Review Chapter 8, 30, 31, 32 Buku em Griffin [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nama : Desta Widianingsih NIM



: F1C014076



Matkul : Teori Komunikasi B



REVIEW CHAPTER 8 Constructivism Konstruktivisme Pengantar Teori constructivism ini dikemukakan oleh Jesse Delia. Jesse Delia adalah seorang mantan kepala Department Of Speech Communication at the University of Illinois, now dean of Liberal Arts and Science there. Konstruktivis menggambarkan kita sebagai seorang pengrajin kayu yang mencoba membangun atau mengubah relasional dunia tempat kita tinggal. Menggunakan imajinasi, kita mungkin akan berpikir tentang bermacam-macam teori kita yang dapat digunakan sebagai alat untuk menyelaraskan budaya, pengetahuan, dan komunikasi. Teori konstruktivisme adalah teori komunikasi yang berusaha untuk menjelaskan pebedaan individu dalam kemampuannya untuk berkomunikasi yang terampil dalam situasi sosial. Inti dari teori konstruktivisme adalah bahwa seseorang akan menggambarkan dunia melalui sistem dari gagasan mereka sendiri. Gagasan-gagasan ini berupa komponenkomponen kognitif yang dilengkapi atas realita-realita yang ada dan terjadi di dunia tempat kita tinggal. Teori ini dapat membantu dalam menjelaskan bahwa seseorang yang memilki persepsi kognitif yang rumit terhadap orang lain, akan memiliki kemampuan berkomunikasi yang terampil dengan hasil yang positif. Teori Teori



konstruktivisme



dikemukakan



oleh



Jesse



Delia



pada



tahun



1982



(Communication Capstone, 2001). Dalam teorinya disebutkan bahwa untuk mengetahui tingkat kerumitan kognitif dan persepsi seseorang dalam membuat suatu persepsi dapat dilakukan dengan menggunakan metode Role Category Questionaire (RCQ). Metode ini dilakukan dengan cara membuat seseorang untuk berpikir tentang orang lain, dan menilainya



hanya dengan melihat kepribadian, kebiasaan, keyakinan, dan cara mereka memperlakukan orang lain baik itu buruk maupun tidak. Delia menyatakan bahwa kompleksitas kognitif berkembang dengan usia kronologis anak tercermin dalam nilai yang lebih tinggi ketika anak kecil tumbuh besar. Ia juga percaya bahwa perbedaan individu antara orang dewasa seharusnya relatif stabil dari waktu ke waktu. Person-Centered Message Pesan yang terpusat kepada seseorang adalah pesan yang dibuat untuk menyesuaikan dengan



situasi



tertentu,



hal



ini



mencerminkan



kemampuan



komunikator



dalam



mengantisipasi respons dan menyesuaikan diri. Delia mengungkapkan bahwa PersonCentered Messages dibuat secara reflek untuk beradaptasi pada subyek, afeksi dan aspek hubungan dalam situasi komunikasi atau memprediksi bagaimana orang-orang akan merespons suatu pesan. Produksi Pesan: Menyusun rencana untuk tindakan berbasis tujuan Produksi pesan adalah sebuah proses tiga tahap yang terdiri atas penilaian sasaran, pemilihan rencana, dan pemberlakuan taktik (tindakan). 1. Sasaran Sasaran disebut dasar (primer) karena mereka lah yang menggerakan sekumpulan proses kognitif yang lebih rendah yang terjadi secara paralel dan sejajar dengan seluruh tujuan yang dinyatakan oleh tujuan primer. 2. Rencana Dengan menggunakan rencana, kita dapat mengetahui apa yang ingin dicapai agar dapat tercapai oleh kita, dengan catatan prosedural yang membantu kita dalam membuat rencana. Catatan prosedural adalah pengumpul kembali sebuah situasi tertentu yang dipasangkan dengan konsekuensinya. 3. Tindakan Pesan yang telah didapat akan dikembangkan kembali oleh seseorang yang memiliki persepsi yang kompleks, dengan melakukan taktik. Desain Pesan Logis 1.



Expressive Design Logic, yaitu bahasa merupakan media untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan.



