Perspektif Petuntut Umum Terhadap Tindak Pidana Korporasi Di Indonesia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERSPEKTIF PENUNTUT UMUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORPORASI DI INDONESIA A. PENDAHULUAN Negara Indonesia ialah negara hukum,1 berdasarkan penjelasan umum tentang pemerintahan negara yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berdasarkan kekuasaan semata.2 Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar 1945 tidak ada ketentuan secara jelas dan tegas yang menyatakan negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Selaras dengan pandangan negara Indonesia adalah negara hukum maka yang yang paling penting dari suatu konsep negara hukum adalah adanya persamaan perlakuan dimuka hukum atau disebut dengan “equality before the law“ yang mengandung pengertian bahwa setiap penduduk atau warga negara Indonesia berhak atas jaminan dan perlindungan yang adil serta sama didepan hukum. Merujuk pada setiap penduduk atau warga negara indonesia diakui sebagai subjek hukum di Republik Indonesia yaitu pendukung hak dan kewajiban serta memiliki kemampuan bertanggung jawab secara hukum atau cakap hukum, dalam perkembangan konteks hukum, perdebatan tentang perilaku korporasi sebagai salah satu subjek hukum selain orang/individu (natuurlijke persoon) telah berlangsung cukup lama. Meskipun demikian, pada perkembangannya sebagian besar negara-negara di dunia telah menerima korporasi masuk sebagai subjek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana. Pendapat yang menyetujui korporasi sebagai subjek hukum dalam pertanggungjawaban pidana umumnya bersandar pada kenyataan atau fakta telah berbicara (res ipso loquitur) bahwa korporasi kerap melakukan perbuatan yang merugikan atau membahayakan masyarakat meskipun hal ini direpresentasikan melalui perbuatan orang-orang yang merupakan pengurusnya. Terlebih lagi perbuatan tersebut memang ditujukan untuk memberikan manfaat dan keuntungan bagi korporasi. Aktivitas korporasi sebagai badan hukum (artificial persoon) telah memasuki berbagai aspek kehidupan masyarakat.3 Secara faktual korporasi telah memberikan Undang-undang dasar 1945, pasal 1 ayat 3 (amandemen ke4) PRAHANELA, R. (2017), “Kegagalan Implementasi Diversi Dalam Tahap Penuntutan.” Jurnal Komunikasi hukum. Vol 1, (Doctoral dissertation, Universitas Sebelas Maret). 3 "Korporasi berasal dari kata corporatio dalam bahasa Latin yang berawal dari kata corporare, artinya memberikan badan atau membadankan. Muladi yang mengutip K. Malikoel Adil mengartikan korporasi atau corporation adalah hasil dari pekerjaan membadankan atau badan yang dijadikan orang." Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka Kelompok Penerbit 1 2



1



kontribusi yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, bahkan dunia. Namun disisi lain, berbagai tindakan korporasi juga menimbulkan dampak merugikan bagi masyarakat, seperti kerusakan lingkungan baik didarat, laut dan udara, serta penetapan harga barang yang tinggi bagi konsumen sebagai konsekuensi dari praktik persaingan usaha tidak sehat, berbagai modus perilaku curang dan korupsi yang merugikan masyarakat dan negara, serta berbagai tindakan merugikan lainnya. Pada beberapa kasus, tindakan korporasi bahkan menimbulkan kematian bagi manusia dan secara masif mengakibatkan kerusakan alam dan lingkungan sehingga dalam jangka panjang dapat mengancam keberlangsungan hidup manusia. Tindak pidana Korporasi yang koruptif di Indonesia saat ini masih menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem perekonomian di Indonesia yang terjadi secara sistematik dan meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. 4 Oleh karenanya, tindak pidana korupsi disinyalir sebagai salah satu penyebab tidak tercapainya tujuan nasional bangsa Indonesia, yakni menciptakan masyarakat yang sejahtera, damai, adil, dan makmur. Lebih konkret lagi tujuan nasional bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, tidak dapat terwujud atau setidaknya akan terhambat karena tindak pidana korupsi ini.5 Perhatian dunia internasional terhadap korupsi terdapat dalam Kongres PBB ke-8 tahun 1990 di Havana Cuba yang menyoroti dimensi kejahatan seperti: (1) masalah urban crime; (2) crime against the nature and the



environmental; (3)



corruption keterkaitannya dengan economic crime, organized crime, illicit trafficking in Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014), Cet.l, hal.155. Lihat juga, Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: PT Grafiti Pers, 2007), hal.41. Bandingkan dengan pengertian korporasi dalam Black's Law Dictionary (Bryan A. Garner), Ed.8, Thomson Business, 2004. "An entity (usu.a business) having authority under law to act as a single person distinct from the shareholders who own it and having rights to issue stock and exist indefinitely; a group or succession of persons established in accordance with legal rules into a legal or juristic person that has legal personality distinct from the natural persons who make it up, exists indefinitely apart from them, and has the legal porwers that its constitution gives it'' . Bandingkan juga dengan, Surya Jaya, Kajian Teoritik dan Praktis Pemidanaan Korporasi Dalam Rangka Pengembalian Aset, Makalah Dalam Diskusi Kamar Pidana di Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2013. "Korporasi adalah: Realitas kumpulan orang pendukung hak dan kewajiban, yang memiliki kekayaan, baik dalam bentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, sifatnya terorganisasi". 4 Peraturan Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, “Penelitian hukum tentang Aspek Hukum Pemberantasan Korupsi di Indoneisa”, Jakarta, 2008, Hal 1 5 Kristian, “Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, Jakarta, Sinar Grafika,2018, hal.1



2



narcotic, drugs and psychotropic substances, termasuk juga masalah money laundering; (4) crime against movable cultural property (cultural heritage); (5) computer related crime; (6) terrorism; (7) domestic violence; (8) instrumental use children in criminal activities.6 Khususnya mengenai masalah korupsi, Kongres ke-8 menyatakan sangat perlunya hal ini diperhatikan mengingat “corrupt activities of public official”: a.



can destroy the potential effectiveness of all types of governmental programmes (dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah);



b.



hinder development (dapat mengganggu/menghambat pembangunan);



c.



victimize individuals and groups (menimbulkan korban bagi individual maupun kelompok).7 Kongres dalam kaitannya dengan hal di atas, menghimbau kepada negara-negara



anggota PBB untuk menetapkan strategi anti korupsi sebagai prioritas utama di dalam perencanaan pembangunan sosial dan ekonomi (dalam dokumen A/CONF. 144/L.13 disebutkan “The designation of anti-corruption strategies as high priorities in economic and social development plans”), serta mengambil tindakan terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.8 Dokumen Kongres PBB ke-9 tahun 1995 menyatakan: Korporasi asosiasi kriminal atau individu mungkin terlibat dalam “penyuapan para pejabat” untuk berbagai alasan yang tidak semuanya bernilai ekonomis. Tetapi, dalam banyak kasus, masih saja terdapat penyuapan untuk mencapai keuntungan ekonomis. Tujuannya ialah membujuk para pejabat untuk memberikan berbagai bentuk perlakuan khusus/istimewa (preferential treatment) antara lain: (a)



memberikan kontrak (awarding a contract);



(b)



mempercepat atau memperlancar izin (expediting a license);



(c)



membuat perkecualian-perkecualian atau menutup mata terhadap pelanggaran peraturan (making exceptions to regulatory standards or turning a blind eye to violations of those standards).9 Keterlibatan perusahaan-perusahaan/korporasi didalam tindak pidana korupsi bukanlah



rahasia umum lagi, bebarapa kasus yang melibatkan korporasi sebagai subjek hukum adalah sebagai berikut: Barda Nawawi Arief, 1996, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”, Alumni, Bandung, PT Citra Aditya Bakti hal. 18 7 Ibid, hal. 1 8 Terdapat tiga strategi pemberantasan korupsi yang disarankan, yaitu: (1) adanya political will pemerintah; (2) penyempurnaan penegakan hukum pidana; dan (3) pressure masyarakat. 9 Ibid, hal 20 6



3



1. Perkara PT GJW (Giri Jaladhi Wana) dengan Putusan Nomor 908/ Pid.B/2008/PN.Bjm tanggal 18 Desember 2008 yang mana putusan tersebut telah dikuatkan dengan Putusan Nomor 02/PID/SUS/2009/ PT.BJM tanggal 25 Februari 2009 dan kasasi terdakwa telah ditolak berdasarkan Putusan Nomor 936/K/Pid.Sus/2009 tanggal 25 Mei 2009). Majelis hakim melalui Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm dan pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Banjarmasin melalui Putusan Nomor 04/PID.SUS/2011/PT.BJM menguatkan Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm tanggal 09 Juni 2011. 2. Perkara



