Review Politik Indonesia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Hilwan Givari 1806252201



Telaah Kritis Negara Integralistk Soepomo dalam karya Marsilam Simanjuntak Jika disarikan, buku “Pandangan Negara Integralistik” yang ditulis oleh Marsilam Simanjuntak (1994) dari skripsinya yang berjudul “Unsur Hegelian dalam Pandangan Negara Integralistik”, merupakan hasil studi analitis dari sudut pandang hukum tata negara mengenai pemikiran Soepomoa tentang bentuk Negara Indonesia ideal yang disampaikannya dalam sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945. Dengan meng-klaim bahwa: “Negara Indonesia merdeka bukanlah negara yang mempersatukan dirinya dengan golongan terbesar dalam masyarakat dan tidak mempersatukan dirinya dengan golongan yang paling kuat (golongan politik atau ekonomi yang paling kuat). Akan tetapi mengatasi segala golongan dan segala paham perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyat.”1 maka menurut Soepomo bentuk ideal negara Indonesia yang akan diproklamirkan nanti adalah negara integralistik yang dicirikan olehnya sebagai negara yang kepala dan pimpinan negaranya merasa sebagai kesatuan dengan rakyatnya (Soepomo, dalam Simanjuntak, Ibid.:3).2 Akan hal mengapa Soepomo mengemukakan pendapatnya tersebut. Menurutnya adalah karena semua teori negara yang datang dari barat memiliki sifat individualistis (liberal) dan golongan (sosialisme) yang tidak sesuai dengan ideologi Nusantara yang memiliki sifat gotong royong dimana pemimpin selalu dianggap menyatu dengan rakyatnya. Hanya saja menurut Marsilam (ibid.: 83), pemikiran negara integralistik yang dikemukakan Soepomo dipengaruhi oleh Pemikiran Hegel yang mengandaikan negara sebagai sebuah titik kulminasi final kesadaran manusia untuk menciptakan sebuah organisasi yang mengatur dirinya. Dengan demikian, ketika negara terbentuk, maka proses dialektika (tesisantitesis-sintesis) yang terjadi dalam tataran masyarakat mesti sudah berhenti dengan sendirinya karena Negara yang memiliki pemimpin dan rakyat itu sudah menjadi perwujudan dari sintesis tertinggi masyarakat.3 Sepintas tidak ada yang salah dari logika berfikir Marsilam, apalagi buku yang berasal dari skripsi itu, sudah diuji dalam sidang di Fakultas Hukum UI yang berlangsung pada tahun 1



Soepomo, dalam Simanjuntak, M. (1994) Pandangan negara integralistik: sumber, unsur, dan riwayatnya dalam persiapan UUD 1945. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. h. 2 2 Soepomo, dalam Simanjuntak, M (Ibid.). h. 3 3 Simanjuntak, M (Ibid.). h. 83



1



Hilwan Givari 1806252201



1979 yang membuat para ilmuwan telah meminimalisir cacat akademis yang mungkin terjadi di dalamnya. Akan tetapi, menurut penulis bukan berarti kita tidak dapat memberikan catatan kritis terhadap buku ini. Ada beberapa hal yang bisa disampaikan penulis mengenai pemikiran negara Integralistik Soepomo yang diungkapkan Marsilam, yaitu: Pertama, Logika berfikir Hegelian yang dangkal. Dalam menguraikan pemikirannya mengenai negara Integralistik, argument Soepomo hanya sebatas pada penyamaan antara prinsip gotong royong yang berlaku di dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia dengan konsep kebersatuan pemimpin dengan masyarakat dalam negara Hegel, tetapi tidak (belum) menyasar pada logika Hegelian yang sesungguhnya menekankan konsep negara Integralistiknya sebagai hasil dari proses dialektika kesadaran manusia yang sejatinya menginginkan kebebasan, dan bukan kesatuan an-sich. 4 Jika dipahami lebih lanjut dalam logika berfikir Hegelian, negara sebagai sebuah hasil proses dialektika dapat dijelaskan sebagai sebuah kulminasi kesadaran manusia untuk menciptakan kebebasan dalam kehidupan yang didasari oleh prinsip saling-mengakui kemampuan rasionalitas manusia antar unit-unit yang berkecimpung di dalamnya. Jika dibandingkan dengan beberapa filosof kontrak sosial seperti Hobbes, Locke, dan Rosseaeu yang menyatakan kebebasan sebagai murni keinginan individu, logika berfikir Hegel sangatlah bertolak belakang. Mengingat menurutnya, kebebasan tidak dapat dinyatakan dalam konsepsi yang individual seperti itu, melainkan ia (kebebasan) hanya dapat muncul apabila ada orang lain yang mengakui kebebasannya . Sehingga dalam proses yang disebut Hegel sebagai “reciprocal action” tersebut, secara rasional dalam “state of nature”-nya para individu akan berfikir untuk terlebih dahulu mengorganisir diri mereka berdasarkan logika “diferensiasi



