SAP Pemberian ARV [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) KONSELING PEMBERIAN ARV DI KOMUNITAS KELUARGA PENDERITA HIV Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan HIV/AIDS Dosen Pengampu : Ns. Ani Widiastuti, SKep, SKM, M.Kep, Sp.Kep. MB Disusun oleh :



Febby Fereza



1710711135



Anggi Dwi Prasetyo



1710711136



UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA FAKULTAS ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN 2019



SATUAN ACARA PENYULUHAN Pokok Bahasan



: Pengobatan ARV



Sub Pokok Bahasan



: Pedoman Pengobatan ARV Pada Penderita HIV/AIDS



1. Klasifikasi Stadium HIV 2. Persiapan Dalam Pengobatan ARV 3. Indikasi Pengobatan ARV Sasaran



: Penderita HIV/AIDS positif dan keluarga



Waktu



: 30 menit



Tempat



: Rumah Keluarga Penderita HIV/AIDS



Hari/Tanggal Pelaksana



: Kamis, 16 Mei 2019



Jam Pelaksanaan



: 09.00 WIB – 09.30 WIB



Penyaji



: Mahasiswa S1 Keperawatan Semester 4 Kelompok 3 Kelas B



A. Pendahuluan Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi selsel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tahap yang lebih lanjut dari infeksi HIV adalah acquired immunodefiency syndrome (AIDS). Hal ini dapat memekan waktu 10-15 tahun untuk orang yang terinfeksi HIV hingga berkembang menjadi AIDS, obat antiretroviral dapat memperlambat proses lebih jauh. Pengobatan Antiretroviral telah digunakan sejak tahun 1996 untuk mengobati orang dengan HIV dan AIDS di seluruh dunia. Meskipun belum mampu menyembuhkan HIV secara menyeluruh, namun pengobatan ARV dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas penderita HIV/AIDS, dan meningkatkan harapan masyarakat. Pengobatan ARV bertujuan untuk menghambat replikasi virus HIV yang ada pada penderita dan sistem kekebalan tubuh penderita akan meningkat. Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS pada kelompok orang yang beresiko tinggi dalam penularan HIV seperti para Pekerja Seks dan pengguna NAPZA suntikan. Sebesar 0,4% wilayah Indonesia masuk kedalam kategori daerah dengan tingkat epidemi HIV terkonsentrasi. Tahun 2012, terdapat 591.823 orang dengan HIV positif di Indonesia dan tersebar di seluruh provinsi. Dari laporan bulanan perawatan HIV dan AIDS di Indonesia sampai dengan November 2014 tercatat 49.217 penderita HIV/AIDS yang mendapatkan terapi ARV. Hal ini akan semakin meningkat setiap tahunnya, mengingat era globalisasi sedang berlangsung. Oleh karena itu, peran perawat diperlukan dalam memberikan penyuluhan kepada penderita HIV/AIDS dan keluarganya agar dapat mengatasi permasalahan



penyakit HIV/AIDS. Salah satunya dengan pemberian materi tentang pengobatan ARV yang harus diberikan pada penderita HIV/AIDS positif. B. Tujuan  Tujuan Instruksional Umum (TIU) Setelah mendapat penyuluhan ini, diharapkan pasien dan keluarganya dapat memahami pengobatan ARV pada penderita HIV/AIDS positif.  Tujuan Instruksional Khusus (TIK) Setelah dilakukan penyuluhan tentang pengobatan ARV pada pada penderita HIV/AIDS positif dan keluarga selama 1x30menit, diharapkan dapat: a. Menyebutkan dan menjelaskan klasifikasi stadium HIV/AIDS b. Menjelaskan persiapan apa saja yang dapat dilakukan dalam pengobatan ARV c. Menjelaskan indikasi yang perlu diperhatikan dalam pengobatan ARV C. Sasaran Penderita HIV/AIDS positif beserta dengan keluarga D. Target Penderita HIV/AIDS positif dan keluarga dapat memahami pengobatan ARV yang baik dan benar. E. Materi  Klasifikasi Stadium Klinis HIV  Persiapan Pengobatan ARV  Indikasi Pengobatan ARV  Monitor Setelah Pengobatan ARV Dimulai  Paduan Pengobatan ARV lini kesatu  Paduan Pengobatan ARV lini kedua  Paduan Pengobatan ARV lini ketiga F. Kegiatan 1. Metode : Ceramah, Tanya Jawab 2. Media : Leaflet, Power Point 3. Waktu dan Tempat Hari/Tanggal : Kamis, 16 Mei 2019 Jam : 09.00 WIB – 09.30 WIB Tempat : Kelas Tutor F 307 4. Setting Tempat A : Pasien B : Keluarga Pasien 5. Langkah Kegiatan



