Referat RDS [PDF]

  • Author / Uploaded
  • kepo
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Terdapat beberapa penyebab terjadinya gangguan jalan nafas pada bayi baru lahir. Gangguan jalan nafas salah satunya adalah Respiratory Distress Syndrome. RDS disebut juga Hyaline Membrane Disease adalah gawat napas pada bayi kurang bulan atau premature yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir, ditandai adanya kesukaran bernafas yang menetap atau menjadi progresif dalam 48-96 jam pertama kehidupan. RDS terjadi pada bayi premature dengan angka kejadian sekitar 7 – 50 % dari setiap kelahiran (Saboute et al., 2011). Respiratory Distress Syndrome (RDS) adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru-paru. Defisiensi surfactan menyebabkan tegangan permukaan meningkat sehingga alveolar menjadi kolaps dan komplians paru menurun. Hal ini akan mempengaruhi ventilasi alveolar sehingga terjadi hipoksemia dan hiperkapnia dengan acidosis respiratory pada bayi tersebut. Diagnosis banding pada Respiratory Distress Syndrome adalah Transient tachypnea of the Newborn (TTN) dan Meconeal Aspiration Syndrome (MAS) (Hermansen & Lorah, 2007). Berdasarkan hal tersebut maka sebaiknya dilakukan pembahasan lebih mendalam mengenai Respiratory Distress Syndrome sehingga dapat dilakukan penanganan yang tepat apabila menemukan hal seperti itu dan angka morbiditas dapat berkurang.



1.2



Tujuan 1.2.1



Mengetahui tentang definisi, etiopatofisiologi, manifestasi klinis, klasifikasi, penegakan diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis Respiratory Distress Syndrome.



1.3



Manfaat 1.3.1



Manfaat Teoritis Penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang definisi, etiopatofisiologi, epidemiologi, gejala, tatalaksana dan prognosis Respiratory Distress Syndrome.



1.3.2 Manfaat Praktis



2



Penulisan ini dapat menjadi bahan rujukan bagi dokter klinisi dalam menangani pasien saat praktek.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Definisi Respiratory Distress Syndrome (hyaline membrane disease) HMD disebut juga respiratory distress syndrome (RDS) atau Sindroma Gawat Nafas (SGP) tipe 1, yaitu gawat napas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir, ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping hidung, grunting, tipe pernapasan dispnea / takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi progresif dalam 48 – 96 jam pertama kehidupan. Hyaline membrane disease biasanya terjadi pada bayi premature (Smith, 2013).



Gambar 2.1 Gambaran alveolus yang tertutup membrane hialin (Smith, 2013).



2.2



Etiologi Penyebabnya RDS adalah kurangnya surfaktan sehingga meningkatkan permukaan alveolar, atelektasis, penurunan ventilasi alveolar, atau bekurangnya volume paru. Gagal nafas dapat didiagnosa dengan analisis gas darah. Edema sering didapatkan pada hari ke-2, disebabkan oleh retensi cairan dan kebocoran kapiler. Diagnosa dapat dikonfirmasi dengan foto rontgen. Pada pemeriksaan radiologist ditemukan pola retikulogranuler yang uniform, gambaran ground glass appearance dan air bronchogram (Locci et al., 2014). Faktor resiko terjadinya RDS dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor ibu dan bayi. Faktor ibu meliputi kehamilan ganda, ibu dengan kehamilan diabetes, dan lain



3



sebagainya. Sedangkan faktor bayi meliputi bayi premature, bayi laki-laki, hipotermia, infeksi pada paru, pendarahan pada paru, dan lain sebagainya (Pickerd, 2008).



Gambar 2.2 Faktor resiko terjadinya Respiratory Distress Syndrome (Pickerd, 2008).



