Proposal Skripsi Mohammad Beni Mahmudi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Proposal Skripsi Metode Tafsir Nusantara (Analisis Telaah Kitab Tajul Muslimin Karya KH. Misbah bin Zainal Musthafa Bangilan Tuban) Oleh : Moh. Beni Mahmudi1 A. Latar Belakang Al-Quran merupakan firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.2 Dimana dalam role perjalanannya mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai kitab petunjuk (hidâyah) yang berfungsi mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan (zulumat) menuju cahaya (nûr).3 Oleh karena itu sangatlah diperlukan untuk melihat sisi al-Quran dalam berbagai sisi, sehingga sifat kedinamisan al-Quran sangat nampak. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ayat al-Quran sudah tidak lagi diturunkan. Pada periode tersebut dilakukanlah inisiatif oleh sahabat-sahabat Nabi untuk mengkodifikasikan al-Quran dalam satu mushaf yang utuh. Sehingga terciptalah Mushaf Utsmani,4 al-Quran memang terbatas yang dimana hanya terdiri dari 144 surat. Teks al-Qur’an yang terbatas, berbanding terbalik dengan pemikiran manusia yang terus berkembang seiring dengan berkembangnya zaman. Hal ini, tampak pada beragamnya produk tafsir al-Qur’an dimulai dari masa klasik hingga kontemporer. Hal tersebut menunjukkan bahwasannya kandungan maknanya tidak akan habis karena al-Qur’an diturunkan bukan hanya menjadi pedoman hidup bagi orang pada satu masa tertentu saja, melainkan al-Quran mempunyai sifat yang (Shâlih li kulli zamân wa makân), tetapi juga untuk seluruh umat manusia setelahnya, bahkan terjaga sampai hari akhir.5 Selaras seperti yang dikatakan Muhammad Arkon, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa “al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada



1 Mahasiswa jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, NIM: 11160340000119, akun Email: [email protected] 2 Abu Al-Wafa Ahmad Abdul Akhir, Al-Mukhtar Min Ulumil Qur’an Al-Karim, Jilid satu (Mesir: Maktabah Al Misri Al-Hadist 1992 ),11. 3 Jalal al-Din al-Suyûtî, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’an, jilid 2 (Kairo: Dar al-Salam, 2008) 174. 4 Muhammad bin Muhammad abu Syahbah, Madkol Lidiroosati al-Quran Karim, (Kairo : Maktab Sunnah) , cet. 3, hal. 80 5 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008), 76.



tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk diinterpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.6 Dalam pengaplikasinya, proses menafsirkan ayat al-Qur’an membutuhkan usaha kreatif akal untuk menyingkap (al-Kasyf), menerangkan (al-‘iddah), dan menjelaskan (al-ibânah) makna yang tersembunyi di balik untaian kosakata Arab sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah sebatas kemampuan manusia. 7 Penafsir selalu bertolak dari teks firman Allah, seraya mencurahkan kemampuannya untuk menggali kedalaman maknanya. Artinya Penafsir beranggapan bahwasannya teks al-Quran itu sangat penting dalam menunjang penafsiran, bagaimana seorang Penafsir menafsirkan sesuatu jika tidak ada sandaran utamanya, maka teks alQuranlah menjadi sandaran utama dalam penafsiran. Ayat al-Quran tidak bisa berbicara sendiri dan perlu diartikulasikansehingga seorang mufassir berani untuk bersusah payah menggali kedalaman makna yang tersimpan sehingga dapat mengakulturasikan ayat. Adapun mengenai isi penafsiran, apakah bersumber pada makna teks, proses dialogis antara akal penafsir dan teks, atau malah ekspresi penafsir sendiri adalah soal nomer dua, sebab menafsirkan artinya adalah memaksa nalar untuk bekerja dengan bertolak dari teks. Oleh karena itu, warnawarni penafsiran di bawah otoritas penafsir sendiri. Tidak akan ada jaminan, garansi, atau servis gratis dari Allah.8 Berangkat dari asumsi dasar bahwa hasil penafsiran al-Qur’an itu bersifat relatif, dan bahwa al-Qur’an diklaim sebagai sālihun li kulli zamān wa makān, maka dari itu, al-Quran harus ditafsirkan sesuai dengan masa dimana seorang Penafsir hidup yang berfungsi sebagai pemberi solusi atas probematika yang terjadi. Oleh karena itu, sepeninggal Nabi Muhammad selaku mufassir pertama (Al-Mufassir Al-Awwal)9, al-Quran sangatlah terbuka untuk ditafsirkan ulang sesuai dengan kaidah-kaidah dan seperangkat keilmuan yang ditetapkan oleh para ulama dan metodologi penafsirannya. Hal ini juga menjadikan dalil bahwasannya