Penyuluh (Kelompok 3 Kelas B) B



Waktu Kegiatan penyuluhan 5 menit Pembukaan : 1. Mengucapkan salam 2. Memperkenalkan diri 3. Menjelaskan maksud dan tujuan



A



1. 2. 3. 4.



Respon Menjawab salam Mengenal perawat Memperhatikan Peserta menyetujui



4. Kontrak waktu dengan pasien dan keluarga Pelaksanaan : 1. Menjelaskan Klasifikasi Stadium Klinis HIV 2. Menjelaskan Persiapan Pengobatan ARV 3. Menjelaskan Indikasi Pengobatan ARV 4. Menjelaskan Monitor Setelah Pengobatan ARV Dimulai 5. Menjelaskan Paduan Pengobatan ARV lini kesatu 6. Menjelaskan Paduan Pengobatan ARV lini kedua 7. Menjelaskan Paduan Pengobatan ARV lini ketiga Penutup : 1. Memberi kesempatan untuk bertanya 2. Menjawab pertanyaan yang diajukan 3. Menanyakan kembali kepada klien tentang apa yang telah dijelaskan 4. Memberikan reinforcement positif atas jawaban peserta 5. Menyimpulkan dan menutup diskusi 6. Mengucapkan salam



15 menit



10 menit



1. 2. 3. 4. 5.



kontrak waktu Mendengarkan Mendengarkan Mendengarkan Mendengarkan Mendengarkan



1. 2. 3. 4. 5. 6.



Memperhatikan Memperhatikan Menjawab Memperhatikan Memperhatikan Menjawabsalam



G. Evaluasi 1. Evaluasi Struktur a. Pasien dan keluarga bersedia untuk dilakukan penyuluhan b. Tempat, media serta alat penyuluhan tersedia sesuai rencana 2. Evaluasi Proses a. Peran dan tugas mahasiswa sesuai dengan perencanaan. b. Peserta yang hadir mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir . c. Peserta yang hadir berperan aktif selama kegiatan berlangsung . 3. Evaluasi Hasil d. Perwakilan peserta mampu menyebutkan dan menjelaskan klasifikasi stadium HIV/AIDS e. Perwakilan peserta mampu menjelaskan persiapan apa saja yang dapat dilakukan dalam pengobatan ARV f. Perwakilan peserta mampu menjelaskan indikasi yang perlu diperhatikan dalam pengobatan ARV Lampiran



 KLASIFIKASI STADIUM HIV Tanda Dan Gejala Hiv Setelah Diagnosis (Stadium 1-4)







Stadium 1 Pasien tanpa gejala, atau terdapat pembengkakan kelenjar limfe yang berulang atau menetap selama beberapa tahun.







Stadium 2



Pada masa awal infeksi HIV, penderita dapat mengalami berbagai gejala penyakit yang seringkali tidak secara langsung dicurigai sebagai gejala HIV. Gejala ini diantaranya penurunan berat badan 10%, sariawan yang menjadi infeksi jamur di rongga mulut dan infeksi saluran atas menjadi infeksi tuberkulosis di paru atau di kelenjar limfe. Gejala lain yang bertambah diantaranya diare dan demam >1 bulan tanpa sebab yang jelas, serta gangguan sistemik seperti anemia. Stadium 3 merupakan stadium klinis HIV tingkat sedang, sebelum masuk ke kategori AIDS.







