Resume Etika Bisnis Islam - (Afifa Nabila Rahmah) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Tugas Etika Bisnis Islam



RESUME PERKULIAHAN ETIKA BISNIS ISLAM



DOSEN : Dr. K. H. Ahmad Sabban Rajagukguk, MA D I S U S U N



Oleh: Afifa Nabila Rahmah (0104182078) Manajemen Dakwah-B Semester V



UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI PRODI MANAJEMEN DAKWAH 2020/2021



Identitas Buku: 1. Judul Buku



: Etika Bisnis dalam Islam



2. Penulis



: Drs. Faisal Badroen, MBA



3. Tahun Terbit



: 2006



4. Desain Sampul



: Jakarta Pusat Grafika



5. Penerbit



: Prenadamedia Group



6. Kota Terbit



: Jakarta



7. Jumlah Halaman



: 194 hlm



8. Cetakan



: ke-5



Ruang Lingkup Pembahasan: Buku ini terbit dengan tebal buku 194 halaman dan terdiri dari 6 bab yang tiap-tiap bab memiliki keterkaitan sehingga menjadikan buku ini mudah dipahami dan dipelajari. Adapun yang menjadi pembahasan dalam tiap bab pada buku ‘Etika Bisnis dalam Islam’ ini adalah Bab I : Konsep Etika Bab II : Teori-teori dan Berbagai Sistematika Bab III : Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Etika Bab IV : Sistem Etika Bisnis Islam Bab V : Membangun Budaya Organisasi yang Islami



ii



KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirrahim, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Alhamdulillahi rabbil ‘aalamin. Hanya kepada Allah kita bersyukur atas segala nikmat sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memperluas pengetahuan tentang Etika Bisnis dalam Islam bukan hanya untuk penyusun tetapi juga pembaca. Makalah ini juga untuk memenuhi sebagian tugas mata kuliah Etika Bisnis Islam. Harapan dalam pembuatan makalah ini dapat menambah wawasan pembaca. Sebagai penyusun pasti tidak lepas dari kesalahan dan saya juga menyadari jika makalah ini belum sempurna, maka dari itu saya memohon maaf, di samping itu saya juga membutuhkan kritik beserta saran untuk memperbaiki kekurangan saya agar tidak terulang dimakalah selanjutnya. Saya ucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. K.H. Ahmad Sabban Rajagukguk, MA sebagai dosen pengajar mata kuliah Etika Bisnis Islam yang telah membimbing kami dan juga memberikan tugas ini agar mampu menambah wawasan penulis dan sekaligus pembaca. Demikianlah semoga makalah ini dapat bermanfaat buat kita semua. Medan, Desember 2020



Pemakalah



iii



DAFTAR ISI IDENTITAS BUKU............................................................................ ii KATA PENGANTAR ........................................................................ iii DAFTAR ISI ........................................................................................1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .............................................................................3 BAB II PEMBAHASAN A. Bab I : Konsep Etika ..................................................................5 1. Pendahuluan ............................................................................5 2. Definisi Etika ...........................................................................5 3. Definisi Moral..........................................................................6 4. Definisi Norma ........................................................................6 5. Etika Cabang Filsafat ...............................................................7 6. Definisi Etika Bisnis ................................................................9 B. Bab II : Teori-teori dan Berbagai Sistematika .........................11 1. Pendahuluan ..........................................................................11 2. Sistem Etika Barat .................................................................12 3. Etika dan Perspektif Islam .....................................................13 C. Bab III : Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Etika....13 1. Pendahuluan ..........................................................................13 2. Tahapan Perkembangan Hidup Manusia ................................14 3. Faktor Pembentuk Etika .........................................................16 D. Bab IV : Sistem Etika Bisnis Islam ...........................................17 1. Pendahuluan ..........................................................................17 2. Definisi Etika Bisnis Islam.....................................................18 3. Rumusan Desain Etika Bisnis dalam Islam ............................19 4. Aksioma-aksioma Dasar (Ketentuan Umum) .........................19 5. Prinsip-prinsip Dasar (Basic Tenets) ......................................20 E. Bab V : Membangun Organisasi Budaya yang Islami .............20 1. Pendahuluan ..........................................................................20



-1-



2. Faktor Pembentuk Budaya Organisasi ....................................21 3. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responbility)..........................................................................22 BAB III KRITIK DAN KESIMPULAN A. Kritik ...........................................................................................24 B. Kesimpulan .................................................................................24 DAFTAR PUSTAKA..........................................................................26



-2-



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam tulisan ini akan meringkas isi pembahasan dari sebuah buku yang berjudul ‘Etika Bisnis dalam Islam’ yang mana melatarbelakangi penulis membuat buku yang berisi tulisan ini dikarenakan, akhir-akhir ini yang menjadi trend dari Islamization process yang dikembangkan oleh para pemikir kontemporer ekonomi Islam adalah pertama, mengganti ekonomi sistem bunga dengan sistem ekonomi bagi hasil (free interest), kedua, mengoptimalkan sistem zakat dalam perekonomian (fungsi redistribusi income). Kedua primadona di atas diunggulkan untuk segera memasuki tataran implementasi, bermula hanya berkutat dalam pembahasan asumsi normatif, kini sudah diupayakan agar lebih aplicable, di mana proyeksi penelitian mengarah kepada pembuktian empiris setiap asumsi dari justifikasi fiqih. Fenomena seperti ini akan sangat membantu merapatkan kesenjangan antara Islamic value dan Islamic mechanism, sehingga kajian ekonomi Islam normatif dapat berkembang memasuki babakan empiris (tidak lagi mistis) dalam pembauran cyclical of sciences. Sistem pencarian hakikat begitu ketat mengutak-atik kemapanan paradigma konvensional akan arti dari manusia sebagai ‘homo economicus’. Di mana morality concept dalam perspektif agama diusung pada saat pencerahan aksioma-aksioma yang sudah terlanjur kondang (kapitalistis). Alhasil, apresiasi manusia umum akan materi (property of wealth) pelan-pelan harus digeser melalui arahan rambu imperatif syariah. Pergeseran nilai ini diharapkan dapat membantu bentukan sistem aplikasi manual dari mekanisme produk syariah, karena biar bagaimanapun juga muatan ‘tercerah’ dari perspektif ini adalah adanya dimensi moral berbasis wahyu. Sebagaimana yang diilustrasikan oleh Vogel dan Samuel Hayes dalam suasana basic tanetsdari four vertices sistem keuangan Islam. Menggeser dan apalagi mengubah apa yang sudah menjadi budaya memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena seideal apa pun konsep yang ditawarkan, tidak akan pernah lekang dari faktor manusianya tadi. Waloupun inovasi inserting values dan mekanisme produk sudah dimanualkan secara detail, namun pada tataran pelaksanaannya masih kesulitan dalam pencapaian titik optimal, apabila



