Prosedur Surat Wasiat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TATA CARA PERMOHONAN SURAT KETERANGAN WASIAT Pengertian: Surat Wasiat adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali lagi. Dasar Hukum : Staatblad 1920 Nomor 305 tentang Ordonansi Daftar Wasiat.



Persyaratan: a.



Akte kematian (c.q. foto copy yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang) yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil setempat (Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 1983 jis. Staatblad 1849 Nomor 25, Staatblad 1917 Nomor 130, Staatblad 1920 Nomor 751, Staatblad 1933 Nomor 75) atau sertifikat kematian (c.q. foto copy yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang) dari Instansi yang berwenang setempat, apabila almarhum/almarhumah meninggal dunia di luar negeri ;



b.



Surat Bukti Perubahan Nama (c.q. foto copy yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang) berupa salah satu dokumen sebagai berikut :



 Penetapan Pengadilan Negeri yang berwenang setempat tentang Perubahan Nama Kecil (Pasal 93 Burgerlijken Stand voor de chinezen, Staatblad 1917 Nomor 130 jo. Staatblad 1919 Nomor 81).  Keputusan Menteri Hukum Republik Indonesia tentang izin Perubahan Nama (Undang-undang No. 4 Tahun 1961, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2154). 



Surat Pernyataan Ganti Nama yang disahkan dan dikeluarkan oleh Bupati/Walikota setempat (Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127/U/KEP./12/1966 jo. Keputusan Presiden Nomor 123 Tahun 1968).



c.



Dokumen pendukung lainnya (foto copy yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang) yaitu akte kelahiran, akte perkawinan, Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia.



d.



Bukti pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (apabila pembayaran langsung ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia) atau dari Bank setempat (apabila dikirimkan melalui Bank setempat kepada Rekening Menteri Hukum c.q. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum No. 0011779481 di Bank BNI 1946 Jakarta Cabang BNI Tebet).



Prosedur: a.



Surat permohonan diajukan oleh pemohon atau kuasa pemohon yang ditujukan kepada Direktur Perdata c.q. Kepala Sub Direktorat Harta Peninggalan Direktorat Perdata Jalan H.R. Rasuna Said Kav. 6-7 Kuningan Jakarta Selatan.



b. Permohonan dapat diajukan langsung ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia atau dikirim melalui pos. c.



Permohonan yang diajukan langsung secara perorangan (bukan oleh Notaris/Instansi Pemerintah/Swasta) harus melampirkan Kartu Identitas pemohon berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP).



d.



Berkas permohonan yang sudah lengkap akan diproses dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja, sedangkan yang belum lengkap, diberitahukan dengan surat yang dikirim ke alamat pemohon atau diberitahukan langsung kepada kuasa pemohon. Diposkan oleh Tejabuwana di 8:16:00 PM



MACAM-MACAM BENTUK WASIAT



Ada 4 (empat) bentuk wasiat, yaitu : I. Wasiat Umum (Ps. 938 BW) dibuat dihadapan notaris dan 2 orang saksi ; II. Wasiat Olographis (Ps. 931 BW) wasiat yang seluruhnya ditulis oleh (calon) pewaris sendiri dan ditandatangani olehnya (Ps. 932 ayat 1 BW). Notaris membuat akta penyimpanan / Acta van Depot (Ps. 932 ayat 3 BW) ; III. Wasiat Rahasia (Ps. 940 BW) ; • Dihadiri 4 orang saksi ; • Tidak harus ditulis tangan (calon) pewaris sendiri ; • Harus ditandatangani (calon) pewaris sendiri ; • Membuat pernyataan bahwa kertas/sampul itu berisi wasiatnya ; Notaris membuat akta penjelasan / Acta van Superscriptie (Ps. 940 ayat 2 BW) ; IV. Wasiat Darurat (Ps. 946, 947, 948 BW) Ini adalah wasiat yang dibuat oleh tentara (dalam keadaan perang), orang yang dalam pelayaran, orang yang dalam karantina karena penyakit menular, dst. Wasiat ini dibuat dihadapan atasannya, karena si-calon pewaris dalam keadaan sakratul maut atau akan meninggal dunia. Namun wasiat ini sekarang sudah tidak pernah dipakai lagi.



Adapun perbedaan antara Wasiat Olographis dan Wasiat Rahasia adalah : Pada WASIAT OLOGRAPHIS : - Ditulis tangan dan ditandatangani oleh (calon) pewaris sendiri ; - Dihadapan 2 orang saksi ; - Notaris membuat Acta van Depot dibagian bawah wasiat atau pada kertas lain ;



- Bisa ditarik kembali oleh (calon) pewaris ; Pada WASIAT RAHASIA : - Bisa ditulis tangan oleh orang lain, tapi harus ditandatangani sendiri ; - Dihadapan 4 orang saksi ; - Notaris membuat Acta Superscriptie pada bagian luar dari wasiat atau sampul wasiat, yang tersegel ; - Tidak bisa ditarik kembali. Artinya apabila suatu ketika wasiat rahasia akan dibatalkan, maka harus dibuat wasiat umum ;



Jadi pada contoh yang saya ceritakan di atas, Notaris boleh-boleh saja membantu mengketikkan, tetapi surat wasiat itu disamping harus ditandatangani oleh si-calon pewaris harus pula ditandatangani 4 (empat) orang saksi sebagaimana dipersyaratkan oleh Pasal 940 BW. Hal ini agar tidak dibatalkan oleh Pengadilan akibat cacat hukum. Kasihan si-pembuat wasiat, karena amanatnya tidak kesampaian. Biasanya 4 (empat) orang saksi tersebut terdiri dari 2 (dua) orang saksi dari pihak keluarga si-pembuat wasiat dan 2 (dua) orang saksi dari kantor notaris.



TATACARA MENOLAK WARISAN Menguruskan penolakan warisan di Pengadilan Negeri ternyata tidaklah semudah apa yang dibayangka, karena bisa saja Pengadilan Negeri menolak membuatkan Penetapannya. Alasan penolakannya, karena dari 2 (dua) orang bersaudara ahli waris ini, salah satunya berwarga negara asing. Jadi singkatnya, daripada harta tak bergerak milik kedua orangtuanya jatuh kepada negara. Seperti diketahui, orang asing tidak dapat memiliki properti di Indonesia. Skenarionya, Saudaranya yang warga negara Jerman menolak warisan. Persyaratan yang harus dipenuhi adalah : 1. 2. 3. 4. 5.



Surat kematian kedua orangtuanya ; Surat kawin orangtuanya ; KTP dan Kartu Keluarga ahli waris yang di Indonesia ; Akta Kelahiran ahli waris ; Akta penolakan warisan dari Notaris di Jerman ;



(Akta penolakan warisan ini berbahasa Jerman, diketahui Kedutaan Besar RI di Jerman dan Kedutaan Rep. Jerman di Jakarta. Akta itu kemudian harus diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan penterjemah resmi/tersumpah.) 6. Surat Permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri Setempat ;



Surat-surat tersebut di atas kemudian saya ajukan ke Pengadilan Negeri Setempat. Namun ternyata ditolak oleh PN Setempat, karena masih ada kekurangan yaitu : Surat Keterangan Hak Mewaris dari Notaris. Tentu saja karena kedua orangtuanya sudah meninggal, maka Surat Keterangan Hak Mewaris harus dibuat 2 (dua), yaitu atas nama almarhum papa dan almarhumah mamanya. Permasalahan disini adalah : Surat Keterangan Hak Mewaris harus dibuat SEBELUM atau SESUDAH adanya penolakan warisan ?? Pasal 1057 KUHPerdata disebutkan : “Menolak suatu warisan harus terjadi dengan tegas, dan harus dilakukan dengan suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang dalam daerah hukumnya telah terbuka warisan itu”. Itu artinya, dalam kasus di atas, Saudaranya yang ada di Indonesia akan datang dan mengangkat/di sumpah di kepaniteraan PN Setempat, tetapi bertindak untuk dan atas nama Saudaranya yang warga negara Jerman tersebut. Nantinya sesudahnya akan memperoleh Surat Keterangan dari PN Setempat. Kembali kepada permasalahan tersebut di atas. Notaris menolak untuk menerbitkan Surat Keterangan Hak Mewaris terlebih dahulu.



