Rupture Perineum [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RUPTURE PERINEUM (ROBEKAN JALAN LAHIR) - TEORI DAN PENJELASANNYA RUPTURE PERINEUM (ROBEKAN JALAN LAHIR) - TEORI DAN PENJELASANNYA



Pengertian Perineum Perineum adalah daerah yang terletak antara vulva dan anus yang juga berperan dalam persalinan. Perineum yang lunak dan elastis serta cukup lebar umumnya tidak memberikan kesukaran dalam kelahiran kepala janin. Perineum yang kaku dan tidak elastis akan menghambat persalinan kala II dan dapat meningkatkan resiko terhadap janin, juga dapat menyebabkan robekan perineum yang luas sampai tingkat III.



Perineum adalah lantai pelvis dan struktur sekitarnya yang menempati pintu bawah panggul, di sebelah anterior dibatasi oleh simfisis pubis, di sebelah lateral oleh tuber iskiadikum dan di sebalah posterior oleh oskoksigeus. Perienum pada pria dibatasi oleh skrotum dan anus, sedangkan wanita oleh vulva dan anus.(9) Perineum adalah daerah antara tepi bawah vulva dengan tepi depan anus. Batas otot-otot diafragma (m.levator ani, m. Coccygeus) dan diafragma urogenitalis (m.perinealis transversus profunda, m.constictor uretrehta).(8) Perineum merupakan ruang berbentuk jajaran genjang yang terletak di bawah dasar panggul. Perineum memiliki batas-batas sebagai berikut: a.



Superior : dasar panggul yang terdiri dari m. Levator ani dan m. Coccygeus.



b. Lateral : tulang dan ligamenta yang membentuk pintu bawah panggul (exitus pelvis) yakni dari depan



ke



belakang



angulus



subpubicus,



ramus



ischiopubicus,



tuber



ischiadicum,



ligasecrotuberosom, os coccygis. c.



Inferior : kulit dan fascia.(10)



Robekan Jalan Lahir Robekan jalan lahir adalah terpotongnya selaput lendir vagina, selaput dara, serviks, portio, septum rektovaginalis akibat dari tekanan benda tumpul.(11) Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu di evaluasi yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi, sumber perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina, serviks dan robekan uterus, perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dan robekan jalan lahir dengan perdarahan yang bersifat arteli atau pecahnya pembuluh darah vena. Untuk dapat menetapkan sumber perdarahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan speculum setelah sumber perdarahan diketahui dengan pasti perdarahan dihentikan segera dengan menggunakan ligase atau penyempitan pembuluh darah.(12) Banyak wanita mengalami robekan jalan lahir atau robekan perineum pada saat melahirkan anak pertama. Pada sekitar separuh dari kasus-kasus tersebut, robekan ini amat luas. Dan laserasi ini harus diperbaiki dengan cermat.(13) Laserasi spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi saat kepala dan bahu dilahirkan. Kejadian laserasi akan meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali. Jalin kerjasama dengan ibu dan gunakan perasat manual yang tepat dapat mengatur kecepatan kelahiran bayi dan mencegah terjadinya laserasi. Kerjasama akan sangat bermanfaat saat kepala



bayi pada diameter 5-6 cm membuka vulva (Crowning) karena pengendalian kecepatan dan pengaturan diameter kepala saat melewati introitus dan perineum mengurangi kemungkinan terjadinya robekan, bimbing ibu untuk meneran dan beristirahat atau bernapas dengan cepat pada waktunya. Wanita yang setelah melahirkan mengalami robekan pada vagina bagian dalam dengan jahitan atau kerusakan perineum (daerah diantara vulva dan anus, yang terdiri dari kulit dan otot).(10)



Ruptur Perineum Ruptur Perineum dapat terjadi karena adanya ruptur spontan maupun episiotomi. Perineum yang dilakukan dengan episiotomi itu sendiri harus dilakukan atas indikasi antara lain: bayi besar, perineum kaku, persalinan yang kelainan letak, persalinan dengan menggunakan alat baik forceps maupun vacum. Karena apabila episiotomi itu tidak dilakukan atas indikasi dalam keadaan yang tidak perlu dilakukan dengan indikasi di atas, maka menyebabkan peningkatan kejadian dan beratnya kerusakan pada daerah perineum yang lebih berat. Sedangkan luka perineum itu sendiri akan mempunyai dampak tersendiri bagi ibu yaitu gangguan ketidaknyamanan.(11) Perlukaan perineum umumnya terjadi unilateral, namun dapat juga bilateral. Perlukaan pada diafragma urogenitalis dan muskulus levator ani, yang terjadi pada waktu persalinan normal ataupun persalinan dengan alat, dapat terjadi tanpa luka pada kulit perineum atau pada vagina, sehingga tidak kelihatan dari luar. Perlukaan demikian dapat melemahkan dasar panggul, sehingga mudah terjadi prolapses genitalis.