6



M. Quraish Shihab. 1992. Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan) 72 Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), 265. 8 Maslukhin, Kosmologi Budaya Jawa dalam Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Musthofa, (Gresik; jurnal Institut Keislaman Abdullah Faqih,t.th), 2-3. 9 Sulaiman Ibrahim, “Khazanah Tafsir Nusantara Telah Atas Tafsir Al-Bayan Karya Hasbi As-Shidqi, Al-Farabi” Vol 18 (No. 02)( Desember 2018) 7



tidak ada satu penafsiran apapun yang mempunyai otoritas kebenaran yang paling mutlak dan final.10 Kehadiran al-Qur’an di tengah-tengah umat Islam seharusnya membangkitkan semangat penafsiran dan pengembangan makna-maknanya; untuk selanjutnya, diharapkan terjadi pengembaraan intelektual karena dorongan al-Qur’an tersebut. Upaya penafsiran terhadap al-Qur’an, telah dimulai sejak Islam diturun -kan dan Nabi Muhammad saw bertindak sebagai al-mufassir al-awwal. Kemudian, dilanjutkan oleh para sahabatnya, para tabi‟in, atbā‟ al-tābi‟īn dan generasigenerasi sesudahnya sampai masa kini. Bahkan, upaya seperti ini masih tetap berlanjut sampai masa -masa mendatang. Penafsiran terhadap al-quran yang berlanjut secara terus -menerus, telah mengalami perkembangan yang sangat siginifikan. Hal ini ditandai dengan lahirnya berbagai macam karya tafsir, baik pada masa al-mutaqaddimīn,11 maupun pada masa muta’akhirīn12 dan masa al-aşr (modern)13 sekarang ini. Harus diakui, tidak ada satu kitab suci pun, yang daya gravitasi dan kemampuan akomodatifnya dirasakan begitu kuat sehingga sekian banyak mazhab dan silang pendapat mengenai keislaman merasa memperoleh tempat dan pembenaran dari al-Qur’an.14 agar problematika sosial keagamaan di era kontemporer mampu dijawab oleh al-Qur’an, maka upaya kontekstualisasi



10



Terkait argumen bahwa tidak ada penafsiran yang final dan mutlak, juga merupakan pandangan dari pakar hermeneutika Barat, Martin Heidegger adalah seorang filosof Jerman (18891976) dan Hans Georg Gadamer (1900-2002), lihat, M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir “Syarat, ketentuan, dan Aturan yang Patut anda ketahui dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. (Ciputat: Lentera Hati, 2013), 416- 422. 11 Masa al-mutaqaddimīn, bermula dari abad II sampai abad VII H, atau tepatnya mulai dari tahun 150 H/782 M sampai tahun 656 H/1258 M. Karya -karya tafsir yang lahir pada saat ini antara lain adalah; Tafsīr al-Maqātil karya Muqātil Ibn Sulaymān (w. 150 H); Tafsīr al-Kabīr karya Imām alBukhāri (w. 256 H); Tafsīr Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīl al-Qur‟ān karya al-Tabary (w. 310 H); Tafsīr. Lihat: Muhammad Husain al-Żahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, juz I (Cet. II; t.t: Dār al-Kutub al„Ilmiyah, 1976), h. 204. 12 Masa al-muta‟akhirīn, bermula dari abad VII sampai abad XII H, atau tepatnya mulai tahun 656 H/1258 M sampai tahun 1286 H/1888 M. Karya-karya tafsir yang lahir pada saat ini antara lain adalah; Tafsīr Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta‟wīl karya al-Baydāwi (w. 692 H); Tafsīr Mafātih alGhaib karya Fakhr al-Rāziy (w. 606); Tafsīr Nazm al-Durar fi Tanāsub al-Āyah wa al-Suwar kaya alBiqā‟i (w. 885); Tafsīr Rūh al-Ma‟āniy karya al-Alūsiy (w. 1270 H). Selengkapnya, lihat ibid., h. 280294. Bandingkan dengan Ahmad al-Syirbāsi, Qissatul Tafsir (Bairūt: Dār al-Jīl, 1978), h. 58-67 13 Masa al-aşr (modern), bermula dari abad XIV H/XIX M sampai sekarang, atau tepatnya mulai tahun 1287 H/1896 M sampai sekarang. Karya -karya tafsir yang lahir pada saat ini antara lain adalah; Tafsīr al-Manār karya Muhammad Abduh (w. 1905 M) dan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M); Tafsīr Mahāsin al-Ta‟wīl karya al-Qāsimi (w. 1914 M); Tafsīr al-Marāgi karya Ahmad Musthāfa al-Marāgi (w. 1952 M); Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm karya Mahmud Syaltūt (w. 1952 M). Selengkapnya, lihat ibid. 14 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996),13.



