Refer at [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

2.4 CARA PEMBERIAN DAN JENIS CAIRAN 2.4.1 CARA PEMBERIAN Metode pemberian cairan intravena pertama kali dipresentasikan oleh Holliday dan Segar. Temuannya dipublikasikan pada tahun 1957. Temuan dari Holliday dan Segar sangat fenomenal sampai sekarang, oleh karena itu formula cairan rumatan pada anak yang masih digunakan sampai sekarang adalah formula yang ditemukan oleh Holliday dan Segar. Point penting yang sering terlupakan oleh para klinisi dalam memberikan terapi cairan adalah melupakan jumlah cairan yang mampu diminum oleh pasien. Keadaan overload cairan biasa terjadi oleh karena dokter hanya memperkirakan jumlah cairan yang diminum pasien anak sesuai dengan kemampuannya, sedangkan pasien juga mendapat cairan intravena atau infus (Bailey AG, 2010). Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu : 1. Resusitasi cairan Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh, sehingga seringkali dapat menyebabkan syok. Terapi ini ditujukan pula untuk ekspansi cepat dari cairan intravaskuler dan memperbaiki perfusi jaringan. 2. Terapi rumatan Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi yang diperlukan oleh tubuh.



Hal ini digambarkan dalam diagram berikut :



Terapi cairan



Resusitasi



Kristaloid



Rumatan



Koloid



Elektrolit



Nutrisi



Prinsip pemilihan cairan dimaksudkan untuk : -



Mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melalui urine, IWL, dan feses.



-



Membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil



Pada penggantian cairan, maka jenis cairan yang digunakan didasarkan pada: -



Cairan pemeliharaan (jumlah cairan yang dibutuhkan selama 24 jam)



-



Cairan defisit (jumlah kekurangan cairan yang terjadi)



-



Cairan pengganti (replacement)



Pada keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan tanda gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan cairan yang lambat, lebih dapat ditoleransi sampai defisit volume cairan ekstraseluler yang berat. Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik ( 20 kg



Jumlah Cairan 100 ml/kg/hari 1000 ml + 50 ml/kg/hari untuk setiap kg di atas 10 kg 1500 ml + 20 ml/kg/hari untuk setiap kg di atas 20 kg



Tabel 2.1 Rumatan Cairan menurut rumus Hollyday-Segar (Pinnock, et al., 1999).



Cairan rehidrasi yaitu hitung cairan dan elektrolit total (rumatan + pengganti defisit) untuk 24 jam pertama. Berikan setengahnya dalam 8 jam pertama dan selebihnya dalam 16 berikutnya. 2.4.2 JENIS CAIRAN 2.4.2.1 Cairan Kristaloid Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik dilarutkan dalam air. Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik, maupun hipertonik. Cairan kirstaloid memiliki keuntungan antara lain : aman, nontoksik, bebas reaksi, dan murah. Adapun kerugian dari cairan kristaloid yang hipotonik dan isotonic adalah kemampuannya terbatas untuk tetap berada dalam ruang intravaskular. (Aitkenhead, et al., 2007) Cairan kristaloid dapat berisi berbagai macam kation inorganic seperti K+, Ca++, dan Mg++ serta anion organic seperti laktat, asetat, glukonat atau bikarbonat. Kadar Na+, Cl-, dan K+ berbeda-beda tergantung pada jenis cairan kristaloidnya. Pada beberapa literatur disebutkan bahwa dalam pemakaian cairan kristaloid kita harus berhati-hati dikarenakan sifatnya yang mudah menerobos membrane endotel pembuluh darah sehingga dapat memudahkan terjadinya edema. Beberapa pengalaman klinis mendapati pemakaian cairan kristaloid yang berlebihan justru merangsang terjadinya edema cerebri. (Bailey AG, dkk., 2010) Jenis cairan kristaloid terdiri atas: 1. Kristaloid isotonik: a. NaCl 0,9% b. Ringer laktat



c. Ringer asetat d. Ringer asetat malat 2. Kristaloid hipotonik: a. D5% b. NaCl 0,45% c. NaCl 0,33% d. D5% + NaCl 0,255% e. KaN3B 3. Kristaloid hipertonik: a. NaCl 3%