Perineum adalah daerah antara tepi bawah vulva dengan tepi depan anus. Batas otot- otot diafragma pelvis (m.perinealis, m. coccygeus) dan diafragma urogenitalis (m.perinealis transversus profunda,m.constictor uretra). Perineum meregang pada persalinan, kadang perlu dipotong (episiotomi) untuk memperbesar jalan lahir dan mencegah robekan. Perineum merupakan ruang berbentuk jajaran genjang yang terletak di bawah dasar panggul. Daerah ini dibagi menjadi dua buah segi tiga, yaitu trigonum urogenitalie di sebelah depan dan trigoum anale disebelah belakang. Keduanya dipisahkan oleh sekat melintang yang dibentuk oleh mm.tranversus perinci dan basis diaphragma urogenitale. Banyak wanita mengalami robekan perineum pada saat melahirkan anak pertama. Pada sekitar separuh dari kasus- kasus tersebut, robekan ini amat luas, laserasi harus diperbaiki dengan cermat.(13) a. Indikasi 1) Ruptur perineum spontan a) Faktor Ibu 1) Partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak ditolong (sebab paling sering). 2) Pasien tidak mampu berhenti mengejan. 3) Partus diselesaikan secara tergesa- gesa dengan dorongan fundus yang berlebihan. 4) Edema dan kerapuhan pada perineum. 5) Varikositas vulva yang melemahkan jaringan perineum. 6)



Arcus pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang sempit pula sehingga menekan kepala bayi kearah posterior.



7) Perluasan episiotomi. b) Faktor Bayi



1) Bayi yang besar. 2) Posisi kepala yang abnormal, misalnya presentasi muka dan occipitoposterior. 3) Kelahiran bokong. 4) Ekstaksi forceps yang sukar. 5) Distosia bahu. 6) Anomaly kongenital, seperti hydrocephalus.(13)



Derajat robekan perineum Robekan perineum ini di bagi menjadi empat, yaitu robekan derajat 1,2,3, dan 4. Derajat 1



:



Robekan derajat pertama meliputi mukosa vagina, fourchette dan kulit perineum tepat dibawahnya.



Derajat 2



:



Robekan derajat kedua meliputi mukosa vagina, fauchette posterior, kulit perineum,otot perineum.



Derajat 3



:



Robekan derajat ketiga meluas sampai mukosa vagina, fauchette posterior, kulit perineum, otot perineum, otot spinter ani eksterna.



Derajat 4



:



Robekan derajat keempat mengenai mukosa vagina, fauhette posterior, kulit perineum, otot perineum,otot spinter ani eksterna, dinding rectum anterior.(8)



Penanganan ruptur perineum dan robekan vagina (dilakukan oleh yang sudah berpengalaman terutama dokter kandungan). Robekan derajat pertama ini kecil dan diperbaiki seseerhana mungkin. Tujuannya adalah merapatkan kembali jaringan yang terpotong dan menghasilkan hemostatis. Pada rata- rata kasus,



beberapa jahitan terputus lewat mukosa vagina, fourchette dan kulit perineum sudah memadai. Jika perdarahannya banyak dilakukan penjahitan angka 8. Jahitan ini kurang disimpul secara longgar paling baik bagi kulit karena jahitan ini kurang menimbulkan tegangan dan lebih menyenangkan bagi pasien. Robekan perineum yang melebihi derajat 1 harus di jahit. Hal ini dapat dilakukan sebelum placenta lahir, tetapi apabila ada kemungkinan placenta harus dikeluarkan secara manual, lebih baik tindakan itu ditunda sampai menunggu plasenta lahir. Dengan penderita berbaring secara lithotomi dilakukan pembersihan luka dengan cairan antiseptik dan luas robekan ditentukan secara seksama. Pada robekan perineum derajat 2 setelah diberi anestesi lokal, otot- otot diafragma urogenitalis dihubungkan di garis tengah dengan jahitan dan kemudian luka pada vagina dan kulit perineum ditutup dengan mengikutsertakan jaringan- jaringan bawahnya. Menjahit robekan perineum derajat 3 harus dilakukan dengan teliti. Mula- mula dinding depan rectum yang robek dijahit, kemudian fasia parektal ditutup, dan muskulus sfringter ani aksternus yang robek dijahit. Selanjutnya dilakukan penutupan robekan seperti pada robekan perineum derajat 2. Untuk mendapat hasil yang baik pada robekan perineum total perlu tindakan penanganan pasca pembedahan yang sempurna. Robekan derajat 3 yang total diperbaiki lapis demi lapis. Perbaikan pada robekan partial derajat 3 serupa dengan perbaikan pada robekan total, kecuali dinding rectum masih utuh dan perbaikan dimulai dengan mendapatkan kembali kedua ujung sfringter recti yang robek.(13)



Meminimalkan Derajat Ruptur Perineum



Menurut buku acuan persalinan normal, kerja sama dengan ibu dan penggunaan perasat manual yang tepat dapat mengatur ekspulsi kepala, bahu, seluruh tubuh bayi untuk mencegah laserasi atau meminimalkan robekan pada perineum. Cara-cara yang dianjurkan untuk meminimalkan terjadinya robekan perineum diantaranya adalah: a.



Saat kepala membuka vulva (5-6 cm) penolong meletakkan kain bersih dan kering yang dilipat sepertiga dibawah bokong ibu dan menyiapkan kain atau handuk bersih diatas perut ibu, untuk mengeringkan bayi segera setelah lahir.



b.



Melindungi perineum dengan satu tangan dengan kain yang bersih dan kering, ibu jari pada salah satu perineum dan empat jari tangan pada sisi yang lain dibelakang kepala bayi.



c.