-3-



pemeran dari konsepnya tidak matang dalam memahami dan menerjemahkan prinsipprinsip fundamental dari moral agama ke dalam perilaku bisnis. Dengan demikian, sudah selayaknya commercial ethics dapat menjadi salah satu kajian yang harus melengkapi Islamization process. Maka dari itu, berikur merupakan ringkasan yang dibuat berdasarkan buku yang berjudul ‘Etika Bisnis dalam Islam’ yang ditulis oleh Drs. Faisal Badroen, MBA; M. Arief Mufraeni, Lc., M.Si; Suhendar, S.Ag., M.M; dan Ahmad D. Bashoru, M.A



-4-



BAB II PEMBAHASAN A. BAB I : KONSEP ETIKA 1. Pendahuluan Ketetapan ‘boleh’ dan ‘tidak’ dalam kehidupan manusia telah dikenal sejak manusia pertama, Adam dan Hawa diciptakan. Seperti dikisahkan dalam kitab suci AlQur’an, kedua sejoli ini diperkenankan oleh Allah untuk memakan apa saja yang mereka inginkan di surga, namun jangan sekali-kali mendekati sebuah pohon yang apabila dilakukan mereka akan tergolong orang-orang yang zalim. Prinsip ‘boleh’ dan ‘tidak’ tersebut berlanjut oleh para nabi-nabi yang diutus oleh Allah. Mereka diutus merealisir ketentuan Sang Pencipta dalam seperangkat regulasi agar dapat mengarahkan manusia hidup bahagia di dunia. Tata nilai itu diletakkan sebagai regulator kehidupan guna mencegah



kerusakan yang ditimbulkan oleh tingkah laku manusia yang



cenderung egoistis dan liar. Tata nilai itulah yang disebut sebagai etika. Islam sebagai agama dengan sistem komprehensif juga mengatur kode etik dalam bisnis dengan basis moralitas. Islam mengombinasikan nilai-nilai spiritual dan material dalam kesatuan yang seimbang dengan tujuan menjadikan manusia hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Tetapi persoalan kemudian bahwa konsep materialistis yang berkembang di alam modern sekarang ini telah menyeret manusia pada kondisi dimana nilai-nilai spiritual terpinggirkan. Hal ini terjadi terutama dikalangan kaum pebisnis yang gilirannya berimbas negatif pada lapisan lain. Di sinilah Etika Bisnis Islam (EBI) menjadi relevan untuk ditumbuh kembangkan sebagai sebuah alternatif solusi keluar dari kungkungan budaya korup dan improfesionalisme tersebut. 2. Definisi Etika Menelusuri asal usul etika tak lepas dari asli kata ethos dalam bahasa Yunani yang berarti kebiasaan (custom) atau karakter (character). Dalam kata lain seperti dalam pemaknaan dan kamus Webster berarti “the distinguishing character, sentiment, moral nature, or guiding beliefs of a person, group, or institution” (karakter istimewa,



-5-



sentimen, tabiat moral, atau keyakinan yang membimbing seseorang, kelompok atau institusi). Dalam makna yang lebih tegas, yaitu kutipan dalam buku Kuliah Etika mendefinisikan etika secara terminologis sebagai berikut: “The systematic study of the nature of value concepts, good, bad, ought, right, wrong, etc. And of the general principles which justify us in applying them to anything; also called moral philosohpy”. Ini artinya, bahwa etika merupakan studi sistematis tentang tabiat konsep nilai, baik, buruk, harus, benar, salah dan lain sebagainya. Dan prinsip-prinsip umum yang membenarkan kita untuk mengaplikasikannya atas apa saja. Disini etika dapat dimaknai sebagai dasar moralitas seseorang dan di saat bersamaan juga sebagai filsufnya dalam berperilaku. Secara terminologis, arti kata etika sangat dekat pengertiannya dengan istilah Al- Qur’an al-khuluq. Untuk mendeskripsikan konsep kebajikan, Al-Qur’an menggunakan sejumlah terminologi sebagai berikut: khair, bir, qist, ‘adl, haqq, ma’ruf, dan taqwa. Dalam uraian di atas ada persinggungan makna antara etika, moral, dan norma yang terkadang digunakan secara tumpang tindih. Untuk itu perlu ada pendefinisian moral dan norma sehingga jelas perbedaan antara ketiga hal tersebut. 3. Definisi Moral Moral berasal dari kata Latin ‘mos’ (bentuk jamaknya, yaitu ‘mores’) yang berarti adat dan cara hidup. ‘Mores’ dalam bahasa Inggris adalah morality yang berarti ‘general name for moral judgements, standards, rules of conduct’. Dalam makna lain morality berarti ‘a doctrine or system of moral conduct/particular moral principles or rules of conduct’. Ini artinya, bahwa moralitas merupakan sebutan umum bagi keputusan moral, standar moral, dan aturan-aturan berperilaku yang berangkat dari nilai-nilai etika. Hal itu tidak saja dalam format keputusan, standar, dan aturan-aturan aktual yang ada dalam masyarakat, tetapi juga meliputi keputusan-keputusan ideal yang dibenarkan dengan alasan yang rasional. 4. Definisi Norma



-6-



Norma secara etimologis bermakna ‘an authoritative standard’ atau principle of right action bidding upon the members of a group and serving to guide, control or regulate proper and acceptable behavior’. Artinya, bahwa norma merupakan alat ukur dan standar yang punya kekuatan yang dapat mengarahkan anggota kelompok, mengontrol, dan mengatur perilaku baiknya. Ia menjadi kaidah aturan bagi sebuah perimbangkan dan penilaian. Jadi, ringkasan menurut Drs. Achmad Charris Zubaik bahwa norma adalah ‘nilai yang menjadi milik, tertanam, dan disepakati semua pihak dalam masyarakat’ yang berangkat dari nilai baik, cantik atau berguna yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan kemudian menghadirkan ukuran atau norma. Artinya, norma bernula dari penilaian, nilai, dan norma. Macam-macam norma: a.



Norma teknis dan permainan: hanya berlaku untuk mencapai



tujuan tertentu, seperti aturan main bulu tangkis, dan lain-lain. b.



Norma yang berlaku umum.



c.



Peraturan sopan santun.



d.



Norma hukum, yaitu norma yang pelaksanaannya dapat dituntut



dan dipaksakan serta pelanggarnya ditindak (mencuri dan lain-lain). e.



Norma moral, yaitu pelanggaran yang belum tentu pelanggarnya



ditindak seperti hubungan di luar nikah yang secara moral dilarang oleh agama, tetapi tidak mendapat hukuman dalam hukum positif yang berlaku.