Stadium 4 Pada stadium ini, seorang penderita infeksi HIV sudah masuk ke kategori AIDS atau di Indonesia disebut dengan Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Gejala pada stadium 4 ini menjadi lebih kompleks dan berupa sindrom atau kumpulan penyakit.



Hal ini disebabkan sistem imun penderita yang sangat rendah, sehingga mudah terserang berbagai infeksi dan menimbulkan gejala yang parah. Penyakit yang muncul pada stadium ini diantaranya pneumonia bakterial berulang dalam 6 bulan, infeksi jamur di saluran napas bawah, infeksi herpes hingga > 1 bulan, kanker serviks, infeksi selaput otak, tuberkulosis di luar paru, dan masih banyak lagi. 



PERSIAPAN DALAM PENGOBATAN ARV Persiapan Pemberian ARV



1. APA ITU ARV ? ARV atau antiretroviral adalah obat anti HIV yang dapat menekan perkembangan HIV dalam tubuh. Beberapa ARV yang biasa digunakan di Indonesia antara lain Durival dan Neviral. Terapi ARV adalah pengobatan pada ODHA dengan memakai ARV, tidak semua ODHA memerlukan ARV segera karena ODHA yang diberikan pengobatan ARV adalah ODHA dengan stadium tertentu. Pemakaian ARV harus sesuai petunjuk dokter. ARV berfungsi untuk menekan perkembangbiakan HIV bukan membunuh HIV. Maka dari itu, terapi ARV harus dijalani seumur hidup. Bila pemakaiannya dihentikan, HIV akan berkembang dan jumlahnya akan meningkat dalam darah. Penghentian konsumsi ARV pada ODHA beresiko terjadinya resistensi virus pada obat tersebut. Pada terapi ARV pun perlu dilakukannya follow up pada saat pasien datang, pemeriksaan fisik juga dilakukan tiap bulan dan pemeriksaan lab tiap 3 bulan.



2. MANFAAT TERAPI ARV ARV dapat menghambat perkembangan HIV sehingga jumlah HIV di dalam tubuh akan menurun dengan cepat dan pada umumnya tidak terdeteksi lagi di dalam darah setelah pemakaian 6 bulan. Namun, terapi ARV harus dijalani seumuer hidup, bila dihentikan maka perkembangbiakan HIV akan makin meningkat. Jika jumlah virus menurun maka kekebalan tubuh (CD4) akan meningkat. Terapi ARV dapat meningkatkan kualitas hidup ODHA dan memperpanjang masa hidup ODHA. Manfaat ARV antara lain : 



Memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh







Meningkatkan jumlah CD4 dalam tubuh







Membuat tubuh menjadi mampu melawan infeksi







Mengurangi terjadinya infeksi oportunistik







Menghentikan progesifitas atau perjalanan HIV







Menurunkan morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) infeksi HIV







Mencegah atau mengurangi resiko penularan vertikal dari ibu ke bayi







Mencegah atau mengurangi resiko penularan horisontal (dari orang ke orang lainnya)



