data dan diperoleh konklusi yang menunjukkan kehadiran ABKT di suatu tempat, maka area tersebut harus ditetapkan sebagai ABKT. Namun demikian, jika hanya sedikit referensi yang tersedia atau terbatasnya informasi yang dikumpulkan, maka dalam membuat keputusan, maka diperlukan adanya proses konsultasi dengan pemangku kepentingan utama seperti para pakar, peneliti atau masyarakat yang sehari-hari beraktivitas di dalam lokasi tersebut. Prinsip ini juga mengharuskan bahwa ketika terdapat keraguan dalam penilaian keberadaan atribut konservasi bernilai tinggi di suatu wilayah, maka kesimpulan yang harus diambil adalah menganggap bahwa nilai tersebut ada. Dengan kata lain, apabila yang menjadikan keraguan tersebut tidak dapat dibuktikan, maka diperbolehkan dilakukan pembenaran untuk tindakan perlindungan area tersebut sebagai ABKT. d. Prinsip Partisipatif dan Terbuka Prinsip partisipatif dan terbuka yang dimaksud adalah bahwa dalam setiap identifikasi keberadaan ABKT harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan bahkan sejak dimulai dari proses persiapan penilaian dan dalam identifikasi ABKT tersebut. Hal tersebut bertujuan agar terjadi pertukaran pengetahuan / informasi dan pengalaman yang dibawa oleh penilai sehingga dapat membantu mengembangkan basis pengetahuannya. Para pihak dapat memberikan maskan dan mengangkat isu-isu terkait ABKT di area studi. Disisi lain, masing-masing stakeholder dapat memastikan bahwa kepentingan subyektif telah dipertimbangkan secara obyektif oleh tim penilai. Dalam konteks ini, maka terdapat pendekatan holistik di dalam proses identifikasi ABKT-nya. Konteks tersebut lebih jauh merupakan bagian dari upaya kesepahaman dan kesepakatan untuk berbagi tanggung jawab di dalam pengelolaan ABKT tersebut. Adapun para pihak yang dimaksud di dalam proses identifikasi ABKT disajikan dalam Tabel 1.



17



e. Prinsip Pendekatan Lansekap Konteks ini mewajibkan kepada para penilai bahwa ruang lingkup wilayah kajian di dalam proses analisis identifikasi ABKT harus pertimbangan lansekap luas di sekitar area studi. Pertimbanganpertimbangan tersebut menjadi penting karena keanekaragaman hayati seperti satwaliar memiliki pergerakan yang luas tidak hanya terdapat di area studi. Selain itu, seluruh jasa ekosistem yang berada di area studi tersebut juga berlangsung dalam skala lansekap. Oleh karena itu, penting bagi penilai untuk memperhatikan segala interaksi yang terjadi dalam skala lansekap.



18



© Lanskap PT. KAL



19



20



B. Metode Identifikasi ABKT Proses penilaian ABKT suatu kawasan terdiri dari serangkaian tahapan yang dapat dikelompokkan kedalam lima tahapan, yaitu: (1) persiapan studi (penilaian awal), (2) pengumpulan data primer, (3) analisis dan pemetaan, (4) konsultasi hasil penilaian dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan (5) penyusunan laporan. a. Persiapan Studi Persiapan studi merupakan kegiatan awal yang terdiri atas pengumpulan data dan informasi sekunder, analisis terhadap data dan informasi tersebut, penentuan pendekatan serta metoda yang dipakai dalam melakukan penilaian terhadap suatu kawasan. Data dan informasi ini meliputi aspekaspek fisik kawasan, keanekaragaman hayati, nilai jasa lingkungan, sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Data dan informasi tersebut dapat diperoleh dari berbagai dokumen, baik dokumen dari pihak perusahaan, instansi pemerintah, lembaga penelitian, universitas atau lembaga swadaya masyarakat maupun literatur lainnya yang terkait hasil analisis peta. Jenis data dan informasi penting yang harus diperoleh adalah sebagai berikut: i. Pengumpulan informasi fisik kawasan; Data dan informasi yang berhubungan dengan fisik kawasan dapat diperoleh dari berbagai sumber, diantaranya peta-peta, laporan hasil penelitian, dokumen tentang profil perusahaan, serta laporan lain yang mendukung seperti laporan AMDAL. Adapun peta yang diperlukan antara lain peta biofisik, peta penyebaran ekosistem dan flora dan fauna, peta administrasi, peta sosial ekonomi, peta budaya dan bahasa, peta desa/demografi penduduk, peta administrasi (desa, kecamatan, kabupaten), peta jaringan jalan, peta daerah aliran sungai (DAS), peta rencana tata ruang wilayah (RTRWK/P), peta topografi, tutupan lahan serta peta RePPProT dan tanah (Tabel 2). Data lain yang dibutuhkan adalah data kampung, iklim dan tanah. ii. Pengumpulan informasi keanekaragaman spesies; Data dan informasi yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati dapat dikumpulkan dari berbagai sumber seperti dari Redlist Data Book IUCN, CITES dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, serta berbagai peraturan serta undang-undang lain yang relavan. Pengumpulan data juga termasuk peta-peta indikatif sebaran tumbuhan dan satwaliar seperti sebaran harimau sumatera, gajah, badak dan habitat utama satwa (IBA, EBA) Selain itu, diperlukan juga pencarian dan mengkoleksi berbagai data dari berbagai penelitian tentang keanekaragaman hayati setempat yang telah dilakukan oleh pihak lain sebelum penilaian ABKT dilaksanakan.