5. Etika Cabang Filsafat Etika merupakan bagian dari filsafat yang menjadi konsen para filsuf sejak zaman Socrates. Ia menjadi peletak mazhab kebahagiaan atau Hudaemomsm sehingga konsep dan pemikiran tentang kebahagiaan yang didorong oleh etika menyebar di kalangan komunitas filsuf Yunani. Etika merupakan bagian dari filsafat yang mencari jawaban atas pertanyaan ‘mengapa seseorang harus tunduk pada norma, peraturan, dan hukum?’ Ketentuan-



-7-



ketentuan yang dilatakkan seakan membelenggu kebebasan seseorang. Manusia melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak ia senangi. Jawaban yang diberikan oleh seseorang terhadap hal di atas merupakan tugas dari etika untuk meresponsnya, sehingga apa yang ia lakukan menjadi biasa. Alasannya, karena etika mencari tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Etika dapat membuat seseorang menyadari bahwa apa yang tidak diperbolehkan sesungguhnya tidak baik. 5.1 Sifat Dasar : Kritis Etika dipisahkan dari semua cabang filsafat lain karena ia tidak mempersoalkan keadaan keadaan manusia tetapi membahas apa dan bagaimana ia harus bertindak. Maka dari itu etika punya sifat yang kritis, mempersoalkan norma yang berlaku, apa dasar, dan legitimasinya? Mempersoalkan hak setiap pihak atau lembaga memberi perintah dan aturan yang harus ditaati. Etika dapat mengantar seseorang untuk bersifat kritis dan rasional, membentuk pendapat sendiri, bertindak sesuai kemampuan, dan dapat dipertanggungjawabkan. 5.2 Etika dan Kebebasan Etika dapat diartikan sebagai sikap untuk memahami opsi-opsi yang harus diambil diantara sekian banyak pilihan tindakan yang ada. Etika tidaklah ditafsir sebagai sesuatu yang merampas kebebasan manusia dalam berbuat. Memang manusia disebut sebagai makhluk yang punya kebebasan. Artinya, manusia itu bebas bila ia dapat menentukan sendiri tujuan-tujuan dan apa yang dilakukannya, dapat memilih antara probabilitis-probabilitas yang ada dan tidak dipaksa oleh seseorang, negara, atau kekuasaan apapun. Di sini ada beberapa bentuk kebebasan yang ada: Pertama: kebebasan jasmani, yaitu kebebasan manusia untuk menggerakkan anggota tubuhnya. Kebebasan ini tergantung pada kemampuan tubuh itu sendiri. Kedua: kebebasan kehendak, yaitu kebebasan untuk menginginkan sesuatu yang diukur dengan jangkauan berpikir seseorang. Ketiga: kebebasan moral, yaitu tidak adanya ancaman, tekanan, atau desakan.



-8-



5.3 Kebebasan dan Tanggung Jawab Kebebasan manusia yang ada tidak serta-merta membuat manusia liar berbuat seperti hewan. Kebebasan manusia yang ada adalah kebebasan dengan tanggung jawab yaitu kebebasan yang didasari oleh ‘ilm (ilmu) dan kesadaran penuh. Ada beberapa uraian berikut yang dapat memperjelas hal di atas. a.



Manusia bebas dalam bertindak. Manusia bebas berbuat sesuatu



dengan tujuan dan disengaja yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal dirinya. Bisa jadi hal itu disebabkan oleh pengaruh ajaran agama, bacaan, lingkungan, dan lain sebagainya. b.



Kebebasan dengan kewajiban moral. Dalam sebuah analisis



tentang kesadaran moral mengatakan bahwa seseorang yang melakukan suatu kewajiban karena ia setuju, walau itu butuh pengorbanan. Karena didapati bahwa tindakan tersebut ternyata dapat membuat ia merasa bebas. c.



Kebebasan bertanggungjawab. Sesungguhnya sikap moral yang



mature atau dewasa adalah sikap yang bertanggungjawab. Tidak mungkin ada tanggungjawab tanpa ada kebebasan. Di sini dapat disimpulkan bahwa kebebasan itu mengandung anasir berikut. a.



Kemampuan seseorang untuk menentukan suatu tindakan secara



independen. b.



Kemampuan untuk bertanggungjawab secara sadar.



c.



Sikap yang dewasa dengan penuh pertimbangan dan konsekuen.



d.



Adanya semua kondisi di mana seseorang dapat mewujudkan



tujuan hidupnya.



6. Definisi Etika Bisnis Di sini dapatlah kita mendefinisikan etika bisnis sebagai seperangkat nilai tentang baik, buruk, benar, dan salah dalam dunia bisnis berdasarkan pada prinsipprinsip moralitas. Dalam arti lain etika bisnis berarti seperangkat prinsip dan norma di mana para pelaku bisnis harus komit padanya dalam bertransaksi, berperilaku, dan berelasi guna mencapai ‘daratan’ atau tujuan-tujuan bisnisnya dengan selamat.



-9-



Dan ini yang menjadi kriteria penghargaan dan peringatan/tindakan (a set of principles and norms to whichbusiness people should adhere in their business dealings, conduct, and realtions in order to reach the shores of safety. It is also a criterion for reward or punishment). Dengan demikian, maka belajar etika bisnis berarti ‘learning what is right or wrong’ yang dapat membekali seseorang untuk berbuat the right thing yang didasari oleh ilmu, kesadaran, dan kondisi yang berbasis moralitas. Namun terkadang etika bisnis dapat berarti juga etika manajerial (management ethics) atau etika organisasional yang disepakati oleh sebuah perusahaan. Selain itu, etika bisnis juga dapat berarti pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis, yaitu refleksi tentang perbuatan baik, buruk, terpuji, tercela, benar, salah, wajar, tidak wajar, pantas, tidak pantas dari perilaku seseorang dalam berbisnis atau bekerja. 6.1 Etika Bisnis Normatif Etika normatif dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran atau norma yang dapat dipakai untuk menanggapi atau menilai perbuatan. Etika ini menjelaskan apa yang seharusnya terjadi dan apa yang harus dilakukan, dan memungkinkan seseorang untuk mengukur apa yang semestinya terjadi. Adapun etika normatif bisnis merupakan etika yang secara substansional diterapkan dalam etika terapan (applied ethics). Dengan mengambil konsep etika dan diterapkan dalam situasi bisnis tertentu seperti ekonomi-politik, tetapi tidak sama dengan filsafat bisnis karena etika bisnis adalah disiplin normatif. Disiplin ini yang membuat keputusan khusus tentang benar dan salah. Ia yang harus menentukan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak. Etika normatif ini tidak sama dengan etika deskriptif yang konsen menjelaskan peristiwa-peristiwa etis. Begitu juga halnya dengan konsep etika analisis yang berusaha mencapai pemahaman yang mendalam sebuah peristiwa etis tersebut. 6.2 Tiga Tingkatan Aplikasi