3. TERAPI ARV TIDAK MENYEMBUHKAN HIV ! Hal ini perlu diingat bagi seluruh pihak terutama ODHA bahwa konsumsi ARV hanya berfungsi untuk menekan perkembangan HIV dalam tubuh pengidapnya dan pada beberapa kasus pengobatan ARV dapat menyebabkan virus dalam tubuh ODHA tidak terdeteksi lagi. Penghentian pengobatan ARV tidak boleh dilakukan. Penghentian pengobatan di tengah jalan dapat menyebabkan virus semakin ganas dan berkembang lebih cepat dan yang lebih berbahaya lagi, putus obat ARV dapat menyebabkan virus kebal terhadap obat dan ARV tidak akan bisa berfungsi lagi untuk menekan perkembangan virus dalam tubuh. Itu sebabnya terapi ARV ini harus dijalani seumur hidup dan kepatuhan minum obat adalah mutlak. Keberhasilan menjalani terapi ARV sangat tergantung dari kepatuhan ODHA dalam mengkonsumsi ARV serta dukungan dari lingkungan sekitarnya. 4. LANGKAH-LANGKAH TERAPI ARV a. Pra terapi ARV ODHA yang mengikuti terapi ARV harus diberikan konseling terlebih dahulu. Konseling bertujuan untuk pemberian pemahaman mengenai ARV dan proses terapinya mulai dari pengertian, manfaat, persyaratan, proses terapi dan resikonya. Yang terpenting dalam memulai pengobatan ARV adalah kesiapan dan komitmen dari ODHA.



b. Tes CD4 Tes untuk melihat jumlah CD4 di dalam darah. Jumalh CD4 merupakan salah satu petunjuk penting untuk menentukan kapan harus mulai terapi ARV. Terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum jumlah CD4 turun dibawah 200/mm3. c. SGOT/SGPT Merupakan tes fungsi hati. Tes ini sangat penting dilakukan oleh seorang yang akan mulai terapi karena ARV merupakan obat yang cukup keras dan kemungkinan akan mengganggu fungsi hati. Jadi dengan mengetahui fungsi hati seseorang yang akan terapi, setidaknya dokter akan dapat memberikan pertimbangan pemberian ARV d. DL Merupakan tes darah lengkap untuk mengetahui jumlah hemoglobin karena ada obat ARV yang apabila dipakai akan mengakibatkan efek samping terganggunya pembentukan sel darah merah pemakainya dimana kecenderungan Hb akan menrun dan bisa mengakibatkan anemia. Bila Hb menunjukkan angka dibawah normal (dibawah 12g/dl) biasanya tidak akan diberikan ARV. f. Rongent Merupakan tes menggunakan sinar X dalam terapi ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada kelainan pada paru-paru seseorang. Misal jika dalam paru-paru ditemukan TB (tuberkulosis), ODHA akan diberikan obat TB terlebih dahulu selama 2 bulan . g. Mulai terapi ARV Jika semua tahap sudah dilakukan, keputusan untuk menjalani terapi ARV tetap berada di tangan ODHA. Apabila ODHA belum siap menjalani terapi ARV, konselor atau dokter akan memberikan informasi lanjutan dalam rangka memotivasi ODHA. Konselor juga memberikan informasi mengenai perilaku sehat dan mengikuti perkembangan pasien. Apabila dalam proses selanjutnya ODHA kemudian menyatakan siap mengikuti pengobatan maka prosesnya dimulai lagi dari awal. ODHA yang sudah siap menjalani terapi ARV diminta menunjuk PMO (Pengawas Menelan Obat) yakni seseorang yang setiap saat mengingatkan dan memastikan ODHA untuk minum dan menelan obatnya. PMO bisa ditunjuk dari lingkungan keluarga terdekat atau orang yang dipercaya oleh ODHA. PMO juga bertugas membantu ODHA bila terjadi efek samping dari obat. 5. EFEK SAMPING Efek samping ringan yaitu sakit kepala, diare, perut kembung, lipodistropi (kehilangan lemak) pada kaki, lengan dan wajah, masalah kulit seperti ruam, kelelahan. Untuk efek samping berat yaitu terjadinya kerusakan hati, serangan jantung dan otak, kerusakan ginjal, kerusakan saraf dll. Namun kadang kala penyakit HIV sendiri mungkin lebih mempengaruhi dibandingkan efek samping obat yang tepat. Tips Untuk Odha Yang Menjalani Terapi Arv



a. Kepatuhan itu mutlak Disiplin pribadi yang tinggi dalam mengkonsumsi ARV, pola hidup sehat, Dalam terapi ARV ada 5 jenis kepatuhan yaitu : 



