Sejarah Peradaban Hindu Rev [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1 RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) (SJ103) SEJARAH PERADABAN HINDU



Dosen : Dr. Leli Yulifar, M.Pd. Drs. Ayi Budi Santosa, M.Si.



DEPARTEMEN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2019



1



RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER SEJARAH PERADABAN HINDU



No. Dok : Revisi



: 00



Tanggal : 30 Agustus 2019 Halaman :



Dibuat Oleh :



Diperiksa Oleh:



Disetujui Oleh:



Dr. Erlina Wiyanarti, M.Pd NIP. 196207181986012001 Dosen



Prof. Dr. Nana Supriatna, M.Ed NIP. 196110141986011001 TPK Prodi



Dr.Murdiyah Winarti, Hum NIP. 196005291987032002 Ketua Departemen



RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER 1. Identitas Matakuliah Nama Program Studi Nama Matakuliah Kode Matakuliah Kelompok Matakuliah Bobot SKS Jenjang Semester Prasyarat Status (Wajib/Pilihan) Nama dan Kode Dosen



: Pendidikan Sejarah : Sejarah Peradaban Hindu : SJ 103 : Mata Kuliah Keahlian Program Studi (MKKPS) : 3 (tiga) : S1 : 1 (Satu) :: Wajib : Dr. Erlina Wiyanarti, M.Pd. / 0654 Dra. Yani Kusmarni, M.Pd. / 1391 Nour M. Adriani, M.APS. / 3141



2. Deskripsi Matakuliah 2



Mata kuliah Sejarah Peradaban Hindu dilaksanakan untuk memberikan wawasan kepada mahasiswa untuk memiliki pengetahuan dan wawasan tentang perkembangan sejarah peradaban Hindu di India dan pengaruhnya terhadap wilayah Asia terutama kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur serta memahami sejarah peradaban Hindu untuk dikembangkan menjadi bahan ajar Sejarah di SMA. Materi perkuliahan yang akan diberikan mencakup: (1) Konsep peradaban dan kebudayaan beserta karakteristik peradaban Hindu; (2) Peradaban Indus dan Arya; (3) Perkembangan dinasti Magadha di India Utara dan dinasti di India Selatan (Pallava, Chalukya dan Chola); (4) Pengaruh dinasti di India Utara dan India Selatan terhadap perkembangan peradaban Hindu di India, Asia Tenggara dan Asia Timur; (5) Perkembangan budaya India di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur; (6) Unsur-unsur budaya India yang berkembang di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur; (7) Keberadaan aspek-aspek budaya India dalam kehidupan masyarakat di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur melalui cara: interaksi belajar mengajar di kelas untuk mengembangkan pemahaman dan wawasan mahasiswa terhadap materi perkuliahan; pencarian dan pengkajian informasi dari berbagai sumber tentang materi perkuliahan ini serta diskusi kelas dan diskusi kelompok. 3. Capaian Pembelajaran Program Studi Yang Dirujuk (CPPS) A1 Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mampu menunjukkan sikap religius; A2 Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam menjalankan tugas berdasarkan agama, moral, dan etika; P1 Menguasai konsep-konsep dasar kependidikan Indonesia, landasan filosofis-teoritik-pedagogik pendidikan sejarah, ilmu sejarah, konten peristiwa penting sejarah dan jurnalisme kesejarahan (penulis) maupun edukator sebagai keahlian tambahan; KK3 Mampu mengamati, mengidentifikasi, dan mengadaptasi perkembangan masyarakat di masa lalu, masa kini dan masa depan terdekat, baik sejarah Indonesia dan lokal maupun sejarah kawasan dan dunia untuk mengembangkan pendidikan sejarah; 4. Capaian Pembelajaran Matakuliah (CPM) A2.1 Menunjukkan sikap jujur, tanggung jawab, dan disiplin dalam mengerjakan berbagai macam tugas pada perkuliahan Sejarah Peradaban Hindu. P1.1 Memiliki pengetahuan, wawasan dan pemahaman tentang peradaban Sungai Indus (Bangsa Dravida) dan peradaban Sungai Gangga (Bangsa Arya) serta pengaruhnya terhadap perkembangan peradaban Hindu di India. P1.2 Memiliki pemahaman tentang pengaruh kehidupan sosial budaya, keagamaan, dan politik Bangsa Arya terhadap perkembangan peradaban Hindu di India. P1.3 Memiliki pemahaman tentang perkembangan kehidupan politik di India Utara dan Selatan serta pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dan Budha ke Asia baik di Asia Tengah, Asia Timur maupun Asia Tenggara. KK3.1 Menguasai pemanfaatan teknologi informasi dalam mencari sumber-sumber yang relevan dengan perkembangan 3



budaya India di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. KK3.2 Memiliki keterampilan mengidentifikasi karakter dari unsur-unsur budaya India yang berkembang di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. KK3.3 Menguasai keterampilan menyajikan hasil analisis tentang evidensi dan makna keberadaan aspek-aspek budaya India dalam kehidupan masyarakat di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. 5. Deskripsi Rencana Pembelajaran Perte muan 1



2



Indikator Capaian Pembelajaran Mata kuliah Mahasiswa bersama-sama dosen:  Mendiskusikan silabus dan prosedur perkuliahan.  Melalui peta India membedakan luas wilayah India sebelum tahun 1947 dengan setelah tahun 1947.  Mendeskripsikan proses perkembangan beserta karakteristik peradaban Hindu.  Mencari informasi tentang perbedaan konsep kebudayaan dan peradaban dari berbagai sumber.



