PWH [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up

PWH [PDF]

PEMBUKAAN WILAYAH HUTAN DAN KETEKNIKAN KEHUTANAN

FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2009

KATA PENGANT

11 0 2 MB

Report DMCA / Copyright

DOWNLOAD FILE


File loading please wait...
Citation preview

PEMBUKAAN WILAYAH HUTAN DAN KETEKNIKAN KEHUTANAN



FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2009



KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga tugas dan amanah untuk melaksanakan penyusunan Buku Pengantar Sosiologi Kehutanan dapat tersusun. Tugas dan amanah tersebut tidak mungkin terlaksana dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu melalui kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada : 1. Dekan



Fakultas



Kehutanan,



pembantu



Dekan



Bidang



Akademik



dan



Kemahasiswaan, serta Pembantu Dekan Bidang keuangan dan administrasi yang telah memfasilitasi pembiayaan pembuata buku ini. 2. Staf Dosen Kehutanan yang telah memberikan sumbangan perbaikan dalam proses pembuata buku ajar ini



Makassar,



September 2009



Penulis



DAFTAR ISI Halaman I.



RUANG LINGKUP KETEKNIKAN DAN PWH DAN PERANANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ...................................................................................



1



A. Filosofi, Konsep dan Tujuan PWH ..................................................................



1



1. Filosofi .........................................................................................................



1



2. Konsep/Strategi PWH ..................................................................................



1



3. Tujuan PWH ................................................................................................



2



B. Peranan dan Fungsi Ganda PWH ...................................................................



2



1. Peranan PWH ..............................................................................................



2



2. Fungsi Ganda PWH .....................................................................................



3



HUBUNGAN PWH, PENATAAN HUTAN DAN SISTEM PEMANENAN KAYU ..



4



III. KLASIFIKASI SISTEM JARINGAN JALAN ........................................................



6



- Pengertian Jalan Hutan .....................................................................................



6



- Perencanaan dan Pembuatan Jalan Hutan ......................................................



8



II.



- Parameter yang Mempengaruhi Keadaan Ekonomi dan Teknik dari Pembuatan Jalan di Daerah Tropis.......................................................................................



18



A. Iklim ..............................................................................................................



18



B. Keadaan Wilayah (Terrain) dan Tanah (Soil) ...............................................



19



IV. PARAMETER PENILAIAN KELAYAKAN PWH YANG OPTIMAL KERAPATAN



V.



DAN STANDAR JALAN OPTIMAL .....................................................................



22



- Kerapatan Jalan Optimal ...................................................................................



22



- Standar Jalan Ekonomis ...................................................................................



25



- Spesifikasi Kelas Fungsional Jalan Hutan.........................................................



26



- Spesifikasi Kelas Kualitas Jalan Hutan .............................................................



27



- Tahapan Perencanaan PWH ............................................................................



33



PERENCANAAN TRACE JALAN .......................................................................



38



- Tikungan / Belokan (Curve) ...............................................................................



38



VI. APLIKASI PENGETAHUAN MEKANIKA TANAH DALAM PEMBUATAN JALAN HUTAN ....................................................................................................



52



A. Tegakan Hutan dan Pohon – Pohon .......................................................



52



B. Teknik Pembuatan Jalan pada Tanah dengan Daya Dukung Rendah ....



52



1.



Letak Jaringan Jalan Hutan...............................................................



52



2.



Penebangan dan Operasi Pembersihan ...........................................



54



3.



Penggusuran Tanah dan Pembentukan Lapisan Dasar ...................



54



4.



Kerikil / Batuan Pemberian ................................................................



55



VIII. PERKERASAN JALAN HUTAN ..........................................................................



56



A. Sejarah Perkerasan Jalan ...............................................................................



56



B. Jenis Konstruksi Perkerasan ...........................................................................



58



C. Kriteria Konstruksi Perkerasan Luntur .............................................................



59



D. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan ............................................................



60



IX. PENGETAHUAN DASAR BANGUNAN AIR .......................................................



91



- Sistem Drainase Jalan ......................................................................................



91



- Sekat air (water-bar), drainase dan bak penampung .....................................



91



- Gorong-gorong (sub-base Culverts) ...............................................................



92



- Drainase Jalan................................................................................................



93



XI. ANGGARAN DAN PEMBORONGAN ..................................................................



117



A. Orang-orang yang mempunyai peranan penting dalam pembuatan atau pekerja bangunan ........................................................................................................



117



B. Perencanaan ...................................................................................................



119



C. Beberapa peraturan pelaksanaan pekerjaan ..................................................



125



XII. MENYUSUN ANGGARAN BIAYA .......................................................................



166



DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................



168



 



BAB I. RUANG LINGKUP KETEKNIKAN DAN PWH DAN PERANANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN Forest Engineering adalah aplikasi teknologi keteknikan ke dalam suatu system vegetasi, tanah, air dan kehidupan liar untuk menjamin pemamfaatan hutanyang



sepenuhnya



bagi



manusia.



Forest



Engineering



mencakup



pemanenan kayu, ergonomic dan pembukaan wilayah hutan. Pengertian keteknikan hutan perlu dikemukakan disini, karena banyak orang menganggap keteknikan hutan itu adalah pembuatan jalan atau bangunan-bangunan hutan atau pembukaan wilayah hutan.



A. FILOSOFI, KONSEP DAN TUJUAN PWH 1. Filosofi PWH Filososfi PWH adalah menciptkan kondisi yang baik agar persyaratanpersyaratan pengelolaan hutan yang lestari terwujud. “Tanpa PWH yang baik, pengelolaan hutan yang lestari mustahil dapat dicapai. 2. Konsep/Strategi PWH Konsep PWH adalah perpaduan teknik, ekonomis dan ekologis dari pembukaan dasar wilayah hutan, pembukaan tegakan dan system penanaman, pemeliharaan, penjarangan dan pemanenan akhir. Dengan konsep/strategi PWH tersebut, maka didalam perencanaan dan pelaksanaan



PWH



harus



memperhatikan



tujuan



dan



pemamfaatan



pembangunan sarana dan prasarana PWH. Misalnya dalam pembangunan jalan hutan untuk keperluan reboisasi hutan yang rusak, tujuan PWH-nya adalah untuk penanaman dan pemeliharaan hutan serta pengangkutan pekerja dan bahanbahan keluar masuk hutan. Jadi pemanfaatan jalan tersebut pada umumnya untuk lalulintas kendaraan ringan, sehingga tidak perlu dibangun jaringan jalan yang intensif dan standar jalan yang tinggi.



1   



3. Tujuan PWH Tujuan PWH adalah untuk mempermudah penataan hutan, tindakantindakan



pembinaan



hutan



(penanaman,



pemeliharaan,



penjarangan,



pencegahan terhadap gangguan hutan) dan pemanenan hasil hutan terutama penyadaran dan pengangkutan kayu. Tujuan PWH yang hanya untuk mengekploitasi hutan alam semurah dan secepat mungkin yang banyak dilakukan sebelumnya, pada saat ini sudah tidak dapat di toteril lagi, karena sangat merusak lingkungan dan tidak dapat menjamin pengelolaan hutan yang lestari. Ciri-ciri tujuan PWH yang hanya untuk mengeksploitasi hutan adalah sebagai berikut: ¾ Tujuan mengeluarkan kayu dari hutan semurah mungkin. ¾ PWH yang dirancang hanya untuk tindakan jangka pendek yaitu pada waktu akan diadakan eksploitasi hutan dan prasarana yang dibangun pada umumnya berkualitas rendah. ¾ Setelah eksploitasi hutan selesai, prasarana PWH yang sudah dibangun tidak dipelihara lagi atau ditinggalkan begitu saja.



B. PERANAN DAN FUNGSI GANDA PWH 1. Peranan PWH Kelestarian hutan akan tercapai, bila dalam pengelolaan alam maupun hutan buatan (Hutan Tanaman Industri/HTI) dapat dilakukan usaha yang intensif terhadap kegiatan penataan hutan, pemanenan hasil hutan dan pembinaan hutan



(yang



meliputi



penanaman,



pemeliharaan



dan



penjarangan



dan



perlindungan hutan). Agar usaha tersebut dapat dilakukan dengan baik, maka sarana dan prasarana yang tersedia harus dapat menjamin kelancaran dan kemudahan pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut di atas sehingga tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa hutan alam maupun hutan buatan tidak akan dapat diusahakan secara



lestari, tanpa sebelumnya dipenuhi persyaratan



pembukaan wilayah hutan (PWH) yang memadai. Hal ini mengingat pembukaan wilayah hutan (PWH) secara keseluruhan merupakan persyaratan utama bagi 2   



kelancaran perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam produksi hutan dan PWH bertugas menciptakan kondisi yang lebih baik dalam pengelolaan hutan serta meningkatkan fungsi sosial dan ekonomi dari hutan.



2. Fungsi Ganda PWH Fungsi PWH tidak hanya untuk memanen kayu dari hutan, tetapi PWH mempunyai fungsi ganda, yaitu: 1. Mempermudah penatanan hutan. 2. Mempermudah pengangkutan pekerja, peralatan dan bahan-bahan keluar masuk hutan. 3. Mempermudah kegiatan pembinaan hutan. 4. Mempermudah kegiatan pemanenan hasil hutan (penebangan, penyaradan, pengumpulan, pengangkutan dan penimbunan). 5. Mempermudah pengawasan hutan. 6. Mempermudah perlindungan hutan (terhadap kenakaran, serangan hama dan penyakit hutan). 7. memungkinkan hutan sebagai tempat rekreasi yang mudah dicapai. 8. Di daerah yang terisolasi/terpencil, PWH dapat merupakan bagian yang penting dari infrastruktur daerah tersebut, bahkan dapat merupakan pionir pengembangan wilayah. Untuk dapat memenuhi fungsi ganda PWH, maka PWH harus diusahakan sebaik mungkin. PWH yang baik adalah PWH yang dapat melayani semua bagian hutan secara merata dan tidak menyebabkan kerusakan lingkungan yang besar.



