Sejarah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Pembahasan I.



Kerajaan Bima A. Sejarah Kerajaan Bima Bima adalah kabupaten daerah tingkat II di propinsi Nusa Tenggara Barat dan kerajaan



yang terpenting di pulau sumbawa maupun di kawasan pulau-pulau Sunda Kecil pada kurun waktu abad ke 17-19. Dengan terbentuknya propinsi daerah tingkat I Nusa Tenggara Barat melalui UU No.64/1958, maka sebagian besar wilayah kerajaan bima yang pada waktu itu masih berstatus sebagai Swapraja menjadi wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bima dengan Ibu kotanya di Raba-Bima. Kerajaan Bima merupakan salah satu dianatara 6 kerajaan yang pernah ada di pulau Sumbawa yaitu Dompu, Sanggar, Tambora, Papekat, Sumbawa dan Bima. Sejak kapan dan bila mana kerajaan Bima didirikan dan oleh siapa belum ada sumber yang pasti. Dalam kitab Negara kertagama yang ditulis Mpu Prapanca tahun 1365 M, disebutkan bahwa Taliwang, Dompu, Sape, Sanghyang Api, Bhima, Seram atau Seran, Hutan Kadali termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit. Meskipun ahli-ahli arkeologi dan sejarah berpendapat bahwa nama-nama tersebut berlokasi di pulau sumbawa ataukah sebagai tempat singgah (pelabuhan) para pelaut yang kemudian di taklukkan oleh kerajaan Majapahit. Sumber sejarah Bima adalah artefak, prasasti dan manuskrip. Sumber-sumber tersebut menceritakan tentang fase sejarah sejak masa prasejarah hingga masuknya Islam. Ada dua prasasti yang ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu berbahasa Sanskerta dan satunya lagi berbahasa Jawa kuno. Ini menunjukkan bahwa, kedua bahasa tersebut ternyata juga pernah berkembang di Bima. Selain prasasti, juga banyak terdapat naskah-naskah kuno yang ditulis di era Islam, sehingga bisa digunakan untuk mengungkap sejarah di era tersebut. Naskah kuno berbahasa Melayu tersebut menceritakan kehidupan sejak abad ke-17 hingga 20 M. Selain bahasa Melayu, sebenarnya bahasa Bima juga cukup berkembang, namun, bahasa ini belum mencapai taraf bahasa tulis. Bo Sangaji Kai, sebuah naskah kuno milik Kerajaan Bima yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu menceritakan bahwa, sejarah Bima dimulai pada abad ke-14 M. Ketika itu, pulau Sumbawa diperintah oleh kepala suku yang disebut Ncuhi. Pulau Sumbawa tersebut terbagi dalam lima wilayah kekuasaan Ncuhi: selatan, barat, utara, timur, dan tengah. Ncuhi 1



terkuat adalah Ncuhi Dara, wilayahnya disebut Kampung Dara. Struktur Ncuhi mulai mengalami perubahan ketika Indra Zamrud, anak Sang Bima diangkat menjadi Raja Bima pertama. Selanjutnya, Indra Zamrud menggunakan nama ayahnya, yaitu Bima untuk menyebut kawasan yang meliputi pulau Sumbawa tersebut. Indra Zamrud di tuha ro lanti atau dinobatkan menjadi Sangaji atau Raja yang pertama. Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara. Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo yang pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan lagi dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh Sangaji atau Raja. Dalam masa selanjutnya, Mbojo bukan hanya nama daerah, tetapi merupakan nama suku yang menjadi penduduk di Kabupaten Bima dan Dompu sekarang. Sedangkan Bima sudah menjadi nama daerah bukan nama suku. Pada masa kesultanan, suku Mbojo membaur atau melakukan pernikahan dengan suku Makasar dan Bugis. Sehingga adat istiadat serta bahasanya, banyak persamaan dengan adat istiadat serta bahasa suku Makasar dan Bugis. Dou Mbojo yang enggan membaur dengan suku Makasar dan Bugis, terdesak ke daerah Donggo atau pegunungan. Oleh sebab itu, mereka disebut Dou Donggo atau orang pegunungan. Dou Donggo mempunyai adat istiadat serta bahasa yang berbeda dengan dou Mbojo. Dou Donggo bermukim di dua tempat, yaitu disekitar kaki Gunung Ro’o Salunga di wilayah Kecamatan Donggo sekarang dan di kaki Gunung Lambitu di wilayah Kecamatan Wawo sekarang. Yang bertempat tinggal di sekitar Gunung Ro’o Salunga, disebut Dou Donggo Ipa (orang Donggo seberang), sedangkan yang berada di kaki Gunung Lambitu, disebut Dou Donggo Ele (orang Donggo Timur).