Mahasiswa memiliki



Bahan Kajian



Bentuk Pembelajaran



Silabus dan  Dosen membahas prosedur peraturan perkuliahan, perkuliahan serta silabus, materi perkuliahan Konsep peradaban beserta tugas-tugas, UTS dan kebudayaan dan UAS yang harus Karakteristik dikerjakan selama satu peradaban Hindu semester.  Mahasiswa menyimak peta India, kemudian melakukan tanya jawab tentang wilayah India sebelum tahun 1947 dan setelah tahun 1947.  Mahasiswa bersama-sama dosen membahas tentang perbedaan konsep peradaban dan kebudayaan  Mendiskusikan proses perkembangan peradaban Hindu di India beserta karakteristiknya.  Keadaan  Mahasiswa menyaksikan



Waktu



Tugas dan Penilaian



 Pengamatan partisipasi mahasiswa di kelas Tugas : (1) Membuat kelompok setiap kelompok beranggotakan 4-6 orang; (2) Mencari informasi tentang asal usul bangsa 150 Dravida dan menit perkembangan peradaban Sungai Indus dari berbagai sumber



150



 Partisipasi,



Rujukan  Keay, John. (2000).  Mulia, TSG. (1957).  Su’ud, Abu. (1992).  Suwarno, (2012).  Charles Seignobos. (2014).  Steve Olson. (2004)



aktivitas  Hansiswany 4



kemampuan:  Merekonstruksi perkembangan peradaban Indus berdasarkan letak geografis.  Mendeskrispsikan asal usul kedatangan bangsa Dravida.  Mengidentifikasi proses perkembangan peradaban Indus berdasarkan pendapat Toynbee serta Steward.  Mendiskusikan karakteristik peradaban Indus.  Mencari berbagai informasi mengenai keruntuhan peradaban Indus.



3



geografis sungai Indus  Asal usul kedatangan bangsa Dravida ke India  Perkembangan peradaban Indus menurut Toynbee dan Steward  Karakteristik Peradaban Indus Keruntuhan peradaban Indus



Mahasiswa memiliki  Keadaan kemampuan: geografis sungai  Merekonstruksi proses Indus abad 1500 – kedatangan Arya di India 1000 SM dan melalui keadaan keadaan geografis



tayangan video singkat (2x 10 menit) tentang peradaban Sungai Indus  Mahasiswa menyimak penjelasan dosen tentang peradaban Indus secara umum  Berdasarkan peta Indus mahasiswa menunjukkan asal usul kedatangan bangsa Dravida serta mencoba merekontruksikan proses perkembangan peradaban Indus dan menghubungkannya dengan pendapat Toynbee dan Steward  Mahasiswa mendiskusikan karakteristik peradaban Indus berdasarkan peninggalan-peninggalan arkeologis, kemudian mengidentifikasi faktor yang paling mendukung keruntuhan peradaban Indus  Mahasiswa mampu menyusun laporan hasil diskusi.  Melalui peta India mahasiswa merekonstruksi proses kedatangan Arya ke India. Kemudian mereka mendiskusikan proses















menit



150 menit







dan kerjasama dalam proses pembelajaran. Hasil pekerjaan mahasiswa berupa laporan hasil diskusi dengan tema peradaban Indus. Presentasi acak hasil kerja kelompok dalam bentuk multimedia Prezi. Lembar kerja mahasiswa: karakteristik peradaban-peradaban sungai di dunia. Mencari informasi tentang peradaban Arya.



    



Kamarga dan Yani Kusmarni (Ed). (2012). Steve Olson. (2004). Bab 7 dan Bab 8 Suwarno. (2012). Bab 2 dan Bab 3 Abu Su’ud, (1992). Bab 2 Arnold Toynbee. (2006). Bab 6 Keay, John. (2000). Chapter 1



 Partisipasi, aktivitas  Keay,John. dan kerjasama dalam (2000). proses pembelajaran.  Su’ud, Abu.  Presentasi mahasiswa. (1992). Bab 2  Hasil pekerjaan  Suwarno. 5



geografis. sungai Gangga 1000 SM  Menghubungkan proses kedatangan Arya di India  Proses kedatangan dengan keruntuhan Arya ke India peradaban Indus. Perkembangan  Mendeskripsikan asal sosial budaya, usul Arya dari berbagai ekonomi dan sumber informasi. politik Arya di India  Mengidentifikasi perkembangan sosial Perbedaan budaya, ekonomi dan karakteristik politik Arya di India. peradaban Arya dengan peradaban  Membedakan karakteristik peradaban Dravida Arya dengan peradaban Indus.



4



Mahasiswa memiliki kemampuan:  Mendeskripsikan perkembangan peradaban Hindu di India.  Mengidentifikasi tahapan pembagian agama Hindu di India.  Membedakan karakteristik perkembangan agama Hindu setiap jamannya.  Mendiskusikan perkembangan agama Hindu dan pengaruhnya



kedatangan Arya dengan keruntuhan peradaban Indus di India serta asal usul Arya dari berbagai sumber informasi.  Mahasiswa secara kelompok melaksanakan diskusi dengan tema mengapa kehidupan politik Arya dipengaruhi oleh aspek sosial budaya masyarakat Arya di India?.  Mahasiswa melakukan presentasi hasil diskusi dan membuat laporan diskusi.  Mahasiswa bersama-sama dosen menyimpulkan tentang kedatangan Arya ke India.