3   



BAB II. HUBUNGAN PWH, PENATAAN HUTAN DAN SISTEM PEMANENAN KAYU Hubungan PWH, Penataan Hutan dan Sistem Pemanenan Kayu adalah sebagai berikut: 1. Berdasarkan rencana jaringan jalan dan batas-batas alam yang ada,dapat disusun pembagian hutan dan blok hutan. 2. Tiap blok hutan dipisahkan secara jelas dalam penataan. Dimana batas alam, jalan utama, jalan cabang dan batas buatan dapat digunakan sebagai batas antar blok. 3. Blok hutan dibagi menjadi petak-petak yang akan menjadi unit kesatuan managemen dan administrasi terkecil. 4. Disamping jalan cabang yang akan berfungsi menjadi batas blok hutan, jalan cabang juga dapat dibuat setelah memperhitungkan kebutuhannya (teknis dan ekonomis) dalam pembukaan wilayah dalam blok hutan tersebut. Dalam hal bila di dalam blok hutan masih diperlukan adanya jalan cabang, maka jalan cabang ini diupayakan membelah blok hutan menjadi beberapa petak. 5. Pengangkutan



kayu,material



dan



karyawan,



serta



tindakan-tindakan



silvikultur membutuhkan jalan ranting yang membuka petak-petak. Jalan ranting yang dimaksud adalah jalan yang menghubungkan titik-titik pusat petak menuju ke jalan cabang jalan utama. 6. Pada waktu perencanaan PWH, maka pola jaringan jalan yang direncanakan harus



sesuai



dengan



system-sistem



pemanenan



kayu



yang



akan



dipergunakan. Hal ini terutama menyangkut konsentrasi arah pengangkutan kayu dan subsistem penyaradan kerapatan dan kapasitas jalan utama dan jalan cabang. 7. Pal batas hutan dapat difungsikan juga sebagai pal hm jalan atau sebaliknya. Pal ini dapat berupa beton/kayu ulin yang dipancangkan di sebelah kiri dan kanan jalan dan berisi nomor hm (dari base camp) dan kode nomor blok hutan yang bersangkutan. Jarak antara pal ini 100 meter.



4   



8. Batas antar petak dalam tiap blok dapat berupa jalan cabang yang sebagian dibuat atas pertimbangan teknis dan ekonomis kegiatan pembinaan hutan. Pal batas petak inipun dapat dimaamfaatkan sebagai pal hm jalan cabang yang bersangkutan atau sebaliknya. Berdasarkan uraian di atas,maka kerjasama yang erat antara bidang PWH, Penataan Hutan dan Pemanenan Kayu sangat diperlukan, sehingga pengelolaan hutan dapat dilaksanakan denga efisien.



5   



BAB III. KLASIFIKASI SISTEM JARINGAN JALAN A. Pengertian Jalan Hutan Operasi di bidang kehutanan adalah merupakan kegiatan yang sangat kompleks, hal ini memerlukan perencanaan yang matang dan banyak keputusan harus diambil sebelum kegiatan yang dimaksud dilaksanakan. Perencanaan jangka



panjang



harus



dikembangkan



jauh



sebelum



kegiatan



dimulai,



pengetahuan tentang hasil inventarisasi dari sumber hutannya, keadaan topografi, kondisi tanah dan lain sebagainya. Perencanaan ini harus menggaris bawahi tentang lokasi dari jaringan jalan hutan termasuk jalan cabang yang dipertimbangkan sesuai dengan system logging yang akan diselenggarakan atau system lain yang diterapkan pada pemungutan hasil hutan. Yang dimaksud “Jalan Hutan” pada tulisan ini, adalah jalan yang dibangun di hutan untuk melayani tumbuhan hutan dan pemungutannya dikemudian hari. Banyak telah dipublikasikan tentang desain, konstruksi dan pemeliharaan dari jalan umum/highway, tetapi sangat sedikit diketahui tentang jalan hutan dalam hubungannya dengan pemungutan hasil hutan yang harus dilayaninya, tentang kondisinya sehingga dapat memuaskan pekerjaan yang bersangkutan. Operasi di bidang kehutanan termasuk juga pemungutan di hutan alam, penghutanan kembali dari areal bekas tebangan atau juga penghijauan di areal non hutan atau penanaman di hutan buatan (man made forest). Manajer operasi seyogyanya harus memilih antara tebang habis atau tebang



pilih,



terkecuali



jika



dibatasi



oleh



peraturan



pemerintah



atau



pertimbangan ekonomi. Ia harus dapat memutuskan pilihan penggunaan alat atau mesin yang digunakan pada penebangan dan transportasi log ke samping jalan, ukuran dari mesin yang digunakan sehingga dapat menentukan standar jalan yang sesuai. Tulisan ini memberikan petunjuk bagi para rimbawan dalam hal memilih standar jalan, kerapatan ataupun jarak satu sama lain disesuaikan dengan system logging yang akan dikembangkan sehingga dapat menghasilkan suatu 6   



pilihan dalam menentukan biaya terendah dari angkutan hasil hutan; kendatipun operasi itu dilaksanakan di hutan alam, hutan buatan, daerah temperate atau tropic. Tetapi, tulisan ini tidak menyajikan permasalahan yang menyangkut jalan dengan dilapisi aspal atau semen, juga tidak untuk daerah yang sangat curam yang hanya dapat dilakukan dengan system kabel. Disini perhatian ditujukan kepada jalan sarad (cukup curam) yang menggunakan skidder atau forwarder untuk memindahkan kayu dari tempat tebangan ke pinggir jalan dengan kelerangan tidak boleh lebih dari 50 persen. Penyaradan cara ini akan lebih murah dibanding system kabel pada daerah yang keduanya bisa dikembangkan. Pembuatan jalan hutan hendaknya ditinjau dari segi ekonomi dalam hubungannya



dengan kesulitan tentang kelerangan dan temporarinya



penggunaan jalan ini. Utamanya, diluar persoalan, dapat diberikan pelindung pada jalan ini dengan penutupan oleh aspal atau ter atau semen yang sudah pasti memerlukan biaya sangat besar. Oleh karenanya perencanaan pembuatan jalan hutan tidak sama metodanya dengan pembuatan jalan umum yang terkadang memakai metoda yang memerlukan biaya sangat tinggi, tetapi juga tidak sama sekali mengesampingkan metoda itu. Jalan hutan memerlukan keahlian



khusus



dan



pengetahuan



yang



masak



dari



daerah



yang



bersangkutandari seorang rimbawan. Keberhasilan suatu eksploitasi sangat tergangtung kepada biaya pembangunan jalan hutan dan banyaknya jaringan jalan itu untuk melayani angkutan log. Perhatian ditujukan atas dasar percobaan di hutan daerah Afrika Barat, untuk menaksir seekonomis mungkin pembuatan jalan hutan. Terdapat lima bagian yang perlu dipertimbangkan: 1. Manfaat jalan hutan, penggunaannya, bentuk permukaannya dan bentuk melintangnya. 2. Manfaat pembuatan jalan hutan dengan cara pemadatan tanah, jenis tanahnya dan komposisi lapisan dasarnya. 3. Penetapan arah jalan. 4. Proses pembangunan jalan: pembersihan wilayah, pengolahan tanah, pemadatan, kemiringan, drainase dan pemeliharaan. 7   



5. Masalah pemilihan alat kerja dan pemeliharaannya.



B. Perencanaan dan Pembuatan Jalan Hutan Tidak seperti halnya jalan yang dipergunakan untuk umum jalan hutan hanya melayani sedikit keperluan. Terdapat lima pokok ciri khusus dari fungsi jalan hutan: lalu lintas sedikit, kebanyakan lalu lintas satu arah, kadang-kadang digunakan untuk menghela kayu, jarang mempunyai daerah perpapasan kalau jaln itu digunakan dua arah, lalu lintas dengan truk yang panjang dan berat. Ciri spesifik diatas dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut: 1. Lalu lintas pada jalan hutan senantiasa terbatas dalam hal jumlah, terbatas pada kendaraan yang berhubungan



dengan kegiatan hutan. Pada hutan



dengan tanpa pemeliharaan yang dieksploitasi secara serempak, seperti halnya hutan daerah tropic, transportasi hanya berlaku pada waktu yang singkat, tapi bisa juga beersifat musiman pada daerah hutan yang mempunyai pemeliharaan secara sistematis. Para ahli kehutanan, pimpinan ataupun bidang penebangan mempertimbangkan antara pembangunan jalan hutan dengan volume tegakan yang akan diambil, hal ini dipengaruhi oleh mudah tidaknya daerah hutan ini dimasuki dengan arus permintaan dari jenis kayu komersil. Pembuat jalan akan mempertimbangkan ongkos pembuatan seminimal mungkin sehubungan dengan kompromi antara kondisi wilayahnya dan keperluan dari penggunaan jalan itu. Di satu pihak membangun jalan dengan nilai sangat rendah mengimbangi tebangan yang sangat terbatas, di pihak lain dapat membangun jalan sangat mahal sehingga tidak terdapat titik pertemuan denga potensi hutan yang akan dilayani jalan tersebut. Pembangunan jalan juga mesti mempetimbangkan kondisi ekonomi pada masa itu. 2. Kebanyakan transportasi berlaku satu arah, pergi dari daerah tebangan menuju ke consumer atau ke tempat penumpukan atau menuju ke tempat industry atau ke sawmill. Biasanya tempat landing terletak di tepi sungai atau danau, atau juga tepi jalan raya atau jalan rel kereta api pemakai kayu, ke banyak sawmill, merupakan kelompok penerima hasil hutan. Jadi, bentuk 8   



jalan hutan sewajarnya kalau mempunyai perbedaan denagn jalan yang arahnya menuju ke hutan, karena kendaraan kembali ke hutan dalam keadaan kosong, sehingga dapat saja jalan itu tanjakannya lebih tajam disbanding dengan jalan yang dilalui kendaraan bermuatan. 3. Jalan hutan merupakan penghubung pokok dengan kendaraan ringan untuk perhubungan dan dengan kendaraan bermuatan log yang panjang dan berat. Kendaraan penghubung dipergunakan untuk angkutan orang/pegawai atau buruh merupakan kendaraan ringan seperti jip atau kendaraan bepergian lainnya. Kendaraan jenis ini dapat pergi



kemanapun sepanjang jalan itu



dapat dilalui truk. Sedangkan truk angkutan berupa truk panjang yang disesuaikan denga desain jalan hutannya. Kendaraan ini berjalan lambat, kendaraannya berat, kadang-kadang merupakan kesatuan dari dua atau tiga peralatan seperti trailer, kadang-kadang mempunyai sambungan sampai tiga di belakangnya. Seperti pada masa ini, ada sebuah truk dengan 150 Hp dengan semi trailer sepanjang 15 meter, pajang keseluruhan hamper 20 meter dengan bobot 30-35 ton. Kendaraan ini mampu melewati tikungan yang agak tajam dan tanjakan yang lebih curam dibandingkan kendaraan lainnya. 4. Jumlah perjalanan melewati main road tak akan pernah berlimpah kendatipun sepanjang ada kegiatan. Sebanyak 20 kendaraan tiap hari pada dua arah sudah merupakan jumlah yang banyak. Pada keadaan memaksa perlu juga dibuat untuk 30 kendaraan. Siklus kendaraan tidak saling tergantung satu sama lain, sehingga tidak menjadi persoalan kendatipun banyak kendaraan lalu. Lebih dari itu perlu dipertimbangkan factor keselamatan pada titik-titik tertentu, misalnya tikungan terlindung , perpapasan dijembatan, perbukitan atau gunungan. Kesimpulan jalan hanya untuk jalur single sudah cukup. 5. Jalan hutan akan digunakan untuk angkutan kayu yang dipungut dari daerah bersangkutan. Ini senantiasa merupakan penghubung yang dibuat sedekat mungkin dengan daerah tebangan, sehingga dapat mereduksi jarak angkut. Rute terpendek tidak selalu dipilih tanpa memandang hal biaya. Jika jarak lebih pendek hanya dapat dibuat dengan biaya yang tinggi pada 9   



