Punca Kemunculan Golongan Pengemis Semakin Banyak Dan Kesan Daripadanya [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1. Punca kemunculan golongan pengemis semakin banyak dan kesan daripadanya MENGAPA MENJADI PENGEMIS Posted by sjafri mangkuprawira under Kebijakan pemerintah, mental, Mutu [24] Comments Baru tiga minggu ini kita meninggalkan bulan ramadhan dan hari Idul Fitri 1429 H. Biasanya kita meninggalkan kesan yang mendalam tentang makna kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa. Selain itu dalam waktu-waktu seperti itu akan dijumpai pemandangan jumlah pengemis yang semakin banyak dengan segala tingkahnya. Tentu saja kalau didalami terdapat karakteristik masing-masing tipe pengemis. Lho kok perilaku pengemis ada tipenya? Bukankah semua pengemis sama karakteristiknya yakni mereka yang sangat tertinggal di segala sisi kehidupan? Ya benar. Namun pengemis tidak saja dikaitkan dengan aspek ekonomi semata. Selama ini pandangan sebagian masyarakat tentang pengemis tertuju pada stigma negatif yakni pengemis sama saja dengan pemalas; pengemis mengganggu ketertiban dan keamanan lingkungan; pengemis sebagai gambaran wajah rendahnya martabat suatu bangsa; Itu dilihat dari kaca mata kebutuhan material, immaterial, dan lingkungan. Tepatkah seperti itu? Padahal secara masuk akal tidak ada seorang pun mau menjadi pengemis. Hanya karena pemerintah yang salah uruslah menyebabkan sebagian masyarakat terpaksa meminta-minta dari belas kasihan orang lain yang mampu. Dan banyaknya pengemis merefleksikan tidak mampunya pemerintah memberdayakan mereka sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Faktor kemiskinan (struktural, kultural, natural, dan mental) sangat memengaruhi terjadinya perilaku seseorang yang ujungnya adalah munculnya fenomena peminta-minta atau pengemis. Semakin banyak jumlah orang miskin semakin potensial mereka menjadi pengemis. Dalam bahasa pembangunan terjadinya kebergantungan ekonomi pada orang lain yang semakin tinggi. Secara lebih rinci, dalam prakteknya ada lima jenis pengemis yang disebabkan karena keterbatasan aset dan sumber ekonomi, rendahnya mutu mental seperti rasa malu dan spirit mandiri yang kurang. Pertama, mengemis karena yang bersangkutan tidak berdaya sama sekali dalam segi materi, karena cacat fisik, tidak berpendidikan, tidak punya rumah tetap atau gelandangan, dan orang lanjut usia miskin yang sudah tidak punya saudara sama sekali. Mengemis menjadi bentuk keterpaksaan. Tak ada pilihan lain. Kedua, mengemis seperti sudah menjadi kegiatan ekonomi menggiurkan. Mulanya mengemis karena unsur kelangkaan aset ekonomi. Namun setelah beberapa tahun walau sudah memiliki aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan tanah dari hasil mengemis tetapi mereka tetap saja mengemis. Jadi alasan mengemis karena tidak memiliki aset atau ketidakberdayaan ekonomi, untuk tipe pengemis ini tidak berlaku lagi. Sang pengemis sudah merasa keenakan. Tanpa rasa malu dan tanpa beban moril di depan masyarakat. Ketiga, mengemis musiman, misalnya menjelang dan saat bulan ramadhan, hari idul fitri, dan tahun baru. Biasanya mereka kembali ke tempat asal setelah mengumpulkan uang



sejumlah tertentu. Namun tidak tertutup kemungkinan terjadinya perubahan status dari pengemis temporer menjadi pengemis permanen. Keempat, mengemis karena miskin mental. Mereka ini tidak tergolong miskin sepenuhnya. Kondisi fisik termasuk pakaiannya relatif prima. Namun ketika mengemis, posturnya berubah 180 derajat; apakah dilihat dari kondisi luka artifisial atau baju yang kumel. Maksudnya agar membangun rasa belas kasihan orang lain. Pengemis seperti ini tergolong individu yang sangat malas bekerja. Dan potensial untuk menganggap mengemis sebagai bentuk kegiatan profesinya. Kelima, mengemis yang terkoordinasi dalam suatu sindikat. Sudah semacam organisasi tanpa bentuk. Dengan dikoordinasi seseorang yang dianggap bos penolong, setiap pengemis (“anggota”) setia menyetor sebagian dari hasil mengemisnya kepada sindikat. Bisa dilakukan harian bisa bulanan. Maka mengemis dianggap sudah menjadi “profesi”. Ada semacam pewilayahan operasi dengan anggota-anggota tersendiri. Mengemis karena latar belakang faktor ketidakberdayaan aspek ekonomi, sering ditempatkan sebagai wujud pembenaran karena agama pun (islam) membolehkannya. Hal ini agaknya berkait dengan riwayat Rasulullah. Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis buta, orang Yahudi, yang sangat sering mencaci maki Rasul Muhammad, orang yang belum pernah ditemuinya. Suatu hari sampailah cerita tentang caci maki pengemis buta itu ke telinga Rasul. Esok paginya, lelaki mulia itu pergi dari rumah ke sang pengemis sambil membawa semangkuk bubur gandum. Sejak saat itu hingga sakit dan wafatnya Rasul Muhammad tiap hari selalu pergi dari rumah dengan semangkuk bubur gandum. Dengan keteladanan mulia Rasulullah itu menunjukkan Islam tidak melarang orang mengemis. Dan sekaligus yang mampu seharusnya siap menolong. Walau tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah namun fenomena mengemis adalah suatu kenyataan. Jadi sedikit pun janganlah diabaikan. Kita sepatutnya tidak menjauhi mereka. Bahkan memberi sedekah kepada pengemis merupakan suatu kebajikan. Memang , orang yg bekerja lebih baik daripada mengemis. Mengemis hanya dibolehkan jika orang tersebut sangat tidak mampu lagi untuk bekerja. Dengan demikian kalau ingin bersedekah, berikanlah kepada pengemis yg benarbenar membutuhkan. Yang jauh lebih penting sebenarnya adalah bagaimana mengurangi perilaku mengemis dengan cara memberi kail dan pengetahuannya ketimbang memberi ikannya. Setelah itu diharapkan mereka bisa menciptakan lapangan kerja buat dirinya dan kalau memungkinkan suatu ketika untuk orang lain juga. Artinya dengan cara itu lambat laun sifat kebergantungan pada orang lain dapat dikurangi. Karena itu sejauh potensi sumberdaya manusia para pengemis masih dapat dioptimumkan maka peran Bazis, lembaga-lembaga pendidikan, sosial kemasyarakatan, lembaga keuangan mikro, dan perusahaan lewat program tanggung jawab sosial korporat serta perorangan dalam membantu kaum dhuafa sangatlah diharapkan. Pendahuluan . Pengemis ialah peminta sedekah . Kehadiran pengemis di bandarbandar utama di negara ini berpunca daripada sifat pemurah masyarakat Malaysia . Nyatakan pendirian bersetuju, tidak bersetuju atau bersetuju sebahagian sahaja



Isi Bersetuju dengan pemyataan I Sifat pemurah masyarakat Malaysia 2 Sifat simpati yang tinggi dalam kalangan masyarakat Faktor lain I Sifat pemalas pengemis - tidak mahu berusaha 2 Penguatkuasaanundang-undangkurangberkesan 3 Sifat tidak bertanggungiawab keluarga terdekat Kesimpulan . Semua pihak harus berperanan untuk membantu pengemis agar dapat hidup dengan lebih bermaruah BANDAR besar seperti Kuala Lumpur, Shah Alam, Petaling Jaya termasuk Klang walaupun diiktiraf sebagai kota metropolitan yang sedang berkembang maju, namun tidak dapat melarikan diri daripada masalah pengemis, kutu rayau atau gejala lepak di kalangan anak muda. Penyakit sosial seperti ini bukan saja menyusahkan masyarakat sekitarnya dan juga pihak berkuasa yang bertanggungjawab membanteras mereka, tetapi turut memberi kesan negatif kepada imej bandar itu, negeri dan negara keseluruhannya. Di pusat bandar Klang, keadaan yang sama berlaku di mana golongan ini boleh ditemui berkeliaran terutama di kaki lima jalan, di pusat beli-belah dan kawasan menunggu bas di Stesen Bas Klang. Walaupun tempat berkenaan terang benderang dan agak bising kerana berdekatan dengan jalan raya, mereka tidak menghiraukan sebaliknya dapat melelapkan mata. Apabila kita berjalan-jalan, kita boleh lihat kutu rayau tidur seolaholah berada di alam yang indah tanpa sebarang perasaan malu kepada orang ramai yang lalu lalang. Tindakan mereka itu bukan saja kurang