Proposal Pemetaan Geologi Daerah Cikalongkulon, Cianjur [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROPOSAL PEMETAAN GEOLOGI Daerah Mekarsari dan Sekitarnya, Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat



ANDREI NORMAN DONDOKAMBEY 072.13.015



TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 2017



KATA PENGANTAR Puji syukur atas Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga proposal pemetaan geologi yang berjudul “Pemetaan Geologi Daerah Mekarsari dan Sekitarnya, Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat” ini dapat terselesaikan. Proposal ini disusun dan diajukan untuk memenuhi syarat dalam persiapan untuk Pemetaan Geologi pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti, Jakarta. Dalam penyusunan dan penulisan ini, penyusun menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan, maka dari itu penulis menerima setiap masukan dan kritikan yang bersifat membangun sehingga di kemudian hari tulisan ini dapat menjadi lebih baik lagi dan juga berguna bagi orang lain.



2



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ………………………………………………………….2 DAFTAR ISI …………………………………………………………………. ..3 BAB I: PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang………………………………………………………4 I.2. Maksud dan Tujuan…………………………………………………4 I.3. Daerah Pemetaan……………………………………………………5 I.4. Studi Pustaka............................................................................……...6 BAB II: GEOMORFOLOGI REGIONAL II.1. Fisiografi Regional ………….………………………………….......7 II.2. Klasifikasi Geomorfologi …………………………………............10 BAB III: GEOLOGI REGIONAL III.1. Stratigrafi Regional………………………………………………15 III.2. Struktur Geologi Regional …………………………………...…18 III.3. Tektonik Regional...……………………………………………...20 BAB IV: KONDISI UMUM DAERAH PEMETAAN IV.1. Lokasi Daerah Pemetaan ……………………………………......22 IV.2. Geomorfologi Daerah Pemetaan ………………………......……22 IV.3. Pola Aliran Sungai Daerah Pemetaan ……………….…………27 IV.4. Stratigrafi Daerah Pemetaan ………..……………..........….......28 IV.5. Struktur Geologi Daerah Pemetaan ………….....................…...31 BAB V: METODE PENELITIAN V.1. Tahap Persiapan dan Perencanaan …………………..................32 V.2. Tahap Penelitian Lapangan ……………………………………...33 V.3. Tahap Penelitian Laboratorium …………………………….…...34 V.4. Tahap Penyusunan Laporan ………………………………..……34 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… .36 LAMPIRAN …………………………………………………………………... 37 LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………….. .38



BAB I PENDAHULUAN



I.1. Latar Belakang Pada zaman modern seperti ini, ilmu geologi memiliki peranan penting dalam memberikan informasi tentang perkembangan kondisi geologi



3



pada suatu daerah. Karna berkembangnya kondisi geologi itu lah yang membuat para ahli di bidang ini melakukan penelitian langsung ke daerah tersebut. Dan penelitian itu pun untuk mendapatkan suatu data yang detil mencakup kondisi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi dan aspek aspek geologi lainnya. Pemetaan geologi merupakan suatu kegiatan pendataan informasiinformasi geologi permukaan dan menghasilkan suatu bentuk laporan berupa peta geologi yang dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran dan susunan batuan (lapisan batuan), serta memuat informasi gejala-gejala struktur geologi yang mungkin mempengaruhi pola penyebaran batuan pada daerah tersebut. Maka dari itu, program pemetaan geologi ini adalah suatu wadah pelatihan untuk mempraktekan ilmu teori yang sudah di dapat selama perkuliahan berlangsung. I.2. Maksud dan Tujuan Maksud dari pemetaan di daerah Mekarsari dan sekitarnya, Kecamata Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat adalah untuk mengetahui potensi geologi dan kebencanaan geologi pda daerah ini. Tujuan dari pemetaan ini adalah untuk mendapatkan suatu data yang detil dan mencakup jenis litologi, geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi, dan evaluasi geologi. I.3 Lokasi Daerah Pemetaan Daerah pemetaan terletak di Mekarsari dan sekitarnya, Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Luas daerah pemetaan adalah 30 km2, dengan luas 5km x 6km dengan arah memanjang utara – selatan.



Tabel 1.1 Koordinat Geografis Kavling 20 Nama



Kavling



Koordinat



4



Andrei Norman D.



107°09'20.2"



107°12'04.0"



BT



6°36'32.0"



6°39'46.2"



LS



20



Kesampaian daerah pemetaan dapat ditempuh selama +/- 5 jam dari Jakarta dengan menggunakan bis. Untuk mencapai daerah penelitian dapat ditempuh 15 – 45 menit dengan menggunakan sepeda motor dan mobil angkutan umum di daerah tersebut.



Tabel 1.2 Lokasi Daerah Pengamatan Kavling 20 Lokasi Kavling Kavling



20



Kabupaten



Kecamatan



Desa / Kelurahan



Cianjur



Cikalongkulon



Mekarsari, Mekarjaya



Bogor



Tanjungsari



Sirnasari, Sirnajaya, Buanajaya



5



I.4. Studi Pustaka



6



BAB II GEOMORFOLOGI REGIONAL II.1. Fisiografi Regional Secara fisiografi, Van Bemmelan (1970) telah membagi daerah Jawa Barat menjadi lima jalur fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: Zona Dataran Rendah Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, Zona Pegunungan Bayah, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat. Berdasarkan letak geografisnya, maka secara fisiografi, daerah penelitian termasuk kedalam Zona Bogor bagian Timur.