 Perkembangan  Mahasiswa menyimak peradaban Hindu penjelasan dosen tentang di India perkembangan peradaban Hindu di India, kemudian  Tahapan melakukan tanya jawab pembagian tentang perkembangan Agama Hindu agama dan filsafat Hindu  Karakteristik di India perkembangan agama Hindu  Melalui media garis waktu (time line), mahasiswa setiap jaman mendiskusikan Pengaruh karakteristik perkembangan perkembangan agama agama Hindu Hindu dan pengaruhnya terhadap kepada kehidupan sosial, kehidupan sosial,



mahasiswa berupa (2012). Bab 4 laporan hasil diskusi  Charles dengan tema mengapa Seignobos. kehidupan politik (2014). Hal 45 Arya dipengaruhi oleh 60 aspek sosial budaya  Steve Olson. masyarakat Arya di (2004). Bab 7 India? dan 8  Mencari informasi  Arnold tentang proses Toynbee. perkembangan (2006). Bab 19 kepercayaan dan keagamaan Arya di India.



150 menit



 Partisipasi, aktivitas  Zimmer, dan kerjasama dalam Heinrich. proses pembelajaran. (2003).  Presentasi mahasiswa.  Su’ud, Abu. (1992). Bab 2  Hasil pekerjaan mahasiswa berupa  Suwarno. produk perkembangan (2012). Bab 4 agama dan filsafat Charles Hindu di India. Seignobos. (2014). Hal 45 Mencari informasi 60 tentang perkembangan kehidupan politik  Arnold Kerajaan Magadha di Toynbee. India Utara. (2006). Bab 19  Keay,John. 6



5



6



terhadap kehidupan sosial, budaya dan politik di India.  Melakukan tanggung jawab, kerjasama, dan menghargai perbedaan pendapat selama proses perkuliahan di kelas.



budaya dan politik di India



budaya dan politik di India



Mahasiswa memiliki kemampuan :  Mendeskripsikan secara kronologis awal perkembangan dinamika politik Arya.  Mengidentifikasi karakteristik dinastidinasti yang berkuasa di Kerajaan Magadha.  Mendiskusikan faktorfaktor keberhasilan dinasti Maurya menjadi dinasti terbesar, terkuat dan terluas kekuasaannya di Magadha.  Mempresentasikan hasil diskusi secara kelompok.  Membuat laporan hasil diskusi.  Bekerja sama dan bertanggung jawab selama proses diskusi kelompok.



 Konsep Republik dan Kerajaan sebagai awal perkembangan kehidupan politik Arya  Kerajaan Magadha



 Melalui melalui time line mahasiswa dan dosen membahas tentang karakteristik kehidupan politik Arya di India Utara  Mahasiswa mendiskusikan tentang mengapa dinasti Maurya menjadi dinasti terbesar, terkuat dan terluas kekuasaannya di Magadha.  Mempresentasikan hasil diskusi secara kelompok.  Membuat laporan hasil diskusi.



Mahasiswa memiliki



 Perkembangan



 Melalui proses menyimak



(2000).



150 menit



150



 Partisipasi, aktivitas dan kerjasama dalam proses pembelajaran.  Presentasi mahasiswa.  Hasil pekerjaan mahasiswa berupa laporan hasil diskusi.  Mencari informasi tentang perkembangan kehidupan politik Dinasti Gupta di India Utara .



 Partisipasi,



 Suwarno. (2012). Bab 5  Arnold Toynbee. (2006). Bab 41  Keay,John. (2000).  Rizem Aizid. (2014). 167-177  Su’ud, Abu. (1992). Bab 4



aktivitas  Suwarno. 7



kemampuan: Dinasti Gupta di India Utara  Menganalisis perkembangan dinasti  Perbedaan Gupta berdasarkan luas karakteristik wilayahnya. Dinasti Maurya dengan Dinasti  Membedakan Gupta karakteristik Dinasti Maurya dengan Dinasti  Dinasti Harsha Gupta.  Mendiskusikan Dinasti Gupta menjadi The Golden Age Hinduism.  Menghubungkan keberadaan Dinasti Gupta dengan Dinasti Harsha.  Mempresentasikan hasil diskusi.  Membuat laporan diskusi.  Bekerja sama dan bertanggung jawab selama proses diskusi kelompok. 7



peta dan pencarian informasi di kelas, mahasiswa menyimpulkan perkembangan Dinasti Gupta dan kemudian mencari perbedaan dan persamaannya dengan Dinasti Maurya di India.  Mahasiswa mendiskusikan tentang mengapa dinasti Gupta disebut sebagai The Golden Age Hinduism.  Mempresentasikan hasil diskusi secara kelompok  Membuat laporan hasil diskusi



dan kerjasama dalam proses pembelajaran.  Presentasi mahasiswa.  Hasil pekerjaan mahasiswa berupa laporan hasil diskusi.  Mencari informasi tentang perkembangan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik Bangsa Dravida di India menit Selatan.



Mahasiswa memiliki  Konsep  Mahasiswa menyimak kemampuan : Trivijaya penjelasan dosen tentang  Mengenali Tiga  Karakteristik konsep Trivijaya. Kerajaan Besar dalam bidang  Berdasarkan peta India (Trivijaya) di India sosial budaya, Selatan, mahasiswa Selatan. ekonomi dan mendiskusikan Tiga  Membandingkan politik kerajaan Kerajaan Besar di India karakteristik dalam Pallava, Selatan. bidang sosial budaya, Chalukya dan ekonomi, dan politik Chola di India kerajaan Pallava, Selatan. Chalukya, dan Chola di  Karakteristik India Selatan. kerajaan/dinasti



 Partisipasi, aktivitas dan kerjasama dalam 150 proses pembelajaran. menit  Hasil pekerjaan mahasiswa berupa laporan hasil diskusi tentang Trivijaya.  Mempersiapkan untuk Ujian Tengah Semester (UTS).



   



(2012). Bab 7 Arnold Toynbee. (2006). Bab 46 Keay, John. (2000). Rizem Aizid. (2014). 186 – 189 Su’ud, Abu. (1992). Bab 5



 Suwarno. (2012). Bab 8  Arnold Toynbee. (2006). Bab 46  Keay,John. (2000).  Rizem Aizid. (2014). 186 – 189  Su’ud, Abu. (1992). Bab 6 8



di India Utara dengan di India Selatan.