Menahan kepala bayi agar posisi kepala tetap fleksi pada saat keluar secara bertahap melalui introitus dan perineum.



d. Melindungi perineum dan mengendalikan lahirnya kepala, bahu, dan seluruh tubuh bayi secara bertahap dengan hati-hati dapat mengurangi regangan berlebihan (robekan) pada vagina dan perineum. Melindungi perineum dan mengendalikan keluarnya kepala bayi dengan hati-hati dapat mengurangi robekan pada vagina dan perineum.(13)



Perawatan Luka Jahitan Perineum a. Pengertian Perawatan Luka Perineum Perawatan adalah proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia (biologis, psikologis, sosial dan spiritual) dalam rentang sakit sampai dengan sehat. Perineum adalah daerah antara kedua belah paha yang dibatasi oleh vulva dan anus. Jadi perawatan perineum adalah pemenuhan



kebutuhan untuk menyehatkan daerah antara paha yang dibatasi vulva dan anus pada ibu yang dalam masa antara kelahiran plasenta sampai dengan kembalinya organ genetik seperti pada waktu sebelum hamil.(12)



b. Gangguan Integritas Kulit pada Proses Persalinan 1) Episiotomi Episiotomi adalah insisi pada perineum untuk memperbesar mulut vagina. Jenis episiotomi ditentukan berdasarkan tempat dan arah insisi antara lain : a)



Episiotomi Garis Medial Paling sering dilakukan. Episiotomi ini efektif, mudah diperbaiki, dan biasanya nyeri yang timbul lebih ringan. Kadang-kadang dapat terjadi perluasan melalui sfingter rectum (laserasi derajat ketiga) atau bahkan ke kanal ani (laserasi derajat keempat).



b)



Episiotomi Mediolateral Dilakukan pada persalinan dengan tindakan jika ada kemungkinan terjadi perluasan kearah posterior. Meskipun dengan demikian robekan derajat empat dapat dihindari, tetapi robekan derajat tiga dapat terjadi. Selain itu, Jika dibandingkan dengan episiotomi medial, kehilangan darah akan lebih banyak dan perbaikan lebih sulit serta lebih nyeri.



2) Laserasi a) Laserasi Perineum (Robekan Perineum) Robekan pada perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya, namun hal ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan jalan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat. Robekan perineum dapat di bagi 4 tingkat :



(1) Tingkat 1 : Robekan hanya terjadi pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perineum. (2) Tingkat 2 : Robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinel transversalis, tetapi tidak mengenai otot sfringter ani. (3) Tingkat 3 : Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfringter ani. (4) Tingkat 4 : Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfringter ani dan mukosa rectum b) Laserasi Vagina c) Laserasi Serviks (Cedera Serviks).(8)



c.



Tujuan Perawatan Luka Perinium



1) Untuk mencegah terjadinya infeksi di daerah vulva, perineum, maupun di dalam uterus 2) Untuk penyembuhan luka perineum (jahitan perineum) 3) Untuk kebersihan perineum dan vulva 4) Untuk mencegah infeksi seperti diuraikan diatas bahwa saat persalinan vulva merupakan pintu gerbang masuknya kuman-kuman. Bila daerah vulva dan perineum tidak bersih, mudah terjadi infeksi pada jahitan perineum saluran vagina dan uterus.



d. Waktu Perawatan Luka perineum 1) Saat mandi. Pada saat mandi, ibu post partum pasti melepas pembalut, setelah terbuka maka ada kemungkinan terjadi kontaminasi bakteri pada cairan yang tertampung pada pembalut, untuk itu maka perlu dilakukan penggantian pembalut, demikian pula pada perineum ibu, untuk itu diperlukan pembersihan perineum.



2) Setelah buang air kecil. Pada saat buang air kecil, pada saat buang air kecil kemungkinan besar terjadi kontaminasi air seni pada rektum akibatnya dapat memicu pertumbuhan bakteri pada perineum untuk itu diperlukan pembersihan perineum. 3) Setelah buang air besar. Pada saat buang air besar, diperlukan pembersihan sisa-sisa kotoran disekitar anus, untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri dari anus ke perineum yang letaknya bersebelahan maka diperlukan proses pembersihan anus dan perineum secara keseluruhan.(10)



Cara Perawatan Luka Perineum Perawatan perineum dapat mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi dengan cara menjaga kebersihan perineum. Caranya sebagai berikut: 1) Persiapan : a) Siapkan air hangat b) Sabun dan washlap c) Handuk kering dan bersih d) Pembalut ganti yang secukupnya e) Celana dalam yang bersih 2) Cara merawatnya : a) Lepas semua pembalut dan cebok dari arah depan ke belakang. b)



Washlap dibasahi dan buat busa sabun lalu gosokkan perlahan washlap yang sudah ada busa sabun tersebut ke seluruh lokasi luka jahitan. Jangan takut dengan rasa nyeri, bila tidak



dibersihkan dengan benar maka darah kotor akan menempel pada luka jahittan dan menjadi tempat kuman berkembang biak. c) Bilas dengan air hangat dan ulangi sekali lagi sampai yakin bahwa luka benar-benar bersih. Bila perlu lihat dengan cermin kecil. d) Setelah luka bersih boleh berendam dalam air hangat dengan menggunakan tempat rendam khusus. Atau bila tidak bisa melakukan perendaman dengan air hangat cukup di siram dengan air hangat. e)



Kenakan pembalut baru yang bersih dan nyaman serta celana dalam yang bersih dari bahan katun. Jangan mengenakan celana dalam yang bisa menimbulkan reaksi alergi.



f)



Segera mengganti pembalut jika terasa darah penuh, semakin bersih luka jahitan maka akan semakin cepat sembuh dan kering.



g)



Konsumsi makanan bergizi dan berprotein tinggi agar luka jahitan cepat sembuh. Makanan berprotein ini bisa diperoleh dari telur, ikan, ayam dan daging, tahu, tempe. Jangan pantang makanan, ibu boleh makan semua makanan kecuali bila ada riwayat alergi.