- 10 -



Adapun penerapan etika bisnis dapat dilakukan pada tiga tingkatan. Pertama, pada tingkatan individual pegawai. Kedua, organisasi. Ketiga, masyarakat. Pada tiga level bidang penerapan etika tersebut terkadang tidak sejalan, artinya terjadi konflik antara ketiganya. Karena ada saja perilaku yang bagus bagi pegawai perusahaan, tetapi belum tentu baik bagi perusahaan, atau sebaliknya. Begitu juga baik bagi perusahaan, tetapi belum tentu bagi masyarakat. Disini etika bisnis punya peranan vital dalam mengharmonisasi dan merekonsiliasi komponen yang berseberangan tersebut sehingga dapat mewujudkan adagium yang mengatakan: “Good is Gold”. 6.3 Tujuan umum studi etika bisnis Ada beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai tujuan umum dari studi etika bisnis, sebagai berikut: 1. Menanamkan kesadaran akan adanya dimensi etis dalam bisnis. 2. Memperkenalkan argumentasi-argumentasi moral di bidang ekonomi dan bisnis serta cara penyusunannya. 3. Membantu untuk menentukan sikap moral yang tepat dalam menjalankan profesi. Dengan demikian, maka ketiga tujuan tersebut dari studi etika bisnis diharapkan dapat membekali para stakeholders parameter yang berkenaan dengan hak, kewajiban, dan keadilan sehingga dapat bekerja secara profesional demi mencapai produktivitas dan efisiensi kerja yang optimal. B. BAB II : Teori-teori dan Berbagai Sistematika 1. Pendahuluan Standar perilaku dan karakter dari suatu masyarakat tergantung dari banyak sumber, antara lain: ajaran agama, kebiasaan/adat, model panutan, keluarga dan teman, bacaan, dan yang terakhir adalah dari keputusan penilaian seseorang dalam menilai perilaku oranglain termasuk dalam menilai dirinya di masa lalu saat ini dan masa akan datang. Etika sebagai cabang filsafat yang mempelajari baik dan buruknya perilaku manusia, biasa disebut pula sebagai. filsafat moral. Refleksi pemikiran moral dimana



- 11 -



nilai-nilai dan norma-norma yang dipraktikkan dan/atau tidak dipraktikkan walaupun seharusnya dipraktikkan menjadi objek pengkajian. Salah satu objek pengkajiannya adalah aspek-aspek moral dalam sistem ekonomi, dalam organisasi, dan pelaku individu yang terlibat. Mempelajari teori-teori etika akan memberikan wawasan bagi pedoman dalam pengambilan keputusan bisnis ketika pelaku dihadapkan dengan situasi yang memiliki dimensi moral. Sistem etika Islam secara umum memiliki perbedaan mendasar dibanding sistem etika Barat. Pemaparan pemikiran yang melahirkan sistem etika di Barat cenderung memperlihatkan perjalanan yang dinamis dengan cirinya yang berubah-ubah dan bersifat sementara sesuai dinamika peradaban yang dominan. Lahirnya pemikiran etika biasanya didasarkan pada pengalaman dan nilai-nilai yang diyakini para pencetusnya. Pengaruh ajaran agama kepada model etika di Barat justru menciptakan ekstremitas baru di mana cenderung merenggut manusia dan keterlibatan duniawi dibandingkan sudut lain yang sangat mengemukakan rasionalisme dan keduniawian. Sedangkan dalam Islam mengajarkan kesatuan hubungan antarmanusia dengan Penciptanya. Kehidupan totalitas duniawi dan ukhrawi dengan berdasarkan sumber utama yang jelas yaitu Al-Quran dan Hadis sebagaimana disinggung di atas. 2. Sistem Etika Barat Teori-teori etika dapat dipecah menjadi 2 kategori: teleological dan deontological. Sesuai dengan arti kata dasarnya, teori-teori teological (telos=tujuan) mendasarkan pengambilan keputusan moral dengan pengukuran hasil atau konsekuensi suatu perbuatan. Sedangkan teori-teori deontological (deon=tugas, kewajiban) menentukan etika dari suatu perbuatan berdasarkan aturan atau prinsip yang mengatur proses pengambilan keputusannya. Pada bagian sistem etika Barat ini akan dibicarakan antara lain: a.



Sistem Etika Teleologi, diantaranya teori yang dikembangman



oleh Jeremy Bentham (w. 1832) dan John Stuart Mill (w. 1873) mendasarkan pada konsep utility (manfaat) yang kemudiaan disebut Utilitarianism, dan teori Keadilan Distribusi (Distributive Justice) atau keadilan yang berdasarkan pada



- 12 -



konsep Fairness yang dikembangkan oleh John Rawis, seorang filsuf kontemporer dari Harvard University. b.



Sistem



Etika



Deontologi,



dikembangkan oleh Immanuel Kant



di



antaranya



teori-teori



yang



(w. 1804) seorang filsuf Jerman,



perspektif agama (hukum abadi), teori Virtue (keutamaan). c.



Teori-teori Hybrid, antara lain teori Kebebasan Individu



(Personal Libertarianism) yang dikembangkan oleh Robert Nozick, Etika Egoisme (Ethical Egoism), dan Etika Egoisme Baru (Enlightened Ethical Egoism)-self interest, teori relativisme, teori hak, dan teori eksistensi.



3. Etika dalam Perspektif Islam Etika dalam perspektif Islam dimasukkan dalam filsafat praktis (al hikmah al amaliyah) bersama politik dan ekonomi. Berbicara tentang bagaimana seharusnya Etika vs Moral. Moral = nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia (praktiknyaakhlak), Etika = ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk (ilmunya-ilm al akhlaq). Dalam disiplin filsafat, etika sering disamakan dengan Filsafat Moral. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang dinamis sebagai bagian dari budaya dan peradaban, contoh: kasus pembunuhan Utsman-kasus politik (timbulkan perdebatan tentang dosa besar). Ajaran Al-Quran penuh dengan kaitan antara keimanan dan moralitas. Islam mengembangkan ilmu-ilmu astronomi, kimia, dan matematika. Ilmu yang lebih dekat adalah pembahasan etika. C. BAB III : Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Etika 1. Pendahuluan Dalam dunia pendidikan dikenal beberapa teori berkenaan dengan faktor pembentuk perilaku. Pertama, dikemukakan oleh John Locke yang diberi nama “teori tabularasa” yang mengatakan bahwa: “Child born like a sheet of white paper a wid all of characters”. Ketika anak lahir ia diumpamakan sebagai kertas buram yang putih, tidak ada tulisan, goresan, atau bakat apa pun. Jiwa anak masih bersih dari pengaruh keturunan sehingga pendidikan dan pengalaman dapat dibentuk sesuai kehendaknya. Menurut Locke, orangtua mempunyai peranan penting dalam mengisi “lembaran kertas”