kerja” secara



dialektis untuk melindungi kebebasan masing-masing dengan menciptakan sejumlah institusi sosial seperti keluarga (tahap terendah), masyarakat (tahap menengah), dan negara (tahap tertinggi). 5 Dalam hal ini, yang perlu digarisbawahi – karena terlihat diabaikan oleh Simanjuntak – tentu saja pemaknaan kebebasan ‘resiprokal’ Hegel dalam teori negara integralistiknya. Mengingat, ketika Simanjuntak menyatakan bahwa: “Teori individualistis dan teori golongan tidak hanya dirasakan Mr. Supomo tidak ideal, tetapi juga sangat kebarat-baratan dan tidak



4 5



Avineri, Shlomo (1972) Hegel's Theory of the Modern State. Cambridge: Cambridge University Press, 1972. Avineri, Shlomo (Ibid.)



2



Hilwan Givari 1806252201



sesuai dengan ideologi Asia Timur Raya yang pada masa itu menaungi Indonesia”,6 maka dengan kata lain Simanjuntak telah mengabaikan proses dialektika tersebut dengan menjelaskan teori Hegel adalah bukan teori yang menjunjung individualitas, dan golongan. Padahal sebaliknya, bahwa negara merupakan hasil akhir dari proses dialektika yang muncul setelah individu-individu secara rasional mengakui kebebasan dan diferensiasi dalam pemikiran Hegel. Kedua, soal konsep kerajaan nusantara dalam Negara Integralistik. Dengan menjelaskan bahwa: “Oleh karena itu, dapat ditarik garis persamaan bahwa Indonesia pun tidak memilih bentuk pemerintahan monarki karena pemerintahan monarki diatur oleh raja tanpa kontribusi dari rakyat. Selain itu, kekuasaan monarki diturunkan pada keturunan saja sehingga tidak ada kesempatan untuk masyarakat untuk ikut andil di dalam pemerintahan. (Simanjuntak, 1994: 83).”7 Soepomo (dalam Simanjuntak, ibid.) sepertinya menihilkan fenomena kebersatuan masyarakat nusantara dalam satuan kerajaan-kerajaan yang muncul dari abad ke-6. Bahkan sampai dengan dirinya menyampaikan pidato dalam sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945, relasi kuasa yang tertanam dalam tatanan kehidupan masyarakat bawah, bukanlah relasi kehidupan modern yang berbasiskan pada prinsip rasionalitas Hegel, melainkan sikap “Gusti-Kawula” yang masih mencerminkan hadirnya tatanan masyarakat feodalistik. Tidak perlu terlalu sulit untuk membuktikannya, selain dapat melihat masih eksisnya daerah-daerah kerajaan nusantara yang pada saat itu diberikan status “Swapraja”, rekan sejawatnya yang bernama Soekarno, justru malah menggembar-gemborkan ide-ide mistisme jawa demi untuk mendulang dukungan dari masyarakat luas. Dengan demikian, pada titik ini, bisa dikatakan bahwa penafsiran Marsilam Simanjuntak terhadap pemikiran negara integralistik Soepomo, bisa dijelaskan sebagai penafsiran yang ahistoris. Hal yang tentu saja bertolak belakang dengan filosofi Hegel yang justru ingin mengkaji riwayat perjalanan hidup manusia secara historis berdasarkan tahap pembabakan rasionalitas yang berlaku pada zamannya. Secara dialektis dengan mengedepankan idealisme (ide rasionalitas) diatas materialisme (materi), sebelum dijungkir-balikkan oleh Marx.