Gambar 2.1 Pembagian Fisiografi Jawa Barat (Van Bemmelen, 1949)



II.1.1. Zona Jakarta (Pantai Utara) Daerah ini terletak di tepi laut Jawa dengan lebar lebih kurang 40 km terbentang mulai dari Serang sampai ke Cirebon. Sebagian besar tertutupi oleh endapan alluvial yang terangkut oleh sungaisungai yang bermuara di laut Jawa seperti Ci Tarum, Ci Manuk, Ci Asem, Ci Punagara. Ci Keruh dan Ci Sanggarung. Selain itu endapan lahar dari Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Gede dan Gunung 7



Pangranggo menutupi sebagai zona ini dalam bentuk vulkanik alluvial fan (endapan kipas alluvial) khususnya yang berbatasan dengan zona Bandung. II.1.2. Zona Bogor Zona Bogor terdapat di bagian selatan Zona Dataran Rendah Pantai Jakarta dan membentang dari barat ke timur,yaitu mulai dari Rangkasbitung melalui Bogor, Purwakarta, Subang, Sumedang, Kuningan dan Manjalengka. Daerah ini merupakan perbukitan lipatan yang terbentuk dari batuan sedimen tersier laut dalam membentuk suatu Antiklinorium yang cembung ke arah utara dengan arah sumbu lipatan barat- timur, di beberapa tempat mengalami patahan yang diperkirakan



pada



zaman



Pliosen-Plistosen



sezaman



dengan



terbentuknya patahan Lembang dan pengangkatan Pegunungan Selatan. Zona ini banyak dipengaruhi oleh aktivitas tektonik dengan arah tegasan relatif berarah barat-timur. Inti antiklinorium ini terdiri atas lapisan-lapisan batuan yang berumur Miosen dan sayapnya ditempati oleh batuan yang lebih muda yaitu berumur Piosen hingga Plistosen. Umumnya terdiri dari batulempung, batupasir, dan breksi yang merupakan endapan turbidit, disertai beberapa intrusi hypabisal. Endapannya terdiri dari akumulasi endapan Neogen yang tebal dengan dicirikan oleh endapan laut dalam. Zona Bogor sekarang terlihat sebagai daerah yang berbukitbukit rendah di sebagian tempat secara sporadis terdapat-bukit-bukit dengan batuan keras yang dinamakan vulkanik neck atau sebagai batuan intrusi seperti Gunung Parang dan Gunung Sanggabuwana di Plered Purwakarta, Gunung Kromong dan Gunung Buligir sekitar Majalengka. Batas antara zona Bogor dengan zona Bandung adalah Gunung Ciremai (3.078 meter) di Kuningan dan Gunung Tampomas (1.684 meter) di Sumedang.



8



II.1.3. Zona Bandung Zona Bandung merupakan daerah gunung api, zona ini merupakan suatu depresi jika dibanding dengan zona Bogor dan Zona Pegunungan Selatan yang mengapitnya yang terlipat pada zaman tersier. Zona Bandung sebagain besar terisi oleh endapan vulkanik muda produk dari gunung api disekitarnya. Gunung - gunung berapi terletak pada dataran rendah antara kedua zona itu dan merupakan dua barisan di pinggir Zone Bandung pada perbatasan Zona Bogor dan Zone Pegunungan Selatan. Walaupun Zona Bandung merupakan suatu depresi, ketinggiannya masih cukup besar, misalnya depresi Bandung dengan ketinggian 650–700mdpl. II.1.4. Zona Pegunungan Bayah Zona ini terbentang dari sebelah barat jalur Bogor dengan penyebaran yang tidak begitu luas jika dibandingkan dengan penyebaran satuan fisiografi lainnya. Terjadi atas bagian selatan yang terlipat kuat, bagian tengah terdiri atas batuan andesit tua dan bagian Utara yang merupakan daerah peralihan dengan zona Bogor. II.1.5. Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat Satuan fisiografi Jawa



Barat disusun oleh Pegunungan



Periangan Selatan yang disebut sebagai Pegunungan Selatan. Zona Pegunungan Selatan memghampar dari Teluk Pelabuhan Ratu sampai Pulau Nusakambangan di Selatan Sagara Anakan, dekat Cilacap. Zona Pegunungan Selatan memiliki lebar 50 Km dan menyempit menjadi beberapa kilometer di ujung timur, yaitu Pulau Nusakambangan.