PT



Cakrawala



Nusamedia



(PT



CN),



dengan



Putusan



Nomor



65/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Bdg yang menyatakan terdakwa PT CN terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer. 3. Perkara PT Indosat Multi Media (IM2), Putusan Nomor 01/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Pst memutuskan dan menyatakan terdakwa IA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “korupsi dilakukan secara bersama-sama”, dan banding dengan Putusan Nomor 33/PID/TPK/2013/PT.DKI menerima permintaan banding tersebut dan mengubah Putusan Nomor 01/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Pst dan Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung memperbaiki amar Putusan Nomor 33/PID/TPK/2013/PT.DKI yang mengubah Putusan Nomor 01/Pid.Sus/ TPK/2013/PN.Jkt.Pst sekadar mengenai pidana denda dan uang pengganti. 4. Perkara Tindak Pidana Perpajakan A.n Suwir Laut dengan Putusannya Nomor 234/PID.B/2011/PN.JKT.PST dan melakukan banding pada Pengadilan Tinggi Jakarta melalui Putusan Nomor 241/ PID/2012/PT.DKI menerima permintaan banding dari jaksa penuntut umum dan memutuskan menguatkan Putusan Nomor 234/PID.B/2011/ PN.JKT.PST yang dimohonkan banding tersebut. Tidak terima atas putusan Pengadilan Tinggi tersebut, jaksa penuntut umum mengajukan kasasi. Melalui Putusan Nomor 2239 K/PID.SUS/2012, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari jaksa penuntut umum dan membatalkan Putusan Nomor 241/ PID/2012/PT.DKI tanggal 23 Juli 2012 yang menguatkan Putusan Nomor 234/PID.B/2011/ PN.JKT.PST.



Rekap Tabel. 17 Perusahaan ( koporasi) yang terlibat dalam tindak pidan korupsi Mantan Kadis Kehutanan Provinsi Riau Tahun 2003-2004 terdakwa Syuhada Tasman (ST)10



10



Kristian, “Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, Op.Cit, hal.6



4



No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14



Perorangan TAJ TLJ AR FS S



Nilai (Rp) 19,83 Milliar 8,25 Milliar 600 Juta 190 Juta 50 Juta



15 16 17



Perusahaan(Korporasi) PT RAPP PT MPL PT SAU PT U CV PLB CV TN CV ML PT RMP PT MTNS PT BPN PT TM FDI PT SPA PT MTJ CV AJ



Nilai (Rp) 939,29 Milliar 7,68 Milliar 6,999 Milliar 13,03 Milliar 54,48 Milliar 4,63 Milliar 282 Juta 7,11 Milliar 16,88 Milliar 10,74 Milliar 13,39 Milliar 94,82 Milliar 87,92 Milliar 12,93 Milliar



CV HJ PT M PT YRT



13,73 Milliar 17,6 Milliar 6 Milliar



Perkara diatas terlihat bahwa peran dari Korporasi yang secara masif melakukan tindak pidana korupsi yang dilakuakan baik oleh pengurus (direksi atau komisaris) maupun oleh korporasi itu sendiri dalam hal mengambil keuntungan bagi korporasi itu sendiri serta kerugian negara yang jauh lebih besar dilakukan oleh korporasi ketimbang yang dilakukan oleh Orang perorangan terhadap perkara Kadi Kehutanan provinsi Riau Tahun 2003-2004 dengan



terdakwa



Syuhada



Tasman.



Keberhasilan



Jaksa



dalam



menuntutkan



pertanggungjawaban pidana di peradilan ini didukung dengan perangkat kebijakan Penegak hukum berupa Surat Edaran Kejaksaan Agung RI Nomor B-36/A/Ft.1/06/2009 perihal Korporasi Sebagai Tersangka/Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi. Tanpa panduan dari surat edaran tersebut, perkara ini juga tidak akan muncul ke permukaan karena secara teknis hukum acara penanganan tindak pidana korporasi masih belum jelas. Kejaksaan Agung selanjutnya menyempurnakan Surat Edaran tersebut menjadi Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi. Seiring dengan Kejaksaan Agung di atas, Mahkamah Agung juga menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi. Perma Nomor 13 Tahun 2016 memberikan definisi khusus terkait tindak pidana Korporasi yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama5



sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan. Korporasi.11 Perma Nomor 13 Tahun 2016 juga menentukan bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi antara lain: a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi; b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.12 Dengan telah di terbitkannya kedua perangkat hukum tersebut diatas, masih terdapat keengganan para penyidik khususnya penuntut umum dalam melakukan penyidikan serta penuntutan terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana, karena begitu banyaknya/ panjangnya birokrasi didalam peraturan perundangan tentang masing-masing tindak pidana awal/”main crime” yang dilakukan oleh penydik awal juga yaitu seperti contohnya yaitu antara lain, penyidik kehutanan yang terdiri dari unsur Kepolisian Kehutanan/Polri/PPNS, penyidik Perkebunan yang terdiri dari unsur Kepolisian/PPNS, dan seterusnya. Serta ditambah lagi tindak pidana korporasi yang disebut sebagai tindak pidana kerah putih (White Colour Crime) yang notabenya para pelaku tindak pidana adalah orang yang mempunyai keahlian khusus tentang organisatoris suatu korporasi yang dapat dengan cepat menghilangkan dan meleburkan seluruh aset dan menghilangkan seluruh jejak memperkaya diri atau korporasi. Menurut kualifikasinya, kejahatan korporasi tergolong sebagai white collar crime yang menggunakan modus operandi yang canggih dan dapat juga berdimensi transnasional dimana dilakukan lintas Negara dan teritorial. Gabungan dari kedua kualifikasi tersebut menghasilkan ruang lingkup kejahatan yang luas dan dampak kerugian yang sangat besar. Dikatakan demikian karena korban yang ditimbulkan akibat kejahatan yang dilakukan korporasi meliputi masyarakat pada umumnya, konsumen pengguna produk yang dihasilkan, korporasi yang bertindak selaku kompetitor, dan para karyawan atau buruh yang tidak terlindungi. Bahkan Negara pun dapat menjadi korban kejahatan korporasi dimana 11



Pasal 4 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi 12 Pasal 4 ayat (21) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi



6



tindak pidana korporasi menimbulkan kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara.13 Dari permasalahan diatas perlu peran serta aparat hukum khususnya Kejaksaan dalam menuntaskan dan mempercepat proses penangan perkara terkhusus terhadap Tindak pidana korporasi dengan mengkaji mengenai Bagaimana Prespektif Penuntut Umum terhadap Tindak Pidana Korporasi di Indonesia. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode normatif. Terdapat 3 (tiga) pendekatan untuk mengkaji ketiga permasalahan yang coba dibahas dengan metode penelitian normatif ini yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach) serta pendekatan konseptual (conseptual approach). Pendekatan perundang-undangan diperlukan dalam rangka menelusuri ratio legis dan dasar ontologis lahirnya peraturan perundang-undangan.14 Pendekatan kasus digunakan untuk menemukan the ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai pada suatu putusan.15 Dimana letak terobosan hukum yang bertujuan memberi akses keadilan.16 Pendekatan konseptual digunakan untuk memahami secara presisi dan akurat berbagai konsep yang digunakan oleh prinsip hukum dalam undang- undang maupun doktrin para ahli hukum.17 Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, konvensi hukum internasional dan putusan pengadilan serta bahan hukum sekunder berupa literature dan hasil penelitian. Peraturan perundang-undangan yang digunakan antara lain Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP), Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, dan Surat Edaran Kejaksaan Agung RI Nomor B-036/A/Ft.1/06/2009 perihal 13



Kristian, “Hukum Pidana Korporasi: Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia”, (Bandung: Nuansa Aulia, 2014), hal.33. 14 Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, (Jakarta: Kencana, 2014), hal. 93-94. 15 Ibid, hal. 64 16 Sulistyowati Irianto dan Lim Sing Meij, “Praktik Penegakan Hukum: Arena Penelitian Sosiolegal Yang Kaya. Dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta. Metode Penelitian Hukum (Konstelasi dan Refleksi”, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2011), hal. 191. 17 Peter Mahmud Marzuki, Loc Cit, hal.178



7



Korporasi Sebagai Tersangka/Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi dan Konvensi internasional terkait pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi yaitu United Nation Covention Against Corruption (UNCAC) 2003. Putusan pengadilan yang dikaji terkait dengan putusan pemidanaan korporasi pelaku tindak pidana korupsi diantaranya yaitu Perkara PT GJW (Giri Jaladhi Wana) dengan Putusan Nomor 908/ Pid.B/2008/PN.Bjm tanggal 18 Desember 2008, Perkara PT Cakrawala Nusamedia (PT CN), dengan Putusan Nomor 65/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Bdg, Perkara PT Indosat Multi Media (IM2), Putusan Nomor 01/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Pst dan Perkara Tindak Pidana Perpajakan A.n Sawir Laut dengan Putusannya Nomor 234/PID.B/2011/PN.JKT.PST Adapun literature yang digunakan dalam kajian agar terhindar dari kekeliruan pandangan adalah yang berkaitan dengan filsafat pemidanaan dan teori pertanggungjawaban pidana korporasi. Bahan-bahan hukum dan literatur tersebut dikumpulkan melalui metode sistematis dan dicatat dalam kartu antara lain permasalahannya, asas-asas, argumentasi, implementasi yang ditempuh, solusi permasalahan dan lain sebagainya. Data yang telah dikumpulkan kemudian dideskripsikan dan diinterpretasikan sesuai pokok permasalahan selanjutnya disistematisasi, dieksplanasi, dan diberikan argumentasi. Metode analisis yang diterapkan



untuk



mendapatkan



kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah



melalui analisis yuridis kualitatif. C. PEMBAHASAN Perspektif Penuntut Umum Terhadap Tindak pidana korporasi di Indonesia Prespektif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu “Sudut pandang atau cara pandang”.18 Sehingga dapat di kaitkan bahwa Prespektif Penuntut Umum adalah cara pandang atau sudut pandang suatu hal yang dilakukan Oleh Jaksa Penuntut Umum. Undang-undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan telah menyebut Tugas dan Wewenang Kejaksaan yang tertuang didalam Pasal 30 Ayat (1) yaitu disebutkan bahwa: 1. Di bidang pidana : a. melakukan penuntutan; b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;