6



Simanjuntak, M (Opcit.). h. 8 Simanjuntak, M. (1994) Pandangan negara integralistik: sumber, unsur, dan riwayatnya dalam persiapan UUD 1945. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. h. 83 7



3



Hilwan Givari 1806252201



“Kekuasaan Jawa” Menurut Ben Anderson Dalam tulisannya “The Idea of Power in Javanese Culture” yang dimuat dalam buku berjudul Language and Power, secara sistematis Anderson (2006) menjelaskan makna kekuasaan dalam perspektif kebudayaan Jawa. Dengan menggunakan logika perbandingan, Anderson menguraikan secara definitif bahwa jika dibandingkan dengan pemahaman budaya barat, kekuasaan dalam perspektif jawa dapat dikategorikan berbeda secara tipologi dalam empat aspek, yaitu: Pertama, dari segi wujud. Menurt Anderson, Power / kekuasaan dalam perspektif Jawa memiliki wujud yang kongkret, sementara dalam perspektif barat, sebaliknya, bahwa kekuasaan bersifat abstrak karena ia baru bisa berwujud kongkret setelah tercipta relasi sosial antar manusia yang mencerminkannya. Antara yang mempengaruhi dengan yang dipengaruhi. Antara yang memiliki kuasa, dengan yang tidak memiliki kuasa. Sementara itu dalam perspektif jawa, kekuasaan bisa dikatakan independen dari hukum relasi sosial karena ia (kekuasaan) itu merupakan wujud kekuatan Tuhan yang ter-emanasi dari alam metafisika (makrokosmos) ke alam manusia (mikrokosmos).8 Kedua, dari segi sumber, dengan mengatakan bahwa “Power (It) follows from this conception that all power is of the same type and has the same source. Power in the hands of one individual or one group is identical with power in the hands of any other individual or group.” 9 Anderson hendak menjelaskan bahwa jika dalam perspektif barat sumber kekuasaan (politik) bisa bermacam-macam bergantung pada pola kebiasaan hubungan sosial masyarakat yang tercipta di dalamnya Bisa merupakan kekayaan, jabatan, organisasi, senjata, jumlah penduduk, dan lain sebagainya. Sementara itu dalam perspektif jawa sebaliknya. Bahwa kekuasaan dipandang sebagai sesuatu yang bersumber dari asal yang sama. Yaitu Tuhan, dari alam makrokosmos. Sehingga, kendati tiap masyarakat terlihat menampakkan ciri kekuasaan yang berbeda-beda, asal kekuasaan mereka dipandang oleh kebudayaan Jawa berasal dari sumber yang sama.



8



Anderson, Ben (2006) The Idea of Pwer in Javanese Culture. Language and Power. Exploring Political Cultures in Indonesia. Jakarta: PT Equinox Publishing Indonesia. h. 19 9 Anderson, Ben (Ibid.) h. 21



4



Hilwan Givari 1806252201



Ketiga, dari segi batas akumulasi. Jika dalam perspektif barat, batas akumulasi kekuasaaan yang terdapat di dalam masyarakat dapat berubah-ubah sepanjang waktu dengan dorongan utama berupa perkembangan teknologi, kebutuhan, dan lain-lain yang ikut mempengaruhi relasi sosial antar manusia yang terjadi, maka dalam perspektif kebudayaan jawa, kekuasaan memiliki batasan akumulasi yang konstan sifatnya. Selama manusia masih menempati alam kehidupannya, batas kekuasaan yang dimilikinya tidaklah dapat bertambah/berkurang sepanjang waktu. Yang mungkin terjadi adalah perubahan konsentrasi kekuasaannya. Jika ada perbesaran konsentrasi di satu tempat, maka konsentrasi kekuasaan di tempat lain akan mengecil. Karena menurut Anderson (Ibid.: 23), “In the Javanese view, the cosmos is neither expanding, nor contracting. The total amount of power within it also remains fixed. Since power simply exist,,its total quantity does not change.”10 Maka dari perbedaan pemikiran mengenai sifat akumulasi kekuasaan ini, bagi Anderson, kekuasaan dalam perspektif barat dianggap sebagai sesuatu yang mesti terus menerus diakumulasikan dalam kehidupan sosial demi memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dengan jalan penguasaan faktor-faktor material pemenuh kebutuhaan tersebut. Akan tetapi hal tersebut berbeda dengan perspektif jawa. Karena berasal dari alam makrokosmos dengan jumlahnya yang konstan, maka apabila seseorang ingin mendapatkan kekuasaan, yang diperlukan adalah dengan memintanya kepada Tuhan melalui jalur-jalur magico-religious instropection (semedi). Atau seperti yang dibahasakan oleh Anderson dengan kalimatnya: “Power is pursued through yogaistic practices…Including fasting, going without sleep, meditation, sexual abstinence, ritual purification”,11 dan lain sebagainya. 12 Keempat. Dari segi moral. Jika menurut Anderson, perspektif barat menghendaki bahwa kekuasaan tidak boleh memiliki standar moral yang baku. Karena semuanya mesti tetap digantungkan pada kompleksitas relasi sosial yang ada di masyarakat. maka menurut pandangan barat, kekuasaan mesti selamanya berada sebagai konsep yang positivistik (bebas nilai). Jikalaupun ada nilai moral melekat di dalamnya, hal tersebut hanya dapat dilihat sebagai tujuan atau “goals” dari kekuasan itu, tetapi tidak sebagai kekuasaan itu sendiri, yang dalam artian ini bisa dijelaskan sebagai “means” (cara) yang mesti selamanya dianggap bersifat teknis, dan oleh karenanya mesti bersifat bebas nilai. Sementara itu dalam perspektif Jawa menurut Anderson 10