21



iii. Pengumpulan informasi jasa ekosistem dan sosial budaya; Data dan informasi yang berhubungan dengan jasa ekosistem dan sosial budaya juga dapat dikumpulkan dari berbagai sumber seperti hasil kajian ilmiah dan penelitian maupun dari peta-peta dasar yang digunakan untuk membangun peta indikasi keberadaan jasa ekosistem tersebut. Adapun data dan informasi dasar yang dimaksud disajikan dalam Tabel 3. iv. Pengumpulan informasi sosial dan budaya. Data dan informasi yang terkait dengan sosial dan budaya dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti kajian ilmiah dan berbagai peta. Kajian yang dimaksud terkait dengan pola hidup oleh masyarakat lokal yang berada di lokasi kajian, etnobiologi (jenis tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal), adat dan budaya dan lain sebagainya. Adapun peta yang dimaksud antara lain: peta sebaran situs arkelogi, peta sebaran pemukiman adat, dan lain sebagainya.



22



© Mongabay Indonesia



23



Tabel 3. Data dan sumber data yang diperlukan untuk mendukung penilaian jasa ekosistem No



4



Jenis Data *) Topografi/ Rupa-bumi Bakosurtanal Tanah Kawasan hutan dan Perairan Tata Ruang



5



DEM



6



Citra Satelit



7



RePPProt Peta Sebaran Gambut dan/ atau Kesatuan Hidrologi Gambut Data Iklim Setempat (Isohyet) Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) dan/ atau Peta Satuan Wilayah Sungai Peta Sistem Lahan Data Demografi dan Peta Sebaran Penduduk Data dan Peta Bencana



1 2 3



8 9 10 11 12 13



Sumber1 Badan Informasi Geospasial Kementerian Pertanian RI Badan Planologi, Kementerian Kehutanan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Bappenas dan Bapeda provinsi dan kabupaten setempat Aster DEM 30m atau SRTM90 neter Landat/Alos/Ikonos/Quickbird/Google Eye/ Digital Globe /Spot etc. Bakosurtanal Kementerian Pertanian RI, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup RI Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) dan atau Kementerian PU dan Perumahan Rakyat Badan Informasi Geospasial BPS Setempat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Daerah Penanggulangan Bencana (BDPB) Kementerian ESDM BNPB, BMKG, LAPAN, NASA



14 15



Peta Geohidrologi dan Geologi Data dan Peta Kebakaran Lahan, Termasuk Data Hotspot



16



Undang-undang dan Peraturan yang terkait, seperti UU tentang Tata Ruang, Kehutanan, Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan-peraturan Sungai, Rawa, Gambut, Pantai, Konservasi dll. Refrensi-Refrensi yang Berkaitan **)



17



24



Dari data di atas kemudian dilakukan verifikasi dan analisis data. Verifikasi dilakukan untuk menguji kebenaran dan keabsahan data dan informasi yang diperoleh, sedangkan analisis data dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum mengenai area studi dan potensi kawasan bernilai konservasi tinggi secara tentatif yang kemudian digunakan sebagai dasar dalam penentuan metoda pengambilan data di lapangan. Tahapan terakhir dari persiapan studi adalah pemetaan potensi BKT sementara dan peta lokasi pengambilan data dengan bantuan SIG (Sistem Informasi Geografi) serta metoda pengambilan data lapangan seperti pengambilan data untuk flora dan fauna, jasa lingkungan dan sosial budaya masyarakat. a.