2.3



Tahap Pematangan Paru Intrauterine Perkembangan paru normal dapat dibagi dalam beberapa tahap. Organogenesis paru dibagi menjadi lima tahapan yang berbeda. Tahapan awal meliputi fase embrionik (hari ke 26 hingga 52) dan fase pseudoglanduler (hari ke 52 hingga akhir minggu ke-16 kehamilan), yang berikutnya adalah fase kanalikuler (17 hingga 26 minggu kehamilan), fase sakuler (26 hingga 36 minggu kehamilan) dan terakhir adalah fase alveolar (36 minggu sampai 24 bulan postnatal). Setelah lima tahapan perkembangan paru, paru memasuki tahapan postnatal growth pada usia 2-18 tahun (Jobe, 2009 & Sherwood, 2010).



4 Gambar 2.3 Perkembangan morfologi paru-paru manusia (Jobe, 2009).



Pada fase embrional, paru pertama kali muncul sebagai sebuah ventral bud yang terpisah dari esofagus dan kaudal dari sulkus laringotrakheal. Celah antara bud paru dan esofagus akan semakin dalam, disertai dengan semakin memanjangnya bud dan mesenkim dan semakin terpisah membentuk calon bronkhi. Pada fase pseudoglandular, pembelahan cepat membentuk 15 hingga 20 saluran udara. Saluran udara yang terbentuk dilapisi oleh selapis sel kuboid yang kaya akan glikogen. Pembuluh darah arteri dan paru juga berkembang seiring dengan perkembangan saluran udara. Di akhir fase pseudoglanduler saluran udara, arteri dan vena telah berkembang menyerupai pola yang ditemukan pada paru dewasa. Pada fase ini pula diafragma terbentuk dan memisahkan rongga dada dan abdomen, kegagalan penutupan akan menyebabkan hernia diafragma dan hipoplasia paru (Jobe, 2009 & Sherwood, 2010). Fase kanalikuler, antara 17 hingga 26 minggu kehamilan, menunjukkan perubahan dari paru yang praviabel menjadi paru yang berpotensi viabel dengan kemampuannya untuk melakukan pertukaran gas. Perubahan utama yang terjadi pada fase ini adalah terbentuknya asinus, diferensiasi epitel dengan pembentukan sawar udara-darah (air blood barrier) dan dimulainya sintesis surfaktan di sel tipe II. Struktur asinus terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolar, dan alveoli rudimenter. Setelah usia kehamilan 20 minggu, sel kuboid yang kaya akan glikogen ini akan mulai membentuk badan lamelar dalam sitoplasmanya menandakan dimulainya produksi surfaktan. Badan lamelar mengandung protein surfaktan dan fosfolipid dalam pneumosit tipe II dapat ditemui dalam asinus tubulus pada stadium ini (Jobe, 2009 & Sherwood, 2010). Fase sakuler merupakan fase perkembangan paru pada janin yang dianggap viabel yaitu pada usia kehamilan 26 hingga 36 minggu. Sakulus merupakan struktur terminal dari paru janin, yang terdiri dari tiga tahapan pembentukan, yaitu bronkiolus repiratorik, duktus alveolaris, baru kemudian terjadi septasi sekunder dari sakulus yang akan membentuk alveoli. Alveolarisasi dimulai pada usia kehamilan 32 hingga 36 minggu dari sakulus terminalis dengan munculnya septa yang mengandung kapiler, serat elastin, dan kolagen. Selama tahap alveolar, dibentuk septa alveolar sekunder yang terjadi dari gestasi 36 minggu sampai 24 bulan setelah lahir (Jobe, 2009 & Sherwood, 2010). 2.4



