Prosedur TP [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROSEDUR TINDAKAN KEPOLISIAN TERHADAP PEJABAT NEGARA
 Oleh INDARTO BARESKRIM



DASAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.



Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 2014 tentang ASN. Undang-Undang Nomor: 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Undang-Undang Nomor: 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 76/PUU-XII/2014, tanggal 20 November 2014. Perkap Nomor: 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Perkabareskrim Nomor: 4 Tahun 2014 tentang Pengawasan Penyidikan. Surat Kapolri Nomor: B/566/I/2017/Bareskrim tanggal 31 Januari 2017 tentang Arahan Binfung dalam melakukan tindakan kepolisian terhadap pejabat negara.



2



Pengertian " Tindakan Kepolisian adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain



yang bertanggung jawab menurut hukum yang berlaku untuk mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang mengancam harta benda atau kehormatan kesusilaan, guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat (Perkap No. 1 Tahun 2009 ttg gun kuat dlm tindakan kepolisian).



" Upaya Paksa, secara etimologi upaya paksa adalah adalah upaya



yang dilakukan oleh aparat penegak hukum berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan dalam rangka melaksanakan proses peradilan.



3



Upaya Paksa pasal (KUHAP) 1. Penangkapan; 2. Penahanan; 3. Penggeledahan; 4. Penyitaan; 5. Pemeriksaan; 6. Wajib lapor; Upaya paksa (Perkabareskrim no. 3 tahun 2014) 1. Pemanggilan; 2. Penangkapan; 3. Penahanan; 4. Penggeledahan; 5. Penyitaan dan pemeriksaan surat.



4



Kewenangan Polri




(dalam proses pidana, Pasal 16 UU No.2/2002 tentang Kepolisian Negara 
 Republik Indonesia)



Dalam rangka menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan; i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab yang memenuhi syarat diantaranya tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan menghormati hak asasi manusia (HAM).



5



Pejabat Negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga negara yang merupakan alat kelengkapan negara beserta derivatifnya berupa lembaga negara pendukung. Pejabat negara menjalankan fungsinya untuk dan atas nama negara. Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 UU Nomor 5 tentang Aparatur Sipil Negara yaitu: a. Presiden dan Wakil Presiden; b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; d. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc; f. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; g. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; h. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; i. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; j. Menteri dan jabatan setingkat menteri; k. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; l. Gubernur dan wakil gubernur; m. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; n. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.



6



Pemberian ijin kepada proses hukum terhadap pejabat negara NO. PEJABAT UNDANG-UNDANG KETERANGAN telah diatur dalam beberapa Undang-Undang.
 1.



Kepala Daerah



UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah



Izin presiden untuk tahap penyelidikan dan penyidikan tidak dibutuhkan kecuali untuk tindakan penahanan



2.



Hakim Mahkamah Kontitusi



UU Nomor Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU Hakim Konstitusi hanya dapat dikenai tindakan Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi kepolisian atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari Presiden



3.



Hakim Mahkamah Agung



UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juncto UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung



Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden



4.



Hakim Pengadilan



UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum juncto UU Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 1984 tentang Peradilan Umum; UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juncto UU Nomor 9 Tahun Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; dan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama



Penangkapan dan penahanan terhadap hakim dilakukan atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan dari Ketua Mahkamah Agung



7



Lanjutan NO. PEJABAT



UNDANG-UNDANG



KETERANGAN



5.



Pimpinan dan UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Anggota Badan Badan Pemeriksa Keuangan Pemeriksa Keuangan



Tindakan Kepolisian terhadap anggota BPK guna pemeriksaan suatu perkara dilakukan atas perintah Jaksa Agung setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari presiden



6.



Pimpinan dan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia



UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia juncto UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia



Pemanggilan, permintaan keterangan dan penyidikan terhadap anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden



7.



Jaksa



UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia



Apabila melaksanakan tugas jaksa diduga melakukan tindak pidana, maka pemanggilan pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap Jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung



8



Ketentuan Asal Pasal 245 UU MD3 (1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. (2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus. Tindak pidana khusus adalah suatu tindak pidana yang diatur dalam ketentuan khusus diluar KUHP , yang memiliki kriteria sebagai tindak pidana khusus, mempunyai Undang-Undang tersendiri yang mengenyampingkan ketentuan-ketentuan dalam KUHP sebagaimana yang terdapat dalam Buku satu dari Bab I sampai dengan Bab VIII Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.



