Sejarah Kemunculan Aswaja Dilihat Dari Latar Belakang Sosial Politik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SEJARAH KEMUNCULAN ASWAJA DILIHAT DARI LATAR BELAKANG SOSIAL POLITIK, DAN AGAMA



Pada masa Rasulullah SAW. masih hidup, istilah Aswaja sudah pernah ada tetapi tidak menunjuk pada kelompok tertentu atau aliran tertentu. Yang dimaksud dengan Ahlussunah wal Jama’ah adalah orang-orang Islam secara keseluruhan. Ada sebuah hadits yang mungkin perlu dikutipkan telebih dahulu: ‫إن بني إسرائيل تفترق على ثنتين وسبعين ملة وستفترق أمتي على ثالث وسبعين ملة كلهم في النار إال ملة‬ ‫وأصحابي‬ ‫عليه‬ ‫انا‬ ‫ما‬ ‫قال‬ :‫هللا‬ ‫يارسول‬ ‫هي‬ ‫من‬ ‫قالوا‬ ،‫واحدة‬. Artinya : Rasulullah SAW bersabda: “ Sesungguhnya bani Israil akan terpecah menjadi 70 golongan dan ummatku terpecah menjadi 73 golongan dan semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Para Shohabat bertanya : Siapa yang satu golongan itu? Rasulullah SAW. menjawab : yaitu golongan dimana Aku dan Shahabatku berada. Hadits inilah yang sering digunakan oleh orang-orang NU sebagai salah satu dalil atau dasar tentang Ahlussunah wal Jamaah. Sejarah tentang paham atau aliran pemikiran Ahlussunah wal Jamaah itu kira-kira muncul mulai kapan? Tadi sudah dikatakan paham atau aliran Ahlussunah wal Jamaah baik aliran keagamaaan atau aliran pemikiran pada zaman Nabi belum ada. Kalau istilahnya memang sudah. Coba kita bersama-sama melihat skema yang saya buat sebagai panduan: (gambar skema)P ernah membaca sejarah Islam ya…? Dalam sejarah Islam kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW. wafat, sebagai khalifah (kepala negara) yang pertama terpilih itu siapa? Abu Bakar ash Sidiq. Beliau jadi khalifah itu ditunjuk oleh Nabi Muhammad atau bagaimana? Kesepakatan atau musyawarah para sahabat, dia terpilih melalui forum atau lembaga yang sangat demokratis. Jadi tidak ditunjuk oleh Nabi tetapi melalui kesepakatan para Sahabat pada waktu itu. Kemudian ketika Abu Bakar ash Shidiq meninggal diganti oleh siapa? Umar bin Khattab. Umar bin Khattab menjadi khalifah itu ditunjuk oleh abu bakar atau siapa? Ditentukan oleh para Sahabat tetapi bersifat tidak langsung. Setelah Umar wafat diganti oleh Utsman bin Affan, juga melalui musyawarah. Inilah yang disebut sebagai dasar-dasar demokrasi. Jadi demokrasi itu sudah jalan. Setelah Rasulullah SAW meninggal itu negara Islam yang pertama setelah Rasulullah SAW itu ditentukan melalui sistem demokrasi. Setelah Utsman wafat, yang terpilih menjadi khalifah itu siapa? Shahabat Ali bin Abi Thalib. Nah, kita melihat sejarah kemunculan Ahlussunah wal Jamaah itu bisa ditelusuri sejak pemerintahan Ali bin Abi Thalib.Pada jaman pemerintahan Utsman itu ada seorang Gubernur Syiria yang bernama Muawwiyah bin Abu Sufyan. Nah ketika Ali bin Abi Thalib terpilih menjadi presiden/khalifah itu Muawwiyah tidak setuju dan melakukan pemberontakan. Disini terjadi perang antara Ali melawan Muawwiyah. Nah kita coba telusuri sejak ini kemunculannya (kemunculan Aswaja). Ini terjadi sekitar tahun 35 – 40 H. Perang antara pasukan Ali dan Muawwiyah kirakira dimenangkan oleh siapa? Ali bin abi Thalib. Akhirnya perang dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib. Dalam pertempuran-kalau kita baca sejarahnya- ketika



Muawwiyah bin Abu Sufyan pasukannya hampir terdesak dia mengibarkan berndera putih tanda menyerah dengan Al Quran di atas minta perdamaian.Maka terjadilah perundingan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawwiyah untuk merembug tentang perdamaian maka diutuslah (cara sekarang diplomat), Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa al Asy’ari kemudian Muawwiyah diwakili oleh Amru bin Ash. Terjadi perundingan yang dalam sejarah disebut dengan Tahkim. Nah dalam perundingan disini terjadi ketidak seimbangan basic pengetahuan atau latar belakang keilmuan. Abu Musa al Asy’ari adalah seorang Ulama, sedangkan Amru bin Ash adalah seorang politisi. Tadinya adalah pejabat Gubernur, sementara Abu Musa adalah orang tua (kasepuhan) juga seorang tokoh ulama. Sehingga terjadi ketidakseimbangan.Disinilah kemudian menimbulkan konflik. Amru bin Ash mengatakan pada Abu Musa al Asy’ari, “Wahai Abu Musa, marilah kita pertama-tama membuat kesepakatan bahwa pemerintahan itu berada ditengah-ditengah (kosong/tidak ada yang menduduki). Marilah kita umumkan kepada publik bahwa sebelum perundingan dimulai pemerintahan kosong atau tidak diduduki baik oleh pemerintah yang sah (Ali bin Abu Thalib) maupun Muawwiyah”. Nah kemudian Abu Musa al Asy’ari setuju : “Kalau memang itu jalan terbaik, setuju saya.” Setelah setuju dia mengatakan : “Siapa dulu yang akan mendeklarasikan, akan mengumumkan kepada publik bahwa pemerintahan itu kosong?” di sini nalar politik Amru bin Ash mulai bermain, “Ini karena panjenengan itu lebih sepuh, lebih alim maka panjenengan dulu yang mengatakan”. Akhirnya naiklah mimbar, diumumkan oleh Abu Musa Al asy’ari: “Wahai saudara-saudara kaum Muslimin, penduduk Makkah dan Madinah yang saya hormati, dengan ini saya Abu Musa Al Asy’ari mewakili pemerintahan yang sah (Ali bin Abi Thalib) meletakkan jabatan”. Akhirnya jabatan khalifah Ali itu diletakkan. Seharusnya yang kedua (Amru bin Ash) mengatakan hal yang serupa. Akan tetapi ternyata ketika naik panggung Amru bin Ash mengatakan: “Saudarasaudara kaum muslimin yang berbahagia, Abu Musa Al Asy’ari mewakili khalifah Ali telah meletakkan jabatan, maka dengan ini jabatan khalifah saya ambil untuk diserahkan pada Muawwiyah bin Abu Sofyan”. Nah akhirnya, ketika perang itu Sahabat Ali yang menang, tetapi ketika perundingan Muawwiyah yang menang karena taktik politik. Nah akhirnya yang kalah (kubu Ali) inilah terpecah menjadi 2 golongan yaitu Syiah dan Khawarij.Yang Syiah adalah pendukung setia Ali. Sedangkan Khawarij tidak setuju Muawwiyah dan tidak setuju Ali karena alasanya karena membuat keputusan hukum tidak menggunakan hukum Allah atau hukum Al Qur’an sehingga Khawarij (Kharaja: keluar). Nah sehingga pada masa pemerintahan Muawwiyah awal ini, masyarakat ummat Islam itu sudah terpecah menjadi 3 golongan. Yang pertama pengikut Ali yang setia, yang kedua golongan yang menolak Ali dan Muawiyah, yang ketiga adalah pendukung Muawwiyah. Disinilah pada tahun sekitar akhir 40an Hijriah ini ummat Islam yang tadinya satu terpecah menjadi 3 golongan (Syiah, Khawarij dan pendukung Muawiyyah).Kemudian dalam rangka melanggengkan kekuasaan (kekuasaan mulai turun temurun/dinasty) Muawiyah membuat aliran keagamaan yang dikenal dengan Jabariyyah. (Disini ada juga masyarakat muslim yang netral, tidak ngeblok kesana maupun kesini atau golput tidak ikut faksi politik) Semua