Fisiologi Pernafasan Bayi Baru Lahir



5



Selama dalam uterus, janin mendapatkan oksigen dari pertukaran gas melalui plasenta. Setelah bayi lahir, pertukaran gas berubah melalui paru-paru. Pada akhir persalinan terjadi hipoksia dan rangsangan fisik lingkungan luar rahim yang merangsang pusat pernafasan di otak. Tekanan terhadap rongga dada yang terjadi karena kompresi paru-paru selama persalinan merangsang masuknya udara ke dalam paru-paru secara mekanis (Sherwood, 2010 & Vonderen et al., 2014). Setelah bayi lahir, kadar CO2 meningkat dalam darah dan akan merangsang pernafasan. Berkurangnya O2 akan mengurangi gerakan pernafasan janin. Tetapi, apabila



terjadi



kenaikan CO2 maka akan frekuensi dan tingkat gerakan pernafasan janin. Pada keadaan dingin juga dapat merangsang bayi untuk bernafas. Upaya pernafasan pertama seorang bayi berfungsi untuk mengeluarkan cairan dalam paru-paru, mengembangkan jaringan alveolus paru-paru untuk pertama kali (Sherwood, 2010 & Vonderen et al., 2014). Gambar 2.4 Proses hilangnya cairan dan masuknya udara pada paru-paru bayi baru lahir (Sherwood, 2010).



Alveolus dapat berfungsi apabila terdapat surfaktan yang cukup dan aliran darah ke paru-paru. Produksi surfaktan dimulai pada 20 minggu kehamilan dan jumlah meningkat sampai paru matang (sekitar 30-34 minggu). Fungsi surfaktan adalah untuk mengurangi tekanan permukaan paru dan membantu untuk menstabilkan dinding alveolus sehingga tidak kolaps pada akhir pernafasan (Sherwood, 2010 & Vonderen et al., 2014).



6



Gambar 2.5 Gambaran pembuluh darah dan alveoli pada bayi sebelum dan setelah lahir (Sherwood, 2010).



Bayi cukup bulan mempunyai cairan di paru-parunya. Pada saat bayi melewati jalan lahir selama persalinan, sekitar sepertiga cairan ini diperas keluar dari paru-paru. Dengan beberapa kali tarikan nafas maka udara akan memenuhi ruangan trakea dan bronkus. Sisa cairan di paru-paru akan dikeluarkan dari paru-paru dan diserap oleh pembuluh darah dan system limfatik (Sherwood, 2010 & Vonderen et al., 2014).



2.5



Fisiologi Surfaktan Surfaktan merupakan suatu senyawa organik yang bersifat ampifilik, yaitu mempunyai bagian hidrofobik (pada bagian ekor) sekaligus bagian hidrofilik (bagian kepala). Sehingga sebuah surfaktan mengandung kedua komponen yang bersifat tidak larut air (larut minyak) dan juga komponen larut air. Surfaktan dibuat oleh sel alveolus tipe II yang mulai tumbuh pada gestasi 20 minggu. Produksi surfaktan pada janin dikontrol oleh kortisol melalui reseptor kortisol yang terdapat pada sel alveolus type II (Jobe, 2009). Sejak saat ini pertukaran gas dapat terjadi namun jarak antara kapiler dan rongga udara masih 2-3 kali lebih lebar dibanding pada dewasa. Setelah 30 minggu terjadi pembentukan bronkiolus terminal, dengan pembentukan alveoli sejak 32–34 minggu. Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20 minggu tapi belum mencapai permukaan paru. Muncul pada cairan amnion antara 28-32 minggu. Setelah 34 minggu kehamilan, materi yang bersifat surface-active sudah cukup diproduksi oleh sel tipe II di paru, disekresi ke dalam alveolus dan dieksresikan ke dalam cairan amnion (Locci et al., 2014).



7



Surfaktan mengurangi tegangan permukaan pada rongga alveoli, memfasilitasi ekspansi paru dan mencegah kolapsnya alveoli selama ekspirasi. Selain itu dapat pula mencegah edema paru serta berperan pada sistem pertahanan terhadap infeksi. Komponen utama surfaktan adalah Dipalmitylphosphatidylcholine (lecithin)–80%, phosphatidylglycerol–7%,



phosphatidylethanolamine–3%,



apoprotein



(surfactant



protein A, B, C, D) dan cholesterol. Dengan bertambahnya usia kehamilan, bertambah pula produksi fosfolipid dan penyimpanannya pada sel alveolar tipe II. Protein merupakan 10 % dari surfaktan., fungsinya adalah memfasilitasi pembentukan film fosfolipid pada perbatasan udara-cairan di alveolus, dan ikut serta dalam proses perombakan surfaktan (Locci et al., 2014).



