Proposal Tab Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROPOSAL TERAPI BERMAIN DENGAN MENGHIAS TOPI PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DI RUANG WIDURI RSAB HARAPAN KITA



Proposal Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Anak Program Profesi



DisusunOleh: 1. Egha Farida N 2. Farah Yumna Nurul A 3. Resah Larasvia 4. Vivi Dwi Afriliani 5. Nisa Siti Yuniati 6. Siti Haerani



PROGRAM PROFESI NERS STIKES PERTAMEDIKA 2018



KATA PENGANTAR



Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan hidayah-Nya penulisan dan penyusunan proposal yang berjudul “proposal terapi bermain dengan menghias topi pada anak usia prasekolah di ruang widuri rsab harapan kita”dapat terselesaikan. Proposal ini merupakan salah satu tugas mata ajar Keperawatan Anak di STIKes PERTAMEDIKA pada Program Studi Profesi Ners. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada: 1. Dr. Dany Amrul Ichdan, SE, MSc selaku ketua Pengurus Yayasan Pendidikan PERTAMEDIKA. 2. Muhammad Ali, SKM, M.Kep selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA. 3. Wasijati,SKp.,M.Si, M.Kep selaku Ka. Prodi S1 Profesi Ners. 4. Alfonsa Reni S.Kep., Ns selaku Koordinator praktek stase Keperawatan Anak. 5. Ns. Betha, S.Kep selaku Kepala ruangan Ruang Anggrek RSAB Harapan Kita Jakarta Barat sebagai pembimbing lahan. 6. Perawat Ruang Anggrek RSAB Harapan Kita Jakarta Barat atas kerjasamanya, sehingga proposal ini dapat selesai sesuai dengan waktunya. 7. Teman-teman Program Profesi Ners S1 keperawatan – Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA. 8. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang turut berpartisipasi sehingga selesainya proposal ini.



Proposal ini penulis harapkan dapat memperdalam sekaligus dapat menambah pengetahuan tentang bagaimana menerapkan Keperawatan Anak bagi para pembacanya. Penulis menyadari dalam pembuatan proposal ini masih banyak kekurangan.



Penulis



sangat



berterimakasih



i



bila



ada



pihak-pihak



yang



mengkoreksi proposal ini dan memberikan kritik dan saran supaya penulis dapat memperbaikinya. Jakarta, Desember 2018



Tim Penulis



ii



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii BAB IPENDAHULUAN .................................................................................................... 1 A.



Latar Belakang ........................................................................................................ 1



B.



Tujuan ..................................................................................................................... 2



C.



Sasaran .................................................................................................................... 3



BAB IIKONSEP TEORI .................................................................................................... 4 A.



Konsep Bermain...................................................................................................... 4



B.



Konsep Hospitalisasi ............................................................................................... 9



C.



Konsep Tumbuh Kembang Anak Usia Pra-Sekolah ............................................ 18



BAB III SATUAN ACARA PELAKSANAAN TERAPI BERMAIN ........................ 28 A.



Karakteristik sasaran ............................................................................................. 28



B.



Waktu dan tempat pelaksanaan ............................................................................. 28



C.



Setting tempat ....................................................................................................... 28



D.



Jenis aktivitas ........................................................................................................ 28



E.



Metode .................................................................................................................. 29



F.



Alat dan Bahan ...................................................................................................... 29



G.



Uraian kerja........................................................................................................... 29



I.



Antisipasi Masalah ................................................................................................ 32



J.



Rencana Evaluasi .................................................................................................. 32



BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 34 A.



Persiapan ............................................................................................................... 34



B.



Proses .................................................................................................................... 34



C.



Hasil Observasi Observer...................................................................................... 35



D.



Kekurangan dalam Terapi Aktivitas Bermain menghias topi ............................... 36



BAB VPENUTUP ............................................................................................................ 38 A.



Kesimpulan ........................................................................................................... 38



B.



Saran ..................................................................................................................... 38



DAFTAR PUSTAKA



LAMPIRAN



iii



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Bermain merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional, dan sosial dan bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain, anak-anak akan berkata-kata (berkomunikasi), belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukannya, dan mengenal waktu, jarak serta suara (Wong, 2009).



Bermain adalah kegiatan yang sangat penting bagi perkembangan dan pertumbuhan anak. Bermain harus dilakukan atas inisiatif anak dan atas keputusan anak itu sendiri. Bermain harus dilakukan dengan rasa senang, sehingga semua kegiatan bermain yang menyenangkan akan menghasilkan proses belajar pada anak. Anak-anak belajar melalui permainan. Pengalaman bermain yang menyenangkan dengan bahan, benda, anak lain, dan dukungan orang dewasa membantu anak-anak berkembang secara optimal (Diana, 2010).



Bermain dirumah sakit mempunyai fungsi penting yaitu menghilangkan kecemasan, dimana lingkungan rumah sakit membangkitkan ketakutan yang tidak dapat dihindarkan. Hospitalisasi biasanya memberikan pengalaman yang menakutkan bagi anak. Semakin muda usia anak, semakin kurang kemampuannya beradaptasi sehingga menimbulkan hal yang menakutkan dan semakin lama anak mengalami hospitalisasi, maka dampak psikologis yang terjadi salah satunya adalah peningkatan kecemasan yang berhubungan erat dengan perpisahan dengan saudara atau teman-temannya dan akibat pemindahan dari lingkungan yang sudah akrab dan sesuai dengannya (Wong, 2009).



Pemberian terapi bermain ini dapat menunjang tumbuh kembang anak dengan baik. pada kenyataannya tidak semua anak dapat melewati masa



1



kanak-kanaknya dengan baik, ada sebagian yang dalam proses tumbuh kembangnya mengalami gangguan kesehatan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka perlu adanya program terapi bermain dirumah sakit khususnya diruang perawatan anak, sehingga diharapkan asuhan keperawatan dapat menunjang proses penyembuhan.



Ruang Anggrek di RSAB Harapan Kita Jakarta Barat merupakan ruang rawat inap khusus bagi anak yang akan menjalani Kemoterapi, dimana pasien yang dirawat merupakan pasien pada usia anak yang masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. Anak yang dirawat sebagian besar mengalami tingkat kecemasan yang tinggi akibat tindakan medis yang dilakukan dan lingkungan baru yang belum dikenal, sehingga anak menangis atau menolak terhadap tindakan medis, dalam kondisi seperti ini anak membutuhkan suatu hiburan dalam bentuk permainan dimana anak dapat



menggunakan



tangannya



sebagai



bentuk



kreasi



dengan



menempelkan sesuatu yang berwarna pada sebuah gambar. Hal ini juga dapat bermanfaat bagi anak selama hospitalisasi di rumah sakit.



B. Tujuan 1. Tujuan Umum Setelah dilakukan tindakan program bermain pada anak selama kurang lebih 60 menit diharapkan dapat mengurangi dampak hospitalisasi pada anak yang menjalani perawatan di Ruang Anggrek RSAB Harapan Kita. 2. Tujuan Khusus a. Memberikan kesenangan kepada anak yang sedang sakit b. Melatih konsentrasi anak c. Dapat merangsang rasa kreatif anak d. Dapat mengembangkan kepercayaan dirinya e. Agar anak dapat lebih efektif untuk beradaptasi terhadap stress karena sakit dan lingkungan baru



2



C. Sasaran Sasaran dari program terapi aktivitas bermain “menghias topi” adalah anak-anak usia prasekolah yang menjalani perawatan di Ruang Anggrek RSAB Harapan Kita yang secara program pengobatan tidak ada kontraindikasi untuk melakukan kegiatan permainan.