masyarakat pada waktu itu kecuali golongan Muawiyyah memandang bahwa perebutan kekuasaan dari tangan Ali ke Muawiyyah tidak melalui proses politik yang benar atau tidak mengindahkan etika politik Islam. Kemudian khalifah membuat paham keagamaan Jabariyyah yang antara lain mengatakan bahwa: “Semua yang terjadi di dunia ini adalah kehendak Allah. Termasuk Muawiyyah salah ketika memerangi Ali, tetapi bahwa Muawwiyah menang itu juga sudah dikehendaki oleh Allah”. Pendeknya semua apapun yang dilakukan manusia adalah sudah dikehendaki dan dinginkan oleh Allah. Inilah ajaran dari paham Jabariyyah. Sehingga kemunculan paham Jabariyah ini adalah dalam rangka untuk kepentingan politik untuk melegitimasi kekuasaan bani Muawiyah bin Abu Sufyan yang mengatakan bahwa manusia ini tidak punya kekuasaan untuk berkehendak. Semuanya sudah dikehendaki oleh Allah SWT. Banyak Ayat al Qur’an yang dipakai/disitir untuk melegitimasi diantaranya adalah :“… Wamaa ramaita idzromaita walaaa kinnalllaaha ramaa…”Ada ayat Al Qur’an yang mengatakan bahwa tidaklah engkau memanah ketika engkau memanah, melainkan Allahlah yang memanah. Ini salah satu ayat yang digunakan oleh para ulama, para kyai yang mendukung aliran Jabariyah mungkin para ulama, para kyai yang ingin dekat dengan kekuasaan, ingin mendapatkan fasilitas dari kekuasaan, mungkin mendukung aliran ini dan ikut menyebarkan. Nah inilah yang kemudian kita menyebutnya sebagai ajaran fatalisme. Mengapa Muawiyyah menyebarkan ajaran paham Jabariyah? Karena untuk melindungi cara-caranya ketika mengalahkan Ali melalui peristiwa Tahkim atau arbitrase. Nah kemudian dari akibat paham Jabariyah ini kemudian muncul banyak pengemis.Ekonomi itu hancur, manusia banyak yang tidak berusaha (Hanya menjalankan rutinitas ritual peribadatan tanpa berusaha mencari rizky, karena memandang bahwa rizky itu sudah diatur oleh Allah, akan datang dengan sendirinya). Sebagai perimbangan kemudian muncullah paham baru yang dipelopori oleh cucu Ali bin Abu Thalib (Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib) yang bernama Qodariyah. Paham ini mengajarkan sebaliknya dari paham Jabariyah. Bahwa manusia ini yang berkehendak atau yang berkuasa, Allah tidak turut campur terhadap apa yang dilakukan oleh manusia. Oleh karena manusia berkehendak, Allah tidak turut campur maka manusia harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Paham ini dalam rangka melawan terhadap berkembangnya paham Jabariyah, ini juga menggunakan ayat-ayat Al Quran diantaranya misalnya tentang:“…maa yughoyu ruqomun khatta yughoyuru bi anfusihim… “Artinya : “… tidak akan berubah suatu kaum kecuali kaum itu yang merubah….” Nah di sini mulai ada reformasi (pembaruan). Kemudian khalifah bani Muawiyyah ini digulingkan oleh kekhalifahan Abassiyah (Muawiyyah = Umayyah). Kekhalifahan Abassiyah ini murni, pemerintahannya memang maju pesat. Karena berprinsip bahwa manusia tidak bisa mengandalkan pada takdir, tetapi kalau ingin maju maka harus merubah dirinya sendiri. Kemudian aliran qodariyah ini pada zaman Abassiyah (kalau sebelumya hanya sekedar menjadi kritik atas paham Jabariyah) menjadi spirit pembangunan negara yang kemudian turunannya (dengan sedikit modifikasi) kita kenal sebagai paham Mu’tazilah.Paham Mu’tazilah ini karena pada mulanya dalam rangka memberi kekuatan pada manusia bahwa manusia mempunyai kehendak, dan prinsipnya dia menggunakan



prinsip akal, segala sesuatu yang masuk akal, segala sesuatu harus dirasionalkan, sehingga ini keblabasan karena semuanaya serba akal dan kehendak manusia (akal mutlak). Sampai ada terjadi peristiwa ketika salah satu keturunan Abassiyah ini menggunakan paham Mu’tazilah sebagai paham resmi negara, sehingga timbul korban yang tidak mengikuti paham Mu’tazilah dibunuh dan lain sebagainya. Nah akhirnya lahirlah seorang ulama besar (dulunya pengikut Mu’tazilah) yang bernama Abu Hasan Al Asy’ari menyatakan diri keluar dari paham Mu’tazilah. Beliau berada di tengah, tidak mengikuti dua kubu ekstrim Jabariyah maupun Qodariyah. Beliau memproklamasikan kembali pada “maa anna alaihi wa ashabihi” sebuah kelompok dimana Rasulullah dan para Sahabat berada di dalamnya. Nah paham tengah ini yang merujuk kepada maa alaihi wa ashabihi yang kemudian oleh Abu Hasan Al Asy’ari ini disebut sebagai Ahlussunah wal Jama’ah.Kalau paham Qodariyah dan paham Mu’tazilah itu mengatakan bahwa manusia punya kehendak (free will). Sedang paham Jabariyah itu mengatakan bahwa manusia itu tidak punya kehendak (fatalisme/taqdir). Nah, dalam teologi Aswaja yang dirumuskan Abu Hasan Al Asy’ari ini menyatakan bahwa manusia itu punya kehendak Akan tetapi kehendak itu diketahui oleh Allah. Manusia punya kehendak tetapi kehendak itu dibatasi oleh taqdir Allah. Jadi kalau Jabariyah ini murni taqdir apapun yang dia lakukan adalah taqdir, termasuk ketika mencuri sekalipun. Misalanya ketika ditanya: “Kenapa kamu mencuri..?” Maka Jabariyah akan menjawab: “Lha wong saya ditaqdirkan mencuri, maka jangan salahkan saya donk, tanyakan sama Allah”. Ini didobrak habis-habisan oleh Qodariyah yang mengedepankan tanggung jawab individu dengan kehendak bebas manusia, yang pada kelanjutannya keblabasan menjadi paham yang merasionalkan ajaran-ajaran agama (Mu’tazilah). Kemudian lahirlah paham tengah-tengah Ahlussunah wal Jama’ah, konteksnya kembali pada semanagat awal Islam ma anna alaihi wa ashabihi yang dipelopori oleh dua ulama besar pada waktu itu Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi, ini dalam bidang teologi/tauhid.Kemudian dalam bidang Fiqih lahirlah ulama-ulama besar yang merumuskan fiqih dengan mendasarkan kepada Ahlussunah, artinya kepada kebiasaan-kebiasaan Rasulullah dan para Sahabat (para Sahabat itu artinya wal Jama’ah ya…) kemudian lahirlah Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali), kemudian Imam Malik, Imam Syafi’i, kemudian Imam Hanafi. Imam Ahmad bin Hanbal inilah yang merupakan korban dari kekuasaan Bani Abassiyah ketika mengharuskan warganya menggunakan aliran yang dikembangkan oleh Mu’tazilah dalam bidang Fiqih. Dan masih banyak imam-imam yang lain tetapi yang paling kita kenal adalah ini, yang kita sebut dengan empat madzhab. Sehingga orang Ahlussunah wal Jama’ah sering dikatakan: “orang Islam yang secara teologi mengikuti ijthad Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi dan secara Fiqih mengikuti ijtihad salah satu madzhab yang empat yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Maliki kemudian dalam bidang tasawuf mengikuti ijtihad ulama besar Imam Al Ghazali. Inilah kemudian kita sampai pada pengertian Aswaja. Pertama kalau kita melihat ijtihadnya ulama-ulama tersebut di atas maka pengertian yang pertama