Anderson, Ben (Ibid.) h. 23 Anderson, Ben (Ibid.) 12 Anderson, Ben (Ibid.) h. 24 11



5



Hilwan Givari 1806252201



(Ibid: 23), “since all power derives from a single homogenous source, power itself antecedes questions of good and evil.” Maka di dalam pemahaman budaya Jawa, kekuasaan dipandang sebagai sebuah kesatuan antar “goals” dan “means” yang bersumber dari Tuhan. Maka dengaan demikian, di dalamnya sudah pasti melekat nilai-nilai moral yang bersumber dari alam makrokosmos yang tidak bisa dipertanyakan lagi kriteria legitimasinya. Setelah menjelaskan mengenai persepektif pemikiran jawa mengenai kekuasaan, Anderson kemudian menjelaskan bagaimana pengaruh konsep tersebut jika dihadirkan dalam konteks negara modern Indonesia. Dengan mengambil contoh relasi kuasa yang muncul pada era demokrasi terpimpin dan orde baru pimpinan Soekarno dan Soeharto, Anderson kemudian mengatakan bahwa: “The structure of power in Indonesia,..ultimately everything depends on the personal power of the ruler. The emanation of this power reveals itself in a quite undifferentiated way along three separate axes: The center periphery axis, ascriptive (descent group under powerful dynasty) axis, and the patron –client administrative axis.”13 Jika disimak, pernyataan Anderson tersebut secara eksplisit hendak menegaskan bahwa perspektif kekuasaan jawa pada masa modern masih eksis dan karena kerap dijadikan sebagai basis legitimasi negara patrimonial yang dimainkan oleh para elit demi untuk tetap mempertahankan kekuasaanya. Kendati tidak lagi memiliki basis relasi masyarakat feodalistik apalagi wahyu ketuhanan yang membuatnya berdiri kokoh, akan tetapi para elit politik di Indonesia masih mempertahankan tiga poros struktur politik tempat ide “kekuasaan jawa” pada era feodalisme kerajaan masih berdiri tegak, yakni: pertama, Ide pusat (tempat Raja berdiam dan menerima wahyu kekuasaanya) dan pinggiran (tempat Kawula meminta petunjuk Raja) demi menjaga citra penguasa sebagai pusat kekuasaan, mitos pemimpin sebaagai keturunan/ titisan Raja-raja terdahulu sebagai landasan kultural pemimpin sebagai pewaris kebesaran sejarah, dan sistem birokrasi yang tidak berlandaskan merit system, melainkan patronase demi untuk menyingkirkan orang-orang yang memiliki pertentangan kepentingan dengan pemimpin.