3



BAB II KONSEP TEORI



A. Konsep Bermain 1. Pengertian Bermain Bermain merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional, dan sosial dan bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain, anak-anak akan berkata-kata (berkomunikasi), belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukannya, dan mengenal waktu, jarak serta suara (Wong, 2010). Bermain adalah kegiatan yang sangat penting bagi perkembangan dan pertumbuhan anak. Bermain harus dilakukan atas inisiatif anak dan atas keputusan anak itu sendiri. Bermain harus dilakukan dengan rasa senang, sehingga



semua



kegiatan



bermain



yang



menyenangkan



akan



menghasilkan proses belajar pada anak (Diana, 2010). Bermain adalah unsur yang penting untuk perkembangan anak, baik fisik, emosi mental, intelektual, kreativitas maupun sosial (Soetjiningsih, 2014). Terapi merupakan penerapan sistematis dari sekumpulan prinsip belajar terhadap suatu kondisi atau tingkah laku yang dianggap menyimpang dengan tujuan melakukan perubahan.



2. Fungsi Bermain Fungsi bermain menurut Adriana (2011) berfungsi untuk merangsang perkembangan sensorimotor, perkembangan intelektual, sosialisasi, kreativitas, kesadaran diri, nilai moral dan manfaat terapeutik. a. Perkembangan sensorimotor: aktivitas sensorimotor adalah komponen utama bermain pada semua usia. Permainan aktif penting untuk perkembangan otot dan bermanfaat untuk melepaskan kelebihan energi. Melalui stimulasi taktil, auditorius, visual dan kinestetik, bayi memperoleh kesan. Todler dan prasekolah sangat menyukai gerakan tubuh dan mengeksplorasi segala sesuatu di ruangan.



4



b. Perkembangan intelektual: melalui eksplorasi dan manipulasi, anakanak belajar mengenal warna, bentuk, ukuran, tesktur dan fungsi objek-objek. Ketersediaan materi permainan dan kualitas keterlibatan orang tua adalah dua variabel terpenting yang terkait dengan perkembangan kognitif selama masa bayi dan prasekolah. c. Sosialisasi: perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan berinteraksi dengan lingkungannya. Anak dapat belajar membentuk hubungan sosial dan menyelesaikan masalah, belajar pola perilaku dan sikap yang diterima masyarakat dengan melalui bermain. d. Kreativitas: anak-anak bereksperimen dan mencoba ide mereka dalam bermain. Kreativitas terutama merupakan hasil aktivitas tunggal, meskipun berpikir kreatif sering kali ditingkatkan dalam kelompok. Anak merasa puas ketika menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. e. Kesadaran diri: melaui bermain, anak akan mengembangkan kemampuannya dalam mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenal kemampuan diri dan membandingkannya dengan orang lain. Bermain juga dapat menguji kemampuan anak dengan mencoba berbagai peran serta mempelajari dampak dari perilaku mereka terhadap orang lain. f. Nilai moral: anak mempelajari nilai benar dan salah dari lingkungannya terutama dari lingkungan. Anak yang bermain dapat memperoleh kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga dapat diterima di lingkungannya. Anak juga akan belajar nilai moral dan etika, belajar membedakan sesuatu dan bertanggung jawab. g. Manfaat terapeutik: bermain bersifat terapeutik pada berbagai usia. Bermain memberikan sarana untuk melepaskan diri dari ketegangan dan stress yang dihadapi di lingkungan. Anak dapat mengekspresikan emosi dan melepaskan impuls yang tidak dapat diterima dalam bermain dengan cara yang dapat diterima masyarakat. Anak-anak mampu mengkomunikasikan kebutuhan, rasa takut, kecemasan dan



5



keinginan mereka kepada pengamat yang tidak dapat mereka ekspresikan melalui bermain.



3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Bermain Menurut Supartini (2009), ada beberapa faktor yang mempengaruhi anak dalam bermain yaitu: a. Tahap perkembangan anak. Aktivitas bermain yang tepat dilakukan anak



yaitu



harus



sesuai



dengan



tahapan



pertumbuhan



dan



perkembangan anak, karena pada dasarnya permainan merupakan salah satu alat stimulasi untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan anak. b. Status kesehatan anak. Permainan memerlukan energi, namun bukan berarti anak tidak perlu bermain pada saat anak sedang sakit. c. Jenis kelamin anak. Semua jenis alat permainan dapat digunakan oleh anak lakilaki maupun anak perempuan untuk mengembangkan daya pikir, imajinasi, kreativitas, dan kemampuan sosial anak. Permainan dapat dijadikan salah satu alat untuk membantu anak mengenal identitas diri (laki-laki atau perempuan). d. Lingkungan yang mendukung. Lingkungan yang mendukung dapat menstimulasi imajinasi anak dan kreativitas anak dalam bermain. e. Alat dan jenis permainan. Alat dan jenis permainan harus sesuai dengan tahap tumbuh kembang anak agar apa yang didapat anak dari kegiatan bermain tersebut dapat diaplikasikan ke dalam dirinya.



4. Manfaat Dari Program Bermain Pada Anak Usia Dini/ Balita a. Mengembangkan kreativitas anak Manfaat bermain bagi anak balita yaitu mengasah otak kanannya, yang dapat meningkatkan kreativitas, untuk mencoba hal-hal baru. Melalui permainan, kemampuan berimajinasi anak akan terus berkembang. Anak yang dapat melakukan hal-hal yang baru dengan sendirinya, berarti kreativitasnya mulai berkembang.



6



b. Mengenal diri sendiri Sejak dini anakpun harus dilatih untuk mengenal dirinya sendiri yang salah satunya dapat dilakukan melalui bermain. Berdasarkan permainan yang anak lakukan, anak akan mengenal permainan apa yang ia sukai dan tidak sukai. Anak akan mulai tahu apa saja hal-hal yang disukai dan tidak disukai. c. Meningkatkan rasa percaya diri Jagan melarang anak untuk bermain selama permainan yang dilakukan tidak berbahaya. Bermain dapat meningkatkan rasa kepercayaan diri pada diri anak, karena mereka memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan. d. Melatih bersosialisasi Bermain juga penting dilakukan untuk melatih bersosialisasi anak sejak dini. Kebanyakan orang tua selama ini mendidik anaknya agar menjadi anak yang berprestasi akademik. Hal tersebut memang bukan hal yang salah, namun ketika anaknya hanya dituntut belajar sepanjang waktunya, kemampuan bersosialisasi anak dengan banyak orang dan lingkungan akan berkurang. Bermain sangat penting dilakukan, untuk itu berilah waktu anak untuk bermain dan biarkan anak bermain dengan teman sebayanya. Pentingnya bermain yaitu agar ia dapat bersosialisasi dengan teman dan lingkungan. e. Mengajarkan berbagi Ketika anak bermain bersama, biarkan anak membagikan mainannya dengan teman bermainnya, sehingga akan mengurangi sikap egois dalam diri anak, dan menanamkan sikap berbagi sejak kecil. Bermain merupakan salah satu cara penanaman nilai moral sejak dini. Anak yang suka menyendiri, cenderung memiliki sikap individualis dan egois dibandingkan anak yang suka bermain bersama temantemannya, karena dengan bermain bersama, mereka akan saling berbagi dan menghargai.



7



f. Melatih beradaptasi dan berkomunikasi Ketika bermain, khususnya ketika ia bermain diluar rumah, maka ia akan mengenal lingkungan dan berusaha bergaul dengan anak-anak lain. Ini dapat menjadi ajang untuk melatih anak beradaotasi dan berkomunikasi dengan teman-temannya. Melalui permainan, mereka akan saling bertanya dan mengobrol yang dapat melatihnya kemampuan berbicara.



5. Prinsip Bermain Dirumah Sakit a. Tidak boleh bertentangan dengan terapis dan perawatan yang sedang di jalankan b. Tidak banyak energi, singkat dan sederhana c. Mempertimbangkan keamanan dan infeksi silang d. Kelompok umur sama e. Melibatkan keluarga atau orang tua.