pembuatannya, lebih baik dibuat yang agak panjang dengan biaya yang lebih rendah. Masalah di atas menyuguhkan ketentuan khas bagi jalan hutan, yaitu: a. Semua pengeluaran yang terlalu tinggi untuk konstruksi sebaiknya diabaikan dalam rangka menekan biaya lebih ekonomis lagi disesuaikan dengan keperluan sekarang. b. Patokan maksimum tanjakan kearah hutan dapat saja agak berlebih dari turunannya (bermuatan). Misalnya 12 dan 6 persen tergantung keadaan lapangan. c. Gradien yang dipilih untuk rute naik atau turun hendaknya semudah mungkin untuk angkutan log. d. Umumnya, jalan hutan dibuat satu jalur dengan pelebaran khusus pada tikungan dan puncak bukit. e. Ditinjau dari segi eksploitasi secara keseluruhan, akan lebih ekonomis belkan-belokan yang panjang disbanding dengan yang lebih pendek, kendaraan akan dapat lebih cepat. Pada pengusahaan hasil hutan,setiap jalan atau bagian jalan, tidak mempunyai aturan main yang sungguh-sungguh, juga tidak didasarkan kepada kesamaan arus lalu lintas. Sifat dari tiap bagian jalan tergantung kepada fungsi dari jalan tersebut, yaitu melayani konsesi hutan khususnya dalam hal eksploitasi. Objek dari pekerjaan eksploitasi adalah pemindahan kayu hasil tebangan ke tempat-tempat khusus atau tempat pelegoan, terkadang juga melayani kegiatan lain di bidang kehutanan. Log yang terdekat, dihela ke tempat landing atau semacam depot yang dapat dilalui oleh truk. Setiap tempat landing dihubungkan oleh jalan tebang yang akan mengangkut kayu kemudian ke jalan yang lebih besar, sampai ke tempat pelegoan berupa jalan umum atau sungai atau jalan rel permanen. Log merupakan barang yang besar dan berat,merencanakan suatu system pemungutan hasil hutannya merupakan usaha yang komplek, banyak factor harus dipertimbangkan: karakter fisik kelerengan, tegakan hutannya, iklim, 10   



manajemen dan perencanaan silvikulturnya, produksinya, keadaan buruh, mesin/logging dan metoda pengukuran produksinya. sebahagian factor diatas harus diketahui sebelum operasi dimulai. Pemilihan suatu system pemungutan, dapat dikatakan dipengaruhi oleh volume kayu, panjang kayu atau berdasarkan keperluan dari penggergajian atau pabrik lain. Suatu ketika boleh jadi terdapat pesanan yang kuat untuk standar ukuran yang seragam, hal ini bukan hanya karena untuk memenuhi kebutuhan penggergajian, tetapi melainkan juga karena paling efisien untuk angkutan jarak jauh, atau juga karena, disesuaikan mesin yang ada, ukuran tersebut yang diperlukan. Terdapat beberapa perbedaan metoda dari klasifikasi pemungutan hasil hutan. Hal itu boleh jadi diklasifikasikan berdasarkan pemotongan atau panjang log yang sedang dipungut dan sedang diangkut dari tempat tebangan ke pinggir jalan, ini bisa berupa: a. Seluruh pohon (the full tree system). b. Pohon ukuran panjang (the tree length system). c. Kayu ukuran pendek (the short wood system). salah satu atau semua system diatas, dilayani oleh bervariasi alat angkut baik berat maupun ukurannya. Jalan hutan hendaknya dibuat berdasar variasi tersebut berkaitan dengan pemungutan hasil hutannya, sedangkan untuk keperluan rekreasi dan perlindungan satwa liar,merupakan keperluan sekunder. Standar jalan hutan hendaknya seragan disesuaikan dengan pertimbangan ekonomi, khusus tentang jaringannya. sebagai gambaran dari jaringan jalan hutan dengan kegiatannya, marilah kita tinjau suatu hutan yang akan dieksploitasi secara seragam, keadaan kelerengan tanah dan keadaan pasar missal mampu melayani hasil eksploitasi sebanyak 10 m3 per hektar. Jika jarak maksimun angkutan pendek adalah 1 Km setiap seksi pada jalan ini akan menerima log dari areal terpisah 1000 m, jadi setiap seksi padajarak 1 Km tadi akan melayani 2x1 Km atau berarti 200 hektar, berarti pula 10x200 = 2000 m3 yang akan dikerjakan. Setiap waktu jalan akan bertambah 1 Km,volume yang akan dilayanipun akan naik dengan 2000 m3. Demikianlah seterusnya, jalan hutan tahun demi tahun akan berkembang yang 11   



kian lama kian jauh meninggalkan jalan pertamanya. Perkembangan jalan hutan tersebut sebagai contoh dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 1:



Langkah-langkah ekspansi jalan hutan. I,II,III = langkah-langkah areal tebangan. a = jalan umum (public road) b = jalan masuk (acces road) c = perkampungan penduduk d = jalan induk (main forest road) e = areal penebangan hutan



Dari gambar diatas, terlihat bahwa sesuai dengan perkembangan kegiatan penebangan, maka yang semula dijadikan jalan utama (main road), sehubungan dengan berpindahnya wilayah tebangan kearah dalam, maka main road itu berubah menjadi jalan umum karena terdapat pemukiman penduduk disebelah dalamnya. Dengan itu, maka sebaiknya, jalan utama (main road) dibuat dengan perencanaan kearah itu. Jalan untuk keperluan eksploitasi, secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut: - Jalan Utama (main roads) - Jalan cabang /anak jalan (secondary roads) - Jalan ranting (feeder roads/brand roads) Dengan demikian rumit dan kompleksnya permasalahan jalan hutan, maka secara prinsip perencanaannya perlu memperhatikan: Perencanaan jaringan jalan hutan hanya boleh dibuat oleh ahli kehutanan yang betul-betul berpengalaman dan qualified; Hubungan baik dengan orang yang betul-betul mengetahui keadaan wilayah dimana jalan hutan akan dibuat. Tidak ada lagi tempat lain dihutan manakala perencanaan jalan itu salah, jangan harap jalan yang dibuat ituakan permanen. Janganlah terlalu banyak kerja kantornya saja. Klasifikasi jaringan jalan hutan tersebut diatas, lebih lanjut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Access Roads: Keperluan utama dari access roads, sesuai dengan namanya, adalah menyelenggarakan jalan masuk ke hutan, melayani transport 12   



penduduk/buruh dari kampong ke tempat tebangan atau kegiatan hutan lain, atau juga untuk transportasi kayu bulat dari hutan ke tempat processing atau terminal. Merupakan penghubung antara jalan umum (public road) dengan kegiatan kehutanan. Oleh pentingnya jalan ini, hendaknya jalan ini memiliki lebar 9 – 12 meter. Dengan adanya ukuran jalan tersebut operasi kehutanan hendaknya menghasilkan log lebihdari 100.000 m3 per tahun yang akan diangkut di jalan ini. Biaya pembuatan jalan ini bisa mencapai 10 – 15 US$ per meter, bahkan bisa lebih pada daerah ekstrim kondisinya. (RUDOLF HEINRICH, Roma, 1974). 2. Main Roads: Dia melayani transportasi kayu ke suatu titik temu dengan jalan umum (access) dan melayani seluruh kegiatan pada konsesi. Setiap kegiatan sehubungan dengan penebangan diselenggarakan sepanjag jalan ini yang merupakan tulang punggung dari kegiatan konsesi. Volume kayu yang diekstraksi dapat bervariasi dari beberapa ribu sampai beberapa ratus ribu meter kubik. Jalan ini mesti tetap baik sampai beberapa, kadang-kadang, 20 tahun dan mesti dapat dipakai sepanjang tahun, termasuk di musim hujan. Panjang jalan ini tergantung kepada situasi geografis dan keperluan landing, ia akan dapat mencapai 50 Km bahkan lebih. Yangmenjadi permasalahan utama adalah tentang jalur dan pembuatan jalan ini, merupakan masalah kompleks. Seringkali jalan ini tidak bertemu dengan jaringan jalan umum. Penentuan jalurnya perlu dicoba dahulu sebelum penebangan dimulai. Itulah sebabnya, diperlukan standard yang lebih tinggi dari engineeringnya dan system drainase. Lebar jalan termasuk bahu (shoulders) bisa 10 meter dengan jalan dukungnya (carriageway) 8 meter. Maksimum tanjakan tidak lebih dari 6 % sedang dari arah berlawanan tidak lebih dari 8 %. Pada keadaan yang ekstrim kadang dijumpai sampai 35 %. Sebaiknya permukaan jalan dilapisi bahan waterproof dan pada tanjakan curam terkadang diperlukan



semacam



tanggul.



Melintang



jalan



untuk



mengurangi



kemungkinan tergelincir pada saat mengemudi turun di musin hujan. Pada jalan yang licin perlu diberi pelapis batuan demikian juga pada daerah yang



13   



sangat lemah untuk memperoleh daya dukung yang lebih baik. Biaya pembuatan jalan ini mencapai 5 – 10 US$ per meter, bahkan bisa lebih. 3. Secondary Roads: Dia merupakan penghubung antara main road dengan tempat kegiatan/eksploitasi, hanya dipergunakan secara temporer, melayani kayu hasil tebangan satu atau dua musim saja, itulah sebabnya, pengerasan dengan batuan umumnya tidak diperlukan. Biasanya, sepanjang musim hujan, kegiatan transportasi dihentikan. Selesai kegiatan operasi, jalan ini ditinggalkan dan tidak ada pemeliharaan lebih lanjut, walaupun terkadang masih dipergunakan untuk mengangkut peralatan, camping dan lain sebagainya. Oleh karenanya, diharapkan jalan ini dapat tahan paling tidak satu kali musin hujan. Lebar jalan termasuk bahu (shoulders) 6 – 8 meter. Biaya pembuatan jalan ini berkisar antara 1 – 7 US$ per meter. 4. Skidding Roads: Jalan ini dipergunakan hanya oleh traktor ban karet atau crawler untuk kegiatan penyaradan. Lebar jalan 3,5 – 4,5 meter dengan formasinya cukup dibuat oleh traktor (crawler) saja. Biasanya memiliki kelerengan/tanjakan lebih dari 25 % sehingga sering timbul problem erosi. Selesai termin kegiatan operasi,jalan ini berubah jadi alur-alur sebagai akibat dari erosi parit (gully erosion). 5. Skidding Trails: ini hanya merupakan penghubung antara tempat pohon ditebang ke skidding road. Tidak ada perlakuan terhadap tanah, semak belukar hanya cukup ditebas secara sederhana dengan chainsaw atau bahkan hanya didorong oleh blade traktor. Lebarnya sesuai dengan lebar pisau traktor saja. Di beberapa Negara di jalan ini kadang dioperasikan traktor ban karet, sehingga akibatnya, setiap 6 bulan atau satu tahun harus diganti ban. Untuk setiap jalur jalan, profil dan irisan melintangnya perlu terlebih dahulu direncankan, sifat-sifat khusus yang harus ditentukan antara lain: Peta dari jaringan jalan, profil longitudinalnya, bentuk irisan melintangnya yang member petunjuk tentang kedudukan tanjakan/turunan, penimbunan dan galian, tikungan dsb.