 Membedakan karakteristik kerajaan/ dinasti di India Utara dengan di India Selatan. 8 9



10



Mahasiswa memiliki kemampuan: Mendeskripsikan peranan Jalur Sutra dalam penyebaran Agama Budha ke Asia Tengah dan Asia Timur. Mendeskripsikan peranan Jalur Laut dalam penyebaran Agama Hindu-Budha di Asia Tenggara berdasarkan Peta Asia. Menganalisis peranan wilayah pesisir dalam penyebaran budaya India di Asia Tenggara. Membandingkan peranan Jalur Sutra dengan Jalur Laut dalam perkembangan budaya India di Asia Tengah, Asia Timur, dan Asia Tenggara.



 Peranan Jalur Sutra dalam penyebaran Agama Budha ke Asia Tengah dan Asia Timur.  Peranan Jalur Laut dalam penyebaran Agama HinduBudha ke Asia Tenggara.  Peranan wilayah pesisir dalam penyebaran budaya India di Asia Tenggara.  Perkembangan budaya India di Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara.



Mahasiswa memiliki  kemampuan:  Menganalisis konsep Indianisasi dan Hindunisasi di Asia 



Konsep Indianisasi dan Hindunisasi di Asia Tenggara. Perkembangan



UJIAN TENGAH SEMESTER  Berdasarkan peta Asia,  Partisipasi, aktivitas dosen bersama mahasiswa dan kerjasama dalam membahas tentang peranan proses pembelajaran. jalur sutra dan jalur laut  Hasil pekerjaan serta peranan wilayah mahasiswa berupa pesisir dalam penyebaran tabel perbandingan Agama Hindu-Budha ke peranan Jalur Sutra Asia Tengah, Asia Timur dengan Jalur Laut dan Asia Tenggara. dalam perkembangan  Mahasiswa secara budaya India di Asia kelompok Tengah, Asia Timur membandingkan peranan dan Asia Tenggara. 150 Jalur Sutra dengan Jalur  Mencari informasi menit Laut dalam perkembangan tentang perbedaan budaya India di Asia konsep Indianisasi dan Tengah, Asia Timur dan Hindunisasi. Asia Tenggara dalam bentuk tabel.



 Diberikan tayangan video tentang proses masuknya budaya India di kawasan Asia Tenggara, Mahasiswa secara kelompok mencari



150 menit



 Partisipasi, aktivitas dan kerjasama dalam proses pembelajaran.  Hasil pekerjaan mahasiswa membuat



 George Coedes. (2010). Bab 1  Arnold Toynbee. (2006). Bab 58  Frances Wood. (2002). 104  Adrian Vickers. (2009). Bab 1



 George Coedes. (2010). Bab 2  Arnold Toynbee. (2006). Bab 72 9



Tenggara. awal budaya India di  Mendeskripsikan kawasan Asia terbentuknya Tenggara. pemukimam-pemukiman India di Kawasan Asia  Perluasan Tenggara. budaya India di Kawasan Asia  Menelusuri melalui Peta Tenggara. Asia perluasan dan perkembangan budaya  Proses India di Kawasan Asia Akulturasi dan Tenggara dilihat dari Asimilasi aspek sosial budaya, budaya India di ekonomi, dan politik. kawasan Asia Tenggara.  Menyimpulkan proses akulturasi dan asimilasi budaya India dengan budaya-budaya di kawasan Asia Tenggara. 11



informasi dan mendiskusikan tentang perkembangan budaya India di Asia Tenggara.  Mahasiswa secara kelompok menyimpulkan hasil diskusi dalam tulisan berupa artikel.



Mahasiswa memiliki  Proses  Mahasiswa dibagi dalam kemampuan: Indianisasi di tiga kelompok besar.  Mendeskripsikan proses MyanmarKelompok pertama perkembangan pengaruh Thailandmendiskusikan tentang peradaban Hindu-Budha Semenanjung pengaruh peradaban di Myanmar-ThailandMalaya lewat Hindu-Budha di Semenanjung Malaya. jalur utara dan Myanmar-Thailandselatan, laut Semenanjung Malaya  Mengidentifikasi serta darat. dalam aspek seni, budaya, peninggalan-peninggalan arsitektur. kebudayaan bercorak  Pengaruh Kelompok kedua Hindu-Budha di peradaban mendiskusikan tentang Myanmar-ThailandHindu-Budha di pengaruh peradaban Semenanjung Malaya. MyanmarHindu-Budha di Thailand Menelaah perkembangan Myanmar-ThailandSemenanjung sosial, budaya, politik, Semenanjung Malaya Malaya dalam dan ekonomi masyarakat dalam aspek politik. aspek sosial, bercorak Hindu-Budha di



150 menit



artikel tentang proses perkembangan budaya India di kawasan Asia Tenggara.  Mencari informasi tentang perkembangan kerajaan-kerajaan yang bercorak HinduBudha di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-4 M s/d 8 M.



 Adrian Vickers. (2009). Bab 2



 Partisipasi, aktivitas dan kerjasama dalam proses pembelajaran.  Hasil pekerjaan mahasiswa membuat tabel klasifikasi.  Mencari informasi tentang pengaruh peradaban HinduBudha di MyanmarThailandSemenanjung Malaya.