9



Pasca Keputusan MK Nomor: 76/PUU-XII/2014 tanggal 20 November 2014



Terhadap Anggota MPR, DPR dan DPD. agar mempedomani Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 76/PUU-XII/2014 tanggal 20 November 2014 yang diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada tanggal 22 September 2015 yang menyatakan bahwa: 1)



pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap Anggota MPR, DPR dan DPD yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden;



2)



dalam hal persetujuan tertulis tidak diberikan oleh Presiden, paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan dapat dilakukan;



3)



ketentuan tidak berlaku apabila Anggota MPR, DPR dan DPD: a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c) disangka melakukan tindak pidana khusus.



10



Terhadap Anggota DPRD Provinsi dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota. agar mempedomani Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 331/9914/OTDA tanggal 14 Desember 2016, yang berisi: 1). di dalam ketentuan Pasal 409 huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa pada saat Undang Undang ini mulai berlaku maka Pasal 1 angka 4, Pasal 314 sampai dengan Pasal412, Pasal418 sampai dengan Pasal421, Pasal418 sampai dengan Pasal 421 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; 2). berkaitan dengan hal tersebut, maka pengaturan terkait penyidikan bagi Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tidak lagi dimuat pengaturannya dalam Undang-Undang tersebut, dengan demikian, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap Anggota DPRD tidak perlu lagi mendapatkan persetujuan tertulis Menteri dalam Negeri untuk Anggota DPRD Provinsi dan persetujuan tertulis Gubernur untuk Anggota DPRD Kabupaten/Kota. 3). dalam pelaksanaan penyidikan terhadap anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Kapolda/ wakapolda selaku Penyidik mengirimkan surat pemberitahuan kepada Ketua DPRD Provinsi atau Ketua DPRD Kabupaten/Kota dan Badan Kehormatan DPRD Provinsi atau Badan Kehormatan DPRD Kabupaten/Kota; 4). Penyidik mengirimkan laporan proses penyidikan perkara yang melibatkan Anggota DPRD Provinsi atau Anggota DPRD Kabupaten/Kota kepada Kabareskrim Polri tembusan Karowassidik Bareskrim Polri.



11



Terhadap Kepala Daerah/Wakil Kepala Dae ah (Gubernur/Wakil Gubernur, Walikota/Wakil Walikota dan Bupati/Wakil Bupati): agar mempedomani Pasal 90 ayat (1) s.d. (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah: 1)



tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan terhadap Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/ atau Wakil Walikota memerlukan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri;



2) dalam hal persetujuan tertulis tidak diberikan, dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, dapat dilakukan proses penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan; 3) hal-hal yang dikecualikan adalah: a)



tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau



b)



disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.



4) tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan sebagaimana hal-hal yang dikecualikan setelah dilakukan wajib dilaporkan kepada Presiden untuk Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dan kepada Menteri Dalam Negeri untuk Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota paling lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan.



12



Pasal 1 angka 19 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi : “Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu”.



13



Persyaratan pengajuan surat permohonan persetujuan tertulis kepada Presiden dan Menteri Dalam Negeri adalah sebagai berikut: a.



syarat administrasi: Direktur pada jajaran Bareskrim Polri atau Kapolda mengajukan surat permohonan persetujuan tertulis Presiden atau Menteri Dalam Negeri yang ditujukan kepada Kapolri u.p. Kabareskrim Polri dilengkapi dengan: 1) Laporan Polisi; 2) Surat Perintah Tugas; 3) Laporan Hasil Penyelidikan; 4) Surat Perintah Penyidikan; 5) Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP); 6) laporan kemajuan penyidikan (Lapju/resume); 7) hasil audit BPK atau BPKP tentang kerugian Negara (khusus perkara tipidkor. 8) notulasi gelar perkara di tingkat Direktorat Bareskrim Polri; 9) notulasi gelar perkara khusus di tingkat Polda yang dihadiri unsurunsur pengawasan internal Polda.