13



Anderson, Ben (Ibid.) h. 49



6



Hilwan Givari 1806252201



Pemikiran Demokrasi Terrpimpin Dibawah Bendera Revolusi



Dalam tipologi pemikiran politik kebangsaan dirinya ditempatkan sebagai pemikir yang berhaluan nasionalis radikal, sejak muda minatnya terhadap dunia politik sangatlah besar. Sebagai seorang yang aktif dalam dunia politik Soekarno banyak menuangkan gagasan pemikiranya dalam bentuk pidato, artikel dan buku. Salah satu pemikiran Soekarno yang sangat kontroversial dan sampai sekarang mengundang polemik ialah pemikiran politik tentang demokrasi terpimpin. Awalnya pemikiran Soekarno muda dipenuhi oleh idealisme revolusioner dan anti penindasan, tapi diakhir masa kekuasaanya, ia menjelma menjadi sosok pemikir yang represif dan anti demokrasi. Dengan dalih revolusi belum selesai ia mengkonsepkan demokrasi sesuai penafsiranya, bahwa demokrasi yang dikembangkan oleh dunia Barat (parlemen) tidak sesuai dengan nilai luhur yang dimiliki bangsa Indonesia. Bagi Soekarno, demokrasi barat, hanya bisa meninggikan ide individualis yang merusak: ”Aku”. – ”aku” dalam arti aku perseorangan; aku golongan; aku partai; aku suku; aku daerah, – aku ini menonjol-nonjol. ”Aku” ini minta kedudukan, aku ini minta penghargaan, aku ini minta sekian kursi dalam parlemen, aku ini minta pelayanan istimewa, aku ini minta sebagian besar dari peruangan Negara, aku ini minta autonomi, aku ini minta status yang lebih tinggi.”14 Selama penerapan demokrasi terpimpin, Soekarnoberhasil tampil sebagai salah satu kekuatan politik dominan yang menggantikan peran hegemoni partai-partai politik diera parlementer. Pemikiran Soekarno tentang konsep politik khas Indonesia sebagai sebuah antitesis liberalisme barat akhirnya terjebak pada sloganistik, tetapi dalam realitas politik konsep khas budaya dan indentitas Indonesia tersebut menjelma menjadi sistem yang tidak ramah terhadap perbedaan pandangan politik. Pemusatan kekuasaan ditanganya menjadikan dirinya menjadi seorang tiran yang memberangus kebebasan berdemokrasi, lembaga-lembaga negara yang tidak sehaluan dengan arah kebijakanya kemudian dibubarkan. Beberapa tokoh politik tidak luput dari represifnya, mereka yang berasal dari Masyumi dan PSI, menjadi sasaran kebijakan demokrasi terpimpinya, mereka banyak dijebloskan ke penjara karena sikap politiknya yang bersebrangan dengan yang digariskan oleh penguasa. 14



Soekarno (1957) Satu Tahun Ketentuan. Ibid. h. 195



7



Hilwan Givari 1806252201



Demokrasi terpimpin ialah konsep kekuasaan yang menempatkan semua sumber kekuatan politik terletak pada satu orang yaitu pemimpin negara, sedangkan konsep nasakom ialah konsep mempersatukan tiga ideologi yang sebenarnya memiliki landasan epistemologi berbeda, tapi berusaha disatukan sebagai ladasan philosofis kebangsaan. Demokrasi terpimpin yang lahir sebagai antitesa dari kegagalan demokrasi liberal pada akhirnya menjadi sebuah sistem politik yang totaliter, otoriter dan bersifat diktaktor, begitu juga dengan konsep nasakom yang pada awalnya diciptakan untuk mempersatukan semua kekuataan-kekuatan politik yang ada, menjadi paham yang memaksakan homogenitas pemikiran, pihak-pihak yang tidak setuju dengan demokrasi terpimpin dan nasakom akan dijustifiaksi sebagai antek-antek neo imperialisme kolonialisme dan kontra revolusi. Nasakom yang sebelumnya dianggap sebagai konsep solutif untuk mempersatukan berbagai ideologi yang ada di Indonesia yang menurut Soekarno cocok untuk rakyat Indonesia yang bertipe Marhaen (kromo dongso),15 ternyata telah gagal menjadikanya sebagai konsep pemikiran yang intergralistik namun humanis, doktrin akan pentingnya persatuan akhirnya hanya menjadi instrumen politik efektif untuk memberangus sikap kritis yang bersebrangan dengan pemerintah. Persatuan yang dislogankan melalui beberapa media propaganda ternyata hanya mampu mempersatukan elemen-elemen politik ditingkat permukaan saja, terbukti setelah pecah tragedi 30 September 1965 persatuan yang selama ini dipropagandakan pemerintah tidak mampu mencegah pembantaian terhadap jutaan orang-orang yang dituduh komunis. Konsep integralistik beberapa aliran ideologi yang dirumuskan oleh Soekarno terbukti telah gagal mempersatukan masyarakat Indonesia. Pemikiran Soekarno tentang demokrasi terpimpin menurut penulis sangat dipengaruhi falsafah kekuasaan Jawa Tradisional, ia menginginkan kekuasaan politik terpusat pada satu pihak saja yaitu pada seorang pemimpin negara, konsep ini umumnya dikenal pada masa kerajaan-kerajaan Hindu Budha pada masa lalu. Maka tidak heran apabila demokrasi terpimpinya Soekarno disimbolisasikan sebagai kelanjutan sistem kerajaan pada zaman feodal, bahkan menurut Soekarno: “Ya, kataku tadi, – kita sekarang ini mengalami menurunnya jiwa nasional kita yang di zaman purbakala dan dalam permulaan Revolusi begitu dinamis, mengalami gejala menjadi satu bangsa yang hanya “mau cari enaknya saja”. (Ingatkah saudara kepada sandera-sengkala runtuhnya Majapahit yang berbunyi: “Sirna hilang kertaning bhumi”? – yang berarti: “sirna hilang gigihnya bumi”?) Kita, sebagai kukatakan 15