penafsiran secara terus menerus adalah sebuah keniscayaan. Selain itu, keuniversalan al-Qur’an juga akan selalu menjadi landasan moral-teologis untuk menjawab segala kegelisahan zaman.15 Dalam upaya menafsirkan al-Quran seorang mufassir membutuhkan akal yang kreatif dalam menafsirkan al-Quran, karena hal ini agar sesuai dengan tujuan ditafsirkannya al-Quran yakni untuk menyingkap (al-Kasyf), menerangkan (al‘iddah), dan menjelaskan (al-ibânah) makna yang tersembunyi di balik untaian kosakata Arab sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah sebatas kemampuan manusia.16 Ada beberapa faktor yang mempengaruhi seorang mufassir dalam menafsirkan al-Quran. Dalam hal ini dibagi menjadi dua bagian, yakni faktor luar (eksternal) dan faktor dalam (internal). Dimana keduanya sama-sama mempunyai peran yang sangat urgent dalam menghasilkan produk penafsiran. Warna-warni penafsiran alQur’an ini dipastikan akan terus mengalami perkembangan dengan mengandaikan adanya prinsip-prinsip metodologis yang digunakan setiap penafsir dalam memahami teks al-Qur’an, sebab karya tafsir yang notabene hasil olah pikir penafsir ketika berinteraksi dengan teks al-Qur’an tidak pernah bisa dilepaskan dari tujuan, kepentingan, tingkat kecerdasan, disiplin ilmu yang ditekuni, pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah dan situasi sosial-politik dimana sang penafsir hidup.17 Seiring dengan berkembangnya islam ke seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali ke negara Indonesia. Hal ini juga berjalan sejajar dengan perkembangan khazanah penafsiran al-Quran. Penyebaran Islam dari awal kemunculannya hingga saat ini, diyakini tidak lepas dari sumber primer ajaran Islam yaitu alQur’an dan al-Sunnah, sehingga sejarah Islam juga merupakan sejarah al-Qur’an. Sejarah al-Qur’an dalam konteks yang paling sederhana di Indonesia dapat ditelusuri dengan melacak sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang ramah, suka menolong kepada sesama dan



15



Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008), hal.



76. Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, juz 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th),265. 17 M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung; Mizan, 1994),77. 16



senang terhadap tamu-tamu yang berkunjung. Kondisi inilah yang memberikan peluang besar bagi para penganjar agama untuk menyebarkan agama mereka di bumi Indonesia, hal ini tidak terkecuali terjadi dengan para ulama dan da’i muslim pada permulaan datangnya Islam ke Indonesia di masa silam. Itulah sebabnya dalam proses islamisasi rakyat pribumi pada umumnya berbeda dengan proses islamisasi yang ada di sebagian besar Negara Arab yang prosesnya melalui jalur peperangan, lalu dengan metode seperi ini masyarakat menerima tanpa perlawanan. Kondisi serupa ini juga terlihat dalam menerima tafsir dari kitab suci al-Qur’an.18 Sejauh menyangkut kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan panjang diantara para ahli mengenai tiga masalah pokok: tempat asal, pembawa dan waktu awal penyebaran agama islam. Sejumlah sarjana, kebanyakan asal negara Belanda, berpegang teguh teori asal muasal Islam di Nusantara adalah anak benua India, bukan dari Persia maupun Arab. Sarjana pertama yang menyampaikan teori ini adalah Pinapple, salah seorang ahli dari Universitas Leiden. Dia mengaitkan asal muasal Islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar yang masuk pada wilayah Negara India. Menurut dia, adalah orang-orang Arab yang menganut madhzab Syafi’i kemudian bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.19 Sejarah masuknya islam di Nusantara menjadi periode-periode awal perkembangan keilmuan islam, tidak terkecuali ilmu al-Quran. Warna-warni penafsiran al-Qur’an ini dipastikan akan terus mengalami perkembangan dengan mengandaikan adanya prinsip-prinsip metodologis yang digunakan setiap penafsir dalam memahami teks al-Qur’an, sebab karya tafsir yang notabene hasil olah pikir penafsir ketika berinteraksi dengan teks al-Qur’an tidak pernah bisa dilepaskan dari tujuan, kepentingan, tingkat kecerdasan, disiplin ilmu yang ditekuni, pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah dan situasi sosial-politik dimana sang penafsir hidup.20



Anggi Wahyu Ari “Sejarah tafsir Nusantara”, JSA Desember 2013, (no. 02), 114. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVIIXVIII, (Bandung: Mizan, 1994), 35-39. 20 M.Quraish Shihab, membumikan al-Qur’an: fungksi dan Peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat. 77. 18 19