2.



Conventional Design Logic, yaitu komunikasi merupakan permainan secara bersama,



sesuai pada hukum-hukum dan prosedur sosial konvensional. 3. Rhetorical Design Logic, yaitu komunikasi merupakan kreasi dan negosiasi dari pribadi sosial dan situasi yang ada, yang berarti mengungkapkannya berdasarkan fakta. Tiga Macam Konstruktivisme 1. Konstruktivisme radikal, hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. 2. Realisme hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. 3.



Konstruktivisme biasa, mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai gambaran yang dibentuk dari realitas objektif dalam dirinya sendiri.



Catatan Kritis Menurut para ahli metode atau cara yang digunakan oleh Jesse Delia dalam percobaannya



tentang



perbedaan



kemampuan



kognitif



seseorang



dianggap



tidak



menggunakan standar yang jelas. Karena di dalam percobaannya, metode RCQ (Role Category Questionare) hanya menggunakan gagasan-gagasan atau tanggapan yang bebas, tidak ditentukan suatu halnya dalam mendefinisikan orang lain yang ditelitinya atau yang ingin didefinisikan. Para ahli percaya bahwa membuat tanggapan yang bebas akan memaksa peneliti menjadi teoritis yang ketat. Penerapan Teori yang dikemukakan oleh Jesse Delia tentang konstruktivisme dapat berguna dalam kehidupan sehari-hari dalam menginterpretasikan suatu hal. Ketika saat sedang berbicara atau berdiskusi dengan orang lain, tanpa sadar kita telah menggunakan teori konstruktivisme dari Jesse Delia. Dari mulai menyusun pemikiran-pemikiran tentang sesuatu yang sedang dibicarakan dan mengkaitkannya dengan situasi yang sedang terjadi pada saat itu, sehingga membentuk suatu persepsi. Dengan melakukan kegiatan tersebut secara terusmenerus kemampuan komunikasi verbal seseorang akan terus meningkat. Contoh Kasus



Teori konstruktivisme ini tanpa disadari telah kita lakukan dalam kegiatan sehari-hari. Salah satunya adalah ketika kita sedang melakukan sebuah penelitian terhadap suatu benda. Kita tentunya memiliki banyak pertanyaan-pertanyaan tentang benda yang diteliti. Maka dengan melakukan observasi kita dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dalam observasi tersebut tentunya dikaitkan pula dengan realita pada bendanya, melakukan diskusi dengan orang lain yang berkerjasama dengan kita. Dengan melakukan diskusi, kita dapat meningkatkan persepsi-persepsi yang didapatkan dari hasil observasi sendiri dengan bertukar pikiran dengan yang lainnya, dan menghasilkan hipotesis, pernyataan yang tepat dari hasil observasi tersebut. Dari kegiatan tersebut anpa disadari kemampuan komunikasi kita telah meningkat.



REVIEW CHAPTER 30 Anxiety/Uncertainty Management Theory Teori Pengelolaan Kecemasan/Ketidakpastian Pengantar Teori



pengelolaan



kecemasan/ketidakpastian



ini



dikemukakan



oleh



Willian



Gudykunst. Gudykunst adalah seorang profesor komunikasi di Universitas Negeri California, Fullerton, dan dia mengembangkan minatnya di dalam antarkelompok komunikasi ketika ia sedang menjabat sebagai spesialis hubungan antarbudaya untuk Angkatan Laut AS di Jepang. Teori pengelolaan kecemasan/ketidakpastian ini berfokus pada perpaduan budaya antara kelompok dengan orang asing. Ia berniat bahwa teorinya dapat digunakan pada segala situasi dimana terdapat perbedaan diantara keraguan dan ketakutan. Gudykunst meyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok. Teori ini sendiri didesain untuk menjelaskan komunikasi face-to-face yang efektif. Komunikasi yang mindfulness, maksudnya adalah komunikasi yang mengurangi kecemasan dan ketidakpastian, bukan sebaliknya. Dan ini bisa dilakukan dengan memperhatikan ketika orang lain berbicara dan mencari tahu bagaimana menanggapinya dengan tepat. Teori