sopan dipandang, malah mencemarkan imej bandar Klang lebih-lebih lagi jika ia dipandang pelancong asing. Sementara di satu sudut lain pula, remaja yang sepatutnya menjadi pemangkin pembangunan masa depan negara menghabiskan masa melepak bersama rakan mereka. Pemandangan seumpama ini sudah tentunya tidak elok dilihat tetamu dari negara luar yang mengunjungi Selangor kerana ia seolah-olah menunjukkan belia masa kini tiada hala tuju dalam kehidupan mereka. Jika kita lihat, kebanyakan kutu rayau dan kaki lepak ini sukar mengikis tabiat mereka dan ini menjadi tanda tanya adakah kehidupan seperti ini sudah menjadi sebati dalam hidup mereka. Kutu rayau suka menagih simpati orang ramai dengan terus meminta sedekah tanpa segan silu dan kurang menyenangkan melihat wanita meminta sedekah dengan memperalatkan anak mereka. Setiap kali terserempak dengan golongan ini, keadaan mereka amat teruk sekali untuk dilihat, dengan pakaian yang kotor dan busuk dan ada yang menjijikkan apabila menunjukkan kesan luka atau lebam pada anggota badan. Lebih menyedihkan, sebahagian besar daripada mereka adalah warga tempatan yang berusia dalam lingkungan 20 hingga 40-an dan kelihatan sihat tubuh badan. Kadang kala kutu rayau dan pengemis ini boleh menimbulkan perasaan takut



pada wanita dan kanak-kanak berikutan gelagat dan perbuatan geli yang ditunjukkan mereka. Walaupun kutu rayau mempunyai dunianya sendiri tetapi bagi yang sakit mental boleh bertindak agresif dengan membahayakan atau mencederakan orang lain. Pelajar tahun akhir Fakulti Seni Lukis dan Seni Reka Universiti Teknologi Mara (UiTM), Siti Suria Hassan, 25, berkata, pihak berkuasa tempatan, Majlis Perbandaran Klang (MPK) perlu memandang serius kehadiran kutu rayau di sekitar bandar ini. Katanya, kawasan seperti kaki lima jalan, kawasan pejalan kaki, belakang halaman unit rumah kedai dan tempat menunggu bas sering menjadi tumpuan mereka menjalankan kegiatan seharian. "Setiap kali saya menaiki bas di stesen bas Klang, saya dapat melihat kutu rayau, pengemis dan orang gila berbaring di kawasan tempat duduk di stesen itu. "Mereka mengambil hampir separuh daripada tempat duduk dan ini menyebabkan orang ramai terutama yang menunggu bas terpaksa berdiri. Malah ada segelintir pengemis mengganggu dan enggan beredar sehingga kita memberi duit. "Saya juga sering terserempak dengan wanita meminta sedekah bersama anak kecil di jejantas dan paling menyedihkan untuk melihat wajah anak kecil itu sayu," katanya. Pengurus sebuah restoran makanan segera, Maithily Keasarhjoo, 24, berkata pihak berkuasa dan agensi kerajaan perlu meningkatkan usaha membersihkan bandar Klang daripada masalah ini. Maithily yang bekerja di bandar Klang juga berkata, sekiranya masalah ini dibiarkan begitu saja, ia boleh menjejaskan imej bandar Klang apatah lagi kebanyakan kutu rayau ini berada di kawasan sesak. Katanya, jika MPK tidak mempunyai kuasa menahan kutu rayau, ia masih boleh memberikan kerjasama kepada pihak berkuasa dengan menyertai operasi yang diadakan. "Saya pernah lihat beberapa kali kutu rayau yang berpenyakit jiwa berpakaian tidak senonoh dan tidak sempurna hingga menampakkan tempat yang tidak sepatutnya. "Ada juga yang menyelongkar sampah, berlagak sebagai polis trafik atau memaki hamun orang yang lalu-lalang. Bagi remaja pula, mereka perlu mengubah tabiat mereka," katanya. Seorang lagi warga prihatin bandar Klang, Norazian Mohd Yusof, 20, menggesa agensi kerajaan mengambil tindakan drastik dengan menempatkan golongan seperti ini di sebuah pusat kebajikan. Katanya, usaha kerajaan Pusat menjadikan Penjara Pudu sebagai pusat tahanan sementara kepada penagih dadah di sekitar Kuala Lumpur perlu dipuji dan dicontohi kerana secara tidak langsung ia dapat mengurangkan jumlah kutu rayau di ibu negara.



Kesan pengemis semakin banyak 1. Menjejaskan imej Negara 2. Meningkatkan beban Negara untuk member bantuan kepada mereka