Resensi Yowis Ben [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Teks Resensi Film Yowis Ben 1



TEKS RESENSI 1.) Judul Resensi : Bagaimana cara kita menyikapi film berbahasa jawa yang berjudul “YOWIS BEN1” 2.) Data Film : Yowis Ben merupakan film drama-komedi Indonesia yang dirilis pada 22 Februari 2018. Film ini dibintangi oleh Bayu Skak, Brandon Salim, Cut Meyriska, Joshua Suherman, serta Tutus Thomson. Disutradarai oleh Fajar Nugros dan Bayu Skak, film ini 80% menggunakan bahasa Jawa. Bayu (Bayu Skak) menyukai Susan (Cut Meyriska) sejak lama. Namun karena dia merasa minder dengan keadaan dirinya yang pas-pasan, Bayu memutuskan memendam perasaan itu. Namun hari-hari Bayu berubah sejak Susan mengirim voice chat ke ponsel Bayu, yang membuatnya kegeeran luar biasa mengira Susan memberi isyarat agar didekati. Ternyata Susan hanya memanfaatkan Bayu untuk membantunya mensuplai pecel untuk konsumsi teman-teman OSIS. Bayu bertekad mengubah dirinya menjadi lebih populer dari Roy (Indra Widjaya), pacar Susan, yang dikenal piawai sebagai gitaris band sekolah mereka, Bayu berinisiatif membentuk band bersama Doni (Joshua Suherman) - sahabat dekatnya, Yayan (Tutus Thomson) - seorang tukang tabuh beduk sebagai drummer dan Nando (Brandon Salim) - siswa ganteng yang jago keyboard. Mereka sepakat menamakan band mereka YOWIS BEN. Namun rupanya langkah Bayu dan teman-temannya tidak mudah. Dalam masa-masa YOWIS BEN tumbuh di dunia musik kota Malang, perlahan tapi pasti celah perpecahan antar personil YOWIS BEN mulai tampak.



Pemeran Utama • • • • •



Bayu Skak sebagai Bayu Cut Meyriska sebagai Susan Brandon Salim sebagai Nando Joshua Suherman sebagai Doni Tutus Thomson sebagai Yayan



Pemeran Pendukung/Sampingan • • • • • • •



Muhadkly Acho sebagai Fajar Devina Aureel sebagai Stevia Ence Bagus sebagai Satpam sekolah Billy Boedjanger sebagai Kepala sekolah Glenca Chysara sebagai Glenca Aliyah Faizah sebagai Aliyah Arief Didu sebagai Cak Jon



• • • • • • • • • • • • • • • • •



Erick Estrada sebagai Kamidi / Tukang becak Yudha Keling sebagai Penjual Pentol Cilok Wayan Ixora sebagai Teman band Roy Cak Kartolo sebagai Pelanggan Warung Pecel Cak Sapari sebagai Pelanggan Warung Pecel Yoshua Maringka sebagai Teman band Roy Erix Soekamti sebagai Juri 1 Sandy Pas Band sebagai Juri 2 Tretan Muslim sebagai Juri 3 Richard Oh sebagai Papa Nando Ria Ricis sebagai MC Konser Musik Uus sebagai Nugros Rond Weasley / Muhammad Nurcahyo Romadhoni sebagai Teman band Roy Indra Widjaya sebagai Roy Sumaisy Djaitov Yanda sebagai Lelaki yang dikira ayahnya Susan Tri Yudiman sebagai Bu Jum / Ibu Bayu Yudist Ardhana sebagai MC