Dalam teorinya, William Gudykunst menggunakan istilah komunikasi efektif pada proses-proses untuk meminimalisir ketidakmengertian. Sedangkan penulis lain menggunakan istilah accuracy, fidelity, understanding untuk hal yang sama. Menurut Gudykunst terdapat dua penyebab dari terjadinya suatu kesalahpahaman yang berhubungan erat, yaitu kecemasan dan ketidakpastian. Kemudian Gudykunst melihat itu sebagai perbedaan, ketidakpastian yang bersifat kognitif-pikiran dan kecemasan yang bersifat afeksi-suatu emosi. William Howell, satu dari mentor Gudykunst di Universitas Minnesota menyatakan ada 4 level dari kompetensi komunikasi :



1. Unconscious incompetence. Kita salah menginterpretasikan tingkah laku orang lain dan bahkan kita tidak sadar bahwa kita telah melakukannya. Pengabaian adalah kebahagiaan. 2. Conscious incompetence. Kita tahu bahwa kita salah mengerti tingkah laku orang lain tetapi tidak melakukan apapun untuk itu. 3. Conscious competence. Kita memikirkan komunikasi kita dan secara terus-menerus berusaha mengubah hal yang kita lakukan agar komunikasi kita lebih efektif. 4. Unconscious competence. Kita telah membangun keterampilan berkomunikasi pada tingkatan ketika kita tidak perlu lagi harus berpikir tentang bagaimana kita berbicara, mendengarkan. Gudykunst



memiliki



beberapa



konsep-konsep



dasar



teori



pengelolaan



kecemasan/ketidakpastian. Berikut adalah beberapa konsep dasar dari teorinya : -



Konsep Diri dan Diri Meningkatnya harga diri dan rasa percaya diri dapat mengurangi kecemasan ketika



-



sedang berkomunikasi dengan orang asing Motivasi untuk Berinteraksi dengan Orang Asing Meningkatnya keinginan kita untuk masuk dalam kelompok ketika berinteraksi



-



dengan orang asing akan memunculkan tingkat kecemasan yang tinggi. Reaksi Terhadap Orang Asing Meningkatnya kemampuan kita dalam memproses suatu informasi yang kompleks tentang orang asing, akan memunculkan peningkatan untuk memprediksi secara tepat perilaku mereka. Sehingga kita dapat mengelola kecemasan yang terjadi ketika



-



sedang berkomunikasi dengan orang asing. Kategori Sosial dari Orang Asing Meningkatnya kesamaan pesonal dengan orang asing dan mengelola kewaspadaan terhadap orang asing dapat membantu kita dalam mengelola kecemasan kita dan



-



kemampuan memprediksi perilaku mereka secara akurat. Proses Situasional



Peningkatan situasi informal ketika kita berkomunikasi dengan orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan peningkatan kepercayaan diri kita dalam -



memprediksi perilaku orang asing. Koneksi dengan Orang Asing Meningkatnya rasa ketertarikan kita pada orang asing dan melakukan kerjasama dengan mereka, maka tingkat kecemasan kita akan menurun dan rasa percaya diri dalam memprediksi perilaku mereka meningkat.



Catatan Kritis William Gudykunst dalam teorinya mengembangkan teori uncertainty reduction dari Berger yang hanya menampikan 7 aksioma menjadi 47 aksioma yang dapat dikembangkan lagi. Para ahli melihat bahwa hal ini cukup sulit dalam menggabungkan semuanya dalam hubungan anxiety, uncertainty, mindfulness, effective communication. Pada aksioma 47, disebutkan bahwa peningkatan kemampuan kita dalam mengontrol kecemasan mengenai berinteraksi dengan orang asing dan peningkatan pada prediksi yang akurat serta penjelasan mengenai perilakunya, akan menghasilkan peningkatan pada keefektifan komunikasi kita. Dalam hal tersebut Gudykunst lalu menambahkan bagaimana cara



