Referat Kaku Mayat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN



REFERAT SEPTEMBER 2020



KAKU MAYAT



OLEH: Milzam Haidi Salim Andi Siti Bani Fitriasih Syahrisal



C014182050 C014182016 C11112152J



RESIDEN PEMBIMBING dr. Ressy Dwiyanti SUPERVISOR PEMBIMBING dr. Cahyono Kaelan, Ph.D, Sp.PA(K), Sp.S



DISUSUN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2020



LEMBAR PENGESAHAN



Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:



Nama/NIM Nama/NIM Nama/NIM



: Milzam Haidi Salim : Andi Siti Bani Fitriasih : Syahrisal



C 014 182 050 C 014 182 016 C 111 12 152J



Telah menyelesaikan referat dengan judul Kaku Mayat dalam rangka menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.



Makassar, September 2020 Supervisor Pembimbing



dr. Cahyono Kaelan, Ph.D, Sp.PA(K), Sp.S



Residen Pembimbing



dr. Ressy Dwiyanti



i



DAFTAR ISI



LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii SKDI PERSPECTIVE ............................................................................................ iii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 2 A. DEFINISI ..................................................................................................... 2 B. PATOFISIOLOGI ........................................................................................ 2 C. GAMBARAN KLINIS ................................................................................ 3 D. TEKNIK PEMERIKSAAN KAKU MAYAT ............................................. 4 E. AWITAN DAN DURASI ............................................................................ 4 F. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AWITAN DAN DURASI KAKU MAYAT .................................................................................. 5 1.



Usia ........................................................................................................... 5



2.



Suhu .......................................................................................................... 5



3.



Sifat kematian ........................................................................................... 6



4.



Kondisi otot sebelum kematian ................................................................ 6



5.



Pengaruh sistem saraf pusat...................................................................... 6



G. BENTUK KAKU MAYAT LAINNYA ...................................................... 6 1.



Heat Stiffening .......................................................................................... 6



2.



Cold Stiffening .......................................................................................... 7



3.



Cadaveric Spasm ...................................................................................... 7



BAB III PENUTUP................................................................................................. 9 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 10



ii



SKDI PERSPECTIVE Berdasarkan SKDI 2012 yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia, pemeriksaan kaku mayat termasuk dalam kompetensi dokter umum dalam melakukan pemeriksaan luar jenazah (korban mati). Dalam melakukan hal tersebut lulusan dokter diharapkan mampu menguasai pengetahuan teori keterampilan ini termasuk latar belakang biomedik dan dampak psikososial keterampilan tersebut, mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas.