18



Kamus Besar Bahasa Indonesia, Diakses 2 Agustus 2021



8



c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang; e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 2. Di bidang perdata dan tata usaha negara : Kejaksaan dengan kuasa khusus, dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. 3. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. pengawasan peredaran barang cetakan; d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Beranjak dari pasal 30 Ayat 1 angka (1) huruf d disebutkan bahwa tugas kejaksaan di bidang pidana yaitu: “melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang”, sehingga dari sini kejaksaan melalui bidang Tindak Pidana Khusus melakukan penyidikan terhadap perkara tertentu sesuai dengan undang-undang,



sesuai



dengan studi kasus yang diangkat didalam tulisan ini adalah mengenai beberapa perkara korupsi yang dilakukan oleh Korporasi sebagai subjek hukum dan terlihat bahwa dari putusan yang disajikan ada perbedaan penerapan dari segi pertanggung jawaban koorporasi menurut aparat penegak hukum baik penyidik kepolisian, kejaksaan dan hakim yaitu:19 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab Pengurus korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu, kewajiban- kewajiban tersebut sebenarnya merupakan kewajiban dari korporasi, sehingga kepada pengurus yang tidak memenuhi kewajiban tersebut diancam dengan pidana.20 Pada sistem ini terdapat suatu Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, Cet.l, hal.58-59. Lihat juga, Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hal.163-164 Muladi & Dwidja Priyato, “Fungsionalisasi Hukum Pidana di Dalam Kejahatan yang Dilakukan Oleh Korporasi, Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi”, Yogyakarta, Universitas Hukum Diponegoro, 1989, hal. 68. 19 20



9



alasan yang menghapuskan pidana, dasar pemikirannya adalah bahwa korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu penguruslah yang melakukan tindak pidana itu, sehingga penguruslah yang diancam pidana dan dipidana. Jadi sistem pertanggungjawaban pidana ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan, sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana itu dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi itu. Sistem ini membedakan antara tugas pengurus dengan pengurus.21 Pengurus akan bertanggungjawab secara personal untuk perbuatan kriminalnya jika pengurus secara langsung bertindak, menginstruksikan, membantu, mempermudah, mendukung, ataupun berkonspirasi dengan karyawan lain ataupun bawahan untuk terlibat dalam aktivitas kriminal. Sehingga pengurus korporasi bisa juga bertanggungjawab di bawah doktrin “pengurus bertanggungjawab” jika pengurus berposisi dalam menghindari aktivitas kriminal dan perundang-undangan yang terlibat tidak mebutuhkan penemuan mens rea supaya sebuah pelanggran kriminal terjadi.22 Studi kasus Pertama yaitu pada perkara PT GJW (Giri Jaladhi Wana) yang didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi dan dituntut ke persidangan oleh jaksa penuntut umum setelah terlebih dahulu direktur utamanya (SW) dipidana (berdasarkan Putusan Nomor 908/ Pid.B/2008/PN.Bjm tanggal 18 Desember 2008 yang mana putusan tersebut telah dikuatkan dengan Putusan Nomor 02/PID/SUS/2009/ PT.BJM tanggal 25 Februari 2009 dan kasasi terdakwa telah ditolak berdasarkan Putusan Nomor 936 K/Pid.Sus/2009 tanggal 25 Mei 2009). Majelis hakim melalui Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm memutuskan persis sama dengan tuntutan yaitu menyatakan PT GJW telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut sebagaimana dalam dakwaan primer, karenanya kepada PT GJW dijatuhkan pidana denda sebesar Rp1.300.000.000,- (satu miliar tiga ratus juta rupiah) serta pidana tambahan berupa penutupan sementara PT GJW selama enam bulan. Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Banjarmasin melalui Putusan Nomor 04/PID.SUS/2011/PT.BJM menguatkan Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm tanggal 09 Juni 2011 dengan perbaikan sekedar mengenai besarnya sehingga menyatakan terdakwa PT GJW telah terbukti secara sah dan meyakinkan 21



Alvi Syahrin, Makalah: ”Tindak Pidana Korporasi”,( Medan:Universitas Sumatera Utara, 2008),



hal.8, Joel M. Andrhopy, “General Corporate Criminal Liability”, (Texas Bar Journal Vol. 60/ No.2/ Februari 1997), hal. 5 22



10



bersalah melakukan tindak pidana “korupsi secara berlanjut” dan karenanya menjatuhkan kepada terdakwa PT GJW pidana denda sebesar Rp1.317.782.129,- (satu miliar tiga ratus tujuh belas juta tujuh ratus delapan puluh dua ribu seratus dua puluh sembilan rupiah) serta menjatuhkan pidana tambahan berupa penutupan sementara PT GJW selama enam bulan. Studi Kasus kedua adalah perkara PT Cakrawala Nusamedia (PT CN) didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Jo Pasal 20 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi (primer) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Jo Pasal 20 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi (subsider). YW selaku direktur PT CN mewakili di persidangan dan menyaksikan tuntutan terhadap



korporasinya.



Majelis



hakim



mengadili



dengan



Putusan



Nomor



65/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Bdg yang menyatakan terdakwa PT CN terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer. Oleh karenanya menjatuhkan pidana kepada terdakwa PT CN dengan pidana denda sebesar Rp700.000.000,- (tujuh ratus juta rupiah) dengan ketentuan jika terdakwa PT CN tidak membayar denda tersebut dalam tenggang waktu satu bulan terhitung sejak putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, maka harta benda terpidana PT CN dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar denda tersebut.23 2. Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab Menetapkan korporasi sebagain pembuat dapat dilakukan dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan/ pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut dan juga apa yang dilakukan oleh alat perlengakapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tersebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab atas pidana itu, terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu, untuk hal tersebut Roeslan saleh setuju bahwa prinsip ini hanya berlaku untuk pelanggaran saja. Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi hanya apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh personil korporasi yang memiliki kewenangan untuk dapat bertindak sebagai directing mind (direksi dan/ komisaris) korporasi. Namun pada kenyataannya secara formal yuridis bukan saja direksi yang menjadi 23



Budi Suhariyanto, Putusan Pemidanaan Terhadapn Korporasi Tanpa Didakwakan Dalam Perspektif Vicarious Liability, Jurnal Yudisial Volume Volume 10 Nomor 1 (April 2017), hlm.28



11



directing mind tetapi pemegang saham pengendali juga disebut sebagai directing mind karena ia dapat mempengaruhi direksi atau komisaris karena sebagai pemegang saham terbanyak. Korporasi sebagai pembuat (pelaku) dan pengurus yang bertanggungjawab, dipandang dilakukan oleh korporasi yaitu apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya dan juga dari surat keputusan pengurus yang berisi pengangkatan pejabat-pejabat (managers) untuk mengisi jabatanjabatan tertentu. Pembedaan faktor antara pegawai yang merupakan directing mind dan pegawai biasa terletak pada derajat kewenangan untuk membuat keputusan yang dilaksanakan seseorang. Studi Kasus ketiga yaitu perkara putusan pemidanaan terhadap PT Indosat Multi Media (IM2). Pada perkara ini yang ditetapkan dan diperiksa sebagai tersangka dan terdakwa di persidangan pengadilan tindak pidana korupsi adalah direktur utamanya yaitu IA. Jaksa penuntut umum menuntut agar pengadilan menyatakan terdakwa IA bersalah melakukan tindak pidana melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana dalam surat dakwaan primer dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama sepuluh tahun, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dan dengan membebankan terdakwa untuk membayar denda sebesar Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), subsider enam bulan kurungan dan dengan perintah terdakwa segera ditahan di rutan serta uang pengganti sebesar Rp1.358.343.346.674,- (satu triliun tiga ratus lima puluh delapan miliar tiga ratus empat puluh tiga juta tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh empat rupiah) dibebankan kepada PT Indosat dan PT IM2, yang penuntutannya dilakukan secara terpisah. Majelis hakim melalui Putusan Nomor 01/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Pst memutuskan dan menyatakan terdakwa IA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “korupsi dilakukan secara bersama-sama”, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama empat tahun dan menjatuhkan pidana denda sebesar Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan bila denda tersebut tidak dibayar diganti pidana kurungan selama tiga bulan dan menghukum PT IM2 membayar uang pengganti sebesar Rp1.358.343.346.674,- (satu triliun tiga ratus lima puluh delapan miliar tiga ratus empat puluh tiga juta tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh empat rupiah) paling lama dalam waktu satu tahun setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap. Atas putusan ini, baik penuntut umum dan penasihat hukum terdakwa mengajukan banding. Melalui Putusan Nomor 33/PID/TPK/2013/PT.DKI menerima permintaan banding tersebut 12