 George Coedes. (2010). Bab 3,4,5 dan 6  Arnold Toynbee. (2006). Bab 72  Adrian Vickers. (2009). Bab 4 dan 5



10



Myanmar-Thailandbudaya, politik, Kelompok ketiga Semenanjung Malaya. dan ekonomi. mendiskusikan tentang pengaruh peradaban  Menelaah peninggalan-  PeninggalanHindu-Budha di peninggalan kebudayaan peninggalan Myanmar-Thailandbercorak Hindu-Budha di kebudayaan Semenanjung Malaya Myanmar-Thailandbercorak Hindudalam aspek struktur sosial Semenanjung Malaya. Budha di dan ekonomi. MyanmarThailand Setiap kelompok diminta Semenanjung untuk membuat laporan Malaya. hasil diskusi berupa klasifikasi dan  Karakteristik karakteristik masingpengaruh masing tema (sosial, peradaban budaya, politik) di setiap Hindu-Budha di wilayah di Asia Tenggara MyanmarDaratan dalam bentuk Thailandtabel. Semenanjung  Setiap kelompok Malaya. mempresentasikan hasil diskusinya. 12



Mahasiswa memiliki kemampuan: Mendeskripsikan proses perkembangan pengaruh peradaban Hindu-Budha di Indo-China. Mengidentifikasi peninggalan-peninggalan kebudayaan bercorak Hindu-Budha di IndoChina. Menelaah perkembangan sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat



 Proses  Mahasiswa dibagi dalam Indianisasi di tiga kelompok besar. Indo-China Kelompok pertama lewat jalur utara mendiskusikan tentang dan selatan, laut pengaruh peradaban serta darat. Hindu-Budha di IndoChina dalam aspek seni,  Pengaruh budaya, arsitektur. peradaban Kelompok kedua Hindu-Budha di mendiskusikan tentang Indo-China pengaruh peradaban dalam aspek Hindu-Budha di Indososial, budaya, China dalam aspek politik. politik, dan Kelompok ketiga



150 menit



 Partisipasi, aktivitas dan kerjasama dalam proses pembelajaran  Hasil pekerjaan mahasiswa membuat peta konsep secara kelompok.  Mencari informasi tentang pengaruh peradaban HinduBudha di Indo-China.  Peta konsep tentang pengaruh peradaban Hindu-Budha di Asia



 George Coedes. (2010). Bab 7 s/d Bab 15  Arnold Toynbee. (2006). Bab 72  Adrian Vickers. (2009). Bab 4 dan 5  Manguin,Pierre -Yves. A, Mani, an.



11



bercorak Hindu-Budha di Indo-China. Menelaah peninggalanpeninggalan kebudayaan bercorak Hindu-Budha di Indo-China. Menghubungkan dinamika sejarah yang terjadi di kawasan Asia Tenggara Daratan (Mainland Southeast Asia) dengan teori Arnold Toynbee mengenai siklus peradaban. Membuat peta konsep.



13



ekonomi. mendiskusikan tentang pengaruh peradaban  PeninggalanHindu-Budha di Indopeninggalan China dalam aspek kebudayaan struktur sosial dan bercorak Hinduekonomi. Budha di IndoChina.  Setiap kelompok diminta untuk membuat laporan  Karakteristik hasil diskusi berupa pengaruh klasifikasi dan peradaban karakteristik masingHindu-Budha di masing tema (sosial, Indo-China. budaya, politik) di setiap  Teori Arnold wilayah dalam bentuk Toynbe tabel. mengenai siklus  Setiap kelompok peradaban: mempresentasikan hasil Genesis, diskusinya. Growth, and Breakdown.



Mahasiswa mampu:  Proses masuknya  Mahasiswa menyimak Menjelaskan proses agama Buddha dengan kritis pemaparan masuknya agama Buddha sebagai bagian dosen tentang proses sebagai bagian dari dari peradaban masuknya agama Buddha peradaban India ke Cina. India ke Cina ke Cina. Menganalisis  Perkembangan  Tanya jawab model perkembangan agama agama Buddha di triangulasi tentang Buddha di Cina. Cina Perkembangan agama Buddha di Cina. Mengidentifikasi bukti-  Bukti-bukti bukti peninggalan peninggalan  Mahasiswa mengerjakan pengaruh India di Cina. pengaruh India di tugas membuat rangkuman Cina perkuliahan tentang pengaruh peradaban India di Cina.



Tenggara sebagai individu.



150 menit



Daratan tugas



Penilaian otentik dengan instrumen lembaran observasi dan pedoman penilaian tugas rangkuman.



 Creel, H.G. (1990). Alam Pikiran Cina Sejak Confucius Sampai Mao Zedong. Yogyakarta: PT Tiara Wacana  Taniputera, Ivan. (2008). History of China. Yogyakarta: Ar-Ruzz 12



Media  Wood, Frances. (2003). The Silk Road: Two Thousand Years in the Heart of Asia. London: The British Library 14



Mahasiswa mampu:  Proses  Mahasiswa menyimak Memaparkan secara kritis masuknya penjelasan dosen tentang proses masuknya pengaruh pengaruh India proses masuknya India di Korea. di Korean. pengaruh India ke Korea. Menjelaskan berbagai  Berbagai  Mahasiswa melakukan peninggalan pengaruh peninggalan inkuiri dalam kelompok India di Korea. pengaruh India tentang karakter di Korea. pengaruh peradaban India Mengidentifikasi karakter terhadap sistem agama Buddha yang  Karakter agama kepercayaan masyarakat berkembang di Korea. Buddha yang Korea dengan arahan dan berkembang di bimbingan dosen. Korea.



Penilaian otentik dengan instrumen penilaian proses diskusi.