Pengumpulan Data Primer Pengumpulan data primer dengan penilaian langsung di lapangan bertujuan untuk memverifikasi kebenaran dan kedalaman data hasil analisis data sekunder. Kegiatan verifikasi dan pengambilan data lapangan terdiri dari kegiatan verifikasi atau pengambilan data keanekaragaman hayati; jasa lingkungan dan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Adapun kegiatan pengumpulan data lapangan selanjutnya digunakan untuk menentukan lokasi-lokasi indikatif yang merupakan areal bernilai konservasi tinggi. Proses pengumpulan data lapangan berupa: (1) pengumpulan data (termasuk review dokumen), (2) wawancara (terstruktur dan / atau informal dengan masyarakat lokal), (3) pengamatan lapangan. dan (4) diskusi dengan para pakar.



Kegiatan pengumpulan data lapangan adalah sebagai berikut: a. Verifikasi batas lokasi kajian; dilaksanakan dengan cara wawancara dengan pihak yang berkompeten dalam menjelaskan batas pengelolaan yang kemudian ditindaklanjuti dengan pengecekan batas area kajian. b. Verifikasi bentang lanskap; dilaksanakan dengan pemataan untuk mengetahui batas lanskap area studi (dapat menggunakan batas DAS maupun batas lain yang dapat diterima secara ilmiah). c. Verifikasi lapang tutupan lahan (land cover); yang dilaksanakan di dalam area studi. Aspek yang diverifikasi adalah tipe tutupan lahan. d. Verifikasi kondisi keanekaragaman hayati; yang dilaksanakan di dalam area kajian. Aspek yang diverifikasi adalah keberadaan jenis baik flora maupun fauna di dalam area kajian. e. Verifikasi fisik lapangan; dilaksanakan di dalam area studi. Parameter yang diamati adalah kemiringan lereng, jenis tanah, kedalaman solum, kondisi badan dan/ atau sumber air serta sempadanya, potensi bencana dan potensi simpanan karbon. Secara detail penjabaran masing-masing kegiatan pengumpulan lapangan adalah sebagai berikut: (a) Survey Flora dan Pengelompokan Ekosistem Survei flora dititikberatkan di area yang masih memiliki tutupan lahan yang relatif masih baik dan/atau yang diduga memiliki tingkat konsentrasi keanekaragaman hayati dan/atau di area dengan tingkat aktivitas operasionalnya masih rendah. Pengumpulan data flora dapat dilakukan dengan berbagai metode ilmiah (dapat diverifikasi ulang kebenarannya). Adapun data flora yang dikumpulkan adalah hingga pada tingkat jenis untuk diketahui status perlindungan dan sebaran geografisnya. Identifikasi jenis tumbuhan dilakukan secara langsung. Selain itu dikumpulkan pula data ancaman baik ancaman potensial maupun ancaman faktual. Adapun pengelompokan ekosistem didasarkan pada data vegetasi yang telah dikumpulkan. Ekosistem yang perlu diidentifikasi adalah ekosistem-ekosistem yang khas atau rentan seperti: rawa/gambut, karst, kerangas, dan mangrove. (b) Survey Fauna Fauna yang diinventarisasi adalah fauna vertebrata (kelas mamalia, aves, reptilia, amfibi, dan pisces) atau jika memungkinkan dapat dilakukan juga untuk spesies insekta dan spesies perairan tawar lainnya. Pengumpulan data satwaliar tersebut dilakukan dengan metode : (1) wawancara dengan masyarakat lokal serta (2) pengamatan lapangan dengan metode ilmiah (dapat diverifikasi) di daerah konsentrasi satwaliar yang diketahui berdasarkan informasi dari masyarakat lokal serta pengamatan lapang di area yang masih memiliki tutupan lahan yang relatif masih baik dan/atau yang diduga memiliki tingkat konsentrasi keanekaragaman hayati dan/atau di area dengan tingkat aktivitas operasionalnya masih rendah. Data satwaliar yang diambil adalah: (1) data kehadiran jenis baik di area kajian maupun area di sekitar kajian dimana satwa dapat dipastikan menggunakan area kajian sebagai bagian dari habitatnya, (2) data perilaku satwa, dan (3) fungsi spesifik habitat. Selain itu dikumpulkan pula data ancaman baik ancaman potensial maupun ancaman faktual.