dan mengubah Putusan Nomor 01/Pid.Sus/2013/ PN.Jkt.Pst berkaitan dengan meniadakan putusan pidana pada PT IM2 yang sebelumnya dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp1.358.343.346.674,- (satu triliun tiga ratus lima puluh delapan miliar tiga ratus empat puluh tiga juta tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh empat rupiah) paling lama dalam waktu satu tahun setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap. Sementara untuk putusan pemidanaan terhadap terdakwa IA adalah tetap dan sesuai dengan putusan pengadilan negeri. Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung memperbaiki amar Putusan Nomor 33/PID/TPK/2013/PT.DKI yang mengubah Putusan Nomor 01/Pid.Sus/ TPK/2013/PN.Jkt.Pst sekadar mengenai pidana denda dan uang pengganti sehingga amarnya menyatakan terdakwa IA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “korupsi



dilakukan



secara



bersama-sama” dan menjatuhkan pidana terhadap



terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama delapan tahun dan menjatuhkan pidana denda sebesar Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan bila denda tersebut tidak dibayar diganti pidana kurungan selama enam bulan serta menghukum PT IM2 membayar uang pengganti sebesar Rp1.358.343.346.674,- (satu triliun tiga ratus lima puluh delapan miliar tiga ratus empat puluh tiga juta tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh empat rupiah) dengan ketentuan apabila PT IM2 tidak membayar uang pengganti tersebut paling lambat satu bulan sesudah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta benda PT IM2 disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut. Atas putusan kasasi tersebut, terdakwa IA mengajukan peninjauan kembali. Mahkamah Agung pada tingkat peninjauan kembali memutuskan menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali/terpidana IA tersebut dan menetapkan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku. 3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab Korporasi (perusahaan) secara kriminal akan bertanggungjawab untuk tindakantindakan illegal dari pengurus (karyawan) jika pengurus bertindak dalam ruang lingkup wewenangnya dan perlakuannya menguntungkan perusahaan. Karyawan dianggap bertindak dalam ruang lingkup pekerjannya jika karyawan memiliki wewenang actual atau wewenang yang nyata untuk terlibat dalam sebuah tindakan khusus sehingga perusahaan akan bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan karyawan atas nama perusahaan. Wewenang actual adalah sebuah wewenang yang diberikan oleh perusahaan secara sadar dan sengaja terhadap seorang karyawan, jika perlakukan kriminal karyawan secara layak



13



berhubungan dengan kewajibannya sebagai karyawan, perusahaan akan sangat mungkin bertanggungjawab untuk perlakuan tersebut.24 Supaya perusahaan bisa bertanggungjawab secara kriminal maka perlakuan pengurus harus demi keuntungan perusahaan. Perusahaan dianggap telah menerima keuntungan jika karyawan terlibat dalam perlakuan kriminal dengan maksud untung menguntungkan perusahaan. Ketentuan keuntungan dipenuhi walaupun perlakuan karyawan dilakukan untuk perolehan sendiri dan perusahaan pun beruntung dari perlakuan itu. Misalnya suatu kasus melibatkan perusahaan yang dihukum mengatakan bahwa dia tidak akan bertanggungjawab karena aktivitas kriminal dimaksudkan semata-mata untuk menguntungkan karyawan dalam usaha untuk menaiki tangga perusahaan. Namun hakekatnya perusahaan juga menerima keuntungan, dengan memperhatikan fakta promosi karyawan dikondisikan pada keberhasilan perusahaan. Dengan demikian sepanjang karyaan bermaksud untuk menguntungkan perusahaan atau perusahaan menerima keuntungan insidential dari perlakukan karyawan maka perusahaan dianggap telah menerima keuntungan. Doktrin agregation atau pengetahuan kolektif juga bisa digunakan untuk meminta pertanggungjawaban pidana korporasi, doktrin ini membantu proeksekusi dengan mempertalikan pengetahuan seluruh karyawan terhadap perusahaan. Penerapan doktrin ini cocok untuk konteks perusahaan karena perusahaan-perusahaan mengbandingkann pengetahuan, membagikan-bagikan elemen-elemen kewajiban spesifik dan operasi ke dalam komponen-komponen yang lebih kecil. Perusahaan tidak bisa tidak mau tahu karena perusahaan dianggap memiliki pengetahuan kolektif atas seluruh karyawan.25 Hal



selanjutnya



yang



bisa



dijadikan



pertimbangan



untuk



menjerat



pertanggungjawaban pidana korporasi adalah jika korporasi melakukan “kesepelean sengaja (willful blindness)” terhadap aktivitas kriminal. Hal ini berlaku jika seorang manjadi dicurigai melakukan kriminal namun secara sengaja memilih tetap tidak mau tahu dengan tidak membuat penyelidikan lebih lanjut. Dengan sengaja tidak mau tahu untuk menghindari pengetahuan perlakuan kriminal akan mensubjekkan satu pihak ke pertanggungjawaban Joel M. Androphy, Op.Cit, hal.1. Karyawan dianggap memiliki wewenang nyata jika karyawan terlibat dalams ebuah tindakan khusus. Karyawan dianggap memiliki wewenang yang nyata jika terlibat dalam perlakuan yang diyakini oleh pihak ketiga karyawan punya wewenang untuk itu, misalnya: seorang karyawan tidak diberi wewenang untuk memasuki kontrak at as nama majikan namun karena perlakuan karyawan dan status dalam perusahaan pihak ketiga yakin bahwa karyawan memiliki weewenang ekspres untuk secara kontraktual mengikat perusahaan dalam scenario demikian perusahaan kemudian secara kontraktual akan beratnggungjawab atas kontrak yang dilakukan oleh karyawan atas nama perusahaan. 25 Ibid, hal. 2 24



14



pidana. Walaupun umumnya doktrin ini berlaku untuk individu namun berlaku juga untuk korporasi, karena keadaan-keadaan terjadi yang akan membuat orang dalam posisi pengawasan untuk menyelidiki legalitas perlakuan tersangka tertentu, korporasi akan dianggap memiliki pengetahuan atas pelanggaran kriminal yang timbul. Pertanggungjawaban korporasi juga dapat dimintakan jika perusahaan memiliki standar kelalaian (negligence), akan ditemukan dimana kegagalam korporasi menimbulkan tidak adanya tindakan pencegahan yang diambil untuk menghindari resiko. Kelalaian perusahaan bisa juga ditemukan jika tidak ada kebijakan perusahaan untuk menyoroti situasisituasi resiko yang bisa diharapkan muncul dalam bidang aktivitas dimana korporasi beroperasi. Kelalaian tidak lagi tergantung pada kegagalan individu untuk mengambil tindakan pencegahan dalam situasi tertentu, namun bisa ditemukan dalam kegagalan umum perusahaan untuk memperhatikan situasi-situasi resiko. Pendekatan demikian akan lebih baik menunjukkan realitas, dimana bahaya perusahaan sering merupakan hasil dari kesilapan kolektif ataupun inersia umum dalam hal membentuk pengaman yang tepat terhadap resiko. 26 Korporasi juga bisa bertanggungjawab secara kriminal untuk perlakuan karyawannya, terlepas dari status ataupun posisi karyawan dalam perusahaan, selanjutnya agen-agen di luar perusahaan yang bertindak untuk perusahaan juga bisa secara kriminal mengikat perusahaan, walaupun pejabat eksekutif dan direktur tidak mau tahu atas perlakuan kriminal. Satusatunya batasan adalah bahwa karyawan atau agen harus bertindak dalam ruang lingkup wewenangnya serta bertindak dengan maksud untuk menguntungkan perusahaan Studi Kasus keempat, dalam perkara Suwir Laut yaitu melalui putusan Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 2239 K/PID.SUS/2012 mengesampingkan prosedur hukum (tanpa penetapan korporasi sebagai tersangka dan terdakwa) dengan menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap korporasi tanpa didakwa dan dituntutkan oleh jaksa penuntut umum. Pada awalnya Jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan agar majelis hakim memutuskan dengan menyatakan terdakwa Suwir Laut bersalah melakukan tindak pidana perpajakan yaitu dan menjatuhkan pidana terhadapnya berupa pidana penjara selama tiga tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa segera ditahan, ditambah dengan denda sebesar Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) subsider enam bulan kurungan, menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp5.000,- (lima ribu rupiah). Atas tuntutan ini, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta 26



Jenifer A. Quaid, “The Asessment of Corporate Criminal Libility on the Basis of Corporate Identity: An Analisis”, (Coulumbia: McGill Law Journal No. 67, 1998),hal 111.