B. Masuk dan Berkembangnya Islam di Bima Para ahli sepakat bahwa masuknya islam atau kedatangan islam di indonesia berawal dari kontak antara penduduk setempat dengan orang-orang islam melalui perdagangan, kemudian ada di antara mereka yang bermukim atau sudah ada penduduk setempat yang memeluk agama islam meskipun jumlahnya kecil. Berkembangnya Islam atau Islamisasi adalah penyebaran Islam di suatu tempat atau dari satu tempat ke tempat yang lain melalui da’wah baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan sehingga terbentuk 2



masyarakat yang bercorak Islam. Konsep-konsep semacam itu semestinya dibedakan meskipun dalam banyak hal sulit ditarik batas yang tegas. Para penulis sejarah barat dan indonesia berpendapat bahwa agama islam masuk ke indonesia dibawa oleh orang arab sendiri. Prof Snouck Horgronye berpendapat bahwa agama islam masuk ke Indonesia dari India, dibawa pedagang-pedagang India yang telah memeluk agama Islam pada waktu itu. Menjelang masa disintegrasi Kerajaan Majapahit tumbuh bandar perdagangan seperti Gresik, Tuban dan Sedayu. Negeri tersebut selain menjadi pusat perdagangan juga menjadi penyiaran agama Islam di Jawa dan daerah-daerah sekitarnya. Bahkan jauh sebelum masa disintegrasi mubaliq Islam bernama Malik Ibrahim bersama temannya Muhammad Sadik langsung datang ke istana majapahit untuk mengajak Raja Majapahit memeluk agama Islam, tetapi ajakannya di tolak. Malik Ibrahim yang dikenal juga dengan nama Maulana Magribi kembali ke Gresik. Disana ia meninggal pada 12 Rabiul-awal 822 H. Pada masa selanjutnya penyiaran agama islam di pulau Jawa dilakukan oleh 9 orang wali atau sebutannya wali songo yakni: 1. Malik Ibrahim atau di Gresik



6. Sunan Kali Jogo di Adilangu dekat demak



2. Sunan Ampel di Surabaya



7. Sunan Kudus di Kudus



3. Sunan Bonang di Tuban



8. Sunan Murio di gunung Murio



4. Sunan Drajat di Sedayu



9. Sunan Gunung Jati di Cirebon Jawa Barat



5. Sunan Giri di Gresik Sunan Giri menjadi anak angkat seorang wanita terkaya di Surabaya. Ia belajar agama Islam pada Sunan Ampel, kemudian mendirikan keraton dan masjid di bukti Giri dekat Gresik. Maka tidak mengejutkan bila kota Gresik selain menjadi pusat perdagangan juga menjadi pusat penyiaran dan pengembangan agama Islam. Para pedagang Gresik khususnya sambil berdagang, mereka menyiarkan agama Islam sebagai pembawa misi Sunan Prapen anak Sunan Giri. Dr.E.Utrech dalam bukunya Sejarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok menulis: “Menurut Babad Tanah Lombok maka peng-islam-an pulau Lombok terjadi dibawah pemerintahan Sunan Prapen, putera Susuhunan Ratu Giri yang pernah menaklukan kerajaankerajaan Sumbawa dan Bima” 3



Mungkin bersumber dari Babad Tanah Lombok tersebut atau ada sumber lain sehingga Zollinger berkesimpulan bahwa agama Islam masuk di Kerajaan Bima sejak tahun 1450 atau 1540.



