Resensi Filosofi Teras [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nama



: Shafa Arrifa Okta Anindya



NIM



: 2101419093



Rombel



: 3 PBSI 2019



“Filosofi Teras” Filsafat Ringan yang Dapat Membuka Pikiran



Judul Kini



: Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa



Penulis



: Henry Manampiring



Penerbit



: Penerbit Buku Kompas



Tebal



: 320 halaman



Ukuran



: 13 x 19 cm



Harga



: Rp 98.000,00



Saat saya melihat judul buku ini ada di jajaran 10 besar buku nonfiksi terpopuler 2019 saya agak tidak percaya karena dari judulnya saja sudah terlihat bahwa buku ini adalah buku filsafat. Memang filsafat yang ada di pikiran saya adalah suatu bahassan yang berat, rumit, dan untuk memahaminya memerlukan usaha dan konsentrasi yang ekstra. Namun ketika saya membaca sekilas, buku ini ternyata cukup menarik. Akhirnya saya memutuskan untuk membaca semuanya. Tanpa disangka saya dapat membacanya dalam waktu kurang dari seminggu. Pada awalnya saya pikir buku ini bahasannya akan berat, nyatanya tidak. Ajaran yang ada di dalam Filosofi Teras ini sangat nyata dan cocok untuk berbagai kalangan. Tidak perlu menjadi filsuf atau sufi untuk dapat memahaminya. Ajaran Filosofi Teras dapat dipelajari dan dilakukan oleh orang awam sekalipun. Mulanya saya juga berpikir bahwa buku ini akan membosankan, ternyata saya menikmatinya hingga akhir. Saat membaca, pikiran terasa lebih terbuka, dan hati terasa damai, itu yang saya rasakan setelah membaca buku ini. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini saya hendak berbagi mengenai gambaran besar tulisan Henry Manampiring yang populer di tahun 2019 ini. Apakah kamu sering merasa khawatir akan sesuatu yang belum terjadi? Mudah baper? Sedikitsedikit tersinggung? Mudah marah dan berujung curhat di media sosial? Sering julid di akun selebriti?



Alasan keberadaan buku ini tidak jauh dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Pada tahun 2017, penulis buku Filsafat Teras didiagnosis oleh seorang psikiater menderita Major Depressive Disoder. Saat berhadapan pada sebuah keadaan, ia selalu negative thinking dan dipenuhi kecemasan. Vonis yang didapat penulis buku ini tentu sangat mengejutkannnya. Bagaimana tidak, di masyarakat terdapat stigma bahwa seseorang yang menderita psikis berarti kondisi jiwanya terganggu alias gila. Untuk berjuang dari sakitnya, ia menjalani terapi obat-obatan sehingga membuat perasaannya membaik. Kemudian muncul pertanyaan, apakah ia selamanya akan bergantung pada obat? Selama masa pengobatan berlangsung, ia menemukan buku How to Be a Stoic karya Massimo Pigliucci. Buku tersebut lebih kurang mengenai bagaimana menerapkan Filsafat Stoa atau Stoisisme dalam hidup. Sesudah membaca buku Pigliucci, pikirannya terbuka dan menemukan cara ampuh “terapi tanpa obat”. Ia mempraktikkan ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Singkat cerita, ia menjadi pribadi yang lebih tenang, damai, dan dapat mengendalikan emosi negatif. Atas hasil yang diperolehnya, Henry Manampiring memutuskan untuk berbagi tentang Stoisisme kepada orang lain. Pada tahun 2019, ia menulis buku Filosofi Teras: Filsafat YunaniRomawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini. Oleh karena sebutan Stoisisme terdengar asing, maka Penulis menyebutnya menjadi Filosofi Teras. Jauh dari filsafat yang terkesan sebagai topik berat dan mengawang-awang, Filosofi Teras justru praktis dan relevan dengan kehidupan Generasi Milenial dan Gen-Z masa kini. Pembahasan terkait filosofi teras salah satunya dapat kita jumpai dalam buku karya Henry Manampiring yang berjudul “Filosofi Teras: filsafat Yunani-Romawi kuno untuk mental tangguh masa kini”. Filosofi teras merupakan filsafat yang lahir sekitar 2300 tahun yang lalu dari seorang tokoh yang bernama Zeno. Alkisah suatu hari Zeno melakukan perjalanan dagang namun di perjalanan, malang tak bisa ditolak, kapal yang ditumpanginya karam dan Zeno kehilangan semua dagangannya. Zeno kemudian terdampar di Athena. Di Athena ia bertemu dengan Crates seorang filsuf aliran Cynic dan kemudian belajar filsafat darinya, hingga akhirnya ia merumuskan dan mengajarkan filsafatnya sendiri. Zeno senang mengajar disebuah teras berpilar (yang dalam bahasa Yunani disebut stoa) jadilah aliran filsafatannya disebut Filosofi Teras atau stoisismedan pengikutnya disebut kaum stoa. Dalam stoisisme ada dua hal utama yang ingin dicapai. Pertama yakni hidup bebas dari emosi negatif (sedih, marah, cemburu, curiga, baper dan lain-lain), mendapatkan hidup tentram. Yang mana ketentraman iu bisa dicapai dengan memfokuskan perhatian kita pada hal-hal yang bisa kita kendalikan. Kedua hidup mengasah kebajikan, dimana terdapat empat kebajikan utama menurut stoisisme yakni kebijaksanaan, keadilan, kebenaran dan menahan diri. Terdapat sebuah prinsip fundamental dalam stoisisme yang bisa di bilang disepakati oleh semua filsuf stoa. Yakni sebagaimana yang diungkapkan Epictetus (Enchiridion) “Some things are up to us, some things are no up to us”(ada hal-hal dibawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak dibawah kendali (tidak tergantung pada) kita)