h) Luka tidak perlu dikompres obat antiseptik cair tanpa seizin dokter atau bidan. 3) Lamanya jahitan mengering Luka jahitan rata-rata akan kering dan baik dalam waktu kurang dari satu minggu. Bila keluar darah kotor bau busuk dari jalan lahir, ibu panas, dan luka jahitan bengkak kemerahan terasa sangat nyeri atau luka jahitan bernanah. Ada beberapa catatan yang perlu diketahui: a) Luka jahitan terasa sedikit nyeri Jangan cemas, rasa nyeri ini akibat terputusnya jaringan syaraf dan jaringan otot, namun semakin sering di gerakkan maka nyeri akan berkurang. Bila ibu hanya berbaring terus menerus dan takut



bergerak karena nyeri akan menghambat proses penyembuhan. Sirkulasi darah pada luka menjadi tidak lancar. b) Luka terlihat sedikit bengkak dan merah Pada proses penyembuhan luka tubuh secara alami akan memproduksi zat – zat yang merupakan reaksi perlawanan terhadap kuman. Sehingga dalam proses penyembuhan luka kadang terjadi sedikit pembengkakan dan kemerahan. Asalkan luka bersih ibu tak perlu cemas. Bengkak dan merah ini bersifat sementara. Beberapa keluarga masih ada yang menganjurkan untuk mengurangi minum air putih agar jahitan cepat kering. Hal ini sama sekali tidak dibenarkan. Justru ibu harus minum yang banyak, minimal 8 gelas sehari untuk memperlancar buang air kecil, mengganti cairan tubuh yang hilang dan memperlancar proses pengeluaran ASI. (11) RUPTUR PERINEUM (ROBEKAN PADA JALAN LAHIR) By Laksono Nugroho8:30 PMNo comments



RUPTUR PERINEUM



Perineum merupakan bagian permukaan dari pintu bawah panggul yang terletak antara vulva dan anus. Perineum terdiri dari otot dan fascia urogenitalis serta diafragma pelvis. Rupture perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik secara spontan maupun dengan menggunakan alat atau tindakan. Robekan perineum umumnya terjadi pada garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat. Robekan perineum terjadi pada hampir semua primipara. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan serviks atau vagina.



Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus diperhatikan yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus (ruptur uteri). Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dan robekan jalan lahir yang dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah vena Jenis robekan perineum berdasarkan luasnya adalah sebagai berikut: a. Derajat satu : Robekan ini hanya terjadi pada mukosa vagina, vulva bagian depan, kulit perineum. b. Derajat dua : Robekan terjadi pada mukosa vagina, vulva bagian depan, kulit perineum dan otot perineum. c. Derajat tiga : Robekan terjadi pada mukosa vagina, vulva bagian depan, kulit perineum, otot-otot perineum dan sfingterani eksterna. 3a : < 50% ketebalan sfingter ani eksterna (SAE) 3b : >50% Ketebalan sfingter ani eksterna (SAE) 3c : Mengenai kedua sfingter ani eksterna dan interna d. Derajat empat : Robekan dapat terjadi pada seluruh perineum dan sfingterani yang meluas sampai ke mukosa rectum Tanda dan gejala robekan jalan lahir adalah sebagai berikut : a. Perdarahan b. Darah segar yang mengalir setelah bayi lahir c. Uterus tidak berkontraksi dengan baik



d. Plasenta tidak normal



Gejala yang sering terjadi adalah: a. Pucat b. Lemah c. Pasien dalam keadaan menggigil



Yang dapat menyebabkan terjadinya robekan jalan lahir adalah Partus presipitatus. a. Kepala janin besar b. Presentasi defleksi (dahi, muka). c. Primipara d. Letak sungsang. e. Pimpinan persalinan yang salah. f. Pada obstetri dan embriotomi : ekstraksi vakum, ekstraksi forcep, dan embriotomi



Terjadinya rupture perineum disebabkan oleh faktor ibu (paritas, jarak kelahiran dan berat badan bayi), pimpinan persalinan tidak sebagaimana mestinya, riwayat persalinan. ekstraksi cunam, ekstraksi vakum,



trauma alat dan episiotomi . Perdarahan karena robekan jalan lahir banyak dijumpai pada pertolongan persalinan oleh dukun karena tanpa dijahit. Bidan diharapkan melaksanakan pertolongan persalinan di tengah masyarakat melalui bidan polindes, sehingga peranan dukun makin berkurang. Bidan dengan pengetahuan medisnya dapat mengetahui hamil dengan risiko tinggi dan mengarahkan pertolongan pada kehamilan dengan risiko rendah yang mempunyai komplikasi ringan sehingga dapat menurunkan angka kematian ibu maupun perinatal. Dengan demikian komplikasi robekan jalan lahir yang dapat menimbulkan perdarahan semakin berkurang Risiko yang ditimbulkan karena robekan jalan lahir adalah perdarahan yang dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Risiko lain yang dapat terjadi karena robekan jalan lahir dan perdarahan yang hebat adalah ibu tidak berdaya, lemah, tekanan darah turun, anemia dan berat badan turun. Keluarnya bayi melalui jalan lahir umumnya menyebabkan robekan pada vagina dan perineum. Meski tidak tertutup kemungkinan robekan itu memang sengaja dilakukan untuk memperlebar jalan lahir. Petugas kesehatan atau dokter akan segera menjahit robekan tersebut dengan tujuan untuk menghentikan perdarahan sekaligus penyembuhan. Penjahitan juga bertujuan merapikan kembali vagina ibu menyerupai bentuk semula Tindakan yang dilakukan untuk robekan jalan lahir adalah sebagai berikut : a. Memasang kateter ke dalam kandung kencing untuk mencegah trauma terhadap uretra saat penjahitan robekan jalan lahir. b. Memperbaiki robekan jalan lahir. c. Jika perdarahan tidak berhenti, tekan luka dengan kasa secara kuat kira-kira selama beberapa menit. Jika perdarahan masih berlangsung, tambahkan satu atau lebih jahitan untuk menghentikan perdarahan.