- 13 -



yang bersih tersebut. Teori ini dikenal kemudian dengan pengalaman dan lingkungan yang menjadi cikal bakal lahirnya teori belajar. Sedangkan teori lain bertolak belakang dengan pandangan John Locke di atas dikemukakan oleh seorang filsuf asal Perancis bernama Jean Jacques Rousseau (17121778), bahwa semua orang ketika dilahirkan mempunyai dasar-dasar moral yang baik. Teori ini dikenal dengan istilah “noble savage” yang menenangkan segi moral (hal-hal yang berkenaan dengan baik dan buruk) dengan menitikberatkan pada faktor keturunan sebagai faktor yang penting terhadap isi kejiwaan dan gambaran kepribadian seseorang. Dari kedua teori tersebut dapat kita tarik benang merahnya, bahwa pada dasarnya perilaku seseorang banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sangat mendasar yang dialami dan dijalani dalam kehidupan yang dilaluinya sejak masa kanakkanak sampai kepada masa dewasa. Nilai perilaku dapat diibaratkan sebagai software, supaya perilaku dapat diamati, dihayati, dan diaktualisasikan. 2. Tahapan Perkembangan Hidup Manusia Tahapan-tahapan perkembangan hidup manusia, antara lain: 2.1 Tahap Perkembangan Jasmani dan Rohani Perkembangan merupakan perubahan yang terus-menerus dialami, tetapi ia tetap menjadi kesatuan. Perkembangan berlangsung demi masa. Charlotte Buhler, seorang ahli psikologi, dalam bukunya “Practische Kinder Psychologie”, 1949, mengemukakan masa perkembangan anak dan pemuda sebagai berikut: a.



Masa Pertama. Pada masa ini anak berlatih mengenal dunia



lingkungan dengan berbagai macam gerak. Pada waktu lahir ia mengalami dunia tersendiri yang tak ada hubungan dengan lingkungannya. Perangsanganperangsangan luar hanya sebagian kecil yang dapat disambutnya, sebagian besar lainnya masih ditolak. Pada masa ini terdapat dua peristiwa penting, yaitu belajar, berjalan, dan berbicara. b.



Masa Kedua. Keadaan dunia luar makin dikuasai dan dikenalnya



melalui bermain, kemajuan bahasa, dan pertumbuhan kemauannya. Dunia luar dilihat dan dinilai menurut keadaan dan sifat batinnya. Semua binatang dan benda mati disamakan dengan dirinya.



- 14 -



c.



Masa Ketiga. Keinginan bermain berkembang menjadi semangat



bekerja. Rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan semakin tinggi. Demikian pula rasa sosialnya semakin tinggi. Pandangan terhadap dunia sekelilingnya ditinjau dan diterima secara objektif. d.



Masa Keempat. Keinginan maju dan memahami kenyataan men-



capai puncaknya. Pertumbuhan jasmani sangat subur dan kejiwaannya tampak tenang. Pada masa ini mulai timbul kritik terhadap diri sendiri, kesadaran akan kemauan, penuh pertimbangan, mengutamakan tenaga sendiri, disertai berbagai pertentangan yang timbul dengan dunia lingkungan dan sebagainya. e.



Masa Kelima. Pada awal masa pubertas kelihatan lebih subjektif



kemampuan dan kesadaran dirinya terus meningkat. Hlal ini memengaruhi sifat-sifat dan tingkah lakunya, Keseimbangan antara dirinya sendiri dengan pengaruh dunia lingkungan. Mereka membentuk pribadi, menerima normanorma budaya, dan kehidupan. 2.2 Tahap Perkembangan Moralitas Seseorang Istilah moral berasal dari kata latin MOS (Moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, tata cara kehidupan. Sedangkan pengertian moralitas berhubungan dengan keadaan nilai-nilai moral yang berlaku dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat. Di sini Islam datang untuk menerangi diri dan lingkungan tersebut dengan cahaya kebajikan (virtue) dan perilaku baik (good manners) yang menjadi misi kedatangan para rasul. Rasulullah saw. diutus untuk menyempurnakan etika dan akhlak yang baik secara faktual dibuktikan dalam sejarah kehidupan beliau yang termaktub dalam banyak biografi yang ditulis oleh banyak ahli sejarah, baik muslim atau nonmuslim. Untuk itu, ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah punya peranan penting dalam pembentukan perilaku baik tersebut. Seseungguhnya seluruh ibadah dalam Islam dirancang sebagai bentuk pelatihan atau exercise agar manusia mendapat akhlak yang benar, kebiasaan yang baik dan terpuji yang terus menghiasi kehidupannya sepanjang hayat. Contoh ibadah puasa, dalam puasa manusia dilatih untuk tetap komit menahan ‘hawa nasfsunya’ agar tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak ibadah tersebut,



- 15 -



kendati itu mungkin dilakukan walau tanpa dilihat oleh orang lain. Artinya, puasa melatih seseorang meyakini ‘endless monitoring’ dari Sang Khalik (Pencipta). Begitu juga dengan ibadah-ibadah lain yang secara keseluruhan punya tujuan mulia agar dapat membentuk pribadi-pribadi muslim yang produktif, profesional, bersimpati, menebar kasih dan sayang kepada sesama dan bahkan kepada alam semesta. 3. Faktor Pembentuk Etika Etika baik atau akhlak mulia itu tidak didapat dan terbentuk dengan sendirinya, tetapi ada faktor-faktor lain, selain faktor ibadah di atas seperti yang dikemukakan oleh ahli Etika Bisnis Islam dari Amerika, Rafiq Issa Beekuni mengungkapkan bahwa perilaku etika individu dapat dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yaitu: (1) interpretasi terhadap hukum; (2) faktor organisasional; dan (3) faktor individu dan situasi. Faktor pertama adalah interpretasi terhadap hukum. Secara filosofis, sistem hukum dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap jiwa dan raga manusia dari berbagai faktor yang dapat menghilangkan eksistensi manusia. Hukum akan hidup dan diyakini keberadaannya apabila dirasakan ada manfaatnya bagi manusia. Ketika hukum tersebut bertentangan dengan kepentingan manusia, maka ia dapat membahayakan eksistensinya dan tidak akan ditaati. Interpretasi terhadap suatu produk hukurn akan cenderung didasari oleh standar nilai tertentu. Pada masyarakat Barat, interpretasi ini sering kali didasarkan pada nilainilai yang bersifat temporal di mana produk hukum yang dihasilkan akan cepat berubah mengikuti situasi dan kondisi manusianya, suatu saat perilaku seseorang dianggap ilegal menurut hukum dan ada saatnya situasi tersebut berubah menjadi legal apabila masyarakat menginginkannya, contoh: diskriminasi terhadap perempuan dan kaum minoritas pernah dilegalkan dalam masyarakat Barat, sedangkan pada masa saat ini hal itu dianggap sebagai suatu perbuatan yang ilegal. Artinya, hukum di Barat cenderung mengikuti kepentingan sesaat manusia, bukan sebaliknya di mana manusia mengikuti tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah produk hukum. Faktor kedua adalah lingkungan atau organisasi di mana ia hidup. Tanpa masyarakat (lingkungan; orang tua, saudara, teman guru, dan lainnya) kepribadian seorang individu tidak dapat berkembang; demikian pula halnya dengan aspek moral