keefektifan



berkomunikasi ketika kecemasan dan ketidakpastian muncul. Kecemasan dan ketidakpastian di bawah ambang batas maka keefektifan meningkat, dan begitu pula sebaliknya. Penerapan Teori kecemasan/ketidakpastian yang dikemukakan oleh William Gudykunst ini biasa kita temukan dalam kegiatan komunikasi kita. Terutama ketika kita bertemu dengan orang asing, orang yang baru saja kita kenal. Ketika itu kita akan merasa cemas dan tidak pasti dalam menghadapi orang asing tersebut. Disaat perasaan itu muncul, maka kita dapat menerapkan konsep-konsep dasar pengelolaan kecemasan/ketidakpastian dalam teori ini. Sehingga kita dapat mengelola dan mengurangi kecemasan dan ketidakpastian kita dalam berkomunikasi dengannya. Contoh Kasus Salah satu contoh kasus dari teori ini adalah ketika kita menjadi anak baru di sebuah SMA A. Dimana kita diharuskan untuk mengenal orang-orang yang asing bagi kita. Hal tersebut sangatlah diperlukan kepercayaan diri yang tinggi dalam berinteraksi dengan orang asing yang akan mengurangi kecemasan ketika sedang berinteraksi. Untuk masuk ke dalam



sebuah kelompok dalam SMA A kita membutuhkan waktu untuk melakukan hal tersebut. Kita memerlukan waktu untuk dapat beradaptasi dan mengenal satu sama lain, hingga kemampuan kita dalam memprediksi perilaku atau sikap seseorang di SMA A dapat meningkat dan tingkat kecemasan dapat menurun ketika berinteraksi.



REVIEW CHAPTER 31 Face-Negotiation Theory Teori Negosiasi Muka Pengantar Teori Negosiasi Wajah (Face-Negotiation Theory) dikembangkan oleh Stella TingToomey pada tahun 1988. Stella Ting-Toomey lahir di Hongkong tahun 1952. Dia adalah seorang profesor komunikasi antarpersonal dari Universitas Negeri California, Fullerton. Teori ini memberikan sebuah dasar untuk memperkirakan bagaimana manusia akan menyelesaikan konflik yang muncul dalam sebuah kebudayaan yang berbeda. Wajah atau rupa mengacu pada penggambaran diri seseorang di hadapan orang lain. Hal ini melibatkan rasa hormat, kehormatan, status, koneksi, kesetiaan dan nilai-nilai lain yang serupa. Dengan kata lain wajah merupakan gambaran yang anda inginkan atau jati diri orang lain yang berasal dari anda dalam sebuah situasi sosial. Hal ini dilakukan untuk membangun dan melindungi wajah diri sendiri. Teori Ting-Toomey berasumsi bahwa setiap orang dalam setiap budaya sebenarnya selalu menegosiasikan wajah. Wajah adalah istilah kiasan untuk public self-image, yaitu bagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain. Sedangkan facework berhubungan dengan pesanpesan verbal dan nonverbal spesifik yang membantu memelihara dan memulihkan face loss (kehilangan muka), dan untuk menegakkan dan serta menghormati face gain. Facework dibagi menjadi budaya individualistik dan kolektivistik yang terdapat perbedaan yang luas diantaranya. Menurut Triandis, orang yang kolektivis mendefinisikan dirinya sebagai anggota dari kelompok-kelompok tertentu. Orang-orang kolektivis menganggap keunikan individual tidak lebih penting daripada group-based information. Sedangkan orang yang individualis akan



mendefinisikan dirinya sebagai seseorang yang independen dari segala kelompok afiliasi. Selain itu, orang yang individualistis tertarik mengenal seseorang karena keunikannya dan kepribadiannya. Berikut adalah interpretasi facework yang digunakan oleh seseorang individualistik dan kolektivitas : -



Face-restoration adalah strategi facework yang digunakan oleh orang individualis. Dimana mereka menyalahkan situasi yang sedang terjadi daripada menyalahkan diri



-



sendiri. Face-giving adalah perhatian untuk orang lain yang merupakan strategi facework untuk mempertahankan atau mendukung kebutuhan seseorang untuk menjadi bagian dari kelompok. Ini merupakan karakteristik yang digunakan masyarakat kolektivis.



