Sarpus Keratokonjungtivitis Atopik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Kepada Yth: SARI PUSTAKA I KERATOKONJUNGTIVITIS ATOPIK



OLEH: Ayu Thea Primanita Mawan Ratna Sari Dewi Elbetty Simanjuntak ( Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Tahap I ) PEMBIMBING: 1. Prof. DR.Dr. N K Niti Susila, SpM (K) 2. Dr. I Gusti Ayu Made Juliari, SpM 3. Dr.dr. Ni Nyoman Sri budayanti, SpMK (K) PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR 2014



PENDAHULUAN Konjungtivitis merupakan kondisi mata merah yang sering menimbulkan rasa tidak nyaman di masyarakat. Penyebab penyakit ini meliputi bakteri, virus, dan alergi. (Austin, 2013; Bielory, 2010) Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis alergi musiman dan konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang dikelompokkan dalam satu grup, keratokonjungtivitis vernal, keratokonjungtivitis atopik dan konjungtivitis papilar raksasa (Paul et all, 2010) Keratokonjungtivitis atopik yang merupakan salah satu kategori dari konjungtivitis alergi umumnya sering mengenai kedua mata. Keratokonjungtivitis atopik memiliki kaitan yang cukup besar dengan dermatitis atopik (Austin, 2013; Bielory, 2010) Hingga saat ini penyebab keratokonjungtivitis atopik masih belum diketahui. Teori yang banyak dianut mengatakan adanya reaksi hipersensitivitas terhadap alergen tertentu. Reaksi hipersensitivitas tipe I dan tipe IV terlibat dalam reaksi inflamasi konjungtiva dan kornea pada AKC. Saat eksaserbasi, kandungan IgE dalam air mata dan serum meningkat, disertai peningkatan sel B, sedangkan sel T menurun. Hipersensitivitas ini dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan (Paul et all, 2010; AAO, 2012) Sehubungan dengan banyaknya kasus yang muncul serta risiko komplikasi penyakit yang ditimbulkan cukup berat maka penulisan sari pustaka ini dilakukan dengan tujuan meningkatkan pengetahuan mengenai definisi, epidemiologi, embriologi, anatomi, aspek genetik, pathogenesis, manifestasi klinik, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosis.



DEFINISI Keratokonjungtivitis atopik merupakan penyakit inflamasi kronis pada mata yang biasanya terjadi secara bilateral dan bersifat berulang-ulang. Biasanya disertai penyakit dermatitis atopik dan asma (Austin, 2013; Paul et all,2010; Pedram, 2014)



1



Secara umum keratokonjungtivitis atopik merupakan konjungtivitis alergi perennial yang berpotensi mengenai kornea dimana reaksi hipersensitifitas tipe I memegang peranan penting dalam proses terjadinya penyakit ini (Bielory, 2010; Pedram,2014)



EPIDEMIOLOGI Keratokonjungtivitis atopik lebih sering terjadi pada pasien yang memiliki riwayat dermatitis atopik. Prevalensi secara pasti tidak dikeathui namun pada sebuah penelitian 4,4 persen dari 1079 pasien dengan alergi okuli mengalami keratokonjungtivitis atopik. Studi lainnya menunjukkan 77 persen pasieen dengan dermatitis atopik mengalami keratokonjungtivitis atopik. (Austin, 2013; Pedram, 2014) Risiko paling besar terjadinya keratokonjungtivitis atopik adalah pada usia dewasa sekitar 20 -50 tahun dan lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan. Insiden keratokonjungtivitis atopik meningkat pada penderita dengan keluarga yang memiliki riwayat penyakit atopik (Austin, 2013; Bielory, 2010; Pedram, 2014)



EMBRIOLOGI Pembentukan kornea dan konjungtiva sama-sama berasal dari permukaan ektoderm. Pada corneoscleral junction, tempat berawalnya kornea, konjungtiva melanjutkan diri sebagai epitel kornea berlapis gepeng kornea dan tidak mengandung sel goblet (AAO, 2010; Tasman,2002) Pada akhir minggu ke-5 kehamilan, ektoderm terdiri dari 2 lapisan sel epitel yang melekat diatas lamina basalis yang tipis. Vesikel lensa yang terlepas merangsang



lapisan



sel



epitel



basal



mengeluarkan



kolagen



fibril



dan



glikosaminoglikans yang mengisi ruang antara lensa dan epitel kornea, serta membentuk stroma primer. Sel mesenkimal bermigrasi dari tepi lingkaran optic cup ke sepanjang permukaan posterior dari dasar stroma (AAO, 2010; Tasman,2002)



