REFERAT - Pemfigoid Gestationis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN



REFERAT



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO/



JULI 2017



RSUD BAHTERAMAS



PEMFIGOID GESTATIONIS



PENYUSUN : Michele Triandani K1A1 13 033 PEMBIMBING : dr. Hj. Rohana Sari Suaib, Sp.KK



KEPANITERAAN KLINIK KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017



Pemfigoid Gestationis Michele Triandani, Rohana Sari Suaib A. Definisi Kehamilan merupakan suatu periode yang ditandai dengan terjadinya perubahan metabolik, endokrinologis dan imunologis yang dapat memberi dampak terhadap kulit. Penekanan imunitas terjadi selama kehamilan dikarena adanya toleransi terhadap janin oleh sistem imun ibu. Hal ini berperan terhadap terjadinya penyakit autoimun pada wanita hamil. Pemfigoid Gestationis (PG) merupakan salah satu penyakit autoimun pada kulit yang dapat terjadi pada masa kehamilan1. Pemfigoid gestationis adalah dermatosis autoimun dengan ruam polimorf yang berkelompok dan gatal yang timbul pada masa kehamilan dan masa pascapartus. Penyakit ini biasanya sering muncul pada trimester kedua atau ketiga kehamilan2. Pemfigoid Gestationis biasanya disebut juga dengan istilah Herpes Gestationis, meskipun sebenarnya istilah ini tidak tepat karena penyakit ini tidak ada hubungannya dengan penyakit herpes3.



B. Epidemiologi Pemfigoid Gestationis adalah dermatosis spesifik pertama yang dikenali pada masa kehamilan. PG dapat dibedakan dari dermatosis lainnya sejak tahun 1973 ketika immunofluoerescence mikroskopik ditemukan. Penyakit ini hanya terdapat pada wanita pada masa subur. Insiden penyakit ini 1 : 50.000 kehamilan dan menurut Kolodny 1 kasus per 10.000 kelahiran2,4. Pada studi retrospektif antara tahun 1994 sampai 2004 terhadap 505 pasien hamil pada dua rumah sakit berbasis pendidikan dermatotologi dengan keluhan pada kulit, sekitar 4,2% didiagnosis sebagai herpes gestationis5



C. Etiologi dan Patogenesis Etiologi penyakit ini adalah autoimun, yang dimediasi oleh antibody. Adanya antibody anti-BMZ yang menginduksi deposit C3 pada dermal-epidermal junction. Autoantibody yang berperan pada PG adalah IgG dimana hasil ini didapar dari pemeriksaan immunofluorescence (IF) dan dtitemukan pada kebanyakan pasien PG. Hampir semua pasien herpes gestationis menunjukkan adanya antibody pada BP180 (kolagen tipe XVII), sebuah protein pada transmembran 180-kd dengan ujung N6 terminal



dalam komponen intraseluler hemidesmosom dan ujung C-terminal dalam ekstraseluler. Apa yang menginisiasi terbentuknya autoantibodi sampai saat ini masih belum jelas, tetapi penyebab herpes gestationis yang terjadi pada kehamilan merupakan akibat imunogenetik dan reaktivitas silang potensial antara jaringan plasenta dan kulit. Pada studi imunogenetik menyatakan adanya peningkatan antigen HLA DR3 atau DR4, sekitar 50% pasien mempunyai kedua antigen tersebut. Secara esensial, 100% wanita dengan riwayat herpes gestationis menunjukkan adanya antibodi antiHLA. Hal ini disebabkan oleh variasi dari antigen HLA pada plasenta, dimana umumnya terkait paternal, penemuan antibody anti HLA meningkat frekuensinya selama kehamilan. Autoantibodi pada herpes gestasional terikat pada membran basalis amnion, struktur yang didapat dari jaringan ektoderm fetus dan secara antigen mirip dengan kulit. Wanita dengan herpes gestasional juga menunjukkan peningkatan MHC II dalam stroma vili korion. Ekspresi MHC II dalam plasenta menginisiasi respon alogenik pada area membran basalis plasenta, kemudian terjadi reaksi silang dengan kulit6. Faktor hormonal memiliki peranan dalam terjadinya manifestasi penyakit ini. Selain terjadi pada wanita hamil, wanita yang sedang menstruasi, dan yang sedang menggunakan kontrasepsi oral, pen yakit