Ting-Toomey mengidentifikasikan 5 respons yang berbeda pada berbagai situasi bardasarkan perbedaan kebutuhan, kepentingan, atau tujuan, yaitu: a. Avoiding, yaitu menghindari diskusi dengan kelompok tentang perbedaan yang kita miliki. b. Obliging, yaitu menyampaikan harapan atau keinginan kepada kelompok, tetapi menyerahkan keputusan sepenuhnya pada kelompok. c. Compromising, yaitu saling bertukar pikiran agar kompromi bisa diciptakan. d. Dominating, yaitu teguh dalam mempertahankan pendapat pribadi demi kepentingan pribadi. e. Integrating, yaitu saling bertukar informasi yang akurat dengan anggota kelompok untuk memecahkan masalah bersama. Ting-Toomey melihat ada sesuatu yang kurang dalam teorinya ketika penelitiannya mengacu pada keragaman etnik yang ada di dunia. Ia kemudian menambahkan gaya: a. Emotional expression, menunjukkan segala perasaan yang dimiliki hati dan diriku. b. Passive aggression, tanpa benar-benar mengatakan bahwa seseorang malas, berusaha membuat orang lain merasa bersalah. c. Third-party help, mencari bantuan pihak ketiga sebagai penengah agar jalan keluar dapat dicapai. Menurutnya, ada tiga syarat ketrampilan yang harus dipenuhi agar komunikasi antarbudaya dapat efektif, yaitu: 1. Knowledge─pengetahuan, adalah dimensi terpenting dalam kompetensi facework. Untuk dapat berkomunikasi dengan orang baru, kita harus tahu hal-hal yang berbeda antara kita dengannya.



2. Mindfulness─artinya waspada terutama pada asumsi, sudut pandang, dan kecenderungan etnik kita sendiri ketika kita memasuki situasi yang tidak biasa. 3. Interaction skill─yaitu kemampuan untuk berkomunikasi secara tepat, efektif, dan adaptif dalam setiap situasi yang kita alami. Catatan Kritis Dalam teorinya, Ting-Toomey memberikan contoh antara budaya Jepang dan Amerika Serikat. Dia menggambarkan bahwa budaya di Jepang adalah budaya yang kolektivisme, sedangkan Amerika Serikat adalah budaya individualisme. Menurut saya dalam penggambaran dari Ting-Toomey, terdapat kesalahan. Bahwa dengan memperhatikan fakta orang Jepang lah yang menganut budaya individualisme, dimana banyak orang Jepang yang tidak cukup peduli dengan sesamanya dan hanya mementingkan diri sendiri saja. Dapat terlihat dari bagaimana kerasnya persaingan dunia kerja disana, sehingga kebanyakan warga Jepang tidak perduli akan orang-orang disekitarnya. Dan Amerika Serikat lah yang menganut budaya kolektivisme, orang Amerika Serikat justru sebaliknya dari orang Jepang. Penerapan Teori negosiasi wajah ini dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari ketika sedang berkomunikasi. Teori ini berisi tentang bagaimana cara sikap kita atau tindakan yang akan kita lakukan dengan orang lain dapat sesuai dengan keinginannya. Teori ini juga dapat mengajarkan kita untuk tetap menjaga jati diri kita dihadapan orang lain, sehingga tidak memunculkan suatu persepsi yang negatif bagi diri kita sendiri, dan kita dapat tidak dipandang dengan sebelah mata saja dengan orang lain. Selain itu dalam berkomunikasi antarbudaya dapat berjalan dengan lancar. Contoh Kasus Salah satu kasus dari teori ini adalah seperti seorang pasangan yang diperkenalkan kepada orang tuanya. Si pria membawa wanitanya menemui orangtuanya yang memiliki kebudayaan Jawa. Sedangkan wanitanya berkebudayaan Sunda. Disaat itu si wanita mau tidak mau harus menjaga sikapnya didepan orangtua pria, tidak seperti ketika sedang berdua saja dengan pasangannya tersebut. Dia juga harus menyesuaikan kebudayaan yang dianut oleh orangtuanya, dan juga harus hati-hati ketika sedang berbicara dengan mereka. Dengan begitu teori negosiasi wajah tanpa disadari telah dilakukan oleh wanita tersebut.