Perkembangan islam ke berbagai belahan di dunia juga semakin memperkaya proses dialektika penafsiran al-Qur’an. Bukan hanya soal metode, corak dan ittijah saja, tetapi juga meliputi adanya penerjemahan dan penafsiran dengan bahasa lokal. Penerjemahan dan penafsiran dengan menggunakan bahasa lokal ini berkembang sejalan dengan menyebarnya umat islam ke berbagai negara, termasuk indonesia. Dalam konteks indonesia perkembangan penafsiran al-Qur’an jelas berbeda dengan yang terjadi di dunia Arab (Timur Tengah), perbedaan tersebut disebabkan berbedanya latar belakang budaya dan bahasa. Bangsa Arab melakukan penafsiran dengan bahasa Arab itu sendiri, sedangkan untuk bangsa Indonesia harus melalui penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia, kemudian baru diberikan penafsiran yang luas dan rinci. Jadi tafsir al-Qur’an di Indonesia melalui proses lebih lama jika dibandingkan dengan yang berlaku di tempat asalnya (Timur Tengah).21 Dalam hal ini beberapa cendikiawan mengelompokkan dalam beberapa periode. Diantara para cendikiawan yang membahas mengenai permasalahan ini salah satunya adalah Howard M. Federspiel dalam bukunya yang berjudul Kajian al-Quran di Indonesia: dari M. Yunus hingga Quraish Shihab yang melakukan pembagian kemunculan dan perkembangan tafsir al-Quran di Indonesia yang berdasarkan generasi. Ia mengelompokkannya berdasarkan pada tahun, dalam tiga generasi. Generasi pertama, kira-kira awal permulaan abad ke-20 sampai sekitar awal tahun 1960-an, hal ini ditandai dengan adanya penerjemahan secara terpisah dan cenderung ada surat-surat tertentu yang ditafsirkan. Generasi kedua, merupakan



lanjutan



dan



penyempurnaan



atas



generasi



pertama



yang



dipepriodesasikan muncul pada pertengahan 1960-an sampai tahun 1970-an, yang mempunysi ciri diantaranya sudah mulai ditemukan beberapa catatan, catatan kaki (Foot Note), terjemahan kata perkata, dan juga terkadang disertai dengan indeks yang sederhana. Sedangkan generasi ketiga dimulai antara pertengahan tahun 1970-an, merupakan penafsiran yang lebih kompleks dan lengkap dengan uraian yang sangat luas.22



Ahmad Baidhowi, “Aspek Lokalitas Tafsir al-Iklil Fi Maani al-Tanzil,” Nun, Vol. 1,(No. 1) 2015. Hal. 34. 22 Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia: dari M. Yunus hingga Quraish Shihab, terj. Tajul (Bandung: Mizan, 1994), 129. 21



Sedangkan menurut Nashiruddin Baidan, beliau membaginya menjadi tiga periode. Periode pertama pada abad ke 16 sampai 17, pada periode ini kita bisa mencatat sebagai awal munculnya penafsiran yang ada di Nusantara, pada abad ke-16 di Nusantara telah muncul proses penulisan tafsir. Buktinya telah ditemukan naskah tafsir surat al-kahfi [18]: 9 yang ditulis pada masa-masa itu, meskipun belum diketahui secara jelas siapa penulisnya, penulisan tafsir ini ditulis secara parsial berdasarkan surat tertentu. Manuskrip ini tertanggal sebelum tahun 1620 M dibawa ke Belanda yaitu tafsir surah al-kahfi dalam bahasa Melayu namun tidak tercantum pengarangnya. Periode kedua sekitar abad ke 18 sampai 19, pada periode ini dapat dikatakan sebagai masa pra-modern. Merujuk pada hal ini ditunjukkan dengan munculnya beberapa ulama-ulama sebagai penulis dalam berbagai disiplin ilmu termasuk tafsir, meskipun yang paling banyak seputar tasawuf, seperti dalam kitab Sayr al-Salik, yang ditulis oleh Al-Palimbani dari ringkasan kitab Ihya Ulum al-Din karya Al-Ghazali. Sedangkan periode ketiga abad ke 20 sudah bisa dikategorikan sebagai periode modern, Sejak akhir tahun 1920-an dan seterusnya, sejumlah terjemahan Alquran sudah dalam bentuk juz per-juz, bahkan seluruh isi Alquran mulai bermunculan.23 Kondisi penerjemahan Alquran semakin kondusif setelah terjadinya sumpah pemuda pada tahun 1928 yang menyatakan bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Tafsir AlFurqan misalnya adalah tafsir pertama yang diterbitkan pada tahun 1928.24 Islah Gusmian juga memiliki kategorisasi periode yang menggunakan ukuran tahun disini mirip yang dilakukan Federspiel, Namun



hasil yang ditemukan



berbeda. Ia mengkategorikan dalam tiga periode pula. Periode pertama: permulaan awal Abad ke-20 hingga tahun 1960-an, indonesia masih bergerak dengan pola model dan teknis penulisan sederhana. Dari segi material teks al-Qur’an yang menjadi objek tafsir, literatur tafsir pada periode pertama sangat beragam; pertama, literatur tafsir yang berkonsentrasi pada surat-surat tertentu sebagai objek penafsiran, seperti Tafsir al-Qur’anul Karim, Yaasin (Medan: Islamiyah, 1951) karya Adnan Yahya Lubis, tafsir ini