adalah. Definisi kedua adalah (melihat cara berpikir dari berbagai kelompok aliran yang bertentangan); orang-orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar moderasi menjaga keseimbangan dan toleransi. Ahlussunah wal Jama’ah ini tidak mengecam Jabariyah, Qodariyah maupun Mu’tazilah akan tetapi berada di tengah-tengah dengan mengembalikan pada ma anna alaihi wa ashabihi.Nah itulah latar belakang sosial dan latar belakang politik munculnya paham Aswaja. Jadi tidak muncul tiba-tiba tetapi karena ada sebab, ada ekstrim mutazilah yang serba akal, ada ekstrim jabariyah yang serba taqdir, aswaja ini di tengah-tengah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Aswaja sebagai sebuah paham keagamaan (ajaran) maupun sebagai aliran pemikiran (manhajul fiqr) kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dinamika sosial politik pada waktu itu, lebih khusus sejak peristiwa Tahqim yang melibatkan Sahabat Ali dan sahabat Muawiyyah sekitar akhir tahun 40 H.] Demikian yang bisa saya sampaikan tentang latar belakang kemunculan Ahlussusnah wal Jama’ah dilihat dari latar belakang sosial dan politik. Mengenal ASWAJA Secara sederhana dalam perspektif teks, ASWAJA diterjemahkan sebagai: sekelompok golongan yang mengikuti, meyakini, dan mengamalkan sikap, perbuatan, dan perkataan yang dijalankan oleh Rasul SAW, Sahabatnya, dan para pengikut sahabatnya dimanapun berada, kapan pun dan siapa pun (4 ulama’ madzab, salafussholikh, dll). Awal munculnya ASWAJA menjadi salah satu kelompok dalam kehidupan social, adalah karena perdebatan teologi, di sini ada Mu’tazilah (akal), Syi’ah (percaya mutlak ahlul bait), Khowarij (tekstual), dan ASWAJA (moderat) Muncul sebagai alternatif perdebatan kelompok-kelompok tersebut). Prinsip yang dikembangkan ASWAJA adalah prinsip moderat (tengah-tengah), Wasathon, mempertimbangan teks dan konteks, prinsip seperti itu sebenarnya telah ada dalam pesan risalah nubuwwah Muhammad SAW, baik dalal al-qur’an maupun dalam al-hadits. Dalam prisip dan sikap seperti ini, ASWAJA selalu menjadi solusi alternatif dalam setiap persoalan perdebatan yang bersifat dhonni (masih butuh penafsiran), dengan mengedepankan pendapat yang paling benar, paling bermanfaat, dan menghilangkan kemadlorotan (usulul fiqhi). Tokoh perintis faham ASWAJA, Abu hasan al-Basri (w.110 H/728M), Abu Hasan Al-Asy’ari (w.324 H/935 M), dan Abu Mansur al-Maturidzi (w.331 H/944 M), dan banyak ulama’ sunni lainnya. Perkembangan ASWAJA Menilik perjalanan ASWAJA sebagai sebuah pola berfikir dan bertindak adalah tidak lepas dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia, dengan corak ke-sunni-annya. Di mana ulama sunni, baik dari cina, India, maupun timur tengah sambil berdagang mampu menyebarkan Islam ala Sunni, dengan prinsip moderat-nya, sehingga Islam bisa diterima masyarkat pribumi dengan elegan tanpa paksaan dan kekerasan. Islam mampu berdialektika dengan budaya local yang sudah berkembang, Hindu, Budha, Animisme, Dinamisme, dan adat Istiadat masyarakat Indonesia lainnya. Begitu pula yang dilakukan oleh para Wali Songo, mereka mampu meng-islam-kan Jawa dengan wajah moderatnya. Artinya sebenarnya model Islam yang seprti itulah, (sunni,



moderat, mengedepankan maslahah, menghilangkan madlarat) yang sejak awal berkembang dan bisa diterima oleh masyarkat Indonesia. Sehingga nilai Islam sebagai Agama Universal (rahmatan lil ‘alamin) menjadi kelihatan semakin nyata. Model Islam sunni/Islam ASWAJA inilah yang kemudian mendorong lahirnya ornganisasi kemasyarakatan yang ber-visi sosil-keagamaan, yakni Nahdlatul Ulama’ (NU), yang sampai sekarang memegang teguh identitas tersebut sebagai senuah Nilai, idiologi, dan doktrin kedisiplinan. dan PMII adalah bagi dari dinamika perkembangan ke-NU-an di kalangan pemuda, terutama Mahasiswa (simak sejarah lahirnya PMII). Pada perkembangan berikutnya lahirlah doktrin ASWAJA an-Nahdliyah yang dimotori oleh (alm.) K.H. Hasyim Asy’ari (Ra’is Akbar NU pertama). Dengan secara tekstual menajdikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai landasan utamanya. Serta fiqih/usul fiqih (Ijama’ dan Qiyas, serta maslahatul mursalah) sebagai landasan kontekstualnya, sehingga dari kedua landasan tersebut, lahir dialektika antara tekS dan konteks dalam mengambil keputusan, tindakan, pemikiran, dll. Maka tidak ada lain pola fakir yang dikedepankan adalah menolak bahaya (madlarat), mendatangkan kebaikan (maslahah). Dengan mengedepankan prinsip umum “al-muhafadzotu alaa qodimi al-sholikh, wal akhdzu bi al-jadiidil aslakh”, Yakni menjaga tradisi lama yang baik, dan mengembangkan (kreatif) sesuatu baru yang lebih baik”. Ethik Aswaja PMII sebagai sebuah Spirit Pikir dan Gerak Kader Secara singkat posisi Aswaja di PMII dapat dilihat sebagai berikut. Dalam upaya memahami, menghayati, dan mengamalkan Islam, PMII menjadikan ahlussunnah wal jama’ah sebagai manhaj al-fikr sekaligus manhaj al-taghayyur al-ijtima’i (perubahan sosial) untuk mendekonstruksikan sekaligus merekonstruksi bentukbentuk pemahaman dan aktualisasi ajaran-ajaran agama yang toleran, humanis, anti-kekerasan, dan kritis-transformatif (dalam NDP dan PKT PMII). Bagi PMII, Aswaja merupakan basis dasar nilai organisasi. Hal ini berarti kehidupan dan gerakan PMII senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai tersebut sehingga secara langsung membentuk identitas komunitas. Lebih dari itu, Aswaja merupakan inspirasi gerakan dan sekaligus alat bergerak yang membimbing para aktivisnya dalam memperjuangkan cita-cita kebangsaan dan kemanusiaan. Ini sudah dibuktikan misalnya komitmen gerakan yang tidak melenceng dari cita-cita kebangsaan itu, sementara di sisi lain tetap berkomitmen dengan cita-cita Islam yang humanis, pluralis, demokratis, egaliter, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Di atas landasan ini pula organisasi PMII bergerak membangun jati diri komunitasnya dan arah gerakannya. Berikut ini beberapa nilai-nilai yang terkandung dalam Aswaja PMII: 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Maqosidu Al-Syar`iy (Tujuan Syariah Islam) Hifdzunnafs (menjaga jiwa) Hifdzuddin (menjaga agama) Hfdzul `aqli (menjaga aqal) Hifdzulmaal (menjaga harta) Hifdzul nasab (menjaga nasab)



Kontekstualisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Maqosidu Al-Syar`iy : Hifzunnafs Menjaga hak hidup (hak azazi manusia) Hifdzuddin pluralisme (kebebasan berkeyakinan) Hfdzul `aqli (kebebasan berfikir) Hifdzulmaal (kebebasan mencari penghidupan) hifdzul nasab (kearifan local) Karakteristik ulama ahlussunnah waljama`ah dalam berfikir dan bertindak Tasamuh (toleran) Tawazun (menimbang-nimbang) Ta’adul (berkeadilan untuk semua) `Adamu ijabi birra`yi. (tidak merasa paling benar) `Adamuttasyau` (tidak terpecah belah). `Adamulkhuruj. (tidak keluar dari golongan) Alwasatu.(selalu berada ditengahtengah) Luzumuljamaah. (selalu berjamaah) `Adamu itbailhawa (tidak mengikuti hawa nafsu) Puncak dari semuanya adalah Ta’awun (saling tolong menolong) III Aswaja Sebagai Manhaj al-fikr Dalam wacana metode pemikiran, para teolog klasik dapat dikategorikan menjadi empat kelompok. Pertama, kelompok rasioalis yang diwakili oleh aliran Mu’tazilah yang pelapori oleh Washil bin Atho’, kedua, kelompok tekstualis dihidupkan dan dipertahankan oleh aliran salaf yang munculkan oleh Ibnu Taimiyah serta generasi berikutnya. Ketiga, kelompok yang pemikirannya terfokuskan pada politik dan sejarah kaum muslimin yang diwakili oleh syi’ah dan Khawarij, dan keempat, pemikiran sintetis yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Didalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam aswaja tapi sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevasinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam mebuka ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun. Rumusan aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Kang Said (panggilan akrab Said Aqil Siradj) dalam sebuah forum di Jakarta pada tahun 1991. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya ‘merusak’ norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya, akhirnya rumusan baru Kang Said diratifikasi menjadi konsep dasar aswaja di PMII. Prinsip dasar dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; tawasuth (mederat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang). Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan



rasionalisme. Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah menifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri. Dan yang terakhir adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan menposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis. Aswaja dan tantangan masa kini dan masa depan Sebelum kelompokkelompok teologis dalam Islam lahir, Ahlussunnah Wal Jamaah (selanjutnya disebut Aswaja) adalah umat Islam itu sendiri. Namun setelah kelompokkelompok teologis muncul, Aswaja berarti para pengikut Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi. Dalam pengertian terakhir ini, Aswaja sepadan dengan kelompokkelompok teologis semisal Mu’tazilah, Syiah, Khawarij dan lain-lain. Dalam sejarahnya, kemunculan kelompok-kelompok ini dipicu oleh masalah politik tentang siapakah yang berhak menjadi pemimpin umat Islam (khalifah) setelah kewafatan Rasulullah, Muhammad SAW. Setelah perdebatan antara kelompok sahabat Muhajirin dan Anshor dituntaskan dengan kesepakatan memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama, kesatuan pemahaman keagamaan umat Islam bisa dijaga. Namun menyusul huru-hara politik yang mengakibatkan wafatnya khalifah ketiga, Utsman Bin Affan, yang disusul dengan perang antara pengikut Ali dan Muawiyah, umat Islam terpecah menjadi kelompok-kelompok Syiah, Khawarij, Ahlussunnah dan –disusul belakangan, terutama ketika perdebatan menjadi semakin teologis oleh—Mu’tazilah dan lain-lain. Aswaja melihat bahwa pemimpin tertinggi umat Islam ditentukan secara musyawarah, bukan turun-temurun pada keturuan Rasulullah SAW sebagaimana pandangan Syiah. Aswaja memandang keseimbangan fungsi nalar dan wahyu, tidak memposisikan wahyu di atas nalar sebagaimana pandangan Mu’tazilah. Aswaja melihat manusia memiliki kekuasaan terbatas (kasb) dalam menentukan perbuatan-perbuatannya, bukan semata disetir oleh kekuatan absolut di luar dirinya (sebagaimana pandangan Jabariyah) atau bebas absolut menentukan perbuatannya (sebagaimana pandangan Qadariyah dan Mu’tazilah).



Pada wilayah penggalian hukum fiqh, Aswaja (sebagaimana diwakili oleh Imam yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) bersepakat menggunakan empat sumber hukum: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas; dan tidak bersepakatan dalam menggunakan sumber-sumber yang lain semisal: istihsan, maslahah mursalah, amal ahl al madinah dan lain-lain. Setelah melalui evolusi sejarah panjang, Aswaja sekarang ini menjadi mayoritas umat Islam yang tersebar mulai dari Jakarta (Indonesia) hingga Casablanca (Maroko), disusul oleh Syi’ah di Iran, Bahrain, Lebanon Selatan; dan sedikit Zaidiyah (pecahan Mu’tazilah) di sejumlah tempat di Yaman. Dengan mengacu pada ajaran Muhammad Bin Abdulwahhab, rezim Saudi Arabia berafiliasi kepada apa yang disebut Wahabi. Sementara di Asia Selatan (Afganistan dan sekitarnya) reinkarnasi Khawarij menemukan tanah pijaknya dengan sikap-sikap keras dalam mempertahankan dan menyebarkan keyakinan. Di Indonesia, Aswaja kurang lebih sama dengan nahdliyin (sebutan untuk jamaah Nahdlatul Ulama), meskipun jamaah Muhammadiyah adalah juga Aswaja dengan sedikit perbedaan pada praktik hukum-hukum fiqh. Artinya, arus besar umat Islam di Indonesia adalah Aswaja. yang paling penting ditekankan dalam internalisasi ajaran Aswaja di Indonesia adalah sikap keberagamaan yang toleran (tasamuh), seimbang (tawazun), moderat (tawassuth) dan konsisten pada sikap adil (i’tidal). Ciri khas sikap beragama macam inilah yang menjadi kekayaan arus besar umat Islam Indonesia yang menjamin kesinambungan hidup Indonesia sebagai bangsa yang plural dengan agama, suku dan kebudayaan yang berbeda-beda. Ada dua kekuatan besar yang menjadi tantangan Aswaja di Indonesia sekarang ini dan di masa depan: kekuatan liberal di satu pihak dan kekuatan Islam politik garis keras di pihak yang lain. Kekuatan liberal lahir dari sejarah panjang pemberontakan masyarakat Eropa (dan kemudian pindah Amerika) terhadap lembaga-lembaga agama sejak masa pencerahan (renaissance) yang dimulai pada abad ke-16 masehi; satu pemberontakan yang melahirkan bangunan filsafat pemikiran yang bermusuhan dengan ajaran (dan terutama lembaga) agama; satu bangunan pemikiran yang melahirkan modernitas; satu struktur masyarakat kapital yang dengan globalisasi menjadi seolah banjir bandang yang siap menyapu masyarakat di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Sebagai reaksinya, sejak era perang dingin berakhir dengan keruntuhan Uni Soviet, Islam diposisikan sebagai “musuh” terutama oleh kekuatan superpower: Amerika Serikat dan sekutunya. Tentu saja bukan umat Islam secara umum, namun sekelompok kecil umat Islam yang menganut garis keras dan secara membabi-buta memusuhi non muslim. Peristiwa penyerangan gedung kembar pusat perdagangan di New York, Amerika, 11 September 2001, menjadikan dua kekuatan ini behadap-hadapan secara keras. Akibatnya, apa yang disebut ‘perang terhadap terorisme’ dilancarkan Amerika dan sekutunya dimana-mana di muka bumi ini.Yang patut digaris bawahi: dua kekuatan ini, yang liberal dan yang Islam politik garis keras, bersifat transnasional, lintas negara. Kedua-duanya menjadi