d. Jika perdarahan sudah berhenti, dan ibu merasa nyaman dapat diberikan makanan dan minuman pada ibu. Penanganan robekan jalan lahir adalah a. Untuk mencegah luka yang robek dan pinggir luka yang tidak rata dan kurang bersih pada beberapa keadaan dilakukan episotomi. b. Bila dijumpai robekan perineum dilakukan penjahitan luka dengan baik lapis demi lapis, dengan memperhatikan jangan ada robekan yang terbuka ke arah vagina yang biasanya dapat dimasuki oleh bekuan darah yang akan menyebabkan luka lama sembuh. c. Dengan memberikan antibiotik yang cukup Pengobatan yang dapat dilakukan untuk robekan jalan lahir adalah dengan memberikan uterotonika setelah lahirnya plasenta, obat ini tidak boleh diberikan sebelum bayi lahir. Manfaat dari pemberian obat ini adalah untuk mengurangi terjadinya perdarahan pada kala III dan mempercepat lahirnya plasenta. Perawatan luka perineum pada ibu setelah melahirkan berguna untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan, menjaga kebersihan, mencegah infeksi dan mempercepat penyembuhan luka. Perawatan perineum umumnya bersamaan dengan perawatan vulva.



Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah : a. Mencegah kontaminasi dengan rectum b. Menangani dengan lembut jaringan luka



c. Membersihkan darah yang menjadi sumber infeksi dan bau Risiko komplikasi yang mungkin terjadi jika rupture perineum tidak segera diatas, yaitu : a. Perdarahan Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan dalam waktu satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan penatalaksanaan yang cermat selama kala satu dan kala empat persalinan sangat penting. Menilai kehilangan darah yaitu dengan cara memantau tanda vital, mengevaluasi asal perdarahan, serta memperkirakan jumlah perdarahan lanjutan dan menilai tonus otot . b. Fistula Fistula dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya karena perlukaan pada vagina menembus kandung kencing atau rectum. Jika kandung kencing luka, maka air kencing akan segera keluar melalui vagina. Fistula dapat menekan kandung kencing atau rectum yang lama antara kepala janin dan panggul, sehingga terjadi iskemia . c. Hematoma Hematoma dapat terjadi akibat trauma partus pada persalinan karena adanya penekanan kepala janin serta tindakan persalinan yang ditandai dengan rasa nyeri pada perineum dan vulva berwarna biru dan merah. Hematoma dibagian pelvis bisa terjadi dalam vulva perineum dan fosa iskiorektalis. Biasanya karena trauma perineum tetapi bisa juga dengan varikositas vulva yang timbul bersamaan dengan gejala peningkatan nyeri. Kesalahan yang menyebabkan diagnosis tidak diketahui dan memungkinkan banyak darah yang hilang. Dalam waktu yang singkat, adanya pembengkakan biru yang tegang pada salah satu sisi introitus di daerah rupture perineum .



d. Infeksi Infeksi pada masa nifas adalah peradangan di sekitar alat genetalia pada kala nifas. Perlukaan pada persalinan merupakan tempat masuknya kuman ke dalam tubuh sehingga menimbulkan infeksi. Dengan ketentuan meningkatnya suhu tubuh melebihi 380



Robekan jalan lahir selalu menyebabkan perdarahan yang berasal dari perineum, vagina, serviks dan robekan uterus (rupture uteri). Penanganan yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah dengan melakukan evaluasi terhadap sumber dan jumlah perdarahan. Jenis robekan perineum adalah mulai dari tingkatan ringan sampai dengan robekan yang terjadi pada seluruh perineum yaitu mulai dari derajat satu sampai dengan derajat empat. Rupture perineum dapat diketahui dari tanda dan gejala yang muncul serta penyebab terjadinya. Dengan diketahuinya tanda dan gejala terjadinya rupture perineum, maka tindakan dan penanganan selanjutnya dapat dilakukan RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS)



KATA PENGANTAR



Puji syukur Kami panjatkan kepada tuhan YME, karena atas berkat dan rahmatnya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dengan tujuan penulisan ini adalah Untuk mengetahui pengertian respiratory distress syndrome (RDS) dan untuk melengkapi salah satu tugas mata kuliah asuhan kebidanan neonates bayi dan balita. Dalam penulisan ini kami bekerja sama menyelesaikan makalah ini dengan membahas tentang RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS), kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan ini.



Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih, semoga dengan penulisan makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah ilmu pengetahuan.



Bogor, 28 Maret 2012



Penyusun



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR18 DAFTAR ISI20 BAB I PENDAHULUAN23 1.1 Latar Belakang23 1.2 Tujuan Penulisan25 BAB II PEMBAHASAN26 2.1 Definisi26 2.2 Etiologi27 2.3 Patofisiologi27 2.4 Pencegahan RDS28 2.5 Manifestasi Klinis29 2.6 Peran Bidan Terhadap RDS30 2.7 Klasifikasi Gangguan Nafas31 2.8 Penunjang / Diagnostik33 2.9 Penatalaksanaan34 2.10 Komplikasi Penyakit35 BAB III PENUTUP36 3.1 Kesimpulan36 3.2 Saran37 DAFTAR PUSTAKA39