Karya awal tentang terjemahan Al-Qur‟an adalah Tafsir Al-Qur‟an Al-Karim yang disusun oleh Mahmud Yunus, (Jakarta: dimulai tahun 1922 dan dicetak pertama kalinya secara keseluruhan tahun 1938). 24 Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia (Tiga Serangkai: Pustaka mandiri, 2003), 62. 23



berkonsentrasi pada surat Yasin. Kedua, karya tafsir yang berkonsentrasi pada juzjuz tertentu, seperti Al-Burhan, Tafsir Juz ‘Amma (Padang: Al-Munir, 1922) karya Hamka, yang menjadikan juz ke-30 (juz ‘Amma) sebagai objek penafsiran. Ketiga, menafsirkan al-Qur’an utuh 30 juz, seperti Tafsir Qur’an Karim (Jakarta: Pustaka Mahmudiya, 1957 cetakan VII) karya H. Mahmud Yunus. Dari segi sifat mufasir, pada periode pertama ini muncul penulisan tafsir yang dilakukan secara kolektif, yaitu ditulis oleh lebih dari satu orang mufasir, seperti Tafsir al-Qur’an (Jakarta:Wijaya, 1959) yang disusun oleh H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs.. Periode kedua: Tahun 1970-an hingga 1980-an, literatur tafsir yang mengarahkan objek tafsir pada surat tertentu masih dapat ditemukan, seperti karya tafsir yang mengkhususkan pada surat



al-Fatihah, Samudra al-Fatihah



(Surabaya:Arini, 1972), karya bey Arifin. Literatur tafsir yang menafsirkn ayat alQuran secara keseluruhan juga ditemukan dalam periode kedua, seperti halnya Tafsir Rahmat (Jakarta: Mutiara, 1983, cetakan II) karya H. Oemar Bakry. Penulisan tafsir secara kolektif juga terdapat di periode kedua ini, bahkan kolektivitas mufasir dilembagakan dalam suatu tim kepanitiaankhusus yang terdiri banyak orang. Seperti Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah/penafsir al-Qur’an 1975, 11 jilid), yang ditangani oleh Departemen Agama Republik Indonesia. Dan periode ketiga, Dasawarsa 1990-an, bermunculannya beragam karya tafsir dari para intelektual Muslim Indonesia. Islah Gusmian menemukan setidaknya 24 karya tafsir yang terlacak dalam periode ini, salah satunya, konsep Kufr dalam alQur’an, suatu kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1991) karya Harifuddin Cawidu, Konsep Perbuatan Manusia Menurut alQur’an, Suatu Kajian Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, Mei 1992) karya Jalaluddin



Rahman,



Manusia



pembentuk



Kebudayaan



dalam



al-Qur’an



(Yogyakarta: LESFI, 1992) karya Musa Asy’arie, dan lain sebagainya. Pada intinya dalam periode ini mencerminkan adanya keragaman model teknis penulisan tafsir serta metodologi tafsir yang digunakan dan hal tersebut



merupakan salah satu arah yang memperlihatkan adanya trend-trend baru dalam menafsirkan al-Qur’an.25 Jadi setidaknya ada empat bentuk karya tafsir yang telah berkembang di Indonesia; terjemahan, tafsir yang fokus pada ayat-ayat, surat-surat atau juz-juz tertentu, tafsir keseluruhan 30 juz, dan tafsir Tematik (membahas sebuah topik tertentu). Karya-karya tafsir pada era permulaan sebagaian ditulis dalam bahasa melayu-jawi (pegon). menurut Islah Gusmian, kemungkinan tersebut berdasarkan temuan Antony H. Johns terkait pembahasa-lokal di berbagai wilayah Nusantara pada akhir abad ke-16 M., seperti tampak pada penggunaan aksara (script) Arab yang kemudian disebut aksara jawi dan pegon, banyaknya kata serapan yang berasal dari bahasa Arab, dan karya-karya sastra yang terinspirasi oleh model dan corak Arab dan Persia.26 Seperti yang telah diketahui, bahwa setiap mufassir mempunyai metode dan corak khusus dalam penafsiran. Hal ini berbanding dengan keadaan dan dimana mufassir tersebut berdiam, atau bisa jadi dipengaruhi oleh keahlian bidang keilmuan yang dimiliki sang mufassir. Sebagaimana hal tersebut terjadi pula di Nusantara, dalam penafsirannya mempunyai beberapa warna yang berbeda dengan Mufassir Timur Tengah. Warna-warni penafsiran al-Qur’an ini dipastikan akan terus mengalami perkembangan dengan mengandaikan adanya prinsip-prinsip metodologis yang digunakan setiap penafsir dalam memahami teks al-Qur’an, sebab karya tafsir yang notabene hasil olah pikir penafsir ketika berinteraksi dengan teks al-Qur’an tidak pernah bisa dilepaskan dari tujuan, kepentingan, tingkat kecerdasan, disiplin ilmu yang ditekuni, pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah dan situasi sosialpolitik di mana sang penafsir hidup.27



25



Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Yogyakarta:Lkis, 2013), 59-64. 26 Anthony Johns, “The Qur’an in the Malay World: Reflection on ‘Abd al-Rauf of Sinkel (1615-1693)”, Journal of Islamic Studies 9:2 (1998),121. Lihat Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia.., hal. 51. 27 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat 77.



Berkaitan dengan masalah memahami dan menafsirkan al-Qur’an dalam sejarah intelektual muslim banyak bermunculan para tokoh di bidang penafsiran al-Qur’an, merumuskan dan menawarkan berbagai metodologi untuk menafsirkan al-Qur’an yang di anggap baik, benar dan tepat. Dari masa awal hingga sekarang pemetaan metodologi penafsiran al-Qur’an terus mengalami perkembangan dari masa ke masa, hal ini menunjukkan bahwa kajian terhadap metodologi penafsiran tidak hanya mengantarkan kita pada pemahaman terhadap kandungan al-Qur’an, tetapi kita juga dapat mengetahui aspek yang menyangkut proses dan prosedur serta langkah-langkah Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis yang ditempuh oleh mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an. 28 Diantara ulama nusantara yang berhasil membuat karya tafsir adalah KH. Misbah Musthafa Bangilan Tuban. Setidaknya ada dua kitab tafsir yang dikarang oleh beliau, yakni tafsir al-Iklil Fi Ma’ani Tanzil dan Tajul Muslimin Min Kalami Rabbil Alamin. Ada sedit perbedaan mengani dua tafsir yang dikarang oleh KH. Misbah Musthafa. Dimana tafsir Tajul Muslimin tidak sempat diselesaikan lengkap versi 30 juz. Hal ini berbeda dengan tafsir al-Iklil, dimana KH. Misbah Musthafa meneyelesaikannya lengkap mulai dari QS. Al-Fatihah sampai QS. AnNaas. Adapun penyebab tafsir Tajul Muslimin tidak sampai selesai 30 jilid karena KH. Misbah Musthafa sebelum menyelesaikannya sudah dipanggil Allah SWT. Karena beliau mengarang kitab ini sudah diusia sepuhnya. Setiap tafsir tidak terlepas dari metode dan corak penafsiran, tanpa terkecuali Tajul Muslimin. Lahirnya sebuah karya umumnya muncul saat adanya problematika yang terjadi atau adanya permintaan terhadap suatu karya. Karya tulis menjadi wadah bagi seorang penulis untuk menyampaikan gagasan-gagasan, pesan-pesan atau pemikiran. Supaya pesan-pesan yang terkandung dalam karya tulis dapat diterima dan dipahami secara sempurna oleh audien. Seperti halnya KH. Misbah Musthafa dalam menulis tafsir ini beliau ingin menyampaikan gagasan-gagasan pikiran beliau seiring tradisi prilaku masyarakat yang dianggap sudah tidak sesuai dengan maqoshid dari ajaran islam yang sebenarnya. Posisi beliau sebagai salah satu sesepuh Ulama organisasi terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU) tidak menghalangi kebebasan beliau untuk 28 Rukiah Abdullah dkk, Karateristik Tafsir Nusantara Studi Metodologis atas kitab Tarjuman Al-Mustafid Karya Abdurrauf al-Singkili, Jurnal vol. 16 (no.2) tahun 2015.



mengkritik perilaku-perilaku yang dianggap beliau sebagai sesuatu yang melewati batasan dari syariat. Dalam penulisannya Tajul Muslimin disampaikan dengan Bahasa yang sangat komunikatif yakni dengan Bahasa Jawa, dan ditulis dengan aksara pegon khas Pesantren lokal. Komunikasi ini bertujuan agar karya tersebut tepat sasaran. Dengan adanya komunikasi ini pula seorang penulis akan paham bagaimana penulis menyampaikan sebuah karya pada masyarakat yang dihadapinya. Penulis juga dapat membaca situasi dan kondisi masayarakat yang nantinya akan membantu penulis menemukan cara menyampaikan sebuah karya dengan bahasa yang efektif dan dapat diterima oleh masyarakat. Dengan melihat unsur-unsur diatas, dapat dikatakan bahwa kitab tafsir Taj al-Musimin Min Kalami Rabbi alAlamin merupakan media yang digunakan oleh KH Misbah Mustafa untuk menyampaikan pesan-pesan yang terkandung di dalam al-Quran kepada umat Islam. Dengan menggunakan bahasa lokal Jawa, KH Misbah Mustafa mengharapkan agar pesan-pesan al-Quran dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat di sekitarnya. KH. Misbah Musthafa sering kali menampilkan adat tradisi yang dilakukan oleh masyarakat lokal untuk membantu menafsirkan al-Quran. Seperti halnya memakai rajah atau wifiq. Beliau