ancaman serius bagi kesinambungan praktik keagamaan Aswaja di Indonesia yang moderat, toleran, seimbang dan adil itu.Gempuran kekuatan liberal menghantam sendi-sendi pertahanan nilai yang ditanamkan Aswaja selama berabad-abad dari aspeknya yang sapu bersih dan meniscayakan nilai-nilai kebebasan dalam hal apapun dengan manusia (perangkat nalarnya) sebagai pusat, dengan tanpa perlu bimbingan wahyu. Gempuran Islam politik garis keras menghilangkan watak dasar Islam (Aswaja lebih khusus lagi) yang ramah dan menyebar rahmat bagi seluruh alam semesta. AHLUSUNNAH



WALJAMAAH



DALAM



LINTAS



SEJARAH



Lahirnya sekte-sekte dalam Islam Nabi saw wafat tanggal 12 rabiul awal tahun 11 H (8 Juni 633 M) hari Senin dan Dimakamkan hari Rabu.Perselisihan di kalangan umat Islam terjadi mengenai seorang pemimpin yang menjadi pengganti Nabi saw. Kaum Anshar menginginkan kepemimpinan berada di tangan pemimpin mereka, yaitu Sa'ad bin Ubadah. Sedangkan kaum Muhajirin menghendaki kepemimpinan berada di tangan Abu Bakar. Sementara kalangan Bani Hasyim dan Abu Sufyan bin Harb, kepemimpinan berada di tangan Ali bin Abi Thalib. Namun akhirnya, kekuatan imam para sahabat Nabi saw tersebut mengalahkan semua ambisi dan fanatisme kesukuan, sehingga menggiring mereka pada kesepakatan untuk memilih Abu Bakar al-Shiddiq sebagai Khalifah. Hal itu terjadi dalam perhelatan politik pertama kaum Muslimin di Saqifah Bani Sa'idah. Abu Bakar wafat tahun 13 H dalam usia 63 tahun. Beliau menjadi khalifah selama 2 tahun 3 bulan 3 hari. Khalifah yang ke dua adalah Umar Bin al-Khattab (w. 23 H). Ketika Abu Bakar sakit, ia mengumpulkan sahabat untuk musyawarah tentang figur yang akan menggantikannya. Abu Bakar kemudian menunjuk Umar sebagai penggantinya dengan meminta Utsman bin Affan untuk menuliskan wasiat. Penunjukan ini, ada sebagian sahabat yang tidak setuju. Namun kemudian Abu Bakar meyakinkan kepada para sahabat dalm pidatonya: “Jika Tuhan mempertanyakan (penunjukan Umar) di hari kiamat kelak,maka akau akan menjawab: aku telah menunjuk orang yamg terbaik di antara mereka.” Umar menjadi khalifah selama 10 tahun, 6 bulan kurang sehari. Ia meninggak karena dibunuh oleh Abu Lu’lu’ saat berdiri menjadi imam shalat subuh. Khalifah ke tiga adalah Utsman bin Affan (w. 35 H). Ia dibai'at berdasarkan hasil rapat tim formatur yang dibentuk oleh Umar menjelang wafatnya. Tim formatur tersebut beranggotakan enam orang, yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah dan al-Zubair bin al-Awwam. Abdullah bin Umar hadir dalam beberapa kali sidang tim formatur tersebut untuk memberikan pendapat tanpa memiliki hak untuk dicalonkan sebagai khalifah dan tidak memiliki hak suara untuk mendukung salah satu calon. Melalui rapat tim formatur tersebut, Abdurrahman bin Auf, selaku ketua tim, akhirnya menjatuhkan pilihan kepada Utsman bin Affan setelah menerima masukan dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta para perwira tentara yang kebetulan pada saat itu menunaikan ibadah haji bersama Khalifah Umar. Suasana kondusif dan harmonis pemerintahan berjalan sekitar selama 18 tahun sejak wafatnya Nabi saw, yaitu sejak masa pemerintahan Abu Bakar, Umar dan 6 tahun pertama dari masa pemerintahan Utsman. Setelah 6 tahun dari masa pemerintahan Utsman, friksi internal dan gejolak politik