Gambar 2.6 Proses pembentukan surfaktan oleh sel alveolar type 2. ER: Endoplasmic reticulum, G: Golgi bodies, LB: Lamellar bodies, TM: Tubular Myelin, M: Monolayer, I: type I alveolar epithelial cell, II: type II alveolar epithelial cell (Chakraborty & Kotecha, 2013).



Surfaktan disintesa dari prekursor di retikulum endoplasma dan dikirim ke aparatus Golgi melalui badan multivesikular. Komponen-komponennya tersusun dalam badan lamelar, yaitu penyimpanan intrasel berbentuk granul sebelum surfaktan disekresikan. Setelah disekresikan (eksositosis) ke perbatasan cairan alveolus, fosfolipid-fosfolipid surfaktan disusun menjadi struktur kompleks yang disebut tubular myelin. Tubular myelin menciptakan fosfolipid yang menghasilkan materi yang melapisi perbatasan cairan dan udara di alveolus, yang menurunkan tegangan permukaan.



8



Kemudian surfaktan dipecah, dan fosfolipid serta protein dibawa kembali ke sel tipe II, dalam bentuk vesikel-vesikel kecil, melalui jalur spesifik yang melibatkan endosom dan ditransportasikan untuk disimpan sebagai badan lamelar untuk didaur ulang. Beberapa surfaktan juga dibawa oleh makrofag alveolar (Chakraborty & Kotecha, 2013; Locci et al., 2014). Satu kali transit dari fosfolipid melalui lumen alveoli biasanya membutuhkan beberapa jam. Fosfolipid dalam lumen dibawa kembali ke sel tipe II dan digunakan kembali 10 kali sebelum didegradasi. Protein surfaktan disintesa sebagai poliribosom dan dimodifikasi secara ekstensif di retikulum endoplasma, aparatus Golgi dan badan multivesikular. Protein surfaktan dideteksi dalam badan lamelar sebelum surfaktan disekresikan ke alveolus (Kim, 2010 & Locci et al., 2014).



2.6 Patofisiologi Respiratory Distress Syndrome Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang dengan baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pada bayi premature didapatkan defisiensi surfactant dan struktur paru-paru yang belum matang sehingga alveoli akan mengalami atelektasis. Dinding dada bagian bawah tertarik karena diafragma turun dan tekanan intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah tekanan intratorakal yang dapat diproduksi. Semua hal tersebut menyebabkan kecenderungan terjadinya atelektasis (Locci et al., 2014).



9 Gambar 2.7 Patogenesis Hyaline Membrane Disease atau Respiratory Distress Syndrome bagian pertama (Locci, 2014).



Atelectasis menyebabkan kemampuan pengembangan paru dan udara sisa atau Functional residual capacity (FRC) berkurang. Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan compliance paru merupakan karakteristik HMD. Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan, sementara beberapa terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai respon, bayi premature mengalami grunting yang memperpanjang ekspirasi dan mencegah FRC semakin berkurang. Atelectasis juga meningkatkan kolpas alveoli dan dead space pada pernafasan. Akibat hal tersebut terjadi hypoferfusi dan hypoventilasi yang menyebabkan hypoxemia atau menurunkan oksigen pada darah dan hypercapnia atau peningkatan kadar CO2. (Kim, 2010 & Locci et al., 2014). Apabila hal tersebut terjadi maka menyebabkan asidosis baik respiratorik dan metabolic pada bayi tersebut. Kompensasi tubuh akan melakukan vasodilatasi perifer dan vasokontriksi pulmoner. Kejadian yang terjadi terus-menerus menyebabkan kerusakan endotel dan kerusakan epitel, serta kerusakan alveolar. Hal tersebut menyebabkan transudasi plasma ke dalam rongga alveolar. Setelah itu, akan terbentuk fibrin dan sel nekroktik yang menyebabkan terbentuknya membrane hialin. Membrane hialin yang terbentuk pada paru bayi akan menyebabkan terjadinya Respiratory Distress Syndrome (Locci et al., 2014).



10 Gambar 2.8 Patogenesis Hyaline Membrane Disease atau Respiratory Distress Syndrome bagian kedua (Locci, 2014).



2.7



Manifestasi Klinis Pada pemeriksaan klinis pasien RDS didapatkan takipnea yang meningkat (>60 x/menit), retraksi dada, sianosis yang menetap atau progresif lebih dari 24-48 jam pertama kehidupan, foto rontgen yang khas menunjukkan adanya pola retikulogranular seragam dan bronkogram, menurunnya udara yang masuk, dan grunting / merintih (Nasir et al., 2017). Tanda dari RDS biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun biasanya baru diketahui beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat dan dangkal (60 x / menit). Bila didapatkan onset takipnea yang terlambat harus dipikirkan penyakit lain. Beberapa pasien membutuhkan resusitasi saat lahir akibat asfiksia intrapartum atau distres pernafasan awal yang berat. Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi intercostal dan subcostal, pernafasan cuping hidung, sianosis yang biasanya tidak responsif terhadap oksigen (Nasir et al., 2017). Suara nafas dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular yang kasar, dan pada inspirasi dalam dapat terdengar ronkhi basah halus, terutama pada basis paru posterior. Terjadi perburukan yang progresif dari sianosis dan dyspnea. Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun, terjadi peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang seiring memburuknya penyakit. Apnea dan pernafasan irregular mucul saat bayi lelah, dan merupakan tanda perlunya intervensi segera (Nasir et al., 2017). Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan oliguria. Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada progresi yang cepat dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebabkan kematian pada bayi dengan kasus berat. Tapi pada kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3 hari. Setelah periode inisial tersebut, bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi mulai membaik. Bayi yang lahir pada 32 –33 minggu kehamilan, fungsi paru akan kembali normal dalam 1 minggu kehidupan (Nasir et al., 2017). Pada bayi lebih kecil (usia kehamilan 26 – 28 minggu) biasanya memerlukan ventilasi mekanik. Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi pada kadar oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari



11



pertama, biasanya terjadi pada hari kedua sampai ketujuh, sehubungan dengan adanya kebocoran udara alveoli (emfisema interstitial, pneumothorax) perdarahan paru atau intraventrikular. Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadi bronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik (HMD berat) (Nasir et al., 2017). 2.8



Klasifikasi Klasifikasi derajat gangguan nafas pada bayi dapat merujuk pada klasifikasi IDAI Tabel 2.1 (Kosim, 2008). Tabel 2.1 Klasifikasi Gangguan Nafas Menurut IDAI Klasifikasi



Frekuensi Nafas



Gangguan nafas 60 kali/menit berat



DENGAN



ATAU > kali/menit



90 DENGAN



ATAU < 30 DENGAN kali/menit TANPA Gangguan nafas 60 – 90 kali/menit DENGAN sedang tetapi



Gejala tambahan gangguan napas Sianosis sentral DAN tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi Sianosis sentral ATAU tarikan dinding dada ATAU merintih saat ekspirasi atau Gejala gangguan napas Tarikan dinding dada ATAU merintih saat ekspirasi.



TANPA ATAU > kali/menit



90 TANPA



Gangguan napas 60 – 90 kali/menit ringan



TANPA



Kelainan jantung 60 – 90 kali/menit kongenital



DENGAN



Sianosis sentral Tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi atau sianosis sentral Tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi atau sianosis sentral Sianosis sentral



Tetapi TANPA



Tarikan dinding dada atau merintih



12



2.9



Penegakan Diagnosis A. Anamnesis - Riwayat kelahiran kurang bulan. - Riwayat ibu dengan diabetes melitus. - Riwayat persalinan yang mengalami asfiksia perinatal (gawat janin). - Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit RDS (Kosim, 2008). B. Pemeriksaan Fisik - Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan. - Dijumpai sindroma klinis yang terdiri dari kumpulan gejala a. Sesak napas, dengan frekuensi napas >60 kali/menit atau 48 jam dan kurang dari 7 hari sebelum kelahiran (usia 32 minggu atau kurang) karena efek akan hilang pada 7-10 hari setelah pemberian kortikosteroid. Kortikosteroid kurang efektif jika usia kehamilan lebih dari 34 minggu. Kortikosteroid bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik di sel paru yaitu dengan merangsang produksi phosphatydilcholine oleh sel alveolar type 2.



19



Kortikosteroid yang diberikan adalah betamethasone atau dexamethasone. Dosis pemberian betamethasone adalah 12 mg secara intramuscular (IM) diulang setelah 24 jam. Total dosis 24 mg selama 24-48 jam diperbolehkan. Dosis dexamethasone adalah 6 mg secara intramuscular (IM) tiap 12 jam untuk 4 dosis. Pemberian kortikosteroid tidak disarankan untuk diulang dalam jangka waktu 7 hari. Kontraindikasi pemberian steroid antara lain ibu dengan tiroksikosis, cardiomyophaty, dan lain sebagainya (Kim, 2010 & Nasir, 2017). Tatalaksana lain adalah menjaga jalan nafas dengan pemberian CPAP atau pemberian ventilator mekanik. Pemberian CPAP (Continous Positive Airway Pressure) diberikan jika PaO2 ≤ 50 mmHg untuk mencegah alveoli kolaps sehingga menurunkan resiko terjadinya bronchopulmonary dysplasia (BPD). Apabila dengan penggunaan CPAP, PaO2 tidak dipertahankan diatas 50 mmHg maka diganti dengan penggunaan ventilator mekanik. Ventilator mekanik digunakan untuk bayi dengan HMD berat atau disertai komplikasi yang dapat menimbulkan apneu persisten. Indikasi penggunaan ventilator mekanik adalah pH darah arteri < 7.2, PaCO 2 ≥ 60 mmHg, PaO2 ≤ 50 mmHg, dan apnue persisten (Kim, 2010 & Nasir, 2017). Pada bayi dengan RDS sebaiknya dilakukan pemeriksaan Analisa gas darah untuk melihat kadar PaO2, PaCO2, pH, dan saturasi oksigen dalam darah arteri. Analisa gas darah sebaiknya dipertahankan agar PaO2 ≥ 50 mmHg, PaCO2 ≤ 60 mmHg, pH tetap 7.25, dan Saturasi Oksigen 90-94 % (Hermansen & Lorah, 2007). Pada bayi dengan RDS diberikan pemberian nutrisi bertahap dan dosis cairan rumatan. Cairan yang diberikan pada 24 jam pertama adalah infus glukosa 10% dan cairan melalui vena perifer sebanyak 65-75 ml/kg/24 jam. Setelah itu diberikan penambahan elektrolit dan peningkatan cairan bertahap 120-150 ml/kgBB/24 jam. Apabila cairan yang diberikan berlebihan maka dapat meningkatkan resiko terjadinya Patent Ductus Arteriosus (PDA). Tindakan bedah dilakukan jika didapatkan komplikasi seperti pneumothorax, pneumomediastinum, atau empisema subkutan (Kim, 2010 & Nasir, 2017).



20



Gambar 2.13 Algoritma tatalaksana bayi dengan distress pernafasan (Hermansen & Lorah, 2007)



2.12 Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada Respiratory Distress Syndrome yang sering diamati pada saat dilakukan autopsy antara lain intraventricular cerebral hemorrhage, persistence of the patent ductus artiosus, necrotizing enterocolitis, retinopathy of prematurity (ROP), atau bronchopulmonary dysplasia (BPD). ROP dan BPD umumnya dianggap sebagai komplikasi akhir RDS yang biasanya terjadi pada bayi kurang dari 1500 gram yang dipertahankan pada respirasi mekanik selama lebih dari 6 hari. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa BPD merupakan penyakit bawaan dan intervensi setelah kelahiran hanya menentukan tingkat keparahan bentuk, bukan ada atau tidaknya (Locci, 2014). 2.13 Pencegahan Untuk mencegah terjadinya Hyaline Membrane Disease diberikan kortikosteroid antenatal yang terdiri dari betamethasone 12 mg/dose IM 2 dosis, selang 24 jam atau dexamethasone 6 mg/dose IM 4 dosis, selang 12 jam. Terapi surfaktan dini diberikan sebagai profilaksis pada neonatus kurang dari 27 minggu. Terapi surfaktan bertujuan untuk meningkatkan compliance, kapasitas residual, kapasitas fungsional, dan oksigenasi, menurunkan resiko kebocoran udara, dan menurunkan angka kematian. Pada



21



ruang persalinan dapat juga digunakan CPAP dini untuk mencegah terjadi RDS/HMD (Nasir, 2017). 2.14 Prognosis Sangat bergantung pada berat badan lahir dan usia gestasi (berbanding terbalik dengan kemungkinan timbulnya penyulit). Prognosis baik bila gangguan napas akut dan tidak berhubungan dengan keadaan hipoksemi yang lama.



22



BAB III PENUTUP



3.1. Kesimpulan Respiratory distress syndrome (RDS) adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru-paru. Defisiensi surfactan menyebabkan tegangan permukaan meningkat sehingga alveolar menjadi kolaps dan komplians paru menurun. Hal ini akan mempengaruhi ventilasi alveolar sehingga terjadi hipoksemia dan hiperkapnia dengan acidosis respiratory pada bayi tersebut. Diagnosis banding pada Respiratory Distress Syndrome adalah Transient tachypnea of the Newborn (TTN) dan Meconeal Aspiration Syndrome (MAS) (Hermansen & Lorah, 2007). Untuk mencegah terjadinya Hyaline Membrane Disease diberikan kortikosteroid antenatal yang terdiri dari betamethasone 12 mg/dose IM 2 dosis, selang 24 jam atau dexamethasone 6 mg/dose IM 4 dosis, selang 12 jam. Terapi surfaktan dini diberikan sebagai profilaksis pada neonatus kurang dari 27 minggu (Nasir, 2017).



3.2. Saran Bagi penulis Penulis diharapkan selalu menambah pengetahuannya tentang Respiratory Distress Syndrome. Bagi akademisi Dalam makalah ini hanya dibahas sebagian kecil dari penjelasan tentang Respiratory Distress Syndrome, sehingga untuk referensi lainnya, referat ini bisa digunakan sebagai pelengkap dan penunjang untuk referensi Respiratory Distress Syndrome.



23



DAFTAR PUSTAKA Ayu, Rembulan; Dewi, Ratna Obstetrik, B., Kedokteran, F., & Lampung, U. (2017). Peran Kortikosteroid dalam Pematangan Paru Intrauterin The Role of Corticosteroids in Intrauterine Lung Maturation, 6, 142–147. Bhutani VK. (2008). Developing A Systems Approach to Prevent Meconium Aspiration Syndrome: Lesson learned From Multinational studies. Di dalam: Lawson EE, Martin GI, Vidyasagar D, editor. Proceedings of the First International Conference for Meconium Aspiration Syndrome and Meconium-induced Lung Injury. Journal of Perinatology. Vol 28. Supp 3. Burris HH. (2012). Meconium Aspiration. Di dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, editor. Manual of Neonatal Care. Ed-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Chakraborty, M; Kotecha, S. (2013). Pulmonary surfactant in newborn infants and children. Department of Child Health, School of Medicine, Cardiff University, Cardiff, UK. Clark MB, Clark DA. Meconium Aspiration Syndrome. Medscape Reference. (2012). [terhubung berkala]. emedicine.medscape.com/article/974110-overview. Clark, M.B. Meconium Aspiration Syndrome. (2010). www.medscape.com/ http:// portal neonatal.com.br/outras-especialidades /arquivos/ Meconium Aspiration Syndrome.pdf Hagen, E., Chu, A., & Lew, C. (2017). Transient Tachypnea of the Newborn, 18(3), 141– 148. Hermansen, C. L., & Lorah, K. N. (2007). Respiratory distress in the newborn. American Family Physician, 76(7), 987–994. https://doi.org/10.1001/jama.1980.03300370050028 Jobe AH. (2009). Fetal lung development and surfactant. Philadelphia: Saunders Elsevier. hlm. 193-205. Kim, S. Y. (2010). Neonatal respiratory distress : recent progress in understanding pathogenesis and treatment outcomes, 53(1), 1–6. Kosim MS, Yunanto A & Dewi R . (2008). Buku Ajar Neonatologi; Gangguan Napas Pada Bayi Baru Lahir. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Locci, G., Fanos, V., Gerosa, C., & Faa, G. (2014). Hyaline membrane disease ( HMD ): the role of the perinatal pathologist, 3(2), 1–9. https://doi.org/10.7363/030255 Lokesh Guglani, MD, Satyan Lakshminrusimha, MD, Rita M. Ryan, MD. (2016). Transient tachypnea of the newborn, 3(11), 3–8. https://doi.org/10.1542/pir.2911-e59 Mahmoud Abughalwa, MD; Samer Taha, MD; Nahla Sharaf, MD; Husam Salama, MD (2012). Neonatology Today. https://doi.org/10.1038/jp2011.87.



24



Nasir, F., Pamela, S., Juan, Q. L., & Li, J. (2017). Recent Understanding of Pathophysiology , Risk Factors and Treatments of Neonatal Respiratory Distress Syndrome : A review, 5(1), 70–78. Neonatology Clinical Care Unit Guidelines. (2014). Transient Tachypnoea of the Newborn (TTN), 1–2. Putra TR, Mutiara H. (2017). Meconium Aspiration Syndrome. Medula Unila Journal. Vol 7 No 1. Raju ACU, Sondhi MV, Patnaik MSK. (2010). Meconium Aspiration Syndrome: An Insight. Medical Journal Armed Forces India. Roett MA, Lawrence D, Bennett K. (2010). Meconium Aspiration Syndrome. Brown P, editor. Departement of Family Medicine, Georgetown University-Providence Hospital. Saboute, M., Kashaki, M., Bordbar, A., Khalessi, N., Farahani, Z., & Saboute, M. (2011). The Incidence of Respiratory Distress Syndrome among Preterm Infants Admitted to Neonatal Intensive Care Unit: A Retrospective Study. Open Journal of Pediatrics, 5(5), 285–289. https://doi.org/10.4236/ojped.2015.54043 Salvesen B. (2009). Pathophysiological and Immunological Aspects of Meconium Aspiration Syndrome. Departement of Pediatric Research Instituteof Immunology Faculty of Medicine University of Oslo. Sherwood L. (2010). Human physiology : from cells to system. United States: Brooks Cole. hlm. 461-511. Singh BS, Clark RH, Powers RJ, Spitzer AR. (2009). Meconium aspiration syndrome remains a significant problem in the NICU: outcomes and treatment patterns in term neonates admitted for intensive care during a ten-year period. J Perinatol; 29(7):497-503. Smith, J. H. (2013). Infant Respiratory Distress Syndrome (IRDS). Swarnam K, Soraisham AS Sivanandan S. (2011). Advances in the Management of Meconium Aspiration Syndrome. International journal of Pediatrics. Vonderen, J. J. Van, Roest, A. W., Siew, M. L., & Walther, J. (2014). Measuring Physiological Changes during, 230–242. https://doi.org/10.1159/000356704 Yeh TF. (2010). Core Concepts: Meconium Aspiration Syndrome: Pathogenesis and Current Management. American Academy of Pediatrics.