25



(c) Survey Jasa Ekosistem Pelaksanaan survey dilaksanakan dengan beberapa kategori yaitu: (1)



Verifikasi data di area-area yang diduga mempunyai fungsi sebagai penyedia jasa ekosistem.



(2)



Penggalian data dan informasi baru untuk menentukan area-area yang berpotensi sebagai pengatur jasa ekosistem yang belum teridentifikasi pada saat desktop study.



(3) Penggalian data dan informasi lebih detail kondisi areaarea yang teridentifikasi sebagai pengatur jasa ekosistem. Data yang diverifikasi: (1) Keberadaan dan kondisi sungai (kualitas dan kuantitasnya).



26



(2)



Gambut: kedalaman dan tingkat kematangan.



(3)



Keberadaan dan kondisi rawa/danau (kualitas).



(4)



Keberadaan mata air.



(5)



Kondisi tutupan lahan.



(6) Keberadaan area berhutan / ekosistem alami di dekat area rawan kebakaran (disesuaikan dengan kondisi lapangan). (7)



Potensi bencana



(8) Keberadaan area dengan kelerengan ≥ 40% /area yang mempunyai Tingkat Bahaya Erosi (TBE) potensial berat sampai sangat berat melalui analisis kelerengan faktual, solum tanah dan pengelolaan yang sudah dilakukan. (9)



Keberadaan binatang penyerbuk dan kondisi habitatnya.



(10) Potensi simpanan karbon tinggi.



(d) Survey Sosial dan Budaya Data sosial, ekonomi dan budaya yang dikumpulkan bersifat kualitatif. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara dan k u n j u n g a n l a p a n g . Wa w a n c a r a d i l a k u k a n d e n g a n menggunakan pedoman wawancara terstruktur dan terfokus pada informasi yang ingin diperoleh. Informasi yang dikumpulkan dari proses wawancara berupa data sosial, ekonomi, identitas budaya tradisional komunitas lokal, aktivitas warga terkait ketergantungan masyarakat pada sumberdaya di dalam area studi. Desa yang dijadikan sebagai lokasi pengambilan data adalah desa pada kecamatan yang memiliki hubungan dan kedekatan dengan masing-masing lokasi kajian. Hubungan dan kedekatan tersebut meliputi desa yang memiliki sejarah kepemilikan lahan, desa yang masyarakatnya melakukan interaksi secara langsung berupa pemanfaatan sumberdaya yang berada di dalam UM dan desa yang terkena dampak dari kegiatan pengelolaan yang dilakukan. c.



Analisis Data Pada tahap analisis dilakukan kajian dan telaah secara komprehensif dan mendalam terhadap data dan informasi primer yang diperoleh dari lapangan, yang meliputi aspek fisik, flora, fauna, sosial dan budaya. Dalam proses analisis data diharuskan penilai mampu membuat konklusi terhadap keberadaan ABKT di suatu wilayah berdasarkan kategori masing-masing ABKT dan prinsip ABKT. Secara rinci tahapan analisis untuk identifikasi masing-masing ABKT dijelaskan sebagai berikut:



(a)



Area yang Secara Signifikan Mengandung Keanekaragaman Spesies yang Penting untuk Dilestarikan 1. Petakanlah daerah tutupan hutan dan ekosistem di bentang alam yang mencakupi area studi. 2. Nilailah cakupan dan keanekaragaman ekosistem di bentang alam tersebut dalam artian potensinya untuk mendukung populasi spesies berdasarkan ukuran dan kondisi hutan atau ekosistem lain, tipe ekosistem yang ada dan kesinambungan diantaranya, serta tingkat perburuan atau ancaman lain di wilayah tersebut. 3. Lengkapi daftar spesies-spesies yang diketahui berada atau sangat mungkin berada di dalam bentang alam dengan memberi catatan khusus untuk predator utama atau spesies kunci ataupun spesies indikator lainnya, yang mensyaratkan bahwa elemen-elemen kunci dari kehati spesies yang hampir punah, terancam, penyebaran terbatas (endemik), dan /



atau dilindungi dengan baik.