REVIEW CHAPTER 32 Speech Codes Theory Teori Kode Berbicara Pengantar Speech Codes Theory atau teori kode berbicara ini dikemukakan oleh Gerry Philipsen pada tahun 1960. Awalnya nama teori ini bukanlah Speech Codes Theory, melainkan The Ethnography of Communication. Karena banyak masyarakat yang menganggap teori tersebut bukan hanya sekedar metode saja. Gerry Philipsen adalah seorang pengajar speech communication di Universitas California, Santa Barbara, dan informan buadaya ketika dia pergi ke Universitas Washington. Teori kode berbicara ini menjelaskan tentang perbedaan kebudayaan memiliki kode berbicara yang berbeda pula dalam lingkungan sosial masyarakat. Teori ini dapat membantu kita untuk mengerti berbagai cara dalam menghadapi kode berbicara dari budaya yang berbeda. Sehingga dapat meningkatkan kesepahaman dan mengurangi konflik antarbudaya yang dapat terjadi ketika sedang berinteraksi atau berkomunikasi. Teori Pada awalnya, teori ini dinamakan etnografi komunikasi dan diubah olehnya menjadi teori kode berbicara. Dia memutuskan untuk mengubahnya karena ia mengakui bahwa banyak orang tidak bisa melewati gagasan Etnografi hanya sebagai metode penelitian. Ia dianggap seorang naturalis yang menonton, mendengarkan dan mencatat perilaku komunikatif dalam pengaturan alam budaya. Tujuan akhir Philipsen adalah untuk mengembangkan teori yang akan menangkap atau menjelaskan hubungan antara komunikasi dan budaya. Teori kode berbicara memiliki dua tujuan. Pertama adalah untuk menyaring sebagian dari apa yang mungkin dipelajari dari sebagian besar penelitian lapangan pada budaya berbicara yang khas. Yang kedua adalah untuk memberikan fokus dalam penelitian lebih lanjut dan diskusi. Teori yang dipublikaskan Gerry Philipsen ini berusaha menjawab tentang keberadaan speech code dalam suatu budaya, bagaimana substansi dan kekuatannya dalam sebuah budaya. Philipsen menguraikan secara singkat inti teori kode berbicara ke dalam lima bentuk proposisi, yaitu:



a. Dimanapun ada sebuah budaya, disitu diketemukan speech code yang khas. b. Sebuah speech code mencakup sosiologi, psikologi, dan retorikal budaya. - Sosiologi Philipsen menulis bahwa suatu kode berbicara menyediakan suatu sistem jawaban tentang hubungan antara pribadi dan orang lain, yang dapat dilihat atau dicari dan sumber daya simbolis apa yang dapat dengan efektif dalam -



mencari hubungan itu. Psikologi Menurut Philipsen, tiap-tiap kode berbicara “pokok pembicaraan” terjadi



-



secara alami. Retorikal Philipsen menggunakan istilah retorik dalam pengertian penemuan kebenaran



yang ganda dan pendekatan membujuk. c. Pembicaraan yang signifikan bergantung speech code yang digunakan pembicara dan pendengar untuk mengkreasi dan menginterpretasi komunikasi mereka. Menurutnya jika kita ingin memahami arti dari kode bicara dari budaya lainnya, maka kita harus benar-benar mendengarkan dan bereaksi setelahnya. d. Istilah, aturan, dan premis terkait ke dalam pembicaraan itu sendiri. Hal tersebut tentu didukung oleh suatu aturan yang khas agar tidak kesulitan dalam melakukannya, yaitu: -



Inisiasi Seorang teman menyatakan suatu kebutuhan untuk membahas suatu masalah



-



hubungan antar pribadi. Pengakuan Orang kepercayaan yang dapat menyatakan pentingnya isu oleh suatu



-



kesediaan untuk “duduk dan berbicara”. Negosiasi Diri teman menyingkapkan, orang kepercayaan mendengarkan suatu yang tegas dan nonjudgemental way, teman pada gilirannya menunjukkan