15



Pusat dalam Putusannya Nomor 234/PID.B/2011/PN.JKT.PST memutuskan mengabulkan eksepsi prematur dari penasihat hukum terdakwa dan menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa karena prematur tidak dapat diterima. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut, jaksa penuntut umum mengajukan upaya hukum banding. Pengadilan Tinggi Jakarta melalui Putusan Nomor 241/ PID/2012/PT.DKI menerima permintaan banding dari jaksa penuntut umum dan memutuskan menguatkan Putusan Nomor 234/PID.B/2011/ PN.JKT.PST yang dimohonkan banding tersebut. Tidak terima atas putusan Pengadilan Tinggi tersebut, jaksa penuntut umum mengajukan kasasi. Melalui Putusan Nomor 2239 K/PID. SUS/2012, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari jaksa penuntut umum dan membatalkan Putusan Nomor 241/ PID/2012/PT.DKI tanggal 23 Juli 2012 yang menguatkan Putusan Nomor 234/PID.B/2011/ PN.JKT.PST. Studi kasus diatas kasus diatas terlihat terdapat beberapa keganjalan dalam penerapan tindak pidana korporasi khususnya mengenai pertanggungjawaban yaitu sebagai berikut : A. Identifikasi Terdakwa Putusan menyebut secara eksplisit terdakwanya adalah pengurus korporasi secara individual (Studi kasus perkara Suwir Laut). Akan tetapi, penuntut umum dalam dakwaaan maupun surat tuntutan serta putusan hakim dalam pertimbangannya mengaitkan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi. Kelihatannya pengaitan dengan pertanggungjawaban korporasi ini dilatarbelakangi keinginan untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada korporasi karena kemudian memang ternyata diikuti amar yang menjatuhkan pidana terhadap korporasi. Penjatuhan pidana kepada korporasi yang tidak didakwa dalam surat dakwaan jelas melanggar prinsip dasar dalam hukum acara pidana atau “Ultra Petita”. Ultra Petita di ambil dari kata “Ultra” yakni Lebih, melampaui, ekstrim, sekali dan “Petita” yakni permohonan. “Ultra Petita” adalah penjatuhan putusan oleh Majelis hakim atas suatu perkara yang melebihi tuntutan atau dakwaan yang diajukan oleh jaksa Penuntut umum atau menjatuhkan putusan terhadap perkara yang tidak diminta oleh Jaksa penuntut umum. Menurut I.P.M. Ranuhandoko dalam “buku Terminologi Hukum” ultra petita adalah melebihi yang diminta. Ultra petitum diatur dalam pasal 178 ayat (3) HIR dan pasal 189 ayat (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut(petitum). 16



Mencampuradukkan pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus terjadi karena kurangnya pemahaman tentang konsep bahwa mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana berbeda dengan mempertanggungjawabkan pribadi pengurus. Perlakuan terhadap korporasi sebagai subjek



hukum



pidana sudah harus dimulai sejak tahap



penyidikan. Beberapa Pendekatan yang digunakan didalam menentukan Pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu: 1.



Doctrine of Strict Liability Menurut doktrin atau ajaran strict liability, pertanggungjawaban pidana dapat



dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu membuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) dari pelaku. Strict liability disebut juga absolute liability atau pertanggungjawaban mutlak.27 Dalam bahasa Belanda doktrin strict liability atau pertanggungjawaban mutlak dikenal juga dengan nama leer van het materielle feit atau fait materielle. Prinsip ini berlawanan dengan asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana, yaitu "tidak dipidana jika tidak ada kesalahan" (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi facit mens sit rea).28 Berkenaan dengan ini, Moeljatno memberikan contoh hukum pidana fiskal yang tidak menggunakan kesalahan. Kalau orang telah melanggar ketentuan, dia diberi pidana denda atau rampas. Contoh lainnya adalah pelanggaran. 29 Secara sederhana Packer menyatakan strict liability merupakan pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa tradisi lama dalam hukum pidana telah mengalami erosi dan keruntuhan dengan digunakannya ajaran strict liability. Strict liability sesuai dengan tujuannya yaitu menolak memberikan perhatian terhadap pembuktian kesalahan. Salah satu kasus yang cukup populer di Amerika berkenaan dengan doktrin strict liability adalah kasus United States v. Dotterweich. Hal yang menarik dalam kasus tersebut hakim pengadilan tinggi Mr. Justice Frankfurter menilai bahwa secara esensial tidak ada perbedaan antara strict liability dengan vicarious liability. Menurut dia, bila tanggung jawab yang dikenakan adalah langsung/mutlak Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, hal.78. "Doktrin strict liability atau pertanggungjawaban mutlak dalam bahasa belanda dikenal juga dengan nama leer van het materielle feit atau fait materielle". 28 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta,2008), hal.165. 29 Ibid. Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dahulu dijalankan atas pelanggaran, tetapi sejak adanya arrest susu dari HR 1916 Nederland, hal itu ditiadakan. Juga bagi delikdelik jenis overtredingen, berlaku asas tanpa kesalahan, tidak mungkin dipidana. Arrest susu HR 14 Februari 1916 (van Bemmelen Arresten Strafrecht). 27



17



(strict liability), tanggung jawab (liability) itu juga vicarious. Oleh karena itu, atas tindakan tersebut mens rea tidak perlu dipertimbangkan. Dalam bentuk strict liability, mens rea dinilai berdasarkan asumsi dan tidak perlu dibuktikan.30 2.



Doctrine of Vicarious Liability/Respondeat Superior Teori atau doktrin atau ajaran ini diambil dari hukum perdata yang diterapkan



pada hukum pidana. Vicarious liability biasanya berlaku dalam



hukum perdata tentang



perbuatan melawan hukum (the law of torts). Menurut asas respondeat superior di mana ada hubungan antara master dan servant atau antara principal dan agent, berlaku maksim yang berbunyi qui facit per alium facit per se pengertiannya seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu. Contohnya adalah seorang principal (pemberi kuasa) bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh agent (penerima kuasa) sepanjang perbuatan itu dilakukan dalam lingkup kewenangannya (tidak keluar dari batas kewenangannya). 3.



Doctrine of Delegation Doctrine of delegation merupakan salah satu dasar pembenar untuk dapat



membebankan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pegawai kepada korporasi. Menurut doktrin ini, alasan untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adalah adanya pendelegasian wewenang dari seseorang kepada orang lain untuk melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. Dalam perkara Allen v Whitehead (1930) I KB 211, terdakwa yaitu pemilik sebuah kafe yang telah mendelegasikan pengelolaan kafe miliknya kepada seorang pegawainya. Sekalipun terdakwa tidak mengetahui bahwa bangunan 30



Herbert L. Packer, “The Limits of The Criminal Sanction”, (California : Stanford University Press, 2008), hal.123-126. Packer memberikan contoh kasus yang cukup populer dalam penggunaan doktrin strict liability di Amerika yaitu perkara United States v. Dotterweich. "Pertanyaan utama dalam perkara tersebut adalah apakah pemimpin (president) perusahaan yang telah mengirimkan dan memperdagangkan produk yang telah terkontaminasi atau produk gaga! ke beberapa negara bagian adalah "orang" yang telah terlibat dalam pengiriman dan perdagangan obat tersebut. Perusahaan obat Buffalo yang merupakan wholeseller telah membeli obat dari pabrik, kemudian mengemas ulang obat tersebut dengan menggunakan label atau mereknya sendiri, dan menjualnya berdasarkan pesanan dari dokter atau klinik. Dotterweich dan perusahaan tersebut (Buffalo) kemudian dituntut atas dua pengiriman barang yang diduga telah terkontaminasi atau merupakan produk gagal ke negara bagian. Tindakan tersebut dianggap melanggar Undang-Undang tentang Makanan, Obat, dan Kosmetik. Pengiriman pertama barang tersebut mengandung bahan senyawa cascara yang sesuai dengan spesifikasi, tetapi label yang digunakan sebagai petunjuk kandungan obat berbeda dengan formula yang telah ditentukan secara nasional. Diduga perusahaan masih menggunakan label lama yang seharusnya tidak lagi digunakan. Pengiriman yang kedua adalah obat digitalis (obat tablet). Perusahaan (Buffalo) tidak memproduksi sendiri obat tersebut, tetapi mengemas ulang dengan label dan mereknya sendiri. Berdasarkan pembuktian, tidak ada tindakan segera untuk melakukan analisis terhadap kandungan kimia dalam tablet sehingga penjual dapat mengetahui bahwa kandungan dalam tablet tersebut tidak sesuai dengan apa yang termuat dalam label petunjuk. Dotterweich dinyatakan bersalah dan dihukum membayar denda dan percobaan untuk 60 hari."