II.2. Geomorfologi Daerah Pemetaan



9



Bentang alam dari daerah pemetaan dikelompokkan secara sistematis berdasarkan kenampakan bentuk-bentuk relief, kemiringan lereng, dan struktur geologi yang mengontrolnya. Bentang alam yang khas dapat dihasilkan berdasarkan konsep dasar geomorfologi dan bentuk



bentang



pencerminan



alam



dari



suatu



proses



daerah



yang



endogen



mana



dan



merupakan



eksogen



yang



mempengaruhinya. Pengklasifikasian bentang alam ini, dilakukan dengan mengacu pada parameter-parameter relief tertentu. Peninjauan dari aspek relief dibedakan berdasarkan klasifikasi Van Zuidam. Tabel 2.1. Klasifikasi Van Zuidam (1983) Satuan Relief



Kelerengan (%)



Beda Tinggi (m)



Datar/Hampir Datar



0–2



140



> 1000



Sedangkan peninjauan dari aspek genetik atau kontrol utama pembentuknya dapat dibedakan berdasarkan klasifikasi Hidartan dan Handaya (1994) sebagai berikut: 1) Bentukan asal struktural Bentukan asal struktural adalah bentukan bentang alam asal endogen. Bentukan lahan struktural terbentuk karena adanya proses endogen atau proses tektonik yang



berupa pengangkatan,



perlipatan, dan patahan. Gaya tektonik ini bersifat konstruktif (membangun) dan pada awalnya hampir semua bentuk lahan di roman muka bumi ini dibentuk oleh kontrol struktural. 2) Bentukan asal volkanik



10



Bentukan asal volkanik adalah bentukan bentang alam asal endogen. Bentukan lahan terjadi akibat aktivitas volkanik berupa kepundan, kerucut semburan, medan lava, medan lahar, dan sebagainya yang umumnya berada pada wilayah gunung api. 3) Bentukan asal fluvial Bentukan asal fluvial adalah bentukan bentang alam asal eksogen. Bentukan asal fluvial ini adalah bentuk lahan yang berkaitan erat dengan aktivitas sungai dan air permukaan yang berupa pengikisan, pengangkutan, dan penimbunan pada daerah rendah seperti lembah dan daratan aluvial. 4) Bentukan asal marine Bentukan asal marine adalah bentukan bentang alam asal eksogen. Aktivitas-aktivitas utama yang menghasilkan bentukan asal marine adalah abrasi, sedimentasi, pasang-surut, dan pertemuan terumbu karang. Bentuk lahan yang dihasilkan oleh aktivitas marine berada di kawasan pesisir yang melapar sejajar garis pantai. 5) Bentukan asal karst Bentuk lahan asal karst atau pelarutan dihasilkan oleh proses pelarutan pada batuan yang mudah larut. Bentuk asal karst ini mempunyai karakteristik relief dan drainase yang khas karena adanya tingkat pelarutan batuan yang tinggi. 6) Bentukan asal aeolean Bentukan asal aeolean atau angin adalah bentukan yang dipengaruhi oleh angin yang umurnya dibedakan menjadi gemuk pasir dan endapan debu (loess). 7) Bentukan asal glasial Bentuk asal glasial dihasilkan oleh aktivitas gletser, tidak berkembang di daerah tropis kecuali sedikit di puncak. 8) Bentukan asal denudasional Bentuk asal denudasional adalah proses denudasional (penelanjangan) dan merupakan kesatuan dari proses pelapukan, pergerakan tanah, erosi, dan kemudian diakhiri dengan proses pengendapan.



11



Sementara untuk menentukan suatu stadia daerah dan stadia sungai digunakan parameter yang dibuat oleh Bani Nugroho (2001). Tabel 2.2 Klasifikasi Stadia Daerah (Nugroho, 2001) Stadia Daerah



PARAMETER Stadia Sungai Relief



Muda



Dewasa



Tua



Muda



Muda – Dewasa



Tua



Sedikit – Bergelombang



Maksimum



Hampir Datar



U–V



V



U – Datar



Bentang alam umumnya



Bentang alam bergelombang



Bentang alamnya



datar sampai



sampai maksimum.



datar.



bergelombang.



Mulai ada gawir.



Hasil proses



Tidak ada Gawir.



Relief sedang – maksimum.



pengendapan.



Relief kecil.



V–U



Tidak ada relief.



Bentuk Penampang Lembah Kenampakan Lain



V



U – Datar



Tabel 2.3. Klasifikasi Stadia Sungai (Bani Nugroho, 2001)



12



Stadia Sungai



Parameter



Muda



Dewasa



Tua



Slope Gradient



Besar



Relatif Kecil



Tidak Ada



Kecepatan Aliran



Tinggi



Sedang



Rendah



Turbulent



Turbulent – Laminar



Laminer



Vertikal



Vertikal – Horizontal



Horizontal



Proses yang Bekerja



Erosi



Erosi dan Deposisi



Deposisi



Bentuk/Pola Sungai



Lurus



Lurus – Bermeander



Bermeander – Komplek



Bentuk Penampang



V



V–U



U



Kecil/Jarang



Sedang/Mulai Banyak



Besar/Banyak



Banyak air terjun,



Air terjun sedikit, mulai ada



Tidak ada air terjun,



tidak ada dataran



dataran banjir



dataran banjir luas



Jenis Aliran Air Jenis Erosi



Kerapatan/Anak Sungai Kenampakan Lain



banjir



Berdasarkan klasifikasi Howard (1967), pola aliran sungai terbagi menjadi



dendritik,



parallel,



trellis,



rectangular,



radial,



annular,



multibasinal, dan contorted.