iii



BAB I PENDAHULUAN Di kebanyakan yurisdiksi, waktu kematian secara hukum didefinisikan sebagai waktu ketika individu dinyatakan atau diakui telah meninggal. Dengan demikian, tubuh yang membusuk atau sisa-sisa kerangka, jelas dinyatakan telah mati untuk jangka waktu yang signifikan, beberapa hari, minggu, bulan, atau bahkan tahun setelah kematian yang sebenarnya terjadi. Maka dari itu, keahlian memperkirakan waktu kematian yang sebenarnya (atau interval pasca kematian) menjadi sangat penting dalam penyelidikan kriminal, litigasi perdata, atau penyelesaian harta benda orang yang meninggal. (1) Perubahan setelah meninggal dapat dibagi lagi menjadi beberapa kategori. Kategori ini termasuk perubahan pasca kematian awal, sedang dan lanjutan dikategorikan seiring autolisis dan pembusukan sedang berlangsung. Pada perubahan awal, yang dianggap terjadi atau berkembang dalam 24 jam pertama setelah kematian, ini terdiri dari algor mortis, livor mortis, dan rigor mortis. Seiring berjalannya waktu, dekomposisi secara bertahap meningkat. Kategori ini meliputi autolisis, pembusukan, dan mumifikasi. Meskipun mereka dapat dilihat secara terpisah, pengamatan yang cermat biasanya akan mengungkapkan ciri-ciri semuanya secara bersamaan. (1) Algor mortis, livor mortis, rigor mortis membentuk trias dalam perubahan awal setelah kematian. Algor mortis adalah kehilangan suhu tubuh setelah kematian. Livor mortis adalah perubahan warna setelah kematian (lebam mayat). Perubahan warna livor mortis umumnya muncul di bagian tubuh yang bergantung dalam waktu ½-1 jam setelah kematian dan menetap dalam 6 hingga 8 jam setelah kematian. Demikian pula, rigor mortis, yang merupakan kekakuan pada mayat, mulai terjadi dalam 1 hingga 2 jam setelah kematian dan memakan waktu sekitar 12 jam setelah kematian untuk perkembangan lengkap dan menetap selama 12 jam dan menghilang dalam 12 jam berikutnya pada umumnya. Ini dapat memberikan perkiraan waktu sejak kematian hingga 36 jam setelah kematian. (2) Rigor mortis (kaku mayat) pertama kali muncul pada tahun 1811 dikemukakan oleh Nysten. Merupakan orang pertama yang medefinisikan kaku mayat. Kemudia pada 1946 Bendell dan Smith mengungkapkan peran ATP dalam permulaan kaku mayat. Pada tahun 1950, Shapiro menunjukkan urutan kaku mayat dari kepala ke bawah. Kemudian, tahun 1960, Bendell mempelajari biofisika kontraksi otot, yang mengarah pada pemahaman yang lebih baik tentang kaku mayat. Yang kemudian berlanjut hingga sekarang yang akan dibahas pada referat ini. (2) 1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI Istilah rigor mortis (kaku mayat) berasal dari kata latin yang berarti kekakuan dari kematian. Menjadi salah satu tanda kematian yang dapat dikenali, yang ditandai dengan kaku pada otot-otot tubuh yang disebabkan oleh perubahan kimiawi yang terjadi pada otot pasca kematian. (3) Kaku mayat bersama dengan metode konvensional lainnya algor mortis dan livor mortis dapat memberikan estimasi perkiraan rentang waktu kematian. Namun, awitan dan durasi kaku mayat dipengaruhi oleh kondisi seperti usia, penurunan otot, suhu, penyebab kematian, dan media dimana tubuh ditemukan. (4) B. PATOFISIOLOGI Periode flaccid segera setelah kematian bervariasi, tetapi biasanya berlangsung antara 3 dan 6 jam sebelum kekakuan pertama kali terdeteksi. Kemudian menyebar hingga melibatkan seluruh massa otot, namun periode tetap bervariasi tetapi dalam kondisi 'rata-rata' diharapkan mencapai maksimum dalam 6-12 jam. (5) Ada empat fase kaku mayat: a. Fase 1 (delay period): Setelah kematian klinis, otot bertahan dalam keadaan normal untuk waktu yang singkat dan rileks selama kandungan ATP tetap cukup untuk memungkinkan pemisahan jembatan aktin-miosin. Erdos (1943) yang membandingkan kekerasan otot dengan konsentrasi ATP-nya mendukung teori ini. Di sini penurunan level ATP diimbangi dengan peningkatan kekakuan. Laju penurunan ATP bergantung pada ketersediaan ATP pada saat kematian, meliputi kemungkinan produksi ATP pasca kematian dan laju hidrolisis ATP. (2) b. Fase ke-2 (onset period): Konsenstrasi ATP otot menurun di bawah ambang kritis. Ikatan aktin miosin tetap utuh dan kekakuan muncul. Namun, keadaan ini masih bisa dibalik dengan penambahan ATP (sisa glikolisis) atau oksigen yang menghasilkan relaksasi (2), (3) c. Fase ke-3: Rigor (irreversible phase): Kekakuan sepenuhnya dan tidak dapat kembali. Modifikasi serat otot pasca kematian pada fase ini menganggu kemampuannya untuk rileks. (3)