150 menit



 Lancaster, Lewis, and Chai-Shin Yu. 1989. The Introduction of Buddhism to Korea: New Cultural Patterns. Fremont, CA: Asian Humanities Press  Buddhakketa, Agama Buddha di Korea, diakses 2013, dari http://www.bu ddhakkhetta.c 13



om/User/Kat1 /Sub12/Art73/ baca.php? com=1&id=1 73  Ebook,Alexan der berzin, Buddhism and Its Impact on Asia.Asian Monographs, no. 8 15



16



Mahasiswa mampu :  Proses masuknya  Mahasiswa menyimak Menjelaskan proses pengaruh penjelasan dosen tentang masuknya pengaruh peradaban India proses masuknya peradaban India (agama (agama Buddha) pengaruh India ke Jepang. Buddha) di Jepang. di Jepang.  Tanya jawab model Menelaah perkembangan  Perkembangan triangulasi dan diskusi pengaruh agama Buddha pengaruh agama kelompok tentang terhadap kehidupan Buddha terhadap pengaruh perkembangan masyarakat Jepang. kehidupan agama Buddha terhadap masyarakat kehidupan masyarakat Terampil Jepang. mengkomunikasikan hasil Jepang. telaah kelompok tentang pengaruh India dalam kehidupan masyarakat Jepang.



Penilaian otentik dengan instrumen penilaian proses diskusi.



Mason, R.H.P and Caiger.1997. A History of Japan. Revised Edition. Tokyo: Tuttle. 47-50; 98110;158-190.



150 menit



UJIAN AKHIR SEMESTER



14



6. Daftar Rujukan Aizid, R. (2014). Peradaban-peradaban Besar Dunia: Dari sebelum Masehi hingga Modern. Yogyakarta: Laksana. Craig, A. M., et all. (1986). The Heritage of World Civizations. New York: Macmillan Publishing Company. Creel, H. G. (1990). Alam Pikiran Cina Sejak Confucius Sampai Mao Zedong. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Coedes, G. (2010). Asia Tenggara Masa Hindu-Budha. Jakarta.KPG.Pusat Penelitian dan PAN. Hall, D. G. E. (1972). A History of South-East Asia. London: Mc Millan. Kamarga, H. dan Kusmarni, Y. (Ed). (2012). Pendidikan Sejarah untuk Manusia dan Kemanusiaan: Refleksi Perjalanan Karir Prof. Dr. H. Said Hamid Hasan, M.A. Jakarta: Bee Media Indonesia. Keay, J. (2000). India a History. New York: Atlantic Monthly Press. Lancaster, L. and Chai-Shin Yu. (1989). The Introduction of Buddhism to Korea: New Cultural Patterns. Fremont, CA: Asian Humanities Press. Manguin, P.-Y., Mani, A. and Wade, G. (tahun). Early Interactions. Between South and South East Asia. India: Manohar. Mason, R. H. P. and Caiger. (1997). A History of Japan. Revised Edition. Tokyo: penerbit. Mulia, T. S. G. (1957). India: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Balai Pustaka. Nguyen Khao Vien. (1987). Vietnam A Long History. Hanoi: Foreign Language Publishing House. Olson, S. (2003). Mapping Human History: Discovering the Past Thrugh Our Genes. New York: Mariner Book. Su’ud, A. (1992). Asia Selatan Sebelum Zaman Islam. Semarang: IKIP Semarang Press. Suwarno. (2012). Dinamika Sejarah Asia Selatan. Yogyakarta: Ombak. Seignobos, C. (2014). Sejarah Peradaban Kuno. Yogyakarta: Indoliterasi. Taniputera, I. (2008). History of China. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Toynbee, A. (2006). Sejarah Umat Manusia . Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Vickers, A. (2009). Peradaban Pesisir: Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara. Bali: Pustaka Larasan. Wood, F. (2003). The Silk Road: Two Thousand Years in the Heart of Asia. London: The British Library. Zimmer, H. (2003). Sejarah Filsafat India. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



15



7. Lampiran Lampiran 1. Instrumen Tes Hasil Belajar



UTS Sejarah Peradaban Hindu PETUNJUK:  Soal ini terdiri dari dua bagian yaitu bagian pernyataan dan bagian pertanyaan  Bacalah bagian pernyataan dengan teliti dan pahami maknanya sebelum Anda menjawab pertanyaan yang diajukan  Anda boleh mengerjakan pertanyaan manapun terlebih dahulu tetapi jangan lupa menuliskan nomor pertanyaan  Jawaban dikerjakan pada lembar jawaban yang disediakan/folio  Waktu pengerjaan 100 menit  Soal dikembalikan dalam keadaan bersih ===================================================================== Untuk soal no 1 berhubungan dengan pernyataan berikut ini : Pernyataan : “Meluha”, dari mana kapal-kapal tiba untuk berdagang dengan Sargon Yang Agung adalah India, di mana suatu peradaban besar telah tumbuh. Tetapi dari peradaban yang besar itu tidak ada satu tokoh pun yang masih terkabar”. (Susan Wise Bauer, 2011:115) 1. Apa yang dimaksud dengan wacana di atas bahwa “di India tumbuh peradaban besar yang tidak ada satu tokoh pun yang masih terkabar” ? Uraikan secara jelas dan benar, dalam uraian Anda hendaknya disertai dengan berbagai karakteristik peradaban tersebut. Uraian Anda tidak melebihi 1 (satu) halaman folio dengan skor maksimal 37. Untuk soal no. 2, 3 dan 4 berhubungan dengan pernyataan berikut ini: Pernyataan: “Agama Hindu dimulai dengan politheisme dan berakhir dengan pantheisme. Perkembangan kepada pantheisme disempurnakan di dalam Upanishad”. (Harun Hadiwijono, 1989:40-41) 16