Solution



Glucose (mg/dL)



5% Dextrose in water D5 ½ NS D5 NS 0,9% NaCl Ringer Laktat D5 RL 5% NaCl



5000



5000 5000



5000



Sodium Chloride (mEq/L) (mEq/L)



Potassium (mEq/L)



Kalsium (mEq/L)



Lactate (mEq/L)



(mOsmol/L) 253



77 154 154 130



77 154 154 109



130 855



109 855



4.0



3.0



28



4.0



3.0



28



406 561 308 273 525 1171



Tabel 2.2 Komposisi ciran kristaloid (Aitkenhead, et al., 2007)



2.4.2.2 Cairan Koloid Sedangkan untuk cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang intravaskular. (Aitkenhead, et al., 2007)



Koloid dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif dan efisien daripada kristaloid, karena larutan koloid mengekspansikan volume vaskuler dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya ¼ bagian tetap tinggal dalam plasma pada akhri infus. Koloid adalah cairan yang mengandung partikel onkotik dan karenanya menghasilkan tekanan onkotik. Bila diberkan intravena, sebagian besar akan menetap dalam ruang intravaskular. Terminologi cairan koloid, merujuk pada cairan yang mempunyai kandungan makromolekul organic besar serta mempunyai kandungan elektrolit. Dengan ukuran molekul yang besar, beberapa ahli berasumsi bahwa cairan koloid mempunyai keuntungan berupa molekul tersebut sedikit yang dapat melewati membrane endotel. Molekul yang terkandung di dalam cairan koloid diharapkan dapat bertahan dalam rongga intravaskular lebih lama dibandingkan dengan cairan kristaloid. Dengan karakteristik tersebut maka cairan koloid sering menjadi pilihan untuk resusitasi cepat pada syok hipovelemik, serta penderita yang mengalami kehilangan banyak protein (misal luka bakar). Selain memiliki efek positif, cairan koloid juga mempunyai kelemahan yaitu mahal, sering menimbulkan alergi. Pada penggunaan Hidroxylethyl Starch (HES) sering menyebabkan koagulopati eengan mengintervensi fungsi trombosit, penurunan aktivitas fibrinogen, sehingga bukan merupakan pilihan pada resusitasi pasien anak yang mengalami trauma (Kaswiyan U, 2011). Meskipun



semua



larutan



koloid



akan



mengekspansikan



ruang



intravasuklar, namun koloid yang mempunyai tekanan onkotik lebih besar dari pada plasma akan menarik pula cairan ke dalam ruang intravaskular. Ini dikenal



sebagi ekspander plasma, sebab mengekspansikan volume plasma lebih dari pada volume yang diberikan (Pinnock, et al., 1999). Untuk macam-macam cairan koloid meliputi: 1. Albumin 2. Dekstran 3. Gelatin 4. Hydroxylethyl Starch (HES)



2.4.2.3 Cairan Rumatan Cairan rumatan adalah kebutuhan cairan untuk mengganti kehilangan cairan tubuh sehari hari. Cairan rumatan pada anak sakit, mempunyai tujuan untuk mempertahankan status hidrasi anak. Status hidrasi anak, dilihat dari tiga faktor berikut: 1. Kehilangan cairan yang sedang terjadi (on going loss), seperti diare, perdarahan. 2. Kehilangan cairan yang disadari (sensible losses), seperti urine dan feses. 3. Kehilangan cairan yang tidak disadari (insensible losses), seperti keringat, cairan dari saluran pernapasan. Pada penghitungan kebutuhan cairan rumatan pada anak menggunakan formula Holliday Segar. Rumus cairan rumatan yang ditemukan oleh Holliday Segar yang sampai sekarang masih digunakan adalah: 10 kg pertama



: 100 ml/kg BB



10 kg berikutnya



: +50 ml/kg BB



>20 kg



: +20 ml/kg BB



Pada pasien-pasien yang mengalami demam, nyeri, asma, trauma luka bakar, keadaan tersebut meningkatkan kebutuhan cairan, pada keadaan demam, peningkatan suhu tubuh 1˚C di atas 38˚C, meningkatkan kebutuhan cairan sebanyak 10%. Penghitungan cairan rumatan akan lebih tepat, bila didasarkan pada penghitungan balance cairan. Cairan yang digunakan untuk rumatan antara lain; D5% - NaCl 0,9%, D5% - NaCl 0,45%, D5% - NaCl 0,225%, serta D10% NaCl 0,18% (Bailey AG, 2010).