juga sering menampilkan masalah-



masalah yang terjadi di masyarakat sebagai penunjang dan problem solving penyelesaiaanya. Kearifan lokal yang demikianlah yang menjadikan tafsir ini dianggap menarik dan dirasa sangat perlu untuk diteliti dan disingkap beberapa kearifan lokal yang dalamnya. Maka penulis wujudkan penelitian ini dengan judul “Corak Adab AlIjtima’I dalam Tafsir Tajul Muslimin; Mengungkap Kearifan Lokal Dalam Penafsiran KH. Misbah Musthafa”. B. Idenitifikasi Masalah Dari pemaparan latar belakang di atas, maka masalah yang bisa di identifikasikan adalah: 1. Perkembangan literatur tafsir di Indonesia di era kontemporer.



2. Beragamnya metode dan corak penafsiran Ulama Nusantara dalam menafsirkan al-Quran. 3. Metode dan corak penafsiran Al-Quran



KH.Misbah Musthafa yang



mencerminkan kearifan lokal Nusantara. C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Ada berbagai macam corak penafsiran yang dad di dalam al-Quran seperti corak sasatra bahasa (lughowi), corak filsafat atau teologi (kalam), corak tasawwuf, corak Pendidikan (tarbawi)



dan corak adab al-Ijtima’i.



dalam hal ini penulis hanya membatasi hanya pada hal adab al- Ijtima’I dan memfokuskan pada kearifan local yang ada pada tafsir Tajul Muslimin Min Kalami Rabbil ‘Alamin. Berdasarkan fenomena yang tertulis di atas, perlu adanya rumusan masalah agar lebih terarah dan tidak melebar pembahasannya. Adapun rumusan masalahnya adalah, bagaimana kearifan local yang terdapat pada tafsir Tajul Muslimin Min Kalami Rabbil Alamin?. D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan yang disesuaikan dengan rumusan masalah, yaitu: 1. Mengetahui kearifan lokal pada kitab Tajul Muslimin yang dikarang oleh KH.Misbah Musthafa. 2. Menguatkan pendapat Mafri Amir dan Islah Gusmian atas keberadaan dan keragaman literatur Indonesia. 3. Memenuhi persyaratan akademik untuk meraih gelar sarjana. Adapun Manfaat dari penelitian yang dilakukan antara lain; a. Secara teoris Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai ilmu pengetahuan khususnya dalam penelitian tafsir yang terkait mufassir serta pemahaman tentang Tafsir Tajul Muslimin Min Kalami Rabb alAlamin karya KH.Misbah Musthafa. b. Secara praktis Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai ilmu pengetahuan yang memberikan informasi yang valid sehingga kualitas mufassir tidak diragukan dan bisa dipakai sebagai rujukan karya tulis ilmiah dan



sebagainya. serta memberikan informasi tentang Tafsir Tajul Muslimin Min Kalami Rabb al-Alamin. E. Tinjauan pustaka Pembahasan mengenai kitab tafsir Tajul Muslimin Min Kalami Rabbil Alamin yang ditulis oleh KH. Misbah Musthafa sudah ada yang menulisnya, namun pembahasan mengenai metodologi penyusunan dan penulisan kitab ini belum pernah ditemukan selintas Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Akan tetapi ditemukan beberapa penelitian yang membahas KH. Misbah Musthafa maupu yang setema dengan pembahasan penelitian metodologi penafsiran Ulama Nusantara. Diantaranya adalah, Muhammad Fuad Mursidi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah yang membahas mengenai corak adab al-Ijtimai dalam tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Musthafa, kemudian Wilda Kamalia mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang membahas literatur tafsir Indonesia mengenai corak penafsiran tafsir Juz Amma As-Sirojul Wahhaj. Skripsi ini ditulis membahas megenai metodologi penafsiran Muhammad Yunan Yusuf. Kemudian Sihaliya Fahmaya Hanita yang membahas metodologi penafsiran Al-Maunah karya KH. Abd Hamid Abd. Qodir Munawwir Maunah Sari Kediri. Serta ada buku-buku yang membahas tentang literatur tafsir nusantara diantaranya, yaitu Karya Mafri Amir terkait Literatur Tafsir Indonesia, Ahmad Husnul Hakim Imzi berjudul Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir dan Literatur Tafsir karya Juhar Azizy dan Faizah Ali. F. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif dengan mendeskripsikan Kitab Tafsir Tajul Muslimin Min kalami Rabbil Alamin. kemudian di analisis kitab KH.Misbah Musthafa dalam menafsirkan beberapa ayat yang bercorak adab al-Ijtima’I dalam penafsiran Al-Quran. Tujuan dari analisis ini berguna untuk memperkenalkan dunia keilmuan Islam dan khususnya muslim Indonesia, bahwa negeri ini juga mempunyai mufassir dan pemikir yang tidak kalah handal dengan ulama Timur Tengah. 1. Jenis penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) karena penelitian ini akan terfokus pada data-data tertulis



baik berupa literatur berbahasa Arab maupun literatur berbahasa Indonesia yang bersumber pada naskah-naskah yang relevan dengan pokok pembahasan. Penelitian ini juga terfokuskan pada sumber primer yaitu Tafsir Tajul