27



1. Pertimbangkanlah nilai pelestarian elemen-elemen bentang alam yang bukan alami, seperti lahan pertanian, perkebunan, serta hutan yang terdegradasi berat terkait dengan kontribusi positifnya pada jumlah populasi kehati pada tingkat bentang alam yang memungkinkan satwa bergerak diantara sisa ekosistem alami (habitat connectivity) dan menjadikannya sebagai sumber makanan atau tempat berlindung bagi satwa tertentu dan lain-lain. 2. Identifikasi area-area yang termasuk dalam kategori ABKT tersebut. (b)



Elemen Bentang Alam (Patch, Matriks, Koridor) yang Penting bagi Terselenggaranya Dinamika Proses Ekologi Alami untuk Mendukung Populasi Spesies yang Penting untuk Dilestarikan 1. Petakanlah cakupan vegetasi penutup pada bentang alam yang mencakupi area studi.



28



2. Petakanlah cakupan vegetasi penutup dewasa (mature forest cover) dalam area studi serta di seluruh bentang alam dimana area studi tersebut menjadi bagain darinya, dengan memberi perhatian khusus pada penetapan tepi-tepinya, sebagai contoh pemastian batas-batas antara hutan (atau vegetasi alami lainnya) dengan area-area yang terdegradasi akibat ulah manusia. 3. Tentukan potensi keberadaan zona inti dan zona penyangga yang ada pada bentang alam di dalam area studi atau di luar area tersebut yang berpotensi terpengaruh kegiatan pemanfaatan di dalam area studi. 4. Pertimbangkan kemungkinan-kemungkinan skenarioskenario perubahan yang terjadi pada zona inti dan zonazona pembatasnya berdasarkan rencana tata guna lahan yang sah. 5. Lakukan revisi terhadap peta ekosistem alami (jika terdapat perubahan kondisi berdasarkan cek lapangan) di seluruh bentang alam yang mencakupi area studi.



1. Tentukan zona ekoton (zona transisi) diantara ekosistem yang berbeda dan menilai kondisi alaminya, terutama antara ekosistem perairan dan darat di bagian rendah dan beraneka tipe hutan yang menyusun sepanjang lereng gunung jika ada. 2. Pastikan ekosistem tersebut memiliki kemungkinan untuk mengalami dampak dari kegiatan pemanfaatan di dalam area studi, baik itu secara langsung maupun tidak langsung, terutama pada bagian transisi diantara ekosistem tersebut. 3. Lakukan evaluasi terhadap ancaman kepada berbagai ekosistem alami yang ada dan mengidentifikasi dimana deforestasi berlanjut, dilihat pada sejarah perubahan tutupan lahan di seluruh wilayah tersebut. 4. Identifikasi area-area yang termasuk dalam kategori ABKT tersebut. (c) Area yang Berisi Ekosistem Unik, Langka, Rentan atau Terancam Terdapat 2 prinsip yang dilakukan dalam analisis ABKT ini, yakni analisis proxies (penilaian didasarkan atas berbagai ukuran pendekatan) dan precautionary caution (prinsip pencegahan). Terdapat beberapa tahapan di dalam analisis ABKT ini, yakni: 1. Tentukan tipe ekosistem di dalam wilayah studi. 2. Nilai apakah ekosistem tersebut dikategorikan sebagai ekosistem langka, terancam, atau langka? Penilaian ini selain dilakukan di dalam area studi juga dilakukan di luar area studi yang terpengaruh oleh pemanfaatan yang direncanakan di dalam area studi (lihat Tabel 4 dan Tabel 5). 3. Nilai apakah tutupan lahan dan kondisi vegetasi di dalam area studi masih termasuk dalam kategori baik atau tidak. 4. Jika vegetasi tidak cukup baik, maka nilai apakah ekosistem tersebut dapat direstorasi dengan mempertimbangkan: (i) atribut atau ciri khas ekologi ekosistem terkait, (ii) kondisi dan status lahan di sekitarnya, (iii) tataruang yang berlaku, dan (iv) perencanaan pembangunan daerah?