C. Periodesasi dan Letak Kerajaan Bima Selama berdirinya, Kerajaan Bima diperintah oleh 60 raja atau sultan. Pada masa islam terdapat 14 sultan. Ketika Jepang menyusup ke Indonesia, penguasa saat itu ialah Sultan Muhammad Sahuddin. Dia meninggal global pada 1951 dan kemudian digantikan oleh anaknya, Abdul Khair II nan lebih suka aktif di departemen dalam negeri dan parlemen dibandingkan dengan memerintah kerajaan. Setelah kematiannya, Raja Kerajaan Bima ini kemudian digantikan oleh putra sulungnya, Putra Feri Andi Zulkanain. Wilayah kekuasaan kerajaan termasuk Kepulauan Sumbawa dan daratan timur seperti Solo, Sawu, Solor, Sumba, Larantuka, Ende, Manggarai dan Komodo.



D. Dinasti Kerajaan Bima 1) 1640: Sultan Abdul Kahir I (Ma bata wadu) dinobatkan 1640 dan mangkat beberapa bulan setelah menjadi Sultan. 2) 1640-1682: Sultan Abdul Khair Sirajuddin (Mantau Uma Jati) 3) 1682-1687: Sultan Nuruddin, kuburannya di Tolobali. 4) 1687-1696: Sultan Jamaluddin (Sangaji Bolo). Tewas di penjara Batavia. 5) 1696-1731: Sultan Hasanuddin. Tewas di Tallo diberi gelar Mambora di Tallo. 6) 1731-1742: Sultan Alauddin, Manuru Daha. 7) 1742-1773: Sultan Abdul Qadim, Ma Waa Taho. 8) 1773-1795: Sultanah Kumalasyah (Kumala Bumi Partiga). Dibuang Inggris Ke Sailon Srilangka hingga mangkat. 9) 1795-1819: Sultan Abdul Hamid, Mantau Asi Saninu. 10) 1819-1854: Sultan Ismail, Ma waa Alu. 11) 1854-1868: Sultan Abdullah, Ma waa Adil. 12) 1868-1881: Sultan Abdul Azis, Ma Waa Sampela, meminggal diusia bujang.



4



13) 1881-1915: Sultan Ibrahim, Ma Taho Parange. 14) 1915-1951: Sultan Muhammad Salahuddin, Ma Kakidi Agama. Mangkat di Jakarta, pemakaman Karet. 15) 1945-2001: Sultan Abdul Kahir II, Ma Busi Ro Mawo, Jena Teke. Dianugerahi Sultan sebagai penghargaan oleh Majelis Adat saat mangkat 17 Juni 2001. (Catatan Alan Malingi).