2.5 PENGGUNAAN CAIRAN Berdasarkan penggunaannya, cairan infus dapat digolongkan menjadi 4 kelompok, yaitu: 1. Cairan pemeliharan Terapi cairan intravena untuk pemeliharaan rutin mengacu pada penyediaan IV cairan dan elektrolit untuk pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka dengan rute enteral, namun sebaliknya baik dalam hal keseimbangan cairan dan elektrolit dan penanganan (yaitu mereka yang pada dasarnya euvolemic tanpa signifikan defisit elektrolit, kerugian yang abnormal yang sedang berlangsung atau masalah redistribusi internal yang kompleks). Tujuan saat memberikan cairan perawatan rutin adalah untuk menyediakan cukup cairan dan elektrolit untuk memenuhi insensible losses (500-1000 ml). jenis cairan rumatan yang dapat digunakan adalah : NaCl 0,9%, glukosa 5%, glukosa salin, ringer laktat/aseta, NaCl 0,9% hanya untuk rumatan yang tinggi kandungan NaCl dari saluran cerna ataupun ginjal, glukosa 5% atau glukosa salin (Floss K, dkk., 2011).



Jumlah kehilangan air tubuh berbeda sesuai dengan umur, yaitu : Dewasa



1,5-2 ml/kg/jam



Anak-anak



2-4 ml/kg/jam



Bayi



4-6 ml/kg/jam



Neonates



3 ml/kg/jam



Kebutuhan cairan rumatan adalah 25-30 ml/kg/hari. Kebutuhan K, Na, dan Cl kurang lebih 1 mmol/kg/hari. Kebutuhan glukosa 50-100g/hari. Setalah cairan pemeliharaan intravena diberikan, monitor dan lakukan penilaian ulang pada pasien. Hentikan cairan intravena jika tidak ada indikasi yang tepat. Cairan nasogastrium atau makanan enternal lebih dipilih untuk kebutuhan pemeliharaan lebih dari 3 hari (Hines RL, dkk., 2013). 2. Cairan pengganti Banyak pasien yang membutuhkan cairan intravena memiliki kebutuhan spesifik untuk menutupi penggantian dari defisit cairan atau kehilangan cairan atau elektrolit serta permasalahan redistribusi cairan internal yang sedang berlangsung, sehingga harus dihitung untuk pemilihan cairan intravena yang optimal. Cairan dan elektrolit intravena pengganti dibutuhkan untuk menangani defisit yang ada atau kehilangan yang tidak normal yang sedang berlangsung, biasanya dari saluran pencernaan atau saluran kencing. Secara umum, terapi cairan intravena untuk penggantian harus bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekstra dari cairan dan elektrolit seperti kebutuhan pemeliharaan, sehingga homeostasis dapat kembali dan terjaga (Agro FE, dkk., 2013). Lakukan penilaian cairan dan elektrolit pasien dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, monitor klinis, dan pemeriksaan laboratorium. Cari defisit, kehilangan yang sedang berlangsung, distribusi yang tidak normal atau permasalah kompleks lainnya. Periksa kehilangan yang sedang berlangsung dan



perkirakan jumlahnya dengan mengecek untuk muntah dan kehilangan NGT, diare, kehilangan darah yang berlangsung. Periksa redistribusi dan masalah kompleks lainnya dengan memeriksa pembengkakan, sepsis berat dan lainnya. Berikan tambahan cairan dari kebutuhan pemeliharaan rutin, mengatur sumbersumber cairan dan elektrolit yang lain. Monitor dan periksa ulang pasien setelah meresepkan (Agro FE, dkk., 2013).