2



Pada minggu ke 5-6 kornea terdiri dari lapisan sel epitel skuamous di permukaan dan kuboid dibasal, stroma primer, dan dua lapisan sel endotel di posterior. Pertumbuhan stroma selanjutnya didahului oleh gelombang pertumbuhan dari sel mesenkimal yang berasal dari lingkaran optic cup yang telah terbagi menjadi 2 bagian. Sel di posterior tumbuh diantara epitel lensa dan endotel kornea, serta mempersiapkan pembentukan awal dari membran pupil (AAO, 2010; Tasman,2002) Kira-kira pada minggu ke-7, sel mesenkimal di anterior bermigrasi ke stroma kornea. Sel ini berdifrensiasi menjadi sel keratosit yang mengeluarkan kolagen fibril tipe 1 dan membentuk matriks dari stroma kornea yang matur (AAO, 2010; Tasman,2002) Stroma mencapai ketebalan maksimal, kira-kira dua kali ketebalan post embrionic. Dehidrasi (terutama oleh asam hyaluronidase) dan kompresi menyebabkan jaringan ikat menebal. Morfogenesis keratosit dimulai di stroma posterior dan mengarah ke anterior. Sel membentuk proteoglikans dan kolagen fibril, yang membentuk lamela. Setiap lamela melanjutkan pertumbuhan dengan membentuk fibril tambahan, simultan, sehingga lapisan lamela secara berturut-turut bertambah. Lamela meningkat dalam luas dan ketebalannya, sehingga diameter dan ketebalan kornea semakin bertambah (AAO, 2010; Tasman,2002) Endotel dibagian sentral kornea menjadi satu lapisan sel yang mendatar pada umur kehamilan 3 bulan. Sel menempel pada lamina basalis, yang kelak akan menjadi membran descemet. Pada tahap perkembangan ini, membran descemet terdiri dari 2 zona, lamina densa yang mengarah ke stroma dan lamina lucida yang berbatasan dengan endotelium. Pertumbuhan membran descemet berikutnya membentuk organisasi yang unik, yang dikenal sebagai daerah pita fetus, dengan ketebalan maksimal 3 μm saat kelahiran (AAO, 2010; Tasman,2002) Pertengahan kehamilan 4 bulan, potongan sel yang menghadap endotel bergabung dengan zonula okludens. Pertumbuhan ini berkaitan dengan onset dari produksi humor akueous oleh prosesus siliaris. Akhir bulan ke-4 daerah bowman yang aselular terbentuk di anterior stroma. Terbentuk juga keratosit superfisial dan



3



fibril kolagen. Diameter dari kornea yang belum menetap ini kira-kira sebesar 2 mm pada minggu ke-12, 4,5 mm pada minggu ke-17 dan pada minggu ke-35 sebesar 9,3 mm (AAO, 2010; Tasman,2002) Keratokonjungtivitis atopik merupakan penyakit autosomal yang tidak berkaitan dengan proses embriogenesis organ yang terkait. Proses terjadinya keratokonjungtivitis atopik berasal dari perubahan genetik yang telah dibawa dalam kromosom masing –masing individu (AAO, 2010; Tasman,2002)



ASPEK GENETIK Terjadinya keratokonjungtivitis atopik biasanya merupakan manifestasi dari penyakit atopik lainnya seperti asma dan dermatitis atopik. Aspek genetik terjadinya keratokonjungtivitis atopik sering dikaitkan dengan dermatitis atopik ataupun asma. Individu dengan kelainan atopik tersebut mengalami perubahan pada gen-gen tertentu yang mempengaruhi respon T-Helper 2 dan kadar immunoglobulin E (IgE) yang tinggi. Respon T-Helper 2 dan IgE yang tinggi memiliki peranan dalam pathogenesis terjadinya keratokonjungtivitis atopi. (Muhaimin, 2011) Kecenderungan untuk memproduksi IgE dipengaruhi oleh beberapa gen warisan. Kadar IgE tinggi yang abnormal dan hubungannya dengan penyakit atopik sering terdapat pada satu keluarga. Penelitian tentang keluarga menunjukkan transmisi atopi secara autosomal dan ada pula yang menunjukkan pola multifaktorial. (Abbas et al, 2010; Pepose et al, 1996) Walaupun banyak gen yang nampaknya terkait dengan penyakit alergi tersebut, tetapi yang paling menarik adalah peran Kromosom 5 q31 – 33. Kromosom 5q31-33 mengandung gen penyandi IL3, IL4, IL13 dan GM – CSF (granulocyte macrophage colony stimulating factor) yang diproduksi oleh sel Th2 dan secara garis besar dikelompokkan menjadi empat gen. (Muhaimin, 2011) Empat kelompok tersebut pertama, terdapat bagian cluster gen berpautan kuat yang mengkode sitokin yang diperlukan untuk meningkatkan respon TH2, yaitu gen yang diperlukan untuk melakukan class switching pada pembentukan IgE, pertahanan



4



hidup eosinofil, dan proliferasi sel mast. Kelompok gen ini meliputi gen yang mengode pembentukan IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan GM-CSF (granulocytemacrophage colony stimulating factor). Dalam hal tertentu, variasi genetik pada bagian promoter gen pengkode IL-4 berasosiasi dengan peningkatan IgE pada suatu individu. Variant promoter menyebabkan peningkatan ekspresi gen reporter pada model eksperimen dan telah dibuktikan pada system in vivo pada peningkatan level IL-4 (Muhaimin, 2011) Gen set kedua pada kromosom 5 adalah famili TIM (pada sel T, domain imunoglobulin dan domain mucin) yang mengode protein permukaan pada sel T. Pada mencit protein Tim-3 secara spesifik diekspresikan pada sel TH1 dan mengurangi respon TH1, sedangkan Tim-2 dan juga Tim-1 lebih cenderung diekspresikan TH2 dan berfungsi mengurangi respon TH2. Mencit yang mempunyai perbedaan varian gen TIM mempunyai perbedaan dalam hal kepekaan terhadap reaksi alergen maupun produksi IL-4 dan IL-13 oleh sel T. Pada manusia variasi gen TIM berhubungan dengan kepekaan respon saluran pernafasan terhadap bahan-bahan irritant. Dalam hal ini otot polos bronkus dari individu tertentu akan mengalami kontraksi sebagaimana yang terlihat pada asma. (Muhaimin, 2011) Gen ketiga yang ditengarai terkait dengan kerentanan terhadap reaksi alergi adalah gen penyandi p40. Protein p40 merupakan salah satu subunit dari dua subunit IL-12. IL-12 mempunyai peran meningkatkan respon TH1. Variasi gen penyandi p40 terkadang dapat menurunkan produksi IL-12, kondisi tersebut terjadi pada penderita asma yang parah . (Muhaimin, 2011) Gen keempat yang diduga menyebabkan kerentanan terhadap asma dan dermatitis adalah gen penyandi reseptor β-adrenergic. Variasi reseptor β-adrenergic dengan perubahan respon otot polos terhadap ligan endogen maupun ligan dari obatobatan (Muhaimin, 2011) Para ilmuwan menduga ada gen-gen yang secara khusus hanya berhubungan dengan masalah alergi. Sebagai contoh adalah penyakit asma. Pada penyakit ini telah ditemukan bukti ada beberapa gen bekerja minimal pada tiga aspek yakni, produksi



