Referat Ilmu Anestesi Pre Operative Visite, Persiapan Anestesi, Premedikasi, Ruang Pulih Sadar [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT ILMU ANESTESI PRE OPERATIVE VISITE, PERSIAPAN ANESTESI, PREMEDIKASI, RUANG PULIH SADAR



Pembimbing dr. Subagja Nata Atmaja, Sp. An



Penyusun: Novelis Triwikarno



2016.04.2.0127



Noviana Ingmiati Tjung



2016.04.2.0128



Nur Hidayanti



2016.04.2.0129



Nurul Firdausi Paramaiswari



2016.04.2.0130



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH RSAL dr. RAMELAN SURABAYA 2015



LEMBAR PENGESAHAN



Telah disahkan referat ilmu anestesi yang berjudul “Pre Operative Visite, Persiapan Anestesi, Premedikasi, Ruang Pulih Sadar” yang digunakan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti tugas kepaniteraan di Departemen Ilmu Anestesi RSAL dr. Ramelan Surabaya. Penyusun: Novelis Triwikarno



2016.04.2.0127



Noviana Ingmiati Tjung



2016.04.2.0128



Nur Hidayanti



2016.04.2.0129



Nurul Firdausi Paramaiswari



2016.04.2.0130



Disahkan oleh : Pembimbing



dr. Subagja Nata Atmaja, Sp. An



DAFTAR ISI



LEMBAR PENGESAHAN............................................................................. DAFTAR ISI.................................................................................................. BAB I ……………………………………………………………………............. BAB 2 ........................................................................................................... 2.1



Pre Operative Visite........................................................................... 2.1.1 Pendahuluan................................................................................ 2.1.2 Anamnesa.................................................................................... 2.1.3 Pemeriksaan fisik......................................................................... 2.1.4 Pemeriksaan laboratorium...........................................................



2.2



Persiapan Anestesi..........................................................................



2.3



Premedikasi...................................................................................... 2.3.1 Tujuan Premedikasi................................................................... 2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat........................... 2.3.3 Obat-obat premedikasi..............................................................



2.4



Ruang Pulih Sadar...........................................................................



BAB III........................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA...................................................................................



BAB I PENDAHULUAN Anestesi berasal dari bahasa Yunani “a” artinya tanpa, dan “aesthesis” adalah rasa, sensasi. Menurut Oliver Wendell Holmes kata anestesia adalah menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara



oleh



karena



pemberian



obat



dengan



tujuan



untuk



menghilangkan nyeri pembedahan. Sedangkan Anestesiologi sendiri adalah ilmu kedokteran yang awalnya untuk menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama dan sesudah pembedahan. Dan Analgesia adalah pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien. Definisi anestesi oleh The American Board of Anesthesiology tahun 1989 yaitu mencakup semua kegiatan profesi atau praktek, meliputi : 1. Menilai, merancang dan menyiapkan pasien untuk anestesi. 2. Membantu pasien menghilangkan nyeri pada saat pembedahan, persalinan



atau



pada



saat



dilakukan



tindakan



diagnostik –



terapeutik. 3. Memantau dan memperbaiki homeostatis pasien perioperatif dan pada pasien yang keadaan kritis. 4. Mendiagnosa dan mengobati sindroma nyeri. 5. Mengelola dan mengajarkan Resusitasi Jantung Paru (RJP). 6. Membuat evaluasi fungsi pernafasan dan mengobati gangguan pernafasan. 7. Mengajarkan, memberi supervisi dan mengadakan evaluasi tentang penampilan



personel



paramedik



dalam



bidang



anestesia,



perawatan pernafasan dan perawatan pasien dalam keadaan kritis. 8. Mengadakan penelitian tentang ilmu dasar dan ilmu klinik untuk menjelaskan dan memperbaiki perawatan pasien terutama tentang fungsi fisiologi dan respon terhadap obat. 9. Melibatkan diri dalam administrasi RS, pendidikan kedokteran dan fasilitas



rawat



jalan



yang



diperlukan



untuk



implementasi



pertanggungjawaban. Sebelum dilakukan anestesi harus melewati beberapa tahapan,



1



yaitu mulai pre operatif visite, persiapan anestesi, premedikasi dan ruang pulih sadar. Secara garis besar persiapan pra anestesi dibagi menjadi dua, yaitu pre-operative visite dan premedikasi. Dokter anestesi harus dapat menilai dan melakukan persiapan dalam waktu singkat pada operasi darurat, karena penundaan operasi dapat berakibat buruk bagi pasien dan keluarganya. Pemberian anestesi pada pembedahan dapat menyebabkan keadaan yang mengancam jiwa oleh karena gangguan jalan nafas, sirkulasi, dan fungsi otak yang dapat disebabkan oleh obat dan teknik anestesi maupun oleh karena pembedahannya. Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan harus dipersiapkan dengan baik, karena apabila persiapan kurang memadai dapat meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan anestesi.



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



2



2.1



Pre Operative Visite



2.1.1 Pendahuluan Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan factor penyumbang sebab-sebab terjadinya kecelakaan anastesia. Dokter spesialis anastesiology seyogyanya mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah, agar ia dapat menyiapkan pasien, sehingga pada waktu pasien di bedah dalam keadaan bugar. Melakukan pemeriksaan terhadap pasien yang akan dianestesi setidaknya satu hari sebelum operasi apabila tindakan perbedahan terencana atau pada waktu dikonsulkan ke ahli bedah pada waktu darurat. Setiap akan dilakukan anestesi dan pembedahan diperlukan persiapan untuk memberikan rasa nyaman pada pasien dan mencegah terjadinya kecelakaan anestesi. Kunjungan pre-operatif bertujuan untuk 1 2 3 4 5



Mengetahui riwayat anestesi dan penyakit terdahulu Membina hubungan baik dengan pasien Menjelaskan resiko anestesi pembedahan Mengadakan pengelolaan praoperative Melakukan pemeriksaan terhadap pasien baik pemeriksaan fisik



maupun pemeriksaan khusus 6 Merencanakan dan menentukan obat premedikasi, obat anestesi dan pengelolaan anestesi yang seusai dengan kondisi pasien. Pemeriksaan pre operatif dilakukan dengan melakukan anamnesa, pemeriksaan



fisik



dan



pemeriksaan



pemeriksaan preoperatif meliputi : A : Alergi M : Medical drug P : Past Ilness L : Last meal E : Exposure



3



laboratorium.