E. Kerajaan Mbojo Bima Mengalami Kejayaan Pada masa pemerintahan sangaji Manggampo Jawa, di sekitar abad 14 M, kerajaan Mbojo Bima mengalami kemajuan yang amat pesat. Manggampo Jawa adalah putra sangaji Indra Terati dengan permaisuri yang berasal dari bangsawan Majapahit. Itulah sebabnya Manggampo Jawa menjalin kerja sama dengan Majapahit dalam membangun kerajaan. Dalam rangka meningkatkan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Manggampo Jawa mendatangkan para ahli dari Majapahit, dibawah pimpinan Ajar Panuli. Ajar Panuli dan kawan-kawannya, mengajarkan sastra jawa kepada para pembesar istana dan rakyat. Mulai saat itu, rakyat mengenal tulisan, Menurut ahli sejarah, pada masa itu pula sangaji Manggampo Jawa, merintis penulisan naskah kuno yang bernama “bo”. Sayang naskah kuno bo yang ditulis pada masa Manggampo Jawa, sudah tidak ada lagi. Bo yang merupakan sumber sejarah yang masih ada sekarang, berasal dari bo yang ditulis pada masa kesultanan. Selain berjasa dalam bidang sastra, Ajar Panuli berhasil memajukan ilmu teknologi. Ia mengajarkan cara pembuatan batu bata dan pembuatan keris serta tombak. Pada masa pemerintahan Batara Indra Luka putra Manggampo Jawa, hubungan dengan Majapahit masih terjalin dengan intim. Begitu pula pada masa pemerintahan sangaji Maha Raja Indra Seri, putra dari Batara Indra Luka. Ketika pemerintahan sangaji Ma Wa’a Paju Longge, putera dari Maha Raja a Indra Seri, hubungan dengan Majapahit terputus. Sebab pada saat itu Majapahit sudah mengalami kemunduran. Karena terjadi perang saudara yang berkepanjangan, setelah wafatnya Gajah Mada pada tahun 1364. Ma Wa’a Paju Longge yang, memerintah di sekitar abad 15 M, meningkatkan hubungan dengan kerajaan Gowa. Pada saat itu kerajaan Gowa, sedang berada dalam jaman kejayaan, di bawah raja Imario Gau Tumi Palangga. Ma Wa’a Paju Longge pergi ke Gowa untuk mempelajari ilmu pemerintahan dan ilmu-ilmu yang lain. Kemudian ia mengirim dua orang saudaranya, yang bernama Bilmana dan Manggampo Donggo ke Gowa. Sejak itu sistim politik pemerintahan, pertanian, pertukangan dan pelayaran serta perniagaan, mengikuti sistim yang berlaku di Gowa. Seni budaya Gowa ikut pula mempengaruhi seni budaya Mbojo Bima. Setelah sangaji Ma Wa’a Paju Longge mangkat, ada satu peristiwa yang menarik untuk dijadikan contoh bagi generasi muda. Menurut ketentuan 5



yang berlaku, apabila sangaji yang mangkat tidak mempunyai putera, maka yang menggantikannya adalah saudaranya yang tertua. Ketentuan itu terpaksa dilanggar oleh Bilmana dan Manggampo Donggo. Dengan penuh keikhlasan, Bilmana menyerahkan jabatan sangaji kepada adiknya Manggampo Donggo. Ia sendiri memegang jabatan Tureli Nggampo (perdana menteri). Hal ini dilakukan demi rakyat dan negeri. Karena Manggampo Donggo memiliki bakat dan keahlian untuk menjadi sangaji. Sedangkan Bilmana cocok untuk menjadi Tureli Nggampo. Kebijaksanaan ini diperkuat dengan sumpah yang bernama sumpah Bilmana dan Manggampo Donggo. Sejak itu keturunan Manggampo Donggo menjadi raja dan sultan. Sebaliknya, anak cucu Bilmana menjadi Tureli Nggampo atau Ruma Bicara. Manggampo Donggo bersama Bilmana, bahu membahu membangun kerajaan. Mereka berjuang tanpa kenal menyerah.



Sistim pemerintahan, disempurnakan dan disesuaikan dengan sistim yang berlaku di kerajaan Gowa. Selain sangaji dan Tureli Nggampo, diangkat pula tureli (menteri), jeneli (camat), gelara (kepada desa). Pelayaran dan perniagaan pun berkembang dengan pesat. Kapal dan perahu ditingkatkan jumlah dan mutunya. Mengikuti ilmu pelayaran dan perniagaan kerajaan Gowa. Perkembangan dalam bidang sastra dan seni budaya pun cukup cerah. Manggampo Donggo memperkenalkan aksara yang dipelajari dari Gowa. Aksara itu akhirnya menjadi aksara Mbojo. Manggampo Donggo melanjutkan penulisan Bo dengan aksara Mbojo. Seni budaya dari Gowa, dipelajari dan dikembangkan ditengah masyarakat. Sehingga lahir seni budaya Mbojo, yang banyak persamaan dengan seni budaya Makasar dan Bugis. Wilayah kekuasaan kerajaan Mbojo Bima, terbentang luas dari P. Satonda di sebelah barat sampai ke Alor Solor di sebelah Timur. Perluasan wilayah dilakukan oleh La Mbila putera Bilmana. Kejayaan kerajaan Mbojo Bima, terus bertahan sampai pada sangaji Ma Wa’a Ndapa mangkat, putera Manggampo Donggo disekitar abad 16 M.