5



IgE, respon inflamasi, dan respon terhadap perlakuan klinik tertentu. Namun penjelasan secara spesifik untuk aspek genetik keratokonjungtivitis atopik secara terpisah masih susah dipastikan (Martyna, 2013; Muhaimin, 2011)



ANATOMI DAN HISTOLOGI Konjungtiva Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak dan dengan epitel kornea di limbus. (Vaughn, 2000) Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu yang pertama konjungtiva palpebra, yang dibagi menjadi konjungtiva marginal, merupakan zona transisi antara kulit dan konjungtiva, konjungtiva tarsal tipis, transparan dan sangat vaskular dan bagian pada orbital yang terletak longgar antara tarsal dan fornik. Bagian kedua adalah konjungtiva bulbar. Konjungtiva ini transparan, tipis dan terletak longgar atas struktur di bawahnya sehingga dapat digerakkan dengan mudah. Konjungtiva bulbar dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral dan kapsul Tenon. Dan yang terakhir adalah konjungtiva fornik yang menyatukan konjungtiva bulbar dengan konjungtiva palpebra. (Vaughn, 2000; AK Khurana, 2007) Secara histologi, konjungtiva terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan paling luar adalah epitelium. Lapisan epitel ini berbeda-beda pada konjuntiva palpebra, konjungtiva bulbaris dan konjungtiva fornik. Sel mast dan eosinofil terdapat pada lapisan epitel konjungtiva pada pasien keratokonjungtivitis atopik tetapi tidak pada individu normal. Terdapat peningkatan rasio CD4/CD8 pada epitel konjungtiva pasien keratokonjungtivitis atopi. Peningkatan CD4 atau sel Thelper berfungsi untuk memperkuat respon imun yang terjadi. Lapisan di bawahnya yaitu adenoid yang dapat disebut juga lapisan lymphoid dan terdapat limfosit. Lapisan paling bawah adalah lapisan fibrous. Lapisan fibrous ini terdiri dari jaringan kolagen dan serat



6



elastis. Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid kecuali bagian konjungtiva tarsal yang sangat tipis dan mengandung pembuluh darah dan saraf konjungtiva. (AK Khurana, 2007; Foster et al, 2005)



Gambar 1: Bagian dari konjungtiva dan kelenjar-kelenjar pada konjungtiva (AK Khurana, 2007) Konjungtiva mengandung 2 tipe kelenjar, yaitu kelenjar mensekresi musin yang merupakan sel goblet (kelenjar uniselular pada epitelium), crypts of Henle (pada konjungtiva tarsal), dan glands 0f Manzs (pada konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mukus yang penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva. Berikutnya adalah accessory lacrimal glands, yaitu kelenjar Krause dan kelenjar Wolfring. (AK Khurana, 2007) Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plica semilunaris) terletak di kantus medial. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karankula) menempel superfisial ke bagian dalam plica semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa. (Vaughn, 2000)



7



Gambar 2. Struktur mikroskopik konjungtiva menunjukkan tiga lapisan (A) dan susunan sel epitel pada daerah yang berbeda di konjungtiva (B). (AK Khurana, 2007) Arteri siliari anterior mensuplai darah untuk konjungtiva bulbaris sedangkan konjungtiva tarsal disuplai oleh cabang-cabang dari arteri palpebra. Cabang proximal, berjalan sepanjang batas atas dari palpebra untuk mensuplai darah ke forniks dan kemudian ke konjungtiva bulbaris sebagai arteri konjungtiva posterior. Vena-vena dari konjungtiva mengalir ke pleksus vena dari palpebra dan beberapa mengelilingi kornea ke vena siliari anterior. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama nervus V. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.(Vaughn, 2000; AK Khurana, 2007)



Gambar 3. Suplai darah pada konjungtiva (AK Khurana, 2007)