Muslimin



Min



Kalami



Rabbil



Alamin.



selanjutnya,



dideskripsikan dan dianalisa sehingga memudahkan menjawab persoalan yang telah dirumuskan pokok masalah, sedangkan data skundernya mencangkup semua buku dan artikel tentang ulum alQur’an, teori penafsiran yang telah dirumuskan oleh para Ulama. 2. Teknis pengumpulan data Penelitian ini merupakan penilitian kepustakaan (library research). Data yang diambil dari kepustakaan baik berupa buku, dokumen, maupun artikel,29 sehingga teknik pengumpulan datanya dilakukan melalui pengumpulan sumber-sumber primer maupun sekunder. Seperti halnya metode dokumentasi yang mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, dan sebagainya.30 3. Sumber data Untuk mendukung tercapainya data penelitian di atas, pilihan akan akurasi literatur sangat mendukung untuk memperoleh validitas dan kualitas data. Oleh karenanya, sumber data yang menjadi objek penelitian ini adalah: a) Sumber data primer Data primer ialah, “suatu data yang diperoleh secara langsung dari sumber aslinya”.31 Sumber data primer adalah rujukan utama yang akan digunakan penelitian yaitu, Tafsir Tajul Muslimin Min Kalami Rabbil Alamin. Hal ini dikarenakan objek utama dalam penelitian ini adalah metodologi penafsiran yang digunakan KH,Misbah Musthafa dalam menafsirkan al-Quran. 29



Hadari Nawawi, Metodologi penelitian Bidang sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada Universy press, 2001),95. 30 Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian Suatu pendekatan praktek,(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), 47. 31 Louis Gootshalk, Understanding History a Primer Historical Method, (Jakarta: UI press, 1985), Penerjemah: Nugroho Noto Susanto, 32.



b) Data sekunder Sedangkan data sekunder meliputi literatur-literatur seperti kitab-kitab dan buku-buku, artikel baik dari majalah maupun internet yang bisa dipertanggung jawabkan kebenaran datanya yang dapat menunjang penelitian ini dan dianggap penting untuk dikutip dan dijadikan informasi tambahan, seperti: 1. Al-Itqon fi ulum al-Quran karya Jalaluddin As-Suyuthi 2. At-tafsir Al-Mufassirun Karya Hussein Ad-Dzahabi 3. Manahij Al Mufassirin karya Dr Musaid Muslim Ali Ja’far. 4. Mabahist fî ‘ulum al-Qur’an karya Manna’ al-Qattan. 5. Tafsir Al-Quran dan kekuasaan di Indonesia karya Islah Gusmian. 6. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi karya Islah Gusmian. 7. Buku dan jurnal yang berkaitan dengan pembahasan Tafsir al-Qur’an dan yang berkaitan dengan objek penelitian. Begitu pula kitab-kitab yang dijadikan rujukan oleh penulis kitab dalam membantu menafsirkan al-Quran. 4. Metode Analisa Data Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Jadi, analisis data adalah penelaahan dan penguraian atas data sehingga menghasilkan kesimpulan.32 Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif-analisis yaitu meneliti naskah tafsir Tajul Muslimin Min Kalami Rabbil Alamin, dengan menganalisis data proses penulisan. G. Sistematika Pembahasan Agar pembahasan yang ada dalam penelitian ini menjadi sistematis dan mudah dipahami, maka penelitian ini disajikan dengan sistematika sebagai berikut:



32



M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), hal. 75.



Bab pertama adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab dua, membahas tentang pengertian corak tafsir, kemunculan dan keberagaman corak tafsir dan kearifan lokal dalam tafsir Bab tiga, membahas tentang biografi KH.Misbah Musthafa, kiprahnya, dan proses KH. Misbah Musthafa dalam menulis kitab Tajul Muslimin Min Kalami Rabbil Alamin. Bab empat, menganalisis mengenai Tafsir Tajul Muslimin Min Kalami Rabbil Alamin, dan contoh penafsiran yang mencerminkan aspek kelokalitasan. Serta menganalisis pemikiran yang mempengaruhi KH. Misbah Musthafa dalam menafsirkan ayat. Bab lima, merupakan akhir pembahasan dari skripsi ini, yang meliputi: kesimpulan berikut jawaban dari rumusan masalah yang ada serta saran-saran menyangkut tafsir Tajul Muslimin Min Kalami Rabbil Alamin.