Patuh dengan jenis obat yang tepat yang sudah ditentukan pihak medis







Patuh akan cara minum obat yang tepat







Patuh dengan waktu minum obat yang tepat







Patuh dengan dosis yang tepat







Patuh dengan masa terapi yang tepat : terapi ARV seumur hidup, tidak mengenal jeda.



b. Tidak akan berarti tanpa dukungan Dukungan pada ODHA sangat penting, dalam hal ini dapat dibagi menjadi dukungan medis dan non medis 



Dukungan medis adalah dukungan untuk pemeriksaan lab, perolehan obat, penanganan efek samping dan pemantauan klinis.







Dukungan non-medis seperti konseling, PMO, dukungan keluarga, dukungan dalam pemecahan masalah, dukungan kesiapan terapi ARV, dukungan kepatuhan berobat dan efek sampingnya.



 Indikasi Pengobatan ARV Inisiasi ART secara dini terbukti bermanfaat secara klinis, berguna untuk pencegahan, meningkatkan harapan hidup dan menurunkan insiden infeksi terkait HIV dalam populasi. Rekomendasi inisiasi ART pada dewasa dan anak dapat dilihat dalam tabel 6.



a. Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan dalam 28 minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB. Pada ODHA dengan CD4 kurang dari 50 sel/mm3, ARV harus dimulai dalam 2 minggu setelah mulai pengobatan TB. Untuk ODHA dengan meningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu pengobatan kriptokokus. b. Dengan memperhatikan kepatuhan c. Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara presumtif, maka harus segera mendapat terapi ARV. Bila dapat segera dilakukan diagnosis konfirmasi (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang), maka perlu dilakukan penilaian ulang apakah anak pasti terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya negatif, maka pemberian ARV dihentikan.  Paduan ART Lini Pertama Pilihan paduan ART lini pertama berikut ini berlaku untuk ODHA yang belum pernah mendapatkan ARV sebelumnya (naive ARV). 1. Paduan ART lini pertama pada anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa ART lini pertama untuk anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa, termasuk ibu hamil dan menyusui, ODHA koinfeksi hepatitis B, dan ODHA dengan TB



ARV lini pertama untuk dewasa Paduan pilihan TDFa + 3TC (atau FTC) + EFV dalam bentuk KDTc Paduan alternatif AZTb + 3TC + EFV (atau NVP) TDFa + 3TC (atau FTC) + NVP



a. Jangan memulai TDF jika creatine clearance test (CCT) hitung < 50 ml/menit, atau pada kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal b. Jangan memulai dengan AZT jika Hb < 10 g/dL sebelum terapi c. Kombinasi 3 dosis tetap (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV



2. Paduan ART lini pertama pada anak usia kurang dari 5 tahun Paduan ART lini pertama pada anak sama seperti orang dewasa, yaitu menggunakan kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI dengan pilihan:



a. Zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama. Namun bila Hb anak < 7,5 g/dl maka dipertimbangkan pemberian Stavudin(d4T). b. Dengan adanya risiko efek samping pada penggunaan d4T jangka panjang, maka dipertimbangkan mengubah d4T ke AZT (bila Hb anak > 10 gr/dl) setelah pemakaian 6 – 12 bulan. Bila terdapat efek anemia berulang maka dapat kembali ke d4T. c. Tenofovir saat ini dapat digunakan pada anak usia di atas 2 tahun. Selain itu perlu dipertimbangkan efek samping osteoporosis pada tulang anak yang sedang bertumbuh karena penggunaan ARV diharapkan tidak mengganggu pertumbuhan tinggi badan. d. EFV dapat digunakan pada anak ≥ 3 tahun atau BB ≥ 10 kg, jangan diberikan pada anak dengan gangguan psikiatrik berat. EFV adalah pilihan pada anak dengan TB. Jika berat badan anak memungkinkan, sebaiknya gunakan KDT. 3. Paduan ART lini pertama pada anak 5 tahun CD4 Tanpa adanya infeksi lain yang



imunologis



turun ke nilai awal atau lebih menyebabkan



penurunan



rendah lagi Atau CD4 persisten jumlah CD4 Kriteria klinis dan dibawah 100 sel/mm3 setelah satu imunologis



memiliki



tahun pengobatan atau CD4 turun sensitivitas >50% dari jumlah CD4 tertinggi Anak usia di bawah 5 tahun CD4 persisten di bawah 200 sel/mm3 atau < 10%



rendah



mengidentifikasi



untuk gagal



virologis, terlebih pada kasus yang



memulai



ARV



dan



mengalami gagal terapi pada jumlah



CD4



yang



tinggi.



Namun saat ini belum ada alternatif



yang



valid



untuk



mendefinisikan



gagal



Gagal



imunologis selain kriteria ini. Pada ODHA dengan kepatuhan Batasan untuk mendefinisikan



Virologis



yang baik, viral load di atas 1000 kegagalan kopi/mL



berdasarkan



2x penggantian



virologis



dan



paduan



ARV



pemeriksaan HIV RNA dengan belum dapat ditentukan jarak 3-6 bulan



Alur pemeriksaan HIV RNA untuk evaluasi terapi ARV



Pasien suspek gagal klinis atau imunologis



Pemeriksaan rutin HIV RNA saat kontrol



Tes HIV RNA



Viral Load >1000 kopi/mL



Evaluasi kepatuhan



Ulangi HIV RNA setelah 3-6 bulan



Viral Load ≤ 1000 kopi/mL



Teruskan terapi sebelumnya



Viral Load > 1000 kopi/mL



Switch ke terapi lini



 Paduan ARV Lini Kedua Penggunaan ARV lini kedua terjadi karena ada kegagalan terapi atau resistensi pada pengobatan paduan ARV lini pertama. Jika kegagalan terapi terjadi dengan paduan NNRTI atau 3TC, hampir pasti terjadi resistansi terhadap seluruh jenis kelas obat NNRTI dan 3TC. Penggunaan ARV menggunakan kombinasi 2 kelas NRTI + kelas boosted PI untuk dewasa, remaja, dan juga anak dengan jenis obat NNRTI yang digunakan sebagai pengobatan lini pertama pasien. Pemilihan pengobatan ARV lini kedua dilakukan dengan memilih kelas obat ARV sebanyak mungkin dan bila kelas obat yang sama akan dipilih, maka yang dipilih adalah obat yang sama sekali belum dipakai sebelumnya. Anak yang mengonsumsi kelas obat PI untuk pengobatan lini pertamanya, akan diubah pengobatnnya ke kelas obat NNRTI atau tetap dengan kelas obat PI namun harus disesuaikan dengan umur yang direkomendasikan.



Antibiotik TB, seperti Rifampisin tidah boleh digunakan bersamaan dengan pemakaian obat LPV/r. Namun pada pasien dengan infeksi meningitis TB perlu tetap menggunakan antibiotik TB (Rifampisin) dengan dosis ganda LPV/r yaitu 800 mg 2x sehari.



Adapun efek samping yang dapat terjadi pada pengonsumsian paduan ARV lini kedua, antara lain : Jenis ARV LPV/r



Tipe Toksisitas EKG abnormal (aktivitas kelistrikan jantung abnormal)



 



Faktor Resiko Gangguan kerja jantung pada saat kontraksi Penggunaan ARV bersama obat untuk kelistrikan jantung



Penanganan  Perubahan pengobatan menjadi kelas obat DRV/r  Jika terdapat



Hepatotoksitas (penumpukan zat berbahaya dalam hati) Pankreatitis (radang pankreas) TDF



Disfungsi Tubulus Seminalis (gangguan sistem perkemihan)



Menurunnya volume mineral tulang Hepatomegali dengan steatosis



Keparahan penyakit hepatitis B (hepatic flares)