3. Cairan untuk Tujuan Khusus Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya natrium bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas, untuk tujuan koreksi khusus terhadap gangguan keseimbangan elektrolit (Agro FE, dkk., 2013). 4. Cairan Nutrisi Cairan nutrisi biasanya digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien yang tidak mau makan, tidak boleh makan dan tidak bias makan peroral. Jenis cairan nutrisi parenteral pada saat ini sudah dalam berbagai komposisi baik untuk parenteral parsial atau total maupaun untuk kasus penyakit tertentu (Braga M, dkk., 2009).



DAFTAR PUSTAKA



1. Guyton, A. Kompartemen Cairan Tubuh: Cairan Ekstraseluler dan Intraseluler. Dalam: Buku ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta: EGC; 1997. hal 375-7. 2. Latief, AS, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi : Terapi Cairan Pada Pembedahan. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI. 2002. 3. Pinnock, Colin, et al. Fundamentals of Anaaesthesia. GMM. 1999. 4. Graber, MA. Terapi Cairan, Elektrolit, dan Metabolik. Edisi 2. Jakarta: Farmedia. 2003. 5. Aitkenhead, Alan R, et al. Textbook of Anaethesia. Fifth Edition. United Kingdom : Churchill Livingstone. 2007. 6. Stoelting, Robert K, and Ronald D. miller. Basics of Anesthesia. Fifth edition. California : Churchill Livingstone. 2007. 7. Evers, AS, and Mervyn Maze. Anesthetic Pharmacology: Physiologic Principles and Clinical Practice. United Kingdom : Churchill Livingstone. 2004. 8. Morgan, GE, et al. Clinical Aneshesiology : Fluid Management and Transfusion. Third Edition. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill. 2002. 9. Lyon Lee. Resuscitation Fluids, Disorder of Fluid and Electrolyte Balance. Oklahoma State University – Center for Veterinary Health. 2006. Tersedia dari ; http://member.tripod.com/-lyser/ivfs.htm 10. Bailey AG, McNaull PP, Jooste E, Tuchman JB. “Perioperative Crystalloid and Colloid Fluid Management in Children: Where Are We and How Did We Get Here?” Pediathric Anesthesiology. 2010;110(2):375-90 11. Kaswiyan U. “Resusitasi Cairan Pada Trauma Pediatri”. 6th Annual Meeting Indonesian Symphosium Pediatric Anesthesia And Critical Care Comfort Anesthesia for Children. Surabaya. 2011;p.37-35. 12. Lira A, Pinsky MR. “Choices in fluid type and volume during resuscitation: impact om patient outcomes”. Annals of Intensive Care. 2014;4(38):1-13. 13. Djalil D.”Tatalaksana Terapi Cairan dan Elektrolit pada Anak”. In: Bektiwibowo S, editor. Bogor Pediatric Update 2015. 73-87. Bogor: Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang Jawa Barat Perwakilan Bogor, Depok, Sukabumi. 2015. 14 Intravenous Fluid Selection [cited 2017 May 5]. Available from catalogue.pearsoned.co.uk. 2005.



15. Floss K, Borthwick M, Clark C. Intravenous fluids principles of treatment. Clinical Pharmacist Vol.3. 2011. 16. Agro FE, Fries D, Vennari M. Body Fluid Management From Physiology to Therapy. Verlag Italia: Springer. 2013. 17. Hines RL, Marschall KE. Fluid, Electrolytes, and Acid-Base Disorders. Dalam Handbook for Stoelting’s Anesthesia and Co-Existing Disease 4th ed. Philadelphia: Elsevier Inc. 2013; 18: h.216 – 230. 18. Braga M, Ljungqvist O, Soeters P, et al: ESPEN Guidelines on Parenteral Nutrition: surgery. Clin Nutr 2009;28:378. 19. Weimann A, Braga M, Harsanyi L, et al: ESPEN Guidelines on Enteral Nutrition: surgery including organ transplantation. Clin Nutr 2006;25:224.