- 16 -



pada anak. Nilai-nilai moral yang dimiliki seorang anak lebih merupakan sesuatu yang diperoleh anak dari luar, ia akan merekam setiap aktivitas yang terjadi di lingkungannya yang lambat laun akan membentuk pola tingkah laku bagi kehidupannya di masa yang akan datang. Faktor ketiga adalah faktor individu. Hal-hal yang masuk ke dalam kategori ini antara lain: pengalaman batin sescorang yang juga merupakan faktor bagi terbentuknya perilaku etik bagi seseorang. Akan tetapi, sebaliknya apabila ia terbiasa dengan suasana yang tidak harmonis seperti orang tua yang sering bertengkar dan bagaimana perlakuan kasar ayahnya terhadap ibundanya dapat menjadikan seorang anak kelak sebagai seorang yang kasar (senang main pukul) atau bagi anak perempuan bahkan membenci ayahnya atau lebih ekstrem lagi ia akan membenci setiap laki-laki karena yang ada dalam benaknya adalah sosok laki-laki sebagai makhluk yang kasar dan tidak berbudi. Faktor lainnya adalah kondisi atau situasi. Faktor ini memberikan kontribusi yang cukup besar bagi terbentuknya perilaku etika seseorang, misalnya, si Ahmad sebagai seorang manajer akuntansi di sebuah perusahaan. Pada suatu saat ia diperintah direkturnya untuk membuat sebuah laporan dengan memanipulasi kewajiban pembayaran pajak agar tidak terlalu besar, padahal per-usahaan telah membebankan atau mengambil pajak dari para konsumennya. Dalam kondisi seperti ini ia dihadapkan pada suatu hal yang dilematis, di satu sisi ia tidak ingin melawan atasannya karena etikanya adalah ‘bawahan harus menaati atasan’. Di sisi yang 1ain ia paham dan sadar bahwa perbuatan memanipulasi laporan adalah sesuatu yang tidak etis. D. BAB IV : Sistem Etika Bisnis Islam 1. Pendahuluan Sistem Etika Bisnis Islam berbeda dengan sistem etika sekuler ataupun sebagaimana sudah disinggung pada bab sebelumnya, sistem etika yang diusung oleh agama lain. Melalui perkembangan peradaban, sistem sekuler mengasumsikan sejumlah kode moralitas yang sangat entropis, karena konsep moral dari sistem etika tersebut berdiri di atas nilai-nilai temuan manusia. Seperti halnya epicurianism atau kebahagiaan



- 17 -



hanya untuk kebahagiaan itu sendiri. Sistem etika tersebut mengusulkan sebuah sistem penceraian antara etika dan agama. Sedangkan kode moralitas yang diadopsi agama selain Islam lebih sering menekankan kepada pengkaburan eksistensi kehidupan manusia di muka bumi. Seperti halnya dalam agama Kristen misalnya, terlalu berlebihan dalam menekankan kepada monasticism (kebiarawanan) yang menganjurkan kepada para pengikutnya untuk menarik diri dari segala hiruk pikuk dan kesibukan hidup keduniaan. Lain halnya dengan sistem Islam, nilai moralitas etika Islam menanamkan anjuran akan hubungan manusia dengan Tuhannya. Karena Allah swt., Maha Sempurna lagi Maha Mengetahui, kode etika seorang muslim sudah melampaui setiap batasan waktu ataupun perilaku bias dari kemanusiaan. Sistem etika Islam bisa ditekankan kapan saja, tidak terikat dengan satu masa tertentu, karena Allah sebagai Sang Pencipta dan para pencatatnya sangat dekat dengan manusia sebagai hamba, dengan kedekatan yang tidak lebih jauh antara tenggorokan dan urat jakun. Apabila pemeran dari konsepnya tidak matang dalam memahami dan menerjemahkan prinsip-prinsip fundamental dari moral agama ke dalam perilaku berbisnis. Dengan demikian, sudah selayaknya commercial ethics dapat menjadi salah satu kajian yang harus melengkapi Islamization process infrastruktur sistem kehidupan sosial dan ekonomi penganut agama Islam. 2.



Definisi Etika Bisnis Islam



Secara sederhana mempelajari etika dalam bisnis berarti mempelajari tentang mana yang baik/buruk, benar/salah dalam dunia bisnis berdasarkan kepada prinsipprinsip moralitas. (Learning what is right or wrong, and then doing the right thing. “Right thing” based on moral principle, and others believe the right thing to do depends on the situation). Kajian etika bisnis terkadang merujuk kepada management ethics atau organizational ethics. Etika bisnis dapat berarti pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis. Moralitas di sini, sebagaimana disinggung di atas berarti: aspek baik/buruk, terpuji/tercela, benar/salah, wajar/tidak wajar, pantas/tidak pantas dari perilaku manusia. Kemudian dalam kajian etika bisnis Islam susunan adjective di atas ditambah dengan



- 18 -



halal-haram (degrees of lawful and lawful), sebagaimana yang disinyalir oleh Husein Sahatah, di mana beliau memaparkan sejumlah perilaku etika bisnis (akhlaq al islamiyah) yang dibungkus dengan dhawabith syariyah (batasan syariah) atau general guideline menurut Rafik Issa Beekun. 3. Rumusan Desain Etika Bisnis dalam Islam Desain metodologis sangat diperlukan agar muslim-paling tidak mempunyai acuan standar moral tersendiri dalam berperilaku etika, khususnya pada bisnis. Untuk upaya tersebut, berikut sejumlah tahapan yang menjadi rumusan dan cara kerja penulis dalam mengasumsikan bagaimanakah sistem etika bisnis Islam.



a.



Tahapan I: Pemetaan (maping) nilai-nilai sistem etika Barat dan



b.



Tahapan II: Proses Inserting Islamic Values (memasukkan nilai-



Timur.



nilai Islam) pada Standar Moral Etika. c.