8



Kornea Kornea merupakan jaringan transparan, avaskular, dan membentuk 1/6 permukaan anterior bola mata. Permukaan anterior kornea berbentuk ellips yang pada orang dewasa dengan rata-rata diameter horizontal 11,7 mm dan diameter vertikal 11 mm. Permukaan posterior dari kornea berbentuk bundar dengan diameter rata-rata 11,5 mm. Ketebalan kornea pada bagian tengah kira-kira 0,52 mm sementara bagian perifer sekitar 0,7 mm. Struktur kornea terdiri dari lima lapisan yaitu lapisan epitel, membran bowman, lapisan stroma, membran descemet dan lapisan endotel. (Vaughn, 2000; AK Khurana, 2007) Epitel kornea terdiri dari sel epitel skuamous berlapis dan merupakan 5% (0,05mm) dari total ketebalan kornea. Epitel dan lapisan air mata membentuk permukaan optik yang lembut. Perlekatan antara sel epitel superfisial mencegah penetrasi cairan air mata ke stroma. Proliferasi yang berkelanjutan pada sel epitel basal perilimbal membentuk lapisan lain yang kemudian berdiferensiasi menjadi sel superficial. Saat matur, sel ini dibungkus oleh mikrovili pada pada permukaan palng luar dan kemudian berdeskuamasi menjadi air mata. Proses ini berlangsung 7-14 hari. Sel epitel mempunyai kemampuan untuk bergenerasi. Permukaan sel epitel gepeng memiliki banyak sekali mikrovili dan mikroplika. Keadaan seperti ini berfungsi untuk menjaga kestabilan film air mata dan memudahkan melekatnya mucin. (AAO, 2012; Kansky, 2007) Membran bowman merupakan zona aselular yang dibentuk oleh serat kolagen dan membentuk ketebalan sekitar 12µm dan mengikat stroma pada bagian anterior dengan membran dasar dari lapisan epitelium. Bila terjadi trauma pada lapisan ini maka akan terbentuk jaringan parut. Membran bowman berfungsi sebagai barier terhadap benda asing dan mikroorganisme juga pertahanan terhadap trauma. (AK Khurana, 2007) Stroma kornea menyusun 90% dari seluruh ketebalan kornea yaitu sekitar 500µm. Stroma kornea tersusun dari serat-serat kolagen yang membentuk kelompok dan disebut lamella. Pada stroma kornea diperkirakan terdapat 200 lamella yang satu



9



dengan yang lain tersusun membentuk sudut tertentu. Stroma terbentuk dari 200 lapisan lamella, dengan ketebalan 1,5-2,5µm dan terdiri dari serat kolagen di dalam matriks yang terdiri dari proteoglycan, protein dan glikoprotein. (AAO, 2012; AK Khurana, 2007)



Gambar 4. Struktur mikroskopis dari kornea (AK Khurana, 2007) Membran descemet adalah membran basal dari endotel kornea dan terutama dari kolagen tipe IV dan glikoprotein termasuk fibronektin, laminin. Fibronektin berperan dalam adhesi antar sel endotel dan antara sel endotel dengan membran descemet. Membran descemet mempunyai ketebalan ± 8-12µm. Membran descemet adalah lapisan homogen kuat yang mengikat stroma di bagian posterior. Lapisan ini sangat resisten terhadap zat kimia, proses trauma dan patologi. Tidak seperti membran bowman, lapisan ini dapat beregenerasi. Pada keadaan normal, lapisan ini tegang dan ketika robek, lapisan ini berlipat-lipat.(AAO, 2012; AK Khurana 2007) Endotel kornea tersusun dari 1 lapis sel yang bagian basalnya melekat pada membran descemet. Bagian apikal endotel berhubungan langsung dengan humor akuous yang terdapat dalam bilik mata depan. Pada saat lahir terdapat sekitar 350.000 sel endotel kornea dengan densitas 3000 sel/mm2 dan berdiameter sekitar 20µm.



10



Dengan semakin tuanya umur sel beberapa endotel akan mati dan menghilang. Endotel kornea mempunyai pengaruh yang besar dalam menjaga kejernihan kornea dan dalam memenuhi kebutuhan metabolisme kornea. Jika endotel cidera, penyembuhan terutama terjadi melalui proses migrasi sel, penyusunan kembali, dan membesarnya sel residu. Banyaknya sel yang hilang atau rusak menyebabkan edema yang ireversibel karena endotel manusia memiliki kemampuan untuk membelah yang terbatas setelah lahir. (AAO, 2012; AK Khurana 2007) Molekul asing yang mencoba masuk ke dalam kornea harus melalui berbagai rintangan seperti tight junction antar sel, permukaan selnya ditutupi dengan lapisan jala seperti mikroplika dan mikrofili ditambah lagi dengan adanya serabut-serabut kolagen pada stroma dan mukopolisakarida. Limfosit tidak dijumpai pada stroma kornea.(Foster et al, 2005)



PATOGENESIS Patogenesis dari keratokonjungtivitis atopik belum jelas dan rumit. Terdapat sel-sel inflamasi seperti



neutrofil, limfosit, sel mast, macrofag, sel langerhans dan sel



plasma pada permukaan mata saat kontak dengan lingkungan. Sedangkan eosinofil dan basofil akan muncul jika terdapat respon. Ini semua muncul dan teraktivasi akibat adanya reaksi hipersensitivitas terhadap lingkungan yang dianggap sebagai alergen. Keratokonjungtivitis atopi adalah salah satu penyakit atopik yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh alergen. Terdapat empat tipe reaksi hipersensitivitas yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III dan IV. Dari keempat reaksi hipersensitivitas tersebut, keratokonjuntivitis atopik bisa disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I dan IV. Hingga saat ini, penyebab dan mekanismenya yang pasti masih belum diketahui. (Baratawijaya, 2002; Abbas et al, 2010; Foster et al, 2005; Pepose et al, 1996) Pada reaksi hipersensitivitas tipe I yang dapat disebut juga reaksi cepat atau reaksi alergi, timbul segera setelah badan terpapar oleh alergen. Pada reaksi ini alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun yang menyebabkan