2



d. Fase ke-4 (resolusi): Kekakuan menghilang dan otot menjadi lemas. Penyebab resolusi menurut Szent-Gyorgyi dan Erdoz adalah proses denaturasi dari otot. (3) Szent-Gyorgi menemukan bahwa substansi dalam kontraktil otot yaitu dua protein aktin dan miosin, yang tersusun dalam filamen interdigitasi. Membentuk kombinasi fisikokimia yang disebut 'aktomiosin', yang secara fisik lebih pendek daripada kedua bentuk substansi sebelumnya. Jika energi disuplai pada bentuk ini, akan menghasilkan kontraksi. Energi ini diperoleh dengan pemisahan kompleks fosfat dari ATP, yang kemudian menjadi adenosin difosfat (ADP). Fosfat bebas kemudian bereaksi dalam reaksi fosforilasi yang mengubah glikogen menjadi asam laktat, sehingga menghasilkan energy dalam jumlah tinggi. Beberap energy tersebut kemudian digunakan untuk mensintesis ulang ATP dari ADP, dari penambahan gugus fosfat dari kreatin fosfat; sisanya digunakan untuk mengaktifkan reaksi aktin-miosin. (5) Selain sebagai pemasok energi, ATP bertanggung jawab atas elastisitas dan plastisitas otot. Asam laktat dilepaskan kembali ke aliran darah dan dikembalikan ke hati untuk diubah kembali menjadi glikogen. Semua reaksi ini bersifat anaerobik dan dapat berlanjut setelah kematian, meskipun dalam bentuk yang terdistorsi. (5) Dalam keadaan hidup konsentrasi ATP yang cukup konstan di jaringan otot, ada keseimbangan dinamis antara penggunaan dan sintesis ulang. Akan tetapi, pada saat kematian, reaksi ADP menjadi ATP berhenti dan trifosfat semakin berkurang, dengan asam laktat terakumulasi. Setelah periode variabel, tergantung pada suhu dan jumlah ATP yang tersisa, aktin dan miosin menjadi berikatan menjadi gel yang kaku dan tidak dapat memanjang, dengan konsekuensi kekakuan pada otot. (5) Sintesis ulang ATP bergantung pada pasokan glikogen, yang dihabiskan oleh aktivitas kuat sebelum kematian; hal ini menjelaskan terjadinya kekakuan yang cepat. Biasanya tampaknya ada periode awal segera setelah kematian ketika tingkat ATP dipertahankan atau bahkan meningkat sebagai akibat dari pembebasan fosfat oleh glikogenolisis. (5) C. GAMBARAN KLINIS Kaku mayat akan terjadi pada seluruh otot, baik otot lurik ataupun otot polos. Dan bila terjadi pada otot rangka, maka akan didapatkan suatu kekakuan yang mirip menyerupai papan sehingga dibutuhkan cukup tenaga untuk dapat melawan kekakuan tersebut, bila hal ini terjadi otot dapat putus sehingga daerah



3



tersebut tidak mungkin lagi terjadi kaku mayat. Kaku mayat mulai terjadi sekitar 2 jam pasca kematian, suhu badan sudah mulai dingin dan mencapai puncaknya setelah 10-12 jam pasca kematian. Keadaaan ini akan menetap selama 24 jam, pada keadaan ini sudah disertai kematian sel dan sudah tidak ada respon otot terhadap rangsangan listrik. Setelah 24 jam, kaku mayat akan mulai menghilang sesuai dengan urutan terjadinya yaitu mulai dari otot-otot wajah, leher, lengan, dada, perut dan tungkai. (6) Waktu Tiap 1 jam 30 menit



Fenomena Suhu tubuh menurun 1,5° Fahrenheit Kulit tampak seperti malam, bibir biru keabuan, kuku pucat Kulit mulai pucat kelabu, putih memucat bila disentuh, badan 3 jam masih hangat bila disentuh, belum ada kaku mayat Badan dingin bila disentuh, kaku mayat awal terjadi di leher dan 4-6 jam rahang Kepucatan permanen (tidak ada warna putih memucat bila 6-8 jam ditekan) kaku mayat bertambah, kornea berawan 12 jam Rigiditas badan penuh (badan betul-betul membeku) Badan dingin dan lembab – basah bila disentuh, kulit merah 18-24 jam kehijauan, kaku mayat berubah, leher dan rahang kendur/lendut 30 jam Kaku mayat berubah, badan lembek Tabel 1. Fenomena perubahan tubuh jenazah setelah kematian. (6) D. TEKNIK PEMERIKSAAN KAKU MAYAT 1. Periksa kekakuan pada mayat dengan menggerakkan persendian: rahang, tulang, siku, pergelangan tangan dan jari-jari tangan, lutut, serta pergelangan kaki dan jari-jari kaki. 2. Nilai derajat kekakuan, apakah tidak ada, mudah dilawan, sukar dilawan . 3. Perhatikan ada tidaknya cadaveric spasm. 4. Pada jenazah yang terbakar, bedakan antara kaku mayat dengan heat stiffening atau sikap pugilistik. 5. Penilaian kaku mayat akan rancu jika mayat telah di simpan di dalam lemari pendingin sebelumnya (cold stiffening). (7) E. AWITAN DAN DURASI Awitan dan durasi kekakuan cukup bervariasi, namun umumnya, hal ini timbul sekitar 1-2 jam setelah kematian, menetap sekitar 9-12 jam, kemudian menghilang secara bertahap sesuai dengan urutan timbulnya. (6) Pada tahun 1811, seorang dokter dan kimiawan Perancis, PH Nysten, mempublikasikan deskripsi ilmiah pertama tentang kaku mayat. Ia menyatakan bahwa ―kaku mayat mempengaruhi otot-otot pengunyah, wajah dan leher, badan 4