Tahapan III: Inventing the Tools.



d.



Tahapan IV: Punishment and Repentance (hukuman dan



penyesalan)



4. Aksioma Dasar (Ketentuan Umum) Sejumlah aksioma dasar (hal yang sudah menjadi umum dan jelas kebenarannya) sudah dirumuskan dan dikembangkan oleh para sarjana muslim. Aksioma-aksioma ini merupakan turunan dari hasil penerjemahan kontemporer akan konsep-konsep fundamental dari nilai moral Islami. Dengan begitu, aspek etika dalam bahasan ini sudah di insert dan diinternalisasi dalam pengembangan sistem etika bisnis. Rumusan aksioma ini diharapkan menjadikan rujukan bagi moral awareness para pebisnis muslim untuk menentukan prinsip-prinsip yang dianut dalam menjalankan bisnisnya. Aksioma-aksioma tersebut adalah sebagai berikut: a.



Unity (Persatuan)



b.



Equilibrium (Keseimbangan)



c.



Free Will (Kehendak Bebas)



d.



Responbility



e.



Benevolence



- 19 -



5. Prinsip-prinsip Dasar (Basic Tenets) Sejumlah pilar mendasar (fundamental) dalam keterkaitannya dengan pengembangan sistem nilai dari etika bisnis Islam yang dikembangkan dari upaya reinterprestasi Al-Qur’an dan Sunnah. Konsep-konsep berikut diarahkan untuk lebih mengangkat nilai-nilai moral yang berkaitan dengan pencegahan atas tindakan eksploitatif, pembungaan, spekulasi, perjudian, dan pemborosan yang telah dirumuskan oleh para ahli adalah sebagai berikut: a.



Konsep Kepemilikan dan Kekayaan



b.



Konsep Distribusi Kekayaan



c.



Konsep Kerja dan Bisnis



d.



Konsep Halal-Haram



E. BAB V : Membangun Budaya Organisasi yang Islami 1. Pendahuluan Pelanggaran terhadap etika dapat terjadi di segala lini kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam bidang bisnis. Untuk meraih keuntungan dan memenangkan persaingan,



perusahaan



cenderung



menggunakan



cara-cara



yang



terkadang



mengesampingkan prinsip-prinsip moral yang pada akhirnya tidak saja merugikan bagi perusahaan itu sendiri melainkan juga masyarakat secara luas. Di bidang sumber daya manusia, masih banyak perusahaan-perusahaan besar khususnya menggaji karyawannya di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Di bidang pemasaran masih banyak perusahaan yang melakukan strategi pemasaran yang kurang etis, seperti eksploitasi kaum wanita yang mengarah pada pelecehan akan martabat dan kehormatan wanita dan banyak kasus dilema etika lainnya. Pelanggaran-pelanggaran seperti di atas, tidak saja fenomenal di Indonesia namun juga terjadi di negara-negara besar seperti Amerika yang berpotensi besar untuk menurunkan reputasi perusahaan bahkan membuatnya ‘gulung tikar’. Dan itu disebabkan pelanggaran yang dilakukan oleh para eksekutif.



- 20 -



Sehingga kerja serius untuk mencapai sebuah produktivitas tinggi dalam sebuah perusahaan sulit dicapai. Karena rata-rata buruh tidak serius bekerja. Dan itu merupakan cerminan yang diberikan oleh para eksekutif. Dalam survei tersebut bahkan mengatakan hanya 1 dari 4 pekerja yang bekerja serius, sementara sisanya bekerja hanya agar dilihat oleh pengawas. 2. Faktor Pembentuk Budaya Organisasi Untuk dapat mensinergikan pembahasan kita tentang bagaimana membangun dan menerapkan budaya organisasi yang islami, maka ada baiknya kita bahas istilahistilah berikut ini. Apa makna budaya sebenarnya. Secara terminologi kata budaya (culture) berasal dari kata Latin colore, yang berarti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang, namun pengertian yang semula agraris ini lebih lanjut diterapkan dalam hal-hal yang bersifat rohani dan ada juga yang mengartikannya sebagai way of life, yaitu cara hidup tertentu yang memancarkan identitas tertentu suatu bangsa. Sedangkan Koentjaraningrat mengartikan budaya adalah “keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar”. Selanjutnya organisasi adalah kesatuan (entity) yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi dan bekerja terus-menerus untuk mencapai tujuan bersama atau sekelompok tujuan. Jadi, pengertian organisasi ada dua, yakni pertama, organisasi sebagai wadah atau tempat, dan kedua, organisasi sebagai proses yang dilakukan bersama-sama dengan landasan yang sama, tujuan yang sama dan juga dengan cara yang sama. Sedangkan kata Islam berasal dari kata Arab “salima” yang berarti selamat sentosa. Dan kata itu dibentuk kata “aslama” yang artinya memeliharakan dalam keadaan selamat sentosa. Sebab itu orang yang melakukan aslama dinamakan muslim. Selanjutnya bahasan mengenai unsur-unsur yang dapat dijadikan landasan bagi terbentuknya budaya organisasi. Unsur-unsur tersebut antara lain: a.



Pendirian



b.



Sikap



- 21 -



c.



Perilaku



Serta adapun faktor-faktor yang mendukung dalam membentuk budaya organisasi yang islami antara lain: a.



Organisasi



b.



Komitmen Pimpinan Tertinggi



c.



Komunikasi



d.



Motivasi



e.



Lingkungan Kerja



f.



Perubahan



g.



Partisipasi



h.



Disiplin



Menurut Keith Daviz dan John W. Newstrom disiplin terbagi menjadi 3 (tiga) macam sifat, yaitu: Disiplin Preventif, Disiplin Korektif, dan Disiplin Progresif. Semua faktor-faktor di atas, hendaknya dapat diperkuat dengan internalisasi nilai-nilai keislaman yang menjadi faktor vital bagi internalisasi nilai-nilai etika dalam pribadi. Karena ajaran Islam secara komprehensif memotivasi agar tumbuh dalam diri masing-masing orang semangat kerja keras (hard-work), komitmen, dan dedikasi pada pekerjaan, kreativitas kerja, menjauhi perbuatan tidak etis, menganjurkan kerja sama dalam kebajikan dan menggalakkan kompetisi baik di tempat kerja. Islam juga mengajarkan keadilan, kedermawanan di tempat kerja dan keterlibatan dalam aktivitas ekonomi adalah sebuah ajaran mulia. Namun di atas semua, keteladanan dari para pemimpin menjadi bagian yang sangat krusial karena tingkat produktivitas sebuah usaha banyak dipengaruhi oleh kinerja dari para eksekutifnya. Dan itu yang diteladankan oleh Rasulullah saw., kepada para stakeholders umatnya. 3. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Wujud program Corporate Social Responsibility tidak hanya berupa bantuanbantuan yang sifatnya jangka pendek seperti, bantuan pembangunan jalan, bantuan pembangunan sarana ibadah, atau bantuan perayaan hari-hari besar nasional, akan tetapi berupa program pemberdayaan masyarakat yang dalam jangka waktu yang panjang dapat memberikan perubahan kesejahteraan masyarakat seperti, pembuatan koperasi