14   



Jalan hutan, sebagaimana halnya jalan umum yang permukaan diperkeras, merupakan struktur engineering; yang terdiri dari dua bagian: Lapisan bawah (subgrade) dan lapisan lantai (pavement). Gambar 6. Bentuk normal profil melintang tubuh jalan. a = Carriageway



f = Formation



b = Berm



g = Roadway



c = Ditch/cutting



h = Road reserve



d = Embankment



I = Natural ground level



e = Catchwater drain Keterangan: a. Carriageway adalah bagian jalan yang berfungsi mendukung lalu lintas kendaraan, dibuat sebaik mungkin. b. Berm adalah pelebaran tambahan, biasanya juga diperkeras hanya tidak sebaik carriageway, ini diperlukan untuk melindungi carriageway dari erosi, kadang dipergunakan untuk meminggir kendaraan tatkala berpapasan. Lebarnya, antara 1.00 – 1.50 meter. c. Parit, ini diperlukan untuk mengalirkan air yang jatuh di jalan sehingga air tersebut tidak lama tergenang di jalan. d. Embankment merupakan tambak hasil timbunan yang melindungi badan jalan dari erosi, biasanya cukup ditanami rumput pelindung top soil. e. Catchwater drain adalah semcam parit diperuntukkan sebagai penahan derasnya aliran air dari atas yang niscaya akan menimpa tubuh jalan. f. Formation adalah menyatakan bahwa tubuh jalan yang berfungsi menyelenggarakan lalu lintas adalah pada bagian ini, selebihnya hanya merupakan pelengkap dari persyaratan adanya jalan tersebut. g. Roadway menyatakan bentuk seluruh badan jalan secara keseluruhan termasuk perangkat pelengkapnya, semua bagian tanah yang mengalami perlakuan untuk keperluan jalan.



15   



h. Road reserve merupakan lahan terbuka yang diperuntukkan bagi jalan, termasuk didalamnya adalah tebangan cahaya, yaitu penebangan pohon-pohon di kiri kanan tubuh jalan agar jalan mendapat cahaya penuh, sehingga cepat mengering setelah hujan turun. i.



Ini merupakan lahan yang biasanya tanahnya tidak mengalami perlakuan sehubungan dengan pembuatan jalan melainkan cukup dibebaskan



dari



pohon-pohon



untuk



memberikan



kebebasan



permukaan jalan mendapatkan cahaya matahari secukupnya. Lahan jalan (road reserve) dapat melebar hanya jika pada daerah yang baik atau keadaan mengijinkan. Setiap profil melintang jalan harus merupakan kombinasi dari tiga unsur berikut: ditetapkan drainase yang baik, terpelihara kestabilan lalu lintas dan memungkinkan kendaraan berppasan atau mendahului kendaraan dimukanya. Profile Melintang dari Carriageway Permukaan cembung dari jalan senantiasa diperlukan untuk kestabilan dari carriageway, memungkinkan hujan mengalir ke sampingnya. Suatu lapisan penutup tahan air seperti semen atau aspal adalah terlalu mahal ditinjau dari segi ekonomi bagi jalan hutan, walaupun kadang-kadang juga dipakai yaitu untuk daerah utama saja. Penentuan kemiringan permukaan jalan juga harus merupakan kompromi antara miring sekali agar air cepat mengalir dan kurang miring, agar tidak menyebabkan erosi parit (gully erosion). Hal demikian, dikehendaki agar kedalaman permukaan parit seragam sehingga pengerusan lapisan tanah oleh aliran air dapat seminium mungkin. Kecembungan jalan yang efektif adalah dengan kemiringan antara 3 sampai 5 persen, sebaiknya dibuat makin keluar dari pusat jalan makin miring. Berikut disajikan table kemiringan dari pusat jalan kearah luar dari jalan yang kearah luar dari jalan yang berbeda lebarnya.



16   



Tabel 1. Kemiringan dari pusat jaln menuju pinggir dari meter) Lebar Jalan Lereng Samping



carriageway (dalam



3%



5%



3.50



0.05



0.09



4.00



0.06



0.10



4.50



0.07



0.11



Hendaknya



dicatat



bahwa



pembuatan



kemiringan



pinggir



harus



diperhitungkan sehingga menjamin kelancaran lalu lintas bagi kendaraan dengan ban dobel atau trailer. Lebar dari Tubuh Utama Jalan (Carriageway) Merencanakan lebar carriageway dipengaruhi oleh jumlah kendaraan yang berpapasan pada jalan ini. Pada sebahagian hal, dimana hanya terdapat satu egiatan eksploitasi yang berkepentingan dengan kendaraan lalu lintas saat kerja suatu konsesi. Daya dukung jalan berpengaruh terhadap biaya konstruksinya dan terhadap net cost dari eksploitasi, lebar jalan mesti disesuaikan kepada kemampuan menerima beban berat dari truk yang akan membawa pengaruh kepada kelancaran lalu lintas. Terpikirkan suatu ketika bahwa diperlukan membuat jalan dua jalur untuk memungkinkan berpapasan truk angkutan log. Ini mempermudah



berpapasan



atau



mendahului



kendaraan



dimukanyaasal



kendaraan yang lebih ringan mau minggir ke bagian berm (shoulder), membiarkan kendaraan yang lebih berat lalu dengan aman. Bila kendaraan yang lebih ringan akan mendahului logging truk, saatnya harus pada jalan yang normal dan masuk sedikit ke daerah berm, hal ini tidak meninbulkan kekhawatiran seandainya daya dukung dariberm cukup baik. Untuk jalan satu jalur, setiap kendaraan hendaknya dijaga tetap berada pada bagian yang seharusnya, prioritas diberikan kepada kendaraan bermuatan , dalam hal lebar jalan 3,5 meter termasuk berm masih mampu menampung kendaraan 20-30 setiap hari.



17   



Jalan yang lebar selalu menarik pengemudi untuk berjalan sangat cepat, hal ini menyebabkan kecelakaan. Sebagai bahan perbandingan , hasil percobaan menunjukkan bahwa pada jalan modern dan ramai, lebar dari setiap jalur sekurangnya 3,5 meter yang memungkinkan lalu lintas minimum sekitar 200 kendaraan setiap jam. Untuk memungkinkan tambahan lalu lintas seperti di atas, pada jalan eksploitasi juga diperlukan 4.0 meter diantara dua bermnya. Parit (Ditch) Parit di kiri kanan jalan dapat berbentuk trapezium atau segitiga. Parit bentuk trapezium dibuat biasanya oleh excavator (gambar 7a), sedang parit bentuk segitiga (gambar 7b) dibuat oleh pisau/blade dari traktor yang dimiringkan (Gambar 8a). Parit-parit ini diperuntukkan menampung dan mengalirkan air dari jalan sehingga tidak menggenangi tubuh jalan, jalan menjadi cepat kering. C. Parameter yang Mempengaruhi Keadaan Ekonomi dan Teknik dari Pembuatan Jalan Di Daerah Tropis 1. Iklim a. Curah Hujan Di daerah hutan tropis pembuatan jalan dan operasi kehutanan seringkali terhambat oleh adanya hujan lebat. Rata-rata curah HUJAN sekitar 200-4000 mm per tahun. Curah hujan,maksimum tahunan betapapun boleh jadi lebih tinggi dari angka diatas seperti misalnya, dari catatan curah hujan di ekuador, sri lanka dan Columbia (daerah pantai), menunjukkan 5000-10000 mm per tahun. Penyebarannya boleh jadi sepanjang tahun atau terkonsentrasi pada satu atau dua periode (musim hujan). Sepanjang musim hujan pembangunan jalan hutan dan kegiatan logging biasanya berhenti. Di daerah tropis umumnya terhitung 150-180 hari kerja per tahun. Apa akibatnya seandainya intensitas kerja harus melewati masa hujan aetiap tahun, misalnya, alangkah baiknya bila dapat melampaui jam yang berturutan dari curah hujan sebesar 150-300 mm. Itulah sebabnya perluasan dan kecepatan kerja pada saat permulaan jalan kering merupakan hal yang istimewa dan penting. Berikut, dikemukakan lebar tebangan cahaya untuk peringatan jalan dari berbagai klas : 18   



Tabel 2. Lebar tebangan cahaya pada khas jalan berbeda Road Standard



Clearing width in meter



Acces road



30 – 60



Main forest road



25 – 30



Secondary forest road



18 – 24



Suat drainase yang efisien dengan parit, saluran air, sekat air (tanggul), gorong-gorong, dapat melindungi jalan dari erosi. Teristimewa di daerah terjal, pelapisan jalan yang baik dari permukaan jalan, saluran atau sekat air dapat membatasi timbulnya erosi permukaan yang disebabkan genangan air hujan dengan menekan lajunya aliran air dan memcegah penambahan air dari tempat lain. b. Temperatur dan Kelembaban Di daerah tropis dan subtropics masalah temperature dan kelembaban relative keduanya cukup tinggi dan konstan sepanjang tahun. Rata-rata temperature berkisar



antara 25-30 derajat C dan kelembaban relative



dapat setinggi 70-90 %. Dalam hubungannya dengan tenaga kerja, hendaknya dicatat bahwa oleh sebab tetapnya ketinggian temperature dan kelembaban, prestasi kerja menjadi bukan main rendahnya disbanding dengan daerah temperate. Hal ini terjadi mungkin dengan adanya pengeringan (keringat) berat badan, denyut jantung akan naik sekitar 10 denyutan dari temperature badan naik sekitar 0,2o C (AXELSON,O. Heat Stress in Forest Work, FAO,Rome 1974). Itulah sebabnya, pekerja memerlukan air bukan hanya pada saat makan tetapi senantiasa sepanjang hari. Kebutuhan garam selain garam yang terdapat pada makanan, perlu ditambah 0,1 % dimasukkan pada minuman sehari-hari. Pekerja harus minum 5-6 liter atau lebih setiap hari kerjanya. 2. Keadaan Wilayah (Terrain) dan Tanah (Soil) 19   



Biaya pembuatan jalan meningkat tajam oleh adanya pengaruh lapangan (terrain), khususnya pada wilayah yang mudah ambruk dan jurang yang berkesinambungan. Perhatian khusus hendaknya diberikan kepada penstabilan wilayah manakala akan meletakkan jalan di tempat itu (masalah tanah slip, tanah longsor). Kerap kali di daerah tropis basah, di hutan hanya terdiri dari tanah liat (clay) atau laterit, yang diartikan bahwa daya dukung tanah (bearing capacity) sangat rendah. Dalam rangka menciptakan jalan dapat dilalui sepanjang tahun, lapisan sub-base jalan hendaknya diberi batuan. Kerapkali material yang dibutuhkan untuk keperluan itu bisa diperoleh pada dasar sungai. Pada saat jalur jalan sudah disurvei, lokasi dan tampak batuan yang diperlukan untuk pengerasan, hendaknya sudah ditaksir untuk main-roads kedalam lapisan batuan sekitar 20-30 cm hendaklah dicukupi dan kadangkadang dapat juga lebih tipis dari itu. Prof. Sundberg (Logging and Log Transport in Tropical High Forest, FAO, Rome, 1974); mengembangkan suatu bentuk formula untuk biaya pembuatan jalan yang didasari oleh pengalaman



di negara sedang berkembang,



memasukkan permasalahan lapangan ke dalam perhitungan. Rumus ini diterapkan sebagai kompromi dari biaya-biaya pematokan, penebangan, penebasan, membentuk permukaan jalan, penggusuran dan macam-macam pekerjaan lain. Hal ini dapat diterapkan dimana tidak ada data lokal yang dapat di pakai,betapapun hal ini dapat saja direvisi sedikit-sedikit sebagai hasil percobaan lebih lanjut. rumusnya adalah sebagai berikut :



230 =



17



660



30



direct cost in US$ per Km for road standard (super vision and overhead cost excluded).