29



1. Nilai apakah ekosistem tersebut sudah mengalami perubahan tutupan lahan drastis sehingga secara fisik bukan lagi sebagai hutan alam atau areal bekas tebangan sehingga memenuhi kriteria “lahan tidak produktif” berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 21/KptsII/2001. 2. Identifikasi area-area yang termasuk dalam kategori ABKT tersebut. (d) Area yang Dapat Menyediakan Jasa Ekosistem 1. Delineasi kawasan lindung berdasarkan pada peta tata ruang dan peta kawasan hutan dan perairan. 2. Analisis sifat hidrologi permukaan. 3. Interpretasi daerah tangkapan air, sumber air, jaringan sungai dan cekungan air tanah. 4. Interpretasi citra satelit untuk penutupan lahan.



30



5. Interpretasi sistem lahan, fisiografis dan ekosistem berdasarkan peta sistem lahan. 6. Interpretasi area gambut berdasarkan peta Land System, Citra Satelit dan Peta Gambut. 7. Interpretasi daerah rawan erosi. 8. Analisis dan pemetaan kebakaran lahan. 9. Analisis dan pemetaan daerah rawan bencana. 10. Analisis dan pemetaan infrastruktur penting. 11. Identifikasi area-area yang termasuk dalam kategori ABKT tersebut.



(e) Area yang Memiliki Sumber Daya Alam yang Menyediakan Kebutuhan Pokok bagi Masyarakat Lokal yang Terkait dengan Keanekaragaman Hayati 1. Identifikasi keberadaan masyarakat lokal di dalam dan sekitar area studi. 2. Nilai apakah masyarakat lokal tersebut memanfaatkan sumber daya (air termasuk sungai dan hutan) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan / atau keluarganya. 3. Identifikasi jenis-jenis sumber daya yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dan tingkat ketergantungannya. 4. Tentukan lokasi sumberdaya yang dimaksud oleh masyarakat lokal tersebut. 5. Nilai apakah yang terjadi apabila sebagian atau seluruh area dalam lansekap tersebut dikonversi dalam konteks ketersediaan sumberdaya yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal tersebut. 6. Nilai apakah pemanfaatan dilakukan secara lestari dan tidak bertentangan dengan ABKT lainnya. 7. Identifikasi area-area yang termasuk dalam kategori ABKT tersebut. (f) Area yang Penting bagi Identitas Budaya Tradisional dari Masyarakat Lokal yang Terkait dengan Keanekaragaman Hayati 1. Identifikasi keberadaan masyarakat lokal di dalam dan sekitar area studi. 2. Identifikasi apakah terdapat area berhutan di dalam area studi yang dianggap oleh masyarakat sebagai kawasan adat mereka. 3. Identifikasi lokasi (daerah) hutan yang dimaksud oleh masyarakat lokal tersebut. 4. Identifikasi area-area yang termasuk dalam kategori ABKT tersebut.



31



32



33



34



35



d.



Pemetaan Tahapan ini merupakan tahapan paling krusial dalam identifikasi areal bernilai konservasi tinggi. Area-area yang telah diidentifikasi berpotensi memiliki nilai konservasi tinggi hasil analisis desktop, pengamatan lapangan dan analisis data kemudian dipetakan dalam suatu peta kajian dengan skala proporsional yang disesuaikan dengan luas area kajian. Adapun hasil pemetaan harus dapat menjelaskan lokasi spesifik, batas dan atribut dari masing-masing areal yang bernilai konservasi tinggi.



e.



Konsultasi Publik Tujuan dari kegiatan konsultasi publik adalah untuk koreksi silang hasil kajian yang telah dilakukan oleh tim penilai. Proses ini dianggap selesai apabila telah disepakati secara bersama tentang area-area yang diyakini memiliki nilai konservasi tinggi.



36



Inisiasi dari konsultasi publik dalam kerangka identifikasi nilai konservasi tinggi di luar area yang dibebankan hak atas tanah adalah pemerintah daerah (Provinsi dan / atau Kabupaten) sesuai dengan amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 atau pihak lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan. Berbeda dengan proses identifikasi nilai konservasi tinggi yang berada di dalam area yang dibebankan hak atas tanah yang merupakan inisiasi dari pengelola setempat. Para pihak yang diundang adalah lembaga dan tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari unsur: (1) Perguruan Tinggi; (2) Instansi/Dinas terkait, baik ditingkat Kabupaten maupun Provinsi; (3) Lembaga Swadaya Masyarakat serta (4) Tokoh dan/atau perwakilan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi masing-masing area kajian.



© Konsultasi Publik



38



C. Format Ringkasan Kajian Publik Laporan