- 22 -



simpan pinjam, pemberian beasiswa, program orangtua asuh bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan lain sebagainya. Pelaksanaan program tanggung jawab sosial perusahaan akan memberikan dampak positif tidak hanya bagi operasional perusahaan, akan tetapi juga bagi kelangsungan eksistensi perusahaan untuk jangka panjang, keuntungan yang dapat diraih melalui program ini antara lain: dapat mengurangi biaya, mengurangi risiko, membentuk reputasi, membangun modal sosial, dan meningkatkan akses pasar lebih luas. Sebagai contoh kasus PT Freeport Indonesia sebelum menjalankan program sustainable development PT Freeport banyak mengalami kendala, baik dalam segi operasional perusahaan seperti, penjarahan, gangguan keamanan, dan sorotan tajam dari berbagai kalangan. Menyadari hal tersebut selanjutnya PT Freeport Indonesia mulai memerhatikan stakeholder lain seperti mengucurkan dana satu persen dari keuntungannya antara 15-20 juta dollar untuk tujuh suku Irian di sekitar Timika, menjadi pembayar pajak urutan terbesar pada urutan pertama setelah sebelumnya berada para urutan ke-52, dan membangun sarana ibadah berupa masjid senilai Rp 5,2 miliar untuk para karyawan beragama Islam setelah sebelumnya kurang memerhatikan aspek pengembangan spiritual karyawannya. Semua yang dilakukan perusahaan lambat laun membuahkan hasil yang dapat mengurangi kendala-kendala yang terjadi pada perusahaan tersebut. Tanggung jawab sosial perusahaan yang diimplementasi oleh perusahaan di atas adalah bagian dari etika kerja yang sangat dijunjung tinggi oleh nilai-nilai agama. Lebih dari itu, etika kerja juga sangat terkait erat dengan kepuasan kerja (job satisfaction) dan komitmen perusahaan yang dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi.



- 23 -



BAB III KRITIK DAN KESIMPULAN A. Kritik Setelah membaca keseluruhan isi buku ‘Etika Bisnis dalam Islam’, buku ini bagus untuk dijadikan referensi dalam pembelajaran ataupun untuk menambah wawasan. Di setiap sub-bab memiliki keterkaitan sehingga buku ini bagus untuk dijadikan referensi. Hanya saja, dalam penulisan buku ini ada pengunaan kata yang kurang tepat sehingga ada beberapa pembahasan yang sulit untuk dipahami. Cukup banyak kata per kata yang sulit untuk dipahami sehingga perlu dibaca berulang kali guna dapat memahaminya dan dari segi penulisan materi bahasan masih ada beberapa yang tidak sesuai dengan kegunaannya seperti penggunaan tanda baca ataupun penulisan bahasa asing. Namun buku ini tetap pantas untuk dijadikan referensi dalam menambah wawasan terhadap etika bisnis Islam. Selain itu, pembahasannya yang rinci membuat kita mengerti lebih detail tentangg ilmu ini. B. Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: Menelusuri asal usul etika tak lepas dari asli kata ethos dalam bahasa Yunani yang berarti kebiasaan (custom) atau karakter (character). Dalam makna yang lebih tegas, yaitu kutipan dalam buku Kuliah Etika mendefinisikan etika secara terminologis sebagai berikut: “The systematic study of the nature of value concepts, good, bad, ought, right, wrong, etc.Dalam uraian di atas ada persinggungan makna antara etika, moral, dan norma yang terkadang digunakan secara tumpang tindih. Sesuai penjabaran di atas, ini artinya bahwa moralitas merupakan sebutan umum bagi keputusan moral, standar moral, dan aturan-aturan berperilaku yang berangkat dari nilai-nilai etika. Dalam uraian di atas jelas pula bahwa norma merupakan alat ukur dan standar yang punya kekuatan yang dapat mengarahkan anggota kelompok, mengontrol, dan



- 24 -



mengatur perilaku baiknya. Achmad Charris Zubaik bahwa norma adalah ‘nilai yang menjadi milik, tertanam, dan disepakati semua pihak dalam masyarakat’ yang berangkat dari nilai baik, cantik atau berguna yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan kemudian menghadirkan ukuran atau norma. Lahirnya pemikiran etika biasanya didasarkan pada pengalaman dan nilai-nilai yang diyakini para pencetusnya. Sistem Etika Bisnis Islam berbeda dengan sistem etika sekuler ataupun sebagaimana sudah disinggung pada bab sebelumnya, sistem etika yang diusung oleh agama lain. Sedangkan kode moralitas yang diadopsi agama selain Islam lebih sering menekankan kepada pengkaburan eksistensi kehidupan manusia di muka bumi. Seperti halnya dalam agama Kristen misalnya, terlalu berlebihan dalam menekankan kepada monasticism (kebiarawanan) yang menganjurkan kepada para pengikutnya untuk menarik diri dari segala hiruk pikuk dan kesibukan hidup keduniaan. Lain halnya dengan sistem Islam, nilai moralitas etika Islam menanamkan anjuran akan hubungan manusia dengan Tuhannya. Sistem etika Islam bisa ditekankan kapan saja, tidak terikat dengan satu masa tertentu, karena Allah sebagai Sang Pencipta dan para pencatatnya sangat dekat dengan manusia sebagai hamba, dengan kedekatan yang tidak lebih jauh antara tenggorokan dan urat jakun. Dengan demikian, sudah selayaknya commercial ethics dapat menjadi salah satu kajian yang harus melengkapi Islamization process infrastruktur sistem kehidupan sosial dan ekonomi penganut agama Islam. Secara sederhana mempelajari etika dalam bisnis berarti mempelajari tentang mana yang baik/buruk, benar/salah dalam dunia bisnis berdasarkan kepada prinsipprinsip moralitas. Kemudian dalam kajian etika bisnis Islam susunan adjective di atas ditambah dengan halal-haram (degrees of lawful and lawful), sebagaimana yang disinyalir oleh Husein Sahatah, di mana beliau memaparkan sejumlah perilaku etika bisnis (akhlaq al islamiyah) yang dibungkus dengan dhawabith syariyah (batasan syariah) atau general guideline menurut Rafik Issa Beekun.



- 25 -



DAFTAR PUSTAKA Badroen, Faisal, dkk. 2006. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Prenadamedia Group (Divisi Kencana)



- 26 -