6. Jenis-Jenis Permainan Pada Anak Usia Prasekolah Ada berberapa jenis permainan yang sesuai dengan usia anak prasekolah, yaitu: a. Kegiatan seni dan kerajinan Keterampilan motorik halus anak yang semakin berkembang dan butuh stimulasi membuat anak usia prasekolah cocok dengan permainan yang membuatnya aktif melibatkan keterampilan motorik halus. Beberapa kegiatan, yaitu memegang krayon, membuat gambar keluarga, menggunakan gunting untuk memotong dan memperkuat koordinasi motorik, melatih kreativitas, dan mengangkat rasa percaya diri. b. Balok dan lego Membangun menara danmemahami bagaimana cara menghadapi bangunannya



ketika



jatuh,



dapat



mengembangkan



kemampuan



menyelesaikan masalah dan koordinasi tangan dan mata. Anak usia prasekolah akan menggunakan imajinasi mereka untuk membuat bangunan, kendaraan, binatang, dan bentuk sederhana lainnya.



8



c. Puzzle Puzzle akan membantu anak usia prasekolah dalam mengembangkan koordinasi dan ketangkasan, serta mengajarinya mengenai hubungan spasial (dimana satu hal berkaitan dengan lainnya) dan berpikir logis. d. Bermain peran Anak usia prasekolah sudah mulai mengidentifikasi peran gender tertentu. Anak perempuan mungkin akan bermain rumah-rumahan menggunakan boneka, sementara anak laki-laki mulai berperan sebagai mekanik dengan menggunakan mainan seperti obeng plastik. Anak lakilaki mungkin akan berpura-pura memperbaki peralatan yang rusak, sementara anak perempuan berpura-pura memasak.



B. Konsep Hospitalisasi 1. Definisi Hospitalisasi Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah. Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh stress (Supartini, 2009). Hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam bagi setiap orang.Khususnya hospitalisasi pada anak merupakan stressor baik terhadap anak itu sendiri maupun terhadap keluarga.Stres pada anak disebabkan karena mereka tidak mengerti mengapa mereka dirawat atau mengapa mereka terluka.Lingkungan yang asing, kebiasaan-kebiasaan yang berbeda, perpisahan dengan keluarga merupakan pengalaman yang dapat mempengaruhi perkembangan anak. Stres akibat Hospitalisasi akan menimbulkan perasaan tidak nyaman baik pada anak maupun pada keluarga, hal ini akan memacu anak untuk menggunakan mekanisme koping dalam menangani stress. Jika anak tidak mampu menangani stress dapat berkembang menjadi krisis.



9



2. Faktor-Faktor Penyebab Hospitalisasi Pada Anak Beberapa faktor yang menyebabkan stres akibat hospitalisasi pada anak adalah : a. Lingkungan Saat dirawat di Rumah Sakit klien akan mengalami lingkungan yang baru bagi dirinya dan hal ini akan mengakibatkan stress pada anak. b. Berpisah dengan Keluarga Klien yang dirawat di Rumah Sakit akan merasa sendiri dan kesepian, jauh dari keluarga dan suasana rumah yang akrab dan harmonis. c. Kurang Informasi Anak akan merasa takut karena dia tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh perawat atau dokter. Anak tidak tahu tentang penyakitnya dan kuatir akan akibat yang mungkin timbul karena penyakitnya. d. Masalah Pengobatan Anak takut akan prosedur pengobatan yang akan dilakukan, karena anak merasa bahwa pengobatan yang akan diberikan itu akan menyakitkan. Dengan mengerti kebutuhan anak sesuai dengan tahap perkembangannya dan mampu memenuhi kebutuhan tersebut, perawat dapat mengurangi stress akibat hospitalisasi dan dapat meningkatkan perkembangan anak kearah yang normal(Whaley & Wong’s, 2008).



3. Faktor Resiko Yang Meningkatkan Anak Lekas Tersinggung Pada Stres Hospitalisasi a. Temperamen yang sulit b. Ketidakcocokan antara anak dengan orang tua c. Usia antara 6 bulan – 5 tahun d. Anak dengan jenis kelamin laki-laki e. Intelegensi dibawah rata-rata f. Stres yang berkali-kali dan terus-manerus.



10



4. Reaksi-Reaksi Saat Hospitalisasi Sesuai Dengan Perkembangan Anak a. Bayi (0-1 tahun) Bila bayi berpisah dengan orang tua, maka pembentukan rasa percaya dan pembinaan kasih sayangnya terganggu. Pada bayi usia 6 bulan sulit untuk memahami secara maksimal bagaimana reaksi bayi bila dirawat, Karena bayi belum dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya. Sedangkan pada bayi dengan usia yang lebih dari 6 bulan, akan banyak menunjukkan perubahan. Pada bayi usia 8 bulan atau lebih telah mengenal ibunya sebagai orang yang berbeda-beda dengan dirinya, sehingga akan terjadi “Stranger Anxiety” (cemas pada orang yang tidak dikenal), sehingga bayi akan menolak



orang



baru



yang



belum



dikenal.



Kecemasan



ini



dimanifestasikan dengan meanagis, marah dan pergerakan yang berlebihan.Disamping itu bayi juga telah merasa memiliki ibunya ibunya, sehingga jika berpisah dengan ibunya akan menimbulkan “Separation Anxiety” (cemas akan berpisah). Hal ini akan kelihatan jika bayi ditinggalkan oleh ibunya, maka akan menangis sejadijadinya, melekat dan sangat tergantung dengan kuat. b. Toddler (1-3 tahun) Toddler belum mampu berkomunikasi dengan menggunkan bahasa yang memadai dan pengertian terhadap realita terbatas. Hubungan anak dengan ibu sangat dekat sehingga perpisahan dengan ibu akan menimbulkan rasa kehilangan orang yang terdekat bagi diri anak dan lingkungan yang dikenal serta akan mengakibatkan perasaan tidak aman dan rasa cemas. Disebutkan bahwa sumber stress utama pada anak yaitu akibat perpisahan (usia 15-30 bulan). Anxietas perpisahan disebut juga “Analitic Depression”. Respon perilaku anak akibat perpisahan dibagi dalam 3 tahap, yaitu : 1) Tahap Protes (Protest) Pada tahap ini dimanifestasikan dengan menangis kuat, menjerit dan memanggil ibunya atau menggunakan tingkah laku agresif



11



agar orang lain tahu bahwa ia tidak ingin ditinggalkan orang tuanya serta menolak perhatian orang lain. 2) Tahap Putus Asa (Despair) Pada tahap ini anak tampak tenang, menangis berkurang, tidak aktif, kurang minat untuk bermain, tidak nafsu makan, menarik diri, sedih dan apatis. 3) Tahap menolak (Denial/Detachment) Pada tahap ini secara samar-samar anak menerima perpisahan, membina hubungan dangkal dengan orang lain serta kelihatan mulai menyukai lingkungan. Toddler



telah



mampu



menunjukkan



kestabilan



dalam



mengontrol dirinya dengan mempertahankan kegiatan rutin seperti makan, tidur, mandi, toileting dan bermain. Akibat sakit dan dirawat di Rumah Sakit, anak akan kehilangan kebebasan dan



pandangan



egosentrisnya



dalam



mengembangkan



otonominya. Hal ini akan menimbulkan regresi. Ketergantungan merupakan karakteristik dari peran sakit. Anak akan bereaksi terhadap ketergantungan dengan negatifistik dan agresif. Jika terjadi ketergantungan dalam jangka waktu lama (karena penyakit kronik) maka anak akan berespon dengan menarik diri dari hubungan interpersonal. c. Pra Sekolah (3-6 tahun) Anak usia Pra Sekolah telah dapat menerima perpisahan dengan orang tuannya dan anak juga dapat membentuk rasa percaya dengan orang lain. Walaupun demikian anak tetap membutuhkan perlindungan dari keluarganya. Akibat perpisahan akan menimbulkan reaksi seperti : menolak makan, menangis pelan-pelan, sering bertanya misalnya : kapan orang tuanya berkunjung, tidak kooperatif terhadap aktifitas sehari-hari. Kehilangan kontrol terjadi karena adanya pembatasan aktifitas seharihari dan karena kehilangan kekuatan diri.Anak pra sekolah membayangkan bahwa dirawat di rumah sakit merupakan suatu



12



hukuman, dipisahkan, merasa tidak aman dan kemandiriannya dihambat. Anak akan berespon dengan perasaan malu, bersalah dan takut. Anak usia pra sekolah sangat memperhatikan penampilan dan fungsi tubuh. Mereka menjadi ingin tahu dan bingung melihat seseorang dengan gangguan penglihatan atau keadaan tidak normal. Pada usia ini anak merasa takut bila mengalami perlukaan, anak memgangap bahwa tindakan dan prosedur mengancam integritas tubuhnya. Anak akan bereaksi dengan agresif, ekspresif verbal dan depandensi.Disamping itu anak juga akan menangis, bingung, khususnya bila keluar darah dari tubuhnya. Maka sulit bagi anak untuk percaya bahwa infeksi, mengukur tekanan darah, mengukur suhu perrektal dan prosedur tindakan lainnya tidak akan menimbulkan perlukaan. d. Sekolah (6-12 tahun) Anak usia sekolah yang dirawat di rumah sakit akan merasa khawatir akan perpisahan dengan sekolah dan teman sebayanya, takut kehilangan ketrampilan, merasa kesepian dan sendiri.



Anak



membutuhkan rasa aman dan perlindungan dari orang tua namun tidak memerlukan selalu ditemani oleh orang tuanya. Pada usia ini anak berusaha independen dan produktif. Akibat dirawat di rumah sakit menyebabkan perasaan kehilangan kontrol dan kekuatan. Hal ini terjadi karena adanya



perubahan dalam peran,



kelemahan fisik, takut mati dan kehilangan kegiatan dalam kelompok serta akibat kegiatan rutin rumah sakit seperti bedrest, penggunaan pispot, kurangnya privacy, pemakaian kursi roda. Anak



telah



dapat



mengekpresikan



perasaannya



dan



mampu



bertoleransi terhadap rasa nyeri. Anak akaqn berusaha mengontrol tingkah laku pada waktu merasa nyeri atau sakit denga cara menggigit bibir atau menggengam sesuatu dengan erat.



13



Anak ingin tahu alas an tindakan yang dilakukan pada dirinya, sehingga anak selalu mengamati apa yang dikatakan perawat. Anak akan merasa takut terhadap mati pada waktu tidur. e. Remaja (12-18 tahun) Kecemasan yang timbul pada anak remaja yang dirawat di rumah sakit adalah akibat perpisahan dengan teman-teman sebaya dan kelompok. Anak tidak merasa takut berpisah dengan orang tua akan tetapi takut kehilangan status dan hubungan dengan teman sekelompok. Kecemasan lain disebabkan oleh akibat yang ditimbulkan oleh akibat penyakit fisik, kecacatan serta kurangnya “privacy”. Sakit dandirawat merupakan ancaman terhadap identitas diri, perkembangan dan kemampuan anak. Reaksi yang timbul bila anak remaja dirawat, ia akan merasa kebebasannya terancam sehingga anak tidak kooperatif, menarik diri, marah atau frustasi. Remaja sangat cepat mengalami perubahan body image selama perkembangannya. Adanya perubahan dalam body image akibat penyakit atau pembedahan dapat menimbulkan stress atau perasaan tidak aman. Remaja akan berespon dengan banyak bertanya, menarik diri dan menolak orang lain.



5. Reaksi Keluarga Terhadap Anak Yang Sakit Dan Dirawat Dirumah Sakit Seriusnya penyakit baik akut atau kronis mempengaruhi tiap anggota dalam keluarga : a. Reaksi orang tua Orang tua akan mengalami stress jika anaknya sakit dan dirawat dirumah sakit. Kecemasan akan meningkat jika mereka kurang informasi tentang prosedur dan pengobatan anak serta dampaknya terhadap masa depan anak. Orang tua bereaksi dengan tidak percaya terutama jika penyakit ananknya secara tiba-tiba dan serius.



14



Setelah menyadari tentang keadaan anak, maka mereka akan bereaksi dengan marah dan merasa bersalah, sering menyalahkan diri karena tidak mampu merawat anak sehingga anak menjadi sakit. b. Reaksi Sibling Reaksi sibling terhadap anak yang sakit dan dirawat dirumah sakit adalah marah, cemburu, benci dan bersalah.Orang tua seringkali mencurahkan perhatiannya lebih besar terhadap anak yang sakit dibandingkan dengan anak yang sehat. Hal ini akan menimbulkan perasaan cemburu pada anak yang sehat dan anak merasa ditolak.



6. Peran Perawat Dalam Mengurangi Stres Akibat Hospitalisasi Anak dan keluarga membutuhkan perawatan yang kompeten untuk meminimalkan efek negatif dari hospitalisasi. Fokus dari intervensi keperawatan adalah meminimalkan stressor perpisahan, kehilangan kontrol dan perlukaan tubuh atau rasa nyeri pada anak serta memberi support kepada keluarga seperti membantu perkembangan hubungan dalam keluarga dan memberikan informasi : a. Mencegah atau meminimalkan dampak dari perpisahan, terutama pada anak usia kurang dari 5 tahun. 1) Rooming In yaitu orang tua dan anak tinggal bersama.Jika tidak bisa, sebaiknya orang tua dapat melihat anak setiap saat untuk mempertahankan kontak tau komunikasi antar orang tua dan anak. 2) Partisipasi Orang tua 3) Orang tua diharapkan dapat berpartisipasi dalam merawat anak yang sakit terutama dalam perawatan yang bisa dilakukan misal : memberikan kesempatan pada orang tua untuk menyiapkan makanan pada anak atau memandikan. Perawat berperan sebagai Health Educator terhadap keluarga. 4) Membuat ruang perawatan seperti situasi di rumah dengan mendekorasi dinding memakai poster atau kartu bergambar sehingga anak merasa aman jika berada diruang tersebut.



15



5) Membantu anak mempertahankan kontak dengan kegiatan sekolah dengan mendatangkan tutor khusus atau melalui kunjungan temanteman sekolah, surat menyurat atau melalui telepon.



b. Mencegah perasaan kehilangan kontrol 1) Physical Restriction (Pembatasan Fisik) Pembatasan fisik atau imobilisasi pada ekstremitas untuk mempertahankan aliran infus dapat dicegah jika anak kooperatif. Untuk bayi dan toddler, kontak orang tua – anak mempunyai arti penting untuk mengurangi stress akibat restrain. Pada tindakan atau prosedur yang menimbulkan nyeri, orang tua dipersiapkan untuk membantu, mengobsevasi atau menunggu diluar ruangan. Pada beberapa kasus pasien yang diisolasi, misal luka bakar berat, dengan menempatkan tempat tidur didekat pintu atau jendela, memberi musik. 2) Gangguan dalam memenuhi kegiatan sehari-hari Respon anak terhadap kehilangan, kegiatan rutinitas dapat dilihat dengan adanya masalah dalam makan, tidur, berpakaian, mandi, toileting dan interaksi social. Teknik untuk meminimalkan gangguan dalam melakukan kegiatan sehari-hari yaitu dengan “Time Structuring”. Pendekatan ini sesuai untuk anak usia sekolah dan remaja yang telah mempunyai konsep waktu. Hal ini meliputi pembuatan jadual kegiatan penting bagi perawat dan anak, misal: prosedur pengobatan, latihan, nonton TV, waktu bermain. Jadwal tersebut dibuat dengan kesepakatan antara perawat, orang tua dan anak.



c. Meminimalkan rasa takut terhadap perlakuan tubuh dan rasa nyeri Persiapan anak terhadap prosedur yang menimbulkan rasa nyeri adalah penting untuk mengurangi ketakutan. Perawat menjelaskan apa yang akan dilakukan, siapa yang dapat ditemui oleh anak jika dia merasa takut. Memanipulasi prosedur juga dapat mengurangi



16



ketakutan akibat perlukaan tubuh, misal : jika anak takut diukur temperaturnya melalui anus, maka dapat dilakukan melalui ketiak atau axilla.



d. Memaksimalkan manfaat dari hospitalisasi Hospitalisasi merupakan stressfull bagi anak dan keluarga, tapi juga membantu memfasilitasi perubahan kearah positif antara anak dan anggota keluarga : 1) Membantu perkembangan hubungan orang tua – anak Hospitalisasi memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika orang tua tahu reaksi anak terhadap stress seperti regresi dan agresif, maka mereka dapat memberi support dan juga akan memperluas pandangan orang tua dalam merawat anak yang sakit. 2) Memberi kesempatan untuk pendidikan Hospitalisasi memberi kesempatan pada anak dan anggota keluarga belajar tentang tubuh, profesi kesehatan. 3) Meningkatkan Self – Mastery Pengalaman menghadapi krisis seperti penyakit atau hospitalisasi akan memberi kesempatan untuk self - mastery. Anak pada usianya lebih mudah punya kesempatan untuk mengetest fantasi atau realita.Anak yang usianya lebih besar, punya kesempatan untuk membuat keputusan, tidak tergantung dan percaya diri perawat dan memfasilitasi perasaan self-mastery dengan menekan kemampuan personal anak. 4) Memberi kesempatan untuk sosialisasi Jika anak yang dirawat dalam satu ruangan usianya sebaya maka akan membantu anak untuk belajar tentang diri mereka. Sosialisasi juga dapat dilakukan dengan team kesehatan selain itu orang tua juga memperoleh kelompok sosial baru dengan orang tua anak yang punya masalah yang sama.



17



e. Memberi support pada anggota keluarga Perawat dapat mendiskusikan dengan keluarga tentang kebutuhan anak, membantu orang tua. Mengidentifikasi alas an spesifik dari perasaan dan responnya terhadap stress memberi kesempatan kepada orang tua untuk mengurangi beban emosinya. 1) Memberi Informasi Salah satu intervensi keperawatan yang penting adalah memberikan informasi sehubungan dengan penyakit, pengobatan, dan prognosa, reaksi emosional anak terhadap sakit dan dirawat, serta reaksi emosional anggota keluarga terhadap anak yang sakit dan dirawat. 2) Melibatkan Sibling Keterlibatan sibling sangat penting untuk mengurangi stress pada anak. Misalnya keterlibatan dalam program rumah sakit (kelompok bermain), mengunjungi saudara yang sakit secara teratur.



C. Konsep Tumbuh Kembang Anak Usia Pra-Sekolah 1. Pengertian Anak Usia Pra-Sekolah Anak usia prasekolah merupakan fase perkembangan individu sekitar 2-6 tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri dalam buang air (toilet training), dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya (mencelakakan dirinya) (Yusuf, 2005). Pengertian yang serupa juga disebutkan oleh Perry dan Potter (2005), bahwa usia anak prasekolah merupakan masa kanak-kanak, yaitu berada pada usia 3 sampai 6 tahun, namun dalam Hockenberry dan Wilson (2007) disebutkan usia prasekolah adalah anak yang berusia 3 sampai 5 tahun. Batasan anak usia prasekolah di Indonesia umumnya merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1990 tentang pendidikan prasekolah, yaitu 4-6 tahun.



18



2. Perkembangan Anak Pra-sekolah Perkembangan menurut Hurlock (2008), diartikan sebagai serangkaian perubahan yang progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman, dan perkembangan juga diartikan sebagai perubahan secara kualitatif. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa perkembangan bukan sekedar penambah beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang melainkan, suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks. Perkembangan anak usia prasekolah yaitu meliputi : a. Perkembangan Biologis Perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan perkembangan berikutnya. Pertumbuhan tubuh yang meningkat baik menyangkut pertumbuhan berat dan tinggi maupun kekuatannya memungkinkan anak untuk dapat lebih mengembangkan keterampilan fisiknya dan eksplorasi terhadap lingkungannya dengan tanpa bantuan orangtuanya (Yusuf, 2005). Pada anak usia prasekolah, pertumbuhan fisik melambat dan stabil, dengan penambahan berat rata-rata 2-3 kg pertahun, dan tinggi badan rata-rata 6,5-9 cm pertahun serta bagian perut anak menjadi rata dan tubuh menjadi langsung, tetapi kuat (Hockenberry & Wilson, 2007). Perkembangan motorik kekuatan anak meningkat dan mengalami perbaikan yang merupakan persiapan kemampuan belajar, seperti berjalan, berlari dan melompat. Kemampuan motorik anak prasekolah menurut Yusuf (2005) dapat digambarkan sebagai berikut : 1) Usia 3-4 tahun Kemampuan motorik kasar yang dimiliki anak berupa : naik dan turun tanggam meloncat dengan dua kaki, dan melempar bola, sedangkan kemampuan motorik halus yang dimiliki anak berupa menggunakan krayon, menggunakan benda/alat, dan meniru bentuk (meniru gerakan orang lain).



19



2) Usia 4-6 tahun Kemampuan motorik kasar yang dimiliki anak berupa meloncat, mengendarai sepeda, menangkap bola, dan bermain olahraga, sedangkan kemampuan motorik halus yang dimiliki anak berupa menggunakan pensil, menggambar memotong dengan gunting, dan menulis huruf cetak.



b. Perkembangan Psikososial Perkembangan psikososial anak usia prasekolah menurut Erikson berada pada fase sense initiative, dimana anak pada tahap ini giat belajar, mereka bermain, bekerja dan hidup, dan merasa mampu menyelesaikan dan puas terhadap aktivitas mereka (Hockenberry & Wilson, 2007). Konflik muncul ketika anak melampaui keterbatasan kemampuan mereka dan anak mengembangkan perasaan bersalah dan selanjutnya timbul kecemasan dan ketakutan ketika orangtua membuat mereka merasa bahwa imajinasi dan aktivitasnya tidak dapat diterima atau tidak sesuai dengan harapan orangtua (Hockenberry & Wilson, 2007; Muscari, 2005). Orangtua dapat menggunakan cerita untuk membantu imajinasi yang menyenangkan, meningkatkan keahlian berbahasa, mendorong anak untuk mengungkapkan perasaan dan mengekspresikan emosinya, dan menggunakan



bermain



sebagai



wahana



yang



terbaik



dalam



menyalurkan marah atau frustrasi (Hockenberry & Wilson, 2007). Beberapa jenis emosi yang berkembang pada masa usia prasekolah, yaitu : 1) Takut, yaitu perasaan terancam oleh suatu objek yang dianggap membahayakan (Yusuf, 2005). Pengalaman anak selama periode usia



prasekolah



umumnya



perasaan



takut



lebih



dominan



dibandingkan dengan periode usia lain, dimana rasa takut ini mudah muncul dan berasal dari tindakan dan penilaian orangtua, namun pada umumnya rasa takut terjadi pada kondisi seperti kegelapan, ditinggal sendiri, terutama pada saat menjelang tidur,



20



binatang terutama binatang yang besar, hantu, mutilasi tubuh, nyeri, dan objek serta orang-orang yang berhubungan dengan pengalaman yang menyakitkan (Muscari, 2005). Reaksi anak terhadap rasa takut adalah panik, kemudian menjadi lebih khusus seperti lari, menghindar, dan bersembunyi, menangis dan menghindari situasi yang menakutkan (Hurlock, 1998). Rasa takut terhadap sesuatu berlangsung melalu tahapan sebagai berikut: mula-mulai tidak takut karena anak belum sanggup melihat kemungkinan bahaya yang terdapat dalam objek, timbul rasa takut seteah mengenal adanya bahaya, dan rasa takut bisa hilang kembali setelah mengetahui cara-cara menghindar dari bahaya (Yusuf, 2005). 2) Cemas, yaitu perasaan takut yang bersifat khayalan, yang tidak ada objeknya, dan muncul dari situasi-situasi yang dikhayalkan, berdasarkan penglaman yang diperoleh, buku-buku bacaan/komik, radio atau film (Yusuf, 2005). 3) Marah, merupakan perasaan tidak senang atau benci terhadap orang lain, diri sendiri atau objek tertentu, yang merupakan reasksi terhadap situasi frustasi yang dialami sebagai akibat dari kekecewaan atau perasaan tidak senang karena adanya hambatan dalam pemenuhan keinginan yang diwujudkan dalam bentuk verbal (kata-kata kasar) atau nonverbal (seperti mencubit, memukul, menendang, dan merusak) (Yusuf, 2005). 4) Cemburu, yaitu perasaan tidak senang terhadap orang lain yang dipandang telah merebut kasih sayang daru seseorang yang telah mencurahkan kasih sayang kepadanya. Perasaan ini biasanya diikuti dengan ketegangan yang dapat diredakan dengan reaksireaksi berikut : agresif atau permusuhan terhadap saingan, regresif yaitu



perilaku



kekanak-kanakan



seperti



mengompol



atau



menghisap jempol, sikap tidak peduli, dan menjauhkan diri dari saingan (Yusuf, 2005).



21



5) Kegembiraan, kesenangan, kenikmatan, yaitu perasaan yang positif, nyaman, karena terpenuhinya keinginan dan anak mengungkapkannya dengan tersenyum, tertawa, bertepuk tangan, melompat-lompat,



atau



memeluk



benda



atau



orang



yang



membuatnya bahagia (Hurlock, 1998; Yusuf, 2005). 6) Kasih sayang, yaitu perasaan senang untuk memberikan perhatian atau perlindungan terhadap orang lain, hewan atau benda, dimana perasaan ini berkembang berdasarkan pengalamannya yang menyenangkan (Yusuf, 2005). 7) Phobi, yaitu perasaan takut terhadap objek yang tidak patut ditakutinya, dimana hal ini terjadi akibat perlakuan orangtua yang menakut-nakuti



sebagai



cara



orangtua



menghukum



atau



menghentikan perilaku anak yang tidak disukai (Yusuf, 2005). 8) Ingin tahu (curiosity), yaitu perasaan ingin mengenal, mengetahui segala sesuatu atau objek-objek, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik. Reaksi anak terhadap keingintahuan adalah dalam bentuk penjelajahan sensomotorik, kemudian sebagai akibat tekanan sosial atau hukuman ia bereaksi dengan bertanya, dimana masa bertanya ini dimulai pada usia 3 tahun dan mencapai puncaknya pada usia sekita 6 tahun.



c. Perkembangan Kognitif Perkembangan kognitif anak usia prasekolah menurut Piaget berada pada fase praoperasional, yaitu tahapan dimana anak belum mampu menyelesaikan kegiatan-kegiatan secara mental yang logis, mereka hanya dapat berpikir satu ide pada satu waktu dan tidak dapat berpikir untuk semua bagian pada waktu yang menyeluruh. Fase ini ditandai dnegan berkembangnya representaional atau “symbolic function”, yaitu kemampuan menggunakan sesuatu untuk mempresentasikan (mewakili) sesuatu yang lain dengan menggunakan simbol (kata-kata, gesture/bahasa gerak, dan benda) (Yusuf, 2005). Berpikir secara simbolik dipandang lebih maju dari berpikir pada fase sensorimotor.



22



Namun kemampuan berpikir ini masih mengalami keterbatasan. Yusuf (2005)



mengemukakan



keterbatasan



yang



menandai



fase



praoperasional ini sebagai berikut: 1) Egosentrisme, yang maksudnya bukan selfisness (egois) atau arogan (sombong), namun merujuk kepada deferensiasi diri, lingkungan orang lain yang tidak sempurna dan kecnderungan untuk



mempersepsi,



memahami,



dan



menafsirkan



sesuatu



berdasarkan sudut pandang sendiri. Salah satu implikasinya, anak tidak dapat memahami persepsi konseptual orang lain seprti anak sedang memegang sebuah buku secara tegak dan menunjuk dalam satu gambar yang ada di dalamnya sambil bertanya ke ibunya “gambar apa ini?” Dia tidak menyadari bahwa ibunya yang menghadap kepadanya tidak bisa melihat gambar tersebut dari arah belakang buku tersebut. 2) Kaku dalam berpikir (rigidity of thought). Salah satu karalteristik berpikir praoperasional adalah kaku (frozen). Salah satu contohnya, berpikir itu bersifat centration (memusat), yaitu kecenderungan berpikir atas dasar satu dimensi, baik mengenai objek maupun peristiwam dan tidak menolak dimensi-dimensi lainnya. Piaget memperlihatkan dua gelas yang berisi cairan yang sama tingginya, lalu pada anak ditanyakan apakah kedua gelas berisi jumlah cairan yang sama, dengan mudahnya anak menjawab. Anak berikutnya diminta untuk menuangkan sendiri salah satu isi dari kedua gelas itu ke gelas lain yang lebih pendek dan lebih besar. Kepada anak ditanyakan ulang, mana yang lebih banyak isinya, gelas yang semula atau gelas yang baru. Anak menjawab bahwa jumlah cairan di gelas yang semula lebih banyak karena permukaan cairannya lebih tinggi. Kemampuan anak disini dapat terlihat yang terpusat hanya pada satu dimensi persepsi, yaitu tinggi. 3) Semilogical reasoning. Anak-anak mencoba untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa alam yang misterius, yang dialaminya dalam



23



kehidupan



sehari-hari.



Salah



satu



pemecahannya



dalam



menjelaskannya itu dianalogikan dengan tingkah laku manusia.



d. Perkembangan Moral Teori perkembangan moral menurut Kohelberg disebutkan bahwa perkembangan moral didasarkan pada perkembangan kognitif dan meliputi 3 tahapan besar, yaitu prekonvensional, konvensional, dan postkonvensional.



Yusuf



(2005)



juga



membahas



tentang



perkembangan moral pada anak usia prasekolah sebagai berikut: 1) Pada periode usia prasekolah ini anak telah memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap kelompok sosialnya yang diperoleh dari penglaman berinteraksi dengan orang lain, sehingga anak belajar memahami konsep-konsep baik buru dan benar salah. Berdasarkan pengalaman ini maka anak harus dilatih mengenaik bagaimana mereka harus bertingkah laku dengan memberikan penjelasan tentang alasannya. 2) Penanaman disiplin dengan disertai alasan diharapkan self-control atau



self-discipline



(kemampuan



mengendalikan



diri



atau



mendisiplinkan diri berdasarkan kesadaran diri) dapat berkembang pada anak. 3) Perkembangan kesadaran sosial pada anak usia prasekolah juga meliputi sikap simpati, murah hati, atau kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain.



e. Perkembangan Spiritual Perkembangan spiritual pada anak-anak dipengaruhi oleh tingkat kognitif mereka yang terungkap dalam kemampuan berbahasa. Menurut Hockenberry & Wilson(2007) bahwa pengetahuan anak tentang kepercayaan dan ketuhanan dipelajari dari kenyataan yang ada di lingkungan mereka. Biasanya kepercayaan dan prakteknya terbentuk dari orangtua. Perkembangan dari suara hati adalah sangat kuat untuk perkembangan spiritual. Anak pada usia ini mempelajari



24



benar dari kesalahan dan pembenaran untuk menghindari hukuman. Perbuatan salah mendukung perasaan bersalah dan anak prasekolah biasanya



salah



mengartikan



bahwa



sakit



adalah



hukuman.



Mengobservasi tradisi religius dan berpartisipasi dalam masyarakat religius dapat membantu anak terindungi dari periode penuh stress seperti dirawat di rumah sakit dan kejadian trauma lainnya (Hockenberry & Wilson, 2007). Menurut Yusuf (2005), kesadaran beragama pada anak usia prasekolah ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut : 1) Sifat keagamaannya bersifat reseptif (menerima) meskipun banyak bertanya. 2) Pandangan



ketuhanannya



bersifat



anthropormoph



(dipersonifikasikan). 3) Penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau berpartisipasi dalam berbagai kegiatan ritual. 4) Hal ketuhanan dipahamkan secara idiosyncritic (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf berpikirnya yang masih bersifat egosentrik (memandang segala sesuatu dari sudut dirinya).



f. Perkembangan Body Image Perkembangan dalam body image pada anak usia prasekolah berkembang mengikuti perkembangan kognitif dan kemampuan berbahasa. Hockenberry dan Wilson (2007) mengatakan bahwa bermain pada anak usia prasekolah memiliki peran yang signifikan dalam perkembangan meningkatnya



body image. Anak



perkembangan



bahasa



dan



prasekolah dengan kognitif



mengakui



pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, mengakui perbedaan warna kulit dan identitas suku, serta rentan untuk belajar berprasangka. Anak prasekolah juga menyadari arti kata seperti cantik atau bentuk merefleksikan pendapat mengenai pengalamannya.



25



Hockenberry & Wilson (2007) menyebutkan meskipun perkembangan body image terus berlanjut namun anak prasekolah memiliki keterbatasan pengertian dan sedikit pengetahuan tentang anatomi sehingga mengalami gangguan akibat pengalaman yang menakutkan, khususnya yang berkenaan dengan gangguan integtritas kulit (seperti injeksi atau pembedahan).



g. Perkembangan Seksual Perkembangan seksual selama usia prasekolah adalah penting untuk identitas seksual (Hockenberry & Wilson, 2007). Hockenberry dan Wilson (2007) juga mengatakan bahwa perkembangan identitas jenis kelamin diakui, kesopanan dan ketakutan terhadap mutilasi menjadi suatu perhatian. Anak prasekolah mengidentifikasi jenis kelamin yang sama dengan orangtua serta mempraktekkan dan mencontoh orangtua seperti cara berpakaian, mengasuh, perawatan, disiplin, dan berjalan yang penekanannya pada beberapa aspek perilaku berorientasi jenis kelamin. Anak prasekolah memiliki kemampuan berbahasa dan kognitif yang lebih baik daripada anak usia todler sehingga mereka mampu meneliti identitas jenis kelamin. Meningkatnya penelitian menunjukkan bahwa identifikasi gender tidak semata-mata faktor biologi atau genetik tetapi utamanya akibat faktor psikologi postnatal yang kompleks.



h. Perkembangan Sosial Yusuf (2005) menyebutkan bahwa anak usia prasekolah khususnya sejak mereka berusia 4 tahu, perkembangan sosialnya sudah tampak jelas karena mereka sudah mulai aktif berhubungan dengan teman sebayanya. Tanda-tanda perkembangan sosial pada tahap ini adalah : 1) Anak mulai mengetahui aturan-aturan, baik di lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan bermain. 2) Sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada aturan. 3) Anak mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain.



26



4) Anak mulai dapat bermain bersama anak-anak lain atau temanteman sebaya. Yusuf (2005) juga menjelaskan bahwa perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh iklim sosio-psikologis keluarganya, sehingga apabila di lingkungan keluarga tercipta suasan yang harmonis, saling memperhatikan, saling membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas keluarga, terjalin komunikasi antar anggota keluarga, maka anak akan memiliki kemampuan penyesuaian sosial dalam hubungan dengan orang lain. Bahasa memiliki perananan penting dalam kehidupan seorang ana karena bahasa memiliki pengaruh yang besar terhadap komunikasi dan interaksi sosial, dan bahasa merupakan barometer yang kritis dari perkembangan kognitif maupun emosi. Kemampuan berbahasa terus berkembang dengan pesat ada kelomok anak usia prasekolah.



27



BAB III SATUAN ACARA PELAKSANAAN TERAPI BERMAIN



A. Karakteristik Sasaran Sasaran terapi bermain“Menghias topi“ ini adalah anak-anak usia prasekolah dan dirawat di ruang perawatan anak di Ruang Anggrek RSAB Harapan Kita Jakarta Barat dengan jumlah peserta TAB 3-6 orang dengan kriteria: 1. Tidak dalam kondisi bedrest total 2. Dalam fase penyembuhan 3. Terpasangatau tidak terpasang infus 4. Bersedia mengikuti permainan atau terapi



B. Waktu dan tempat pelaksanaan 1. Tempat



: Ruang Anggrek



2. Hari/ Tanggal



: Rabu, 19 Desember 2018



3. Waktu



: 08.30-09.30 WIB



C. Setting tempat Tempat disetting berbentuk setengah lingkaran, dimana anak-anak didampingi oleh orang tuanya dan ruangan harus nyaman dan tenang. Skema tempat Keterangan : : Fasilitator : Observer : Leader dan co-leader : Peserta TAB : Orang tua peserta TAB



D. Jenis Aktivitas Menghias topi dengan menggunakan peralatan sederhana.



28



E. Metode Metode yang digunakan antara lain: 1. Demonstrasi: memperagakan langkah-langkah menghias topi 2. Peserta memperhatikan langkah-langkah menghias topi



F. Alat dan Bahan 1. Topi Kupluk 2. Lem tembak 3. Kain flannel



G. Langkah-Langkah Pembuatan 1. Gambar pola yang diinginkan di kain flannel 2. Gunting pola yang sudah dibentuk 3. Tempelkan lem tembak pada kain flannel 4. Tempelkan kain flannel yang sudah dipotong sesuai bentuk yang ditentukan pada topi kupluk



H. Uraian Kerja Struktur organisasi 1. Leader



: Nisa Siti Yuniati



2. Co. Leader



: Siti Haerani



3. Observer



: Egha Farida



4. Fasilitator



: Farah Yumna & Vivi Dwi Afriliani



5. Dokumentasi



: Resah Larasvia



Uraian tugas 1. Leader a.



Membuka proses kegiatan



b.



Menjelaskan tujuan bermain



c.



Memperkenalkan anggota kelompok



29



d.



Menjelaskan



kontrak



program



acara



selama



permainan



berlangsung. 2. Co. Leader Mengarahkan peserta selama kegiatan berlangsung. 3. Observer a.



Mencatat dan mengamati respon peserta TAB secara verbal dan non verbal.



b.



Mencatat seluruh proses yang dikaji dan semua perubahan perilaku.



c.



Mencatat dan mengamati peserta aktif dari program bermain.



d.



Mencatatdanmengamatisegalaaktifitas peserta TAB.



4. Fasilitator a.



Menyediakan fasilitas selama kegiatan berlangsung.



b.



Memotivasi peserta yang tidak aktif selama Terapi Bermain Anak berlangsung



c.



Membantu leader memfasilitasi peserta untuk berperan aktif dalam kegiatan



d.



Menyeleksi atau memilih pasien yang dapat mengikuti Terapi Bermain Anak.



30



H. Proses Pelaksanaan No Waktu



Fase



Peran



Tugas



1



Pembukaan



Leader



1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri dan anggota kelompok lain.



5 menit



2. Memperkenalkan diri dan tim 3. Menjelaskan tujuan dan materi yang akan diberikan 2



30 menit



Kegiatan



Leader



inti



1. Peserta TAB diatur dalam bentuk setengah lingkaran. 2. Leader menjelaskan langkah-langkah dalam menghias topi sebagai berikut :



Fasilitator



a. Gambar pola sesuai nama anak di kain flannel b. Gunting pola yang sudah dibentuk c. Tempelkan lem tembak pada kain flannel d. Tempelkan kain flannel yang sudah dipotong sesuai bentuk yang ditentukan pada topi 3. Leader memberikan reinforcment positif bila anak-anak mampu membuat hasil karya yang bagus dalam waktu yang singkat dan kreatif.



3



10 menit



Penutup



Leader



1.



Menanyakan perasaan peserta TAB setelah menghias topi.



Co Leader



2.



Meminta anak untuk mengingat kembali alat yang dibutuhkan dalam menghias topi



3.



Meminta anak untuk mengingat kembali langkah apa saja dalam menghias topi.



Fasilitator



Membagikan souvenir atau hadiah kepada seluruh peserta TAB



31



I. Antisipasi Masalah 1. Penanganan Anak-anak yang tidak aktif selama Terapi Bermain : a.



Memanggil nama anak.



b.



Memberi kesempatan kepada anak untuk memberikan respon positifnya.



