Sejarah Gereja Pulau Nias [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Banua Niha Kriso Protestan (disingkat BNKP) adalah sebuah kelompok Gereja Kristen Protestan yang ada di Pulau Nias, Sumatera Utara. Kantor Pusat Sinode BNKP berada di Jl. Sukarno No. 22, Gunung Sitoli, Nias – Sumatera Utara 22813.[1]



Sejarah Agama Kristen pertama-tama dibawa ke pulau Nias oleh misi Katolik dariPerancis, yaitu Missions Etrangers de Paris, namun pekerjaan itu berlangsung singkat saja, dari 18321835.[1] Masuknya berita Injil melalui Misi Protestan ke Pulau Nias dimulai pada tahun 1865 oleh penginjil Jerman, E. Ludwig Denninger dari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) pada tanggal 27 September 1865. Tanggal 27 September ini dijadikan sebagai "Hari Yubelium BNKP". [2]



Badan misi ini untuk sementara waktu dikirimkan dari Kalimantan. Pada saat itu penduduk



pulau itu memeluk agama leluhur.[3] Hingga tahun 1900, ketika pemerintah kolonial Belanda masuk, pertumbuhan gereja di sana berlangsung lambat sekali. Baptisan pertama dilakukan pada 1874. Sekitar 15 tahun kemudian (1890), jumlah orang Kristen yang telah dibaptis baru mencapai 706 orang. Jumlah ini bertambah hingga 20.000 orang pada 1915. Dari 1915-1920 komunitas Kristen di Nias mengalami kebangunan rohani yang besar, sehingga terjadilah pertumbuhan yang sangat pesat. Pada tahun 1921 sudah 60.000 orang dibaptiskan pertambahan sejumlah 40.000 orang hanya dalam waktu lima tahun. Pada tahun 1936 Sinode BNKP yang pertama dibentuk dan hingga tahun 1940 dipimpin oleh seorang misionaris Jerman. Kebangunan rohani berikutnya (1938-1942, 1945-1949) tidak hanya melahirkan pertumbuhan tetapi juga perpecahan gereja (Fa’awösa khö Geheha and Fa’awösa khö Jesu). Sementara itu di Nias berkembang pula Gereja Advent dan Gereja Katolik Roma. Namun BNKP tetap merupakan Gereja terbesar, yang mencakup 60% dari seluruh penduduk. Oleh karena itu, Gereja ini merupakan faktor yang penting dalam berbagai segi kehidupan masyarakat di pulau itu. Gereja ini boleh dikatakan mempersatukan masyarakat Nias menjadi satu kesatuan etnik dan bahasa. Bahasa Nias utara dijadikan bahasa Alkitab dan Gereja. Alkitab lengkap dalam bahasa Nias diterbitkan pada 1913. Saat ini, dari sekitar 800.000 penduduk, sekitar 73% beragama Kristen Protestan, 18% Katolik Roma, dan 7% beragama Islam, sementara sisanya memeluk agama leluhur. BNKP kemudian meluas sampai ke seluruh pelosok desa bahkan di kota-kota besar Indonesia, seperti Medan, Padang, Pekanbaru, Batam, Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota kecil lainnya.[2]



Makna nama[sunting | sunting sumber]



Makna dan arti BNKP "Banua Niha Keriso Protestan" adalah persekutuan orang-orang kudus yang telah dibabtis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus, sebagai perwujudan nyata dari tubuh Kristus. BNKP mengaku bahwa Yesus Kristus adalah TUHAN dan Juruselamat dunia, Raja Damai, Kepala semua pemerintahan dan penguasa serta Kepala Gereja yang disaksikan di dalam Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru).[2



Galery Logo[sunting | sunting sumber]



Gereja berdiri sendiri (1930/40) Setelah gerakan kebangunan mereda, para zendeling mulai memikirkan kemandirian gereja. Pada tahun 1936 selesailah mereka merancangkan tata gereja. Lalu diadakan sinode Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) yang pertama (November 1936). Sinode itu menerima tata gereja yang telah dirancangkan. Keinginan Pengurus RMG di Barmen supaya semua pekabar Injil bangsa Eropa otomotis menjadi anggota sidang sinode dipenuhi; sebaliknya para zendeling menolak permintaan orang Kristen Nias, agar setiap distrik gereja diperbolehkan mengutus seorang tokoh masyarakat (seorang kepala suku) ke sinode sebagai anggota yang berhak penuh. Pada tahun 1940, semua zendeling bangsa Jerman ditawan oleh gubernemen (§ 41,42). Maka fungsi ketua sinode (Ephorus) diambil alih oleh serang pendeta Nias, bernama Atefona Harefa. pada tahun 1942, para pendeta Belanda yang telah menggantikan orang Jerman yang ditawan itu diinternir pula oleh penguasa Jepang. Maka gereja harus benar-benar berdiri sendiri. Barulah pada tahun 1951 seorang utusan zending dari Jerman (seorang dokter) kembali bekerja di Nias, disusul oleh sejumlah orang Eropa yang lain. Namun, kedudukan mereka ini berbeda dengan kedudukan para zendeling sebelum perang: mereka mendapat status "penasihat".



Gerakan kebangunan baru Setelah kebangunan mereda, rasa rindu akan terulangnya pengalaman yang hebat itu tidak pernah hilang lagi. Dalam tahun ´30-an, dan terutama pada masa perang yang penuh sengsara itu, timbullah gerakan-gerakan baru yang serupa. Hanya, yang menjadi pusat perhatian dalam gerakan-gerakan ini bukanlah pengampunan dosa, melainkan karunia-karunia Roh dan mukjizat-mukjizat. Terdapat karunia bercakap-bercakap dengan bahasa roh (karunia lidah); di dalam ibadah orang secara mendadak mulai gemetar atau berseru-seru (gejala ekstase). Daripada memperkuat persekutuan gereja, gerakan-gerekan ini mengoyak-ngoyakkannya, sebab menjadi biang perpisahan. Gelombang pertama gerakan kebangunan telah menjadikan BNKP sebagai gereja-rakyat di Nias, tetapi gelombang berikutnya merusak kesatuan gerejawi di pulau itu. Gereja-gereja di samping BNKP Pada tahun 1933 gerekan Fa´awosa (=persekutuan) mulai memisahkan diri dari pimpinan zending (kemudian BNKP), karena penganutnya menganggap harus mematuhi suara yang langsung diterimanya dari Roh lebih daripada aturan gerejawi. Setelah melepaskan diri dari induk maka kelainan-kelainan yang muncul tidak mungkin lagi diimbangi pengaruh dari saudara Kristen yang berpendapat lain; akibatnya dalam gerakan Fa´awosa itu (yang kemudian pecah menjadi beberapa kelompok) unsur-unsur agama Kristen semakin tercampur dengan unsur-unsur Islam dan agama suku. Pada tahun 1946 berdirilah kelompok lain, yaitu Angowuloa Masehi Idanoi Niha (kemudian namanya diubah menjadi: Agama Masehi Indonesia Nias, kemudian lagi: Gereja Angowuloa Masehi Indonesia Nias, AMIN juga). Akar perpecahan ini bukanlah gerakan kebangunan, melainkan soal wewenang para kepala suku di dalam gereja, yang muncul pada tahun 1936 itu. Dalam gereja AMIN pengaruh kepala suku itu besar. Hal ini mengingat kita akan bentuk gereja dalam lingkungan suku-suku German di Eropa (tahun 500-1000). Pada tahun 1950 sekali lagi segolongan orang Kristen di Nias Barat memisahkan diri dari BNKP, dengan nama Orahua Niha Keriso Protestan (ONKP). Dalam hal ini soal kedaerahan memainkan peranan disamping unsur kebangunan. Di Nias Selatan, unsur kedaerahan itu ditampung juga oleh misi Katolik Roma, yang mulai bekerja di situ pada tahun 1939. Baik ONKP maupun gereja Katolik Roma kemudian meluas ke seluruh wilayah pulau Nias sambil menyaingi BNKP. Namun, pada akhir abad ke-20 BNKP tetap merupakan gereja mayoritas penduduk Nias,



dengan jumlah anggota ± 325.000 (60% penduduk pulau Nias). Di antara gereja-gereja yang telah memisahkan diri dari BNKP, tiga telah diterima menjadi anggota PGI, yaitu AMIN (18.000 anggota), ONKP, dengan 60.000 anggota, dan Gereja Angowuloa Fa´awosa Kho Yesu (AFY, 32.000 anggota). Gereja Katolik Roma di Nias berjumlah 90.000 jiwa.



kepulauan Batu, Mentawai Penduduk kepulauan Batu sebagian besar terdiri dari suku yang serumpun dan sebahasa dengan penduduk Nias. Usaha pekabaran Injil dimulai pada tahun 1889 oleh Lembaga pI Lutheran di Negeri Belanda (§ 30). Pada masa perang, gereja di situ berdiri sendiri di bawah pimpinan seorang kepala suku; seusai perang orang Kristen di Kepulauan Batu bergabung dengan BNKP. Mengenai permulaan karya pI di Mentawai terdapat kisah sebagai berikut. Menjelang tahun 1900, pimpinana RMG di Barmen mendapat kiriman sebilah tombak, yang disertai surat dari syahbandar Padang (seorang Belanda), "Dengan tombak ini orang Mentawai telah membunuh seorang awak kapal dagang. Penduduk pulau itu masih orang kafir yang buas semua. Masih berapa lama lagi sampai mereka sempat medengar Injil?" Dengan demikian RMG tergugah untuk mengutus seorang zendeling, August Lett (1901). Ia ini dibunuh pada tahun 1909, pada saat hendak mengantarai pertempuran yang mengancam antara penduduk Mentawai dengan pasukan Belanda (bnd. § 39). Dengan bantuan guru-guru serta pendeta-pendeta Batak, di masa kemudian berhasil didirikan sejumlah jemaat. Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM) berdiri sendiri pada tahun 1968. Walaupun dihimpit oleh usaha yang kuat dari pihak Islam dan misi KR, namun kini (1997) gereja ini meliputi 75% penduduk Mentawai, yaitu 24.000 jiwa lebih.



GUGUSAN TENGAH KEPULAUAN MENTAWAI Salah satu kecamatan di Kepulauan Mentawai, adalah Kecamatan Sipora dengan ibu Kecamatan Sioban, merupakan daerah garapan missi Kristen, baik dari keuskupan Padang atau dari sinoda Protestan di bawah koordinasi GKPM (Gereja Kristen Protestan Mentawai). Selain itu di sini juga terdapat sekte penginjilan kecil dari kelompok gereja Pantekosta. Sekte ini tidak mendapat tempat berpijak yang baik di Kepulauan Mentawai. Hal ini



disebabkan tidak adanya izin operasi dari GKPM yang berpusat di Pagai Utara-Selatan (Sikakap). KEGIATAN GEREJA KATOLIK Kegiatan ini umumnya dikelola dari Sikakap. Pada awal tahun 1988 ada kegiatan mendirikan pastoran Katolik (paroki) di Sioban. Antara tahun 1985 1990 terlihat adanya kronologis gerakan keuskupan Padang, dalam menggarap daerah ini, antara lain : September 1985 Antara 17 25 September 1985 Uskup Mgr. Raimondo Bergamin Sx. (bergelar Petrus) dari keuskupan Padang, telah mendatangi daerah ini dan melakukan kegiatan penataran terhadap pemuda pemuda Katolik di Sipora, dan melakukan inspeksi langsung ke gereja gereja yang terbesar di Kecamatan Sipora. Tercatat program terpenting dari keuskupan Padang, antara lain : 1. Menghidupkan kembali jemaat Katolik (dalam catatan mereka pihak missi Katolik, jemaat Katolik banyak berpindah ke Protestan). 2. Pembinaan sekolah sekolah dengan biaya dari keuskupan Padang. 3. Menjadikan Sioban sebagai satu sentra kegiatan pastoran Katolik Sipora, dalam menangani perkembangan missi Katolik di gugusan tengah Kepulauan Mentawai. Nopember 1985 Desa Tuapejat, di mana penduduk aslinya sebagian telah beragama Islam (pembinaan dimulai tahun 1979), pada bulan ini telah mendirikan sebuah gereja Katolik. Desember 1985 Tepatnya 7 Desember 1985, kunjungan pastor Martinus Stm. dari keuskupan Padang sampai ke pedalaman Sipora untuk menyampaikan pesan Natal. Januari 1986 Pastor pastor dari Sikakap (paroki Sikakap) dan pastoran Sioban, mengunjungi daerah daerah pantai barat Sipora, terutama dari desa Boshua dan desa Berioulou. Maret 1986 Paroki Mentawai di Sikakap mengadakan pendidikan khusus (recrute) terhadap pemuka pemuka masyarakat penduduk asli Mentawai, serta pembantu pembantu pendeta di gereja gereja Katolik Sipora dan mengangkat 18 orang calon pendeta Mentawai Sipora. Juli 1986 Paroki Sipora diperkuat dengan 2 orang pastor berkebangsaan Itali. November 1986 Pembangunan SD Katolik Santo Yosep di Kompleks Paroki Sioban (Sipora) yang dimulai November 1986 dan pada tahun itu juga diresmikan pemakaiannya.



Secara umum antara tahun 1985 1986, banyak sekali kunjungan yang dilakukan para pastor Katolik ke desa desa pedalaman Sipora secara teratur setiap bulan hingga Oktober 1989. KEGIATAN GEREJA PROTESTAN Zending Protestan yang dikoordinasi dengan baik oleh GKPM (Gereja Kristen Protestan Mentawai) yang berpusat di Sikakap, bekerja sama dengan MPG (Majelis Permusyawaratan Gereja) yang berkedudukan di Sioban (Sipora). Setiap tahun diadakan Sinoda (sidang besar) membahas program tahunan rencana gereja Protestan di Sipora. Sejak tahun 1985, dapat dicatat gerakan Protestan yang terarah sebagai berikut : September 1985 Diadakan sinoda besar di Sipora, berisikan program kerja untuk tahun 1985 1989, sekaligus pemilihan Eporus (pimpinan ummat Protestan) yang baru untuk Kepulauan Mentawai yang berkedudukan di Sipora. Oktober 1985 Pendeta Melky dari GKPM Sikakap, mengadakan upacara pemandian (pengkristenan) penganut Protestan yang baru di Sipora. Diiringi dengan pembagian buku buku pegangan gereja dan pakaian pakaian untuk pengikut baru. Gereja Protestan Pantekosta mengangkat pendeta baru di Sipora yaitu pendeta Nainggolan. Untuk kegiatan Protestan di kepulauan ini dipimpin oleh pendeta pendeta dari Siantar, juga dibina dan diperkuat oleh pendatang pendatang baru dari Tapanuli Utara. November 1985 Pada tanggal 28 November 1985 pimpinan gereja gereja Protestan se Kecamatan Sipora mengadakan rapat penyambutan Natal, terutama untuk daerah resort Boshua dan Sioban. Desember 1985 Pedagang kredit mendatangi desa desa terpencil sampai ke pedalaman. Mereka adalah penginjil penginjil gereja Protestan, terutama dari jemaat Pantekosta. Pemberian kredit tidak hanya terbatas pada pakaian dan makanan, tetapi juga uang kontan untuk keperluan penduduk pedalaman. Sasaran utama kegiatan ini adalah daerah pantai barat yang merupakan daerah yang padat penduduk aslinya. Januari 1986 Penempatan besar besaran pendeta Protestan di Kepulauan Mentawai dengan kerja sama GKPM danm GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) atas bantuan Asia Kiishii (Jepang). Mulai tahun 1986 tercatat pemimpin pemimpin gereja Protestan di Sipora antara lain : Pendeta Philippus (bertugas di sektor Saibi resort Boshua) Sipora. Pendeta Sum Sumailing yang sebelumnya bertugas di Siberut, dipindahkan ke Sikakap menempati pos Tubekked, merupakan daerah yang terbanyak ummat Islam di Sikakap/Pagai Selatan. Pendeta Nikodemus Simalinggai memimpin daerah Siberut di utara Kepulauan Mentawai. Pendeta



Melky dibantu oleh Pendeta Mika memimpin Eporus GKPM berkedudukan di Sikakap (ibu kecamatan Pagai Utara-Selatan). Kegiatan mutasi ini ditunjang dengan operasi KM. Lutsabei (satu satunya kapal missi Protestan yang beroperasi secara tetap dari Siberut ke Sipora lalu ke Sikakap) dan menghubungkan ketiga gugusan Kepulauan Mentawai dengan Kepulauan Nias (Tello). Pebruari 1986 Penempatan Pendeta Sarce asal Maluku tamatan Sekolah Tinggi Theologi Jakarta, sebagai koordinator gerakan Protestan di Mentawai. April 1986 Pendeta Sum Sumailing yang pada bulan Januari 1986 ditetapkan di Tubbekked (Pagai Selatan) ditarik ke resort Boshua. Resort Boshua menjadi tumpuan harapan Protestan di pantai barat Sipora. Tubbekked tidak mungkin dikembangkan, karena di sini ummat Islam dominan. Juli 1986 Rumah sakit GKPM yang terdapat di kompleks Gereja Protestan Sioban (berpusat di Boshua) yang telah beroperasi sejak 1985, terpaksa dihentikan karena kekurangan obat obatan dan pengaruh yang mulai kuat dari ummat Islam daerah Boshua ini (hasil binaan tamatan Darul Fallah Bogor). November 1986 Persiapan Sermon Natal 1986 diadakan dengan pertemuan dengan gereja Protestan di resort Sioban/Boshua, diikuti oleh seluruh pendeta pendeta Protestan se-Kecamatan Sipora. Secara umum kegiatan missi Protestan ini didukung oleh pendatang dari Tapanuli Utara (Batak) dan Nias yang sampai tahun 1989 berjalan pesat atas bantuan kapal kapal Jepang yang menjemput kayu di kepulauan ini. PROGRAM TRANSMIGRASI Pada tanggal 31 Januari 1987, rombongan transmigrasi dari Jawa Barat (63 KK = 293 jiwa), dari Jawa Tengah (66 KK = 242 jiwa), dari Jawa Timur (75 KK = 296 jiwa) sampai di desa Tuapejat (Sipora). Dalam rencana penempatan transmigrasi ini tidak hanya diutamakan pendatang dari Jawa, tetapi juga diberikan kesempatan kepada pendatang lokal, termasuk dari Tapanuli Utara. Penempatan kedua telah dimulai 14 Pebruari 1987 dengan jumlah yang tidak diketahui dengan pasti. Jumlah peserta transmigrasi ini tidak nenampakkan data data pasti berapa jumlah penganut Kristen dan Islam. Suatu hal yang pasti adalah bahwa dalam waktu yang tidak begitu lama terjadi pembauran langsung antara penduduk asli dengan pendatang. Suatu pengalaman membuktikan bahwa penduduk asli akan dipengaruhi dengan cepat oleh keyakinan yang dominan dari lingkungannya. Tidak dapat disangkal bahwa, jika para transmigrasi yang masuk ke daerah ini adalah pengikut pengikut Kristen yang taat, maka gerakan Salibiyah di Kepulauan Mentawai akan



lebih meningkat dari keadaan sebalumnya. Tahun 1989, terlihat bahwa dugaan semula (1987) belakangan ternyata terbukti. Perkiraan ini ditunjang dengan persiapan pihak keuskupan Padang (Katolik) yang sejak tahun 1985, telah membeli sebidang tanah yang terletak di desa Tuapejat seluas 2 ha yang akan digunakan sebagai tempat pembangunan gereja Katolik dan rumah sakit. Pada tahun 1989 telah dimulai rencana pembangunannya. Pemilihan lokasi yang tepat karena berada di lingkungan daerah transmigrasi yang akan dikembangkan itu, akan mempermudah gerakan kristenisasi ala Pasaman Barat tepatnya di Kinali dan Kapar/Koto Baru dan peristiwa ini terulang di Tuapejat, Sipora. Basis Kegiatan Protestan Sejak awal, Sipora merupakan basis kegiatan zending Protestan. Di kepulauan ini terdapat sekolah zending Protestan pertama untuk Kepulauan Mentawai, yang terletak di Sagitici’, Mara, Saureinu, dan Sioban. Rumah sakit zending Protestan yang pertama di daerah ini didirikan pada tahun 1960, di bawah pimpinan Pendeta Ecker dari Jerman. Dan pada tahun 1990 dipimpin oleh Felix putra Mentawai yang dididik di Siantar, bertempat tinggal di Saureinu yang merupakan tempat rumah sakit zending Protestan beroperasi. Pada masa 1990, kegiatan Protestan untuk Kepulauan Sipora, lebih banyak digerakkan oleh kaum ibu, dipimpin oleh Hammoria Sitorus dari Tapanuli atau lebih dikenal dengan sebutan ibu Bijbel. Dialah penggerak utama ibu ibu Protestan di seluruh Kepulauan Mentawai. Dari segi dana dan peralatan, zending memiliki sarana yang cukup, yaitu: a) Yang dimiliki oleh jemaat Pantekosta yaitu : 32 buah boat Ebeneizer, 6 PK, 5 buah boat 25 PK, yang dimiliki oleh zending Protestan pada daerah daerah binaan mereka di Berioulou 1 buah boat 9 PK, di Betumongga 1 buah boat 6 PK dan di Pogari 1 buah boat 12 PK. b) Menguasai perdagangan sampai ke pedalaman dengan sistem kredit ringan dengan modal dari gereja. Akibat yang dirasakan adalah makin terjepitnya pedagang tradisional dari Tanah Tepi, bahkan kehilangan ruang gerak sama sekali. Kesatuan gerakan zending Protestan di kepulauan ini diorganisir secara rapi sekali, dengan prinsip sama sama bekerja dan kontrol yang ketat, modal mereka yang mendasar dalam menjalankan usaha zending mereka. Untuk Kepulauan Sipora, mereka membagi daerah menjadi tiga resort, yaitu: 1). Resort I di Sioban, pusat Kecamatan Sagitci dan Matobe. 2). Resort II di Boshua, sebelah selatan meliputi daerah daerah Boshua, Berioulou dan Betumongga di pantai barat Sipora. 3). Resort III di Tuapejat, yang diadakan setelah daerah ini dibuka sebagai daerah transmigrasi, melipui Tuapejat, Mapadegat dan Berimanua. Sipora, dalam bahasa asli Mentawai di selatan atau bahasa Sikalagan yang meliputi daerah Sipora dan Sikakap (Pagai), berarti si (kata sandang) dan pora (sisa sisa atau sampah).



Maka Sipora dalam bahasa asli Mentawai adalah tumpukan sisa sisa sampah, telah menjadi sasaran utama missi dan zending Protestan dan Katolik, menjadi daerah rebutan, sejak awal abad 20. Akan tetapi kegiatan di Sipora, mengalami masa pesat pesatnya sejak tahun 1950. Pada tahun 1990, perimbangan penganut agama di Sipora terlihat sebagai berikut : Protestan 75 %, Katolik 10 %, dan Islam 15 %. Walaupun data ini tidak didukung oleh sensus yang aktual, akan tetapi data ini dianggap mendekati kebenaran, mengingat pelaksanaan sensus yang terpercaya sulit dilaksanakan. Pendeta Protestan pertama yang menetap di Sipora sejak 1960 berasal dari Tapanuli (Batak). Kemudian berturut turut dialihkan kepada pendeta asli Mentawai, seperti Pendeta Immanuel Sikarebau (asal Siberut Utara) dan Pendeta Mika (asal Sikakap). Gerakan Missi Katolik Katolik mulai menapakkan kaki di daerah Sipora sejak tahun 1958, dipimpin oleh Pastor Monacci dari Italia, pastor dari keuskupan Padang yang sangat aktif. Antara 1967 1978 ia bertugas di Pasaman Barat dan tahun 1990 bertugas di Siberut. Kegiatan mereka sangat pesat dan mencengangkan, juga penyiapan sarana sarana yang intensif. Di Sioban mereka telah menyiapkan sebuah kompleks paroki (pastor Katolik) yang lengkap. Kegiatan ini ditunjang dengan sarana angkutan air yang memang sangat mutlak untuk membina secara menyeluruh di Kepulauan Mentawai, yaitu 2 buah boat pastoran 40 PK dan 2 buah boat 25 PK, yang beroperasi melingkari daerah daerah binaan Katolik yang intensif, seperti : a) Sioban, dengan kegiatan kegiatan: kompleks Paroki, selesai dibangun tahun 1987 dan terus disempurnakan pembangunannya, asrama putra putri Mentawai dari pedalaman, Sekolah Dasar Santo Yosep, Sekolah Perawat Kesehatan yang dipimpin oleh Pakpahan, kegiatan pertukangan kayu dan perbengkelan yang dipimpin oleh Broeder Peruco dari Italia dan asrama pelajar putri SD Santo Yosep. b) Sagitci (di selatan Sioban), walaupun sampai tahun 1990 belum ada penganut Katolik, akan tetapi menjadi daerah sasaran missionaris melalui bantuan Delsos (delegasi sosial, Yayasan Prayoga Padang). Hal ini merupakan kegiatan yang rapi dan strategis untuk kegiatan missionaris masa datang. c) Matobe (di utara Sioban), sejak tahun 1958 merupakan daerah rebutan yang intensif gerakan missonaris Italia ini. Pada tahun 1990 terdapat 40 KK yang menganut Katolik. Walaupun di sini belum ada gereja Katolik, akan tetapi kegiatan gereja dilaksanakan di Sioban. Antara Matobe dan Sioban dapat ditempuh berjalan kaki. d) Boshua, daerah paling selatan Kepulauan Sipora, di sini terdapat dua gereja Katolik, yang paling sering dikunjungi oleh pastor Italia dari Sioban. Keadaan tanahnya yang subur serta masyarakatnya yang tergolong maju menjadi incaran missionaris. e) Berioulou, bersebelahan dengan Boshua di selatan Sipora, terdapat sebuah gereja Katolik yang baru (1980). Pembinaan ummat Katolik di sini dianakkandungkan dari daerah daerah



lainnya. Setiap bulan ada kegiatan hiburan berupa pemutaran pemutaran film Yesus dan pagelaran band pastoran. Bantuan Delsos ke Berioulou ini merupakan bantuan terbesar untuk ukuran Sipora. Di sini dibangun jaringan pipa air untuk seluruh penduduk dengan biaya sebesar Rp 10.000.000, , yang pekerjaannya dimulai sejak awal 1989 dan selesai tahun 1990. f) Tuapejat (daerah pembangunan transmigrasi). Daerah ini baru dimasuki tahun 1987, semula tidak ditemui yang beragama Katolik. Akan tetapi pada tahun 1989 sudah 10 % penduduk yang beragama Katolik, walaupun masih berada di bawah pengawasan KUPT (Kepala Urusan Penempatan Transmigrasi) Tuapejat. Di sini terdapat sebuah gereja Katolik yang masih darurat, namun sudah ada persiapan untuk pembangunannya di masa datang. Di sini berdiam seorang pendeta dari Ambon Domittan atau bergelar Paneinei. Sarana sarana Zending Protestan Sebagaimana tertulis di awal, Sipora merupakan basis kegiatan zending Protestan untuk Mentawai. Seiring dengan masuknya missionaris Katolik, maka zending Pantekosta juga mengarahkan missinya ke Sipora. Perimbangan kekuatan zending Protestan di Sipora tahun 1990 dapat dikemukakan sebagai berikut : a). Sioban (pusat kecamatan), termasuk daerah resort I pengembangan zending Protestan di Sipora. Di daerah Tukkuman terdapat sebuah gereja Protestan yang cukup besar dan bagus, salah satu dari gereja tertua yang dibangun tahun 1960. Ada juga sebuah rumah sakit GKPM (Gereja Kristen Protestan Mentawai) yang dipimpin Pendeta Felix (asal Mentawai). Di sini juga terdapat sebuah gereja Pantekosta yang dibangun tahun 1990 dekat kompleks masjid Nurul Iman Sioban yang dipimpin Pendeta Purba dari Tapanuli. b). Matobe, pada tanggal 17 Agustus 1988 diresmikan sebuah gereja Protestan dengan pengikut sebanyak 60 KK yang dipimpin oleh pendeta Daniel. c). Sagitci, termasuk daerah binaan Protestan resort I (Sioban). Di sini terdapat 80 KK beragama Protestan dan terdapat sebuah gereja Protestan. Sebuah gereja Pantekosta juga baru didirikan (1990), di bawah asuhan pendeta Purba, dengan jumlah pengikut sebanyak 10 KK. d). Boshua, merupakan pusat kegiatan Protestan resort II. Di sini terdapat 4 buah gereja Protestan dan sebuah gereja Pantekosta yang dipimpin oleh pendeta Pasalmen. e). Berioulou, termasuk daerah kegiatan Protestan resort II. Di desa ini terdapat satu buah gereja Protestan dan sebuah gereja pantekosta yang dulunya dipimpin oleh pendeta Johannes dari Nias. Pendeta ini pada tahun 1989 diusir oleh pemuda pemuda desa karena berbuat asusila (lacur) dengan seorang jemaatnya ). f). Betumongga (di pantai barat), termasuk daerah nelayan yang ramai dan daerah pertanian kelapa yang subur. Di daearh ini terdapat dua buah gereja Protestan yang terletak di dusun Taraet dan Betumongga (= ombak berdebur). g). Berimanua, sebagaimana Betumongga, daerah ini juga ramai dengan nelayan. Daerah ini termasuk resort III (Tuapejat) dalam sektor pembinaan Protestan Sipora. Berimanua adalah penghasil ikan yang utama untuk Kepulauan Sipora. Di sini terdapat sebuah gereja Protestan yang dipimpin Pendeta Martin dari Sikakap. h). Tuapejat, desa ini terletak di semenanjung sebelah utara Sipora, merupakan pusat



pembinaan Protestan resort III. Pembinaan di daerah ini sangat gencar dilaksanakan, lebih lebih setelah daerah ini dipilih sebagai daerah penempatan transmigrasi. Mengikut riak pada gelombang. Di sini terdapat sebuah gereja Protestan yang dipimpin oleh Pendeta Tepanus (Paneinei = orang gereja). Pada 1990 mereka mengumpulkan bahan bahan bangunan untuk membangun sebuah gereja yang besar di lokasi perusahaan perkayuan PT. Bhara Union. Kegiatan zending Pantekosta juga sangat pesat, dipimpin oleh Pendeta Pasalmen, walaupun kegiatan gereja masih dilakukan di rumah jemaat mereka yang sekaligus dijadikan tempat tinggal Pendeta Pasalmen. i). Mapadegat, termasuk ke wilayah Tuapejat, berpenduduk 80 % Protestan. Terdapat sebuah gereja Protestan. Tahun 1990 zending Pantekosta baru memasuki daerah ini, hanya ada beberapa pengikut saja. Karena itu belum memiliki gereja. Tuapejat termasuk resort III yang paling akhir dikembangkan oleh zending Protestan di Sipora, sesuai dengan pengembangan daerah ini. Akan tetapi kegiatan di daerah ini sangat menonjol dibandingkan daerah lainnya, seperti Boshua dan Berioulou di Selatan. Secara geografis, Tuapejat merupakan daerah semenanjung paling utara pulau Sipora, berdekatan dengan daerah selatan Siberut yaitu Taileleu yang menjadi pusat kegiatan Protestan di Siberut Selatan. Sebagaimana halnya juga daerah Boshua atau Berioulou yang merupakan daerah paling selatan dari pulau Sipora, yang merupakan basis pengembangan zending Protestan yang amat berdekatan dengan daerah paling utara Pagai Utara, sehingga dengan cepat bisa menjangkau semenanjung Baga atau Mapinang di pulau Pagai Utara yang juga daerah binaan Protestan. Sepintas kita perhatikan, bahwa pemilihan daerah daerah pengembangan zending ini pastilah bukan secara kebetulan, melainkan melalui suatu perencanaan yang baik sebelumnya. Penyiapan daerah ini untuk jangka panjang, amat strategis, apalagi ditunjang oleh dana dan forces yang memadai, bahkan melebihi ukuran sekedar mencukupi bagi suatu missi pengembangan agama semata. Di dalamnya terlihat bayangan potensi ekonomi dan politik untuk jangka panjang. Suatu contoh konkrit, semenanjung Tuapejat yang dijadikan daerah pengembangan resort III Protestan Sipora, pada 1986 atau setahun sebelum program transmigrasi dijalankan, 29 Januari 1987, kelompok pendeta Jerman membeli tanah atas nama GKPM (Gabungan Kristen Protestan Mentawai) seluas ± 3 ha, memanjang dari pantai ke pantai, praktis memutus hubungan antara daerah Tuapejat dengan daerah transmigrasi dan sekarang telah didukung dengan akte tanah hak milik. Jaraknya hanya 1 km dari Tuapejat dan 5 km dari UPT (Unit Penempatan Transmigrasi) sekarang.