Pertanyaan: 2. Berdasarkan pernyataan di atas, coba Anda uraikan, mengapa agama Hindu dimulai dengan politheisme dan diakhiri dengan pantheisme ?. Dalam uraian Anda hendaknya disertai dengan garis waktu (time line) perkembangan agama Hindu. Skor maksimal yang Anda peroleh adalah : 30 3. Mengapa perkembangan politik terjadi belakangan dibandingkan perkembangan budaya dan sosial di India ?. Bagaimana awal perkembangan sejarah politik di India ?. Skor maksimal yang Anda peroleh adalah : 27 4. Identifikasikan dalam bentuk tabel perbedaan dinasti Maurya dengan dinasti Gupta. Dalam identifikasi Anda hendaknya disertai dengan sumber-sumber informasi yang relevan. Skor maksimal yang Anda peroleh adalah: 27 SELAMAT BEKERJA



17



FORMAT PENILAIAN PRESENTASI TEMA DISKUSI



: …………………………………………………………………………



TANGGAL/KELAS : …………………………………………………………………………



No



Indikator



1



Penguasaan materi presentasi



2 3



Keterampilan mempersentasikan Artikulasi dan Intonasi Suara



4



Penggunaan Bahasa



5



Ekspresif



I



II



KELOMPOK III



IV



V



KETERANGAN : KRITERIA PENILAIAN SKOR 15 - 13 12 - 10 9 - 7 < 7



NILAI A B C D



KESIMPULAN PENGAMAT : 18



RUBRIK DISKUSI KELOMPOK



No 1



Indikator



3 (Baik) Antusias dalam melaksanakan Setiap anggota diskusi kelompok terlihat antusias dan gembira dalam melaksanakan diskusi



2



Bekerja sama dalam Setiap anggota menyiapkan bahan diskusi dan kelompok terlihat melaksanakan tugas diskusi bekerjasama dengan baik dalam menyiapkan bahanbahan diskusi sehingga dapat melaksanakan diskusi dengan baik



3



Pembagian tugas kelompok



Setiap anggota kelompok mendapatkan pembagian tugas secara baik dan adil



Kriteria Penilaian 2 (Cukup Baik) Hanya beberapa anggota kelompok (1 – 3 orang) yang terlihat antusias dalam melaksanakan diskusi Hanya beberapa orang (2 – 3 orang) yang terlihat menyiapkan bahan dan mengerjakan tugas diskusi dengan baik sedangkan anggota kelompok lainnya hanya diam, mengobrol atau mengerjakan tugas lainnya Setiap anggota kelompok mendapatkan pembagian tugas secara baik tetapi kurang adil karena beberapa anggota kelompok



1 (Kurang Baik) Setiap anggota kelompok kurang terlihat antusias dalam melaksanakan diskusi Hanya 1 – 2 orang yang terlihat menyiapkan bahan dan mengerjakan tugas diskusi sedangkan anggota kelompok lainnya hanya diam, mengobrol atau mengerjakan tugas lainnya Tidak terlihat pembagian kelompok yang baik dan adil karena hanya 1 – 2 orang yang mengerjakan tugas



19



4



Menghargai pendapat



5



Komunikasi kelompok



antar



Setiap anggota kelompok mendengarkan dan menyimak setiap pendapat temannya dengan baik dan serius



mengerjakan tugas lebih banyak dibandingkan dengan teman lainnya Hanya beberapa anggota kelompok saja yang terlihat mendengarkan dan menyimak pendapat temannya dengan baik



anggota Setiap anggota kelompok berkomunikasi dengan bahasa yang baik dan santun



Hanya beberapa anggota kelompok yang berkomunikasi dengan bahasa yang baik dan santun



Setiap anggota kelompok kurang mendengarkan dan menyimak pendapat temannya dengan baik, karena masingmasing anggota kelompok saling berargumentasi Hanya 1 – 2 orang anggota kelompok yang berkomunikasi dengan bahasa yang baik dan santun



20



FORMAT PENILAIAN DISKUSI KELOMPOK TEMA DISKUSI



: …………………………………………………………………………



TANGGAL/KELAS



: …………………………………………………………………………



No



Indikator



1



Antusias dalam melaksanakan diskusi



2 3



Bekerja sama dalam menyiapkan bahan diskusi dan melaksanakan tugas diskusi Pembagian tugas kelompok



4



Menghargai pendapat



5



Komunikasi antar anggota kelompok



I



II



KELOMPOK III



IV



V



KETERANGAN : KRITERIA PENILAIAN SKOR 15 – 13 12 – 10 9 - 7 < 7



RUBRIK LAPORAN DISKUSI



NILAI A B C D 21



No



Indikator



1



Pemahaman materi diskusi



2



Sumber yang digunakan



3



Sistematika berpikir



4



Bahasa yang digunakan



5



Tulisan



Kriteria Penilaian 3 2 (Baik) (Cukup Baik) Menunjukkan Menunjukkan pemahaman materi pemahaman materi yang baik yang cukup baik Menggunakan Menggunakan sumber sumber lebih dari 3 1 - 2 sumber (tiga) sumber Laporan menggunakan sistematika berpikir yang runtut dan jelas Laporan menggunakan bahasa yang baik dan lugas Tulisan dalam laporan jelas dan rapih



Laporan menggunakan sistematika berpikir yang jelas tetapi tidak runtut Laporan menggunakan bahasa yang baik tetapi tidak lugas Tulisan dalam laporan jelas tetapi kurang rapih



1 (Kurang Baik) Menunjukkan pemahaman materi yang kurang baik Menggunakan sumber hanya 1 (satu) sumber atau tidak menggunakan sumber sama sekali Laporan menggunakan sistematika berpikir yang tidak runtut dan tidak jelas Laporan menggunakan bahasa yang kurang baik dan tidak lugas Tulisan dalam laporan tidak jelas dan tidak rapih