Alasan Notaris : kalau Surat Keterangan Hak Mewaris dibuat terlebih dahulu, baru kemudian ada penolakan warisan, maka tidak dapat dibuat lagi Surat Keterangan Hak Mewaris tentang adanya penolakan warisan (SKHM hanya bisa terbit sekali). Resikonya : ahli waris yang telah menolak warisan dapat berbuat curang, yaitu dapat mempergunakan Surat Keterangan Hak Mewaris tanpa menunjukkan adanya Surat Keterangan penolakan warisan !!! (karena 2 macam surat itu terpisah, produk Notaris dan produk Pengadilan Negeri). Namun apabila Surat Keterangan penolakan warisan sudah ada lebih dahulu, baru berdasar Surat Keterangan dari Pengadilan Negeri tersebut dibuatlah Surat Keterangan Hak Mewaris, resiko curang tidak ada. Artinya keinginannya berjalan semestinya. Pengadilan Negeri Setempat pernah melakukan cara No. 2 tersebut di atas, tetapi sekarang kembali ke cara pertama. Alasan Pengadilan Negeri : (memakai cara No. 2) Pengadilan Negeri harus tahu, apakah yang menolak warisan itu benar ahli waris atau tidak. Cara mengetahuinya yaitu dari adanya Surat Keterangan Hak Mewaris. Saya mendalilkan : - bahwa untuk mengetahui apakah yang bersangkutan ahli waris atau tidak khan bisa dilihat dari Akta Kelahiran (tertulis nama ayah dan ibu) ; - bahwa penolakan warisan merupakan “azas declaratoir”, artinya pernyataan sepihak dari yang berkepentingan. Apabila keterangan itu bohong misalnya, toh tidak ada masyarakat yang dirugikan. Namun rupanya Pengadilan Negeri setempat tetap berpegang teguh pada kriterianya sendiri. Padahal dalam Pasal 1058 KUHPerdata dikatakan : “Si ahli waris yang menolak warisannya, dianggap tidak pernah telah menjadi ahli waris”. Lantas, kalau dipersyaratkan harus ada Surat Keterangan Hak Mewaris lebih dahulu apakah tidak bertentangan dengan Pasal 1058 KUHPerdata tersebut ??????? Solusinya PERLU ADANYA FATWA DARI MAHKAMAH AGUNG agar hukum tidak bias.



WASIAT YANG DIBUAT OLEH SUAMI – ISTRI DAN WASIAT YANG DIBUAT ISTERI TANPA PERSETJUAN/PENGETAHUAN SUAMINYA WASIAT YANG DIBUAT OLEH SUAMI – ISTRI DAN WASIAT YANG DIBUAT ISTERI TANPA PERSETUJUAN/PENGETAHUAN SUAMINYA