= the inclination in percent of the major slope of hillsides. = the road standard, which includes the following values. 0 – for trails for wheeled skidders and jeeps 20   



1 – for secondary feeder roads 2 – for primary feeder roads 3 – for main ang access roads contoh :



biaya langsung untuk pembuatan main road pada kelerengan 30 %, diestimasikan sebagai berikut : 230



17



30



660



3



30



30



3



5420



$



21   



BAB IV. PARAMETER PENILAIAN KELAYAKAN PWH YANG OPTIMAL A. KERAPATAN DAN STANDAR JALAN OPTIMAL 1. Kerapatan Jalan Optimal Kerapatan jalan adalah panjang yang ada di suatu wilayah, yang dinyatakan dalam satuan meter per hektar. Meningkatnya kerapatan jalan akan menaikkan beban biaya pembuatan dan pemeliharaan jalan, tetapi akan menurunkan biaya kegiatan kehutanan lainnya dan meningkatkan produksi hutan (pertumbuhan riap). Dari segi ekonomis, kerapatan jalan akan optimal apabial biaya penyaradan sama besarnya dengan biaya pembuatan dan pemeliharaan jalan. Besarnya kerapatan jalan optimal setiap wilayah tidak selalu sama. Hal ini tergantung dari parameter sebagai berikut: 1. Keadaan Topografi, jenis tanah dan mikrotopografi. 2. Jenis alat yang dipakai untuk menyarad dan mengangkut kayu. 3. Potensi tegakan (m3/ha atau m3/ha/tahun). 4. Biaya pembuatan jalan. 5. Biaya pemeliharaan jalan. Berikut ini dikemukakan beberapa rumus kerapatan jalan optimal: 1. Rumus Bends (1970) Dopt = a/s D = Kerapatan jalan (m/ha). S = Jarak sarad rata-rata dalam km. a = Faktor efsiensi jalan, yang bervariasi sebagai berikut: 5 – 6 untuk daerah datar sampai andai 6 – 7 untuk daerah bergelombang 7 – 9 untuk daerah curam 2. Rumus FAO (1974) dalam buku Manual Logging And Log Transport.



22   



.



a. Dopt=



.







/



D = Kerapatan jalan (m/ha). k = Faktor koreksi jaringan jalan hutan, bervariasi = 1.00 – 0.71 R = Biaya pembuatan dan pemeliharaan jalan (Rp/km). L = Muatan rata-rata alat penyarad (m3/trip). q = Volume kayu yang dipanen per ha (m3/ha). c = Biaya operasi penyaradan per m3 tiap-tiap menit (Rp/menit). t = Waktu rata-rata untuk menyarad per m3 tiap-tiap round trip (.menit/trip). p= Faktor koreksi jalan sarad, bervariasi : 0 -0,5



50 √



b.



Dopt = Kerapatan jalan optimal (m/ha). C



= Biaya variable penyaradan (Rp/m3/km).



T



= Faktor koreksi jalan sarad.



R



= Biaya pembuatan dan pemeliharaan jalan (Rp/km).



Q



= Volume kayu yang dipanen (m3/ha).



V



= Faktor koreksi jaringan jalan.



3. Rumus Elias (1978) a. Jalan yang dibangun standar teknisnya sama. Dopt =



√ .



/ .



.



(m/ha)



.



b. Jalan yang dibangun ada dua jenis (jalan utama dan jalan cabang) (1) Dopt = √



.



(m/ha)



/ .



(2) Dn opt =



,



.



.



.



.



.



(m/ha)



N



= Volume kayu yang dapat dikeluarkan (m3/ha/th)



C



= Biaya penyaradan (Rp/m3/km pp)



R



= Biaya pembuatan jalan (Rp/hm) 23 



 



Rh



= Biaya pembuatan jalan utama (Rp/hm)



Rm



= Biaya pembuatan jalan cabang (Rp/hm)



p



= Biaya pemeliharaan jalan (Rp/hm/th)



ph



= Biaya pemeliharaan jalan utama (rp/hm/th)



pm



= Biaya pemeliharaan jalan cabang (Rp/hm/th)



Dopt



= Kerapatan jalan optimal (m/ha)



Dn opt = Kerapatan jalan utama optimal (m/ha) Dm opt = Kerapatan jalan cabang optimal (m/ha) Tcorr



= Faktor koreksi jarak penyaradan



Vcorr



= Faktor koreksi jaringan jalan



r



= Faktor rentabilitas investasi jalan



Faktor koreksi jarak penyaradan dan factor koreksi jaringan jalan sering dipergunakan menjadi factor koreksi PWH, yang diberi symbol KG. KG = Vcorr . Tcorr SEGEBADEN (1964) di swedia, BACKMUND (1966) di Jerman Barat, SAMSET (1975) di Norwegia dan ABEGG (1978) di Swiss, telah menghitung factor koreksi jaringan jalan (Vcorr), jalan sarad (Tcorr) dan nilai KG, dimana hasil perhitungan tersebut dapat disampaikan sebagai berikut: SEGEBADEN



: Vcorr = 1,30; Tcorr = 1,35; KG = 1,75



BACKMUD



: Vcorr = 1,38; Tcorr = 1,41; KG = 1,95



ABEGG



: Vcorr = 1,25; Tcorr = 1,44; KG = 1,80



SAMSET



:



-



;



-



; KG = 2,46-3,30



FAO (1974) menyarankan agar di dalam pemanenan dan pengangkutan kayu di Negara berkembang dipergunakan nilai KG sebagai berikut: Di daerah datar dan bergelombang



: KG = 1,6 – 2,0



Di daerah sedang dan berbukit



: KG = 2,0 – 2,8



Di daerah pegunungan dan curam



: KG = 2,8 – 3,6



Di daerah pegunungan dan sangat curam



: KG > 3,6



24   



Menurut Arifin, s dan R.S Suparto (1980) yang telah mengadakan penelitian factor koreksi jalan dan jalan sarad di 6 KPH di JAwa, factor KG di hutan jati di JAwa adalah sebagai berikut: Di daerah datar (lereng 0-50)



: KG = 1,454 – 2,869 0



Di daerah landai (lereng 5-15 )



: KG = 1,472 – 2,905



Di daerah curam (lereng > 150)



: KG = 1,501 - 2,960



Di daerah pegunungan dan sangat curam : KG >3,6 2. Standar Jalan ekonomis Salah satu alat yang dapat dipakai dalam rangka menyediakan informasi standar jalan ekonomis untuk pemilihan standar jalan adalah “Break-EvenConcepts”. Prinsip yang dipakai adalah biaya minimum dapat tercapai apabila biaya pembuatan dan pemeliharaan jalan seimbang. Dalam hal ini factor dominan yang diperhitungkan adalah kecepatan pengangkutan, tipe alat pengangkut, muatan, jumlah (volume) kayu yang diangkut, biaya pembuatan dan pemeliharaan jalan serta masa pakai jalan tersebut. Rumus “Break-Even-Point” (BEP) standar jalan ekonomis yang dimaksud adalah sebagai berikut:



V



.



.



(mb/th)



dimana: V



= Volume angkutan yang melewati jalan tersebut tahun (m3/th).



Rt



= Biaya pembuatan jalan klas lebih tinggi (Rp/hm).



Rr



= Biaya pembuatan jalan khas lebih rendah (Rp/hm).



r r , rt



= Faktor rehabilitasi =



Tt



= Biaya pengangkutan di jalan klas lebih tinggi (Rp/m3/hm).



Tr



= Biaya pengangkutan di jalan klas lebih rendah (Rp/m3/hm).



Pr



= Biaya pemeliharaan jalan dari klas jalan yang lebih rendah ( Rp/hm/th).



Pt



= Biaya pemeliharaan jalan dari klas jalan yang lebih tinggi (Rp/hm/th).



,



, ,



Di dalam aplikasinya rumus tersebut di atas sangat mudah dipakai.



25   



Contohnya: Komponen Biaya



Alternatif Standar Jalan Jalan Standar Rendah (r)



Biaya pembuatan jalan Rp. 700.000/hm (R) Rp. 60.000/hm/th Biaya pemeliharaan jalan 20 tahun (P)



Jalan Standar Tinggi (r) Rp. 1.000.000 Rp



45.000/hm/th



20 tahun



Masa pakai jalan (n)



6%



6%



Bunga investasi (l)



0,087185



0.087185



Faktor rentabilitas (r)



Rp. 7,-/m3/hm



Rp. 5,-/m3/hm



Biaya pengangkutan



7.500 m3/th



7.500 m3/th



Kayu yang diangkut



V=



.



.



.



.



.



,



.



(m3/th)



= 5,578 m3/th Berdasarkan perhitungan tersebut diketahui, bila volume pengangkutan kayu lewat jalan tersebut sebesar 5,578 m3/th, maka biaya total pengangkutan kayu adalah sama untuk kedua alternative dari hutan sebesar 7.500 m3/th. Jadi, dalam hal ini standar jalan yang ekonomis adalah jalan dengan standar lebih tinggi (R = Rp.1.000.000,-/hm).