Secara



umum



2.1.2 Anamnesa Diperoleh dari data pasien (autoanamnesa) atau dari keluarga (heteroanamnesa) meliputi : a Identitas pasien (nama, umur, alamat, pekerjaan, dll) b Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain : 1) Penyakit alergi. 2) Diabetes mellitus 3) Penyakit paru kronik : asma bronchiale, pneumonia, bronchitis. 4) Penyakit jantung dan hipertensi (seperti infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis) 5) Penyakit susunan saraf (seperti stroke, kejang, parese, plegi, dll) 6) Penyakit hati 7) Penyakit ginjal. 8) Penyakit ganguan perdarahan (riwayat perdarahan memanjang) c Riwayat penyakit keluarga yang bersifat herediter. d Riwayat adanya kehamilan : pada pasien yang hamil, pemilihan anestesi harus hati-hati karena dapat berpengaruh pada janinnya. e Riwayat obat-obatan yang digunakan dan mungkin menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestesi. Riwayat obat-obat yang sedang



atau



telah



digunakan



dan



mungkin



menimbulkan



interaksi (potensiasi, sinergis, antagonis dll) dengan obat-obat anestetik. Misalnya, obat anti hipertensi, obat-obat antidiabetik, antibiotik golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung (seperti f



digitalis, diuretika), monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator. Riwayat alergi : Reaksi alergi kadang-kadang salah diartikan oleh pasien dan kurangnya dokumentasi sehingga tidak didapatkan keterangan yang memadai. Beratnya alergi mulai asimptomatik hingga reaksi anafilaktik yang mengancam kehidupan, akan tetapi seringkali alergi dilaporkan hanya karena intoleransi obat-obatan. Pada evaluasi pre operatif dicatat seluruh reaksi obat dengan penjelasan tentang kemungkinan terjadinya respon alergi yang serius, termasuk reaksi terhadap plester, sabun iodine dan lateks. Jika respon alergi terlihat, obat penyebab tidak diberikan lagi tanpa



4



tes imunologik atau diberi terapi awal dengan antihistamin, atau kortikosteroid. g Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya meliputi beberapa kali dan waktunya kapan (apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah, dll) h Riwayat sistem organ meliputi keadaan umum, pernafasan, kardiovaskuler, i



ginjal,



gastrointestinal,



hematologi,



endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi Kebiasaan buruk yang mempengaruhi anestesi



neurologi, semisalnya



merupakan : 1) Perokok berat : Perokok berat (diatas 20 batang perhari) dapat mempersulit induksi



anestesi karena



merangasang



batuk,



sekresi jalan nafas yang banyak, memicu atelektasis dan pneumonia pasca bedah. Rokok sebaiknya dihentikan minimal 24 jam sebelumnya untuk menghindari adanya CO dalam darah 2) Peminum alkohol : umumnya resisten terhadap obat- obat anestesi khususnya golongan barbiturat. Peminum alkohol dapat menderita sirosis hepatic 3) Pecandu narkoba dan penenang j Makan minum terakhir (khusus untuk operasi emergensi)



2.1.3 Pemeriksaan fisik Secara keseluruhan dilakukan pemeriksaan 6B, yaitu : I. Breath Meliputi : pemeriksaan sistem pernafasan, perhatikan frekuensi nafas, dengarkan suara nafas, gerakan dada, pasien sesak atau nyeri. Permasalahan pernafasan itu ada dua, yaitu: a Jalan nafas (airway) : bebas atau tidak 1) Disebut bebas : apabila penderita dapat bernafas dengan baik atau diberi nafas dengan mudah, suara nafas bersih dan tidak ada suara nafas tambahan 2) Disebut tidak bebas : apabila penderita memerlukan bantuan untuk bernafas a) Bantuan manual (tanpa alat) dengan triple airway manuver (Head tilt, Chin lift, Jaw thrust) b) Bantuan jalan nafas buatan (dengan alat) 5







Jalan nafas oro/ nasofaring (jangan dipaksa jika reflek muntah masih ada, untuk dewasa 7 mm atau sebesar jari



 



kelingking kanan) Laringeal Mask Airway Cricothyrotomy / trakeostomi



b Pernafasan (breathing) : penderita bernafas atau tidak 1) Bila penderita bernafas, tapi mungkin tidak memadai dapat diberikan : a) Terapi oksigen b) Bronkial toilet, yaitu dicoba batuk sendiri, tapi bila tidak mampu mengeluarkan secret lakukan dengan penghisapan intra trakeal atau bronchial c) Chest physicotherapy, yaitu latih cara menarik nafas dalam dan batuk d) Nafas buatan jangka panjang (ventilator), yaitu diberikan bila poin 1 sampai 3 gagal memberikan O2 yang memadai. 2) Bila penderita tidak bernafas a) Nafas buatan tanpa alat b) Nafas buatan dengan alat : ambu bag, jackson reese, respirator atau ventilator Selain memperhatikan jalan nafas kita juga perlu memperhatikan gangguan membuka mulut (jarak minimal 4 cm), kekakuan otot, masalah gigi (ompong, gigi palsu, gigi goyah, dll),



leher yang terlalu pendek,



kesemua itu dapat mempersulit intubasi. Untuk mengetahui apakah panjang leher cukup untuk melakukan intubasi, yaitu dengan mengukur jarak mentohyoid dengan os hyoid. Normalnya adalah 4 cm atau 7 cm. Pemeriksaan



rongga



mulut



juga



dapat



dilakukan



dengan



cara



pemeriksaan mallampati, yaitu mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan. Pemeriksaan mallampati dibagi beberapa derajat, yaitu:    



Derajat 1 : uvula terlihat semua Derajat 2 : uvula terlihat sebagian Derajat 3 : uvula tidak terlihat, hanya terlihat palatum molle Derajat 4 : hanya terlihat palatum durum



II. Blood Tekanan nadi, pengisian nadi, tekanan darah, perfusi perifer. Nilai syok atau perdarahan, Hb. Lakukan pemeriksaan jantung (ECG) 6



tentukan adanya aritmia yang berbahaya dimana segera memerlukan tindakan menilai fungsi jantung III. Brain GCS, adakah kelumpuhan saraf atau kelainan neurologis, tandatanda peningkatan TIK. Pemeriksaan tingkat kesadaran penderita dengan cara : Kualitatif (composmentis, somnolen, sopor, coma) dan Kuantitatif (GCS) IV. Bowel Pembesaran hepar. Bising usus dan peristaltik usus. cairan bebas dalam perut atau massa abdominal. Makan minum terakhir harus diperhatikan



karena



menimbulkan



efek



muntah



yang



dapat



mengakibatkan aspirasi muntah kedalam paru-paru. Perut kembung dapat menyebabkan diafragma terdorong keatas sehingga pergerakan terganggu, kemudian paru-paru terbatas bergerak sehingga menimbulkan hipoventilasi. V. Bladder Produksi urin. pemeriksaan faal ginjal yang mana secara umum akan menggambarkan hemodinamik penderita, rehidrasi dan hormonal. Pemeriksaan urine dilakukan dengan memeriksa :  Produksi urine  Serum kreatinin  BUN  Sedimen urine VI. Bone Kelainan postur tubuh, kelainan neuromuskular, patah tulang. Kelainan postur dapat mempengaruhi fungsi tubuh dan menjadi penyulit saat



anastesi.



Bentuk



tulang



belakang



yang



abnormal



dapat



mempengaruhi anatomi tubuh. Patah tulang leher terutama pada C2 dapat menyebabkan tetraplegi dan kelumpuhan otot diafragma sehingga penderita meninggal karena gangguan nafas.