11



diferensiasi CD4+TH2 dan dibentuknya IgE yang spesifik untuk antigen dan berikatan ke reseptor Fc pada sel mast dan basofil. Sel mast terdapat pada semua jaringan ikat dan semua epitel sehingga dapat terjadi reaksi cepat pada tempat-tempat tersebut. Manusia memiliki jumlah sel mast yang banyak pada konjungtiva (5000 sel per mm3) dan lebih banyak terdapat pada daerah limbal. (Baratawijaya, 2002; Abbas et al, 2010; Foster et al, 2005; Pepose et al, 1996)



Gambar 5. Rangkaian proses pada reaksi hipersensitifitas tipe I (Abbas et al, 2010) Sekitar 50%-70% dari populasi membentuk IgE terhadap antigen yang sampai ke permukaan mukosa seperti selaput lender hidung, paru dan konjungtiva. IgE yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh sel mast dan basofil oleh reseptor khusus FcRI ada permukaan sel. Ini disebut fase sensitisasi. Saat tubuh terkena pajanan ulang oleh antigen yang spesifik, sel mast melepaskan mediator-mediator yang dapat menimbulkan reaksi. Mediator-mediator yang



12



dikeluarkan oleh sel mast seperti histamin, leukotrin, platelet-activating factor, prostaglandin E, dan bradikinin menghasilkan gejala keratokonjungtivitis atopik. Selain itu migrasi sekunder dari eosinofil menimbulkan kerusakan epitel dan meningkatkan degranulasi dari sel mast. Reaksi yang dapat terjadi berupa wheal dan flare. Wheal dapat disebut juga edema dan flare dapat disebut juga eritema. Puncak reaksi terjadi dalam 5-10 menit. (Baratawijaya, 2002; Abbas et al, 2010; Foster et al, 2005; Pepose et al, 1996) Sel



TH1



banyak



ditemukan



pada



konjungtiva



individu



dengan



keratokonjungtivitis atopic daripada pada individu yang normal. Oleh karena itu reaksi



hipersensitivitas



tipe



IV



juga



berperan



dalam



menyebabkan



keratokonjungtivitis atopik. Mula-mula antigen yang dipresentasikan oleh sel APC (Antigen-Presenting Cell) tertentu kepada sel T. IL-1 yang dilepas sel APC akan mengaktifkan sel T dan yang akhirnya melepas berbagai limfokin seperti IL-2, MIF, MAF, dan TNF dengan berbagai fungsi. Limfokin yang berperan pada konjungtiva adalah IL-2. IL-2 merupakan limfokin utama yang dilepas baik oleh sel T yang berperan dalam cell mediated immunity maupun oleh sel TH yang membantu sel B dalam memproduksi antibodi. Adanya limfokin ini menyebabkan perkembangan dari fibrosis pada subepitelial. (Baratawijaya, 2002; Abbas et al, 2010; Foster et al, 2005; Pepose et al, 1996) Imunopatologi konjungtiva pada pasien dengan keratokonjungtivitis atopik menunjukkan disfungsi imunoregulator yang rumit pada permukaan okular. Ditemukan banyak sel T teraktivasi, sel B, dan antigen-presenting cells (makrofag, dan sel langerhans) dan mediator-mediator kimia (histamin, leukotrin, sitokin) yang menyebabkan inflamasi kronik dan jaringan parut. Induksi dari class II antigen expression pada sel-sel konjungtiva (epitel, fibroblast, dan endotelium vaskular) mengindikasikan bahwa etiologi dari keratokonjungtivitis atopik jauh lebih rumit daripada hanya degranulasi sel mast saja. (Pepose et al, 1996)



13



Gambar 6. Reaksi Hipersensitivas tipe IV ( Baratawidjaja, 2002)



MANIFESTASI KLINIS Pasien yang datang dengan keratokonjungtivitis atopi biasanya mengeluh gatal, terasa terbakar, silau, nyeri dan terasa seperti ada benda asing pada mata. Mata yang terkena biasanya bilateral. Keratokonjungtivitis atopi biasanya diderita oleh umur tua, dekade keempat atau kelima. Penyakit ini muncul sepanjang tahun dan tidak dipengaruhi oleh musim. Biasanya ada riwayat alergi (asma atau dermatitis atopi) pada pasien atau keluarganya. Penyakit ini bersifat kronis, dan sering mengalami eksaserbasi dan remisi. Pada awalnya tajam penglihatan tidak terganggu. (AAO, 2012; Vaughn, 2010) Keratokonjungtivitis atopi dapat mempengaruhi kelopak mata, konjungtiva, kornea dan lensa. Dari gejala – gejala obyektif didapatkan pada palpebra kering, bersisik dan inlamasi. Tepian palpebra eritema dan juga bisa terdapat kolonisasi Staphylococcus yangdapat menyebabkan blepharitis. Pada konjungtiva palpebra superior dan terutama inferior terdapat papil-papil halus dan mungkin juga papil-papil raksasa namun tidak berkembang seperti pada keratokonjungtivitis vernal. Pada keadaan tenang, konjungtiva tampak pucat, namun saat eksaserbasi akut, menjadi hiperemis dan kemotik. Selain itu sering terdapat subepithelial fibrosis pada