3. Spesifikasi Kelas Fungsional Jalan Hutan Jalan hutan dapat diklasifikasikan menurut fungsinya di dalam jaringan jalan menjadi 3 jenis jalan hutan, yaitu: (1) Jalan Utama (2) Jalan Cabang dan ranting (3) Jalan sarad 26   



Namun, menurut FAO (1974) fungsi jalan hutan dibedakan dua kategori, yaitu “Acces Road” dan “Feeder Road”. “Acces Road” mempunyai satu fungsi, yaitu fungsi “length wise”, jadi tidak ada ekstraksi kayu dari kanan kirinya. “Feeder Road” sebaliknya mempunyai dua fungsi, yaitu “length wise” dan “cross wise”, dengan tujuan utama menembus hutan mempersingkat jarak sarad. Selain jalan utama, jalan cabang dan jalan sarad, di Indonesia juga dikenal jalan koridor. Jalan koridor adalah jalan di luar areal HPH, yang fungsinya menghubungkan areal HPH tersebut ke jalan umum atau tempat tujuan pengangkutan kayu. Jalan koridor umumnya merupakan jalan yang diperkeras, mempunyai kualitas tinggi dan dipelihara. jalan utama melayani kebutuhan kegiatan pengusahaan hutan secara umum dan menghubungkan wilayah hutan dengan jalan koridor atau jalan umum, serta berfungsi menampung arus angkutan dari jalan cabang. Jalan utama biasanya diperkeras dan berkualitas tinggi serta dipelihara secara rutin. Jalan cabang dan jalan ranting melayani kegiatan pada areal yang terbatas, yakni menghubungkan daerah/tegakan hutan dalam blok dan petak dengan jalan utama. Jalan cabang kadang-kadang diperkeras, kadang tidak diperkeras. Jalan ini dipelihara secara periodic. Jalan sarad melayani keperluan menyarad kayu dari tempat tunggak di jalan angkutan atau landing. Jalan ini menghubungkan tempat tumbuh pohon individu dengan jalan angkutan atau landing. Jalan ini berkualitas rendah. 4. Spesifikasi Kelas Kualitas Jalan Hutan Pada umumnya untuk membedakan kelas kualitas jalan dipakai standar jalan, yang ditunjukkan oleh spesifikasi jalan sebagai berikut: ¾ Jumalah jalur lalulintas. ¾ Lebar badan jalan. ¾ Lebar permukaan jalan yang diperkeras. ¾ Lereng memanjang jalan. ¾ Beban/kapasitas jalan. ¾ Kecepatan kendaraan yang diijinkan bagi kendaraan bermuatan. 27   



¾ Dapat dipakai sepanjan tahun atau hanya pada musim kemarau. Suatu klasifikasi kualitas jalan yang paling sederhana berdasarkan standar bangunan ialah menurut kategori dapat dilalui oleh truk (jalan angkutan) dan dapat dilalui oleh traktor (jalan sarad). Salah satu contoh klasifikasi jalan bedasarkan kualitas jalan yang dipergunakan di jerman dapat dilihat pada Tabel 3 sebagai berikut: Tabel 3. Klasifikasi Kelas Jalan Berdasarkan Kualitas Jalan Spesifikasi



Kelas I



Kelas II



Kelas III



Kelas IV



1. Dapat dilalui



Truk



Truk



Truk



Traktor



Sepanjang tahun



Sepanjang tahun



Hanya pada musim kemarau



1



1



9m



3,5 m



3m



740 m



5 m



5m



720 m



720 m



2. Dapat dipakai Sepanjang tahun 3. Jumlah jalur 4. Lebar permukaan yang diperkeras 5. Lebar badan jalan 6. Radius belokan 7. Lereng memanjang jalan



2 1



7m



≥ 2 % dan ≤ 6%



≥ 2 % dan ≤ ≥ 2 % dan ≤ 10 % 10 %



2,5 – 3,0 m -



< 20 %



Jalan kelas I dan II umumnya merupakan jalan utama atau “Access Road” sedangkan jalan kelas III merupakan jalan cabang atau “Feeder Road” dan jalan kelas IV merupakan jalan sarad. Di jawa dikenal klasifikasi jalan hutan jati yang disusun berdasarkan pertimbangn factor-faktor teknis dan ekonomis dengan mengklasifikasikan kelas dan fungsi jalan hutan jati menurut jumlah volume angkutan yang akan melewati 28   



jalan tersebut per tahun (lihat Tabel 4). Klasifikasi kelas jalan hutan jati tersebut kemudian dirinci lebih lanjut berdasarkan jari-jari minimum pada berbagai persen tanjakan searah dengan arah angkutan kendaraan bermuatan. Di dalam prakteknya di hutan jati, pada umumnya jalan hutan yang dibangun termasuk kelas C III. Jalan tersebut di lingkungan Perum Perhutani digolongkan atas: ¾ Jalan diperkeras penuh ¾ Jalan tapak roda dan ¾ Jalan tanpa perkerasan. Selain itu dikenal pula jalan sogokan yaitu jenis jalan yang dibangun sementara untuk melancarkan pengangkutan/agar supaya truk dapat masuk ke tempat memuat kayu.



29   



Tabel 4. Standar Kelas Jalan Hutan Jati Perum Perhutani Kelas jalan A



B



C



Jumlah angkutan Fungsi jalan Spesifikasi per tahun (m3) ≥ 2.300.000 Jalan utama a. Kecepatan : 50 km/jam b. Jari-jari minimum : 65 m c. Tanjakan maksimum : 2 % d. Turunan maksimum : 2 % e. Lebar jalan : 5,50 m f. Lebar berm di kanan kiri : 1,50 m g. Pelebaran belokan spesifikasi : 1,30 m



10.000 – 30.000



10.000



Jalan cabang



a. b. c. d. e. f. g.



Kecepatan : 40 km/jam Jari-jari minimum : 40 m Tanjakan maksimum : 6 % Turunan maksimum : 10 % Lebar jalan : 3,50 m Lebar berm di kanan kiri : 1,50 m Pelebaran belokan : 1,60 m



a. b. c. d. e. f. g.



Kecepatan : 25 km/jam Jari-jari minimum : 16 m Tajakan maksimum : 8 % Turunan maksimum : 12 % Lebar jalan : 3,00 m Lebar berm di kanan kiri : 1,50 m Pelebaran belokan : 1,80 m



Jalan ranting



Di hutan alam di luar jawa, klasifikasi kelas-kelas jalan hutan berdasarkan kualitas jalan dapat dilihat dalam buku Pedoman Tebang Pilih Tanaman Indonesia (1990), khususnya dibagian petunjuk teknis Pembukaan Wilayah HUtan. Spesifikasi jalan hutan yang ditetapkan untuk jalan induk dan jalan cabang adalah sebagai berikut:



30   



a. Jalan induk dengan perkerasan: 1) Umur



: Permanen



2) Sifat



: Segala cuaca



3) Lebar jalan berikut batu



: 12 m



4) Lebar permukaan yang diperkirakan



:6–8m



5) Tebal pengerasan



: 20 – 50 m



6) Tanjakan menguntungkan maksimum



: 10 %



7) Tanjakan merugikan maksimum



:8%



8) Jari-jari belokan minimum



: 50 – 60 m



9) Kapasitas muatan maksimum



: 60 ton



b. Jalan induk tanpa pengerasan: 1) Umur



: 5 tahun



2) Sifat



: Musim kering



3) Lebar jalan berikut bahu



: 12 m



4) Tanjakan menguntungkan maksimum



: 10 %



5) Tanjakan merugikan maksimum



:8%



6) Jari-jari belokan minimum



: 50 – 60 m



7) Kapasitas muatan maksimum



: 60 ton



c. Jalan cabang dengan perkerasan: 1) Umur



: 3 tahun



2) sifat



: Segala cuaca



3) Lebar jalan berikut bahu



:8m



4) Lebar permukaan yang diperkeras



:4m



5) Tebal pengerasan



: 10 – 20 m



6) Tanjakan menguntungkan maksimum



: 12 %



7) Tanjakan merugikan maksimum



: 10 %



8) Jari-jari belokan minimum



: 50 m



9) Kapasitas muatan maksimum



: 60 ton



31   



d. Jalan cabang tanpa perkerasan: 1) Umur



: 1 tahun



2) sifat



: musim kering



3) Lebar jalan berikut bahu



:8m



4) Tanjakan menguntungkan maksimum



: 12 %



5) Tanjakan merugikan maksimum



: 10 %



6) Jari-jari belokan minimum



: 50 m



7) Kapasitas muatan maksimum



: 60 ton



Dalam rangka pengelolaan hutan lestari yang permanen, jalan-jalan hutan yang dibangun untuk kegiatan-kegiatan sepanjang daur atau siklus hendaknya jalan-jalan huatn yang bersifat permanen, yang masa hidupnya cukup panjang. Jalan-jalan hutan tersebut tidak perlu terlalu lebar, tetapi lebih diutamakan kualitas. Untuk pembukaan wilayah hutan di areal hutan alam produksi dluar jawa, standar jalan utama dan jalan cabang yang cukup baik dapat dilihat pad Tabel 5. Tabel 5. Standar Jalan Utama dan Jalan Cabang Spesifikasi



Jalan utama



¾ Lebar “ Road Right of Way” ¾ Bentuk badan jalan ¾ Jumlah jalur ¾ Lebar badan jalan ¾ Lebar bahu jalan ¾ Lebar lintasan jalan yang diperkeras ¾ Tebal perkerasan ¾ Tanjakan maksimum ¾ Radius belokan minimum



20 – 30 m



Jalan ranting 20 – 25 m



cabang/Jalan



Punggung penyu 2 10 m 1m



Punggung penyu 1 8m 1m



8m 20 – 40 cm +8, -10 50 m



6m 20 cm +10, -12 % 25 m



32   



B. Tahapan Perencanaan PWH Uraian teknik perencanaan pembukaan wilayah hutan (PWH) berikut ini cukup sederhana (hanya ada 6 tahap). Namun dituntut masukan data/informasi yang akurat dan mendetail serta kerja yang sistematis (syarat utama). Teknik perencanaan PWH ini terutama dianjurkan pada pengusahaan hutan lestari intensif (seperti hutan tanaman industry, hutan tanaman, timber estate). Di jawa dapat diterapkan di hutan jati dan hutan rimba. Mengingat luas pengusahaan hutan Jawa dan kesulitan mendapat data yang akurat dan mendetail, maka kemungkinan aplikasi tahapan perencanaan PWH tersebut masih merupakan tanda tanya besar. Tahapan perencanaan ini berdasarkan perpaduan aspek ekonomis, teknis dan ekologis, yang membedakan dari cara perencanaan PWH yang selama ini dipergunakan. Dari segi teknis, PWH ditentukan oleh persyaratan lapangan dan kepadatan lalu lintas, yang selanjutnya akan menentukan keadaan pemilihan alat PWH (jalan, lori, penyaradan dengan ski line system kabel, helicopter, sapi, dan lain-lain). Dari segi ekonomis, PWH ditentukan oleh biaya dan volume kayu yang akan dikeluarkan dari hutan. Sebagai contoh: bila PWH dengan jalan, maka PWH tersebut ditentukan oleh biaya pembuatan jalan dan pemeliharaan jalan serta volume kayu yang akan diangkut melalui jalan tersebut. Dalam hubungan tersebut diusahakan standard an kerapatan jalan yang ekonomis, yang mendatangkan mamfaat /keuntungan bersih maksimal. Dari segi ekologis, PWH harus menghindari daerah-daerah yang keadaan ekologis, PWH harus menghindari daerah-daerah yang keadaan ekologisnya labil, daerah yang dilindungi, daerah rawan erosi, penggalian dan penimbunan tanah yang banyak dan tidak seimbang dan kerusakan pemandangan Tahapan perencanaan PWH ini mengikuti skema berikut:



33   







Tahap 1



Pengumpulan  data/informasi penting 



2



3



Peletakan titik‐titik  (zona) kardinal



4



Perencanaan  alternative koridor  PWH 



5



Penggambaran  alternative  rencana jaringan  jalan 







Pemilihan  alternative PWH  yang optimal 



Pembatasan satuan  wilayah perencanaan 



: Pengumpulan data/informasi penting



Data/informasi terpenting meliputi : ¾ Peta keadaan hutan, skala 1 : 10.000, 1 : 20.000 ¾ Hasil Inventarisasi dan perencanaan pengusahaan hutan. ¾ Peta Topografi, skala 1 : 10.000, 1 : 20.000 ¾ Klasifikasi lapangan. ¾ Peta keadaan/situasi tempat. ¾ Peta geologi. ¾ Peta tanah. ¾ Peta keadaan jaringan jalan (PWH) status quo. ¾ Keadaan ekologi (rencana peruntukan fungsi hutan). ¾ Potret udara. 34   



¾ Peraturan-peraturan PWH (misalnya standar teknik pembuatan jalan). ¾ Biaya eksploitasi hutan dan harga kayu.



Tahap 2



: Pembatasan satuan wilayah perencanaan.



Satuan wilayah perencanaan berarti suatu wilayah hutan, dimana perencanaan jaringan jalannya tidak tergantung dari wilayah yang berada di sekitarnya. Pada umumnya satuan wilayah perencanaan dibatasi oleh: ¾ Sungai. ¾ Topografi yang curam (gunung, lembah). ¾ Tata guna lahan (lahan pertanian, lahan hutan dan lain-lain). ¾ Lalu lintas umum (jalan, jalan rel) ¾ Status pemilihan hutan. Pembatasan wilayah satuan perencanaan mula-mula dilakukan di atas peta berdasarkan informasi yang ada, kemudian diadakan pengecekan dan pembetulan-pembetulan di lapangan.



Tahap 3



: Peletakan titik-titik cardinal



Berdasarkan informasi yang ada dan studi peta serta pengenalan lapangan yang intensif, dilakukan peletakan titik-titik (zone) cardinal, yang dibedakan atas: ¾ Daerah yang harus dibuka (prioritas pertama) dan daerah yang dapat dibuka (prioritas kedua) = titik-titik (zone) cardinal positif. ¾ Daerah yang harus dihindari (prioritas pertama) dan daerah yang bila dimungkinkan sebaiknya dihindari (prioritas kedua) = titik-titik (zone) cardinal negative. Titik-titik cardinal positif dapat berupa: ¾ Tempat hubungan dengan jalan umum atau jalan hutan yang ada. ¾ Dari segi teknis daerah tersebut menguntungkan untuk pembuatan jalan. ¾ Dekat dengan bahan-bahan untuk pembuatan jalan. ¾ Tempat yang strategis untuk membangun jembatan. 35   



¾ Tempat yang strategis untuk melihat kesekelilingnya. Titik-titik (zone) cardinal negative berupa: ¾ Daerah tidak produksi. ¾ Daerah rawa, tanah lembek (paya). ¾ Daerah yang dilindungi. ¾ Daerah milik orang lain. Semua titik-titik cardinal digambarkan di atas peta, tidak perduli titik-titik tersebut relevan atau tidak dengan perencanaan PWH. Karena yang menjadi tujuan peletakan titik-titik cardinal ini adalah mempermudah langkah perencanan lebih lanjut dari segi teknis, ekonomis, silvikultur dan ekologis.



Tahap 4



: Perencanaan alternative koridor PWH



Setelah peletakan titik-titik cardinal selesai, perencanaan koridor PWH dapat dimulai. Koridor PWH didapatkan dengan menghubungkan titik-titik cardinal positif yang berdekatan sedemikian rupa, sehingga titik-titik cardinal positif dilewati (dimamfaatkan), sedangkan titik-titik (zone) cardinal negative dihindari. Pada daerah curam dianjurkan antara dua titik-titik cardinal positif yang berjauhan dilletakkan titik-titik antara, yang nanti akan mempermudah pencarian trase jalan. Perencanaan koridor



PWH ini pertama-tama dilakukan di atas peta,



kemudian dikoreksi dan diuji kemungkinan realitasinya di lapangan. Lebar koridor dapat berkisar antara 50 – 100 m. Tahap 5



: Penggambaran alternative rencana jaringan jalan



Pencarian trase jalan di dalam koridor dilakukan dengan memperhatikan peraturan teknis pembuatan jalan (misalnya tanjakan tidak boleh lebih besar dari 15 % dan diameter belokan minimum di tanah datar 50 m dan di daerah pegunungan 20 m dan lain-lain). Setelah penggambaran di peta selesai, diteruskan dengan pengecekan, pembetulan dan pemancangan trase jalan di lapangan.



36   



Tahap 6



: Pemilihan alternative PWH yang optimal



Pemilihan alternative pwh yang optimal dapat dilakukan berdasarkan skema sebagai berikut: Sistem tujuan PWH 



Perencanaan  Alternatif 



Pemberian Nilai  Alternatif‐alternatif  PWH 



Pengambilan  Keputusan 



Tujuan‐tujuan  Moneter 



Tujuan‐tujuan non  moneter 



Alternatif‐alternatif  A1     A2    A3 A4 A5 



Perbandingan Alternatif  Perhitungan  Biaya Investasi 



Analisi Nilai  Mamfaat 



Perbandingan Nilai Kriteria‐ kriteria Pemutus 



37   



BAB V. PERENCANAAN TRACE JALAN A. Tikungan/Belokan (Curve) Rute jalan hutan sebahagian besar biasanya mengikuti keadaan daerahnya, menelusuri sejajar kelerengannya,jadi boleh dikatakan tergantung keadaan/bentuk kelerengannya. Tetapi, seperti diketahui bahwa kelerengan hutan itu tidak selalu bersambungan, maka untuk mengikuti terus kelerengan hutan itu tidak selalu bersambungan, maka untuk mengikuti terus kelerengan tersebut tentu akan mengakibatkan jalan sangat panjang dan akhirnya, tidak ekonomis. Dengan dasar pemikiran ini, dipandang perlu sekali-sekali, jalan itu melintasi baik lembah ataupun puncak bukit, apabila ternyata hal ini menyebabkan jalan terlalu terjal, maka pada lembah yang dilalui perlu dilaksanakan pengurungan yang bahan urugannya diperoleh dari puncak bukit yang dipotong/digali karena terlalu tinggi. Seandainya, galian dan urugan ini senantiasa dilaksanakan manakala jalan akan melewati daerah yang sukar, maka logikanya biaya pembuatan jalan akan lebih murah karena jalan cenderungnya



lurus;



makin



pendek



jalan



dibuat,



makin



murah



biaya



pembuatannya. Tetapi, tentu saja tidak demikian halnya; ada suatu daerah yang sangat sukar untuk diurug (misal rawa) dan ada pula yang sangat sukar digali ( misal gunung batu), maka ditempat inilah perlu dibuat belokan menghindarkan daerah “jelek” tersebut. Sopir/pengemudi,



mempunyai



kecenderungan



menjalankan



kendaraannya sangat cepat pada jalan yang lurus dan baik, ada pula kecenderungan mengantuk apabila mengemudi secara monoton, tentu saja kedua hal diatas mengundang kemungkinan terjadi kecelakaan yang bukan saja membahayakan diri pengemudi itu sendiri juga dapat membahayakan orang lain/kendaraan



lain.



Dengan



pertimbangan



kedua



hal



tersebut,



maka



belokan/tikungan dapat diartikan juga berfungsi sebagai tempat memperlambat 38   



kendaraan dan tempat “kejutan” untuk menarik perhatian sopir sehingga dapat menghilangkan kantuknya. Tikungan, merupakan suatu busur lingkaran untuk menghilangkan tajamnya sudut pertemuan antara dua garis lurus. Titik pertemuan antara dua garis lurus di lapangan, ada yang bisa dicapai dan ada yang tidak. Titik yang bisa dicapai



dilapangan



sangat



mempermudah



pembuatan



busur



lingkaran



tikungannya karena dengan membagi dua sama besar sudut yang terbentuk dan menarik garis baginya, pada garis inilah terletak titik pusat lingkaran dengan jarijari yang sangat bervariasi besarnya. Titik temu yang tidak dapat dicapai di langan, ini terjadi karena keadaan wilayahnya, misalnya terdapat rawa luas atau bukit yang sukar didaki. Tergantung kepada kondisi tempat dimana tikungan harus dibuat dan tajamnya sudut yang terbentuk oleh perpotongan dua garis lurus tadi, maka secara garis besar tikungan dapat dibedakan menjadi dua macam: ¾ Tikungan di dalam; manakala busur lingkaran menyingggung dua garis lurus pembentuk tikungan itu. ¾ Tikungan di luar; terbentuk manakala kondisi tempat itu tidak mengijinkan dibuat tikungan dalam atau ternyata kalaupun bisa, jari-jari (radius-R)nya terlalu kecil. Pembuatan tikungan/belokan (curve) harus direncanakan sesuai dengan keperluan pemakai tikungan tersebut, yaitu menjamin keselamatannya. Terdapat tiga masalah yang perlu diperhatikan pada saat menikung: a. Kestabilan kendaraan pada saat menikung. b. Jarak pandang di tikungan. c. Kemampuan kendaraan/pengemudi menghadapi tikungan.