6



F. Kerajaan Mbojo Bima Mengalami Kemunduran Setelah sangaji Ma Wa’a Ndapa mangkat, maka cahaya kejayaan kerajaan mulai redup dan akhirnya padam. Pasti ada dikalangan generasi muda yang bertanya keheranan. Kenapa terjadi petaka di kerajaan yang jaya dan besar itu ?. Apakah karena diserang oleh musuh dari luar atau karena ada pemimpin dan rakyat yang berkhianat ?. Timbulnya petaka bukan karena serangan musuh dari luar, tetapi karena ada musuh dalam selimut. Salah seorang putera raja Ma Wa’a Ndapa yang bernama Salisi berkhianat kepada don labo dana (rakyat dan negeri). Ia berambisi menjadi Sangaji. Untuk mewujudkan ambisinya, Salisi membunuh Sangaji Samara kakaknya sendiri. Kemudian, ia membunuh Jena Teke (putera mahkota) di padang perburuan mpori Wera. Walau demikian Salisi tidak berhasil mewujudkan cita-citanya. Majelis Hadat bersama seluruh rakyat mengangkat Sawo (Asi Sawo) menjadi Sangaji. Salisi bertambah kecewa, ia menunggu waktu yang tepat guna mewujudkan cita-citanya. Pada masa pemerintahan Sangaji Asi Sawo, untuk sementara waktu Salisi berdiam diri, guna menyusun kekuatan. Pada tahun 1605, Salisi menjalin kerja sama dengan Belanda di pelabuhan Ncake (wilayah desa Roka Kecamatan belo / Pali Belo sekarang). Kerja sama itu dinyatakan dalam satu perjanjian yang disebut perjanjian Ncake. Saat yang dinanti-nanti oleh Salisi tiba. Ketika Sangaji Asi Sawo mangkat, Salisi berusaha untuk membunuh putera Asi Sawo yang bernama La Ka’i, yang sudah diangkat oleh Majelis Hadat sebagai Jena Teke. Suasana istana dan seluruh negeri kembali kacau. La Ka’i bersama pengikut Iari meninggalkan istana. Pergi bersembunyi di desa Teke (Kecamatan Belo / Pali Belo sekarang), kemudian pindah ke dusun Kalodu yang berada di tengah hutan belantara. Dengan bantuan Belanda, untuk sementara Salisi berhasil menguasai istana. Kemarahan dan kebencian rakyat kepada Salisi kian berkobar. Mereka terus menyusun kekuatan untuk mengembalikan La Ka’i ke tahta kerajaan. Akibat ulah Salisi, akhirnya kerajaan Mbojo Bima mundur dan kacau. Rakyat menderita lahir bathin. Perjuangan seluruh sangaji dan rakyat pada masa lalu dikhianati Salisi yang bekerja sama dengan Belanda.



7



II.



Kerajaan Selaparang A. Letak



B. Sejarah Kerajaan Selaparang 1. Agama Islam dipercaya salah satunya (bukan satu-satunya), pertama kali datang ke Lombok dibawa dan juga disebarkan oleh seorang mubaligh yang berasal dari kota Bagdad, Iraq. Ia bernama Syaikh Sayyid Nururrasyid Ibnu Hajar al-Haitami yang dalam tradisi Masyarakat Pulau Lombok lebih dikenal dengan sebutan Ghaos Abdul Razak. Selain sebagai penyebar agama Islam, Ghaos Abdul Razak diberitakan juga sebagai cikal bakal dari munculnya sultan-sultan atau kerajaan-kerajaan di Pulau Lombok. Selain Ghaos Abdul Razak , juga dikenal tokoh berenama Betara Tunggul Nala (disebut pula Nala Segara) yang juga diyakini sebagai leluhur para Sultan di Pulau Lombok. Belum dapat diketahui secara pasti kapan tepatnya Ghaos Abdul Razak masuk ke Pulau Lombok. Namun, ada pendapat yang menyebutkan bahwa beliau datang ke Pulau Lombok sekitar tahun 600-an Hijriah atau permulaan abad ke-13 Masehi.Ghaos Abdul Razak ini kemudian mendarat di Lombok utara, menetap dan berdakwah di wilayah tersebut. Beliau diberitakan menikah dan memiliki tiga orang anak, yakni; Sayyid Umar (Datu Kerajaan Gunung Pujut); Sayyid Amir, (Datu Kerajaan Pejanggik); dan Syarifah Qomariah yang lebih dikenal dengan sebutan Dewi Anjani.