2.1.4 Pemeriksaan laboratorium a. Pemeriksaan darah rutin (Hb, Leukosit, trombosit, Hematokrit) 7



b. Foto thorax : untuk bedah mayor c. EKG : untuk pasien diatas 40 tahun d. Pemeriksaan kimia klinik o Fungsi hepar (SGOT, SGPT, albumin) pada pasien ikterus o Fungsi ginjal (urine lengkap, BUN, serum kreatinin) pada pasien hipertensi o Faal hemostasis o Serum elektrolit (Na, K, Cl) o Analisa gas darah, apabila ada gangguan respirasi e. Pemeriksaan berdasarkan indikasi o Radiologi (foto thoraks,foto cervical,BOF,CT scan,USG, dll) o Laboratorium (gula darah) o EKG pada anak, Echocardiografi, treadmil test, dll Pasien



yang



akan



menjalani



anestesi



dan



pembedahan



dikategorikan dalam beberapa status fisik sesuai klasifikasi American Society of Anesthesiologist (ASA) sebagai berikut: 



ASA I: Pasien normal tanpa gangguan organ, fisiologis, biokimia maupun psikiatrik, proses patologis yang akan dilakukan operasi terbatas lokasinya dan tidak akan menyebabkan gangguan sistemik. Misalnya : Pada seorang dewasa muda sehat yang akan menjalani operasi hernia inguinalis, atau seorang wanita muda sehat dengan







myoma uteri yang akan dilakukan myomektomi. ASA II: Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan fungsional, orang tua > 60 tahun , anak < 1 tahun. Misalnya : Pasien dengan penyakit jantung organik tanpa pembatasan aktifitas atau dengan pembatasan aktifitas, direncanakan operasi hernia, pasien dengan anemia, pasien dengan umur ekstrim (neonatus/geriatrik) tanpa penyakit sistemik, obesitas, bronkitis kronis.







ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang sampai berat yang menyebabkan keterbatasan fungsi, harus selalu minum obat untuk kelangsungan hidupnya dan aktifitas sehari hari terbatas. Misalnya : Pada DM berat dengan komplikasi vaskuler, inusifiensi paru sedang sampai berat, angina pectori, infark miokard yang lama.







ASA IV: Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi.



8



Misalnya : Pasien dengan dekompensasi jantung, pasien dengan angina pektoris yang terus menerus, insufisiensi berat dari faal paru, hepar, ginjal atau endokrin. 



ASA V: Pasien yang diperkirakan tidak dapat hidup atau bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa operasi. Misalnya : shock karena perdarahan, pasien trauma kepala hebat dengan peningkatan tekanan intrakranial



Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka setiap pasien dari masing-masing kelas tersebut diatas yang mengalami pebedahan darurat dipertimbangkan menjadi dalam kondisi fisik yang lebih jelek sehingga penggolongan ASA diikuti huruf E (misalnya E1,E2,E3,E4,E5)



2.2



Persiapan Anestesi Dilakukan persiapan sebelum pasien dibawa ke ruang operasi



meliputi: a. Pembersihan dan pengosongan saluran cerna Pengosongan lambung sebelum anestesi penting untuk mencegah aspirasi isi lambung karena regurgitasi dan muntah. Oada pembedahan elektif, pengosongan lambung dilakukan dengan puasa, pasien dewasa 6-8 jam, sedangkan pasien anak 3-5 jam. Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat dilakukan lebih aktif dengan merangsang muntah, memasang pipa nasogastric atau memberi obat yang menyebabkan muntah seperti apomorphin, dll. Cara – cara ini tidak menyenangkan untuk pasien sehingga jarang sekali dilakukan. Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan pemberian antasida (magnesium trisiklat) atau antagonis reseptor H2 (cimetidine atau ranitidine). Puasa yang cukup lama pada kasus akut kadang-kadang tidak menjamin lambung kosong secara sempurna, misalnya pada stress mental yang hebat, kehamilan, rasa nyeri, atau pada pasien DM. 9



Pemberian obat pencahar umumnya diberikan pada laparotomy eksplorasi. Komplikasi penting yang harus dihindari karena puasa adalah hipoglikemia atau dehidrasi, terutama pada bayi, anak, dan pasien geriatri. b. Gigi palsu, bulu mata palsu, cincin, gelang harus ditanggalkan dan bahan kosmetik seperti lipstick, cat kuku harus dibersihkan agar tidak mengganggu pemeriksaan selama anesthesia misalnya sianosis c. Kandung kemih harus kosong, bila perlu dilakukan kateterisasi d. Untuk membersihkan jalan napas, pasien diminta untuk batuk sekuat-kuatnya dan mengeluarkan lendir jalan napas e. Penderita dimasukkan ke dalam kamar bedah dengan memakai pakaian khusus, diberikan tanda atau label, terutama untuk bayi. Periksa sekali lagi apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin pembedahan secara tertulis (Informed consent) f. Pemeriksaan fisik yang penting dapat diulangi sekali lagi di kamar operasi karena mungkin terjadi perubahan makna yang dapat menyulitkan perjalanan anestesi, misalnya hipertensi mendadak, dehidrasi, atau serangan asma akut. Pemberian obat premedikasi secara intramuskular atau oral dapat diberikan ½ - 1 jam sebelum dilakukan induksi anestesi atau beberapa menit bila diberikan secara intravena.



2.3



Premedikasi Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi



anastesia dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia.



10



2.3.1 Tujuan Premedikasi Tujuan



utama



pemberian



premedikasi



tidak



hanya



untuk



mempermudah induksi dan mengurangi jumlah obat-obatan yang akan digunakan akan tetapi terutama untuk menenangkan pasien sebagai persiapan anestesi. Tujuan dilakukannya premedikasi antara lain: a Meredakan kecemasan dan ketakutan Kunjungan pra anastesia dan pemberian simpati dengan sedikit pengertian dalam masalah yang dihadapi pasien dapat membantu pasien dalam mengatasi rasa sakit dan kawatir dalam menghadapi operasi. Obat pereda kecemasan yang dapat digunakan antara lain diazepam peroral 10-15 mg diberikan beberapa jam sebelum induksi anastesia. Apabila disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid speerti petidin 50 mg intramuskular. b Memperlancar induksi anesthesia Pada saat ini kebutuhan pemberian obat-obatan khusus untuk membantu induksi anesthesia lebih mudah sudah berkurang. Hal ini karena banyak dipakai induksi intravena dan penggunaan pelemas otot yang mengurangi kesulitan khususnya pernafasan. c



Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus Sekresi berlangsung selama anesthesia dan dapat dirangsang oleh tindakan seperti pengisapan atau pemasangan pipa jalan nafas trakea



d Meminimalkan jumlah obat anestetik Tujuan premedikasi antara lain untuk mengurangi metabolisme basal, sehinggan induksi dan pemeliharaan anestesi menjadi lebih mudah dan diperlukan obat-obatan lebih sedikit sehingga pasien akan sadar lebih cepat. e Mengurangi mual, muntah pasca bedah



11



Untuk mengurangi mual dan muntah pasca bedah, dapat diberikan premedikasi droperidol secara intramuskular dengan dosis 2,5-5mg atau dapat juga dibarikan ondansetrom (zofran, narfoz) dengan dosis 2-4mg. f



Menciptakan amnesia Banyak obat premedikasi menyebabkan amnesia atu tidak menimbulkan potensial efek amnesia dengan obat anestetik.



g Mengurangi isi cairan lambung Cairan lambung 25ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Sehingga untuk meminimalkan kejadian tersebut dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin seperti simetidin peroral dengan dosis 600 mg atau ranitidin peroral (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi. h Mengurangi reflex yang membahayakan Trauma bedah dapat menyebabkan bagian tubuh bergerak, bila anestesi tidak memadai. Obat-obatan analgetika dapat diberikan sebelum pembedahan, sehingga anesthesia lemah seperti N 2O memerlukan sedikit penambahan obat-obatan lain selama anastesi.