2. Anak yang meninggalkan acara kegiatan Terapi Bermain : a.



Memanggil nama anak.



b.



Menanyakan alasan meninggalkan kegiatan.



c.



Memberikan penjelasan tujuan kegiatan dan anjurkan anak balik keruangan setelah acara berakhir.



3. Bila Anak di luar kelompok ingin ikut kegiatan : a.



Berikan penjelasan bahwa kegiatan ini dilakukan untuk anak-anak yang mengikuti Terapi Aktivitas Bermain yang di rawat di Ruang Anggrek, Katakan pada Anak bahwa kegiatan lain yang mungkin dapat diikuti oleh anak tersebut.



b.



Jika Anak memaksa, beri kesempatan untuk masuk dengan tidak memberi peran pada kegiatan tersebut.



J. Rencana Evaluasi 1. Evaluasi Input a. Tim berjumlah 6 orang yang terdiri dari 1 orang leader, 1 orang co leader, 2 orang fasilitator dan 1 orang observer, 1 orang dokumentasi. b. Lingkungan tenang dan tepat waktu. c. Peralatan: daftar nama peserta, topi, lem, flanel. 2. Evaluasi Proses a. Minimal 75% peserta dapat mengikuti dari awal sampai berakhirnya kegiatan. b. Minimal 75% peserta aktif mengikuti kegiatan. c. Maksimal 25% peserta yang keluar dari kegiatan. 3. Evaluasi Output a. Peserta dapat mengikuti kegiatan dengan kooperatif b. Pelaksanaan kegiatan tepat waktu 4. Evaluasi dan Dokumentasi Hal-hal yang perlu dievaluasi adalah sebagai berikut: a. Kemampuan mengikuti dan memahami alur cerita yang disampaikan b. Tingkah laku selama mengikuti jalannya cerita



32



c. Kooperatif d. Kemampuan menyatakan pendapat sendiri atau bertanggung jawab terhadap pendapatnya sendiri e. Orientasi, tempat, waktu, situasi, orang lain f. Kemampuan menerima instruksi dan mengingatnya.



33



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN



A. Persiapan Terapi aktivitas bermain dilakukan di ruang Anggrek dengan tim berjumlah 6 orang yang terdiri dari 1 orang leader, 1 orang co-leader, 2orang fasilitator, 1 dokumentasi dan 1 orang observer. Peralatan yang digunakan yaitu : a.



Daftar nama peserta Ruang yang dipakai untuk TAB membuat persiapan peralatan dan dekorasi selesai Pukul 09.25 WIB.



b.



Bahan untuk menghias topi yaitu : kupluk / topi, kain flannel, dan lem tembak.



B. Proses Pada tanggal 19 Desember 2018 Pukul 09.30 WIB fasilitator mengiringi dan menjemput peserta dari ruangan ke ruang TAB. Peserta yang mengikuti Terapi Aktivitas Bermain menghias topi sebanyak 8 orang, yaitu : a. An. R b. An. L c. An. A d. An. A e. An. K f. An. W g. An. M h. An. I



Hal ini melebihi sasaran peserta TAB yaitu anak-anak usia 3-6 tahun dengan jumlah peserta TAB 3-6 orang dengan kriteria tidak dalam kondisi bedrest total, dalam fase penyembuhan, terpasang / tidak terpasang infus,



34



dan bersedia mengikuti permainan / terapi. Peserta yang berjumlah 8 dapat mengikuti dari awal sampai berakhirnya kegiatan.



C. Hasil Observasi Observer Acara dimulai pukul 09.30 WIB 1. Leader : a. Leader sudah mengucapkan salam, memperkenalkan diri dan anggota kelompoknya dan leader sudah menjelaskan peran masing-masing anggota kelompok. b. Leader menjelaskan tujuan anturan bermain kepada orang tua pasien. 2. Co leader : Co leader memperkenalkan alat dan bahan yang digunakan dalam menghias topi. Co-leader menunjukan topi, kain flannel, dan lem tembak, kemudian Co-leader mendemonstrasikan langkah-langkah seperti menempelkan lem pada kain flannel, kemudian kain flannel yang sudah dipotong sesuai bentuk yang ditempelkan pada topi sesuai contoh yang diberikan. 3. Observer : a. Jumlah peserta TAB sebanyak 8 pasien dengan rata-rata usia 3,55 tahun b. Respon pasien secara verbal dan non verbal : Peserta mengikuti jalannya kegiatan sampai selesai, pada saat di jemput anak-anak dan orang tua pasien sangat antusias untuk mengikuti TAB menghias topi, saat TAB berlangsung ada beberapa pasien yang sangat gembira tetapi masih malu-malu. Setelah acara selesai anak-anak tampak sangat terhibur dan senang. 4. Fasilitator : Fasilitator sudah memberikan motivasi kepada anak-anak untuk memperhatikan cara menghias topi dan membantu anak-anak pada



35



saat menempelkan kain flannel yang sudah berbentuk huruf atau gambar pada topi. 5. Acara selesai pukul 10.00 WIB



D. Kekurangan dalam Terapi Aktivitas Bermain Menghias Topi Pada saat berlangsungnya acara masih ada yang kurang yaitu assesoris untuk di temple pada topi sehingga harus membuat pola dan menggunting nya kembali, dan hanya menggunakan satu lem tembak sehingga harus menunggu untuk menggunakan nya.



36



LAMPIRAN



37



BAB V PENUTUP



A. Kesimpulan Terapi aktivitas bermain “menghias topi” dengan sarana dan prasarana yang telah disiapkan Mahasiswa serta didukung pihak Rumah Sakit khususnya di Ruang Anggrek RSAB Harapan Kita merupakan kegiatan yang bermanfaat untuk



perkembangan



kognitif



pada



anak,



dengan



bermain



anak-



anakdapatbelajar serta meningkatkan kemampuan otakmereka. Kelompok kami membuat kriteria responden dalam permainan ini ialah anak-anak yang dirawat di ruang Anggrek dengan usia 3-6 tahun dengan jumlah 5-6 anak beserta orangtua mereka dengan tidak dalam kondisi bedrest total, dalam fase penyembuhan, terpasang/ tidak terpasang infus, bersedia mengikuti kegiatan dalam permainan. Kegiatan permainan ini dikhususkan untuk membantu mengembangkan kemampuan motorik kasar dan halus, meningkatkan kreativitas, perkembangan sosial pada anak-anak usia prasekolah.



B. Saran a. Orang tua Orangtua dapat membantu anak dalam memilih permainan yang kreatif dan edukatif serta sesuai tahap tumbuh kembang anak. Diharapkan dengan permainan yang kreatif dan edukatif dapat membantu mengembangkan kemampuan kognitif serta imajinasi pada anak. b. Rumah Sakit Diharapkan sarana dan prasarana bermain di ruang rawat anak dapat ditingkatkan untuk mengalihkan dan mengurangi rasa sakit dan kecemasan selama hospitalisasi. c. Mahasiswa Diharapkan mahasiswa dapat membantu dan berinovasi agar tetap berlanjutnya terapi bermain pada anak di Rumah Sakit khususnya di ruang rawat anak.



38



DAFTAR PUSTAKA Adriana, D. 2011. Tumbuh Kembang dan Terapi Bermain pada anak. Jakarta: Salemba Medika. Bachir. 2013. Mendongeng. Depok: Metro Media. Diana, M. 2010. Psikologi Bermain Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana. Dieni. 2012. Panduan Bercerita. Jogja: Perss. Erlita. 2013. Pengaruh Permainan pada Perkembangan Anak. Terdapat pada : http://info.balitacerdas.com . Diakses pada tanggal 17 September 2018. Hurlock, E B. 2011. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga. Mark. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC. Moeslichatoen. 2013. Bercerita, Dongeng dengan Alat Peraga. Yogyakarta: MedPress. Soetjiningsih. 2014. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran :EGC. Soetjiningsih. 2010. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC. Wong, L.D., Eaton, H.M., Wilson, D., Winkelstein, L.M., dan Schwart, P., 2009.Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC. Wong. 2010. Pedoman Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.