8



Ghaos Abdul Razak menikah lagi dengan putri Kerajaan Sasak yang kemudian melahirkan dua orang anak; Sayyid Zulqarnain (Syaikh ‘Abdul Rahman) atau disebut pula dengan Ghaos Abdul Rahman; dan seorang putri bernama Syarifah Lathifah yang dijuluki pula dengan Denda Rabi’ah. Sayyid Zulqarnain inilah yang diperkirakan kemudian menjadi pendiri dari Kerajaan Selaparang yang sekaligus pula sebagai Raja atau Datu pertama Kerajaan Selaprang bergelar Sulthan Rinjani.Nala Segara (Betara Tunggul Nala) dan Ghaos Abdul Razak, keduanya memang dipercaya sebagai penyebar agama Islam di lombok dan juga menjadi cikal bakal dari pendiri Kerajaan Selaparang. sebagain pendapat menyebut kedua tokoh ini adalah satu orang yang sama. 2. Selain dikatikan dengan perkembangan agama Islam, munculnya kerajaan Selaparang juga dihubungkan dengan Kerajaan pendahulunya yaitu Kerajaan Desa Lae’ (yang diperkirakan merupakan kerajaan tertua di Lombok) yang kemudian menjadi Kerajaan Pamatan lalu berlanjut ke Kerajaan Suwung hingga menjadi Kerajaan Selaparang. 3. Pendapat lainnya menghubungkan munculnya Kerajaan Selaparang akibat ekspedisi militer dari Kerajaan Majapahit tahun 1357 yang menghancurkan kerajaan-kerajaan di Lombok. Seorang bangsawan istana yang berhasil melarikan diri kemudian berhasil menggabungkan kekuasaan dan membentuk kerajaan baru bernama Batu Parang yang merupakan cikal bakal kerajaan Selaparang.



C. Dinasti-Dinasti Kerajaan Selaparang 



Sri Dadelantha (1630)







Pangeran Pemayangan (1648)



D. Periodisasi 



Pada tahun 1520 Kerajaan Selaparang di serang oleh kerajaan Gelgel dari Bali. Penyerangan ini berawal dari ketidaksenangan Gelgel melihat perkembangan kerajaan Selaparang yang kian pesat.







pada tahun 1624, tercapai kesepakatan dengan Gelgel melalui perjanjian Saganing, yang isinya antara lain Gelgel tidak akan bekerja sama dengan Belanda dan Gowa akan melepaskan perlindungannya atas Selaparang, yang dianggap halaman belakang Gelgel. 9







Pada tahun 1667, Gowa harus menerima perjanjian Bungaya







pada tahun 1668-1669, Gelgel berusaha memanfaatkan situasi dengan mengirimkan ekspedisi langsung ke pusat pemerintahan Selaparang.







Pada tahun 1622 Muncul kerajaan kecil yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan



E. Kejayaan Kerajaan Selaparang Selaparang merupakan pusat Kerajaan Islam di Lombok. Selaparang di bawah Pemerintahan Prabu Rangkesari. Pada masa itu Selaparang mengalami zaman keemasan, memegang, dan lain-lain. Konon Sunan Perapen meneruskan dakwahnya dari lombok terus ke Sumbawa. Selaparang juga mengembangkan hubungan antara Kerajaan Gowa dan Lombok dipererat dengan cara pernikahan seperti Pemban Selaparang, Pemban Pejanggik, dan Pemban Parwa. Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan yang tangguh, baik di darat maupun di laut. Laskar lautnya telah berhasil mengusir Belanda yang hendak memasuki wilayah tersebut sekitar tahun 1667-1668 Masehi. Namun demikian, Kerajaan Selaparang harus rnerelakan salah satu wilayahnya dikuasai Belanda, yakni Pulau Sumbawa, karena lebih dahulu direbut sebelum terjadinya peperangan laut. Di samping itu, laskar lautnya pernah pula mematahkan serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Gelgel (Bali) dari arah barat. Selaparang pernah dua kali terlibat dalam pertempuran sengit melawan Kerajaan Gelgel, yakni sekitar tahun 1616 dan 1624 Masehi, akan tetapi kedua-duanya dapat ditumpas habis, dan tentara Gelgel dapat ditawan dalam jumlah yang cukup besar pula.[7] Setelah pertempuran sengit tersebut, Kerajaan Selaparang mulai menerapkan kebijaksanaan baru untuk membangun kerajaannya dengan memperkuat sektor agraris. Maka, pusat pemerintahan kerajaan kemudian dipindahkan agak ke pedalaman, di sebuah dataran perbukitan, tepat di desa Selaparang sekarang ini. Dari wilayah kota yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. Dengan demikian, semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui. Wilayah ibukota Kerajaan Selaparang inipun memiliki daerah bagian belakang berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi, bertingkat-tingkat hingga ke



hutan



Lemor



yang



memiliki



sumber



mata



air



yang



melimpah.



Berbagai sumber menyebutkan, bahwa setelah dipindahkan, Kerajaan Selaparang mengalami kemajuan pesat. Sebuah sumber mengungkapkan, Kerajaan Selaparang dapat 10



mengembangkan kekuasaannya hingga ke Sumbawa Barat. Disebutkan pula bahwa seorang raja muda bernama Sri Dadelanatha, dilantik dengan gelar Dewa Meraja di Sumbawa Barat karena saat itu (1630 Masehi) daerah ini juga masih termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Selaparang. Kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yaitu sekitar tanggal 30 November 1648 Masehi, putera mahkota Selaparang bernama Pangeran Pemayaman dengan gelar Pemban Aji Komala, dilantik di Sumbawa menjadi Sulthan Selaparang yang memerintah seluruh wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa.



F. Keruntuhan Kerjaan Selaparang Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangga, yaitu Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari bagian barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Pulau Bali) secara bergelombang, dan selanjutnya mendirikan koloni di kawasan Kota Mataram sekarang ini. Kekuatan itu kemudian secara berangsur-angsur tumbuh berkembang sehingga menjelma menjadi kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan yang berdiri sekitar tahun 1622 Masehi. Kerajaan ini berdiri lima tahun setelah serangan laut pertama Kerajaan Gelgel dari Bali Utara atau dua tahun sebelum serangan ke dua yang dapat ditumpas oleh pasukan Kerajaan Selaparang. Namun, bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tibatiba adalah kekuatan asing, yakni Belanda, yang tentunya sewaktu-waktu dapat melakukan ekspansi militer. Kekuatan dan tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Oleh sebab itu, sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan laskar kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.



11



III.



Perjanjian Bongaya perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya antaraKesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan phial Hindia Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman. Meski disebut perjanjian perdamaian, isi sebenernya adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahanmonopoli oleh VOC unto perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar (yang dikuasai Gowan).



 Dampak perjanjian Bongaya 1. Voc menguasai monopoli perdagangan di sulawesi selatan dan sulawesi tenggara. 2. Aru palaka dikukuhkan sebagai raja Bone. 3. Makassar harus menyerahkan seluruh bentengnya. 4. Makassar harus melepas seluruh daerah bawahannya. 5. Makassar harus membayar biaya perang dalam bentuk hasil bumi ke VOC



12



LAMPIRAN



Istana Kesultanan Bima Tahun 1900 Sultan M. Salahuddin (1920-1943)



Kebesaran kerajaan Bima di Museum Asi Mbojo



Peta letak Kerajaan Bima



13