2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat antara lain: a Usia Merupakan variabel yang penting dalamn kerja obat. Sesudah usia 40 tahun, efek narkotika dan sedatif meninggi karena rasa nyeri berkurang dengan peningkatan usia. Hal ini disebabkan oleh karena penurunan



kepekaan



terhadap



rangsangan



sensorik.



Dengan



pertambahan usia tidak hanya terjadi penurunan persepsi nyeri, tetapi juga terjadi penurunan aktifitas refleks jalan nafas. b Suhu Tiap kenaikan suhu 1 derajat fahrenheit, laju metabolisme basal naik sebesar 7%. 12



c



Emosi Mungkin



merupakan



penyebab



terbanyak



kenaikan



laju



metabolisme basal pra anesthesia. Takut dan ketegangan merupakan faktor utama dan keduanya meninggikan kepekaan terhadap rasa nyeri. d Penyakit Pasien



harus



dinilai



sehubungan



dengan



penyakit



dan



terapinya. Pada pasien penyakit kronis seperti osteomielitis dengan gizi buruk, morfin dapat lebih mudah mencapai dosis toksik, karena hepar tidak dapat mengolah mofin dosis besar. Pada pasien anemia, pemakaian opioid atau obat depresan sebaiknya dosis dikurangi.



2.3.3 Obat-obat premedikasi Obat-obat yang digunakan pada premedikasi adalah golongan analgetik



narkotik,



sedatif,



antikolinergik,



tranquilizer,



antihistamin,



antasida, histamin H2 reseptor antagonis, dan antiemetik. a Analgetik Narkotik Macam obat golongan narkotik antara lain: 1 Morfin Obat ini digunakan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan



pasien



menjelang



pembedahan.



Morfin



adalah



depresan susunan saraf pusat. Bila rasa nyeri telah ada sejak sebelum tindakan bedah, ini merupakan obat pilihan. Memberikan pemeliharaan anestesi yang mulus, bila memakai premedikasi morfin pada penggunaan anestesi lemah. Kerugian penggunaan morfin, pemulihan pasca bedah lebih lama. Penyempitan bronkus dapat timbul pada pasien asthma. Terdapat juga mual dan muntah pasca bedah. Morfin juga dapat menyebabkan obstipasi atau konstipasi pasca anestesia serta menurunkan basal metabolisme tubuh. 2 Pethidin Berefek sedasi, analgesia dan antispasmolitik. Bila bersama barbiturat memiliki efek amnesia. Dosis 1mg/kgbb (dewasa) sering



13



digunakan sebagai premedikasi seperti morfin dan menekan tekanan darah, pernafasan dan juga merangsang otot polos. Selain itu dapat menyebabkan mulut kering, berkeringat dan euforia. 3 Fentanil Merupakan narkotik sintetik yang sangat poten 75 - 125 kali dari morfin. Dapat menyebabkan depresi napas dan kaku otot rangka. Memilki efek kholinergik sehingga dapat menyebabkan bradikardia. Dosis premedikasi 0,05 - 0,1 mg/kg. Efek samping semua narkotik adalah depresi napas, mual dan muntah, melalui barier (sawar) plasenta, dan ketergantungan obat. Antagonis narkotik adalah Nalokson. b Sedatif 1 Golongan barbiturat  Pentobarbital (nombutal), sekobarbital (sekonal) Pentobarbital dan sekobarbital sering digunakan untuk menimbulkan sedasi dan menghilangkan kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini dapat diberikan secara oral atau intramuscular, pada dewasa dosis 100-200 mg dan pada bayi dan anak dosisnya 2mg/kgbb. Obat ini memiliki efek sedatif kuat sampai hipnotis, namun tidak memiliki efek analgesia. Depresi sirkulasi dan pernapasan yang ditimbulkannya minimal dan dapat melalui barier plasenta. Bila diberikan tanpa kombinasi dengan obat analgetik dapat menimbulkan rasa gelisah pada pasien. 



Fenobarbital (luminal) Obat ini mempunyai kerja depresan yang lemah terhadap pernafasan dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan muntah.



Diberikan



per



oral



atau



intramuskular



dengan



dosis1,5mg/kgBB. Untuk menimbulkan efek hipnosis diberikan dosis 100mg. Pasien yang mendapat barbiturate sebagai premedikasi biasanya bangun lebih cepat dari pada bila menggunakan narkotika.



14



2 Golongan benzodiazepin  Midazolam (dormicum) Memiliki efek antiansietas,



sedasi,



amnesia



dan



antikonvulsi, namun tidak memiliki efek analgesik. Obat ini tidak mendepresi nafas dan sirkulasi. Obat ini larut air dan tidak memberikan rasa nyeri sehingga dapat diberikan secara 



intramuskular maupun intravena. Diazepam (valium) Diazepam bekerja pada reseptor otak yang spesifik, menghasilkan efek anti-anxietas yang selektif pada dosis yang tidak menimbulkan sedasi yang berlebihan, depresi nafas, mual atau



muntah.



Kerugian



penggunaan



diazepam



untuk



premedikasi ini adalah kadang-kadang pada orang tertentu dapat menyebabkan sedasi yang berkepanjangan. Obat ini lebih sukar untuk larut air sehingga menimbulkan rasa nyeri. 3 Golongan Butyrophenon Dehidrobenzperidrol (dbp) = droperidol Obat



ini



memiliki



efek



neuroleptik,



transquilizer



dan



antiemetik. Droperidol dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah tepi sehingga seringkali menimbulkan hipotensi bila diberikan secara intravena, sehingga pasien harus diberikan infus terlebih dahulu. Obat ini digunakan pada pasien dengan resiko tinggi, misalnya pada operasi mata, pasien dengan riwayat sering muntah dan



obesitas.



Dosis



2,5-5mg



im



digunakan



sebagai



obat



premedikasi dengan kombinasi narkotik. Pada dosis besar dapat menumbulkan gejala Parkinson. c



Antikolinergik  Sulfas atropin Memiliki efek antisialagogue dan efek vagolitik kuat untuk mencegah bradikardia. Obat ini bersifat bronkodilatasi, dapat menimbulkan



takikardia,



meningkatkan



suhu,



midriasis



lakrimasi. Dosis premedikasi 0,001 - 0,002 mg/kgBB.



15



dan







Skopolamin Memiliki efek antisialagogue seperti sulfas atropin. Bersifat sedasi dan amnesia. Efek vagolitik lebih ringan dari atropin dan tidak meningkatkan suhu tubuh. Dosis premedikasi : 0,001 - 0,002 mg/kgBB.







Glikopirolat (robinul) Merupakan obat antikolinergik sintetik yang memiliki efek stimulasi SSP dan efek takikardi lebih rendah daripada atropin. Dosis premedikasi : 0,1 - 0,2 mg/kgBB.



d Tranquilizer Bermacam-macam jenis turunan fenotiasin dan penenang yang digunakan sebagai premedikasi. Obat-obat ini digunakan oleh karena kerja sedative, anti aritmia, antihistamin dan kerja antiemetic, kadangkadang dikombinasikan dengan barbiturate atau narkotika. Kombinasi ini memberikan sedasi yang kuat. Contoh : phenergan 25 mg untuk dewasa. e Antihistamin Dari golongan ini yang sering digunakan sebagai obat premedikasi ialah promethazib (phenergan) dengan dosis 12,5-25 mg im, pada orang dewasa. Digunakan pada pasien dengan riwayat asma bronchiale. f



Antasida Pemberian antasida 15-30 menit pra induksi hamp[ir 100% efektif untuk menaikan pH asam lambung di atas 2,5. Seperti diketahui, aspirasi cairan asam lambung dengan pH yang rendah dapat menimbulkan acid aspiration syndrome atau disebut dengan Mendelson syndrome. Selain meningkatkan pH asam lambung juga dapat meningkatkan tonus sphincter esophagus. Contoh antasida yang



16



dapat digunakan adalah Belusil atau Mylanta) dengan dosis 15 - 30cc 30 menit sebelum anestesi. g Histamin H2 reseptor antagonis Obat ini melawan kemampuan histamine dalam meningkatkan sekresi lambung yang mengandung ion H+ tinggi. Dari kepustakaaan disebutkan bahwa pemberian cimetidine oral 300 mg 1-1,5 jam pra induksi dapat menaikan pH cairan lambung diatas 2,5 pada lebih dari 80% pasien. Dapat pula diberikan secara iv dengan dosis yang sama 2 jam sebelum induksi dimulai. h Antiemetik 4 Dehidrobenzperidol 5 Metoklorpramid (primperan) Memiliki efek meningkatkan motilitas esofagus inferior dan relaksasi pilorus serta mempercepat pengosongan lambung. 



Dosis : 10 - 20 mg IV perlahan-lahan. Ondansetron (zolfran) Menghambat reseptor 5 hidrositriptamin dan serotonin. Mekanisme kerja belum diketahui secara pasti. Berguna untuk mengurangi muntah pasca kemoterapi. Dosis antiemesis : 4 mg (dewasa).



2.4



Ruang Pulih Sadar



2.4.1 Definisi Ruang pemulihan (Recovery Room) atau disebut juga Post Anesthesia Care Unit atau PACU adalah tempat pengawasan dan pengelolaan ketat pasien yang baru saja menjalani operasi sampai keadaan umum pasien menjadi stabil. Ruang pulih sadar adalah adalah batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau ke ICU karena masih memerlukan perawatan intensif. 2.4.2 Ruangan dan fasilitas 17



Besar ruangan dan fasilitas tergantung pada kemampuan kerja kamar bedah. Kondisi ruangan yang membutuhkan suhu yang dapat diatur dan warna yang tidak mempengaruhi warna kulit dan mukosa sangat membantu untuk membuat diagnosis dari adanya kegawatan nafas dan sirkulasi. Ruang pulih sadar yang terletak di dekat kamar bedah akan mempercepat atau mempermudah apabila diperlukan tindakan bedah kembali. 2.4.3 Alat-alat yang dibutuhkan Alat untuk mengatasi gangguan nafas dan jalan nafas harus tersedia misalnya jalan nafas oropharyng, jalan nafas orotracheal, laryngoscope, dan tracheostomy dalam segala ukuran. Oksigen dapat diberikan dengan FiO2 25% hingga 100%. Untuk pemberian oksigen dibutuhkan pula kanula nasal, masker oksigen dan masker dengan kantung udara untuk pemberian nafas buatan. Pulse oxymeter (SpO 2), fiberoptic laryngoscope dan ventilator harus disediakan, apabila tidak disediakan maka pasien yang membutuhkan alat tersebut dapat melanjutkan perawatan di ruang perawatan intensif. Untuk menanggulangi sirkulasi harus disiapkan cairan NaCl 0,9%, dextrose 5%, infus, dan set jarum infus. Untuk monitor sistem sirkulasi dibutuhkan tensimeter dengan stetoskop, EKG, dan tekanan vena sentral. Monitor suhu pasca bedah sangat penting sehingga dapat diketahui secara dini adanya hipotermi atau hipertermi yang harus segera diatasi. Untuk penyimpanan darah dan obat yang harus ada di tempat dingin maka disediakan refrigerator. Fasilitas untuk pemasangan pipa lambung, kateter, dan vena seksi harus disediakan pengelolaan pembuangan cairan gaster, urine, dan cairan lain di ruang pulih sadar. Obat-obatan yang disediakan di ruang pulih sadar merupakan obat untuk mengatasi keadaan gawat.



2.4.4 Sumber daya manusia



18



Ruang pulih sadar membutuhkan sumber daya manusia yang berkualifikasi dalam mengelola pasien gawat karena pasien yang masuk ruang pulih sadar dalam 1-2 jam pertama membutuhkan penanganan intensif. Jumlah personel tergantung pada kapasitas kamar bedah. Adapun rasio yang ideal adalah satu perawat untuk tiga pasien (ideal), satu perawat untuk dua pasien (kondisi gawat) dan satu perawat untuk satu pasien (kondisi sangat gawat). 2.4.5 Pemantauan pasien pasca anestesi Pasien yang dikelola di ruang pulih sadar adalah pasien pasca anestesi umum maupun anestesi regional. Di ruang pulih sadar dimonitor apakah jalan nafasnya bebas atau tidak, ventilasinya cukup atau tidak, dan apakah sirkulasinya sudah baik atau tidak. Untuk pasien yang belum sadar dapat dilakukan evaluasi pola nafas, tanda-tanda obstruksi, pernafasan cuping hidung, frekuensi nafas, pergerakan rongga dada yang simetris atau tidak, suara nafas tambahan, udara nafas yang keluar dari hidung, wheezing dan ronkhi, serta apakah ekstremitas dingin atau tidak. Pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi harus ditangani secara dini. Anestesi yang dalam dan sisa pengaruh obat pelumpuh otot akan berakibat penurunan ventilasi. Pasien yang belum sadar diberikan oksigen dengan kanula nasal atau masker sampai pasien sadar betul. Sirkulasi pasien juga dimonitor dengan memeriksa tensi, nadi, dan apakah perfusi jaringan sudah baik atau belum. Dalam melihat perfusi jaringan yang baik dapat dilakukan dengan cara melihat warna membran mukosa bibir apakah sudah berwarna merah muda atau tidak. Untuk memonitor sistem urogenitalis dilakukan pula pemerikasaan kualitas, kuantitas, warna, dan kepekatan urine untuk menilai apakah pasien masih dehidrasi dan apakah terjadi kerusakan ginjal saat operasi. Untuk pasien sadar dapat ditanyakan apakah terdapat keluhan pernafasan. Jika ada, cukup berikan oksigen. Jika terdapat tanda-tanda obstruksi maka dapat diberikan terapi sesuai keadaan pasien dengan diberi aminophilin, kortikosteroid, atau dilakukan triple airway maneuver.



19



Faktor-faktor yang perlu diperhatikan selama pemantauan sebelum pengiriman pasien ke ruangan adalah: 1. Observasi minimal 30 menit setelah pemberian narkotik atau obat penawarnya secara intravena. 2. Observasi minimal 60 menit setelah pemberian antibiotik, antiemetik atau narkotik secara intramuskular. 3. Observasi minimal setelah oksigen dihentikan. 4. Observasi 60 menit setelah ekstubasi. 5. Tindakan lain akan ditentukan kemudian oleh oleh Dokter Spesialis Anestesiologi dan Dokter Spesialis Bedah. 2.4.6 Penilaian pasien untuk dipindahkan ke ruang perawatan atau ke ruang perawatan intensif Kriteria yang umumnya digunakan dalam penilaian pasien sebelum dipindahkan adalah warna kulit, kesadaran, sirkulasi, pernapasan, dan aktivitas motorik seperti skor Aldrete. Penilaian dilakukan setiap saat sejak pasien masuk ruang pulih sadar hingga tercapai nilai total 10 sebagai nilai ideal untuk pemindahan, tetapi pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan dari ruang pemulihan jika nilai pengkajian post anestesi adalah lebih dari 7-8. Pasien dikirim ke ICU (Intensive Care Unit) apabila hemodinamik pasien tidak stabil dan memerlukan ventilator. Tabel 2.1: Skor Aldrete No 1



Penilaian o Merah muda o Pucat o Sianotik



2



2 1 0



Pernafasan o Dapat bernafas dalam, batuk, dan tangis kuat o Sesak atau pernapasan terbatas o Apnea atau obstruksi



3



Nilai



Warna kulit



2 1 0



Sirkulasi o Tekanan darah menyimpang 50% dari normal Kesadaran o Sadar, siaga, dan orientasi o Bangun namun cepat kembali tertidur o Tidak merespon



5



2 1 0



Aktivitas motorik o Seluruh ekstremitas dapat digerakkan o Dua ekstremitas dapat digerakkan o Tidak bergerak



2 1 0



Bila pasien adalah anak-anak, kriteria pemulihan yang digunakan adalah skor Steward. Bila nilai total skor di atas 5 maka pasien boleh dipindahkan ke ruangan. Untuk menilai masa pulih sadar skor Steward membagi dalam tiga tahap, yaitu: a. Immediate recovery: kembalinya kesadaran, kembalinya refleksrefleks protektif jalan nafas dan aktivitas motor yang singkat. b. Intermediate recovery: kembalinya fungsi koordinasi dan hilangnya perasaan pusing subyektif. Tahap ini terjadi kira-kira 1 jam setelah anestesi yang tidak terlalu dalam. c. Longterm recovery: tahap ini dapat berlangsung berjam-jam bahkan berhari-hari tergantung dari lama anestesi. Tabel 2.2 Skor Steward No 1



Kriteria Kesadaran o Bangun o Respon terhadap stimuli o Tidak ada respon



2



2 1 0



Jalan nafas o Batuk atas perintah atau menangis o Mempertahankan jalan nafas dengan baik o Perlu bantuan untuk mempertahankan



3



Nilai



2 1 0



Gerakan o Menggerakkan anggota badan dengan tujuan o Gerakan tanpa maksud o Tidak bergerak 21



2 1



0 Untuk pasien dengan dilakukan anestesi regional dapat digunakan skor Bromage, yang menilai pergerakan kaki, lutut, dan tungkai. Apabila total skor 0, maka pasin dapat dipindahkan ke ruangan. Tabel 2.3 Skor Bromage Kriteria Kaki tidak dapat digerakkan Dapat menggerakkan sendi pergelangan kaki Dapat menggerakkan kaki dan fleksi lutut Dapat menggerakkan kaki, fleksi lutut, dan ekstensi lutut



Nilai 3 2 1 0



2.4.7 Komplikasi pasca anestesi dan penanganannya a. Komplikasi respirasi 1. Obstruksi jalan nafas Prinsip dalam mengatasi sumbatan mekanik dalam sistem anestesi Diagnosis



adalah



dengan



banding



antara



menghilangkan sumbatan



penyebabnya. mekanik



dan



bronkospasme harus dibuat sedini mungkin. Sumbatan mekanik lebih sering terjadi dan mungkin dapat menjadi total, di mana wheezing akibat bronkospasme dapat terdengar dengan atau tanpa stetoskop. Sumbatan mekanik pada penderita yang diintubasi antara lain adalah pipa menjadi terpuntir, bagian yang melengkung dapat tertumbuk pada dinding trakea atau pipa dapat menjorok jauh memasuku bronkus utama kanan, atau manset dapat menyembul keluar menutupi bagian ujung. Penyebab sumbatan dapat diatasi dengan meluruskan pipa yang terpuntir di balik rongga mulut. Jika pipa ditempatkan terlalu jauh ke dalam trakea, pipa tersebut biasanya memasuki bronkus utama kanan. Hal ini dapat mengakibatkan tanda-tanda hipoksia, takikardia, atau sumbatan pernafasan yang lebih nyata. Komplikasi dapat dihindarkan jika ahli anestesi memeriksa kedudukan pipa setelah dipasang dengan mendengarkan melalui stetoskop di 22



atas setiap sisi dada sementara secara manual paru-paru dikembangkan. Jika suara pernafasan tidak terdengar atau hanya terdengar pada satu sisi dada, maka pipa harus secara lambat laun ditarik hingga terdengar suara pernafasan pada kedua sisi dada. Sumbatan mekanik pada penderita yang tidak diintubasi paling sering disebabkan oleh lidah yang jatuh ke belakang. Biasanya hal ini dapat ditolong dengan mengekstensikan kepala, mendorong dagu ke muka dan memasang pipa udara anestetik peroral atau nasal. 2. Bronkospasme Bronkospasme dapat diatasi secara terapi medik, tetapi yang paling penting adalah memastikan bahwa tidak terjadi sumbatan mekanik baik secara anatomis, akibat lidah yang jatuh ke belakang pada pasien yang tidak diintubasi, atau akibat defek peralatan seperti yang dijelaskan di atas. Efedrin intravena dapat diberikan 5 mg, atau 30 mg intramuskular hanya saja dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan tekanan darah. Jika hal ini terjadi, suntikkan aminophilin intravena 5 mg secara lambat. 3. Hipoventilasi Pada hipoventilasi rangsang hipoksia dan hiperkarbia meyebabkan pasien tetap bernafas. Pada hipoventilasi ringan pemberian oksigen bermanfaat, tetapi pada hipoventilasi berat justru mengakibatkan tekanan CO2 yang tetap atau meningkat sehingga



tidak



bermanfaat.



Terapi



yang



benar



pada



hipoventilasi adalah membebaskan jalan nafas, memberikan oksigen,



menyipakan



nafas



buatan



dan



menerapi



penyebabnya. 4. Hiperventilasi Hiperventilasi dengan hipokapnia dapat merangsang kalium ekstraselular



mengalir



ke



intraselular



sehingga



terjadi



hipokalemia. Hipokalemia dapat menyebabkan bradikardia relatif. b. Komplikasi kardiovaskular 1. Hipotensi 23



Hipotensi selama anestesi dapat disebabkan hipovolemia oleh pendarahan bedah dan hipovolemia pra anestesi, obat induksi, obat anestesi (halotan, isofluran), obat pemumpuh otot (d-turbukurin), penyakit kardiovaskular, penyakit pernafasan dan reaksi hipersensitivitas terhadap obat-obat anestesi maupun reaksi transfusi. Jumlah pendarahan selama pembedahan harus dihitung baik dengan menghitung darah dalam botol penghisap atau menimbang kasa operasi. Transfusi darah atau komponennya dipertimbangkan bila pendarahan melebihi 20% volume darah pasien dewasa. Semua obat induksi da[at mengakibatkan depresi miokard dan curah jantung tergantung dosis yang diberikan. Terjadi terutama pada pasien usia lanjut, yaitu bila ada penyakit miokard ataupun hipertensi yang tidak diobati. Anestesi halotan, enfluran, dan isofluran mempunyai efek inotropik negatif dan menurunkan resistensi pembuluh darah yang proporsional dengan konsentrasi yang diberikan. Hipotensi dan



bradikardia



dapat



diperbaiki



dengan



menurunkan



konsentrasi, pemberian atropin, atau cairan infus untuk meningkatkan curah jantung. Analgesia spinal atau epidural dapat menyebabkan hipotensi karena blokade saraf simpatik. Hal ini dapat ditanggulangi dengan mempercepat infus, pemberian obat antikolinergik atau vasopresor. 2. Hipertensi Hipertensi karena anestesi tidak adekuat dapat diatasi dengan menambah dosis anestesi. Bila persisten dapat diberi obat penghambat beta adrenergik seperti propanolol atau obat vasodilator seperti nitrogliserin yang juga bermanfaat untuk meningkatkan perfusi miokard. Hipertensi karena kesakitan yang terjadi pada akhir anestesi dapat diobati dengan analgetika narkotik seperti pethidin 10 mg IV atau morfin 2-3



24



mg IV dengan memperhatikan pernafasan karena dapat menimbulkan depresi. 3. Aritmia jantung Tidak semua aritmia pada anestesia diberikan pengobatan, kecuali jika aritmia tersebut diikuti atau menjadi: 1) perubahan curah jantung dan perfusi jaringan yang nyata seperti hipotensi 2) Bradikardia hebat atau fibrilasi ventrikel predisposisi henti jantung 3) Gejala iskemia miokard yang nyata. Terapi bergantung pada berat dan macam aritmia. Terapi bervariasi antara lidokain, propanolol, sedilanid, qunidin, DC syok dan resusitasi jantung paru (RJP). Hipoksia atau hiperkapnia katekolamin



endogen



yang



merangsang



dapat



pengeluaran



menyebabkan



aritmia



ventrikel terutama pada pasien dengan anestesia halotan. Interaksi halotan juga terjadi dengan katekolamin eksogen yang sering disuntikkan dokter bedah untuk mengurangi pendarahan lapangan operasi. Sebaiknya selama anestesi halotan suntikan infiltrasi adrenalin hanya diberikan maksimum 100 µg dalam 10 menit.



Terhadap



anestesia



enfluran



atau



isofluran



permasalahan ini tidak terlihat. Anestesia ringan yang disertai manipulasi operasi dapat merangsang saraf simpatik yang dapat menyebabkan aritmia. Bradikardia yang terjadi dapat diobati dengan atropin. c. Komplikasi pada mata Selama anestesia umumnya mata pasien tidak tertutup rapat terutama jika menggunakan obat pelumpuh otot. Karena itu mata harus dilindungi dari trauma langsung, kekeringan kornea atau iritasi dari obat-obatan atau alat yang dipergunakan selama anestesia. Laserasi kornea akan menyebabkan pasien mengeluh nyeri pada mata pasca bedah, lakrimasi dan blefarospasme. Untuk mencegah komplikasi ini selama operasi berlangsung mata ditutup dengan plester atau dibasahi dengan air garam fisiologis atau diberi salep mata. d. Komplikasi neurologis 25



1. Konvulsi Beberapa jenis kontraksi abnormal otot dapat terjadi selama anestesia, seperti konvulsi pada anestesia dengan eter yang dalam, klonus pada anestesia ringan (terutama pada anakanak), konvulsi karena hipoksia, konvulsi karena obat analgetika seperti lidokain, dan gejala epilepsi yang disebabkan beberapa obat anestesia seperti enfluran dan altesin. Terapi antara lain berupa menghentikan pemberian eter atau enfluran dan meningkatkan pemberian oksigen, memberikan obat antikonvulsi seperti valium dan tiopental, dan mengompres pasien dengan es atau alkohol jika suhu tubuh meningkat. 2. Terlambat sadar Hal ini dapat disebabkan oleh antara lain gangguan fisiologi selama anestesia seperti hipoksia, gangguan pembedahan misalnya syok dan emboli lemak, kelebihan dosis premedikasi atau obat-obatan lain selama anestesia seperti fenotiazin dan narkotika, dan obat-obat tertentu yang berinteraksi dengan obat yang dipergunakan selama anestesia misalnya monoamine oksidase inhibitor. e. Komplikasi lainnya 1. Menggigil Pada akhir anestesi dengan tiopental, halotan atau enfluran, terkadang timbul menggigil seluruh tubuh disertai bahu dan tangan bergetar. Hal ini mungkin terjadi akibat reaksi tubuh terhadap suhu kamar operasi yang rendah. Faktor lain yang menjadi pertimbangan ialah kemungkinan aliran gas yang diberikan waktu anestesi terlalu tinggi hingga pengeluaran panas tubuh melalui ventilasi meningkat. Menggigil pada saat anestesia dapat diberikan terapi yaitu dengan diberikan selimut tebal dan terapi dengan petidin 15-25 mg IV dan klorpromazin 5-10 mg IV. 2. Gelisah setelah anestesi