Gambar 2.2 Klasifikasi Pola Aliran Sungai (Howard, 1967)



Pada dasarnya, stadia daerah berkaitan dengan ciri-ciri dari sungai yang ada pada daerah penelitian. Dengan mengetahui stadia daerah, dapat ditentukan tingkat erosi atau proses denudasi (penelanjangan) yang sedang



13



terjadi pada daerah penelitian. Lobeck (1939) membagi genetik sungai dan stadia daerah menjadi 3 jenis. Pembagian genetik sungai menurut Lobeck (1939) adalah sebagai berikut:  Subsekuen, sungai dengan arah aliran sungai yang mengikuti arah jurus lapisan batuan yang dilaluinya.  Konsekuen, sungai dengan arah aliran sungai yang mengikuti arah kemiringan lapisan batuan yang dilaluinya.  Obsekuen, sungai dengan arah aliran sungai yang berlawanan dengan arah kemiringan lapisan batuan yang dilaluinya.



14



BAB III GEOLOGI REGIONAL III.1. Stratigrafi Regional Menurut Martodjojo (2003), wilayah Jawa Barat dapat dibagi menjadi tiga mandala sedimentasi erdasarkan mayritas ciri sedimen pembentuknya, yaitu: a. Mandala Paparan kontinen yang terletak paling utara. Paparan ini tempatnya hampir sama dengan Zona Fisiografi Dataran Pantai Jakarta, dicirikan oleh endapan paparan, umumnya terdiri dari batugamping, batulempung dan batupasir kuarsa, serta lingkungan umumnya laut dangkal. Pada mandala ini pola transgresi dan regresi umumnya jelas terlihat. Struktur geologinya sederhana, umumnya sebagai pengaruh dari pergerakan isostasi dari batuan dasar (basement). Ketebalan sedimen di daerah inin dapat mencapai 5000 m. Batas selatan Mandala Paparan kontinen ini deperkirakan sama dengan penyebaran singkapan Formasi Parigi dari Cibinong – Purwakarta sejajar degan pantai utara. Bagian utaranya menerus ke lepas pantai, meliputi daerah pengeboran minyak bumi di lepas pantai utara Jawa. b. Mandala Sedimentasi Bogor meliputi beberapa Zona Fisiografi van Bemmelen (1949), yakni: Zona Bogor, Zona Bandung dan Pegunungan Selatan. Mandala sedimentasi ini dicirikan oleh endapan aliran gravitasi, yang kebanyakan berupa fragmen batuan beku dan sedimen, seperti: andesti, basalt, tufa dan batugamping. Ketebalan keseluruhan secara pasti sulit ditentukan, tatpi diperkirakan 7000 m. c. Mandala Sedimentasi Banten, kurang begitu jelas, mengingat sedikitnya data yang diketahui. Pada unmur Tersier Awal, mandala ini lebih menyrupai Mandala Cekungan Bogor. Daerah penelitian terletak pada Mandala Cekungan Bogor. Mandala Cekungan Bogor menurut Martodjojo (1984) mengalami perubahan dari 15



waktu ke waktu sepanjang zaman Tersier – Kuarter. Mandala ini terdiri dari tiga siklus pengendapan. Pertama-tama diendapkan sedimen laut dalam, kemudian sedimen darat yang berangsur berubah menjadi sedimen laut dangkal, dan yang terakhir diendapkan sedimen dengan mekanisme aliran gravitasi. Siklus pertama dan kedua sedimen berasal dari utara, sedangkan siklus ketiga berasal dari selatan. Lebih lanjut, Martodjojo (1984) telah membuat penampang stratigrafi terpulihkan utara-selatan di Jawa Barat.



Gambar 3.1 Penampang Stratigrafi Utara-Selatan Jawa Barat



Menurut Martodjojo (1984), Mandala Cekungan Bogor didasari oleh kompleks batuan yang terdiri dai batuan beku dan metamorf yang berumur Kapur sampai Eosen Awal yang merupakan bataan tertua pada mandala ini. Pada Kala Eosen Awal, cekungan ini berada di bagian depan busur yang merupakan suatu prisma akresi sejak Kapur sampai Eosen. Di atas kompleks mélange tersebut diendapkan Formasi Ciletuh yang di perkirakan berumur Eosen Awal yang tersusun oleh perselingan lempung



16



dan batupasir kuarsa dengan sisipan breksi pada lingkungan laut dalan dengan mekanisme aru gravitasi. Formasi Bayah diendapkan secara selaras di atas formasi Ciletuh. Formasi Bayah yang diperkirakan berumur Eosen Tengah – Eosen Akhir, tersusun atas batupasir greywacke dan batupasir kuarsa berseling dengan serpih, dijumpai juga sisipan batubara. Puncak pendangkalan di sebagian atau seluruh Pulau Jawa diperkirakan terjadi bersamaan dengan pembentukan Formasi Bayah. Pada Kala Oligosen Akhir diendapkan Formasi Batuasih secara tidak selaras di atas Formasi Bayah. Formasi Batuasih diendapkan pada lingkungan transisi yang tersusun atas batulempung napalan dengan sisipan batupasir kuarsa. Pada beberapa horizon terdapat napal yang kaya foraminifera plankton, foraminifera bentonik dan juga moluska. Bagian teratas dari Formasi Batuasih lebih bersifat gampingan dan mengandung lensa-lensa gamping kalkarenit. Pada Oligosen Akhir sampai Awal Miosen diendapkan Formasi Rajamandala yang didominasi oleh batugamping terumbu yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal. Bagian bawah formasi inin memliki hubungan menjari dengan formasi Bayah, tetapi di Teluk Bayah formasi inin tidak ditemukan. Penyebaran dari satuan ini hanya terdapat pada jalur tertentu, mamanjang dari Citarate di Bayah-Sukabumi, dan menerus ke Rajamandala, Sehingga disimpulkan pada waktu Formasi Rajamandala diendapkan, daerah poros