ini



juga



dapat



b e r h u b u n g a n dengan



penyakit mola hidatidosa dan koriokarsinoma. Antibodi IgG



terikat



lucida dan komplemen. Ikatan



pada



lamina



antigen-antibodi pada



membran basalis disertai aktivasi komplemen memicu kemotaksis eosinofil pada lokasi kompleks a n t i g e n a n t i b o d y d i m e m b r a n e b a s a l i s . A k t i v a s i e o s i n o f i l , neutrofil, dan sel T d e n g a n dalam



proses



kerusakan



pembentukan



dermal-epidermal



predominan fenotip bula. junction



Degranulasi memulai



Th2



terlibat



eosinofil dan



terbentuknya



formasi



vesikobulosa. IgG dapat menembus plasenta. Hal ini dapat menerangkan mengapa pada beberapa bayi, vesikel atau papul sebentar saja timbul7.



D. Manifestasi Klinik Gejala pada penyakit ini biasanya muncul pada masa akhir kehamilan, ditandai dengan onset yang tiba-tiba berupa lesi urtikaria yang sangat gatal seperti terbakar. Sekitar 50% pasien mengaku lesi pertama kali muncul pada di daerah abdomen, berdekatan dengan umbilikus8. Sedangkan pada pasien lain distribusi lokal tidak khas, yaitu pada ektremitas, telapak tangan dan kaki; dapat pula mengenai seluruh tubuh dan tidak simetrik. Lesi secara cepat menyebar ke seluruh tubuh, pemphigoid-like eruption, menyebar di muka, membrane mukosa, palmar dan plantar (walaupun lokasi lain dapat terlibat). Onset timbulnya vesikel dapat terjadi dalam beberapa jam persalinan. Sedangkan seperempat pasien lesi ini dimulai selama periode post partum. Sepuluh persen neonates dapat mengalami gejala serupa, tetapi umunya ringan dan dapat sembuh sendiri. Sekitar 5% kasus, terdapat manifestasi lesi urtika atau bula pada neonates6,7. Bentuk intermediet juga dapat ditemukan misalnya vesikel kecil, plakat mirip urtika, vesikel berkelompok, erosi dan krusta. Kasus yang berat menunjukan semua unsur polimorf berupa eritema, edema, papul dan bulla, termasuk pembentukan masa yang tegang. Jika lepuh pecah maka, maka lesi akan menjadi lebih merah dan terdapat ekskoriasi dan krusta. Sering pula diikuti radang oleh kuman. Jika lesi sembuh akan meninggalkan hiperpigmentasi, tetapi kalau ekskoriasinya dalam akan meninggalkan jaringan parut. Kuku kaki dan tangan akan mengalami lekukan melintang sesuai waktu terjadinya eksaserbasi. 2.6,8 Serangan timbul paling sering pada trimester kedua (bulan 5 atau 6). Waktu paling dini ialah minggu kedua kehamilan dan paling lambat dalam masa nifas, yaitu pada masa haid yang pertama. Ada resiko tinggi kekambuhan pada kehamilan berikutnya, gejala mungkin akan timbul lebih awal dan lebih berat. Pada sebagian besar kasus, penyakit ini relatif tenang pada akhir kehamilan dan muncul lebih berat segera setelah melahirkan2,5. Sejumlah kasus dengan penyakit yang persisten telah dilaporkan. Sebagian besar penelitian menyatakan tidak terdapat peningkatan angka kematian fetus secara statistik, walaupun jumlah bayi baru lahir sering premature dan berat badan lahir tidak sesuai usia gestasi.