seputar kebijakan-kebijakan Utsman mulai muncul ke permukaan dan menjadi sasaran kritik sebagian masyarakat. Dalam kondisi tersebut, unsur-unsur Majusi dan Yahudi ikut bermain dalam mengeruhkan suasana, sehingga lahirlah berbagai kekacauan dan beragam propaganda dengan membawa kepentingan menurunkan Khalifah Utsman dari jabatannya melalui gerakan yang dibungkus dalam kemasan amar ma'ruf dan nahi munkar. Sehingga hal tersebut berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Utsman di tangan kaum pemberontak. Utsman menjadi Khalifah selama 12 tahun. Kemudian khilafah berpindah ke tangan Ali bin Thalib (w. 40 H), menantu dan sepupu Nabi saw, serta sebagai sahabat terbaik setelah wafatnya Utsman. Namun, beragam kekacauan yang terjadi pada masa Utsman, sangat berpengaruh terhadap pemerintahan Ali bin Thalib. Pada masa pemerintahan Ali, terjadi perang saudara besar-besaran antara Ali dengan kelompok Aisyah, Thalhah dan Zubair dalam perang Jamal. Kemudian terjadi perang Shiffin dengan kelompok Mu'awiyah bin Sufyan, Gubernur Syam pada masa dua khalifah sebelumnya. Dan akhirnya Ali bin Thalib terbunuh di tangan Abdurrahman bin Muljam al-Muradi pada tahun 40 H. Kemudian kekhalifahan berpindah ke tangan Mu'awiyah bin Abu Sufyan, setelah Sayidina Hasan bin Ali menyerahkan khilafah kepada Mu'awiyah, untuk melindungi darah kaum Muslimin dan terciptanya persatuan umat. Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, muncul satu kelompok dari pengikut Ali, yang memisahkan diri dan kemudian dinamakan dengan aliran Khawarij. Sejatinya, aliran Khawarij ini pada awalnya memerankan aliran politik Islam yang sangat radikal. Hanya saja, persoalan politik ini mengalami dinamika dan berubah menjadi persoalan ideologis. Khawarij berpandangan bahwa seorang khalifah harus dipilih secara bebas oleh kaum Muslimin. Seorang khalifah tidak harus seseorang yang berasal dari kalangan suku Quraisy saja. Khalifah tidak boleh memundurkan diri atau melakukan proses arbitrase (tahkim). Mereka mendefinisikan iman dengan keyakinan yang disertai pengamalan, sehingga keyakinan tidaklah berguna ketika tidak disertai pengamalan. Oleh karena itu, Khawarij mengkafirkan pelaku dosa. Berangkat dari pandangan politik mereka yang ekstrem ini, Khawarij berpandangan bahwa Utsman, Ali, Aisyah, Thalhah, Zubair, Mu'awiyah dan pengikut mereka dalam perang Jamal dan Shiffin adalah kafir. Khawarij hanya mengakui Khalifah Abu Bakar dan Umar. 3 Pada masa Sayidina Ali, lahir juga aliran Saba'iyah dari kalangan Rafidhah (Syi'ah) yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba'. Mereka berpandangan bahwa Ali adalah Tuhan. Sehingga Sayidina Ali membakar hidup-hidup sebagian dari mereka, dan mendeportasi sisanya ke daerah Sabath di Madain. Kemudian ajaran Abdullah bin Saba' ini dilanjutkan oleh golongan Syi'ah yang terpecah menjadi tiga golongan besar, yaitu Imamiyah, Zaidiyah dan Isma'iliyah. Sejatinya, ajaran Syi'ah ini berangkat dari persoalan politik, bahwa Ali bin Abi Thalib dan keturunannya lebih berhak menjadi khalifah dari pada siapa pun dengan adanya nash dari Nabi saw. Kelompok Syi'ah yang esktrem seperti Imamiyah dan Isma'iliyah, mengkafirkan seluruh sahabat Nabi saw kecuali empat orang. Setelah benturan pemikiran antara aliran Syi'ah dan Khawarij semakin keras pasca terjadinya proses arbitrase (tahkim) antara Ali dan Mu'awiyah, dimana aliran Khawarij mengkafirkan Utsman, Ali, Mu'awiyah dan orang-orang yang menyetujui arbitrase, sementara aliran Syi'ah mengkafirkan Abu Bakar, Umar, Utsman dan orang-orang yang membela mereka. Dan kedua aliran tersebut juga mengkafirkan kelompok Bani Umayah dan memandang mereka sebagai kelompok yang jahat. Situasi tersebut menjadi sebab lahirnya satu kelompok yang enggan mempersoalkan konflik yang terjadi di kalangan pemimpin umat. Kelompok ini memiliki pandangan yang khas, dengan satu ide yang



jelas, bahwa semua pihak yang bertikai, seperti Utsman, Ali, Aisyah, Thalhah, Zubair dan Muawiyah sama-sama beriman meskipun sebagian mereka ada yang salah dan yang lain benar. Menurut kelompok ini, ketika kita tidak dapat menentukan mana pihak yang salah dan mana yang benar, maka kita harus mengembalikan persoalan itu kepada Allah. Menurut mereka, bukankah kelompok yang bertikai itu telah mengucapkan syahadat? Dengan pandangan ini, kelompok tersebut akhirnya dinamakan aliran Murji'ah (kelompok yang mengembalikan persoalan kepada Allah). Kemudian kajian mereka mengalami dinamika, hingga memasuki soal-soal keagamaan, seperti mendefinisikan iman dengan mengetahui Allah dan Rasul-Nya. Kemudian mereka semakin ekstrem dengan berpandangan bahwa iman itu hanyalah keyakinan saja, sedangkan amaliah tidak memiliki peran sama sekali dalam iman. Sampai mereka akhirnya mengeluarkan pernyataan yang sangat populer, la tadhurru ma'a al-iman ma'shiyatun kama la tanfa'u ma'a al-kufri tha'atun (kemaksiatan tidak akan membahayakan seseorang selama dia masih beriman, sebagaimana amal baik tidak akan bermanfaat selama dia masih kafir). Aliran Murji'ah ini menjadi musnah setelah runtuhnya kekuasaan Bani Umayah. Sejatinya, ide aliran Murji'ah ini sangat menguntungkan pihak penguasa, karena ide aliran ini menjadikan pengikutnya selalu bersikap netral, tidak anti dan tidak pro penguasa. Oleh karena itu, aliran Murji'ah ini lebih cenderung menerima kekuasaan Bani Umayah dan Abbasiyah. Termasuk kelompok Murji’ah adalah sekte Jabariyah dan Jahmiyah yang dipimpin oleh Jahm bin Shafwan (w. 128 H/746 M), sekte Bakriyah yang dipimpin oleh Bakar keponakan Abdul Wahid bin Zaid, dan sekte Dhirariyah yang dipimpin oleh Dhirar bin Amr al-Kufi (w. 230 H/845 M). Ketiga sekte ini lahir bersamaan dengan lahirnya sekte Mu’tazilah yang dipimpin oleh Washil bin ‘Atha’. Kemudian pada akhir generasi sahabat, lahir aliran Qadariyah yang membicarakan qada' dan qadar Allah dan seputar kebebasan manusia (al-jabr wa al-ikhtiyar). Kelompok ini berpandangan bahwa perbuatan manusia terjadi karena rencananya sendiri, bukan karena taqdir Tuhan. Kelompok ini dipimpin oleh Ma'bad al-Juhani, Ghailan al-Dimasyqi dan Ja'ad bin Dirham. Pandangan mereka menuai protes keras dari kalangan sahabat yang masih hidup pada saat itu, seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Abi Aufa, Jabir al-Anshari, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Uqbah bin Amir dan lain-lain –radhiyallahu 'anhum. Pada masa al-Imam al-Hasan al-Bashri lahir kelompok Mu'tazilah yang dirintis oleh Washil bin 'Atha' al-Ghazzal (w. 131 H) yang membawa ajaran Qadariyah dan manzilah baina al-manzilatain (tempat antara dua tempat). Ajaran Washil bin Atha' ini diikuti oleh Amr bin Ubaid bin Bab. Sehingga kedua orang ini diusir oleh al-Hasan al-Bashri dari majlisnya. Aliran ini berpandangan bahwa seorang Muslim yang fasik tidak dikatakan mukmin dan tidak dikatakan kafir, sehingga di akhirat nanti, dia tidak akan masuk surga dan tidak masuk neraka, melainkan berada di sebuah tempat antara surga dan neraka. Lahirnya Ahlussunnah Wal-Jama'ah Di sini mungkin ada yang bertanya, apabila nama-nama aliran itu lahir bersamaan dengan munculnya aliran tersebut, lalu kapan munculnya nama Ahlussunnah WalJama'ah? Sebagian kalangan berasumsi bahwa nama Ahlussunnah Wal-Jama'ah muncul pada masa imam madzhab yang empat. Ada pula yang berasumsi muncul pada masa alImam al-Asy'ari dan al-Maturidi. Dan ada pula yang berasumsi bahwa nama tersebut muncul pada sekitar abad ketujuh Hijriah. Tentu saja semua asumsi ini keliru dan tidak