dan lengan, lalu tungkai bawah‖ dan menambahkan bahwa menghilangnya kaku mayat terjadi sesuai dengan urutan munculnya. Bahkan sampai saat ini, kaku mayat dikatakan timbul pertama pada otot-otot kelopak mata dalam 1-2 jam setelah kematian dan kemudian menyebar ke otot-otot wajah, leher, rahang bawah, dada, tungkai atas, perut, dan tungkai bawah. (6), (8) Dari sudut praktis, mayat terbagi menjadi tiga kategori tergantung pada perjalanan kaku mayat: (i) mayat yang masih hangat tanpa kekakuan menandakan kematian 1-2 jam sebelumnya; (ii) mayat yang mengalami kekakuan namun tidak terjadi di seluruh tubuh menandakan kematian dalam 4-12 jam sebelumnya; dan (iii) mayat yang kaku seluruh tubuh menandakan kematian di atas 9-12 jam. (2), (6) Hilangnya kaku mayat mengikuti urutan munculnya. Karenanya, kaku mayat dapat diamati terjadi pada tungkai atas namun tidak diamati pada tungkai bawah, dan begitu pula sebaliknya, tergantung dari waktu kematian. (7) F. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AWITAN DAN DURASI KAKU MAYAT Ada banyak faktor ekstrinsik dan intrinsik yang dapat mempengaruhi awitan dan durasi kaku mayat: 1. Usia Kekakuan biasanya tidak terjadi pada fetus atau bayi berusia kurang dari 7 bulan, namun dapat ditemukan pada neonatus, dengan awitan cepat dan durasi yang pendek. Kaku mayat tidak memiliki nilai sebagai tanda kelahiran hidup. Pada dewasa sehat, kekakuan terjadi lebih lambat namun sangat jelas pada anakanak dan lanjut usia, di mana kekakuan bersifat lemah dan cepat. (6), (7) 2. Suhu Karena kaku mayat adalah proses biokimiawi, dapat dimengerti bahwa perkembangannya secara keseluruhan dipengaruhi oleh suhu tubuh pada waktu kematian dan suhu lingkungan sekitar. Fakta ini disadari sejak awal oleh Nysten (1811) yang menyatakan bahwa ‗kekakuan bertahan lebih lama pada udara yang dingin dan basah dibandingkan udara yang segar dan kering‘. Dalam salah satu kasus Forster, mayat yang disimpan pada suhu 4oC mengalami kekakuan yang kuat bahkan setelah 24 jam. Inilah mengapa awitan kekakuan lambat dan durasinya lebih lama pada negara-negara dengan iklim dingin, sedangkan awitannya cepat dan durasinya pendek pada negara-negara beriklim panas. Hal ini disebabkan oleh peningkatan pemecahan ATP yang terjadi lebih dini dalam lingkungan yang panas. (7), (9)



5



3. Sifat kematian Beberapa literatur menyebutkan bahwa orang-orang yang meninggal dalam keadaan kurus atau penyakit wasting akan langsung berpindah ke dalam kondisi kekakuan yang biasanya memiliki durasi yang lebih pendek. Bahkan, kaku mayat bisa tidak ditemukan pada pasien yang meninggal karena septikemia, khususnya di daerah ekstremitas yang mengalami inflamasi purulen pada otot. Dalam satu laporan kasus demam enterik, kaku mayat muncul tiga setengah menit setelah kematian dan hilang dalam seperempat jam, serta dalam kurang dari satu jam, putrefaksi sudah mulai terjadi. Kematian karena asfiksia, perdarahan berat, apopleksi, pneumonia, dan penyakit saraf dengan paralisis otot, awitan kaku mayat justru lebih lambat. (6) 4. Kondisi otot sebelum kematian Awitan kaku mayat lambat dan durasinya lebih panjang pada kasus-kasus di mana otot jenazah dalam keadaan sehat dan istirahat sebelum kematian. Awitan kaku mayat cepat jika otot mengalami kelelahan. Pada orang-orang yang meninggal ketika berlari, kekakuan dapat timbul dengan cepat pada kaki mereka dibandingkan dengan bagian tubuh lainnya. Pada kematian akibat kesetrum, tersambar petir, racun konvulsan, epilepsi, atau tentara yang meninggal setelah latihan otot berat dsb, durasi kaku mayat akan lebih panjang. (6) 5. Pengaruh sistem saraf pusat Seperti yang telah ditekankan sebelumnya, kaku mayat bergantung pada perubahan-perubahan kimiawi yang terjadi dalam otot setelah kematian sebagai hasil dari aktivitas sel dan enzimatik. Oleh karena itu, divisi saraf yang mempersarafi otot atau bahkan diangkatnya otak tidak akan memberikan pengaruh apapun pada awitannya. Kaku mayat juga terjadi pada ekstremitas yang diamputasi, baik teramputasi secara traumatis atau operatif. (6), (10) G. BENTUK KAKU MAYAT LAINNYA 1. Heat Stiffening Semua protein otot dalam tubuh akan mengalami koagulasi pada suhu di atas 149oF (65oC). oleh karena itu, ketika tubuh terpapar suhu panas yang intens seperti terbakar atau trauma listrik, atau terendam dalam cairan panas, kekakuan akan terjadi sebagai akibat dari koagulasi protein otot, di mana sifatnya lebih intens dibandingkan kaku mayat. Perubahan postur, terutama pada ekstremitas, dapat terjadi karena kontraksi otot (sifat Pugilistic atau Boxer). Heat stiffening ini tidak dapat menghilang dengan meluruskan ekstremitas seperti pada kaku mayat 6



dan akan terus berlangsung sampai terjadi disintegrasi protein. Tidak seperti kaku mayat, heat stiffening berkaitan dengan pemendekan serabut otot. Perubahanperubahan ini tidak berhubungan dengan kehidupan atau cara kematian dalam hal apapun. (2), (6) 2. Cold Stiffening Kekakuan yang terjadi pada jenazah dalam hal ini disebabkan oleh lingkungan yang dingin. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi awitan dan durasi kaku mayat, penurunan suhu mayat di bawah 3.5oC (40oF) akan menyebabkan solidifikasi yang bermakna pada lemak subkutan dan otot. Proses kaku mayat akan tertunda sampai terjadi pencairan dari struktur-struktur di atas. Ketika jenazah sudah mengalami pencairan/penghangatan, maka kaku mayat baru muncul dengan kecepatan tinggi dan menghilang dengan cepat. Pengerasan lemak subkutan, khususnya pada bayi, dapat menyebabkan lipatan kulit menjadi kaku sehingga dapat disalahartikan sebagai tanda-tanda pengikatan. Namun, kekakuan ini bertepatan dengan lipatan kulit, paling dalam di bagian depan dan tidak menunjukkan adanya peteki, lecet atau pola seperti yang diharapkan pada luka ikatan. Di lingkungan yang sangat dingin, bahkan tubuh orang dewasa pun dapat membeku dengan kaku. Cairan tubuh menjadi beku termasuk pada persendian dan pada saat menekuk persendian, krepitasi dapat dirasakan akibat pecahnya cairan beku pada rongga persendian. (6) 3. Cadaveric Spasm Cadaveric spasm adalah fenomena yang jarang terjadi. Umumnya, otototot akan menjadi lemas dan elastis segera setelah kematian (flaksiditas primer), yang diikuti oleh kaku mayat setelah 1-2 jam. Periode flaksid ini tidak terjadi pada cadaveric spasm, dan otot-ototnya akan langsung kaku segera setelah kematian. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perubahan yang terjadi sangat cepat sehingga flaksiditas otot yang biasanya terjadi pada saat kematian tidak terjadi atau durasinya sangat pendek sehingga luput dari perhatian. Kondisi ini seringkali melibatkan sekelompok otot tangan atau ekstremitas dibandingkan otot-otot badan. Kondisi ini akan bertahan sampai kaku mayat yang sesungguhnya terjadi (Tabel 2).