Sudah ada penyakit hati sebelumnya  Infeksi HBV dan HCV  Penggunaan ARV bersama obat hepatotoksik lainnya Stadium HIV lebih lanjut







Sudah ada penyakit ginjal sebelumnya  Usia lanjut  BB < 50 kg  DM tak terkontrol  Hipertensi tak terkontrol  Penggunaan bersama obat nefrotoksik lain atau PI  Riwayat osteomalasia dan fraktur  Faktor risiko osteoporosis atau boneloss lainnya  Penggunaan obat nukleosida analog yang lama  Obesitas Jika TDF dihentikan karena toksisitas lainnya pada penderita hepatitis B



ABC



Reaksi hipersensitivitas yang dapat mengancam jiwa



AZT



Anemia atau neutropenia berata, miopati, lipoatrofi atau lipodistrofi







Hepatomegali dengan steatosis



 



Neuropati perifer, lipoatrofi atau lipodistrofi



 



d4T



Terdapat gen HLA-B







Riwayat anemia atau neutropenia sebelum mulai pengobatan Jumlah CD4 ≤ 200 sel/mm3 (dewasa) BB > 75 kg (dewasa) Penggunaan obat nukleosida analog yang lama Usia lanjut (lansia) Jumlah CD4 ≤ 200 sel/mm3 (dewasa)



kontraindikasi PI dan pasien gagal terapi pengobatan NNRTI lini pertama, pertimbagkan pilihan pemakaian kelas obat integrase inhibitor. Perubahan obat menjadi ABC atau ddl



Gunakan alternatif obat hepatitis lainnya seperti entecavir  Subtitusi dengan pengobatan TDF  Jika lebih dari 6 minggu terjadi hipersensitivitas, segera hentikan pengobatan Perubahan obat menjadi d4T



Perubahan obat menjadi AZT



 Hepatomegali dengan steatosis



 



Penggunaan bersama obat INH atau dDI BB > 75 kg (dewasa) Penggunaan obat nukleosida analog yang lama



 ART lini ketiga Jika terjadi kegagalan lini kedua perlu dilakukan lini penyelamatan yang efektif. Kriteria untuk penentuan kegagalan terapi lini kedua harus menggunakan kriteria virologis (pemeriksaan HIV RNA). Penentuan kegagalan terapi lini kedua harus dilakukan saat ODHA menggunakan ART lini kedua minimal 6 bulan dalam keadaan kepatuhan yang baik. Tes resistansi genotyping diwajibkan sebelum pindah ke lini ketiga. Rekomendasi panduan ARV lini ketiga Dewasa



ETR+RAL+DRV/r



Anak



ETR+RAL+DRV/r



Efek sampingn ART lini ketiga Etravirin (ETR) : mual, ruam, reaksi hipersensitivitas, termasuk sindrom StevensJohnson, kadang disertai disfungsi organ seperti gagal hati Raltegravir (RAL) : Ruam, reaksi hipersensitivitas, termasuk sindrom Stevens-Johnson dan toxic epidermal necrolysis, Mual, diare, nyeri kepala, insomnia, demam Kelemahan otot dan rabdomiolisis Darunavir/Ritonavir (DRV/r) : Ruam, reaksi hipersensitivitas, termasuk sindrom StevensJohnson dan eritema multiformis Hepatotoksisitas Diare, mual, nyeri kepala Perdarahan pada hemofilia Hiperlipidemia, peningkatan transaminase, hiperglikemia, maldistribusi lemak -



Pencegahan penularan HIV melalui terapi ARV



1. Pencegahan penularan HIV pada pasangan serodiskordan (pasangan seksual non-HIV) Terapi ARV adalah pencegahan penularan HIV paling efektif saat ini. Terapi ARV juga bertujuan untuk mengurangi risiko penularan pada pasangannya. Sangat penting untuk disadari bahwa penurunan jumlah virus akibat ARV harus disertai dengan penurunan perilaku berisiko, penggunaan ARV secara konsisten dan tepat, penggunaan kondom yang konsisten, perilaku seks dan NAPZA yang aman, pengobatan IMS yang konsisten dengan paduan yang tepat mutlak diperlukan untuk pencegahan penularan HIV.



2. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) Dengan upaya yang tepat, risiko penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%. Bahkan, kurang dari 1% jika viral load ibu sudah tidak terdeteksi dalam terapi antiretroviral sebelum kehamilan. Upaya PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan HIV secara komprehensif . Layanan PPIA dilaksanakan melalui layanan kesehatan reproduksi, khususnya layanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) Setelah diketahui status HIV positif pada ibu hamil, upaya pencegahan selanjutnya bertujuan agar bayi yang dilahirkan terbebas dari HIV, serta ibu dan bayi tetap hidup dan sehat. Upaya ini terdiri dari 1. Pemberian ARV pada ibu hamil; 2. Persalinan yang aman; 3. Pemberian ARV pencegahan pada bayi; 4. Pemberian nutrisi yang aman pada bayi. Pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV Semua ibu hamil dengan HIV harus diberi terapi ARV, tanpa memandang jumlah CD4 (system kekebalan tubuh), karena kehamilan itu sendiri merupakan awal dari pemberian ARV yang nantinya akan dilanjutkan seumur hidup. Paduan ART pada ibu hamil sama dengan paduan ART pada orang dewasa lainnya. Pemberian ARV dapat segera dimulai setelah ibu didiagnosis HIV berapapun usia kehamilan. Ibu yang sudah mendapat ARV sebelum kehamilan, ARV dapat diteruskan tanpa perlu diganti. ARV tetap diteruskan setelah melahirkan hingga seterusnya. Persalinan yang aman Persalinan seksio sesarea berisiko lebih kecil untuk penularan terhadap bayi. Persalinan normal dapat dipilih jika ibu sudah mendapat pengobatan ARV dengan teratur selama setidaknya enam bulan dan atau viral load kurang dari 1.000 kopi/mm3 pada minggu ke-36. Pemberian ARV pencegahan pada bayi Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik yang diberi ASI eksklusif maupun susu formula, diberi Zidovudin dalam 12 jam pertama selama enam minggu. Pilihan yang diambil untuk nutrisi haruslah antara ASI saja atau susu formula saja (bukan mixed feeding). Ibu dengan HIV boleh memberikan susu formula bagi bayinya yang HIV negatif atau tidak diketahui status HIV-nya, jika seluruh syarat AFASS (affordable/terjangkau, feasible/mampu laksana, acceptable/dapat diterima, sustainable/berkesinambungan dan safe/aman) dapat dipenuhi. Di negara berkembang, WHO menganjurkan pemberian ASI eksklusif 6 bulan, yang cukup aman selama ibu mendapat terapi ARV secara teratur dan benar. Pencegahan Pasca Pajanan HIV (PPP)



Pencegahan pasca pajanan (PPP) adalah pemberian ARV dalam waktu singkat untuk mengurangi kemungkinan didapatnya infeksi HIV setelah terpapar ketika bekerja atau setelah kekerasan seksual. PPP sebaiknya ditawarkan dan diberikan sesegera mungkin dalam waktu 72 jam setelah paparan. PPP tidak diberikan jika orang terpapar sebenarnya HIV positif atau sumber paparannya HIV negatif. Lamanya pemberian PPP HIV adalah 28-30 hari. Pilihan obat PPP harus didasarkan pada paduan ARV lini pertama. Obat Yang Sebaiknya Tidak Digunakan Dengan ARV -



Obat Jantung



-



Penurunan Kolestrol



-



Antimikroba/ obat infeksi



-



Obat saluran cerna



-



Neuroleptik



-



Psikotropik



-



Obat untuk migraine



-



ARV lainnya



-



Obat-obatan Herbal