Pernah terjadi ketika Seorang Notaris membuat : -Surat Wasiat yang dibuat oleh suami-istri, dan -Surat Wasiat istrinya tanpa seijin/sepengetahuan yang bersangkutan sebagai suaminya. Menurut Pasal 875 KUHPerdata/BW “Surat Wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.” Jadi wasiat adalah kehendak terakhir dari seseorang. Logika mudahnya adalah bagaimana pelaksanaannya jika wasiat dibuat oleh suami-istri, tetapi kemudian yang meninggal dunia lebih dahulu sang suami misalnya, apakah surat wasiat itu boleh dibuka ataukah harus menunggu sang istri juga meninggal dunia. Apabila menunggu sang istri meninggal dunia, padahal dengan meninggalnya sang suami seharusnya telah terjadi waris-mewaris (suami meninggalkan warisan yang menjadi bagiannya kepada istri dan anak-anaknya). Namun apabila dengan meninggalnya sang suami kemudian surat wasiat dibuka, maka berarti telah terjadi pelanggaran privasi seseorang yaitu sang istri yang masih hidup yang juga ikut bersama-sama membuat surat wasiat (wasiat yang diperbuat sang istri belum berlaku). Memang alasan suami-istri dalam membuat wasiat bersama, karena menyangkut pesan pembagian harta bersama/harta gono-gini mereka. Namun bukankah apabila salah seorang diantaranya meninggal dunia lebih dahulu akan mewariskan separoh dari harta bersamanya kepada kawan kawinnya dan anak-anak kandung mereka. Artinya hak/harta kawan kawinnya yang masih hidup tidak akan dibagi waris. Jadi apabila suami-istri akan membuat Surat Wasiat menyangkut harta bersama mereka, maka berarti harus dibuat 2 (dua) surat wasiat, yaitu wasiat atas nama suami dan wasiat atas nama istri, walau isinya sama. Begitu pun apabila misalnya sang istri diam-diam membuat wasiat di hadapan Notaris tanpa seijin/sepengetahuan suaminya, itu sah-sah saja karena yang diwasiatkan toh hanya hak bagiannya dalam harta bersama tersebut. Dengan kata lain, walau dalam wasiat menyangkut harta bersama (misalnya rumah), maka pelaksanaannya harus diparoh/dibagi dua dulu, barulah dibagi menurut wasiatnya. Jadi yang dimaksud disini adalah nilainya, bukan wujud barang. Menurut Pasal 903 KUHPerdata/BW : “Suami dan isteri hanya diperbolehkan menghibahwasiatkan barang-barang dari harta kekayaan persatuan mereka, sekadar barangbarang itu menjadi bagian mereka masing-masing dalam persatuan itu. Jika sementara itu suatu barang tertentu oleh salah seorang mereka dihibah-wasiatkannya, maka si yang berhak menerimanya, tak dapat menuntut barang itu dalam ujudnya, jika, setelah si yang



menghibah-wasiatkan meninggal, barang itu tidak menjadi bagian para ahli warisnya. Dalam hal yang demikian si yang berhak menerima hibah harus mendapat ganti rugi dari barangbarang yang nyata dibagikannya kepada ahli waris tersebut, dan jika ini tak mencukupi, dari barang-barang mereka pribadi.” Jadi ini artinya penerima hibah wasiat tetap dapat barang pengganti atau senilai barang yang diwasiatkan. Pasal ini pula yang oleh sebagian Notaris berpendapat bahwa suami-istri secara bersama-sama boleh membuat hibah wasiat terhadap harta persatuan mereka. Namun pasal itu seharusnya tidak dapat diartikan secara sepenggal-sepenggal. Sebab didalamnya juga tersurat : “……………….jika, setelah si yang menghibah-wasiatkan meninggal……….”. Jadi ada syarat “meninggal dunia” khan ?. Prinsip yang harus dipegang adalah wasiat hanya berlaku jika yang berwasiat telah meninggal dunia. Sebagaimana diketahui Wasiat dibagi 2 (dua) yaitu : (1) wasiat itu sendiri dan (2) hibah wasiat. Disebut wasiat, jika berisi prosentase atau angka pembagian. Disebut hibah wasiat, jika menyebut secara spesifik terhadap barang yang akan diberikannya. Ingat, hibah adalah peralihan seketika khan ?. Kalau wasiat (dalam kaitan dengan hibah wasiat), maka peralihan hanya berlaku setelah yang membuat wasiat meninggal dunia. Definisi Hibah Wasiat yaitu suatu penetapan wasiat khusus berupa pemberian beberapa benda dari suatu jenis tertentu kepada seseorang atau lebih (Ps. 957 BW) ;