14



konjungtiva. Jaringan parut pada konjungtiva dapat membentuk simblepharon. Pada kerokan konjungtiva didapatkan eosinofil yang tidak terlalu banyak.(AAO, 2012; Vaughn, 2010)



Gambar 7. Papil-papil beukuran kecil dan sedang pada keratokonjungtivitis atopik dan udem pada konjungtiva tarsal (AAO, 2012) Gejala-gejala obyektif pada kornea biasanya muncul setelah mengalami kekambuhan beberapa kali. Timbul keratitis perifer superfisial yang diikuti dengan neovaskularisasi. Pada kasus yang berat, seluruh kornea dapat menjadi keruh dan bervaskularisasi sehingga tajam penglihatan dapat terganggu. Penyakit ini mungkin disertai dengan adanya keratokonus.(AAO, 2012; Vaughn, 2000) Rekurensi dari penyakit ini dapat menyebabkan kekeruhan pada lensa terutama pada subscapsular posterior dan atau pada subscapsular anterior sehingga lebih menambah gangguan pada tajam penglihatan. (AAO, 2012)



Gambar 8 : Vaskularisasi dan jaringan parut pada kornea yang parah pada pasien dengan keratokonjungtivitis atopi. (AAO,2012)



15



DIAGNOSIS Diagnosis keratokonjungtivitis atopik ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik, gambaran klinis yang ditunjang pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan immunopatologi serta gambaran histopatologi. Dari anamnesa dapat ditemukan riwayat atopik yang kronis atau kambuh kronik seperti dermatitis, asma, dan rhinitis. Selain itu pasien juga mengeluhkan gejala pada mata yang dapat berkaitan atau tidak dengan musim seperti gatal, lakrimasi, sekret elastis, rasa terbakar, fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan.( AAO,2012 ; Reindhart, 2006) Pada pemeriksaan oftalmologis didapatkan dermatitis palpebra bersamaan dengan eritema kulit, dan edema. Konjungtiva tarsal superior ditemukan papil yang halus dan giant papillary pada konjungtiva tarsal inferior.Pada konjungtiva bulbar terdapat hyperemia atau kemosis. Fibrosis pada lapisan subepitel konjungtiva menandakan penyakit telah berlangsung kronis dan dapat terjadi simblefaron. Pemeriksaan pada kornea mendapatkan epiteliopati pungtata dan keratitis, defek epitelial persisten, ulkus, sikatrik stroma anterior, dan mikropanus. Pada stadium akhir didapatkan vaskularisasi kornea perifer ekstensif. Pada keratokonjungtivitis atopik juga lebih sering didapatkan keratokonus, dan herpes simpleks keratitis yang sering kambuh. Pada lensa akan didapatkan katarak subkapsular anterior atau posterior. Pada pemeriksaan fundus bisa didapatkan perubahan degeneratif vitreus dan ablasio retina meskipun sangat jarang. (Reidhart, 2006; Mc.Graw-Hill. 2007; Gerhard, 2005) Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan serum IgE. Nilai normal serum IgE adalah kurang dari 100IU/ml, namun pada penerita AKC nilai IgE bisa meningkat hingga 2000 IU/ml. Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan sel eosinofil, sel mast, dan sel goblet yang meningkat pada kerokan konjungtiva.( Reindhart, 2006 ;Fahd Anzaar, 2010 )



16



DIAGNOSA BANDING Diagnosa banding dari keratokonjungtivitis atopik adalah vernal keratokonjungtivitis vernal, konjungtivitis virus, Giant Papillary Conjunctivitis, Trakoma, dan konjungtivitis bakteri. Vernal Keratokonjungtivitis dijumpai pada usia prepubertal sekitar 5-10 tahun, laki-laki lebih sering terkena. Biasanya memiliki riwayat keluarga yang menderita alergi. Dijumpai beberapa gejala pada penyakit ini seperti gatal, fotofobia, sekret mukus, nyeri seperti ada benda asing di dalam mata.



A



B



C



Gambar 9: A. Diffuse papillary hypertrophy, banyak terdapat pada tarsus superior, B.Cobblestone papil, C. Limbal vernal (Kanski, 2007) Pada bagian tarsal dapat kita jumpai inflamasi yang dominan pada tarsal yang superior. Pada konjungtiva bulbar hanya reaksi injeksi atau kemosis, pada superior tarsal terdapat papilla yang besar ( > 1mm) dan diffus seperti cobblestone bertahan selama periodik penyakit ini tenang, tetapi apabila periode aktif maka akan menjadi



17



hiperemis dan edematous. Papil ini tebal, mukoid, dan sekresi warna putih, papil dapat bertambah besar sehingga menyebabkan ptosis. Pada bagian limbus keratokonjungtivitis vernal memiliki gambaran seperti gelatin multipel, infiltrat yang pucat, pada apex dari infiltrat kelihatan bintik putih kecil yang disebut Horner Trantas Dots, sekeliling limbus mengalami inflamasi, terdapat micropannus, dan terdapat injeksi pada bulbar konjungtiva. Pada kornea dapat dijumpai ulkus yang disebut shield ulcer. Ulkus ini bukan karena infeksi awalnya tetapi karena abrasi dari epithelium akibat papil yang besar dan korosi dari epitel karena toksik dari pelepasan protein granul dari eosinofil, posisi ulkus biasanya terdapat superior dan central dari kornea. Pada pewarnaan Giemsa banyak dijumpai eosinofil. (Mc.Graw-Hill. 2007; Reindhart, 2006; Gerhard, 2005). Konjungtivitis



virus



disebabkan



oleh



adenovirus,



herpes



simplek,



enterovirus, newcastle disease virus, dan epstein barr virus. Gejala yang diperlihatkan seperti mata merah, gatal disertai watery mucoid discharge, pseudomembrane, unilateral, palpebra sering bengkak, injeksi pada konjungtiva, kemosis, preauricular lymphadenopathy dapat dijumpai.