memiliki landasan ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan. Berdasarkan data kesejarahan yang ada, setelah terjadinya fitnah pada masa Khalifah Utsman bin Affan, kemudian aliran-aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni bermunculan satu demi satu pada akhir generasi sahabat Nabi saw, seperti aliran Khawarij, Murji'ah, Saba'iyah (Syi'ah) dan Qadariyah, maka istilah Ahlussunnah WalJama'ah mulai populer sebagai nama bagi kaum Muslimin yang masih setia pada ajaran Islam yang murni dan tidak terpengaruh dengan ajaran-ajaran baru. Hal ini dapat kita buktikan dengan memperhatikan beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah diriwayatkan dari sahabat Nabi saw generasi junior (shighar al-shahabah) seperti Ibn (3 SH-68. Misalnya Ibn Abbas Abbas, Ibn Umar dan Abi Sa'id al-Khudri H/619-688 M) berkata: ‫ تَعَالى قَ ْو ِل ِِه في‬: ‫و ُج ْوهِ ت َ ْبيَضِ يَ ْو َِم‬ِ ُِ ‫عبَّاسِ ا ْب‬ َ ِ‫ سورة( ُو ُج ْوهِ َوتَس َْود‬: ‫عمران آل‬: 106)، ‫ا ْبيَضَّتِْ الَّ ِذيْنَِ َفأ َ َّما‬ ُ ‫ن َقا َل‬ ْ ‫ل ُو ُج ْو ُه ُه ِْم‬ ُِ ‫ع ِِة السنَّ ِِة فَأ َ ْه‬ ‫ل ُو ُج ْو ُه ُه ِْم اس َْودَّتِْ الَّ ِذيْنَِ َوأ َ َّما‬ ُِ ‫عِ فَأ َ ْه‬ ِ ‫ضالَلَ ِِة ْال ِب َد‬ َّ ‫وال‬. َ ‫الع ِْل ِِم َوأُولُو َو ْال َج َما‬، َ berkata ketika menafsirkan firman Allah: "Pada hari yang di"Ibn Abbas waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram.” (QS. Alu-Imram : 106). "Adapun orang-orang yang wajahnya putih berseri, adalah pengikut Ahlussunnah WalJama'ah dan orang-orang yang berilmu. Sedangkan orang-orang yang wajahnya hitam muram, adalah pengikut bid'ah dan kesesatan." Pada masa generasi tabi'in dan ulama salaf sesudahnya, istilah Ahlussunnah WalJama'ah semakin populer dan dibicarakan oleh ulama-ulama terkemuka, seperti Khalifah yang saleh, Umar bin Abdul Aziz (61-101 H/681-720 M), al- -Imam al-Hasan bin Yasar alBashri (21-110 H/642-729 M), al-Imam Muhammad bin Sirin (33-110 H/654-729 M), alImam Sufyan bin Sa’id al-Tsauri (97-161 H/715-778 M), al-Imam Imam Malik bin Anas (93-179 H/712-795 M), pendiri madzhab Maliki, dan lain-lain. Di sini mungkin ada yang bertanya, apabila istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah itu populer pada akhir masa generasi sahabat, lalu siapakah yang menjadi obyek dalam istilah tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita melihat penjelasan ulama salaf seputar istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah ini. Beberapa ulama salaf, mengatakan bahwa Ahlussunnah adalah mereka yang hanya memiliki hubungan dengan sunnah Nabi saw. Mereka bukan pengikut Jahmiyah, Qadariyah, Rafidhah (Syi'ah), dan aliran-aliran sesat lainnya. Al-Imam Malik bin Anas, ketika ditanya tentang siapa Ahlussunnah, dia mengatakan, "Ahlussunnah adalah golongan yang tidak memiliki nama yang khusus seperti nama Jahmiyah, Qadariyah, Rafidhah dan sesamanya." Berangkat dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada masa periode salaf, istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah dijadikan nama bagi umat dan ajaran para sahabat. IstilahIslam yang mengikuti sunnah Nabi tersebut menjadi nama bagi kaum Muslimin yang bersih dari ajaran-ajaran baru yang menjadi tren aliran Syi'ah, Khawarij, Qadariyah, Jahmiyah, Murji'ah dan lain-lain. Dari sini dapat dikatakan, bahwa Ahlussunnah WalJama'ah merupakan kelangsungan yang alami dari kaum Muslimin generasi pertama yang mengikuti dan menerapkan ajaran Nabi saw dalam prinsip-prinsip dan hukumhukum keagamaan. Kita tidak akan mampu memastikan sejak kapan titik permulaan ajaran Ahlussunnah Wal-Jama'ah itu, kecuali apabila kita mengatakan bahwa titik permulaan ajarannya adalah titik permulaan ajaran Islam itu sendiri. Ahlussunnah WalJama'ah adalah aliran yang asli dalam Islam, sedangkan aliran-aliran lain adalah sempalan-sempalan yang menyimpang dari aliran yang asli tersebut.



Di sisi lain, istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah ini memiliki dua sasaran obyek yang berbeda. Pertama, istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah dalam konteks yang bersifat umum, yaitu menjadi nama bagi mereka yang bukan pengikut aliran Rafidhah (Syi'ah). Dalam konteks ini, aliran-aliran yang berseberangan dengan Syi'ah dapat dikatakan sebagai pengikut Ahlussunnah Wal-Jama'ah seperti aliran Mu'tazilah, Murji'ah, Karramiyah, Wahhabi dan lain-lain. Kedua, istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah dalam konteks yang bersifat khusus, yaitu menjadi nama bagi mereka yang mengikuti ajaran Nabi saw dan sahabat secara penuh. Dalam konteks ini, aliran-aliran yang menyimpang dari ajaran Nabi saw dan sahabat tidak dapat dikatakan Ahlussunnah Wal-Jama'ah seperti Mu'tazilah, Murji'ah, Karramiyah, Wahhabi, Syi'ah dan lain-lain. Aliran yang dapat dikatakan Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah, aliran yang dalam bidang fiqih mengikuti salah satu madzhab yang empat dan dalam bidang akidah mengikuti madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi.



Oleh : Dr. Roibin, MHI.



Terminologiaswaja (ahlussunnah waljamaah) bukankah terma baru di mata masyarakat muslim. Ia adalah terminologi keagamaan klasik yang telah mengakar kuat di dalam keyakinan eskatologis masyarakat muslim. Aswaja tanpa terasa telah memberikan arah dan corak model keberagamaan yang sangat varian bagi masyarakat muslim sesuai dengan hasil pendekatan tafsir para imam yang diikutinya. Namun demikian, terma aswaja tidak sedikit menyisakan problematika di kalangan internal umat Islam itu sendiri, utamanya dalam hal yang berkenaan dengan dimensi



teologis



(aqidah)



mereka.



Banyak



pihak



mengatakan bahwa akar permasalahan terma keagamaan tersebut sejatinya bersumber dari kepentingan politis yang bermuara



pada



keagamaan



simbol-simbol



lainnya.



Sebaliknya,



teologis mereka



dan



hajat



menganggap



bahwa permasalahan yang muncul dari aswaja itu murni sebagai



isu



teologis



an



perjuangannya banyak



sich,



hanya



saja



semangat



menggunakan muatan politik-



praktis.



Disadari atau tidak, perjuangan ketat yang dipicu oleh kepentingan politis masing-masing maupun kepentingan teologis dengan paradigma truth claimnya akan sangat berpotensi bagi munculnya fragmentasi di antara mereka, hingga muncul fraksi-fraksi maupun golongan. Tidak hanya itu, di antara fraksifraksi/ golongan dimaksud secara normatif-teologis akan memposisikan kelompoknya sebagai seperti kelompok yang paling memiliki otoritas penuh dalam



hal



keaswajaan.



Masing-masing



mengklaim



bahwa



hanya



kelompoknyalah kelak yang akan masuk surga, sementara yang lainnya adalah



masuk neraka. Uniknya mata rantai pemahaman sejenisnya tidak berhenti di eranya, namun ia banyak memberi inspirasi baru bagi model keberagamaan terkemudian. Itulah sebabnya tidak sedikit di antara organisasi-organisasi sosial keagamaan yang secara panatis dan ekslusif merasa paling memiliki aswaja.



Oleh karenanya memahami hakikat aswaja perspektif historis tidaklah bisa diabaikan, tentu dengan kerangka pemahaman modernitas, mulai dari bagaimana para ulama dan pakar ketika itu mengkonsepsikan, mendoktrinkan, hingga mengimplementasikannya. Makalah ini akan diawali dengan kajian konseptual (ontologis) tentang aswaja dalam konstalasi sejarah, berikut doktrin dan implementasinya.



Ahmad Amin mengatakan bahwa term ahl adalah badal an-nisbah yang jika dikaitkan dengan sunnah berarti orang yang berpaham sunni (al-suniyyun). Sementara itu Fairuzzabadi berpandangan bahwa kata ahl berarti pemeluk aliran atau pengikut madzhab. Sedangkan term al-sunah acapkali dipahami sebagai tradisi, kebiasaan atau jalan dan model. Dengan demikian secara sederhana al-sunnah bisa dipahami sebagai tradisi atau jalan para Nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’-tabi’in dalam menjalani hidupnya. Sedangkan al-jama’ah adalah sekumpulan orang atau kelompok yang terorganisir yang memiliki visi, misi dan tujuan. Jika ini dihubungkan dengan sekte-sekte dalam Islam maka hanya berlaku untuk komunitas al-sunnah, karena istilah al-jama’ah belum dikenal di kalangan khawarij maupun Rafidah.



Kata ahlussunah wal jamaah secara normatif belum ditemukan dalam beberapa kitab-kitab referensi lama, bahkan pada masa al-Asy’ari pun yang dianggap sebagai pendiri madzhab ini, istilah tersebut belum dijumpai. Bahkan dalam pernyataan kepindahan beliau dari paham mu’tazilah pun bukan karena istilah ini telah jelas. Kepindahannya dari paham mu’tazilah ke paham as’ariyah



adalah karena ia memperoleh bisikan dari Rasul melalui impiannya bertemu dengan Rasul. Inti impian itu adalah wahai Ali (al-As’ari)… aku (Rasulullah SAW) tidak memerintahkanmu meninggalkan ilmu kalam, namun aku hanya menyuruhmu membela madzhab yang telah disampaikan dariku (al-madzahabi al-marwiyah ‘anny), karena hanya itulah yang benar (haq).



Secara historis pengenalan term ahlussunah waljama’ah sebagai suatu aliran, baru mulai nampak pada ashab al-asy’ary (asya’irah—Sunni). Mereka itu adalah al-Baqillani (403 H), al-Bagdadi (429 H), Al-juwaini (478). Meskipun demikian tidak berarti secara tegas mereka membawa bendera aswaja sebagai madzhabnya. Baru pernyataan itu mulai tegas ketika al-Zabidi (1205 H) dalam Ithaff Sadat al-Muttaqin (syarah Ihya ulumu al-din) mengatakan idza uthliqa ahlussunah fa al murad bihi al-asya’irah wal maturidiyah ( jika diungkapkan kata ahlussunah, maka yang dimaksud adalah penganut al-Asy’ari dan al-Maturidi).



Oleh karena itu definisi-definisi tentang aswaja ketika itu masih dalah tataran klaim-klaim saja. Sebab dalam tataran konseptual, betapapun cara pandang al-asy’ari juga banyak dipengaruhi oleh beberapa cara atau model berpikirnya para imam-imam sebelumnya. Atas dasar inilah maka ahlussunah waljamaah bisa dipahami sebagai jalan, metode berpikir keagamaan dalam semua aspek kehidupan yang berlandasan moderasi, keseimbangan dan toleran. Indikasi sikap moderatnya terlihat ketika al-Asy’arimelakukan istinbat hukum, yaitu tidak semata-mata dengan pendekatan bayani (tek) tetapi juga memperhatikan pendekatan burhani dan irfani (kontek). Manhaj ini secara jelas tercermin pada pola penalaran imam madhab yang empat ketika bersentuhan dengan permasalahan-permasalah fiqih. Demikian juga dalam kontek tasawuf, yaitu al-Junaidi dan al-Ghazali menjadi kiblatnya, sementara dalam hal aqidah, al-asy’ari adalah panutannya.



Sebagaimana diungkapkan di atas bahwa cakupan aswaja sangatlah luas, dalam konteks aqidah misalnya, tidak berarti secara mutlak cara pandang kita tentang aqidah hanya dibatasi dan diikat oleh cara pandang al-Asy’ari dan alMaturidi. Karena bagaimanapun mereka berdua adalah lahir dari sebuah proses panjang yang telah diwarnai dan bergesekan dengan ragam dan model pemikiran para ulama sebelumnya.



Cara pandang aswaja model ini adalah cara pandang yang mencoba mengakumulasi semua pemikiran yang muncul semenjak Nabi Muhammad SAW. Pada potret permulaan Islam aswaja diidentikan dengan kelompok ortodoks (salafiyyun). Dalam beberapa aspek mereka selalu memegangi hal-hal yang ma’tsur (irrasional) dari pada yang ma’qul ( rasional). Dalam memahami ayat pun mereka cenderung bi al-riwayah (teks) dan tidak bi al-dirayah (konteks), mengutamakan dalil nas dari pada dalil aql. Dengan demikian pada masa permulaan islam mereka yang menyatakan dirinya sebagai aswaja dikesankan sebagai aliran ortodoks (salafiyyun).



Padahal secara teoretis para salafiyyun tidaklah berarti mengebiri akal, mereka tetap memberikan porsi yang layak bagi aqal. Sekalipun secara praktis dalam proses istinbat hukumnya, baik yang prinsip maupun yang parsial mereka senantiasa bersandar kepada alquran dan al-sunnah tanpa membutuhkan perdebatan akal. Namun demikian seirama dengan perkembangannya,aswaja mulai berakulturasi dengan ranah-ranah penalaran (filsafat), terutama adalah filsafat ketuhanan. Pemikiran filsafat ini terlihat sekali terutama ketika al-Asy’ari menalarkan tentang ism dan sifat allah, kaitannya dalam rangka menepis cara pandang mu’tazilah terhadap konsep yang meniadakan sifat-sifat Allah (nafy Allah). Dinamika pemikiran di kalangan aswaja tentu saja tidak linier, namun mengikuti pasang surut perkembangangan sikon yang melingkupinya.



Dengan demikian dalam beraswaja tidak berarti harus persis, saklek dengan sikap dan perilaku yang pernah dilakukan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan al-Maturidi.Pilar-pilar yang menjadi pegangan aswaja dalam beraqidahlah yang harus dipertahankan, sementara masalah ikhtilaf pemikiran di sana-sini tidaklah menjadi masalah apa-apa. Adapun pilar-pilar aswaja itu adalah ketuhanan, kenabian dan eskatologis.



Oleh karena itu selama orang islam masih mengakui tiga pilar ini berarti mereka tergolong aswaja, sekalipun berbeda cara pandangnya terhadap masing-masing pilar tersebut.