Judul Lagu[sunting | sunting sumber] • • • •



Mangan Pecel Ojo Bolos Pelajaran Konco Seng Apik Gak Iso Turu



3.) Pendahuluan Tak banyak yang mencoba untuk mengangkat bahasa daerah ke dalam sebuah film. Namun, berbeda untuk film yang dibintangi oleh seorang youtuber asal Malang, Bayu Skak. Bayu yang juga bertindak sebagai co-sutradara ini berani menggarap filmnya yang 90% menggunakan bahasa Jawa bersama sang sutradara Fajar Nugros. Meski penggunaan bahasa Jawa tergolong segmented, nyatanya membuat Bayu yakin akan antusiasme penikmat film Indonesia untuk mencoba suguhan baru tayangan layar lebar. Lahirlah film YOWIS BEN sebagai bentuk rasa cinta Bayu terhadap bahasa Jawa. 4.) Isi Resensi Sekilas, ide cerita yang dihadirkan oleh Bayu Skak ini terlihat seperti kisah band klise: susah-sukseswanita-bubar. Namun, Bayu dan sang sutradara Fajar Nugros, menghadirkan treatment baru dalam kisah film ini. Hampir semua dialog diucapkan dengan Bahasa Jawa akan menghadirkan sisi lain di film ini. Bahasa Jawa yang digunakan seakan sebagai roh dari setiap lawakan dan adegan konyol dalam film ini yang akan membuat penonton terpingkal. Jangan khawatir untuk kamu yang tidak mengerti Bahasa Jawa! Dalam film ini akan dihadirkan subtitle yang terasa pas dan natural.



Film komedi-drama ini juga menghadirkan musik-musik orisinal ramah di telinga yang dimainkan oleh Yowis Ben. Walau dengan musik yang asyik, namun sayang beberapa adegan selalu disisipkan scoring musik yang dirasa tidak pas. Dari segi akting bisa dibilang Bayu Skak menghadirkan performa yang cukup baik, perannya yang merupakan anak Jawa asli pun diperankan sangat natural. Joshua Suherman juga patut diberi apresiasi karena aktingnya, tanpa berlebihan ia berhasil memainkan setiap adegan dengan rapi. Begitu juga dengan Brandon Salim yang memerankan Nando, pria populer di SMA dengan baik. Walau aksen Jawanya terasa janggal, hal tersebut diantisipasi oleh sang sutradara dengan pengungkapan bahwa Nando pernah tinggal di Jakarta. Namun sayang tidak diceritakan kenapa Susan yang diperankan Cut Meyriska memiliki aksen “Jakarta” yang fasih, walau ia tinggal di Malang. Secara keseluruhan Yowis Ben merupakan film komedi segar di awal tahun. Setiap adegan yang mengalir akan dengan mudah dicerna penonton, walau dengan Bahasa Jawa. Alurnya yang simpel sangat cocok untuk penonton yang suka dengan genre komedi-drama dengan bumbu romansa di dalamnya. POTRET praktik perundungan di kalangan remaja terselip dalam plot Film Yowis Ben garapan sutra-dara Fajar Nugros bersama Bayu Skak. Akan tetapi, plot cenderung menampakkan efek perundungan dari perspektif berbeda, malah menjadi pelecut semangat bagi pihak korban guna meraih cita-cita. Film Yowis Ben yang berdurasi 99 menit ini mengusung genre drama komedi, menggambarkan pe-ristiwa yang begitu dekat dengan kehidup-an sehari-hari. Dua sutradara menyuguhkan ce-ri-ta secara ringan dengan kemasan pola alur campuran (maju dan mundur). Bayu Skak turut bermain dalam film, memerankan tokoh utama bernama Bayu yang merupakan anak penjual pe-cel. Guna membantu perekonomian keluarga, Ba-yu bersedia menjual pecel di sekolah, walau kerap menerima cemooh dari teman-temannya. Terdapat bumbu yang menyertai perilisan film, Bayu Skak menerima hujatan dari sejumlah warganet karena hampir seluruh dialog mengguna-kan bahasa Jawa. Bayu sampai membuat ung-gahan pada saluran Youtube miliknya guna merespons hujatan tersebut. Hujatan warganet terhadap film terkesan mencerminkan sikap arogansi individu bersangkutan, mengingat film mengambil latar di Malang. Apalagi, praktisi seni dan budaya sedang gencar berkampanye tentang pelestarian bahasa lokal. Penggunaan bahasa Jawa tampak sesuai dengan tampilan plot film Yowis Ben, kian menebalkan latar emosi yang terpancar pada setiap adegan. Ucapan idiom lokal yang menggelitik juga tertuang pada dialog, berpadu dengan tingkah kocak para sejumlah to-koh. Supaya memudahkan penonton mencerna maksud ucapan tokoh beserta idiom pada dialog, pihak produser mencantumkan terjemahan. 5.) Keunggulan Film Beberapa waktu yang lalu film ini sempat mendapat cibiran dari warganet, terutama atas pilihan menggunakan dialog 90% Bahasa Jawa. Ada yang mengatakan, “Film untuk para pembantu”, “Jaman sekarang masih pakai bahasa kampung”, “film nggak bhinneka tunggal ika,” dan sebagainnya. Orang-orang macam ini sejatinya hanya patut ditertawakan tanpa perlu digubris. Sebuah film sejatinya, adalah gambaran realitas yang dipindahkan ke dalam sebuah layar. Film yang baik adalah yang