BAB I PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang DEPARTEMEN Kesehatan (Depkes) mengungkapkan rata-rata per tahun terdapat 401 bayi baru lahir di Indonesia meninggal dunia sebelum umurnya genap 1 tahun. Data bersumber dari survey terakhir pemerintah, yaitu dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2007 (SDKI). Berdasarkan survei lainnya, yaitu Riset Kesehatan Dasar Depkes 2007, kematian bayi baru lahir (neonatus) merupakan penyumbang kematian terbesar pada tingginya angka kematian balita (AKB). Setiap tahun sekitar 20 bayi per 1.000 kelahiran hidup terenggut nyawanya dalam rentang waktu 0-12 hari pasca kelahirannya. Parahnya, dalam rentang 2002-2007 (data terakhir), angka neonatus tidak pernah mengalami penurunan. Penyebab kematian terbanyak pada periode ini, menurut Depkes, disebabkan oleh sepsis (infeksi sistemik), kelainan bawaan, dan infeksi saluran pemapasan atas. Selaras dengan target pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), Depkes telah mematok target penurunan AKB di Indonesia dari rata-rata 36 meninggal per 1.000 kelahiranhidup menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. AKB di indonesia termasuk salah satu yang paling tinggi di dunia. Hal itu tecermin dari perbandingan dengan jumlah AKB di negara tetangga seperti Malaysia yang telah mencapai 10per 1.000 kelahiran hidup dan Singapura dengan 5 per 1.000 kelahiran hidup. Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Badriul Hegar mengatakan banyak faktor yang menyebabkan angka kematian bayi tinggi. Antara lain, faktor kesehatan anak, lingkungan seperti keadaan geografis, dan faktor nutrisi.Bisa dicegah Menurut Kirana, peran puskesmas dan posyandu sejatinya menjadi kunci untuk menekan kejadian AKB.



Antara lain menurunkan angka kematian anak balita sebesar 2/3 dalam kurun waktu 1990-2015. Pada tahun 2015 diharapkanangka kematian bayi sebesar 23 bayi per 1.000 kelahiran hidup dan 32 anak balita per 1.000kelahiran hidup Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter



Anak Indonesia Badriul Hegar mengatakan,



penyebabkematian bayi berusia di bawah satu bulan, adalah sekitar 29 % disebabkan berat badan rendah, 30 % gangguan pernapasan, dan sekitar 10 % masalah nutrisi. Dia berpandangan, guna menekan angka kematian bayi dan anak balita, yang terpenting ialah upaya preventif dan promotif. Usaha promotif antara lain melalui promosi penggunaan air susu ibu, nutrisi adekuat, kebersihan diri, dan lingkungan. Upaya preventif antara lain melalui imunisasi dasar. Selain itu, perlu pula fasilitas pengobatan tingkat komunitas melalui fasilitas seperti puskesmas. Dalam kesempatan yang sama, Ketua Sentra Laktasi Indonesia Pola pernafasan normal adalah teratur dengan waktu ekspirasi lebih panjang daripada waktu inspirasi, karena pada inspirasi otot pernafasan bekerja aktif, sedangkan pada waktu ekspirasi otot pernapasan bekerja secara pasif. Pada keadaan sakit dapat terjadi beberapa kelainan pola pernapasan yang paling sering adalah takipneu. Ganguan pernafasan pada bayi dan anak dapat disebabkan oleh berbagai kelainan organic, trauma, alargi, insfeksi dan lain-lain. Gangguan dapat terjadi sejak bayi baru lahir. RDS (Respiratory Distress Syndrome) atau disebut juga Hyaline membrane disease merupakan hasil dari ketidak maturan dari paru-paru dimana terjadi gangguan pertukaran gas. Berdasarkan perkiraan 30 % dari kematian neonatus diakibatkan oleh RDS atau komplikasi yang dihasilkannya (Behrman, 2004 didalam Leifer 2007). Secara tinjauan kasus, di negara-negara Eropa sebelum pemberian rutin antenatal steroid dan postnatal surfaktan, terdapat angka kejadian RDS 2-3%, di USA 1,72% dari kelahiran bayi hidup periode 1986-1987. Sedangkan jaman modern sekarang ini dari pelayanan NICU turun menjadi 1%. Di Negara berkembang termasuk Indonesia belum ada laporan tentang kejadian RDS. Sedangkan angka kematian kematian bayi (infant mortality rate), yakni angka kematian bayi sampai umur satu tahun, di Negara-negara maju telah turun dengan cepat dan sekarang mencapai angka di bawah 20 pada 1000 kelahiran. Penurunan angka kematian prenatal berlangsung lebih lambat, sebabnya ialah karena kesehatan serta keselamatan janin dalam uterussangat tegantung dari keadaan



dan kesempurnaan bekerjanya system dalam tubuh ibu yang mempunyai fungsi untuk menumbuhkan hasil konsepsi dari mudhigah menjadi janin cukup bulan. Di Negara-negara maju kematian prenatal ini mencapai angka dibawah 25 per 1000 seperti telah dijelaskan, prematuritas memegang peran penting dalam hal ini. Selanjutny tidak jarang bersama-sama dengan prematuritas terjadi factor-faktor lain seperti, kelainan congenital, asfiksia neonatorum, insufisiensi plasenta, pelukaan kelahiran, dan lain-lain. Dua hal yang banyak menentukan penurunan kematian prenatal ialah tingkat kesehatan serta gizi wanita dan mutu pelayanan kebidanan yang tinggi di seluruh Negara.



1.2. Tujuan Penulisan 1.2.1. Tujuan Umum Dapat menerapkan asuhan keperawatan anak yang aman dan efektif pada bayi baru lahir yang beresiko tinggi (High Risk Newborn). 1.2.2. Tujuan Khusus a. Mengetahui kebutuhan dan masalah keperawatan bayi baru lahir yang beresiko tinggi. b. Mengetahui diagnosa keperawatan pada bayi baru lahir yang beresiko tinggi. c. Mengetahui cara menyusun rencana keperawatan pada bayi baru lahir yang beresiko tinggi.