26



Gelisah pasca anestesi dapat disebabkan hipoksia, asidosis, hipotensi dan kesakitan. Penyulit ini sering terjadi pada pemberian premedikasi dengan sedatif tanpa analgetika, hingga pada akhir operasi pasien masih belum sadar tetapi nyeri sudah mulai terasa. Setelah penyebab-penyebab tersebut di atas disingkirkan, pasien dapat diberikan midazolam 0,05-0,1 mg/kgBB atau anelgetika narkotika (petidin 15-25 mg IV). 3. Mimpi buruk Obat-obatan analgesia dapat memberikan komplikasi berupa mimpi yang tidak enak. Dapat dicegah dengan premedikasi diazepam atau dehdrobenzoperidol. 4. Kenaikan suhu tubuh Kenaikan suhu tubuh harus dibedakan antara demam (fever) atau hipertermia (hiperpireksia). Demam adalah kenikan suhu tubuh di atas 38 derajat Celsius dan masih dapat diturunkan dengan pemberian salisilat. Hipertermia adalah kenaikan tubuh di atas 40 derajat celsius dan tidak dapat diturunkan dengan hanya



memberikan



salisilat.



Beberapa



hal



yang



dapat



menyebabkan kenaikan suhu tubuh antara lain adalah puasa terlalu lama, suhu kamar operasi yang terlalu panas, infeksi, dosis premedikasi sulfas atropin yang terlalu besar, dan kelainan herediter yang biasanya menjurus pada komplikasi hipertermia maligna. Hipertermia maligna adalah krisis hipermetabolik di mana suhu tubuh meningkat lebih dari dua derajat Celsius dalam waktu satu jam. Walau komplikasi ini jarang terjadi, yaitu 1:50.000 pada pasien dewasa dan 1:25.000 pada pasien anakanak, tetapi jika terjadi angka kematian cukup tinggi yaitu 60%. Kebanyakan obat anestesia akan menjadi trigger pada pada pasien dengan bakat hipertermia maligna herediter. Halotan dan suksinilkolin dilaporkan sebagai obat-obat yang sering mencetus komplikasi ini. Gejala klinis komplikasi ini selain



27



kenaikan suhu tubuh mendadak yaitu tonus otot meningkat, tetani, takikardi, mioglobinuria, gagal ginjal dan gagal jantung. Penanggulangan hipertermia maligna dilakukan antara lain dengan



cara



menghentikan



pemberian



anestesia



dan



memberikan oksigen 100%, mengompres seluruh tubuh dengan es atau alkohol dan jika perlu membilas lambung dengan larutan NaCl fisiologis dingin, segera melakukan pemeriksaan gas darah, mengoreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, memberikan oradekson dosis tinggi IV dan dantrolene 1-2 mg/kgBB IV yang dapat diulang tiap 5-10 menit dan maksimum 10 mg/kgBB. Dantrolene adalah satu-satunya obat spesifik untuk mengobati hipertermia maligna. 5. Hipersensitivitas Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi pada pemberian semua obat termasuk anestesia. Reaksi ini sering terjadi pada pemberian induksi intravena dan obat pelumpuh otot. Gejala klinis hipersensitivitas antara lain berupa urtikaria, nadi kecil hingga tak teraba sampai terjadi henti jantung, bronkospasme, dan sakit perut hingga mual muntah dan diare. Terapi yang diberikan antara lain dengan menghentikan anestesia, memberikan nafas buatan hingga kompresi jantung luar jika terjadi henti jantung, pemberian adrenalin 0,3-0,5 cc (1:1000) IV atau intratrakea, mempercepat pemberian cairan infus kristaloid, serta pemberian steroid, aminophilin atau vasopressor pada keadaan tertentu.



28



BAB III KESIMPULAN



Pre-operative visite dilakukan sebelum melakukan anestesi di kamar operasi karena bermanfaat bagi pasien, operator, dan ahli anestesi. Pre-operative visite bertujuan menilai kelayakan pasien sebelum dilakukan anestesi, menentukan jenis anestesi, dan obat anestesi yang akan digunakan. Hal ini sangat penting untuk keselamatan pasien. Melakukan pemeriksaan terhadap pasien yang akan dianestesi setidaknya satu hari sebelum operasi apabila tindakan perbedahan terencana atau pada waktu dikonsulkan ke ahli bedah pada waktu darurat. Tindakan anestesi yang baik, bila mulai persiapan, durante operasi dan pasca operasi berjalan dengan aman. Tindakan anestesi Diperoleh dari data pasien (autoanamnesa) atau dari keluarga (heteroanamnesa) Premedikasi bertujuan untuk menenangkan pasien, membuat nyaman pasien, dan memudahkan induksi serta mengurangi jumlah obat anestesi yang digunakan. Ruang pulih sadar merupakan tempat dimana untuk observasi pasien setelah dilakukan anestesi dan pembedahan. Hal ini bertujuan untuk menghindari bahaya dari efek anestesi yang tidak diinginkan dan agar pasien dapat pulih dengan baik serta meminimalkan keluhan pasien saar sadar.



29



DAFTAR PUSTAKA



Anderson B.J, Lerman J, Conte C.J A Practice of Anesthesia for Infants and Children Ed. 5. Elsevier. USA



Arief, Mansjoer, Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.



Boulton, TB, Biogg, CE, Hewers, CL, 1994, Komplikasi dan Bahaya Anestesi, dalam Anestesiologi, Jakarta, EGC, pp. 213-237



G, Edward Morgan, Jr., Mageds, Mikhail, 2002, ClinicalAnesthesiology, New York, Mc Graw-Hill Companies.



Gwinnut, CL, 1997, Postanasthesia Care, dalam Clinical Anesthesia, London, Blackwell Science Ltd, pp. 104-132



Latief, Said, Kartini, R, Dahian, 2001, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.



Latief, SA, Kartini, Suryadi, A, Dachlan, MR, 2002, Tatalaksana Pasca Anestesia, dalam Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, Jakarta, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp. 253-256



Latief, Said, Kartini, R, Dahian, 2009, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.



30



Mansjoer A, Suprahaita, Wardhani, IA, Setiowulan, W, 2002, Anestesia Umum, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, Jakarta, Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp. 253-256



Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S., Dahian, R., 1989, Anestesiologi, Jakarta, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.



Morgan, GE, jr., Mageds, M, 2002, Postanasthesia Care, dalam Clinical Anesthesiology, Edisi ketiga, New York, Mc Graw-Hills Companies, pp. 932-949 Sjamsulhidayat, R, de Jong, W, 1998, Masa Pulih, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Jakarta, EGC, pp. 373-391 Thalib, MR, Muhiman, M, Sunatrio, S, Dahlan, R, 1989, Komplikasi Anestesia, dalam Anestesiologi, Jakarta, bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp. 146-156 Wiryoatmodjo, K, 2000, Penyulit Pasca Bedah-Anestesi, dalam Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan SI Kedokteran, Jakarta, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, pp.222-225



31