14



b.



syarat material: perkara yang diajukan Penyidik dalam rangka permohonan "persetujuan tertulis Presiden/Menteri Dalam Negeri" untuk melakukan tindakan kepolisian terhadap anggota MPR, DPR, DPD dan Kepala Daerah adalah: 1) anggota MPR, DPR dan DPD sebagai saksi dalam perkara pidana dengan bukti permulaan yang cukup; 2) anggota MPR, DPR dan DPD sebagai tersangka utama atau tersangka penyertaan/membantu sebagaimana dimaksud Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP; 3) Kepala Daerah sebagai tersangka yang akan dilakukan tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan berdasarkan bukti yang cukup (2 alat bukti yang sah).



15



Mekanisme permohonan persetujuan tertulis Presiden atau Menteri Dalam Negeri di Bareskrim Polri sebagai berikut: a. menerima surat dan berkas syarat mindik permohonan persetujuan tertulis Presiden/Menteri Dalam Negeri dari Penyidik; b. Birowassidik Bareskrim Polri melakukan penelitian administrasi penyidikan dan substansi perkaranya; c. melaksanakan gelar perkara khusus; d. mengajukan permohonan persetujuan tertulis: 1) untuk melakukan tindakan kepolisian terhadap anggota MPR, DPR, DPD dan Kepala Daerah Gubernur/Wakil Gubernur yang ditandatangani oleh Kapolri ditujukan kepada Presiden dan ditembuskan kepada Seskab Rl; 2) untuk melakukan tindakan kepolisian terhadap Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota yang ditandatangani oleh Kapolri ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri. e. mengirimkan asli tanda terima pengiriman surat permohonan persetujuan tertulis dari Presiden/Menteri Dalam Negeri pada Penyidik, dimana tanggal penerimaan surat permohonan tersebut menjadi start perhitungan waktu 30 (tiga puluh) hari permohonan sehingga pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan dapat dilakukan apabila surat permohonan tersebut belum/tidak dijawab; f. mengirimkan surat jawaban Presiden/Menteri Dalam Negeri atas permohonan persetujuan tertulis kepada penyidik yang menangani perkaranya.



16



MEKANISME PENANGANAN TIPIDKOR DI DIT TIPIDKOR BARESKRIM



PERAN DIREKTORAT TIPIDKOR BARESKRIM POLRI DALAM PEMBERANTASAN TIPIKOR ❖



PENEGAKAN HUKUM : ❑ ❑ ❑



PENGELOLAAN INFORMASI DAN DUMAS LIDIK TPK SIDIK TPK



❖ ASSET TRACING & ASSET RECOVERY ❖ PENCEGAHAN TIPIKOR ❖ SINERGITAS & KERJASAMA PEMBERANTASAN TIPIKOR 18



PROSES PENYIDIKAN 1. 2. 1. 2. 3. 4.



DUMAS HASIL AUDIT PELIMPAHA N TEMUAN



DUGAAN TPK KETERSEDIAA N DOKUMEN



LAP INFO



TELAAH



1. 2.



1. 2.



JPU



3. 4. 5. 6.



1. 2. 3.



UJI HASIL TELAAH CASE BUILDING DUGAAN TPK RIKSA SAKSI LANJUTAN RIKSA AHLI LANJUTAN SITA BB TINDAKAN SIDIK LAINNYA RIKSA TSK PEMBERKASAN



SPRIN LIDIK SPRIN GAS REN LIDIK



PENYELIDIKA N



GELAR



1. 2. 3.



1. 2.



1. 2. 3.



3. 4. LHP GELAR NOTULEN GELAR



PENYIDIKAN



GALI FAKTA PERKUAT DUGAAN PERISTIWA TPK PEROLEH SEKURANG2NYA BUKTI PERMULAAN YG CUKUP



PENETAPAN TERSANGKA 1. 2. 3.



LP SPRINDIK (BLM NAMA TSK) SPRIN GAS REN SIDIK



1. 2. 3. 4.



1. 2. 3.



RIKSA SAKSI RIKSA AHLI SITA BB RIKSA CALON TSK



LAPJU HSL SIDIK GELAR PENETAPAN TSK NOTULEN GELAR



SRT PENETAPAN TSK DPRINDIK (AN. TSK) SPDP



19



DRAFT MOU KEMENDAGRI-POLRI-KEJAGUNG 2017 TENTANG KOORDINASI APIP DAN APH TERKAIT PENANGANAN LAPORAN ATAU PENGADUAN MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH



• • • • •



PEMBERIAN INFORMASI VERIFIKASI PUL DATA DAN KET PEMAPARAN HASIL PENEGAKAN HUKUM



20



SEKIAN DAN TERIMA KASIH



21