Citarate-Sukabumi-Rajamandala



merupakan



pinggir dari suatu



cekungan, berbatasan dengan daratan di selatan Ciletuh. Dari system terumbu yang ada menunjukkan arah laut terbuka ke utara (Martodjojo, 2003). Pada Kala Miosen Awal, aktivitas gunung api masih berlangsung dengan batuan bersifat basalt sampai andesit yang berasal dari selatan dan terendapkan dalan Cekungan Bogor yang pada kala ini meruoakan cekungan belakang busur. Penyebaran dan pengendapan rombakan deretan gunung api 17



yang cepat mematikan pertumbuhan terumbu Formasi Rajamandala sehingga endapan vulkanik yang dikenal dengan Formasi Jampang dan Formasi Citarum mulai diendapkan pada lingkungan marin. Pada Kala Miosen Tengah kemudian diendapkan Formasi Saguling berupa breksi yang ditutupi secara selaras oleh Formasi Bantargadung yang dicirikan oleh endapan turbidit halus akitivitas kipas laut dalam berupa lempung dan greywacke yang berumur Miosen Tengah bagian akhir. Pada daerah ini penurunan merupakan gerak tektonik yang dominan. Pada Kala Misoen Akhir, diendapkan Formasi Cigadung dibagian Lembah Cimandiri dan Formasi Cantayan di bagian utara cekungan diendapkan pada lingkungan laut dalam dengan mekanisme arus gravitasi. Di atas Formasi Cantayan diendapkan secara tidak selaras Endapan volkanik Plio-Pliostosen-Resen (Martodjojo, 2003). Pada Kala Pliosen, Cekungan Bogor sebagian menjadi daratan yang ditempati oleh puncak-puncak gunungapi yang merupakan jalur magmatis (busur vulkanik). Daerah pegunungan selatan bagian selatan mengalami penurunan menghasilkan Formasi Bentang dan bagian utara terjadi aktivitas gunungapi yang membentuk Formasi Beser. Pada Kala Plistosen sampai Resen, aktivitas gunungapi yang besar menghasilkan Formasi Tambakan dan Endapan Gunungapi Muda.



III.2. Struktur Geologi Regional Daerah Struktur Karawang Selatan merupakan suatu “kawasan” struktur tersendiri, yang ditandai oleh kelurusan struktur berarh hamper barat- timur, kecuali di Pasir Parigi yang mulai membelok ke tenggara dan di S. Cihoe yang membelok ke baratdaya (Gambar 3.2, 3.3). Stratigrafi yang menempati daerah ini dapat dibagi menjadi dua bagian penting. Daerah yang di selatan didominer oleh endapan turbidit, sedangkan



18



dibagian utara merupakan endapan neritic dengan mekanisme “offshore bar” sampai laut transisi. Kedua bagian ini dibatasi oleh sesar naik yang penting, Sesar Pangipiran. Struktur daerah karawang Selatan, Umumnya terdiri dari urutan sesar dan lipatan yang berarah hamper barat-timur. Di bagian paling timur pada batas Daerah Struktur Purwakarta sesar dan lipatan membelok kea rah tenggara, sedangkan di bagian paling barat, di dekat Cibinong, sesar agak membelok ke baratdaya. Sesar yang dominan didaerah Karawang Selatan ini adalah sesar naik, khususnya Sesar Cihoe di utara dan Sesar Pangipiran di selatan. Sistem antiklin dan sinklin di daerah ini adalah merupakan akibay dari sesar-sesar naik tersebut. Dari arah sesar naik, serta simetri lipatan yang mengikutinya, kita dapat berkesimpulan bahwa arah gaya adalah dari selatan ke utara.



Gambar 3.2 Struktur Geologi Blok Karawang Selatan (Martodjoyo, 2003)



19



Gambar 3.3 Penampang Geologi S-U Blok Karawang Selatan (Martodjoyo, 2003)



III.3 Tektonika Regional Dari hasil penelitian Pulonggono dan Martodjojo (1994), disimpulkan bahwa pada dasarnya di Pulau Jawa terdapat tiga arah kelurusan struktur yang dominan (Gambar 2.3), yaitu: -



Pola Meratus yang berarah timurlaut-baratdaya, diwakili oleh Sesar Cimandiri di Jawa Barat yang kemudian tampak dominan di lepas pantai utara Jawa Timur. Menurut Pulonggono dan Martodjojo (1994) bahwa selama Paleogen dan Neogen telah terjadi perubahan tatanan tektonik di Pulau Jawa. Pola Meratus dihasilkan oleh tektonik kompresi berumur 80-52 juta tahun lalu yang merupakan arah awal penunjaman lempeng Samudra Indo-Australia ke bawah Paparan Sunda. Pada Eosen-Oligosen akhir (32 juta tahun lalu) arah ini berkembang di Jawa Barat dan memanjang hingga Jawa timur .