18



kafe itu digunakan oleh para pelacur (untuk mejeng atau mangkal para pelacur), namun hal itu diketahui oleh pegawai yang bersangkutan. Terdakwa didakwa telah melakukan tindak pidana berdasarkan preseden dari



Metropolitan, Police Act 1839 karena



"knowingly



permitting or suffering prostitue to remain in a place where refreshments are sold and consumed."31 4.



Doctrine of Identification Teori identifikasi (identification theory) disebut juga teori organ atau alter ego



theory, yang menyatakan bahwa: "The will power of the corporation's



managers represented the



will



power of the corporations. The managers and directors represent the brain, intelligence and the will of the corporations. A sufficiently high ranking corporate member acts not as an agent of the corporations, but as the corporations itself, and represent the nervous system that control what the corporations do.32 Doktrin ini mengajarkan bahwa untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada suatu korporasi, siapa yang melakukan tindak pidana tersebut harus mampu diidentifikasikan oleh penuntut umum. Apabila tindak pidana itu dilakukan oleh mereka yang merupakan "directing mind" dari korporasi tersebut, pertanggungjawaban tindak pidana baru dapat dibebankan kepada korporasi.33Dengan demikian, korporasi hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan individual yang bertindak atas nama korporasi dan orang tersebut memiliki suatu posisi tinggi atau memainkan suatu fungsi kunci dalam struktur pengambilan keputusan korporasi.34 Doktrin alter ego atau teori organ dalam arti sempit (lnggris) mensyaratkan hanya perbuatan pejabat senior (otak korporasi) yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi, sedangkan dalam arti luas (Amerika Serikat) tidak hanya pejabat senior/direktur, tetapi juga agen di bawahnya.35 Teori ini antara lain dipakai dalam kasus H.L. Bolton Engineering Co., Ltd. v T.J. Graham & Sons Ltd. di lnggris (1957). Dalam perkara tersebut ditentukan bahwa perilaku 31



Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, hal.97, Muladi, Op.cit, hal.16. 33 Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, hal. 100. 34 Muladi, loc.cit. 35 Barda Nawawi Arief, Kapita selekta Hukum Pidana, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2003), hal.233. 32



19



(conduct) dan mens rea dari seseorang yang terkait dengan suatu perusahaan dapat diatributkan kepada perusahaan agar pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada perusahaan tersebut. Dengan kata lain, perilaku (conduct) dan sikap kalbu (mens rea) dari orang tersebut dianggap merupakan perilaku dan sikap kalbu dari perusahaan tersebut.36 Mengenai siapa yang disebut sebagai pejabat tinggi atau pejabat senior (senior officer) maka terdapat beberapa pendapat yang disampaikan:37 a. Pada umumnya pejabat senior adalah orang yang mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersama-sama. Pada umumnya pengendali perusahaan adalah "para direktur dan manajer". b. Hakim Reid dalam perkara Tesco Supermarkets Ltd.( 1972): "Untuk tujuan hukum, para pejabat senior biasanya terdiri atas dewan direktur, direktur pelaksana, dan pejabat-pejabat tinggi



lainnya yang



melaksanakan fungsi manajemen dan berbicara serta berbuat untuk perusahaan'; Konsep pejabat senior tidak mencakup "semua



pegawai



perusahaan yang bekerja atau melaksanakan petunjuk pejabat tinggi perusahaan" c. Menurut Lord Morris, pejabat senior adalah orang yang tanggung jawabnya mewakili/melambangkan pelaksana dari the directing mind and will of the company. d.



Viscount Dilhorne berpendapat, pejabat senior adalah seseorang yang dalam kenyataannya mengendalikan jalannya perusahaan (atau ia merupakan bagian dari para pengendali) dan ia tidak bertanggung jawab kepada orang lain dalam perusahaan itu. 36



Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, hal.101. Denning L.J yang menjadi hakim dalam perkara itu memberikan rasionalitas sebagai berikut: "A company may in many ways be likened to a human body. It has a brain and nerve center which controls what it does. It also has hands which hold the tools and act in accordance with directions from center. Some of the people in the company are mere servants and agents who are nothing more than hands to do the work and cannot be said to represent the mind or will. Others are directors and managers who represent the directing mind and will of the company, and control what it does. The state of mind of these managers is the state of mind of the company and is treated by the law as such...(See) Lennard's Carrying Co.Ltd. v Asiatic Petroleum Co.Ltd (1915) AC 705...in cases where the law requires a guilty mind as a condition of a criminal offence, the guilty mind of the directors or the managers will render the company itself guilty. That's is shown by R v ICR Haulage Ltd. (1944) KB 551...in which the court said (at p.559): "Whether in any particular case there is evidence to go to a jury that the criminal act of an agent, including his state of mind, intention, knowledge, or belief is the act of the company...must depend on the nature of the charge, the relative position of the officer or agent, and the other relevant facts and circumstances of the case". 37 Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal.234-236.



20



e.



Lord Diplock mengungkapkan, pejabat senior adalah mereka yang berdasarkan memorandum dan ketentuan yayasan atau hasil keputusan para direktur atau putusan rapat umum perusahaan telah dipercaya melaksanakan kekuasaan perusahaan.



f.



House of Lord mengatakan, manajer



dari salah satu toko/supermarket



berantai tidak dipandang sebagai pejabat senior; ia tidak berfungsi sebagai the directing mind and will of the company. la merupakan salah seorang yang diarahkan atau yang dipekerjakan, tetapi bukan utusan/delegasi perusahaan yang diserahi tanggung jawab." g. Hakim Bowen C.J. dan Franki J. (dalam perkara Universal Telecasters, 1977, Australia) menjelaskan, manajer penjualan (the sales manager) dari perusahaan yang mengoperasikan stasiun televisi bukanlah senior officer. Namun, kemudian Hakim Nimmo J. (hakim ke-3 dalam perkara yang sama, Universal Telecasters) berpendapat berbeda, yaitu manajer penjualan dapat diidentifikasikan sebagai perusahaan, yaitu sebagai senior officer. Walaupun orang itu (manajer penjualan) tidak memiliki kekuasaan manajemen yang umum, ia mempunyai kebijaksanaan manajerial (managerial discretion) yang relevan dengan bidang operasi perusahaan yang menyebabkan timbulnya delik. Dengan kata lain, pejabat perusahaan dapat menjadi senior officer dalam bidang yang relevan, walaupun tidak untuk semua tujuan/umum (a general power ofmanagement). 5.



Expanded Identification Theory Teori ini merupakan pengembangan dari teori identification model di mana prasyarat



untuk dapat memintakan pertanggungjawaban pidana pada korporasi apabila tidak dapat membuktikan bahwa korporasi telah melakukan upaya yang memadai dalam mencegah terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus, pekerja dan/atau kontraktor. Teori ini dikenal juga sebagai teori kegagalan manajemen.38 6.



Doctrine of Aggregation Doctrine of aggregation sering disebut juga teori collective intent. Ajaran ini



memungkinkan agregasi atau kombinasi kesalahan dari sejumlah orang untuk diatributkan kepada korporasi sehingga korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban. Menurut ajaran ini, 38



Allens Arthur Robinson, “Corporate Culture As A Basis For TheCriminal Liability of Corporations”, 2008, hal.6



21



semua perbuatan dan semua unsur mental (sikap kalbu) dari berbagai orang yang terkait secara relevan dalam lingkungan perusahaan dianggap seakan-akan dilakukan oleh satu orang saja.39 Menurut Clarkson dan Keating sebagaimana dikutip oleh Remy Sjahdeini, ajaran agregasi memiliki keuntungan karena dalam banyak kasus tidak mungkin untuk mengisolasi seseorang yang telah melakukan tindak pidana, dengan memiliki mens rea dalam melakukan tindak pidana itu, dari perusahaan tempat dia bekerja. Ajaran ini dapat mencegah perusahaanperusahaan menyembunyikan dalam-dalam tanggung jawabnya dalam struktur korporasi. Apabila dalam ajaran identifikasi cukuplah untuk dapat menemukan hanya satu orang yang perbuatannya dapat diatributkan kepada perusahaan, pada ajaran agregasi diharuskan untuk dapat menemukan beberapa orang yang agregasi dari perbuatan-perbuatan mereka secara keseluruhan diatributkan sebagai perbuatan perusahaan.40 7.



The Corporate Culture Model The corporate culture model atau model budaya kerja perusahaan disebut juga teori



organizational merupakan pendekatan yang telah diterima di Australia. Pendekatan ini memfokuskan pada kebijakan korporasi yang tersurat dan tersirat (implied and express policies of the corporation) yang memengaruhi cara korporasi melakukan kegiatan usahanya. Corporate culture didefinisikan oleh Australian Criminal Code Act 1995 (KUHP Australia) sebagai:41 " on attitude, policy, rule, course of conduct or practice existing within the body corporate generally or in the port of the body corporate in which the relevant activities toke place." Dalam kaitan ini, pertanggungjawaban dapat dibebankan kepada korporasi apabila berhasil ditemukan seseorang yang telah melakukan perbuatan melanggar hukum memiliki dasar yang rasional untuk meyakini bahwa anggota korporasi telah memberikan wewenang atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut. Berkenaan dengan hal itu, menurut the corporate culture model, tidak perlu menemukan orang yang bertanggungjawab atas perbuatan yang melanggar hukum untuk dapat mempertanggungjawabkan perbuatan itu kepada korporasi. Sebaliknya, pendekatan tersebut menentukan bahwa korporasi sebagai satu 39



Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, hal.107-108 Ibid, hal.110 41 Ibid, hal. 111 40



22



kesatuan adalah pihak yang harus juga bertangung jawab karena telah dilakukannya perbuatan yang melanggar hukum dan bukan orang yang telah melakukanperbuatan itu saja yang harus bertanggung jawab.42 8.