39   



Gambar 20. Tikungan dengan titik temu bisa dicapai. Gambar 21. Tikungan dengan titik temu tidak dapat dicapai. Selain perlu mempertimbangkan ke tiga factor tersebut diatas, perlu dipertimbangkan pula keadaan yang memaksa pada suatu tikungan dibuat tanajkan atau turunan,maka disini, selain gaya sentrifugal yang bekerja, juga gaya grafitasi, yang mempengaruhi kestabilan kendaraan. Gambar 22. Tikunga di dalam. Titik P3,P4 dst. Merupakan titk potong dua garis lurus (intersection point- IP), B = permulaan tikungan, E = akhir tikungan. Gambar 23. Tikungan di luar, untuk menghindarkan tajamnya tikungan Untuk menghindarkan terlalu terjalnya jalan hutan, maka diambil kebijaksanaan, jalan dibuat mengikuti/menyusuri garis kontur (gambar 24). Walaupun konsekuensinya banyak tikungan harus dibuat. Gambar 24. Jaringan jalan hutan mengikuti garis kontur, jalan relative datar. Kestabilan kendaraan pada saat menikung: Pada gerakan menikung, kendaraan tunduk kepada pengaruh gaya sentrifugal. Kestabilannya dicerminkan oleh tetap tinggalnya kendaraan tersebut diatas jalan tanpa slip. Setiap pengemudi mempunyai pengalaman bahwa ada kecenderungan kendaraan tergelincir keluar ketika kendaraannya berlari kencang pada tikungan tajam. Kecenderungan ini makin besar dengan semakin kecilnya radius tikungan dan licinnya jalan. Untuk mengatasi masalah ini, untuk menambah kestabilan kendaraan, pada setiap lingkungan diberikan ketinggian yang berbeda, bagian yang lebih rendah (miring) terletak di bagian dalam



tikungan dan diberikan



tambahan ketinggian atau tambak di sisi luarnya. Pada kecepatan rendah, radius minimum dari tikungan sama besar dengan jari-jari terluar kendaraan ketika menikung. untuk kendaraan yang panjang seperti truk, trailer dan semacamnya, radius ini antara 15 dan 20 meter. Tetapi untuk menghindarkan pengereman yang tiba-tiba dari kendaraan yang berat hendaknya radius minimum ini jauh lebih besar dari jari-jari lingkaran luar kendaraan tersebut. Panjang radius ini merupakan kompromi dari dua hal: Radius yang pendek mengakibatkan kesulitan bagi kendaraan yang bersangkutan, sedang radius yang panjang memerlukan biaya yang lebih tinggi dalam hal pembuatannya. namun demikian, 40   



secara umum kiranya dapat diberikan gambaran dari keperluan panjang radius, seperti berikut: Radius normal meter Radius minimum Pada daerah yang hampir rata pada daerah yang tidak rata



100



40 40



20



Radius kurang dari 300 meter, tikungan perlu diberi tanggul di sebelah tepi luarnya. Hendaknya dimiringkan kearah dalam tikungan, makin kecil radiusnya, makin miring tikungannya terutama pada jalan yang licin. Jarak Pandang Setiap pengemudi tahu, bahwa terdapat kehilangan waktu yang sangat prinsip pada waktu menikung, akibat harus memperhatikan situasi di muka lalu memperlambat kendaraan bahkan kadang-kadang harus berhenti. Kehilangan waktu ini bervariasi antara ½ - 2 detik. Jarak dari tempat dimana pengemudi dapat melihat keadaan di sebelah muka sebelum terlindung tikungan, disebut Sight Distance. Setelah mengetahui keadaan di muka bumi dan ternyata dianggap perlu untuk berhenti demi keselamatannya atau keselamatan kendaraan lawannya, maka tempat berhenti ini disebut Stopping Distance. Dari hasil penelitian, ditinjau dari segi keamanan lalu lintas, maka ditentukan bahwa sight distance jaraknya dua kali lipat stopping distance. Ini diperoleh berdasarkan pertimbangan/kompromi: ketinggian pandang pengemudi diatas tanah/rintangan, kecepatan kendaraan tatkala menikung, daya cengkeram permukaan jalan terhadap roda/ban dan bilamana perlu untuk menambah jarak pandang, khusunya pada tikungan dengan radius kecil, menghilangkan ketinggian rintangan itu (lihat Gambar 25). Rintangan itu seringkali berupa vegetasi atau tonjolan. Menghilangkan tonjolan atau menebas vegetasi tersebut, tidak perlu sampai serat carriageway, cukup member kemungkinan kepada pengemudi diatas kendaraannya, bebas memandang ke muka, katakana ketinggiannya, 1 – 1,25 meter diatas pusat carriageway, ini dinamakn Berm of Visibility. Jarak pandang (sight distance) minimum harus memenuhi/berlaku 41   



kendatipun pada tikungan dengan radius kecil dan atau kendaraan berjalan lambat. Tabel berikut menggambarkan jarak pandang yang diperlukan pada kecepatan kendaraan maksimum: Tabel 2. Jarak Sight Distance pada kecepatan maksimum. Permasalahan, baru terasa manakala kendaraan berpapasan, karena lalu lintas di jalan hutan relative sedikit, maka ada kecenderungan, berlari cukup kencang sementara menikung, pada hal tikungan terhalang bukit yang sukar umtuk diadakan pemotongan. Pada bagian ini lebih baik dibuat dua jalur lalu lintas yang dipisahkan dengan pemasangan tonggak-tonggak setinggi 1 – 1,5 meter dengan diameter 8 – 15 meter cm. (gambar 26). Gambar 25. Visibility of Berm (tanda panah) pada tikungan tajam. Gambar 26. Irisan melintang jalan pada puncak bukit, dengan tonggak-tonggak pemisah jalur di tikungan. Tanda panah pada kiri atas menyatakan permukaan tanah asal. Gambar 27. Jalan lalu lintas dua jalur pada tikungan dengan ketinggian/elevasi yang berbeda. Apabila ternyata untuk menyelenggarakan pemotongan bukit itu terlalu berat, missal berbatu, untuk menambah jarak pandang dapat dipasang cermin cembung besar (curve mirror) pada tikungan sebelah luar, sehingga pengemudi dapat melihat bebas kemuka. Kalau keadaan lapangan memerlukan tikungan dengan radius yang kecil (kurang dari 50 meter) di suatu lereng yang curam,lebih dari 80 %, untuk bagian jalan termasuk daerah galian dan urugan, terkadang lebih mudah dan lebih murah membangun jalan dua jalur disbanding satu jalur untuk jarak yang sama, selain itu juga akan lebih baik dalam hal drainase



(Gambar 27).



Kendaraan gandengan seperti logging truk dengan semi trailer, mendapat kesukaran dalam menghadapi tikungan dengan radius kecil. Ketika arah roda depan berpindah, maka ternyata roda belakang terlempar ke samping jalur semula. Kendaraan, pada saat menikung, mengambil tempat lebih lebar dari 42   



lebar kendaraannya sendiri. Sehubungan denga itu, kiranya dianggap perlu merencanakan membuat pelebaran pada samping kiri kanan jalan di tikungan, atau cukup hanya sebelah dalam tikungan saja. Pelebaran tikungan ini makin mengecil sesuai dengan makin jauhnya jalan meninggalkan tikungan (lihat gambar 28).



Tabel berikut,memberikan gambarn tentang



pelebaran tikungan yang bervariasi sesuai dengan perbedaan besarnya jari-jari tikungan. Tabel 3. Perencanaan Penambahan Lebar pada Tikungan. Namun demikian, ada beberapa daerah khusus dimana tikungan tidak diperkenankan walaupun sebenarnya didaerah itu menghendakinya, seperti misalnya,di tempat pengurungan, arti kata tempat tersebut sangat lemah kondisinya dan pada persimpangan/pertemuan dengan main roads. Demikian pula apabila suatu saat ternyata jalan harus melintasi sungai, pada lintasan ini, kendatipun jalan perlu menikung untuk beberapa saat harus lurus (Gambar 29). Gambar 28. Pelebaran bertahap pada tikungan. Gambar 29. Tikungan ketika menghampiri jembatan. Pembuatan Belokan/Tikungan Seperti telah diuraikan terdahulu, bahwa tikungan adalah merupakan “pengumpulan” dudut belok sebagai hasil pertemuan dua garis (jalan) lurus. Belokan ini terbentuk dari busur lingkaran yang ditarik melalui garis bagi sudut tersebut. Dengan adanya belokan ini perpindahan arah kendaraan dari satu arah ke arah lainnya dapat berjalan lancer, tidak terpatah. Secara umum, bentuk belokan kiranya dapat digambarkan seperti berikut: Dari busur lingkaran ini akan ditentukan titik-titik dengan jumlah yang cukup, hingga letak busur itu di lapangan dapat dilihat dengan jelas. Di lapangan harus ditentukan lebih dahulu dengan piket, dua garis yang lurus yang dihubungkan dengan busur lingkaran misalnya garis-garis AB dan CD, selanjutnya harus diketahui pula jari-jari R lingkaran yang bersangkutan.



43   



Lebih dahulu akan ditentukan letak titik-titik utama busur lingkaran yang terdiri: a. Titik-titik awal dan akhir busur lingkaran yang terletak pada dua garis AB dan CD, titik-titik ini dinamakan titik Tangent T1 dan T2 , merupakan titik singgung garis AB dan CD pada lingkaran. b. Titik tengah M dari busur T1 T2. c. Titik P sebagai pusat lingkaran dan titik S sebagai titik potong garis AB dan CD. Titik-titik lain pada busur lingkaran yang diperlukan untuk menentukan letak busur lingkaran di lapangan, dinamakan titik-titik detail belokan. Titik P tidak dinyatakan di lapangan karena itu tidak dapat digunakan. Untuk dapat menentukan titik-titik yang terletak diatas busur lingkaran cukuplah bila telah diketahui dua garis AB dan CD yang dinyatakan oleh piket-piket A, B, C, D, dan jari-jari R busur lingkaran yang dikehendaki, karena jari-jari R ditentukan pada jalan untuk hubungannya dengan kecepatan kendaraan pada saat membelok, demikian pula R untuk saluran air dapat mempengaruhi kecepatan derasnya air (lihat pipa pertamina). Titik-titik Tangent T1 dan T2 ditentukan dengan jaraknya dari titik S. Karena sudut T1 SP = ½α, maka sudut T1 PS = ½β = 90ο - ½α, maka ST1 = ST2 = R tg ½β. Titik tengah M dapat ditentukan dengan melalui perhitungan jarak: Sm



= SP – PM = =r



¼ ½



X



½ ¼ ¼



-r=r



½ ½



= r tg½β tg¼β



Selanjutnya buatlah di garis SP sejarak SM sebesar r tg½β tg¼β, maka didapat tempat titik M. Sebagai control, titik M dapat juga dicari dengan cara sebagai berikut: Proyeksikan titik M pada garis SA dan SC, yaitu M1 dan M2; maka SM1= SM2 = SM sin ½β dan MM1 = MM2 = T1N = PT1 – PN = r – r cos ½β = r(1 – cos ½β) = 2r sin2¼β



44   



Buatlah pada garis SA dan SC jarak-jarak SM1 = SM2 = SM sin½β; maka didapat tempat M1 dan M2 garis tegak lurus pada SA dan SC sepanjang M1M yang sama dengan M2M = 2r sin2¼β, maka didapat titik M, yang apabila dihimpitkan dengan titik M yang terdahulu, akan berimpit. Contoh soal: Dua buah garis membentuk sudut α sebesar 112ο 42’ 36”, harus dibuat belokan dengan jari-jari r = 180 m. Tentukan titik-titik utama belokan tersebut. Sudut α = 112ο 42’ 36”, maka ½α = 56ο 21’ 18” Sudut β = 360ο – (180ο +