Pertemuan Ke-7 PERPAJAKAN INTL - MARDANI [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MATERI KULIAH : PERBANDINGAN ADMIN. PERPAJAKAN INTERNASIONAL



Pertemuan ke VII Dosen : Drs. Chairil Anwar Pohan, M.Si, MBA



TEMA : KONSEP & JENIS LABA BUT PADA P3B ANTARA INDONESIA DENGAN MANCA NEGARA Pajak-Pajak Yang Tunduk Pada P3B P3B hanya mengatur tentang pajak badan yakni Pajak Penghasilan. Penghasilan tersebut bisa berasal dari : 1. active income (usaha, jasa, pekerjaan, kegiatan), dan juga 2. passive income/capital income (bunga, deviden, royalty). P3B tidak mengatur PPN, PBB, BPHTB, PDRD, Bea&Cukai, dan lain-lain.



Permanent Establishment atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) Pada dasarnya BUT tersebut adalah penduduk asing suatu negara (negara domisili) yang mendapatkan penghasilan dari usaha di negara lain (negara sumber) yang karena memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 5 Tax Treaty dari dua negara yang berhubungan (kaitan ekonomis) sehingga di negara sumber diakui sebagai BUT. Klausul ini mengatur tentang seberapa jauh jangkauan suatu negara dalam mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negara tersebut. Bila negara sumber tersebut misalnya Indonesia, untuk menentukan hak pemajakan suatu negara atas sumber penghasilan dari usaha yang dijalankan wajib pajak luar negeri dapat dikenakan di negara Indonesia atau di negara domisili, untuk itu harus ditentukan apakah entitas atau korporasi tersebut diakui sebagai BUT atau tidak? Jika dianggap sebagai BUT, maka harus mengacu kepada undang-undang negara dimana BUT berkedudukan atau tergantung P3B antar kedua negara.



Macam-Macam/Tipe Bentuk Usaha Tetap Bentuk Usaha Tetap (BUT) dapat dikelompokkan kedalam 4(empat) macam/tipe, yakni : 1. BUT Fasilitas Fisik(assets type) 2. BUTAktivitas (activity type) 3. BUT Keagenan (agency type) 4. BUT Asuransi (insurance type) TIPE BUT BUT dapat dikategorikan menjadi empat macam yaitu: 1. BUT Fasilitas Fisik



BUT tipe ini merupakan tipe yang paling mudah diketahui keberadaannya. BUT timbul karena adanya fasilitas fisik seperti gedung, kantor perwakilan, pabrik, bengkel dan lain-lain; 2.



BUT Aktivitas Timbulnya BUT tipe ini ditandai dengan adanya aktivitas yang melebihi batas waktu tertentu (time test) yang dilakukan di negara lain. Aktivitas tersebut bisa berupa pelaksanaan berbagai macam jasa (seperti jasa konstruksi atau jasa-jasa lainnya). Lamanya time test yang digunakan dapat berbeda-beda antara satu tax treaty dan tax treaty yang lain. Time test ini disesuaikan dengan kesepakatan dari kedua negara;



3.



BUT Asuransi Timbulnya BUT asuransi ditandai dengan keadaan di mana suatu perusahaan asuransi menerima premi atau menanggung risiko di negara lain;



4.



BUT Keagenan BUT tipe keagenan timbul jika terdapat agen di negara lain yang memiliki wewenang untuk menentukan kontrak atau mengurus barang-barang dagang di negara lain.



Di dalam klausul ini juga ditentukan kondisi-kondisi di mana BUT dianggap tidak muncul seperti dalam hal suatu tempat yang hanya berfungsi untuk memajang barang-barang dagangan, tempat yang hanya digunakan untuk pembelian barang dagangan atau mengumpulkan informasi dan sebagainya.



BUT Fasilitas Fisik Tempat usaha tersebut bisa berupa properti sendiri, disewa dari pihak ketiga atau cara lain yang memungkinkan pemanfaatan tempat usaha tersebut. Konvensi OECD dan UN mensyaratkan, tempat usaha tersebut harus mempunyai derajat kepermanenan secara ruang dan waktu (geografis dan time dimension) untuk memenuhi kualifikasi BUT.Jenis BUT ini bermula sejak pengusaha menjalankan aktivitasnya dan berakhir saat berhentinya aktivitas melalui tempat usaha tersebut. Termasuk dalam kelompokBUT Fasilitas Fisik adalah : 1. tempat kedudukan manajemen; 2. cabang perusahaan; 3. kantor perwakilan; 4. gedung kantor; 5. pabrik; 6. bengkel; 7. pertambangan dan penggalian sumber alam; 8. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan. Berikut ini perbandingan BUT Tipe Fasilitas Fisik antara Model PBB(United Nation/UN) dengan Model OECD



Tabel-7.1 Perbandingan BUT Tipe Fasilitas Fisik antara Model PBB(UN) dengan Model OECD Model PBB (UN) *) Model OECD **) Article 5 Article 5 1. The term “permanent establishment” includes 2. The term “permanent establishment” includes especially: especially: (a) a place of management; (a) a place of management; (b) a branch; (b) a branch; (c) an office; (c) an office; (d) a factory; (d) a factory; (e) a workshop, and (e) a workshop, and (f) a mine, an oil or gas well, a quarry or any other (f) a mine, an oil or gas well, a quarry or any other place of extraction of natural resources. place of extraction of natural resources.



*) Department of Economic and Social Affairs-United Nations, United Nation Model Double Taxation Convention between Developed and Developing Countries.New Yorks:United Nations, 2001, hlm. 10 **) OECD Committee on Fiscal Affairs, Model Tax Convention on Income and on Capital, Condensed Version 2 January 2003, US:OECD, 2002, hlm 26.



BUT Aktivitas Termasuk dalam kelompok BUT Aktivitas adalah : 1. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; 2. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Kelompok BUT proyek konstruksi berbeda dengan pemberian jasa :  Kelompok BUT proyek konstruksi tidak mengenal time test. Secara definitif, setiap proyek konstruksi tanpa memperhatikan lamanya kontrak proyek (durasi) akan selalu menjadi BUT.Konsekuensinyasehubungan dengan kemajuan metode konstruksi, penentuan BUT agak sulit dalam hal pemecahan proyek, joint operation, subcontracting dan pelayanan purna jual(after sales service)  Pencantuman time test dalam penentuan BUT jasa di indikasikan untuk mensinkronisasikan dengan praktik internasional.  Dalam hal jasa yang diberikan di Indonesia kurang dari time test 60 hari, dengan pemberian threshold taxation dan penentuan taxable presence, tidak menyebabkan adanya BUT.  Dalam model konvensi (OECD dan UN), konsep pemajakan ambang batas (threshold taxation)yang dipakai adalah fixed basedan bukan BUT. Dengan demikian, UU PPh mempertukarkan konsep BUT dengan fixed base walaupun substansi pemajakannya sama. (Gunadi, 1999:57) Berikut ini perbandingan BUT Tipe Aktivitas antara Model PBB(UN) dengan Model OECD



Tabel7.2 Perbandingan BUT Tipe Aktivitas antara Model PBB(UN) dengan Model OECD Model PBB (UN) *) Model OECD **) Article 5 Article 5 3. The term ―permanent establishment‖ also A building site or construction or installation project encompasses: constitutes a permanent establishment only if it last (a) A building site, a construction, assembly or more than twelve months. installation project orsupervisory activities in connection therewith, but only if such site,project or activities last more than six months; (b) The furnishing of services, including consultancy services, by anenterprise through employees or other personnel engaged by theenterprise for such purpose, but only if activities of that nature continue(for the same or connected project) within a a ContractingState for a period or periods aggregating more than 183 days in any12month period commencing or ending in the fiscal year concerned. *) Department of Economic and Social Affairs-United Nations, United Nation Model Double Taxation Convention between Developed and Developing Countries.New Yorks:United Nations, 2001, hlm. 10 **) OECD Committee on Fiscal Affairs, Model Tax Convention on Income and on Capital, Condensed Version 2 January 2003, US:OECD, 2002, hlm 26. Paling tidak ada duahal penting yang dapat dicatatkan dari ketentuan kedua model tersebut, yakni:



 Bahwa BUT Tipe Aktivitas mensyaratkan time test yang dalam pelaksanaannya diatur oleh Undang-undang pajak masing-masing negara dibawah Tax Treaty dan hasil kompromiyang dicapai.  Dilihat dari sudut kepentingan penerimaan nasional, negara-negara berkembang lebih memilih time test yang lebih pendek karena semakin cepat pula dapat mengenakan pajak kepada mitra usaha mancanegaranya. Contoh-1 Perusahaan QQ Ltd adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi, didirikan dan bertempat kedudukan di Belanda. Pada tahun 2015 perusahaan QQ Ltd mendapatkan sebuah proyek pembangunan jembatan di Indonesia berlokasi di Palembang, dengan masa pekerjaan selama 7 bulan. Ditanya : Bagaimana pemajakan atas proyek pembangunan jembatan di Palembang? Jawab : Sesuai Pasal 5 ayat (3) (a)Tax Treaty Indonesia-Belanda, yang menyatakan : Istilah "bentuk usaha tetap" juga meliputi: suatu bangunan, konstruksi, proyek perakitan atau instalasi, atau kegiatan penyediaan yang berhubungan dengannya, tetapi hanya apabila bangunan, proyek, atau kegiatan tersebut berlangsung untuk masa lebih dari 6 (enam) bulan Pemajakan yang dilakukan di Indonesia adalah sebatas penghasilan yang diperoleh dari proyek konstruksi pembangunan jembatan di Palembang saja. Sedangkan atas penghasilan lainnya yang diperoleh di luar Indonesia, tidak akan dipajaki di Indonesia. Karena masa pekerjaan tersebut berlangsung lebih dari time test (6 bulan), maka Perusahaan QQ Ltd akan dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap di Indonesia. Contoh-2 Perusahaan MNE Pte Ltd adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa konsultan, didirikan dan bertempat kedudukan di Singapura. Pada tahun 2015, perusahaan MNE Pte Ltd memberikan jasa konsultasi kepada PT ABC yang berkedudukan di Indonesia. Dalam rangka pekerjaan tersebut, perusahaan MNE Pte Ltd mengirimkan salah seorang karyawannya ke Indonesia. Sesuai kontrak, jasa konsultasi yang diberikan berlangsung selama 4 bulan. Ditanya : Bagaimana pemajakan atas pemberian jasa konsultasi di Indonesia? Jawab : Sesuai Pasal 5 ayat (3) (b)Tax Treaty Indonesia-Belanda, yang menyatakan : Istilah "bentuk usaha tetap" juga meliputi: pemberian jasa-jasa, termasuk jasa konsultasi, yang dilakukan oleh suatu perusahaan melalui pegawai atau orang lain yang dipekerjakan oleh perusahaan untuk tujuan tersebut, tetapi hanya apabila kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung (dalam proyek yang sama atau yang berhubungan) di salah satu Negara untuk suatu masa atau masa-masa yang berjumlah lebih dari 3 (tiga) bulan dalam periode 12 (dua belas) bulan. Jawab : Apabila pekerjaan tersebut berlangsung kurang dari 3 (tiga) bulan, maka sesuai Pasal 5 ayat (3) (b) Tax Treaty Indonesia-Belanda, belum dianggap ada BUT. Namun mengingat aktivitas tersebut dilakukan selama 4(empat) bulan, maka MNE Pte Ltd dianggap memiliki BUT di Indonesia. Tipe BUT diatas adalah BUT aktivitas pemberian jasa konsultasi di Indonesia.



BUT Keagenan Termasuk dalam kelompok BUT Keagenan adalah orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas (dependent agent). Globalisasi perdagangan internasional memunculkan timbulnya relasi bisnis berupa keagenan di manca negara. Pengusaha manca negara dapat memperluas jaringan usahanya dengan menjalin kemitraan bisnis di Indonesia tanpa harus memiliki properti sendiri atau menyewa dari pihak lain untuk tempat usaha tetapnya. Aktivitas keagenan bisa dilakukan oleh badan atau orang pribadi, dan dalam praktik agak terdapat kesulitan untuk mengidentifikasikan legalitas dependensi keagenan tersebut, legal dalam formalitas atau substansi ekonomis. Berikut ini perbandingan BUT Tipe Keagenan antara Model PBB(UN) dengan Model OECD



Tabel7.3 Perbandingan BUT Tipe Keagenan antara Model PBB(UN) dengan Model OECD Model PBB (UN) *) Model OECD **) Article 5 Article 5 5. Notwithstanding the provisions of paragraphs 1 5. Notwithstanding the provisions of paragraphs 1 and and 2, where a person-other than an agent of an 2, where a person—other than an agent of an independent status to whom paragraph 6 applies independent status to whom paragraph 7 applies— is acting in a Contracting State on behalf of an is acting in a Contracting Party on behalf of an enterprise of the other Contracting State, that enterprise of the other Contracting Party, that enterprise shall be deemed to have a permanent enterprise shall be deemed to have a permanent establishment in the first-mentioned Contracting establishment in the first-mentioned Contracting State in respect of any activities which that person Party in respect of any activities which that person undertakes for the enterprise, if such a person: undertakes for the enterprise, if such a person; (a) Has and habitually exercises in that State an the first(a) has, and habitually exercises, in authority to conclude contracts in the name of mentioned Contracting Party an authority to the enterprise, unless the activities of such conclude contracts in the name of the person are limited to those mentioned in paragraph 4 which, if exercised through a fixed enterprise, unless the activities of such person place of business, would not make this fixed are limited to those mentioned in paragraph 4 place of business a permanent establishment which, if exercised through a fixed place of business, would not make this fixed place of under the provisions of that paragraph; or business a permanent establishment under (b) Has no such authority, but habitually maintains the provisions of that paragraph, or in the first-mentioned State a stock of goods or (b) has no such authority, but habitually merchandise from which he regularly delivers goods or merchandise on behalf of the maintains in the first-mentioned Party a stock enterprise of goods or merchandise from which he regularly delivers goods or merchandise on behalf of the enterprise. *) Department of Economic and Social Affairs-United Nations, United Nation Model Double Taxation Convention between Developed and Developing Countries.New Yorks:United Nations, 2001, hlm. 10-11 **) OECD Committee on Fiscal Affairs, Model Tax Convention on Income and on Capital, Condensed Version 2 January 2003, US:OECD, 2002, hlm 27 Berikut ini perbandingan Pengaturan Tentang Pedagang Perantara(broker) dan Agen yang mendapat komisi(general commission agent) antara Model PBB(UN) dengan Model OECD



Tabel 7.4 Perbandingan BUT Tipe Keagenan antara Model PBB(UN) dengan Model OECD Model PBB (UN) *) Model OECD **) Article 5 Article 5 6. An enterprise of a Contracting Party shall not be 6. An enterprise of a Contracting Party shall not be deemed to have a permanent establishment in the deemed to have a permanent establishment in the other Contracting Party merely because it carries other Contracting Party merely because it carries on business in that other Contracting Party through a on business in that other Contracting Party through a broker, general commission agent or any



broker, general commission agent or any other



other agent of an independent status, provided



agent of an independent status, provided that such



that such persons are acting in the ordinary course of their business.



persons are acting in the ordinary course of their business. However, when the activities of such an agent are devoted wholly or almost wholly on behalf of that enterprise, and conditions are made or imposed between that enterprise and the agent in



their commercial and financial relations which differ from those which would have been made



between independent enterprises, he will not be considered an agent of an independent status within the meaning of this paragraph. *) Department of Economic and Social Affairs-United Nations, United Nation Model Double Taxation Convention between Developed and Developing Countries.New Yorks:United Nations, 2001, hlm. 10-11 **) OECD Committee on Fiscal Affairs, Model Tax Convention on Income and on Capital, Condensed Version 2 January 2003, US:OECD, 2002, hlm 27 Sebagai perbandingan, mari kita lihat Pasal 5 ayat 6 Tax Treaty Indonesia-Malaysia, yakni: Suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan tidak akan dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap di Negara pihak pada Persetujuan lainnya semata-mata karena perusahaan itu menjalankan usaha di Negara pihak pada Persetujuan lainnya tersebut melalui makelar, komisioner umum atau agen lainnya yang berdiri sendiri sepanjang orang dan badan tersebut bertindak dalam rangka kegiatan usahanya yang lazim. Walaupun demikian, bilamana kegiatan agen dimaksud seluruhnya atau hampir seluruhnya dilakukan atas nama perusahaan itu, maka ia tidak akan dianggap sebagai agen yang berdiri sendiri dalam arti ayat ini. Contoh-3 ABC Holding Ltd adalah suatu perusahaan yang didirikan dan bertempat kedudukan di Malaysia. Perusahaan itu menjalankan usaha di Negara Indonesia melalui makelar, komisioner umum atau agen lainnya yang berdiri sendiri yakni PT. KLMyang bertindak dalam rangka kegiatan usahanya yang lazim. Pertanyaan : Bagaimana status ABC Holding Ltd , apakah sebagai WPDN/WPLN/BUT? Jawab : Sesuai Pasal 5 ayat 6 Tax Treaty Indonesia-Malaysia,ABC Holding Ltd Malaysia tidak dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap diNegara Indonesia semata-mata karena perusahaan itu menjalankan usaha di negara Indonesia melalui PT. KLM sebagai makelar, komisioner umum atau agen lainnya yang berdiri sendiri sepanjang PT. KLMtersebut bertindak dalam rangka kegiatan usahanya yang lazim. Contoh-4 QQ Pte. Ltd adalah sebuah perusahaan yang didirikan dan bertempat kedudukan di Singapura. Perusahaan ini mempunyai anak perusahaan yakni PT. KLM yang berkedudukan di Indonesia. dalam kegiatannya di Indonesia, PT KLM bertindak sebagai agen yang kedudukannya tidak bebas dan menutup kontrak untuk dan atas nama QQ Pte. Ltd. Pertanyaan : Bagaimana status PT KLM, apakah sebagai WPDN/WPLN/BUT? Jawab : Dalam kasus diatas, kegiatan PT KLM selaku agen yang kedudukannya tidak bebas dimana seluruhnya atau hampir seluruhnya dilakukan atas nama perusahaan itu, maka ia tidak akan dianggap sebagai agen yang berdiri sendiri karena bertindak untuk dan atas nama QQ Pte. Ltd, sehingga sesuai Pasal 5 ayat 6 Tax Treaty Indonesia-Malaysia status PT KLM adalah bentuk usaha tetap.



BUT Asuransi Termasuk dalam kelompokBUTAsuransi adalah agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia. Premi tersebut dapat termasuk premi reasuransi. Dari Klausula pada Pasal 5 Model PBB (United Nations) sangat jelas ditafsirkan bahwa perusahaan asuransi yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar Indonesia, dianggap mempunyai BUT(permanent establishment) di Indonesia, apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi dan menanggung resiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Berikut ini perbandingan BUT Tipe Aktivitas antara Model PBB(UN) dengan Model OECD



Tabel 7.5 Perbandingan BUT Tipe Asuransi antara Model PBB(UN) dengan Model OECD Model PBB (UN) *) Model OECD Article 5 6. Notwithstanding the preceding provisions of this Tidak ada pengaturan khusus Article, an insurance enterprise of a Contracting State shall, except in regard to re-insurance, be deemed to have a permanent establishment in the other Contracting State if it collects premiums in the territory of that other State or insures risks situated therein through a person other than an agent of an independent status to whom paragraph 7 applies. *) Department of Economic and Social Affairs-United Nations, United Nation Model Double Taxation Convention between Developed and Developing Countries.New Yorks:United Nations, 2001, hlm. 10-11 Contoh-5 PT KK menutup polis asuransi kerugian dengan membayar premi asuransi atas kebakaran gedung yang berlokasi di Jakarta kepada PT CC sebagai sebuah perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. Oleh PT CC kemudian di re-asuransikan kepada DD Ltd, yaitu sebuah perusahaan asuransi yang berkedudukan di Malaysia. Pertanyaan : Bagaimana status DD Ltd, apakah sebagai WPDN/WPLN/BUT? Jawab : Dalam kasus diatas, DD Ltd dianggap memiliki BUT di Indonesia karena menerima pembayaranpremi asuransi dan menanggung resiko di Indonesia.



Ketentuan Atribusi Laba Usaha Pada BUT Penghasilan yang menjadi objek pajak bagi BUT, menurut Pasal 5 ayat (1) UU PPh, terdiri dari tiga jenis yaitu : 1. 2. 3.



penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai (attributable income) penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia (force of attraction income) penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud (effectively connected income)



Penghasilan BUT yang pertama adalah penghasilan sebenarnya BUT dari harta yang dimiliki atau dikuasainya di Indonesia. Penghasilan yang kedua merupakan penerapan force of attraction rule di mana walaupun penghasilan ini adalah penghasilan kantor pusat BUT di luar negeri, tetapi karena berasal dari penjualan atau pemberian jasa yang sejenis dengan yang dilakukan BUT, maka penghasilan ini ditarik sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia.Penghasilan yang ketiga merupakan penerapan atribusi karena hubungan efektif di mana jika kantor pusat BUT menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga, dividen dan royalti dari suatu perusahaan di Indonesia dan perusahaan ini mempunyai hubungan efektif dengan BUT, maka penghasilan ini akan diatribusi juga kepada BUT di Inonesia. Tidak ada definisi kelas tentang hubungan efektif ini namun demikian, hubungan yang efektif ini bisa digambarkan sebagai hubungan ketergantungan atau hubungan yang saling menguntungkan antara BUT dan perusahaan yang memberikan dividen, bunga atau royalti kepada kantor pusat BUT.



Biaya BUT Selain tunduk kepada ketentuan umum tentang pengurang sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh, biaya bagi BUT juga diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (3) UU PPh.Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU



PPh, biaya-biaya yang terkait dengan penerapan force of attraction rule dan atribusi hubungan efektif dapat dibiayakan oleh BUT. Sementara itu berdasarkan Pasal 5 ayat (3) biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.



Prinsip Worlwide Income Prinsip worldwide income pada UU PPh bisa kita temui pada Pasal 4 ayat (1) UU PPh di mana ditegaskan bahwa penghasilan yang menjadi objek PPh ini bisa berasal dari Indonesia maupun berasal dari luar Indonesia. Kata-kata ―dari luar Indonesia‖ inilah yang menjadikan prinsip pengenaan PPh kepada SPDN menjadi berdimensi internasional.



Bentuk Usaha Tetap



(Pasal 2 ayat 5 UU PPh) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.



tempat kedudukan manajemen; cabang perusahaan; kantor perwakilan; gedung kantor; pabrik; bengkel; gudang; ruang untuk promosi dan penjualan; pertambangan dan penggalian sumber alam; wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi; perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; 14. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; 15. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransiatau menanggung risiko di Indonesia; dan 16. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet. Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.



Time Test BUT Pada umumnya di sebahagian besar P3B Indonesia, klausul Uji Waktu (Time Test) BUT untuk pekerjaaan jasa konstruksi, Instalasi, perakitan, kegiatan pengawasan (supervisory) dan jasa lainnya di atur dalam Pasal 5 Tax Treaty Indonesia dengan negara mitra lainnya, seperti terlihat dalam tabel 7.6. berikut ini. TABEL7.6 TIME TEST BENTUK USAHA TETAP Treaty Indonesia NO



NEGARA KONSTRUKSI INSTALASI



1. 2. 3. 4. 5.



ALGERIA/Aljazair AUSTRALIA AUSTRIA BANGLADESH BELGIUM - Renegosiasi



6. 7. 8 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.



BRUNEI DARUSSALAM



17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.



HONG KONG8



26. 27.



KUWAIT



28. 29. 30. 31.



MALAYSIA



BULGARIA CANADA CROASIA8 CZECH/Ceko CHINA DENMARK EGYPT/Mesir FINLAND FRANCE GERMANY



HUNGARY INDIA IRAN ITALY JAPAN JORDAN KOREA SELATAN KOREA UTARA



LUXEMBOURG



MAURITIUS * MEXICO MONGOLIA



TIME TEST PERAKITAN KEGIATAN PENGAWASAN



3 bulan 120 hari 6 bulan 183hari 6 bulan 6 bulan 183 hari 6 bulan 120hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan



3 bulan 120hari 6 bulan 183 hari 6 bulan 6 bulan 3 bulan 6 bulan 120hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan 4 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan



3 bulan 120 hari 6 bulan 183 hari 6 bulan 6 bulan 3 bulan 6 bulan 120 hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan 4 bulan 6 bulan 6 bulan Tidak Ada



3 bulan 120 hari 6 bulan 183 hari 6 bulan 6 bulan 183 hari 6 bulan 120 hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan Tidak Ada



183hari 3 bulan 183hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 12 bulan



183 hari 3 bulan 183 hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 12 bulan



183 hari 3 bulan 183 hari 6 bulan 6 bulan Tidak Ada 6 bulan 6 bulan 12 bulan



183 hari 3 bulan 183 hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 12 bulan



3 bulan 5 bulan



3 bulan 5 bulan



3 bulan 5 bulan



3 bulan 5 bulan



6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan



6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan



6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan



6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan



JASA LAINNYA 3 bulan/ 12 bulan 120 hari/12 bulan 3 bulan/12 bulan 91 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan 3 bulan/12 bulan 3 bulan/12 bulan 120 hari/12 bulan 120 hari/12 bulan 3 bulan/12 bulan 3 bulan/12 bulan 6 bulan/12 bulan 3 bulan/12 bulan 3 bulan/12 bulan 3 bulan/12 bulan 183 hari/12 bulan Tidak ada batas waktu, pemajakannya 7,5% xpengh.bruto1 183 hari 4 bulan/12 bulan 91 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan 3 bulan/12 bulan 6 bulan/thn pajak2 1 bulan/12 bulan 3 bulan/12 bulan 6 bulan/12 bulan 3 bulan/12 bulan Tidak ada batas waktu, pemajakannya 15% xpengh.bruto3 3 bulan/12 bulan 4 bulan/ 12 bulan 91 hari/12 bulan 3 bulan/12 bulan



32. 33. 34. 35. 36.



MOROCC0



6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan



6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan



6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan



6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan



37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54.



PAPUA NEW GUINEA



120 hari 6 bulan 183hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan Tidak Ada 6 bulan 183hari 6 bulan 6 bulan 183 hari 90 hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 183 hari



120hari 3 bulan 183hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan Tidak Ada 6 bulan 183hari 6 bulan 6 bulan 183 hari 90 hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 183 hari



120 hari 3 bulan 183hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan Tidak Ada 6 bulan 183hari 6 bulan 6 bulan 183 hari 90 hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 183 hari



120 hari 6 bulan 183 hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan Tidak Ada 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 183 hari 90 hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 183 hari



55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65.



SYRIA



6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 183 hari 120 hari 6 bulan 6 bulan



6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 183hari 120hari 6 bulan 6 bulan



6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 183 hari 120 hari 6 bulan 6 bulan



6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 183 hari 120 hari 6 bulan 6 bulan



66. VIETNAM 6 bulan 6 bulan 6 bulan 67. ZIMBAGWE 6 bulan 6 bulan 6 bulan (Sumber : Softindo, data di update oleh penulis) * Terminasi mulai 1 Januari 2005 * khusus Saudi Arabia, P3B hanya mencakup Lalu lintas Internasional



6 bulan 6 bulan



NETHERLANDS NEW ZEALAND NORWAY PAKISTAN



PHILIPPINES POLAND PORTUGAL QATAR ROMANIA RUSSIA SAUDI ARABIA** SEYCHELLES SINGAPORE SLOVAK SOUTH AFRICA SPAIN SRI LANKA SUDAN SURINAME SWEDEN SWITZERLAND



TAIWAN THAILAND TUNISIA TURKEY U.A.E UKRAINE UNITED KINGDOM UNITED STATES UZBEKISTAN VENEZUELA



60 hari/12 bulan 3 bulan/12 bulan 3 bulan/12 bulan 3 bulan/12 bulan Tidak ada batas waktu, pemajakannya 15% xpengh.bruto4 120 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan 120 hari/12 bulan 183 hari/12 bulan 6 bulan/12 bulan 4 bulan/ 12 bulan Tidak diatur Tidak diatur 3 bulan/12 bulan 90 hari/ 12 bulan 91 hari/12 bulan 120 hari/ 12 bulan 3 bulan/12 bulan 90 hari/12 bulan 3 bulan/12 bulan 91 hari/12 bulan 3 bulan/12 bulan Tidak ada batas waktu, pemajakannya 5% xpengh.bruto6 183 hari/12 bulan 120 hari/12 bulan 183 hari 3 bulan/12 bulan 183 hari/ 12 bulan 6 bulan 4 bulan/12 bulan 91 hari/12 bulan 120 hari/12 bulan 3 bulan/ 12 bulan Tidak ada batas waktu, pemajakannya 10%xpengh.bruto7 3 bulan/12 bulan 183 hari/ 12 bulan



Catatan: 1 Jasa lainnya dalam P3B Rl-Jerman dikenakan pajak 7,5% dari fee untuk jasa-jasa teknik(Pasal 12 P3B Rl-Jerman)



2 meliputi jasa konsultasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 5 P3B Rl-Jepang 3 jasa lainnya dalam P3B Rl-Pakistan dikenakan pajak 10% dari fee untuk jasa-jasa teknik(Pasal 12 P3B RI-Luxembourg)



4 jasa lainnya dalam P3B Rl-Pakistan dikenakan pajak 15% dari fee untuk jasa-jasa teknik, meliputi jasa manajerial, jasa teknis maupun jasa konsultasi (Pasal 13 P3B Rl-Pakistan)



5 untuk menentukan timbulnya BUT tidak diperlukan time test 6 pajak atas jasa-jasa konsultasi dan lainnya dalam P3B Rl-Swiss dikenakan pajak 5% dari



jumlah pembayaran bruto (Pasal 13 P3B Rl-Swiss) 7 dalam hal fee atas bantuan teknis meliputi pemberian segala macam jasa termasuk jasa konsultasi, jasa manajerial dan jasa teknis yang berkaitan dengan pengetahuan teknik, pengalaman, ketrampilan, metode atau proses, namun tidak termasuk pembayaran atas jasa-jasa profesional sebagaimana dimaksud, dalam Pasal 15 P3B RI-Venezuela dikenakan pajak 10% dari jumlah bruto pembayaran(Pasal 12 P3B RI-Venezuela) 8



Time test untuk Drilling/Working ship : - Dengan Hong Kong : 183 hari - Dengan Kroasia : 120 hari



PENJELASAN TIME TEST BENTUK USAHA TETAP Sebagai contoh, diambil tes waktu BUT dari P3B RI-Malaysia. I.



Kolom "Konstruksi", "Instalasi" dan "Perakitan" Tes waktu untuk untuk pekerjaan proyek konstruksi, instalasi, dan perakitan adalah 6 bulan, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 2 huruf h P3B RI-Malaysia. Apabila kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung melebihi jangka waktu time test 6 bulan tersebut, maka proyek tersebut akan dianggap sebagai bentuk usaha tetap Malaysia di Indonesia, dan sebaliknya.



II. Kolom "Kegiatan Pengawasan" Tes waktu untuk kegiatan pengawasan diatur dalam Pasal 5 ayat 4 huruf a P3B RI-Malaysia yaitu selama 6 bulan, untuk kegiatan-kegiatan pengawasan proyek konstruksi, instalasi atau perakitan. Apabila periode tes waktu tersebut dilewati dan kegiatan pengawasan proyek masih terus berlangsung, maka perusahaan Malaysia yang melakukan kegiatan pengawasan tersebut dianggap memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia. III. Kolom "Jasa Lainnya" Tes waktu untuk jasa-jasa selain yang telah disebutkan diatas, diatur dalam Pasal 5 ayat 2 huruf i untuk pemberian jasa termasuk jasa konsultasi oleh suatu perusahaan Malaysia melalui pegawainya atau orang lainnya dimana kegiatan tersebut berlangsung (untuk proyek yang sama atau berkaitan) di Indonesia selama periode yang keseluruhannya berjumlah 3 bulan dalam periode 12 bulan. Apabila tes waktu tersebut dilewati, maka perusahaan Malaysia tersebut dianggap memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia Contoh-1 Penghasilan Kena Pajak BUT di Indonesia dalam tahun 2011 Pajak Penghasilan: 25% x Rp. 17.500.000.000,00 = Penghasilan Kena Pajak setelah pajak Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang 20% x Rp. 13.125.000.000=



Rp. 17.500.000.000,00 Rp. 4.375.000.000,00 (-) Rp. 13.125.000.000,00 Rp. 2.625.000.000,00



Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp.13.125.000.000,00 tersebut ditanamkan kembali di Indonesiasesuai dengan atau berdasarkan Peraturan MenteriKeuangan, atas penghasilan tersebut tidak dipotongpajak. Contoh-2



BUT ABC Inc. yang kegiatan usahanya di bidang jasa konsultan perencanaan konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha, pada bulan Januari 2016 memberikan jasa konsultasi kepada suatu kedutaan asing yang ada di Jakarta. Atas pemberian jasa tersebut mendapatkan fee (imbalan) sebesar Rp 200 juta. Bagaimana pemajakan atas fee (imbalan) tersebut? Jawab : Atas imbalan jasa konstruksi yang diterima oleh BUT ABC Inc. sebesar Rp 200 juta dikenakan tariff PPh Pasal 4 ayat (2) final 4%.Karena kedutaan asing sebagai pemberi hasil bukan sebagai subjek pajak, wajib pajak BUT ABC Inc.wajib menyetor sendiri PPh final sebesar 4% x Rp 200 juta = Rp 8 juta ke kas negara. Contoh-3 Dalam tahun 2016 PT. KLM melakukan beberapa transaksi yang terkait dengan jasa dari luar negeri. Diantaranya adalah jasa konsultasi dari Swedia dan perusahaan luar negeri tersebut memiliki Certificate of Domicile (COD). Bagaimana pemajakan atas transaksi jasa dari luar negeri tersebut : Jawab : a. b.



c. d. e.



Pada umumnya pemberian jasa dalam kerangka Tax Treaty (P3B) adalah merupakan business income (laba usaha), artinya atas imbalan tersebut akan dikenakan di Negara sumber hanya bila pemberian jasa tersebut mengakibatkan timbulnya BUT. Karena time test untuk pemberian jasa dalam Tax Treaty Indonesia-Swedia adalah 3 bulan dalam jangka waktu 12 bulan (Pasal 5 ayat 2 huruf i), bila jasa yang diberikan oleh perusahaan di Swedia tersebut dilakukan di Indonesia dan melebihi time test, maka atas imbalan tersebut dikenakan PPh di Indonesia sebagaimana berlaku terhadap suatu BUT. Bila kegiatan jasa tersebut tidak dilakukan melalui BUT di Indonesia, maka atas penerimaan penghasilan dimaksud tidak dapat dikenakan di negara sumber. Imbalan dari pemberian jasa dalam konteks P3B bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26, kecuali P3B dengan Pakistan, Jerman, Swiss dan Venezuela. Dengan demikian, pemajakan atas imbalan jasa tersebut diatas tidak termasuk dalam cakupan pemotongan PPh Pasal 26, namun sangat penting diperhatikan untuk melengkapi dokumen COD dari perusahaan yang memberi jasa kepada perusahaan di Indonesia, yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di Swedia.



Pajak atas Dividen, Bunga, Royalty 



Dividen Dividen merupakan penghasilan yang diterima oleh pemegang saham dari suatu perusahaan. Tak sedikit negara yang mengenakan pajak atas penghasilan berupa dividen ini. Indonesia pun mengenakan pajak atas dividen baik yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri maupun Wajib Pajak luar negeri. Klausul dividen, sebagaimana namanya, memang merupakan aturan mengenai pengenaan pajak atas penghasilan berupa dividen. Dalam klausul ini dinyatakan bahwa negara tempat dividen berasal juga berhak mengenakan pajak atas dividen tersebut. Selanjutnya, klausul ini juga menyatakan tentang tarif pajak maksimal yang dapat dikenakan di negara asal dividen tersebut yang dibedakan menjadi dua yaitu tarif untuk dividen portofolio (saham dengan kepentingan semata-mata investasi) dan untuk dividen dari penyertaan langsung (saham dengan kepentingan kontrol).Pada setiap tax treaty, besar tarif tersebut berbeda-beda namun umumnya lebih kecil dari tarif pajak domestik bagi dividen yang berlaku di kedua negara. Definisi dari dividen - yang tidak diatur dalam general definitions - juga diberikan dalam klausul ini.







Interest Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan bunga yang diterima dari negara treaty partner. Selain memberikan definisi tentang bunga, klausul ini juga mengatur bahwa negara tempat bunga berasal (treaty partner) juga dapat mengenakan pajak atas bunga tersebut. Tak berbeda dari klausul dividen, artikel bunga pun mengatur tentang tarif maksimal pemotongan pajak untuk negara tempat dividen berasal.







Royalties Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan royalti yang diterima dari negara treaty partner. Tak berbeda dari klausul dividen dan bunga, artikel royalti ini juga memberikan definisi royalti di samping mengatur bahwa negara tempat royalti berasal dapat mengenakan pajak sesuai dengan tarif maksimal yang disepakati. Pajak atas dividen, bunga dan royalti



Dividen, bunga dan royalti yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri dapat dikenakan pajak di negara sumber penghasilan, misal dividen, bunga, dan royalti yang diperoleh di Indonesia, maka Indonesia dapat mengenakan pajak sesuai tarif Tax Treaty atau jika tidak ada Tax Treaty maka dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif efektif sebesar 20% x Penghasilan bruto.



PEMAJAKAN ATAS LABA PERUSAHAAN (BUSINESS PROFITS) A. Pendahuluan Laba dari suatu perusahaan asing (misalnyaAmerika Serikat-dalam hal ini sebagai negara domisili) yang beroperasi di negara lain (misalnya Indonesia -dalam hal ini sebagai negara sumber)hanya dapat dikenakan pajak di negara mana perusahaan tersebut berdomisili atau didirikan (dalam hal ini Amerika Serikat), kecuali perusahaan tersebut memiliki bentuk usaha tetap (permanent establishment) di negara lain (negara sumber) tersebut,dan pajak yang dikenakan hanya terkait dengan laba usahabentuk usaha tetap (BUT) di negara lain (negara sumber) tersebut. Klausul yang mengatur tentang Business Profits ini pada umumnya ada di Pasal 7 Tax Treaty Indonesia. Contoh : YY Ltd. yang berdomisili/berkedudukan di Amerika Serikat (USA) mendapatkan kontrak dari PT. PLN di Indonesia berupa proyek Instalasi Turbin, dengan nilai kontrak sebesar USD 3 juta. Lama pekerjaan berlangsung selama tiga bulan. Estimasi Laba dari proyek tersebut adalah 7%dari nilai kontrak. Pertanyaan : Bagaimana pemajakan atas laba yang diperoleh perusahaan YY Ltd tersebut di negara Indonesia? Jawab : Sesuai dengan Tax Treaty Indonesia-USA, proyek instalasi Turbin tersebut baru dianggap sebagai BUT di Indonesia apabila pekerjaan tersebut berlangsung di negara sumber (dalam hal ini Indonesia) selama lebih dari 120 hari, sedangkan pekerjaan tersebut ternyata hanya berlangsung selama tiga bulan. Proyek instalasi Turbin tersebut belum memenuhi syarat sebagai BUT dari YY Ltd karena keberadaan berlangsungnya proyek tersebut di Indonesia belum melebihi batas time test 120 hari.Dengan demikian, Negara Indonesia tidak berhak mengenakan pajak atas laba YY Ltd, hak pemajakan atas laba tersebut sepenuhnya ada di tangan Negara USA. Namun bilamana lama pekerjaan berlangsung selama lebih dari 120 hari, maka Negara Indonesia berhak mengenakan pajak atas laba YY Ltd tersebut (yakni sebesar 7% xUSD3juta =USD210,000.00).



B. Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap Dijelaskan dalam Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang UU Pajak Penghasilan, bahwa yang menjadi Objek Pajak bentuk usaha tetap adalah : 1.



2.



Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai (Attribution by fact) : Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian semua penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia (Force of Attraction atau penarikan paksa) Berdasarkan ketentuan ini penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan



barang dan pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap, karena pada hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap. Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, misalnya terjadi apabila sebuah bank di luar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada perusahaan di Indonesia. Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia menjual produk yang sama dengan produk yang dijual oleh bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada pembeli di Indonesia. Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di luar Indonesia memberikan konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien di Indonesia. c.



Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud (Effectively Connected Income). Contoh X Inc. USA menutup perjanjian lisensi dengan PT Y untuk mempergunakan merek dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. USA menerima imbalan berupa royalti dari PT Y. Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT Y melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT Y mempergunakan merek dagang tersebut. Dalam hal demikian, penggunaan merek dagang oleh PT Y mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. USA yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan BUT.



Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dikenakan pajak di Indonesia melalui bentuk usaha tetap tersebut. Untuk dapat lebih memahami flow of income dari Bentuk Usaha Tetap (BUT), berikut ini digambarkan secara skematis ilustrasi transaksi-transaksi penghasilan BUT sebagai berikut : Tipe I Kantor Pusat



GAMBAR-1 Tipe Income BUT ABC,Jakarta Transaksi Tahun 2016 :



ABC Inc, USA BUT ABC, Jakarta menjual produk merek "HighTech"yang diproduksi oleh Induk perusahaannya ABC Inc., USA dengan omzet/peredaran usaha th. 2016 sebesar Rp. 50 miliar Tipe Pertama : BUT ABC Jakarta



Attributable Income Total Income BUT ABC, Jkt



Rp 50.000.000.000 Rp 50.000.000.000



Tipe II Kantor Pusat ABC Inc.USA Transaksi Tahun 2016 : 1. BUT ABC, Jakarta menjual produk merek "HighTech" yang diproduksi oleh Induk perusahaannya ABC Inc., USA



dengan omzet/peredaran usaha th. 2016 sebesar Rp. 50 miliar 2. Kantor Pusat ABC Inc. USA menjual produk "High Tech" secara langsung tanpa melalui BUT ABC, Jakarta kepada pembeli-PT KLM di Bali, sebesar Rp. 20 miliar. Tipe Kedua : PT. KLM Bali



BUT ABC Jkt



1. Attributable Income 2. Force of Attraction Income Total Income BUT ABC, Jakarta



Rp 50.000.000.000 Rp 20.000.000.000 Rp 70.000.000.000



Tipe III Kantor Pusat ABC, Inc.USA



Transaksi Tahun 2016 :



Royalty atas penggunaan merek dagang produk "High Tech"



BUT ABC Jakarta



Hub.efektif Jasa Manajemen



PT. XYZ Surabaya



1. BUT ABC, Jakarta menjual produk merek "HighTech" yang diproduksi oleh Induk perusahaannya ABC Inc., USA dengan omzet/peredaran usaha th. 2016 sebesar Rp. 50 miliar 2. Kantor Pusat ABC Inc. USA menjual produk "High Tech" secara langsung tanpa melalui BUT ABC, Jakarta kepada pembeli - PT.KLM di Bali, sebesar Rp. 20 miliar. 3. ABC Inc. USA menutup perjanjian lisensi dengan PT.XYZ Surabaya untuk mempergunakan merek dagang produk "High Tech‖. Atas penggunaan hak tersebut ABC Inc. USA menerima imbalan berupa Royalti dari PT. XYZ Surabaya sebesar Rp. 10 miliar. Sehubungan dengan perjanjian tsb. ABC Inc. USA memberikan jasa manajemen kepada PT XYZ melalui BUT ABC, Jakarta. Dalam hal demikian, penggunaan merek dagang oleh PT. XYZ Surabaya mempunyai hubungan efektif dengan BUT ABC, Jakarta.



Tipe ketiga : 1. Attributable Income 2. Force of Attraction Income 3. Effectively connected Income Total Income BUT ABC, Jakarta



Rp 50.000.000.000 Rp 20.000.000.000 Rp 10.000.000.000 Rp 80.000.000.000



C. Ketentuan Atribusi Laba Usaha Pada BUT Pada umumnya Ketentuan Atribusi Laba Usaha Pada BUT di atur dalam Pasal 7 ayat(1) Tax Treaty Indonesia dengan negara mitra lainnya, seperti terlihat dalam tabel berikut ini. Tabel-13-1 Daftar Ketentuan Atribusi Laba Usaha Pada BUT NO



NEGARA



1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32



Algeria Australia Austria Belgium Bangladesh Brunei Darussalam Bulgaria Canada Czech China Denmark Egypt Finland France Germany Hong Kong Hungary India Iran Italy Japan Jordan Korea Selatan Korea Utara Kroasia Kuwait Luxembourg Malaysia Marocco Mauritius ** Mexico Mongolia



KEGIATAN DARI BUT PENJUALAN KEGIATAN LAIN (attributable to that BARANG YANG SAMA(other permanent YANG SAMA (Sales in business activities establishment) that other Party of carried on in that other goods or merchandise Party of the same or of the same or similar similar kind as those kind as those sold effected through that through that permanent permanent establishment) establishment) Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya



Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Tidak Ya Tidak Ya Ya



Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Tidak Ya Tidak Ya Ya



33 Netherlands – Renegosiasi, dan Renegosiasi ke 2 34 New Zealand 35 Norway 36 Pakistan 37 Papua New Guinea 38 Philippines 39 Poland 40 Portugal 41 Qatar 42 Romania 43 Russia *) 44 Saudi Arabia 45 Seychelles 46 Singapore 47 Slovak 48 South Africa 49 Spain 50 Sri Lanka 51 Sudan 52 Suriname 53 Sweden 54 Switzerland 55 Syria 56 Taiwan 57 Thailand 58 Tunisia 59 Turkey 60 U.A.E 61 Ukraine 62 United Kingdom 63 United States 64 Uzbekistan 65 Venezuela 66 Vietnam 67 Zimbagwe



Ya



Ya



Ya



Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya tidak ada Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya



Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya tidak ada Tidak Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Ya Ya



Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya tidak ada Tidak Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Ya Ya



(Sumber : Softindo, data di update oleh penulis) *) Khusus Saudi Arabia, P3B hanya mencakup lalu lintas Internasional **) Terminasi mulai 1 Januari 2005. Catatan Atas Laba Usaha BUT I. Kolom "Kegiatan dari BUT"  Menjelaskan apakah atas laba usaha suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya pada Persetujuan. Jawabannya "Ya" apabila laba tersebut berasal dari BUT suatu negara (contoh: Venezuela) yang berada di Indonesia. Ketentuan ini terdapat dalam P3B Pasal 7 (contoh: Pasal 7 ayat 1 P3B RI-Venezuela).  98,50% atau 66 P3B menyatakan bahwa komponen laba usaha adalah kegiatan dari BUT



 1,5% % atau 1 P3B (Rl-Saudi Arabia) tidak mengatur perlakuan perpajakan atas laba usaha. II.



Kolom "Penjualan Barang yang Sama"



 Menjelaskan apakah atas laba usaha suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya pada Persetujuan. Jawabannya "Ya" apabila laba tersebut berasal dari BUT suatu negara (contoh: Venezuela) yang berada di Indonesia. Ketentuan ini terdapat dalam P3B Pasal 7 (contoh: Pasal 7 ayat 1 P3B RI-Venezuela).  Menjelaskan apakah dalam P3B antara Indonesia dengan suatu negara terdapat ketentuan yang menimbulkan pengenaan pajak atas laba usaha yang diperoleh dari penjualan barang yang sama dengan yang dijual melalui BUT perusahaan tersebut di negara lainnya. Bila pada kolom tertulis "Ya", maka ketentuan tersebut memang diatur dalam P3B (contoh: P3B RI-Kuwait Pasal 7 ayat 1). Penjualan barang atau barang dagangan secara langsung oleh perusahaan induk di Kuwait, yang sifatnya sama dengan yang dijual oleh BUT-nya di Indonesia, dapat dikenakan pajak di Indonesia.  Menjelaskan apakah dalam P3B antara Indonesia dengan suatu negara terdapat ketentuan yang menimbulkan pengenaan pajak atas laba usaha yang diperoleh dari penjualan barang yang sama dengan yang dijual melalui BUT perusahaan tersebut di negara lainnya. Bila pada kolom tertulis "Ya", maka ketentuan tersebut memang diatur dalam P3B (contoh: P3B RI-Kuwait Pasal 7 ayat 1). Penjualan barang atau barang dagangan secara langsung oleh perusahaan induk di Kuwait, yang sifatnya sama dengan yang dijual oleh BUT-nya di Indonesia, dapat dikenakan pajak di Indonesia.  Jika pada kolom tertulis "Tidak", (contoh: P3B Rl-Jepang Pasal 7 ayat 1) berarti tidak terdapat ketentuan pengenaan pajak di negara lainnya atas laba usaha yang berasal dari penjualan barang atau barang dagangan yang sama atau sejenis dengan yang dijual oleh BUT-nya di negara lainnya tersebut oleh perusahaan induknya.  82,08% atau 55 P3B menyatakan bahwa komponen laba usaha lainnya adalah dari penjualan barang yang sama.  16,42% atau 11 P3B tidak menyatakan hal ini sebagai komponen laba usahanya.  1,5% atau 1 P3B (Rl-Saudi Arabia) tidak mengatur perlakuan perpajakan atas laba usaha. III.



Kolom "Kegiatan Lain yang Sama"



 17,91% atau 12 P3B tidak menyatakan hal ini sebagai komponen laba usahanya.  Pajak atas laba usaha dapat dikenakan di negara lainnya apabila laba tersebut berasal dari kegiatan usaha lainnya oleh perusahaan induk yang dilakukan di negara lainnya yang sifatnya sama atau serupa dengan yang dijalankan BUT-nya di negara lain tersebut.  Jika dalam kolom tertulis "Ya", maka hal tersebut berarti terdapat ketentuan yang mengatur hal diatas dalam P3B (contoh: RI-Mesir) Pasal 7 ayat 1.  Apabila tertulis "Tidak" (contoh: P3B Rl-Singapura) maka ketentuan yang mengatur hal diatas tidak terdapat dalam Pasal 7 ayat 1 P3B tersebut.  80,59% atau 54 P3B mengatur bahwa laba usaha dapat berasal dari kegiatan lain yang sama.  17,91% atau 12 P3B tidak mengatur hal ini.  1,5% atau 1 P3B (Rl-Saudi Arabia) tidak mengatur perlakuan perpajakan atas laba usaha Untuk memberikan gambaran tentang ketentuan bagaimana pemajakan atas Atribusi Laba Usaha Pada BUT, berikut ini penulis kutipkan Klausul Pasal 7 ayat(1) Tax Treaty Indonesia dengan Negara Finlandia tentang ― Business Profit‖, sebagai berikut : The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein. If the enterprise carries on business as aforesaid, the profits of the enterprise may be taxed in the other State but only so much of them as is attributable to a) that permanent establishment; b) sales in that other State of goods or merchandise of the same or similar kind as those sold through that permanent



establishment; or c) other business activities carried on in that other State of the same or similar kind as those effected through that permanent establishment. Klausul ini kelihatan berbeda dengan Pasal 7 ayat(1) Tax Treaty Indonesia dengan Negara Malaysia tentang ― Business Profit‖, sebagai berikut : The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein. If the enterprise carries on business as aforesaid, the profits of the enterprise may be taxed in the other State but only on so much thereof as is attributable to that permanent establishment. Dari dua contoh diatas, Klausul Pasal 7 ayat(1) TT Indonesia-Finlandia menjabarkan tentang Laba BUT ke dalam 3(tiga) macam Atribusi Laba Usaha Pada BUT, sedangkan TT Indonesia-Malaysia hanya menyatakan satu macam saja yakni attribusi ke ―Permanent establishment in the other State‖.



D. Witholding Tax PPh Pasal 26 Penghasilan yang diterima atau diperoleh SPLN yang tanpa melalui BUT di Indonesia merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26. Dilihat dari cara pemotongannya, jenis penghasilan yang menjadi objek withholding tax PPh Pasal 26 ini adalah : 1. 2.



3.



Penghasilan Dengan Tarif 20% dari bruto. Penghasilan yang termasuk kelompok ini adalah dividen, bunga, sewa, royalti, imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, uang pensiun, premi swap dan keuntungan pembebasan hutang. Penghasilan Dengan Tarif 20% dari Perkiraan Penghasilan Neto. Termasuk dalam kelompok ini adalah capital gain atas penjualan atau pengalihan harta di Indonesia dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri. Termasuk dalam kelompok ini adalah penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) UU PPh. Penghasilan Branch Profit Tax dari BUT. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia



E. Branch Profit Tax (BPT) Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap disebut dengan Branch Profit Tax. Ketentuan tentang Branch Profit Tax di Indonesia diatur dalam PMK No. 14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penanaman Kembali Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Penghasilan dari Suatu BUT, yang menetapkan aturan-aturan berikut ini : 1. Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh. 2. Dalam hal Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu BUT ditanamkan kembali di Indonesia, penghasilan dimaksud dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan 3. Pengecualian dari pengenaan Pajak Penghasilan diberikan apabila seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu BUT ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk: a. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri; b. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham; c. pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh BUT untuk menjalankan usaha BUT atau melakukan kegiatan BUT di Indonesia; atau d. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan BUT di Indonesia.



4.



5.



6.



7.



8.



9. 10.



11. 12. 13. 14. 15.



Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu BUT yang ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi BUT yang bersangkutan; dan b. BUT yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal, selain persyaratan diatas pada butir 4, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan; dan b. BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial. c. perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia; dan d. BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal. Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk: a. pembelian aktiva tetap; atau b. investasi berupa aktiva tidak berwujud, selain persyaratan diatas pada butir 4, BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan. Dalam hal persyaratan-persyaratan diatas pada butir 4 tidak lagi dipenuhi, atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu BUT yang terkait, dikenai Pajak Penghasilan terhitung sejak diperolehnya Penghasilan Kena Pajak yang bersangkutan, dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Wajib Pajak BUT yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada SPT Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan. Wajib Pajak BUT wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan, kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada SPT Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman kembali tersebut. Pemberitahuan paling sedikit meliputi hal-hal sebagai berikut: a. jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan b. bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan Tahun Pajak dilakukan realisasi penanaman kembali. Wajib Pajak BUT yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan di Indonesia wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial. Saat berproduksi komersial adalah saat perusahaan yang baru didirikan tersebut telah mulai memproduksi barang untuk dijual bagi perusahaan manufaktur atau saat perusahaan mulai melakukan penjualan barang dan/atau jasa bagi perusahaan selain manufaktur. Keputusan tentang saat berproduksi komersial ditetapkan oleh Kepala KPP tempat Wajib Pajak BUT terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil penelitian KPP dimaksud, paling lama 6 (enam) bulan setelah Wajib Pajak BUT meyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat berproduksi komersial. Penetapan saat berproduksi komersial dilakukan berdasarkan keadaan sebenarnya dengan memperhatikan saat mulai berproduksi komersial yang disampaikan oleh Wajib Pajak BUT yang bersangkutan. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada butir 11 telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan tentang saat berproduksi komersial, saat berproduksi komersial adalah berdasarkan pemberitahuan tertulis yang disampaikan oleh Wajib Pajak BUT yang bersangkutan.



16. Dalam hal induk perusahaan dari Wajib Pajak BUT adalah Wajib Pajak dalam negeri dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, besarnya tarif untuk menghitung Pajak Penghasilan adalah sebagaimana ditentukan dalam P3B yang berlaku. 17. Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak BUT dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan Pajak Penghasilan adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dilakukan koreksi fiskal, dikurangi dengan jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat final. Dalam P3B/Tax Treaty, pada umumnya di sebahagian besar P3B Indonesia, klausul Tarif Branch Profit Tax (BPT) & Pengecualiannya untuk Perusahaan Kontrak Bagi Hasil (KBH) diatur dalam Pasal 10 ayat (6) Tax Treaty Indonesia dengan negara mitra lainnya, seperti terlihat dalam tabel berikut ini. TABEL- 13-2



Tarif Branch Profit Tax (BPT) & Pengecualiannya Untuk Perusahaan Kontrak Bagi Hasil (KBH) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 23 24 25 26 27 28 29



Negara Algeria Australia Austria Bangladesh Belgium -Renegosiasi Brunei Darussalam Bulgaria Canada -Renegosiasi Czech China Denmark Egypt Finland France Germany Hong Kong Hungary India Iran Italy Japan Jordan Korea Selatan Korea Utara Kuwait Luxemburg Malaysia Marocco



Tarif BPT



Pengecualian untuk perusahaan KBH



10% 15% 12% Tidak ada 15% 10% 10% 15% 15% 15% 13% 10% 15% 15% 15% 10% 10% 5% Tidak ada 10% 7% 12% 10% Tidak ada 10% 10% 10% 10% 15% 10%



Tidak ada Ya Ya Tidak ada Tidak ada Ya Ya Ya Ya Tidak ada Ya Tidak ada Ya Ya Ya Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ya Tidak ada Ya Ya Tidak ada Ya Tidak ada Ya Ya Ya Ya



30 31 32 33



Mauritius * 10% Mexico 10% Mongolia 10% Netherlands 9% - Renegosiasi 9% - Renegosiasi ke 2 10% 34 New Zealand Tidak ada 35 Norway 15% 36 Pakistan 10% 37 Papua New Guinea 15% 38 Philippines 20% 39 Poland 10% 40 Portugal 10% 41 Qatar 10% 42 Romania 13% 43 Russia 13% 44 Saudi Arabia** Tidak ada 45 Seychelles Tidak ada 46 Singapore 15% 47 Slovak 10% 48 South Africa 10% 49 Spain 10% 50 Sri Langka Sesuai UU Domestik 51 Sudan 10% 52 Suriname 15% 53 Sweden 15% 54 Swis 10% 55 Syria 10% 56 Taiwan 5% Thailand Sesuai UU Domestik 57 58 Tunisia 12% 59 Turkey 15% 60 U.A.E 5% 61 Ukraine 10% 62 United Kingdom 10% -Renegosiasi 10% 63 USA 15% -Renegosiasi 10% 64 Uzbekistan 10% 65 Venezuela 10% 66 Vietnam 10% 67 Zimbabwe Tidak ada (Sumber : Softindo, data di update oleh penulis) * terminasi mulai 1 Januari 2005 * khusus Saudi Arabia, P3B hanya mencakup Lalu lintas Internasional Penjelasan Tarif Branch Profit Tax



Ya Ya Ya Tidak ada Tidak ada Tidak Ada Tidak ada Ya Tidak ada Ya Tidak ada Ya Ya Ya Tidak ada Ya Tidak ada Tidak ada Ya Ya Ya Ya Tidak ada Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak ada Ya Ya Tidak ada Ya Tidak ada Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak ada



BUT selain dikenakan pajak berdasarkan tarif pasal 17 UU PPh juga dikenakan pajak Branch Profit Tax yaitu pajak yang dikenakan atas net income after tax dari suatu BUT. Besarnya adalah bervariasi sesuai dengan tax treaty masing-masing negara. Tidak ada besar tarif maksimum yang dapat diterapkan, namun hal yang lazim ditempuh dalam menetapkan besarnya tarif BPT adalah menyamakannya dengan tarif dividen dari investasi langsung. Namun demikian, dalam beberapa P3B, tarif maksimum BPT mengikuti tarif maksimum dividen dari portfolio investment, dan pada beberapa P3B lainnya tarif BPT lebih rendah daripada tarif dividen direct investment. Jika suatu negara tidak memiliki tax treaty dengan Indonesia maka dikenakan tarif sebesar 20 % (Pasal 26 ayat 4 UU PPh). Kolom "Tarif BPT" mencantumkan: Tarif BPT P3B yang menyepakati ketentuan penerapan BPT apabila disebutkan "sesuai UU domestik" berarti bahwa pengenaan BPT diperkenankan dengan tarif yang mengacu pada ketentuan UU Perpajakan domestik yang mengatur masalah BPT. Sebagai contoh dalam P3B IndonesiaThailand ayat 6 Pasal 10 (Dividen) disebutkan bahwa menyimpang dari ketentuan-ketentuan lain dalam Persetujuan ini, apabila suatu perusahaan yang menjadi penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan memiliki bentuk usaha tetap (BUT) di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, maka laba BUT tersebut dapat dikenakan pajak tambahan di Negara lainnya itu bersesuaian dengan UU domestiknya. Kolom "Pengecualian untuk perusahaan KBH" dimaksudkan untuk menjelaskan hal-hal sebagai berikut: "Ya" berarti dalam ayat P3B dinyatakan secara eksplisit bahwa tarif BPT tersebut tidak berlaku atau tidak akan mempengaruhi penerapan peraturan perpajakan atas perusahaan Kontrak Bagi Hasil (KBH) yang telah disepakati secara terpisah oleh Pemerintah-pemerintah dari Negara pihak pada Persetujuan atau entitas lainnya yang ditunjuk. Sebagai contoh: pada P3B Indonesia-Vietnam ayat 6 Pasal 10 (Dividen) terdapat kalimat yang menyatakan pengecualian penerapan tarif BPT terhadap perusahaan KBH. "Tidak ada" berarti bahwa ketentuan yang menjelaskan bahwa tarif BPT tidak akan mempengaruhi penerapan peraturan perpajakan terhadap perusahaan KBH, tidak dinyatakan dalam suatu ayat pada P3B tersebut. Sebagai contoh: dalam P3B Indonesia-Uni Emirat Arab pada Pasal 10 ayat 7 (Dividen) tidak tercantum penjelasan yang menyatakan hal tersebut.



F. Biaya-biaya BUT yang berkenaan dengan penghasilan “Force of Attraction Income” dan“Effectively Connected Income” boleh dikurangkan dari penghasilan Bentuk Usaha Tetap Biaya-biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat sepanjang digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia, boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap tersebut. Jenis serta besarnya biaya yang boleh dikurangkan tersebut ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap, Pasal 5 ayat (3) UU nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008 mengatur, bahwa dalam menentukan besarnya laba suatu Bentuk Usaha Tetap : 1.



Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia, yang Jenis serta besarnya biaya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;



2.



Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya adalah : a. royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya; b. imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya; c. bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan;



3.



Pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b yang diterima atau diperoleh darikantor pusat tidak dia sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga berkenaan yang dengan usaha perbankan.



Pada dasarnya bentuk usaha tetap merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya, sehingga pembayaran oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya, seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat, merupakan perputaran dana dalam satu perusahaan. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini pembayaran bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap. Namun apabila kantor pusat dan bentuk usaha tetapnya bergerak dalam bidang usaha perbankan, maka pembayaran berupa bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya. Sebagai konsekuensi dari perlakuan tersebut, pembayaran-pembayaran yang sejenis yang diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya tidak dianggap sebagai Objek Pajak, kecuali bunga yang diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya yang berkenaan dengan usaha perbankan.



Jenis dan besarnya biaya administrasi kantor pusat yang boleh dikurangkan dari penghasilan suatu bentuk usaha tetap Jenis dan besarnya biaya administrasi kantor pusat yang boleh dikurangkan dari penghasilan suatu BUT sesuai Keputusan Dirjen Pajak No. 62/PJ/1995 adalah sebagai berikut : 1.



Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan brutoyang diterima atau diperoleh suatu bentuk usaha tetap di Indonesia adalah biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat yang berkaitan dan dalam rangka untuk menunjang usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap yang bersangkutan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.



2.



Besarnya biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto di Indonesia setinggi-tingginya adalah sebanding dengan besarnya peredaran usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia terhadap seluruh peredaran usaha atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia.



3.



Bentuk usaha tetap di Indonesia yang mengurangkan biaya administrasi kantor pusat, wajib menyampaikan laporan keuangan konsolidasi atau kombinasi dari kantor pusat yang meliputi seluruh usaha dan/atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia untuk tahun pajak yang bersangkutan sebagai lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.



4.



Laporan Keuangan konsolidasi atau kombinasi harus sudah diaudit oleh akuntan publik dan mengungkapkan rincian peredaran usaha atau kegiatan perusahaan serta jenis dan besarnya biaya administrasi yang dibebankan kepada masing-masing bentuk usaha tetap di negara tempat perusahaan yang bersangkutan melakukan usaha atau kegiatan.



F. Perlakuan Perpajakan Terhadap BUT 1. Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap sesuai Peraturan Menkeu No. 14/PMK.03/2011 adalah sebagai berikut : a. Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif 20%. b. Dalam hal Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap ditanamkan kembali di Indonesia, penghasilan dimaksud dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan.



Pengecualian Dari Pengenaan Pajak Penghasilan dari BUT Pengecualian dari pengenaan Pajak Penghasilan dari BUT diberikan apabila : a. Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk: 1. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri; 2. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham; 3. pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau 4. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.



b. Persyaratan yang harus dipenuhi agar seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan



dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang ditanamkan kembali di Indonesia dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan : 1. Penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir TahunPajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagiBentuk Usaha Tetap yang bersangkutan; dan 2. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. 3. Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal, selain persyaratan sebagaimana dimaksudpada butir 1, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan; dan b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihanatas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejakperusahaan baru dimaksud berproduksi komersial. 4. Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal, selain persyaratan sebagaimana dimaksudpada butir 1, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia; dan b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihanatas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejakpenyertaan modal. 5. Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk: a. pembelian aktiva tetap; atau b. investasi berupa aktiva tidak berwujud, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada butir 1, Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan. 6. Dalam hal persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksud pada butir 1-4, tidak lagi dipenuhi, atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang terkait, dikenai Pajak Penghasilan terhitung sejak diperolehnya Penghasilan Kena Pajak yang bersangkutan, dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. 7. Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.



8.



Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap wajibmenyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi penanaman kembaliyang telah dilakukan, kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajakterdaftar, dengan melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajaksaat dilakukan realisasi penanaman kembali tersebut. 9. Pemberitahuan dimaksud, paling sedikit meliputi hal-halsebagai berikut: a. jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dariBentuk Usaha Tetap dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan b. bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan TahunPajak dilakukan realisasi penanaman kembali. 10. Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruhPenghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan di Indonesiawajib menyampaikanpemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial. - Saat berproduksi komersial adalah saatperusahaan yang baru didirikan tersebut telah mulai memproduksi barang untuk dijualbagi perusahaan manufaktur atau saat perusahaan mulai melakukan penjualanbarang dan/atau jasa bagi perusahaan selain manufaktur. - Keputusan tentang saat berproduksi komersial ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Bentuk UsahaTetap terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil penelitian KantorPelayanan Pajak dimaksud, paling lama 6 (enam) bulan setelah Wajib Pajak BentukUsaha Tetap meyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat berproduksikomersial. - Penetapan saat berproduksi komersial dilakukanberdasarkan keadaan sebenarnya dengan memperhatikan saat mulai berproduksikomersial yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan. - Apabila jangka waktu 6 (enam) bulan tersebut telah lewat dan DirekturJenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan tentang saat berproduksi komersial,saat berproduksi komersial adalah berdasarkan pemberitahuan tertulis yangdisampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan. Menghitung PPh dalam hal induk perusahaan BUT dari negara yang mempunyai P3B - Dalam hal induk perusahaan dari Wajib Pajak BUT adalah Wajib Pajak dalamnegeri dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) denganIndonesia, besarnya tarif untuk menghitung Pajak Penghasilan adalah sebagaimana ditentukan dalam P3B yangberlaku. Menghitung PPh dalam hal BUT dikenai PPh yang bersifat final - Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak BUT dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan Pajak Penghasilanadalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitungberdasarkan pembukuan yang sudah dilakukan koreksi fiskal, dikurangi dengan jumlah PPh yang bersifat final. 2.



Perlakuan Perpajakan Khusus BUT Yang Menggunakan Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Berdasarkan regulasi perpajakan di Indonesia, terdapat beberapa perusahaan bentuk usaha tetap yang penghitungan pajak penghasilannya dihitung dengan menggunakanNorma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto, antara lain yakni : a. BUT Perusahaan Perwakilan Dagang Asing b. BUT Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Asing. Selanjutnya lihat Bab15 tentang Pemajakan atas laba perusahaan pelayaran dan penerbangan. c. BUT Perusahaan Jasa Konstruksi/Jasa Konsultan yang dikenakan PPh Final d. BUT Perusahaan Pengeboran (Drilling) Minyak dan Gas Bumi



Ketentuan pada Pasal 15 UU PPh 1984 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2013 merupakan ketentuan yang mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus penghitungan penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah (build, operate, and transfer), yang tidak dapat dihitung berdasarkan



ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.



G. BUT Perusahaan Jasa Konstruksi/Jasa Konsultan yang dikenakan PPh Final Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Dalam pengertian jasa konsultan disini tidak termasuk jasa konsultan pajak dan jasa konsultan hukum. Peraturan pelaksanaan ketentuan perpajakan yang terkait dengan usaha jasa konstruksi di tahun 2009 diatur dengan PP No.51 Tahun 2008 yang diterbitkan tanggal 20 Juli 2008 jo PP No.40 Tahun 2009, namun berlaku surut sejak Januari 2008. Dengan terbitnya PP No.51 Tahun 2008 ini, atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenai PPh Final. Tarif PPh atas Jasa Konstruksi (PPh Final) No.



Jenis Kegiatan



Kualifikasi Penyedia Jasa



Tarif



1. 2. 3. 4. 5.



Pelaksanaan Konstruksi Pelaksanaan Konstruksi Pelaksanaan konstruksi selain angka1&2 Perencanaan dan pengawasan konstruksi Perencanaan dan pengawasan konstruksi



Kualifikasi usaha kecil Tidak memiliki kualifikasi usaha Kualifikasi usaha menengah& besar Memiliki kualifikasi usaha Tidak memiliki kualifikasi usaha



2% 4% 3% 4% 6%



Perhitungan PPh Final didasarkan atas tariff x jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN dan PPnBM



H. BUT Perusahaan Perwakilan Dagang Asing (Representative Office/Liaison Office) Dalam Pasal 2 ayat (5) huruf c UU PPh No. 36/2008 menyatakan bahwa yang termasuk BUT salah satunya adalah Kantor Perwakilan. Demikian pula halnya dengan Tax Treaty Indonesia dengan Negara mitra luar negeri, dalam Pasal 5 ayat 2 menyatakan bahwa yang termasuk BUT salah satunya adalah ―office‖. Menurut penulis, pengertian ―office‖ dalam arti luas tentunya termasuk Representative Office/Liaison Office. Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai KantorPerwakilan Dagang di Indonesia diatur dalam KMK No. 634/KMK.04/1994 dan Kep667/PJ/2001 dan terakhir ditegaskan dengan Surat Edaran Dirjen pajak No. 2/PJ.03/2008 tanggal 31 Juli 2008 yang menetapkanpajak atas penghasilan yang diperoleh di Indonesia ditetapkan berdasarkan Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Netosebesar 0,44% dari Nilai Ekspor Bruto,bersifat Final. Ekspor Bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh WP Luar Negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia, dimana imbalan tersebut diterima dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia. Adapun dasar perhitungan 0,44% adalah sebagai berikut: PPh atas penghasilan kena pajak terutang =30% x 1% Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT (branch profit tax/BPT) (tarif 20%) = 20% x (1-0,3)% Total



= 0.30% = 0,14% 0,44%



Cara menghitung perpajakan tersebut adalah: Rincian Ekspor Kantor Pusat kepada nama dan alamat importir di Indonesia, Nilai ekspor bruto kantor pusat untuk Indonesia: PPh Terutang adalah 0,44% x Nilai ekspor bruto.



Contoh Shaun Co. Jakarta, merupakan kantor perwakilan dagang Shaun Co. Ltd. Argentina. Selama tahun pajak 2016 Shaun Co. Argentina telah melakukan ekspor ke Indonesia melalui Shaun Co. Jakarta sebesar Rp.60.000.000.000, pendapatan yang diperoleh Shaun Co. Jakarta berupa Fee sebesar Rp.600.000.000, maka PPh yang harus disetor sendiri oleh Shaun Co. Jakarta sebesar 0,44% x Rp 60.000.000.000 = Rp. 264.000.000.



I. BUT Perusahaan Pengeboran (Drilling) Minyak dan Gas Bumi Dalam Pasal 2 ayat (5) huruf c UU PPh No. 36/2008 menyatakan bahwa yang termasuk BUT adalah pertambangan dan penggalian sumber alam, dan wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi. Demikian pula halnya dengan Tax Treaty Indonesia dengan Negara mitra luar negeri, dalam Pasal 5 ayat f tax treaty tersebut menyatakan bahwa yang termasuk suatu pertambangan adalah suatu ladang minyak atau gas, suatu tempat penggalian atau tempat penambangan sumber alam lainnya termasuk kayu atau hasil hutan lainnya. Wajib Pajak BUT yang melakukan kegiatan usaha pengeboran (Drilling) minyak dan gas bumi diatur dalam KMK No. 628/KMK.04/1991 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan yang melakukan kegiatan usaha di bidang pengeboran minyak dan gas bumi serta angsuran pajak dalam tahun berjalan oleh Wajib Pajak sendiri. Untuk menghitung penghasilan netto dari Bentuk Usaha Tetap yang melakukan kegiatan usaha di bidang pengeboran minyak dan gas bumi secara internasional, sukar dilaksanakan dengan seksama karena adanya kesulitan untuk menghitung besarnya penyusutan atas peralatan pengeboran (drilling rings) dan biaya operasional lainnya, sehingga pajak atas penghasilan yang diperoleh di Indonesia ditetapkan berdasarkan Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto yakni sebesar 15% x Penghasilan bruto, bersifat Tidak Final. Sementara itu, besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 setiap bulan bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap di bidang usaha ini adalah jumlah yang dihasilkan dari penerapan tarif menurut Pasal 17 UU Pajak Penghasilan 1984 atas Penghasilan Netto dari usaha di bidang pengeboran minyak dan gas bumi yang dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus diatas ditambah penghasilan netto dari kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas). Dalam praktik, besarnya angsuran PPh yang harus dilunasi setiap bulannya adalah sebesar 4,5% dari peredaran bruto (yakni sebagai hasil penerapan tariff tertinggi sebesar 30% terhadap penghasilan neto sebesar 15% dari bruto) (Zakaria, 2005:112)



Contoh Soal : Sesuai dengan Laporan Keuangan CITIBANK,NA Jakarta, diperoleh Net Profit before tax tahun 2018 sebesar Rp 6 Miliar (0,6 Triliun), yang semuanya berasal dari attributable Income, yakni : Pendapatan Rp 2,0 Triliun Biaya (deductible) 70% Rp 1,4 Triliun Net Profit before tax Rp 0,6 Triliun Diminta : 1) PPh badan tahun 2018 bila semua profit (after tax di transfer ke perusahaan induknya di luar negeri (CITIBANK,NA USA) 2) PPh badan tahun 2018 bila semua profit (after tax) di tanamkan kembali ke Indonesia Jawab : 1. PPh badan tahun 2018 bila semua profit (after tax) di transfer ke perusahaan induknya di luar negeri (USA) Pendapatan Rp 2,0 Triliun Biaya (deductible) 70% Rp 1,4 Triliun Net Profit before tax Rp 0,6 Triliun = (Rp 6 Miliar)



PPh Badan 25% x Rp 6 Miliar Net Profit sebelum Branch Profit Tax Branch Profit Tax:Tarif 10% x 4,5 Miliar Net Profit sesudah Branch Profit Tax



Rp Rp Rp Rp



1,5 Miliar 4,5 Miliar 0,45 Miliar  3,45 Miliar



lihat Tarifnya pada Tabel 13.2 diatas



2. PPh badan tahun 2018 bila semua profit (after tax) di transfer ke perusahaan induknya di luar negeri (USA) Pendapatan Rp 2,0 Triliun Biaya (deductible) 70% Rp 1,4 Triliun Net Profit before tax Rp 0,6 Triliun = (Rp 6 Miliar) PPh Badan 25% x Rp 6 Miliar Rp 1,5 Miliar Net Profit sebelum Branch Profit Tax Rp 4,5 Miliar Branch Profit Tax Rp 0 Miliar tidak dikenakan BPT Net Profit sesudah Branch Profit Tax Rp 4,5 Miliar



Soal 1.



Sesuai dengan Laporan Keuangan Standard Chartered Bank Jakarta, diperoleh Net Profit before tax tahun 2018 sebesar Rp 6 Miliar (0,6 Triliun), yang semuanya berasal dari attributable Income, yakni : Pendapatan Rp 2,0 Triliun Biaya (deductible) 70% Rp 1,4 Triliun Net Profit before tax Rp 0,6 Triliun Diminta : 1) PPh badan tahun 2018 bila semua profit (after tax di transfer ke perusahaan induknya di luar negeri (Standard Chartered Bank UK/Inggeris) 2) PPh badan tahun 2018 bila semua profit (after tax) di tanamkan kembali ke Indonesia



2.



Dalam tahun 2016 PT. ABC melakukan beberapa transaksi yang terkait dengan jasa dari luar negeri. Diantaranya adalah jasa konsultasi dari konsultan Korea ―Korean Consult Ltd.‖ senilai US$ 50.000 dan perusahaan konsultan Korea tersebut memiliki Certificate of Domicile (COD) dari Korea, dan melakukan pekerjaan tersebut di Indonesia selama 190 hari. Kurs US$1=Rp 13.200. Pertanyaan : a. Jelaskan bagaimana status ―Korean Consult Ltd.‖ tersebut, apakah sebagai WPDN/WPLN/BUT di Indonesia ?. Berikan alasannya atau dasar hukumnya. b. Berapa Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong oleh PT. ABC atas pemberian fee jasa konsultasi kepada ―Korean Consult Ltd.‖ tersebut?



3.



Pada awal tahun 2016, ABC Trading Co (USA) menunjuk staff-nya Mr. John untuk bekerja sebagai representative-nya di PT. KLM (Indonesia) selama 2 tahun. Mr. John menerima gajinya langsung dari PT. KLM sebesar US$ 10,000 per bulan. Selain itu, ABC Co memberikan jasanya untuk pekerjaan yang dilaksanakan di USA, yang untuk pekerjaan tsb ABC Trading Co (USA) menerima fee sebesar Rp. 400 juta dari PT. KLM. Pertanyaan : a. Bagaimana status hukum dari ABC Trading Co (USA) dari aspek perpajakannya (apakah sebagai BUT atau tidak). Jelaskan dasar hukumnya. b. Dalam hubungannya dengan pendapatan yang diterima oleh ABC Trading Co (USA) tersebut, hitung berapa pajak penghasilan yang terutang oleh ABC Trading Co (USA). Bila tidak ada, jelaskan alasannya!



4.



Mr. Takedo, penduduk Jepang, sejak bulan Agustus 2016 telah berada di Jakarta, bekerja sebagai officer pengawas dari perusahaan induknya Sogotomo Corp Ltd Japan, dalam rangka penyaluran kredit untuk pembangunan perkebunan Coklat di Sulawesi yang dibiayai oleh OECF Jepang sebagai realisasi hubungan ekonomi antara Indonesia dengan Jepang, Gajinya adalah sebesar USD 8,500.000 per bulan (kurs Rp 13.200/USD1). Ia telah beristeri dan mempunyai dua orang anak.



Ditanya : a. Apakah Sogotomo Corp Ltd Japan harus mempunyai BUT di Indonesia?Jelaskan dasar hukumnya. b. Apakah Mr. Takedo diperlakukan sebagai WPLN , WPDN atau BUT? Jelaskan dasar hukumnya. c. Apa saja kewajiban perpajakan Mr. Takedo di Indonesia (bila ada)?\ 5.



Sebuah perusahaan yang berdomili di Korea Selatan yaitu Shoha Corp. Ltd. memperoleh kontrak dari perusahaan Indonesia PT. Megapol untuk membangun sebuah Gedung Perkantoran 50 lantaidi Jl. Raya Kuningan Jakarta dengan nilai kontrak sebesar Rp. 100 Milyar. Kontrak ditandatangani pada tanggal 1 Maret 2014 tetapi pekerjaan baru dimulai pada tanggal 1 Pebruari 2015 dan selesai pada tgl 30 September 2015. Pekerjaan electrical engineering dalam kontrak tersebut disubkontrakkan kepada perusahaan Korea Selatan lainnya, yakni MetroCorp. Ltd., berupa pemasangan instalasi listrik, Lift dan ventilasi udara dengan nilai kontrak sebesar Rp. 8 Milyar. Pekerjaan electrical engineering yang dilakukan oleh Metro Corp. Ltd. ini dimulai pada tanggal 1 April 2015 dan selesai pada tanggal 31 Agustus 2015. Untuk melaksanakan pekerjaan civil engineering, Shoha Corp. Ltd. mengirimkan dua orang tenaga ahlinya, yakni : - Jo Yun (status K/0), dengan gaji Rp. 60 juta sebulan dan berada di Jakarta bersama isterinya selama proyek berlangsung, tetapi gajinya dibayar di Korea Selatan. - Kim Nam (status K/1), dengan gaji Rp. 50 juta sebulan dan berada di Jakarta bersama isterinya mulai tanggal 1 Pebruari 2015 sampai dengan 30 Juni 2015 dan gajinya dibayar di Korea Selatan. Sedangkan Metro Corp. Ltd. mengirimkan dua orang teknisinya, yakni : - Kim Jong (status BK/0) yang tinggal di Jakarta selama proyek berlangsung, dengan gaji sebesar Rp 50 juta per bulan dan dibayar di Indonesia. - Song Il (status K/2), berada di Jakarta bersama isterinya mulai tanggal 1 April 2015 dengan gaji sebesar Rp. 50 juta per bulan dan dibayar di Indonesia. Biaya yang dikeluarkan oleh Metro Corp. Ltd. hanya berupa gaji karyawan asing, karyawan lokal sebesar Rp. 5 Milyar dan uang transportasi operasional sebesar Rp. 2 Milyar. Untuk melaksanakan proyek tersebut, biaya yang dikeluarkan oleh Shoha Corp. Ltd. disamping biaya untuk subkontraktor dan gaji karyawan asing termasuk gaji karyawan lokal adalah sebesar Rp 10 Milyar. Pertanyaan : a. b. c.



Apakah Shoha Corp. Ltd. dan Metro Corp. Ltd. masing-masing harus mendaftarkan BUT nya di Indonesia? Jelaskan dasar hukumnya. Bagaimana status wajib pajak keempat karyawan asing penduduk Korea tersebut, apakah sebagai WPDN atau WPLN? Jelaskan dasar hukumnya. Apakah Shoha Corp. Ltd. dan Metro Corp. Ltd. dapat dikenakan PPh di Indonesia? Sebutkan alasan saudara dengan menyebutkan Pasal dalam P3B yang bersangkutan. Apabila jawaban saudara ―Ya‖ hitung seluruh PPh yang harus dibayar dari proyek tersebut pada tahun 2015.