Ajaran Gabungan Mardjono dan Remy Sjahdeini menambahkan satu pendekatan dalam kriteria



pertanggungjawaban korporasi, yang disebut dengan ajaran gabungan. Pendekatan tersebut sebenarnya bukan hal baru, tetapi menggabungkan beberapa metode atau pendekatan yang ada, seperti model pendekatan identifikasi dan agregasi. Dengan demikian, menurut mereka pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi dapat dikenakan dengan syarat apabila dipenuhi semua unsur berikut:43 a. Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk comission maupun ommision) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi yang di dalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi. b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi. c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi. d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi. e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana. f. Bagi tindak pidana yang mengharuskan adanya unsur perbuatan (actus reus) dan unsur kesalahan (mens rea), kedua unsur tersebut (actus reus dan mens rea) tidak harus terdapat pada satu orang saja.



9.



Reactive Corporate Fault Reactive corporate fault merupakan suatu pendekatan alternatif yang diusulkan oleh



Fisse and John Braithwaite. Dikemukakannya bahwa apabila actus reus dari suatu tindak pidana terbukti dilakukan oleh atau atas nama korporasi, pengadilan, sepanjang telah dilengkapi dengan kewenangan berdasarkan peraturan mengeluarkan perintah yang kepada perusahaan untuk dapat meminta: 42 43



Ibid, hal.112 lbid, hal.119-123



23



a. Melakukan penyelidikan sendiri mengenai siapa yang bertangung jawab di dalam organisasi perusahaan itu. b.



Untuk mengambil tindakan-tindakan disiplin terhadap mereka yang bertangung jawab.



c. Mengirimkan laporan yang memerinci apa saja tindakan yang telah diambil oleh perusahaan.



B.



Kualifikasi Perbuatan dan Kesalahan Korporasi Korporasi adalah suatu fiksi hukum yang melakukan perbuatan melalui perbuatan



para pengurus dan organ-organ dari korporasi tersebut. Oleh karena itu, untuk mengualifikasi perbuatan pengurus atau organ korporasi sebagai perbuatan korporasi perlu kriteria yang jelas.



Dalam



putusan-putusan



tersebut



di



atas,



pada



umumnya



korporasi



dipertanggungjawabkan bukan hanya untuk perbuatan yang dilakukan oleh petinggi korporasi, tetapi juga untuk pegawai di tingkat yang lebih rendah, bahkan juga pihak ketiga. Dalam kasus Suwir Laut secara faktual terdakwa sebagai manajer sebenarnya tidak termasuk pejabat korporasi yang memiliki kewenangan umum dalam korporasi, tetapi secara materil perbuatannya berperan penting dalam terjadinya tindak pidana sehingga perbuatannya dikualifikasikan sebagai perbuatan korporasi, ditambah lagi karena perbuatannya membawa keuntungan bagi korporasi. Sementara dalam kasus PT Giri Jaladi Wana (GJW) kualifikasi perbuatan korporasi ini dapat dilakukan secara derivatif dengan argumen yang sederhana karena adanya uraian fakta yang menunjukkan bahwa St. Widagdo merupakan direktur utama yang bertindak



untuk dan atas nama korporasi dan perbuatannya



dalam rangka mencapai maksud dan tujuan korporasi serta membawa manfaat bagi korporasi. Semua putusan di atas tampaknya teguh memegang prinsip pada asas tiada pidana tanpa kesalahan. Hanya saja proses mengidentifikasi kesalahan pengurus sebagai kesalahan korporasi tidak didukung argumen yang memadai. Pada umumnya hanya dinyatakan bahwa kesalahan pengurus dianggap sebagai kesalahan korporasi karena perbuatan dilakukan untuk kepentingan korporasi. Pemahaman konsep teoretis tentang identifikasi kesalahan ini penting agar tidak merancukan prinsip yang sebenarnya bertentangan. Dalam kasus Suwir Laut, Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menegaskan berlakunya asas tiada pidana tanpa kesalahan, tetapi mencampuradukkan 24



dengan prinsip vicarious liability yang padahakikatnya merupakan salah satu bentuk dari liability without fault. Pembuktian kesalahan korporasi dapat dilakukan secara derivatif, artinya kesalahan pelaku



material



langsung diidentifikasi sebagai kesalahan korporasi apabila pelaku



merupakan pejabat tinggi korporasi yang dapat dianggap sebagai personifikasi korporasi. Akan tetapi, bila pelaku bukan merupakan pejabat tinggi korporasi, kesalahan pegawai rendah atau



bahkan



pihak



ketiga



tidak



dapat langsung diidentifikasi sebagai



kesalahan korporasi. Jika demikian, identifikasi kesalahan harus dilakukan secara ditektif, yakni cukup apabila ada petunjuk-petunjuk yang mengarah adanya kesalahan pada korporasi misalnya pembiaran atau penerimaan manfaat dari tindak pidana. Bentuk kesalahan pelaku material yang dapat diidentifikasi menjadi kesalahan korporasi, baik mencakup kesengajaan maupun culpa. Studi kasus diatas juga dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa begitu panjang nya birokarsi pemerikasaan yang melibatkan instansi diluar kejaksaan dalam mengungkap tindak pidana korporasi yang notabennya sangat merugikan keuangan negara dibandingkan yang dilakukan subjek hukum orang/individu, oleh sebab itu dari prespektif Penuntut Umum untuk memotong rantai pemeriksaan tindak pidana korporasi tersebut, menurut hemat penulis sesuai dengan Tugas dan wewenang kejaksaan dibidang perdata dan tata usaha sangat jelas di dalam Pasal 30 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia bahwa ”Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”. Dari Pasal tersebut, bidang Perdata dan Tata Usaha Negara merupakan kewengan Jaksa Agung Muda dan Tata Usaha Negara (JAMDATUN) dimana dalam melaksanakan UU tersebut, JAMDATUN berpedoman dengan Peraturan Jaksa Agung No. PER-025/A/JA/11/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penengakan Hukum, Bantuan Hukum, Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum Lain dan Pelayanan Hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Menurut Perja No. PER-025/A/JA/11/2015, Jaksa Pengacara Negara adalah Jaksa yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus melakukan Penegakan Hukum dan Bantuan Hukum atau berdasarkan Surat Perintah melakukan Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum Lain dan Pelayanan Hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Tugas wewenang penegakan hukum berdasarkan pengertian umum poin 9 pada Lampiran Perja No. PER-025/A/JA/11/2015 adalah kegiatan Jaksa Pengacara Negara untuk 25



mengajukan gugatan atau permohonan kepada pengadilan di bidang perdata sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka memelihara ketertiban hukum, kepastian hukum, dan melindungi kepentingan Negara dan Pemerintah serta hak-hak keperdataan masyarakat. Selanjutnya tugas wewenang Bantuan Hukum berdasarkan pengertian umum poin 10 pada Lampiran Perja No. PER-025/A/JA/11/2015 adalah pemberian Jasa Hukum di Bidang Perdata oleh Jaksa Pengacara Negara kepada Negara atau Pemerintah untuk bertindak sebagai kuasa hukum berdasarkan Surat Kuasa Khusus baik secara Non Litigasi maupun Litigasi



di



Peradilan



Perdata



serta



Intervensi/Pemohon/Pelawan/Pembantah



Arbitrase



atau



sebagai



Penggugat/Penggugat



Tergugat/Tergugat



Intervensi/Termohon/



Terlawan/Terbantah, serta pemberian Jasa Hukum di Bidang Tata Usaha Negara oleh Jaksa Pengacara Negara kepada Negara dan Pemerintah sebagai Tergugat/Termohon di Peradilan Tata Usaha Negara dan sebagai wakil Pemerintah atau menjadi Pihak Yang Berkepentingan dalam Perkara Uji Materiil Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi dan sebagai Termohon dalam Perkara Uji Materiil terhadap Peraturan di Bawah Undang-Undang di Mahkamah Agung. Kemudian tugas wewenang Pertimbangan Hukum berdasarkan pengertian umum poin 16 pada Lampiran Perja No. PER-025/A/JA/11/2015 adalah Jasa Hukum yang diberikan oleh Jaksa Pengacara Negara kepada Negara atau Pemerintah, dalam bentuk Pendapat Hukum (Legal Opinion/ LO) dan/atau Pendampingan Hukum (Legal Assistance/LA) di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara dan/atau Audit Hukum (Legal Audit) di Bidang Perdata. Selanjutnya tugas wewenang Pendapat Hukum (Legal Opinion/LO) berdasarkan pengertian umum poin 17 pada Lampiran Perja No. PER-025/A/JA/11/2015 adalah Jasa Hukum yang diberikan oleh Jaksa Pengacara Negara dalam bentuk tertulis sesuai dengan fakta hukum tentang suatu permasalahan Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yang dibuat atas permintaan dan untuk kepentingan Negara atau Pemerintah. Kemudian berdasarkan



tugas



pengertian



wewenang umum



Pendampingan poin



18



pada



Hukum



(Legal



Lampiran



Assistance/LA)



Perja No.