-



keterbukaan ke umpan balik dan perubahan. Pernyataan Kembali Kedua-duanya teman dan orang kepercayaan mencoba untuk memperkecil pandangan yang berbeda dan mengulangi pernyataan penghargaan dan



kesanggupan untuk satu sama lain. e. Kegunaan suatu speech code bersama adalah menciptakan kondisi memadai untuk memprediksi, menjelaskan, dan mengontrol formula wacana tentang intelijenitas, prudens (bijaksana, hati-hati) dan moralitas dari perilaku komunikasi. Catatan Kritis



Dalam teori berbicara yang dikemukakannya, Gerry Philipsen menyatakan bahwa setiap kebudayaan memiliki kode berbicara yang berbeda-beda. Teori ini benar adanya karena kita selalu menjumpai perbedaan-perbedaan yang terjadi di lingkungan masyarakat yang memiliki budaya berbeda-beda atau beragam etnis. Setiap kode berbicara memiliki suatu ciri khas yang sudah melekat dan tentunya kita tidak dapat dengan mudah merusak kode berbicara ketika kita melakukan interaksi dengan orang yang berkebudayaan yang beda dengan kita. Penerapan Teori kode berbicara dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari ketika kita sedang berinteraksi dengan orang lain. Dalam berinteraksi tanpa disadari kita telah melakukan apa yang dikemukakan oleh Gerry Philipsen. Yaitu dengan menggunakan kode berbicara hubungan yang kita miliki dengan orang lain tersebut dapat meningkat kekerabatannya. Dengan menggunakan teorinya pula kita dapat megetahui bagaimana cara menghadapi seseorang yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kita, sehingga kita mampu berinteraksi dengan baik. Contoh Kasus Salah satu contoh kasus dalam teori kode berbicara ini adalah di dalam sebuah organisasi atau di tempat kita bekerja. Disaat berbicara dengan seorang yang memiliki jabatan diatas kita. Kita perlu memperhatikan kode berbicara dengannya. Seperti adanya kesopanan, dan cara ketika kita berbicara atau berinteraksi dengan mereka. Masing-masing individu memiliki kode berbicara tersendiri, yang mana kita harus mengetahuinya dan memahami terlebih dahulu agar tidak salah pada saat berinteraksi dengannya. Karena jika kita tidak memperhatikannya, kemungkinan akan muncul konflik antarpersonal.



DAFTAR PUSTAKA -



Griffin ,EM .2003. A First Look At Communication Theory. 5th ed. New York: Mc



-



Graw Hill. https://mungkinkomunikasi.wordpress.com/2011/01/11/konstruktivisme-jesse-delia/



-



(Diakses pada tanggal 4 April 2015) http://www.academia.edu/6808589/TEORI_KOMUNIKASI_chapter_8_9_13_em_Gr iffin (Diakses pada tanggal 4 April 2015)



-



edukasi.kompasiana.com/2013/10/27/gagalnya-rekayasa-untuk-pks-teori-



-



contructivism-605210.html (Diakses pada tanggal 6 April 2015) http://usman--maulana.blogspot.com/2012/11/teori-anxietyuncertainty-



-



management.html (Diakses pada tanggal 6 April 2015) http://adiprakosa.blogspot.com/2007/12/teori-komunikasi-antarbudaya.html (Diakses



-



pada tanggal 7 April 2015) https://muhammadirawansaputra.wordpress.com/tag/anxietyuncertainty-management-



-



theory-william-gudykunst/ (Diakses pada tanggal 7 April 2015) http://ardhyanaandmediastudies.blogspot.com/2010/07/anxietyuncertainty-



-



management-theory.html (Diakses pada tanggal 7 April 2015) http://ardhyanaandmediastudies.blogspot.com/2010/07/face-negotiation-theory-stella-



-



ting.html (Diakses pada tanggal 7 April 2015) http://stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2578-Vol.1%20No.1%20Desember %202014_6_Rukman%20Pala-STISIP%20Widuri.pdf (Diakses pada tanggal 8 April



-



2015) http://en.wikipedia.org/wiki/Speech_code_theory (Diakses pada tanggal 8 April 2015)