-



Pola Sunda yang berarah utara-selatan. Pola ini umumnya terdapat di bagian barat wilayah Jawa Barat dan lepas pantai utara Jawa Barat. Pola Sunda terbentuk akibat tektonik regangan yang disebabkan oleh penurunan kecepatan yang diakibatkan oleh tumbukan Benua India dan Eurasia yang menimbulkan rollback



20



berumur Eosen-Oligosen Akhir (53-32 juta tahun yang lalu). Pola ini umumnya terdapat di bagian barat wilayah Jawa Barat dan lepas pantai utara Jawa Barat. -



Pola Jawa yang berarah barat-timur, diwakili oleh sesar-sesar naik seperti Baribis, serta sesar-sesar naik di dalam Zona Bogor pada zona fisiografi van Bemmelen (1949). Pola Jawa ini menerus sampai ke Pulau Madura dan di utara Pulau Lombok. Penunjaman di selatan Jawa yang menerus ke Sumatera menimbulkan tektonik kompresi yang menghasilkan Pola Jawa. Pada Kala Miosen AwalPliosen, Cekungan Bogor berubah menjadi cekungan belakang busur magmatik yang sebelumnya merupakan cekungan depan busur magmatik pada Kala eosen Tengah-Oligosen sehingga terbentuklah sesar-sesar anjakan dan lipatan. Berdasarkan Peta Struktur Pulau Jawa, Pulonggono dan Martodjojo



(1994), daerah penelitian termasuk ke dalam Pola Jawa dengan arah relatif barat-timur. Struktur geologi di daerah ini berupa sesar, lipatan, dan kekar yang dijumpai pada batuan berumur Oligo-Miosen sampai Kuarter. Sesar terdiri dari sesar geser yang umumnya berarah utara-selatan dan baratlaut-tenggara. Kelurusan yang dijumpai diduga merupakan sesar berarah baratlaut-tenggara dan barat daya-timur 110 400 km laut, umumnya melibatkan batuan berumur kuarter.Kekar umumnya dijumpai berumur Oligo Miosen-Kuarter mempunyai pola baratdaya-timur laut dan baratlaut-tenggara.



21



BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN IV.1. Lokasi Daerah Penelitian Daerah pemetaan berada pada belahan bumi bagian Timur dan Selatan, terletak pada koordinat 107°09'20.2" - 107°12'04.0" BT dan 6°36'32.0" 6°39'46.2" LS. Daerah pemetaan secara administratif berlokasi di Kecamatan



Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Daerah pemetaan luasnya 30 km2 dengan ukuran 5 km x 6 km yang arah memanjangnya Utara – Selatan. Gambar 4.1. Daerah Pemetaan berdasarkan Google Earth



IV.2. Geomorfologi Daerah Pnelitiann Berdasarkan pengelompokkan yang telah dibuat oleh Van Bemmelen (1949), daerah penelitian yang akan dipetakan termasuk ke dalam Zona Bogor.



22



Gambar 4.2. Daerah Pemetaan berdasarkan Fisiografi van Bemmelen (1984)



Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1983), daerah penelitian yang akan dipetakan ini memiliki satuan relief Berbukit-Bergelombang dengan kelerengen 14-20 % dan beda tinggi 50-200 m, lalu satuan relief Berbukit Tersayat Tajam/ Terjal dengan kelerengan 21-55 % dan beda tinggi 200-500 m serta satuan relief Pegunungan Tersayat Tajam/ Sangat Terjal dengan kelerengan 56-140 % dan beda tinggi 500-1000 m.



23



Gambar 4.3 Peta Topografi Daerah Pemetaan



UTARA



Gambar 4.4 Gambaran 3D Daerah Pemetaan



24



Sedangkan berdasarkan klasifikasi Hidartan dan Handaya (1994), jika ditinjau dari aspek genesisnya, maka geomorfologi daerah pemetaan ini terdiri dari 1. Geomorfologi Fluvial yaitu bentuk lahan yang berkaitan erat dengan aktivitas sungai dan air permukaan yang berupa pengikisan, pengangkutan, dan penimbunan pada daerah rendah seperti lembah dan daratan alluvial. 2. Geomorfologi Struktural yaitu bentukan lahan struktural terbentuk karena adanya proses endogen atau proses tektonik yang berupa pengangkatan, perlipatan, dan patahan. Gaya tektonik ini bersifat konstruktif (membangun) dan pada awalnya hampir semua bentuk lahan di roman muka bumi ini dibentuk oleh kontrol struktural. 3. Geomorfologi Vulkanik yaitu bentukan lahan terjadi akibat aktivitas volkanik berupa kepundan, kerucut semburan, medan lava, medan lahar, dan sebagainya yang umumnya berada pada wilayah gunung api. 4. Geomorfologi



Denudasional



adalah



proses



denudasional



(penelanjangan) dan merupakan kesatuan dari proses pelapukan, pergerakan tanah, erosi, dan kemudian diakhiri dengan proses pengendapan.



25



Gambar 4.5 Peta Geomorfologi (Genetik) Daerah Pemetaan



Pada Peta Geomorfologi, Satuan Geomorfologi Denudasional diberi warna coklat, Satuan Geomorfologi Struktural diberi simbol warna ungu tua, Satuan Geomorfologi Fluvial diberi symbol warna hijau serta Satuan Geomorfologi Vulkanik diberi symbol warna merah. Mengacu kepada ketetapan Standar Nasional Indonesia oleh Badan Standardisasi Nasional.