sanggup merepresentasikan kejadian sewajarnya kejadian yang terjadi di kehidupan nyata, meskipun film fiksi sekalipun. Pada kenyataannya Indonesia punya budaya beragam. Jadi sah-sah saja menceritakan salah satu budaya suatu daerah. Justru begini seharusnya! Supaya kita bisa mengenal budaya-budaya lain yang belum kita ketahui tanpa perlu repot mengunjunginya satu per satu. Toh, kalau ada yang keberatan karena bahasanya, sudah disediakan teks Indonesia sebagai media pembantu penonton memahami dialog dalam film. Lantas mengapa harus dipermasalahkan? Justru dengan penyamarataan film yang harus berbahasa Indonesia atau lo-gue melulu berpotensi menghilangkan kekayaan bahasa yang kita punya.



Sebelumnya telah ada film daerah lain semacam Uang Panai (2016) dan Silariang (2017) dari Makassar, Turah (2016) dari Tegal, Siti (2014), dan Tengkorak (2017) dari Jogja, dan lain-lain. Film-film semacam ini mendekatkan kita untuk mengenali budaya yang kita punya. Justru dengan berbagai keberagaman latar belakang budaya, dunia perfilman Indonesia semakin kaya akan cerita. Dengan kekayaan cerita tersebut harapannya ranah perfilman kita akan bisa semakin maju. 6.) Kelemahan Film Meskipun film ini nggak bisa dibilang jelek, namun nggak bisa dimungkiri juga bahwa memang masih banyak terdapat kekurangan. Pertama, dari akting tiap tokohnya, boleh jadi baik Bayu dan Joshua sangat fasih melafalkan logat Jawa Timuran dengan kental (juga latar belakang mereka) tapi tetap nggak bisa membuat akting mereka terihat baik dan natural. Khusus untuk tokoh Nando (Brandon Salim), ada kecerdikan Fajar Nugros sebagai sutradara yang laik diapresiasi. Brandon yang wagu berbahasa Malangan diberikan latar belakang berasal dari Jakarta. Maka, meskipun ia kurang fasih dalam melafalkan bahasa Jawa, ia terselamatkan dengan alasan pindahan dari ibukota. Namun sayangnya, hal ini nggak berlaku dengan tokoh Susan yang menggunakan bahasa Indonesia dalam kesehariannya, terkadang pakai lo-gue, tapi nggak terjelaskan latar belakangnya sehingga saya sebagai penonton merasa ada ketidakwajaran dalam aktingnya. 7.) Penutup Terlepas dari kekurangan dan kelebihan yang terdapat dalam film ini. Film ini sesuai dengan apa yang dibutuhkan pelajar di kalangan remaja sebagai motivasi untuk belajar dan berkarya di lingkungan masyarakat yang nyata adanya. Film ini dapat menjadi referensi sebagai pelestarian budaya bangsa dari Bahasa jawa yang kasar sampai yang paling halus. Film ini juga bisa dijadikan acuan diperfilman tanah air bahwa bukan berarti budaya kita sebagai pemecah, namun sebagai pemersatu keragaman bangsa Indonesia.