7



Gambaran Klinis Awitan



Otot-otot yang terlibat



Kaku Mayat Disebabkan oleh perubahan dalam otot setelah kematian molekuler sel-sel dan didahului oleh periode flaksiditas primer. Kaku mayat biasanya timbul 2-3 jam setelahnya. Semua otot pada tubuh jenazah akan terlibat secara bertahap.



Intensitas Durasi



Sedang 12-24 jam



Faktor predisposisi



Tidak ada



Mekanisme



Pemecahan ATP di bawah kadar kritis Aspek medikolegal Membantu mengetahui waktu kematian



Cadaveric Spasm Merupakan kondisi kontraksi kontinyu dari otot segera setelah kematian tanpa didahukui flaksiditas.



Otot-otot tertentu, yang sedang dalam keadaan kontraksi saat kematian terjadi. Berat (sangat kaku) Beberapa jam, pada akhirnya akan terganti oleh kaku mayat Emosi berlebih (kegembiraan, ketakutan, kelelahan), ketegangan saraf bersama dengan kontraksi otot saat kematian Tidak diketahui secara pasti



Membantu memperkirakan cara kematian, yaitu apakah karena pembunuhan, kecelakaan, atau bunuh diri Tabel 2. Perbedaan antara kaku mayat dan cadaveric spasm. (6)



8



BAB III PENUTUP Kaku mayat adalah kaku pada otot-otot tubuh yang disebabkan oleh perubahan kimiawi yang terjadi pada otot setelah kematian. Secara umum, terjadinya kaku mayat harus melalui empat fase, yaitu delay period, onset period, irreversible phase, dan resolusi. Kaku mayat mulai terjadi sekitar 2 jam setelah kematian mencapai puncaknya setelah 10-12 jam dan mulai menghilang setelah 24 jam sesuai dengan urutan terjadinya yaitu mulai dari otot-otot wajah, leher, lengan, dada, perut dan tungkai. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kaku mayat, seperti usia kematian, suhu lingkungan, dan kondisi yang terjadi pada otot saat kematian. Di samping itu, kaku mayat harus dibedakan dari heat stiffening, cold stiffening, dan cadaveric spasm. Kaku mayat penting dalam ilmu forensik karena merupakan salah satu tanda kematian, dapat digunakan untuk memperkirakan waktu kematian—meski tidak selalu reliable, dan menandakan posisi tubuh saat kematian.



9



DAFTAR PUSTAKA



1. Catanese C. Color atlas of forensic medicine and pathology. s.l. : Crc Press, 2016 Mar 9. 2. Kori S. Time since death from rigor mortis: Forensic prospective. J Forensic Sci & Criminal Inves, 2018, Vol. 9. 3. Bashir S dan Walia D. Role of Rigor Mortis in Assessment of Time Since Death.Indian Journal of Forensic Medicine & Toxicology, 2020, Vol. 14. 3: 62631 4. Khartade HK, et al., et al.Study of rigor mortis and factors affecting its development for determination of postmortem interval. Indian Journal of Forensic Medicine & Toxicology, 2017, Vol. 11. 2: 70-4 5. Saukko P. Knight's forensic pathology. s.l. : CRC press, 2015. 6. Vij K. Textbook of Forensic Medicine and Toxicology: Principles and Practice, Fifth Edition. Elsevier, 2011. ISBN: 978-81-312-2684-1. 7. Reddy KSN dan Murty OP. The Essentials of Forensic Medicine and Toxicology 33rd Edition. Jaypee Brothers Medical Publishers, 2014. ISBN 97893-5152-557-8. 8. Sugatha M dan Ramana V. Assessment of time since death using forensic autopsies based on the presence of rigor mortis--a cross-sectional study. International Journal of Contemporary Medical Research, 2019, Vol. 6(4) ISSN (Online): 2393-915X; (Print): 2454-7379 | ICV: 98.46 |. 9. Thongprajukaew K, Rodjaroen S dan Hahor W. Postmortem changes in thermal property of Nile tilapia (Oreochromisniloticus) muscle. Parichart J, 2015, Vol. 28. 10. Krigoraur N, et al. Effect of factors influencing Mortis-a medico-legal study to estimate postmortem interval. 2:2, s.l. : Medico-Legal Update, 2015, Vol. 15:2.



10