BAB II PEMBAHASAN



2.1. Definisi Adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 4896 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik sesuai dengan besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA (Stark 1986). Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak nafas berat (dyspnea ), frekuensi nafas meningkat (tachypnea ), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru,adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi. Sindrom gawat napas (RDS) (juga dikenal sebagai idiopathic respiratory distress syndrome) adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan histologis yang terjadi terutama akibat ketidakmaturan paru dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit mengembang dan tidak menyisakan udara diantara usaha napas. Istilah-istilah Hyaline Membrane Disease (HMD) sering kali digunakan saling bertukar dengan RDS (Bobak, 2005). Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmaturan dari sel tipe II dan ketidakmampuan sel tersebut untuk menghasilkan surfaktan yang memadai. (Dot Stables, 2005).



2.2. Etiologi RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria.. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat. RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom ini dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom ini. Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH),



2.3. Patofisiologi Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna kerana dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya



atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).



2.4. Pencegahan RDS Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk mencegah komplikasi pada bayi resiko tinggi adalah mencegah terjadinya kelahiran prematur, mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis, melaksanakan manajemen yang tepat terhadap kehamilan dan kelahiran bayi resiko tinggi. Tindakan yang efektif utntuk mencegah RDS adalah: 



Mencegah kelahiran < bulan (premature).







Mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis.







Management yang tepat.







Pengendalian kadar gula darah ibu hamil yang memiliki riwayat DM.







Optimalisasi kesehatan ibu hamil.







Kortikosteroid pada kehamilan kurang bulan yang mengancam.







Obat-obat tocolysis (β-agonist : terbutalin, salbutamol) relaksasi uterus Contoh : Salbutamol (ex: Ventolin Obstetric injection) 5mg/5 ml (utk asma: 5 mg/ml) Untuk relaksasi uterus : 5 mg salbutamol



dilarutkan dalam infus 500 ml dekstrose/NaCl diberikan i.v (infus) dgn kecepatan 10 – 50 μg/menit dgn monitoring cardial effect. Jika detak jantung ibu > 140/menit kecepatan diturunkan atau obat dihentikan 



Steroid (betametason 12 mg sehari untuk 2x pemberian, deksametason 5 mg setiap 12 jam untuk 4 x pemberian)







Cek kematangan paru (lewat cairan amniotic pengukuran rasio lesitin/spingomielin : > 2 dinyatakan mature lung function)



2.5. Manifestasi Klinis Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditujukan. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerosakan sel dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul yaitu : adanya sesak nafas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/minit), pernafasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :pertama, terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara, kedua, bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru. ketiga,alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas. keempat, seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat dilihat. Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe :



0



1



2



Frekuensi



< 60x/menit



60-80 x/menit



>80x/menit



Retraksi



Tidak ada retraksi



Retraksi ringan



Retraksi berat



Sianosis



Tidak sianosis



Sianosis hilang dengan O2



Sianosis



Nafas



menetap



walaupun diberi O2 Air Entry



Udara masuk



Penurunan ringan udara masuk



Merintih



Tidak merintih



Dapat didengar dengan stetoskop



Dapat didengar tanpa alat bantu



Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe Skor < 4



gangguan pernafasan ringan



Skor 4 – 6



gangguan pernafasan sedang



Skor > 7



Ancaman gagal nafas (pemeriksaan gas darah harus dilakukan)



2.6 Peran Bidan Terhadap RDS Setiap bayi dengan gangguan pernafasan memerlukan penangan secara umum berupa : 1. Pemberian oksigen dengan aliran sedang. 2. Bila frekuensi pernafasan kurang dari 30 kali per menit, harus diobservasi ketat. Bila kurang dari 20 kali per menit setiap saat resusitasi bayi dengan menggunakan balon sungkup (Alat Balon-Sungkup Alat kantong-sungkup terdiri atas sebuah kantong yang terhubungkan dengan sebuah sungkup). 3. Bila apnu :  Stimulasi bayi untuk bernafas dengan menggosok-gosok punggung bayi selama 10 detik.



 Bila belum mulai bernafas resusitasi bayi dengan menggunakan balon dan sungkup. 4. Indikasi penggunaan balon dan sungkup adalah apnu atau megap-megap, frekuensi jantung kurang dari 100 kali per menit dan sianosis sentral persisten walaupun diberi aliran oksigen bebas 100%. Periksa kadar glukosa darah bila kurang dari 45 g/dl, segera terapi sebagai hipoglikemi. 5. Bila didapatkan tanda-tanda lainya misalnya: kesulitan minum, BBLR, tada-tanda kejang, sepsis dan lainlain, usahakan menentukan penyebab gangguan nafas ini sambil meneruskan pemberian oksigennya.



2.7 Klasifikasi Gangguan Nafas Frekuensi nafas (Pernafasan/menit)



Merintih saat ekspirasi



Klasifikasi



Retraksi dinding dada



60-90



-



Ringan



60-90



+



Sedang



>90



-



Sedang



>90



+



Berat



Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai dengan kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Menajemen spesifik atau menajemen lanjut: a. Gangguan nafas ringan Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan pada waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut “Transient Tacypnea of the Newborn” (TTN). Terutama terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan merupakan tanda awal dari infeksi sistemik. b. Gangguan nafas sedang Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih sesak dapat diberikan o2 4-5 liter/menit dengan sungkup. Bayi jangan diberi minum.



Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk terapi kemungkinan besar sepsis. o Suhu aksiler 39˚C o Air ketuban bercampur mekonium o Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah dini (> 18 jam) Bila suhu aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C. tangani untuk masalah suhu abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam: Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada perbaikan, berikan antibiotika untuk terapi kemungkinan besar seposis. Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali abnormal ulangi tahapan tersebut diatas. Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis. Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangai terapi o2secara bertahap . Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2 jam. Jika tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan memakai salah satu cara pemberian minum Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minumbaik dan tak ada alasan bayi tatap tinggal di Rumah Sakit bayi dapat dipulangkan. c. Gangguan nafas berat Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya. Bila dalam pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya. Terapi untuk kemungkinan kesar sepsis dan tangani gangguan nafas sedang dan dan segera dirujuk di rumah sakit rujukan. Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minuman. Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30-60 kali/menit. Penatalaksanaan medis: Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:







Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder







Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan caiaran paru







Fenobarbital







Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen







Metilksantin ( teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik. (cusson,1992) Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam pengobatan RDS adalah pemberian surfaktan eksogen ( derifat dari sumber alami misalnya manusia, didapat dari cairan amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan ).



2.8 Penunjang / Diagnostik 1.



Seri rontqen dada, untuk melihat densitas atelektasis dan elevasi diaphragma dengan overdistensi duktus alveolar.



2. Bronchogram udara, untuk menentukan ventilasi jalan nafas. 3. Data laboratorium 4. Profil paru, 



untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion (untuk janin yang mempunyai predisposisi RDS) Lecitin/Sphingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan maturitas paru Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 mingguTingkat phosphatydylinosito







Analisa Gas Darah, PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2 kurang dari 60 mmHg, saturasi oksigen 92% – 94%, pH 7,31 – 7,45







Level pottasium, meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel alveolar yang rusak.



2.9 Penatalaksanaan Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi : 1. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat. 2. Mempertahankan keseimbangan asam basa. 3. Mempertahankan suhu lingkungan netral. 4. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat. 5. Mencegah hipotermia. 6. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat. Penatalaksanaan secara umum : a.



Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %



 Pantau selalu tanda vital  Jaga kepatenan jalan nafas  Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal) b. Jika bayi mengalami apneu  Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan  Lakukan penilaian lanjut c. Bila terjadi kejang potong kejang d. Segera periksa kadar gula darah e. Pemberian nutrisi adekuat



2.10 Komplikasi Penyakit 2.10.1 Komplikasi jangka pendek dapat terjadi : 1.



kebocoran alveoli : Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.



2. Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi. 3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan intraventrikuler terjadi pada 2040% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik. 2.10.2 Komplikasi jangka panjang Dapat disebabkan oleh keracunan oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru, memberatkan penyakit dan kekurangan oksigen yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi : 1.



Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.



2.



Retinopathy prematur Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.



BAB III PENUTUP



3.1 Kesimpulan  Sindrom distres pernafasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai Hyaline Membrane Disesae (Suryadi dan Yuliani, 2001).  Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria  Adapun Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang.  Adapun cara pencegahan RDS yang efektif yaitu : Mencegah kelahiran < bulan (premature), Mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis, Management yang tepat, Pengendalian kadar gula darah ibu hamil yang memiliki riwayat DM, Optimalisasi kesehatan ibu hamil dan cek kematangan paru melalui cairan amnion.  Gejala klinikal yang timbul dari penyakit RDS yaitu : adanya sesak nafas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/minit), pernafasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir.  Adapun beberapa klasifikasi dari penyekit RDS ada 3 yaitu : gangguan pernafasan ringan, gangguan pernafasan sedang dan gangguan pernafasan berat.



 Beberapa tindakan untuk mengatasi kegawat daruratan pernafasan yaitu : Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat, Mempertahankan keseimbangan asam basa, Mempertahankan suhu lingkungan netral, Mempertahankan perfusi jaringan adekuat, Mencegah hipotermia, Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.



3.2 Saran  Kepada ibu hamil dianjurkan agar selalu menjaga kehamilannya dan memeriksakan kehamilannya secara rutin kepada tenaga kesehatan agar dapat mengurangi penyakit kelainan bawaan pada neonates dan apabila terdapat kelainan dapat di deteksi secara dini.  Hindari terjadinya kelahiran bayi premature karena bayi premature memungkinkan terjadinya penyakit RDS terhadap bayi  Dan apabila pada ibu hamil dengan riwayat penyakit diabetes militus maka sebaiknya ibu menjaga pola makannya terutama diet terhadap glukosa agar resiko terjadinya RDS pada bayinya menurun.



DAFTAR PUSTAKA







Bobak, Lowdermik. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta : EGC







Leifer, Gloria. 2007. Introduction to maternity & pediatric nursing. Saunders Elsevier : St. Louis Missouri







Prwawirohardjo, Sarwano. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka







Mansjoer. (2002). Kapita selekta kedokteran. Edisi III. Jakarta: FKUI.: EGC.







Wong. Donna L. (2004). Pedoman klinis keperawatan pediatrik. Jakarta: EGC.







http://www.scribd.com/doc/50783794/AKB-INDONESIA







Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 2009



Geplaas deur nur azizah om 23:58 E-pos hierdieBlogDit!Deel op TwitterDeel op FacebookDeel op Pinterest Geen opmerkings nie: Plaas 'n opmerking



Tuis Teken in op: Plaas opmerkings (Atom)



Blogargief 



▼ 2013 (1) o ▼ March (1)







Meer oor my



nur azizah



Bekyk my hele profiel



RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS)