PERTUSIS (Kep - Anak 1) - 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS KEPERAWATAN ANAK I PENYAKIT PERTUSIS



Oleh : Kelompok 4



1. Adinda Noer Yulia



(1710001)



2. Arum Rizka Numfitri



(1710015)



3. Ilham Fajar



(1710023)



4. Mareta Dwi Aliana



(1710055)



5. Mellysa Rahayu Anjani



(1710057)



6. Nia Rahmawati Arif



(1710069)



7. Nur Alif Siad S.



(1710073)



8. Uci Kurnia Wulandari



(1710105)



PRODI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA 2018



KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul Penyakit Pertusis. Terima kasih kepada Dosen Pembimbing mata kuliah Keperawatan Anak I untuk memberikan tugas ini. Dengan ini, kami dapat mengetahui banyak tentang penyakit pertusis serta asuhan keperawatan tentang penyakit pertusis. Mengingat masih banyak kekurangan dalam penyusunan Makalah ini, penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan makalah ini. Akhir harapan penulis, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.



Surabaya, November 2018



Penulis



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...........................................................................



i



DAFTAR ISI ..........................................................................................



ii



BAB 1 PENDAHULUAN .....................................................................



1



1.1. Latar Belakang ..........................................................................



1



1.2. Rumusan Masalah .....................................................................



2



1.3. Tujuan .......................................................................................



2



1.4. Manfaat .....................................................................................



2



BAB 2 PEMBAHASAN ........................................................................



3



2.1. Penyakit Pertusis .......................................................................



3



2.2. Etiologi ......................................................................................



3



2.3. Patofisiologi ..............................................................................



4



2.4. WOC .........................................................................................



5



2.5. Manifestasi Klinis .....................................................................



5



2.6. Pemeriksaan Penunjang ............................................................



6



2.7. Komplikasi ................................................................................



7



2.8. Penatalaksanaan ........................................................................



7



2.9. Konsep Keperawatan ................................................................



11



BAB 3 PENUTUP..................................................................................



14



3.1. Kesimpulan ...............................................................................



14



3.2. Saran .........................................................................................



14



DAFTAR PUSTAKA ............................................................................



15



ii



BAB I PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang Tingkat kesehatan pada bayi perlu mendapatkan perhatian mengingat bayi atau anak sebagai generasi penerus Bangsa. Salah satu upaya untuk menjadikan generasi yang sehat yaitu dengan mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas pada anak. Selain itu juga dibutuhkan suatu upaya kesehatan yang konsisten (Soetjiningsih, 2012). Upaya mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas pada anak salah satunya dengan pemberian imunisasi. Imunisasi merupakan salah satu strategi yang efektif dan efisien dalam meningkatkan derajat kesehatan nasional dengan mencegah enam penyakit mematikan, yaitu : tuberculosis, dipteri, pertusis, campak, tetanus dan polio. WHO mencanangkan program Expanded Program on Immunization (EPI) dengan tujuan untuk meningkatkan cakupan imunisasi pada anak-anak di seluruh dunia sejak tahun 1974 (Ayubi, 2009) Menurut DINKES Jawa Timur tahun 2012 menyebutkan bahwa masih tingginya angka kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Angka kejadian luar biasa ini meliputi campak sebesar 1,69%, difteri sebesar 85,65%, hepatitis sebesar 0,19%, dan pertusis sebesar 0,38%. Sedangkan cakupan imunisasi desa/kelurahan UCI di Jawa Timur tahun 2012 sebesar 73,02%, angka ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2011 (DINKES Jatim, 2013). Cakupan desa UCI di Kabupaten Magetan tahun 2013 sebesar 88,51% dan masih berada di bawah target tahun 2013 yaitu sebesar 95% (DINKES Kab.Magetan, 2013). Beberapa alasan bayi tidak mendapatkan imunisasi lengkap yaitu karena alasan informasi, motivasi dan situasi. Alasan informasi berupa kurangnya pengetahuan ibu tentang kebutuhan, kelengkapan dan jadwal imunisasi, ketakutan akan imunisasi dan adanya persepsi salah yang beredar di masyarakat tentang imunisasi. Akan tetapi yang paling



1



2



berpengaruh adalah karena anak sakit, ketidaktahuan ibu akan pentingnya imunisasi, ketidaktahuan ibu akan pentingnya imunisasi, ketidaktahuan waktu yang tepat untuk mendapatkan imunisasi dan ketakutan akan efek samping yang ditimbulkan imunisasi (MENKES RI, 2010). Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan sangat berperan penting terhadap kelengkapan imunisasi pada bayi.



1.2. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan penyakit pertusis? 2. Apa penyebab dan tanda gejala penyakit pertusis ? 3. Bagaimana penatalaksanaan penyakit pertusis ? 4. Bagaimana model asuhan keperawatan penyakit pertusis ?



1.3. Tujuan Untuk



mengetahui



penyakit



pertusis



dan



contoh



asuhan



keperawatan pada penyakit pertusis.



1.4. Manfaat Dapat mengetahui penyakit pertusis dan contoh



asuhan



keperawatan serta dapat menambah wawasan tentang penyakit pertusis.



5



BAB 2 PEMBAHASAN



2.1. Definisi Pertussis (batuk rejan) adalah infeksi saluran nafas atas, yang pertama kali ditemukan pada tahun 1.500 an dan menjadi penyakit endemis di Eropa pada tahun 1.600 an (Altunaiji, 2012). Pertusis adalah penyakit yang sangat menular, dapat dicegah dengan vaksin yang menargetkan saluran pernapasan, yang disebabkan oleh bakteri Gram-negatif : Bordetella Pertusis dan pada tingkat paling rendah B. Parapertusis. Namun, perubahan dalam penularan penyakit diamati di daerah dengan cakupan vaksin tinggi, menunjukan memudarnya kekebalan protektif setelah vaksinasi dan/setelah infeksi dan membutuhkan penguat vaksin yang berulang (Zepp, et al, 2011). Menurut Bayhan et al. (2012), pertussis atau disebut juga dengan batuk rejan, “whooping cough”, adalah batuk yang ditandai dengan adanya suara tarikan nafas yang keras atau inspiratory whoop yang mengikuti serangan batuk yang hebat sebelumnya. Penyakit ini merupakan penyakit yang sangat menular, disebabkan oleh Bordatella pertussis.



2.2. Etiologi Bordetella pertussis (B. pertussis) adalah penyebab pertussis dan biasanya menyebabkan pertussis sporadic (Altunaiji, 2012). B.pertussis adalah bakteri coccobacillus, menginfeksi saluran nafas, dan sangat mudah menular melalui droplet (Espinoza, 2015). B.pertussis adalah bakteri gram negatif yang menjadi patogen bagi manusia, dengan tidak diketahui adanya reservoir hewan maupun lingkungan. Bordetella pertusis pertama kali ditemukan oleh Bordet dan Gengou pada tahun 1906 (Malvin dan Jeffrey, 2014). Spesies lain Bordetella, terutama Bordetella



parapertussis



dan



Bordetella



bronchiseptica,



dapat



menyebabkan gejala seperti pertusis namun lebih ringan. Variasi dalam



5



ekspresi faktor pertusis mempengaruhi virulensi (Malvin dan Jeffrey, 2014).



2.3. Patofisiologi Mulainya penyakit, biasanya muncul sebagai akibat pilek tanpa demam yang berlanjut dengan suatu peningkatan jumlah serangan batuk yang menjadi hebat dan paroksimal. Biasanya lebih lazim dimulai pada malam hari, tetapi kemudian lebih banyak batuk selama siang hari dengan 20 atau lebih serangan dalam 24 jam. Anak membuat usaha keras untuk membersihkan jalah nafas dari lendir , dan bila ini dipaksa keluar, maka akan diikuti dengan “rejan” yang khas dan sering muntah. Perkembangan penyakit pertussis dimulai ketika B. pertussis masuk saluran napas. Bakteri ini melekat pada silia mukosa saluran pernapasan.. Organisme hanya akan berkembang biak jika behubungan dengan epitel bersilia yang menimbulkan eksudasi mukopurulen. Tracheal cytotoxin dan toxin lain diproduksi dan dilepaskan oleh bakteri ini. Toxin ini merusak cilia dan Respiratory ephitalium sehingga muncul peradangan. Efek lain munculnya Lesi berupa nekrosis bagian basal dan tengah sel epitel torak disertai infiltrat neutrofil dan makrofag. Lesi biasanya terdapat pada bronkus dan bronkiolus namun mungkin terdapat perubahan-perubahan pada selaput lendir trakea, laring dan nasofaring.



5



WOC



Pertusis Bordotella pertussis Menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran pernafasan Menghasilkan toksin pertusis



Peningkatan pengeluaran histamin dan serotonin Metabolisme meningkat Pemecahan karbohidrat, protein, lemak, dan adanya penekanan pada saraf pusat



Stimulasi hippotalamus Pengeluaran prospaglandin



Peningkatan jumlah mukus pada permukaan silia Obstruksi paru



Peningkatan kerja thermostat pada otak



Suplai O2 inadekuat



Peningkatan suhu tubuh



Hipoksia



Kurang nafsu makan



Pleuritis Hipertermi



Berat badan menurun Defisit Nutrisi



Batukbatuk



Pola Nafas Tidak Efektif



Nyeri dada Nyeri Akut



Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif



10



2.4. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis pertussis dibagi menjadi 3 stadium, yaitu : kataral, paroksisismal, dan konvalesen. Pada setiap stadium berakhir selama 2 minggu (total lama sakit 6 – 8 minggu). Dimulai dengan masa inkubasi 3 – 12 hari (Irianto, 2014). A. Stadium kataralis (1 – 2 minggu) Gejala tidak khas, ditandai dengan muncul gejala ineksi saluran pernapasan bagian atas, yaitu dengan timbulnya rinoroe dengan lendir yang cair dan jernih, infeksi konjungtiva, lakrimasi, batuk dan panas yang ringan, kongesti nasal, dan anoreksia. Stadium ini sukar dibedakan dengan Common Cold, namun organisme terdapat dalam droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah di isolasi. B. Stadium paroksisismal ( 1 – 4 minggu atau lebih) Batuk menjadi hebat yang ditandai dengan whoop yang terdengar saat penderita menarik nafas pada akhir serangan batuk. Kadang episode batuk diakhiri dengan muntah. Pada anak – anak yang lebih tua atau bayi yang lebih muda, bunyi whoop sering tidak terdengar, tetapi penderita sering dalam keadaan lemas, lelah, apnea, sianosis dan muntah. Pada bayi kurang dari 3 bulan gejala batuk kurang mencolok karena kekuatan ototnya lemah atau kelelahan, untuk menimbulkan tekanan negative intratorakal secara mendadak. Stadium ini dapat berlangsung terus selama beberapa bulan dan dapat menjadi lebih berat. Selama serangan, muka penderita menjadi lebih merah dan sianosis, mata tampak menonjol, lidah menjulur ke luar dan gelisah, dapat disertai pelebaran pembuluh darah di kepala dan leher sehingga terjadi perdarahan subkonjungtiva, petekie di wajah dan leher. Di luar serangan, anak tampak seperti biasa. Setelah 1 -2 minggu serangan batuk meningkat hebat, kemudian menetap dan berlangsung 1 – 3 minggu, kemudian berangsur – angsur menurun dan menghilang.



10



C. Stadium konvalesen (1 – 2 minggu) Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah, dimana serangan batuk berangsur – angsur menghilang. Pada beberapa penderita dapat terjadi serangan paroksismal kembali diikuti stadium kovalesen berulang hingga beberapa bulan hingga tahun. Stadium ini dapat terjadi berulang – ulang untuk beberapa bulan yang berhubungan dengan infeksi saluran napas bagian atas dan bukan karena infeksi berulang atau reaktivitasi Bordotella Pertusis. Anak yang diimunisasi mengalami pemendekan pada semua stadium. Bayi kurang dari 3 bulan fase kataral biasanya terjadi selama beberapa hari.



2.5. Pemeriksaan Penunjang Serologi biasanya digunakan untuk mengkonfirmasi infeksi secara retrospektif dengan B. Pertusis pada remaja atau orang dewasa batuk selama lebih dari 3 minggu. Satu-satunya Teknik diagnistik yang direkomendasikan untuk mengukur kadar antibody anti-pertusis toksin (satu-satunya toksin spesifik B. pertussis) adalah ELISA, sedangkan Teknik



lan



seperti



:



aglutinasi,



fluoresensi



tidak



langsung,



immunoblotting atau fiksasi komplemen tidak dapat diandalkan. Serologi memiliki beberapa keterbatasan karena tidak dapat membedakan antara vaksin dan infeksi-respon imunologi yang diinduksi (infeksi sistomatik atau asimtomatik) dan tidak dapat mendeteksi infeksi B. pertussis (Koing, 2014).



2.6. Komplikasi Menurut Altunaiji (2012) pertussis bisa menyebabkan sakit berat dan mengarah pada komplikasi seperti apneu, sianosis, kesulitan intake, pneumonia, dan ensefalopati. Menurut Bayhan et al. (2012), komplikasi dari pertusis yang paling penting adalah infeksi sekunder (seperti pneumonia dan otitis media), gagal napas (apnea dan hipertensi pulmonal), gangguan fisik karena serangan batuk yang hebat (fracture



10



costae, berdarahan konjunctiva, hernia inguinal), kejang, ensefalopati, dan kematian. Pneumonia akibat pertusis adalah keadaan serius dan membutuhkan prosedur ventilasi mekanik insasif untuk memasang alat bentu pernafasan. Menurut WHO, 2009. Komplikasi dari pertussis adalah sebagai berikut : 1. Pneumonia Komplikasi yang sering terjadi pada pertussis dan disebabkan oleh infeksi sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan. Tanda yang menunjukkan pneumonia bila didapatkan napas cepat diantara episode batuk, demam dan terjadinya distress pernapasan secara cepat. 2. Kejang Disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan apnu atau sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin. 3. Gizi buruk Anak dengan pertussis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan oleh berkurangnya asupan makan dan sering muntah. Cegah gizi kurang dengan asupan makana adekuat. 4. Perdarahan dan hernia Perdarahan subkonjungtiva terutama di bagian skela yang putih dan epistaksis sering terjadi pada pertussis. 2.7. Penatalaksanaan Regimen Antibiotik untuk Terapi dan Profilaksis Pertussis (Snyder dan Fisher, 2012). Obat Azitromisin



Dosis dan sediaan -



< 6 bulan: 10 mg/kg selama 5 hari



-



≥6 bulan: 10 mg/kg (max 500 mg) selama 1 hari, diikuti 5 mg/kg selama 1 hari, kemudian 250 mg/ hari selama 2 – 5 hari



-



Dewasa: 500 mg selama 1 hari, dilanjutkan 250 mg/hari selama 2 – 5 hari



10



Claritromisin



-



< 1 bulan: tidak direkomendasikan



-



> 1 bulan: 15 mg/kg/hari (max 1g/hari) dibagi dalam 2 dosis selama 7 hari



-



Dewasa: 1 g/hari dibagi dalam 2 dosis selama 7 hari



Eritromisin



-



< 1 bulan: 40 – 50 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis.



Monitoring



ketat



karena



beresiko



stenosis pylorica -



> 1 bulan: 40 – 50 mg/kg/hari (max 2 g/hari) dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari



-



Dewasa: 2 g/hari dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari



TMP – SMX



-



< 2 bulan: kontraindikasi



-



>2 bulan: TMP 8 mg/kg/hari, SMX 40 mg/kg/hari, dibagi dalam 2 dosis selama 14 hari



-



Dewasa: TMP 320 mg/hari, SMX 1600 mg/hari, dibagi dalam 2 dosis selama 14 hari



B. pertussis secara sendirinya dapat hilang secara spontan dari nasofaring dalam waktu 2 sampai 4 minggu pasca infeksi. Ketika mulai di awal perjalanan penyakit, selama tahap katarhal, antibiotik dapat mempersingkat gejala dan mengurangi keparahan pertusis. Setelah tahap paroksismal antibiotic tidak efektif dalam mengubah perjalanan penyakit. Dengan ini tahap, manifestasi klinis penyakit yang disebabkan oleh toksin Bordetella pertussis, dan dengan demikian tidak terpengaruh oleh terapi antimikroba. Meskipun perjalanan klinis pertusis tidak mudah dipengaruhi oleh pengobatan, penggunaan antibiotik namun dapat mengurangi masa penularan (Snyder dan Fisher, 2012). Antibiotik yang direkomendasikan untuk tatalaksana pertusis untuk anak berusia lebih dari 1 tahun adalah makrolid, seperti eritromisin, claritromisin, dan azitromisin. Sedangkan untuk anak berusia



10



kurang dari 1 tahun lebih direkomendasikan menggunakan azitromisin atau claritromisin intravena (Bayhan et al., 2012). Studi terbaru menurut Snyder dan Fisher (2012) menunjukkan azitromisin adalah obat yang memiliki efek samping gastrointestinal yang lebih sedikit, karena tidak menghambat sistem sitokrom P450. Selain itu, eritromisin telah dikaitkan dengan peningkatan risiko stenosis pilorus bila diberikan untuk bayi di pertama 2 minggu setelah kelahiran. Sementara menurut Bayhan et al. (2012), claritromisin sangat efektif dan aman untuk terapi pada pasien dengan apnea, hipoksia dan kesulitan makan. Altuniaji (2012) menunjukkan bahwa pemberian antibiotik untuk pengobatan pertussis efektif dalam mengeliminasi B. pertussis agar tidak menular tetapi tidak mengubah perjalanan klinis dari penyakit. Regimen antibiotik yang efektif antara lain : 



Azitromicin (10 mg/kgBB) single dose selama 3 hari







Azitromicin (10mg/kgBB pada hari pertama terapi dan 5 mg/kgBB sekali sehari pada hari kedua hinga hari ke-15 terapi).







Clarithrimycin (7,5mg/kgBB/dosis 2x/hari) selama 7 hari







Eritromicin (60mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 7-14 hari







Eritromicin (60mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 14 hari







Oxytetracyclin (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari







Kloramfenikol (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari Menurut WHO, 2009. Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6



bulan dilaksanakan secara rawat jalan dengan perawatan penunjang. Umur < 6 bulan dirawat di rumah sakit, demikian juga pada anak dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti nafas lama. Atau kebiruan setelah batuk. Pemberian penatalaksanaan yang diberikan berupa : 1. Antibiotic



10



Berikan Eritromisin oral (12,5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari) selama 10 hari atau jenis makrolid lainnya. Hal ini tidak akan memperpendek lamanya sakit tetapi akan menurunkan periode infeksius. 2. Oksigen Beri oksigen padan anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas atau batuk paroksismal berat. Gunakan simple mask, jangn kateter nasofaringeal atau kateter nasal, karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih dari mucus agar tidak menghambat aliran oksigen. Terapi dilanjutkan bila gejala tidak ada lagi. Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa simple mask berada diposisi yang benar dan tidak tertutup oleh mucus dan bahwa semua sambungan aman. Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan kepala lebih rendah dalam posisi telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan membantu pengeluaran secret. Bila anak mengalami episode sianosis, isap lendir dari hidung dan tenggorokan dengan lembut dan hati-hati. Bila apnu, segerah bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual atau dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen.



12



2.8. Konsep Keperawatan 1. Pengkajian Pengkajian riwayat kesehatan yang lengkap pada pasien harus dilakukan, yang menunjukkan kemungkinan tanda dan gejala batuk yang terus menerus, dehidrasi, menurunnya nafsu makan, cyanosis. Menetapkan kapan gejala mulai timbul, apa yang menjadi pencetusnya, apa yang dapat menghilangkan atau meringankan gejala tersebut dan apa yang memperburuk gejala adalah bagian dari pengkajian, juga mengidentifikasi setiap riwayat alergi atau adanya penyakit yang timbul bersamaan. Pada pasien pertusis selain pemeriksaan fisik juga dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan sputum. (Askep Pertusis, 2012) Pemeriksaan fisik pada pasien pertusis didasarkan pada : 1. Pernafasan B1 (breath) a. Bentuk dada : pigeon chest atau barrel chest b. Pola napas : tidak teratur. Dengan pola napas tidak teratur seperti : -



dispnoe = sesak nafas yang sangat berat



-



kussmaul = pernafasan yang cepat dan dalam



-



chayne stokes = pernafasan yang cepat tetapi ada periode apnoe (tidak ada nafas)



c. Suara napas : ronchi d. Sesak napas : ya e. Batuk : ya f. Retraksi otot bantu napas ; tidak ada g. Alat bantu pernapasan : tidak



2. Kardiovaskular B2 (blood) a. Irama jantung : regular b. Nyeri dada : ya c. Bunyi jantung ; normal d. Akral : hangat, kering dan merah.



12



3. Persyarafan B3 (brain) a. Penglihatan (mata) : konjungtiva b. Pendengaran (telinga) : tidak ada gangguan c. Penciuman (hidung) : tidak ada gangguan



4. Perkemihan B4 (bladder) a. Kebersihan : bersih b. Bentuk alat kelamin : normal c. Uretra : normal



5. Pencernaan B5 (bowel) a. Nafsu makan : menurun b. Porsi makan : tidak habis c. Mulut : bersih d. Mukosa : lembap



6. Muskuloskeletal B6 (bone) Kemampuan pergerakan sendi : bebas



2. Diagnosa Keperawatan a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan. b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas (nyeri saat bernafas) c. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (inflamasi) d. Defisit Nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis (keengganan untuk makan). e. Hipertermia berhubungan dengan kejadian ikutan pasca imunisasi DPT



13



3. Intervensi a.



Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan. Intervensi keperawatan : 1) Auskultasi bunyi nafas (misal : mengi) R/ untuk mengidentifikasi adanya obstruksi jalan nafas yang membahayakan oksigenasi. 2) Kaji /pantau frekuensi pernafasan. R/ untuk mengetahui adanya penurunan dan peningkatan frekuensi pernafasan. 3) Berikan pasien posisi semi fowler. R/ untuk membantu memaksimalkan ekspansi paru. 4) Ajarkan pasien melakukan batuk efektif. R/ untuk membersihkan jalan nafas dan membantu komplikasi pernafasan. 5) Anjurkan untuk minum air hangat. R/ untuk membantu mengencerkan sekret. 6) Kolaborasi dengan dokter dalam hal pemberian obat antibiotik. R/



untuk



menghambat



pertumbuhan



bakteri



dan



meringankan batuk



b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas (nyeri saat bernafas). Intervensi keperawatan: 1) Auskultasi bunyi nafas (misal: mengi) R/ untuk mengidentifikasi adanya obstruksi jalan nafas yang membahayakan oksigenasi. 2) Kaji/pantau frekuensi pernafasan R/ untuk mengetahui adanya penurunan dan peningkatan frekuensi pernafasan. 3) Berikan pasien posisi semi fowler R/ untuk membantu memaksimalkan ekspansi paru. 4) Ajarkan pasien melakukan batuk efektif



13



R/ untuk membersihkan jalan nafas dan membantu mencegah komplikasi pernafasan. 5) Berikan obat sesuai indikasi seperti eritromisin, kodein, ampisilin, dan lain-lain. R/ untuk memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi dan untuk meringankan batuk.



c. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (inflamasi). Intervensi keperawatan : 1) Tentukan karakteristik nyeri R/ untuk membantu mengevaluasi tingkat nyeri 2) Berikan posisi yang nyaman R/ untuk mengurangi rasa nyeri 3) Dorong pasien untuk menyatakan perasaan nyeri R/ takut dapat meningkatkan tegangan otot dan menurunkan ambang persepsi nyeri 4) Berikan lingkungan yang tenang R/ untuk meningkatkan mekanisme koping 5) Berikan analgesik sesuai indikasi (kolaborasi R/ untuk memperbaiki fungsi pernafasan dan mengurangi nyeri.



d. Defisit nutrisi berhubungan faktor psikologis (keengganan untuk makan. Intervensi keperawatan : 1) Timbang berat badan pasien secara rutin R/ untuk mengetahui adanya peningkatan berat badan pasien. 2) Catat status nutrisi. R/ untuk mengetahui pemasukan makanan. 3) Awasi pemasukan/pengeluaran makanan secara periodik. R/



berguna



dalam



mengukur



jumlah



nutrisi.



13



4) Anjurkan untuk banyak istirahat. R/ membantu menghemat energi khususnya bila metabolik meningkat saat demam. 5) Kolaborasi



dengan



ahli



gizi



untuk



meningkatkan



komposisi diit. R/ memberi bantuan dalam perencanaan diit



e. Hipertermia berhubungan dengan kejadian ikutan pasca imunisasi DPT. Intervensi keperawatan : 1) Berikan buli-buli hangat pada daerah aksila dan lipatan paha R/ untuk menurunkan deman pasca imunisasi



BAB 3 PENUTUP



3.1. Kesimpulan Pertussis (batuk rejan) adalah infeksi saluran nafas atas, yang pertama kali ditemukan pada tahun 1.500 an dan menjadi penyakit endemis di Eropa pada tahun 1.600 an (Altunaiji, 2012). Pertusis adalah penyakit yang sangat menular, dapat dicegah dengan vaksin yang menargetkan saluran pernapasan, yang disebabkan oleh bakteri Gram-negatif : Bordetella Pertusis dan pada tingkat paling rendah B. Parapertusis. Namun, perubahan dalam penularan penyakit diamati di daerah dengan cakupan vaksin tinggi, menunjukan memudarnya kekebalan protektif setelah vaksinasi dan/setelah infeksi dan membutuhkan penguat vaksin yang berulang (Zepp, et al, 2011).



3.2. Saran Demikian yang dapat saya jelaskan mengenain materi yang menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya refrensi yang ada hubungannya dengan makalah saya ini. Kami banyak berharap para pembaca yang budiman dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan.



14



DAFTAR PUSTAKA



Altunaiji SM, Kukuruzovic RH, Curtis NC, Massie J (2012). Antibiotics for whooping cough (pertussis) (Review). Evid.-Based Child Health 7:3: 893– 956 Bayhan GI, Tanir G, Otgun SN, Teke TA, Timur OM, Oz FN (2012). The clinical characteristics and treatment of pertussis patients in a tertiary center over a four-year period. The Turkish Journal of Pediatrics, 54 : 596-60 Espinoza IP, Medina SB, Alzamora AH, Weilg P, Pons MJ, Luis MA, et al (2015). BioMed Central Infectious Disease, 15: 554 Irianto, Koes, 2014. Ilmu Kesehtanan Aank. Yogyakarta: Alfabeta. Kumpulan Asuhan Keperawatan (Askep Pertusis), 2012. Kusumawati, Endah dan Awang Teja Satria.2017. Pengaruh Pemberian Buli-Buli Hangat pada Daerah Aksila dan Lipatan Paha Terhadap Penurunan Demam Pasca Imunisasi DPT Hari ke-3 pada Bayi Usia 2-6 Bulan di Desa Wajak Kabupaten Malang, Volume 5, No.1:25-32. Malang: Universitas Tribhuwana Tunggadewi. Maimunah.2017. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Pelaksanaan Imunisasi Dasar pada Bayi di Desa Karang Sari Huta 3 Kecamatan Gunung Maligas Kabupaten Simalungun, Volume 15, No.29:31-37.Medan: STIKES Flora. Melvin, Jeffrey A (2014). Bordetella pertussis pathogenesis: current and future challenges. Snyder J, Fisher D (2012). Pertussis in Childhood. Pediatrics in Review, 33 : 412 Tjahjowargo, Sendy dan Hartono Gunardi.2017.Laporan Kasus Berbasis Bukti Perbandingan Efektivitas dan Keamanan Vaksin Pertusis Aselular dan Whole-cell, Volume 18, No.5:403-408. Jakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.



15



World Health Organization, 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Dakit. Jakarta: WHO Indonesia. Zeep F, Heininger U, Mertsola J, Bernatowska E, Guiso N, Roord J, Tozzi AE, et al (2011). Rationale for pertussis booster vaccination throughout life in Europe. The Lancet, 2011 (11) : 557 – 570



15