A Gambar 10:



B A. Konjungtivitis virus biasanya bilateral, sekret cair dan terdapat folikel, B. Pendarahan subkonjungtiva dan pseudomembran jika sudah parah (Kanski, 2007)



18



Pada kornea dapat dijumpai punctata keratitis dengan punctata yang kecil. Ini semua dapat di jumpai pada fase akut. Pada fase kronis dapat dijumpai gejala numular opacity pada kornea yang dapat mengganggu penglihatan yang bisa menetap beberapa bulan bahkan tahun. Pada pemeriksaan sitologi dijumpai limfosit dan monosit.( Reindhart, 2006; Mc.Graw-Hill. 2007; Gerhard, 2005)



Gambar 11.Giant papillary konjungtivitis (Kanski, 2007) Gejala



giant



papillary



konjungtivitis



hampir



sama



dengan



keratokonjungtivitis vernal. Giant Papillary konjungtivitis sering terjadi karena penggunaan contact lens, ocular prostetik. Gejalanya dapat berupa sekret mukus pada pagi hari, rasa gatal pada daerah contact lens seperti ada benda asing, pandangan kabur, awalnya papil besar > 0,3mm pada konjungtiva tarsal superior dan semakin membesar, bersifat kronik. Pada pemeriksaan hipersensitivitas banyak dijumpai basofil. (Reindhart, 2006; Gerhard, 2005; Kanski, 2007 ) Gejala yang dijumpai mata merah, sekret yang mukopurulen, epifora, folikel, papil, dan pannus. Ada empat stadium pada trakoma ini. Stadium I dapat kita jumpai hipertropi papil dengan folikel-folikel yang kecil pada konjungtiva tarsus superior,yang memperlihatkan penebalan dan kongesti pada pembuluh darah konjungtiva. Stadium II terdapat hipertrofi papilar pada konjungtiva tarsus superior,terdapat pannus trakoma yang jelas. Stadium III terdapat parut pada konjungtiva tarsus superior yang terlihat sebagai garis putih halus sejajar dengan



19



margo palpebra. Parut folikel pada limbus kornea disebut Herbert pit’s. pit’s Stadium IV pembentukan parut yang sempurna pada konjungtiva tarsus superior sehingga dapat terjadi entropion, trichiasis, keratitis, ulkus, dan perforasi. Pada pewarnaan dapat dijumpai sel epitel, leukosit, kosit, pplasma sel, limfosit. (Reindhart, 2006; Gerhard, Gerhard 2005; Kanski, 2007)



A



B



C



D



Gambar 12.A. Acute cute follicular Conjunctivitis, B.Conjunctival Conjunctival scarring, scarring C.Herbert pits pits, D.Pannus formation.(Kanski, 2007)



A



B



Gambar 13: A. Krusta pada palpebra dan injeksi conjungtiva,B. Sekret mukopurulen pada fase subakut (Kanski, 2007)



20



Konjungtivitis



bakteri



disebabkan



oleh



Neisseria,



Pneumococcus,



Haemophilus influenza, dan Streptococcus. Secara umum gejalanya ada iritasi dan injeksi yang bilateral, eksudat yang purulent, palpebra yang lengket oleh sekret dan edema. Biasanya yang terkena awalnya satu mata lalu diikuti oleh mata sebelahnya. Konjungtiva hiperemi maksimal dibagian fornik, bisa terdapat membran atau pseudomembran terutama yang disebabkan oleh Streptococcus, Gonococcus dan Corynebacterium diptheriae. (Reindhart, 2006; Gerhard, 2005; Kanski, 2007 )



PENATALAKSANAAN Penyebab keratokonjungtivitis atopik hingga saat ini belum diketahui secara pasti, oleh karena itu



terapi yang diberikan terutama untuk mengatasi gejala saja.



Penatalaksanaan keratokonjungtivitis atopik umumnya dengan cara mengatur keadaan lingkungan dan obat-obat topikal yang diberikan bertujuan untuk mengurangi gejala inflamasi. Penderita disarankan menghindari kontak dengan alergen. Terapi medikamentosa untuk mencegah terjadinya eksaserbasi dapat menggunakan stabilisator sel mast. Obat ini menghambat degranulasi sel mast yang tersensitisasi akibat ekspos terhadap antigen spesifik. Antihsitamin oral dan topikal juga dapat diberikan untuk menurunkan atau mengeliminasi eksposur alergen sebagai terapi rumatan. Obat ini bekerja melalui inhibisi kompetitif terhadap histamin pada reseptor AH1. (Reindhart.2006 ; Stephen dkk, 2008) Saat eksaserbasi dapat diberikan steroid topikal intensif jangka pendek, dan kemudian dilakukan tapering off. Terapi dengan steroid harus dilakukan dengan hatihati pada penderita hipertensi. Terapi ini mengakibatkan katarak pada penggunaan jangka panjang. Adanya ulkus kornea yang persisten pada pengguna steroid harus dicurigai sebagai infeksi jamur. (Reindhart.2006 ; Stephen dkk, 2008) Pada beberapa keadaan, mungkin diperlukan terapi yang lebih agresif. Siklosporin topikal 0,05% dapat digunakan sebagai tambahan atau terapi alternatif pada keadaan dimana penggunaan steroid harus dibatasi. Penelitian oleh Hingorani



21



dkk dan Akpek dkk mendapatkan bahwa siklosporin A 0,05% topikal efektif dan aman dalam penggunaan bersama steroid atau sebagai pengobatan tunggal. Siklosporin sistemik (5mg/kg/hari) terbukti dapat menurunkan gejala. Terapi ini menurunkan kekebalan tubuh pasien. Terapi rumatan dengan dosis rendah (5mg/kg/5hari) mungkin diperlukan pada kasus-kasus yang sering kambuh. (Reindhart.2006 ; Stephen dkk, 2008) Evaluasi tindak lanjut dilakukan setiap beberapa hari atau beberapa minggu sampai kondisi stabil. Pasien yang mendapatkan steroid atau siklosporin hendaknya ditindaklanjuti secara teratur untuk mengetahui adanya efek samping dan komplikasi terapi.(Reindhart, 2006)



PROGNOSIS Prognosis AKC buruk pada keadaan-keadaan dimana disertai atopik seperti asma dan rhinitis, disertai komplikasi, usia pertama kali mendapat AKC makin muda dan atopik bersifat kambuhan. AKC dapat mengakibatkan penurunan kemampuan penglihatan sampai kebutaan karena komplikasi kornea. Komplikasi AKC dapat berupa keratopati persisten, sikatrik atau penipisan kornea, keratokonus, katarak, dan terbentuknya simblefaron. Insiden komplikasi tersebut dapat ditekan dengan usaha pencegahan yang baik, terapi efektif terhadap eksaserbasi, dan intervensi pembedahan tepat waktu.( Reindhart, 2006)



22



DAFTAR RUJUKAN Abbas, abul K., Lichtman, Andrew H., Pillai, Shiv. (2010). Cellular and Molecular Immunology, 6th ed, Philadelphia: Saunders Elsevier. p 441-460 American Academy of Ophthalmology. Section 2. Basic and Clinical Science Course. Fundamental and Principles of Ophthalmology. San Fransisco 2011-2012; p. 247252. American Academy of Ophthalmology. Section 8. Basic and Clinical Science Course. External Disease and Cornea. San Fransisco 2011-2012; p. 173-191. Austin, Strohbehn., Keratoconjunctivitis.



Matthew,Ward.,



Anna,



Kitzmann.(2013).



Atopic



Baratawidjaja KG. Imunologi dasar, ed kelima. Balai Penerbit FK UI, 2002; hal 1-166 Bielory B and Bielory L. (2010).Atopic dermatitis and keratoconjunctivitis. Immunology and Allergy Clinics of North America. 30(3): 323-336 Bloomfield SE. Clinical allergy and immunology of the external eye. (1997).In:Tasman W, Jaeger EA, eds. Duane’s clinical ophthalmology vol.4. Philadelphia:Lippincott-Raven;. p.1-25 Fahd, Anzaar.,Stephen, Foster. (2010).Atopic Keratoconjunctivitis. Foster, C Stephen., Azar, Dimitri T., Dohlman, Claes H. (2005). Smolin and Thoft’s The Cornea Scientific Foundations And Clinical Practice. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p 463-472 Gerhard K.Lang,M.D. (2005).Opthalmology A short textbook.New York: Gerhard K.Lang & Gabrielle.E.Lang. p.74-102 Kanski JJ. (2007).Atopic Keratoconjunctivitis in Clinical Ophthalmology: A Systemic Approach. 6th ed. London: Butterworth-Heinemann. p 249-250 Khurana AK. (2007).Comprehensive Ophthalmology. p 3-10 McGraw-Hill. (2007).Lange Opthalmology: Conjunctivitis 5.p.1-49 Muhaimin. (2011).Diktat Alergi dan Hipersensitif. Universitas Brawijaya.Malang. p 10-15



23



Pedram Hamrah,MD. (2012).Atopic Keratoconjunctivitis Pepose, Jay S., Holland, Gary N., Wilhelmus, Kirk R. (1996). Ocular Infection and Immunity. United State of America: Mosby. p 376-388 Stephen J.Tuft,Fracs, Michael Kimeny,PhD,John K.G.Roger .(2008).Clinical Features of Atopic Keratoconjunctivitis Reinhard T, D.F.P.Larkin (2006).Cornea and External Eye Disease. New York.p.163170 Tasman W, Jaeger AE. (2002).Duanes Clinical Ophthalmology. Corp Tech Ventures. Philadelphia (PA) Wesserling Martyna. (2013).Role of Genetic Aspect in Pathogenesis of Atopic Dermatitis. Folia Biologica et Oecologica 9:1-8. Vaughn,Taylor Asbury, Paul Riordan-Eva. (2000).Oftalmologi Umum. Edisi 14.; hal 5-7,353-354



24