26



IV.3. Pola Aliran Sungai Daerah Pemetaan



Gambar 4.6 Pola Aliran Sungai Daerah Pemetaan



Pola aliran sungai dari suatu daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah kontrol struktur, jenis dan variasi kekerasan batuan, kelandaian lereng asal, sejarah geologi, dan sejarah geomorfologi dari daerah tersebut. Berdasarkan peta pola aliran sungai di atas, pola aliran sungai dari daerah penelitian yang akan dipetakan adalah sub-rectangular, di mana pertemuan antar alirannya membentuk sudut siku-siku atau hampir siku-siku. Pola aliran ini umumnya berkembang pada daerah rekahan dan patahan. Selain itu, terdapat pula pola aliran sungai sub-radial di bagian timur daerah pemetaan, di mana hulu sungai berada di suatu wilayah dengan kontur yang lebih tinggi dan terpusat dan mengalir ke berbagai arah menuju kontur yang lebih rendah.



27



Berdasarkan klasifikasi Lobeck (1939), genetik sungai di daerah pemetaan adalah konsekuen (Sungai Cibeet) dan obsekuen. Sementara stadia daerah pemetaan adalah tua.



IV.4. Stratigrafi Daerah Pemetaan Daerah pemetaan berada di bagian tengah dari Lembar Cianjur



. Gambar 4.7 Peta Geologi Lembar Cianjur (Sudjatmiko, 1972)



28



Tabel 4.1 Kolom Statigrafi daerah pemetaan (berdasarkan Martojodjo, 2003)



Berdasarkan Peta Regional Lembar Cianjur (Sudjatmiko, 1972) daerah penelitian yang akan dipetakan terdiri dari 7 formasi batuan, yaitu : 



Formasi Cantayan - Anggota Batulempung (Mttc) Batulempung, serpih tufaan mengandung belerang, lignit dan -



kongkresi-kongkresi batulempung, sisipan-sisipan batugamping. Anggota Breksi (Mttb) Breksi polemik mengandung komponen-komponen bersifat basal, andesit dan batugamping koral. Sisipan batupasir andesit pada bagian atas. Di beberapa tempat mengandung juga batuan-batuan







intrusive andesit. Formasi Jatiluhur/Cibulakan (Mdm) Formasi Jatiluhur terdiri atas napal, batupasir kuarsa, kuarsit dan batugamping napalan. Formasi Jatiluhur pada daerah penelitian masih







dianggap sebagai bagian Formasi Cantayan (Martodjojo, 1984). Aluvium Tua (Qoa) Konglomerat dan pasir sungai yang bersusunan andesit dan basal. Batuguling-batuguling dari batugamping terkersikkan, batupasir kongkresi-kongkresi silica dan andesit. Satuan ini membentuk undak







pada beberapa ketinggian. Hasil Gunungapi Tertua, Breksi, Lava (Qot) Breksi andesit piroksen berisisipan dengan lava andesit. Umumnya terpopilitasi. Membentuk daerah perbukitan luas terpisah yang







dikelilingi oleh hasil gunung api G. Gede. Batupasir Tufaan, Konglomerat (Qos) Batupasir dan konglomerat berasal dari endapan lahar. Satuan ini menempati sebagian besar darata Plered dan tanah meja di timur laut







Purwakarta. Aluvium (Qa) Lempung, lanau, pasir kerikil. Terutama endapan sungai sekarang.







Termasuk rombakan lereng di utara dan di selatan Cianjur. Batuan Terobosan - Andesit Hornblende dan Porfir Diorite (ha)



29



Intrusi-intrusi yang umumnya tersusun dari plagioklas menengah -



dan hornblende. Vitrofir, Andesit, Porfiri Basal, Dolerit, Diorit Mikro (vi) Vitrofir putih atau abu-abu muda, kemungkinan berususunan andesit, di sekitar G. Congkrang. Breksi magma dan tufa breksi berwarna muda yang berususunan sama dengan vitrofirnya, dekat G. Karung. Porfir basal di daerah sekitar Pr. Buluh dan sedikit di sebelah baratnya, diorite mikro dan dolerite yang hanya membentuk tubuh-tubuh kecil, yang rombakan tersebar di lerenglereng.



IV.5 Struktur Geologi Daerah Pemetaan Berdasarkan Peta Regional Lembar Cianjur (Sudjatmiko, 1972), pada daerah penelitian yang akan dipetakan terdapat sesar, namun masih belum dapat dipastikan apakah sesar naik atau turun. Garis yang merah tegas menandakan adanya sesar dengan letak yang pasti. Sedangkan, garis putus-putus menandakan letak yang diperkirakan atau direka. Meskipun belum dapat dipastikan sesar naik atau turun, namun dapat diketahui sisi mana yang naik (U) dan sisi mana yang turun (D).



30



Gambar 4.7 Peta Struktur Geologi Daerah Pemetaan



31



BAB V METODE PENELITIAN Dalam kegiatan pemetaan geologi, digunakan metode penelitian yang tersusun dari 4 tahap, yaitu tahap persiapan dan perencanaan, penelitian lapangan, penelitian laboratorium, dan penyusunan laporan.



Diagram 5.1.



Flow



Chart Proses Pengerjaan Pemetaan Geologi



V.1. Tahap Persiapan dan Perencanaan Yang dimaksud dengan persiapan adalah melakukan studi pustaka atau studi literature, yaitu mencari referensi-referensi yang berkaitan dengan daerah pemetaan dari peneliti-peneliti terdahulu agar memperoleh gambaran atau dugaan yang mana nantinya akan dibuktikan langsung keberadaannya di daerah yang akan dipetakan. Selanjutnya, perencanaan lintasan lokasi pengamatan yang sesuai dengan efektivitas dan efisiensi sebagai seorang ahli Geologi di lapangan. Perancangan lintasan tersebut harus mempertimbangkan 32



kondisi arah lintasan yang tegak lurus dengan jurus, melewati sungai dan atau memotong seluruh formasi batuan pada daerah pemetaan, dan faktor resiko keselamatan. Persiapan juga meliputi analisis peta topografi, peta geologi regional, dan citra satelit. Peta topografi dimanfaatkan untuk menganalisis kelerengan, memprediksi pola aliran sungai, peta jalan, dan memprediksi indikasi adanya struktur geologi maupun variasi geologi lainnya yang dijumpai di daerah pemetaan, sementara peta geologi regional digunakan untuk memprediksi stratigrafi dan struktur geologi, dan citra satelit digunakan untuk memprediksi litologi dan struktur geologi. Selain persiapan dari segi data, persiapan perlengkapan pemetaan geologi juga tak kalah pentingnya, perlengkapan yang dibutuhkan dalam melakukan pemetaan geologi di antaranya adalah palu geologi, kompas geologi, peta topografi, buku lapangan, alat tulis, plastik sampel, larutan HCl, loupe, kamera, serta komparator batuan.



V.2. Tahap Penelitian Lapangan Tahap penelitian lapangan adalah tahap pengumpulan data primer, atau disebut juga tahap pemetaan geologi. Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan berupa pengumpulan data-data di lapangan. Hal-hal yang perlu dilakukan di lapangan adalah sebagai berikut:  Menentukan lokasi pengamatan dan plotting pada peta topografi  Pengamatan dan pengukuran singkapan batuan serta pengambilan    



contoh batuan untuk analisis laboratorium Pengukuran struktur geologi Pencatatan data observasi dalam buku lapangan Pengambilan foto geomorfologi dan singkapan batuan Pembuatan penampang tektonik



V.3. Tahap Penelitian Laboratorium



33



Untuk



dapat



memanfaatkan



data-data



yang



diperoleh,



dibutuhkan pemahaman, keahlian, dan ketelitian untuk menganalisis sampel-sampel batuan, fosil, mikrofosil, dan analisis struktur yang diambil saat pengumpulan data primer. Analisis batuan dan fosil dilakukan dengan menggunakan mikroskop analisis. Hasil dari pengataman dibawah mikroskop nantinya dapat memberi data yang lebih akurat untuk mendukung data primer yang telah dikumpulkan. Penelitian laboratorium dilaksanakan untuk melengkapi dan memperkuat



data



lapangan,



di



antaranya



adalah



analisis



mikropaleontologi dan petrografi. Analisis mikropaleontologi bertujuan untuk interpretasi umur relatif dari batuan dan mengetahui lingkungan pengendapan dari daerah pemetaan. Sementara analisis petrografi bertujuan untuk mengetahui tekstur dan komposisi mineral pada batuan, serta menentukan jenis dan nama dari batuan. Terdapat pula analisis lainnya yaitu analisis kalsimetri untuk menentukan kadar karbonat dalam batuan. V.4. Tahap Penyusunan Laporan Tahap ini merupakan tahap penulisan hasil dari data-data yang telah diperoleh di lapangan dan diperkuat dengan analisis data yang telah dilakukan di laboratorium. Penulisan hasil dari data ini adalah berupa laporan geologi yang dilanjutkan dengan kegiatan kolokium.



Tabel V.1. Rencana Timeline Proses Pelaksanaan Pemetaan Geologi Hingga Kolokium



34



BAB VI DAFTAR PUSTAKA



Blow, W. H,. 1969. Late middle eocene to recent planktonic foraminifera Bio stratigraphy, International Conference Planktonic Microfosil 1st 1967, Geneva, vol. 1, Martodjojo, S. 2003. Evolusi Cekungan Bogor, Jawa Barat. Sudjatmiko, 1972 Peta Geologi Lembar Cianjur, Jawa Van Bemmelen, R.W, 1949, The Geology of Indonesia : Govern. Printing office 2 vols. Van Zuidam, RA, 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain analysis and Geomorphologic Mapping, Smits Publishers The Hague Netherland.



35



LAMPIRAN







Peta lintasan



Rencana lintasan pemetaan dibuat dengan arah Utara – Selatan karena menyesuaikan dengan dip pada daerah pemetaan yang cenderung mengarah ke Utara - Selatan.



36



TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA PROPOSAL PEMETAAN GEOLOGI DAERAH MEKARSARI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN CIKALONGKULON KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT



Penyusun



ANDREI NORMAN 072.013.015 Disahkan Oleh:



DONDOKAMBEY



Koordinator Pemetaan



Dosen Pembimbing



Firman Herdiansyah, ST. MT. NIK: 3202/USAKTI



Ir. Denny Suwanda Djohor, MS NIK: 1535/USAKTI



37