PER-



025/A/JA/11/2015 adalah Jasa Hukum yang diberikan oleh Jaksa Pengacara Negara berupa pendapat hukum secara berkelanjutan atas suatu kegiatan yang diajukan oleh Pemohon dan diakhiri dengan kesimpulan atas pemberian Pendapat Hukum tersebut dalam bentuk Berita Acara Pendampingan Hukum.



26



Selanjutnya tugas wewenang Audit Hukum (Legal Audit) berdasarkan pengertian umum poin 19 pada Lampiran Perja No. PER-025/A/JA/11/2015 adalah Jasa Hukum yang diberikan oleh Jaksa Pengacara Negara berupa kegiatan pemeriksaan secara menyeluruh dan seksama dari segi hukum yang dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara atas permintaan Negara atau Pemerintah terhadap suatu perbuatan yang telah dilaksanakan yang berkaitan dengan Hukum Perdata untuk menggambarkan kepatuhan terhadap ketentuan hukum atas suatu kegiatan atau badan hukum secara yuridis normatif. Objek dari audit hukum dilakukan terhadap Korporasi secara keseluruhan terhadap kegiatan yang merugikan keuangan Negara. Tujuan dari audit hukum yaitu Memperoleh status hukum atau penjelasan hukum terhadap dokumen yang diaudit atau diperiksa, Memeriksa legalitas korporasi, memeriksa tingkat ketaatan korporasi dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan, memberikan penilaian terhadap suatu kegiatan yang telah dilakukan oleh korporasi. Menurut Pasal 138 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), pemeriksaan terhadap Perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan mengenai terdapatnya dugaan bahwa suatu Perseroan telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga; atau jika anggota Direksi maupun Dewan Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga. Prosedur Pemeriksaan Perseroan Terbatas yaitu sebagai berikut: 1. Pengajuan Permohonan Pemeriksaan Perseroan Terbatas dilakukan dengan cara mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan. Permohonan tersebut dapat diajukan oleh: a. 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara; b. Pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar Perseroan atau perjanjian dengan Perseroan diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan; atau c. Kejaksaan untuk kepentingan umum. Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam angka 1 (a) diatas, diajukan setelah pemohon terlebih dahulu meminta data atau keterangan kepada Perseroan dalam RUPS namun Perseroan tidak memeberikan data atau keterangan tersebut (Pasal 138 ayat (4) 27



UUPT). Permohonan untuk mendapatkan keterangan atau permohonan pemeriksaan tersebut harus didasarkan atas alasan yang wajar dan itikad baik (Pasal 138 ayat (5) UUPT). 2. Pemeriksaaan Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak atau mengabulkan permohonan apabila permohonan tersebut tidak didasarkan atas alasan yang wajar dan itikad baik. Apabila permohonan dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan pemeriksaan dan mengangkat paling banyak 3 (tiga) orang ahli untuk melakukan pemeriksaan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan yang diperlukan (Pasal 139 ayat (3) UUPT). Tiga (3) orang ahli yang dapat diangkat tersebut tidak boleh dari kalangan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, karyawan Perseroan, konsultan, dan akuntan publik yang telah ditunjuk oleh Perseroan. Seorang ahli yang dimaksud pada Pasal 139 ayat (3) UUPT mempunyai hak untuk memeriksa semua dokumen dan kekayaan Perseroan yang dianggap perlu oleh dirinya untuk diketahui, dan juga berkewajiban merahasiakan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Setiap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan semua karyawan Perseroan lalu berkewajiban



memberikan segala keterangan yang diperlukan untuk pelaksanaan



pemeriksaan.  3. Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan hasil pemeriksaan disampaikan oleh ahli kepada ketua pengadilan negeri dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam penetapan pengadilan untuk pemeriksaan yaitu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal pengangkatan ahli tersebut. Lalu, ketua pengadilan negeri memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan kepada pemohon dan Perseroan yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal laporan hasil pemeriksaan diterima (Pasal 140 ayat (1) dan (2) UUPT). D. PENUTUP Sejak



di



terbitkannya



Surat



Edaran



Kejaksaan



Agung



RI



Nomor



B-



36/A/Ft.1/06/2009 perihal Korporasi Sebagai Tersangka/Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi dan Surat Edaran tersebut menjadi Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 28



tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi sangat di apresiasi sebagai wujud percepatan dalam penanganan tindak pidana korporasi namun sebagai Perspektif Penuntut umum terhadap tindak pidana korporasi di Indonesia terlihat dari studi kasus yang dipaparkan banyak kelemahan seperti: “Lamanya Birokrasi pemeriksaan antar institusi penyidik (Kepolisian, KPK, Kejaksaan) terhadap Pidana Pokoknya dan terjadi kesalahan didalam penentuan Identifikasi Terdakwa dan kesalahan didalam Kualifikasi Perbuatan dan Kesalahan Korporasi”, perihal ini lah yang mendorong penulis untuk mengembangkan diri dan memberikan usul agar untuk mengakomodir dibentuknya Badan atau Unit khusus di Kejaksaan mengenai TINDAK PIDANA KORPORASI agar lebih mandiri dan fokus, dimana itu semua perlu diambil langkah strategis untuk penguatan kelembagaan penuntut umum karena di dalam Pasal 30 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah mengatur tentang: ”Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”. Dan hal itu sudah diakomdir didalam poin 19 Peraturan Jaksa Agung No. PER-025/A/JA/11/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penengakan Hukum, Bantuan Hukum, Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum Lain dan Pelayanan Hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Ditambah lagi peraturan perundang-undangan yang khusus sebagai Lex Spesialis juga sudah mengamanatkan pada Pasal 138 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), pemeriksaan terhadap Perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan mengenai terdapatnya dugaan bahwa suatu Perseroan telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga; atau jika anggota Direksi maupun Dewan Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga.



29



Daftar Pustaka Buku-buku Arief, Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, PT Citra Aditya Bakti -------------------------, 2003, Kapita selekta Hukum Pidana, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti. Hiariej, Eddy O.S., 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka Kelompok Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Irianto, Sulistyowati dan Lim Sing Meij, 2011, Praktik Penegakan Hukum: Arena Penelitian Sosiolegal Yang Kaya, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia ------------------------ dan Shidarta, 2011, Metode Penelitian Hukum (Konstelasi dan Refleksi), Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Kristian, 2014, Hukum Pidana Korporasi: Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung: Nuansa Aulia. Kristian, 2018, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Sinar Grafika. Marzuki, Peter Mahmud, 2014, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta. Packer , Herbert L., 2008, The Limits of The Criminal Sanction, California: Stanford University Press. Priyato, Dwidja & Muladi, 1989, “Fungsionalisasi Hukum Pidana di Dalam Kejahatan yang Dilakukan Oleh Korporasi, Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi”, Yogyakarta, Universitas Hukum Diponegoro. Robinson, Allens Arthur, 2008 “Corporate Culture As A Basis For TheCriminal Liability of Corporations”, California: Stanford University Press. Syahrin, Alvi, 2008, Makalah: ”Tindak Pidana Korporasi”, Medan:Universitas Sumatera Utara. 30



Sjahdeini, Sutan Remy, 2007, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: PT Grafiti Pers. Jurnal Andrhopy , Joel M.,(1997), General Corporate Criminal Liability, Texas Bar Journal Vol. 60/No.2/ Februari 1997. PRAHANELA, R. (2017), “Kegagalan Implementasi Diversi Dalam Tahap Penuntutan.” Jurnal Komunikasi hukum. Vol 1, (Doctoral dissertation, Universitas Sebelas Maret). Suhariyanto, Budi, Putusan Pemidanaan Terhadapn Korporasi Tanpa Didakwakan Dalam Perspektif Vicarious Liability, Jurnal Yudisial Volume Volume 10 Nomor 1 (April 2017). Quaid, Jenifer A., The Asessment of Corporate Criminal Libility on the Basis of Corporate Identity: An Analisis, (Coulumbia: McGill Law Journal No. 67, 1998). Peraturan Perundang-undangan Undang-undang dasar 1945, pasal 1 ayat 3 (amandemen ke4) Peraturan Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, “Penelitian hukum tentang Aspek Hukum Pemberantasan Korupsi di Indoneisa” Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi Rujukan Elektronik/Internet Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (2 Agustus 2021)



31



32