Gambar 1. Pemfigoid gestationis. Eritema urtikaria dan lesi bula pada dada dan bahu.



(A) lesi urtikaria pada bagian abdomen (B) vesikel (C) bulla (D) plak urtika (E-G) lesi pada ekstremitas



Another Dermatosis of Pregnancy



E. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Histopatologi Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan bula pada lapisan supepidermal yang berlokasi di lamina lucida, nekrosis pada sel basal pada ujung papil dermis dan infiltrasi sel radang yaitu limfosit, eosinofil dan histiosit sekitar pembuluh darah, netrofil jarang ditemukan. Histopatologi dapat berubah tergantung pada tingakatan dan berat suatu penyakit6.



Gambar 2. Formasi subepidermal vesikel; edema dermal; infiltrasi limfosit, histiosit, eusinofil dan beberapa netrofil; dan nekrosis sel basal fokal



2. Pemeriksaan Imunopatologi Penegakan diagnosis dapat ditegakan melaui pemeriksaan fisik, tes immunofluoresence langsung dan tes serology. Pada pemeriksaan



tes immunofluoresence langsung pada



bagian perilesi didapatkan deposisi linear dari C3 pada basement membrane zone (BMZ)



dengan atau tanpa IgG. Hal ini menjadi kunci ditegakkannya diagnosis PG. tes immunoelektonomicroscopy mengidentifikasi adanya imunoreaktan pada di bagian atas lamina lucida. Biopsy tidak selalu diterima oleh pasien. immunoblotting dan ELISA dapai menjadi tes tambahan yang diperlukan. Pada pemeriksaan ini mendeteksi antibody lawan BP180, namun antibody ini tidak ditemukan pada PUPPP, serta NC160 sehingga dapat membantu menyikirkan diagnosis lain. Tes ELISA menunjukan sensitifitas dan spesitifitas tinggi uji BP 1807,10. F. Diagnosis Banding3



G. Tatalaksana Pada kasus ringan, pengobatan dengan steroid topikal yang poten dapat berhasil, sekitar 20% pada studi retrospektif baru-baru ini. Pengobatan topikal sering dikombinasikan



dengan antihistamin biasanya cetirizine yang dapat meredakan gatal yang dirasakan pasien. Pada kasus yang lebih berat dapat diberikan kortikosteroid sistemik yaitu prednisolone dengan dosis 0.5 mg/kg berat badan. Prednison di-tappering off sampai dosis “maintenance” terendah. Pengobatan post partum dapat bermasalah pada ibu menyusui, sebab obat-obatan yang diminum oleh ibu dapat melalui air susu ibu. Antihistamin dapat menyebabkan rasa kantuk pada bayi, steroid dosis tinggi (Prednisolon lebih dari 40 mg/hari) dapat menyebabkan supresi



kelenjar



adrenal



pada



neonates.



Pengobatan



dengan



imunosupresan



dan



imunomodulator seperti immunoglobulin intravena juga dapat digunakan1,6. Beberapa kasus yang berat membutuhkan pengobatan dengan siklofosfamid, dapson, metotreksat, IVIG atau plasmaparesis2,6,12,. H. Komplikasi 6 Tidak ada peningkatan morbiditas



atau mortalitas pada ibu telah ditampilkan,



walaupun kesan kenaikan hal tersebut berasal dari ulasan individu. Laporan kasus Penyakit kulit pada bayi baru lahir biasanya dapat sembuh sendiri dan jarang membutuhkan intervensi meskipun ada peningkatan risiko premature dan berat badan bayi tidak sesuai usia kehamilan. Tidak ada data yang menunjukkan bahwa pengobatan dengan kortikosteroid sistemik mempengaruhi risiko kelahiran prematur. Namun sangat penting bahwa risiko terapi diimbangi dengan keparahan gejala. Wanita dengan riwayat PG dapat berisiko tinggi untuk selanjutnya berkembang menjadi penyakit Graves.



H. Prognosis Gejala klinik dan perjalanan penyakit herpes gestasional sangat bervariasi. Banyak pasien yang mengalami resolusi spontan pada akhir usia gestasi kehamilan, hanya beberapa yang dapat kambuh saat melahirkan. Beberapa pasien timbul lesi urtika pada kehamilan pertama, sedangkan lesi vesikel atau bula baru muncul pada kehamian berikutnya. Beberapa pasien lain mengalami penyakit ini pada kehamilan pertama dan tidak muncul kembali pada kehamilan berikutnya. Frekuensi ”skip pregnancy” sekitar 5-10%. Biasanya terjadi kekambuhan saat menstruasi, sekitar 25% pasien mengalami kekambuhan setelah menggunakan kontrasepsi oral. Wanita dengan PG juga dapat lebih mudah beresiko terhadap



penyakit



autoimun



seperti



grave’s



disease,



Hashimoto’s



thyroiditis,



autoimmune



thrombocytopenia dan pernicious anemia1,5.



I. Pencegahan Mereka yang memiliki riwayat PG menghadapi kemungkinan (tapi bukan jaminan) dapat mengalami penyakit berulang pada kehamilan berikutnya berikutnya dan cenderung berkembang gejala saat menggunakan kontrasepsi oral. Wanita yang pernah mengalaminya PG tidak perlu menghindari kehamilan tambahan namun, mereka harus diberi konseling bahwa penyakit kambuhan adalah kaidahnya6.



Daftar Pustaka 1. Tampa M, Mitran M, Mitran C, Sarbu I, Matei C, dkk. Pemfigoid Gestationis-a rare disease encountered in pregnancy. Romanian Society of Ultrasonography in Obstetrics and Gynecology. Vol.11 No. 41. 2015 2. Wiryadi B. Dermatosis Vesikobulosa Kronik. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editor. Jakarta: Badan Penerbit FK UI. 2015 3. Huilaja L, Mäkikallio K, Tasanen K. Gestational pemphigoid. Orphanet J Rare Dis 2014, 9, 136. doi: 10.1186/s13023-014-0136-2. 4. Ambros-Rudolph CM. Dermatoses of pregnancy - clues to diagnosis, fetal risk and therapy. Ann Dermatol 2011, 23(3), 265-75. 5. Phoebe DL, Jonathan R, Hideko K, Jennifer AS. Pemphigoid Gestationis. Dermatology Online Journal. 2010; 16(11): 10. [cited 2011 june 12]. Available from: http://dermatology.cdlib.org/1611/articles/10_2010-05- 18/lu.html 6. Sanchez, MR. Endemic (Non-Venereal) Treponematoses. Dalam: Wolf K, Katz L, Paller B, Leffell D. 2016. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Twelfth Edition Volume 1 & 2. United State: McGraw-Hill Companies. 2016 7. William DJ, Timothy GB, Dirk ME. Pemphigoid Gestationis (Herpes Gestationis). In: Andrew’s Diseases of The Skin Clinical Dermatology. 12th ed. Canada: Saunders Elsevier, 2016; p.460-462. 8. Stevenson ML, Marmon S, Tsou H, dkk. Case Report : Pemfigoid Gestationis. New York University School of Medicine. Vol 19 No. 12. 2013 9. Marina FC, Claudia GS, Celina WM, Valeria A. Pemphigoid Gestationis: Clinical and Laboratory Evaluation. Clinics, PubMed Central. 2009; 64(11): 1043-1047. [cited 2011 june 12]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2780519/ 10. Huilaja L, Mäkikallio K, Tasanen K., Hannula-Jaopi K, dkk. Clinical Report : Cyclosporine Treatment in Severe Gestational Pemphigoid. Department of Dermatology University of Oulu. Vol 95 : 593-595. 2015 11. Lambert Julien. Review Article : Pruritus in Female Patients. Department of Dermatology and Venerology University of Antwerp Belgian. Volume 2014