Hal-hal yang tidak dibawah kendali kita adalah: 



Tindakan orang lain (kecuali dia berada di bawah ancaman kita)







Opini orang lain







Reputasi dan popularitas kita







Kesehatan







Kekayaan



Hal-hal yang dibawah kendali kita: 



Pertimbangan, opini atau persepsi kita







Kinginan kita







Tujuan kita







Segala sesuatu yang merupakan pikiran dan pertimbangan kita sendiri



Sehingga dalam stoisisme diketahui bahwa hal yang dapat kita kendalikan dalam suatu keadaan hanyalah pikiran kita tentu menjadi penting untuk melawan interpretasi otomatis yang seringkali membuat kita terjebak dalam emosi negative, yang tentunya sudah kita tau tidak baik dan bertentangan dengan apa yang menjadi tujuan utama stoisisme yakni terhindar dari emosi negatif. Langkah-langkah yang dapat diambil ketika mengalami emosi negatif dapat disingkat manjasi STAR. Yakni STOP (berhenti), THINK (dipikirkan) ASSES (dinilai) dan RESPOND. Pentingnya menjaga persepsi ini sebagaimana diungkapkan Epictetus (Discourses) “Jagalah senantiasa persepsimu, karena ia bukan hal yang sepele, tetapi merupakan kehormatan, kepercayaan, ketekunan, kedamaian, kebabasan dari kesakitan dan ketakutan- dengan kata lain, kemerdekaanmu”. Pada Bab lima buku ini juga memberikan pemahaman untuk melawan kelebaian zaman ini. Filosofi teras memberikan pengamatan mengenai hidup untuk melawan fenomena lebay. Yang pertama bahwa tidak ada yang baru di dunia ini, dalam hal ini Marcus Aurelicus berbicara mengenai hal yang berkenaan dengan perasaan manusia, seperti patah hati, sedih karena kehilangan barang, iri hati dan lain-lain, semua ini telah dihadapi manusia sejak ribuan tahun lalu. Jadi untuk apakah hal-hal sepele dalam hidup ini mendapat respon yang berlebihan. Yang kedua perspektif dari atas ketika kita berpikir mengenai manusia, mengenai masalah cobalah seolah melihatnya dari atas. Bayangkan dirimu melayang dan lihat betapa kecilnya masalah dan dirimu dibanding dunia yang sedemikian besar dan jutaan masalah manusia lainnya. Yang ketiga semua akan terlupakan. Pada saatnya kamu akan melupakan segalanya dan orangorang akan melupakanmu. Jika pada akhirnya semua hal akan dilupakan dan terlupakan apakah pantas bagi kita bersikap berlebihan terhadap suatu peristiwa?



Pada bagian akhir buku ini hal yang tak kalah menarik ialah pembahasan mengenai bagaimana stoisisme memandang kematian. Kaum stoa memandang bahwa kematian sebagai bagian dari alam. Dengan konsep dikotomi kendali dipahami bahwa kedatangan dan kepergian kita didunia ini sebagai hal yang diluar kendali kita, sehingga semestinya bukan hal yang membuat kita pusing memikirkannya. Terdapat humor khas kaum stoa mengenai kematian, yakni “saya harus mati, jika sekarang saatnya, biarlah saya mati sekarang. Jika masih nanti, maka saya harus makan siang dulu sekarang, karena jam makan siang sudah tiba. Soal mati, nantilah saya urus” Epictetus. Dari segi isi, ajaran Filosofi Teras ini sangat aplikatif karena masih relevan dengan problematika kehidupan sehari-hari, sepeti masalah macet, marah-marah di media sosial, nyinyirin selebriti, dan masalah yang dihadapi seseorang ketika menjadi orang tua. Istilah populer Don’t Judge A Book by Its Cover sepertinya layak di sandang oleh buku ini. Saat seseorang memutuskan untuk mengadopsi sebuah buku, biasanya first impression itu menentukan, mulai dari judul buku, cover, pemilihan font, lay out hingga sinopsis buku. Sebelum menikmati sajian isi buku, setidaknya beberapa hal itu menjadi pertimbangan seseorang berminat membacanya atau tidak. Menurut saya, dilihat dari judulnya buku ini kurang menarik. Kesan buku yang berat didapat karena adanya kata filsafat. Hal itu mungkin bisa saja membuat buku ini terlewatkan dari Generasi Milenial. Dari segi isi, beberapa bahasan dan contoh terasa diulang-ulang dan panjang. Membuat beberapa bagian jadi membosankan. Saya merasa buku ini dapat lebih diringkas menjadi dua pertiganya. Akan tetapi, barang kali metode ini memang disengaja oleh penulis agar Filosofi Teras dapat berhasil diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh Generasi Milenial. Terlepas dari kekurangannya, jika sudah mulai membaca isi buku ini maka Anda akan dibuat tidak ingin beranjak sebelum sampai halaman 320. Alih-alih sebagai buku filsafat yang berat, buku ini lebih mengarah pada wejangan laku hidup. Tidak heran jika buku ini dinobatkan sebagai Best Seller Nasional 2019 dan mendapatkan penghargaan dari Kemendikbud sebagai “Influencer Award The Future Is Here”. Kembali lagi ke Filosofi Teras, semua tergantung interpretasi. Awalnya akan terlewatkan tetapi setelah membacanya menjadi sayang jika tidak bertemu dengan buku ini.