Soekarno (1948) Seluruh Nusantara Berjiwa Republik. Di Bawah Bendera Revolusi. Djilid Kedua. 1965. Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi. h. 32



8



Hilwan Givari 1806252201



beberapa pekan yang lalu di Banjarmasin, kita menderita penyakit “doyan omong ” , – menderita penyakit “misbegrip van demoeratie.”. 16 Proses sosialisasi paham kekuasaan Jawa merupakan sosialisasi politik yang pertama kali diterima oleh Soekarno pada masa kecilnya jauh sebelum ia mengenal pemikir-pemikir besar seperti Marx, Hegel, Lenin atau Kemal Pasha, lewat media wayang kulit inilah Soekarno dikenalkan dengan konsep kekuasaan politik yang dikemudian hari sangat mempengaruhi pemikiran politiknya baik pada masa pergerakan, revolusi fisik dan demokrasi terpimpin. Dunia wayang sangatlah mempengaruhi Soekarno, tokoh Bima menjadi personifikasi dirinya sebagi simbol orang yang kuat dan meledak-ledak, bahkan sampai ia dewasa dan terjun dalam dunia politik, dalam setiap artikel yang Soekarno tulis kerap menggunakan nama samaran Bima (Bernhard Dahm, 1987: 31-33).17 Dua konsep kekuasaan Jawa yaitu konsep kekuasaan politik yang terpusat dan integrasi budaya Jawa (sinkretisme), sangat mempengaruhi pemikiran Soekarno dikemudian hari, dari adanya pengaruh kekuasaan Jawa tersebut lahirlah konsep pemikiran politik demokrasi terpimpin dan nasakom yang mengkultuskan dirinya “penyambung lidah rakyat”, yang mampu menghimpun: “kekuatan si Dullah, kekuatan Bang Samiun, kekuatan Pak Kromodongso, kekuatan mBok Sarinah, kekuatan Cik Zulaeha.18” Bagi Soekarno, keberadannya sebagai pemimpin revolusi, mesti dianggap sebagai representasi Raja-raja Nusantara yang mesti mengembalikan kejayaan Indonesia seperti era majapahit dulu: “ Ya, kita ini bangsa yang aneh. Enam ratus tahun yang lalu Gajah Mada telah mencoba membukakan mata kita bahwa kebahagiaan dan kesentausaan bernegara hanyalah dapat dicapai dengan “ginöng pratidina”, – salah satu sila-kegigihan-hidup yang ia berikan kepada andika-andika bhayangkari -, dan dalam permulaan Revolusi kita sekarangpun kita mengalami bahwa Revolusi menang karena kita gigih setiap hari, – tetapi dalam hal memelihara hasil Revolusi itu dan dalam hal memberi isi kepada hasil Revolusi itu kita bukan saja tidak gigih setiap hari, tetapi sebaliknja menjadi orang-orang yang cari enaknya saja, bahkan mencemooh kepada orang yang mengajak gigih setiap hari.”19



16



Soekarno (Ibid.) h. 186 Dahm, Bernhard (1987) Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan,Jakarta: LP3ES. h. 31-33 18 Soekarno (Opcit..) h. 183 19 Soekarno (1957) Satu Tahun Ketentuan. Di Bawah Bendera Revolusi. Djilid Kedua. 1965. Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi. 17



9