FORMAT PENILAIAN LAPORAN DISKUSI 22



TEMA DISKUSI : ………………………………………………………………………… TANGGAL/KELAS : ………………………………………………………………………… No



Indikator



1



Pemahaman materi diskusi



2



Sumber yang digunakan



3



Sistematika berpikir



4



Bahasa yang digunakan



5



Tulisan



I



II



KELOMPOK III



IV



V



KETERANGAN : KRITERIA PENILAIAN SKOR 15 – 13 12 – 10 9 - 7 < 7



NILAI A B C D



Lampiran 2. Bahan Ajar berupa Power Point Perkuliahan Slide 1



Slide 2 23



Slide 3



Slide 4



Slide 5



Slide 6



Slide 7



Slide 8



24



Slide 9



Slide 10



Slide 11



Slide 12



Slide 13



Slide 14



25



Slide 15



Slide 16



Slide 17



Slide 18



26



Bahan Ajar Perkembangan Agama Buddha di Cina



27



SEJARAH MASUKNYA AGAMA BUDHA DI CINA Secara tradisi dikatakan bahwa penyebaran Agama Budha dari India ke Tionghoa (Cina) dan terjemahan kitab suci yang pertama kali dari bahasa Sansakerta ke dalam bahasa Mandarin terjadi selama kerajaan ‘kaisar Pertama’ atau The First Emperor (Shih Huang –Ti; tahun 246-210 S.M.), dari Dinasti Ch’in yang berlangsung singkat. Menurut sejarah ini, 18 orang bijak yang membawa kitab suci Agama Budha dari India ke Cina, dimana Agama Budha sudah diterima oleh orang-orang Tionghoa (Chinese). Menurut pendapat yang umumnya diterima ialah Agama Buddha mulai berpengaruh di Negeri Cina Pada pertengahan Abad pertama, pada kekuasaan Dinasti Han dibawah pemerintahan Kaisar Ming Ti (58-76). Menurut ceritanya, pada tahun ketiga dari pemerintahannya, Kaisar Ming Ti bermimpi melihat suatu benda terbuat dari emas yang terbang melayang di atas istananya. Kepala benda itu bersinar seperti matahari dan bulan. Menurut tafsiran menterinya hal itu menunjukkan akan kelahiran makhluk ilahi (Buddha) di sebelah barat Cina. kaisar Ming Ti segera mengutus 18 orang ke India. Hasil perutusan itu ialah bahwa ada dua orang 28



Bhiksu datang ke Cina, yang kemudian banyak menterjemahkan banyak kitab Budhis.1[6] Kedua Bhiksu itu adalah Kashyapamatangadan Mdian Dharma Raksha. Bhiksu-bhiksu ini menterjamahkan sejumlah naskah Budist, termasuk sutra 42 Bab’ (Ssu-shih-erh-chang-ching), di satu Vihara di Loyang, kemudian menjadi ibukota Han sebagai yang pertama kali. Menurut tradisi, Sutra 42 bab itu adalah hasil karya terjemahan bersama-sama oleh Kashyapamatanga dan MdianDharmaraksha.



 



PerkembanganAgama Buddha di Cina Ketika Kaisar Ming Ti (58-76 M) mengirimkan utusan ke India untuk meneliti agama Budha. Perkembangan awal agama



tersebut di Cina kurang memperlihatkan hasil yang menggembirakan karena mendapat perlawanan dan tantangan dari kepercayaan dan filsafat asli Cina yang telah berkembang sebelumnya, seperti yang telah diajarkan oleh Konfsius, selain ajaran dan filsafat buddha dianggap terlalu kaku dan metafisis sehingga dirasakan sangat bertentangan dengan alam pikiran Cina yang praktis dan materialistis. Perkembangan yang cukup pesat mulai terjadi setelah abad kedua Masehi, yang antara lain karena jatuhnya Dinasti Han yang diikuti dengan merosotnya faham Konfusianisme dan Taoisme sehingga mengakibatkan Cina menghadapi periode kegelisahan budaya. Tradisi dan struktur sosial yang ada mulai melemah, sementara alternatif baru belum muncul. Dalam tradisi budaya seperti itulah budha mahayana muncul dan dipandang mampu memenuhi kebutuhan yang ada dengan menawarkan suatu bentuk upacara keagamaan yang berbeda dari tradisi-tradisi yang sudah ada sebelumnya di satu pihak, dan dilain pihak kepercayaan dan tradisi asli tadi memberikan sumbangan dalam membentuk kualitas Agama Budha yang merakyat di Cina. Kebanyakan kitab suci Agama Budha dari India yang sampai ke China melalui perjalanan darat yang dikenal dengan Silk Road atau Jalan Sutra, walaupun sebagiannya dikirimkan dari India dan Srilanka melalui laut, sutra-sutra agama Budha itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin.



1 29



Pada tahun 147 M seorang muni (Rahib) dari Asia Tengah bernama Lokaraksha telah menetap di Loyang, ibukota Han masa itu. Pada abad ke-2 sampai ke-4 M mengalir sekian banyak rahib dari India ke Tiongkok dan giat menyalin sutra ke dalam bahasa Tionghoa. Diantaranya terkenal Kumarajiva (344-413). Pada tahun 399 M seorang rahib Tionghoa bernama Hsien bersama rombongannya terdiri atas 10 orang melawat ke India melalui jalan darat untuk mempelajari agama Budha pada pusatnya. Empat belas tahun kemudian, yakni pada tahun 413 M, ia pun pulang melalui jalan laut dengan singgah di Sriwijaya (Sumatera) dan di Taruma Negara (Jawa Barat), dan tiba kembali di Nanking. Ia giat menyalin berbagai sutras. Catatannya pada negeri-negeri Budha (Record of Buddhist Countries) amat terkenal sampai kini. Dalam masa dua setengah abad sepeninggalnya banyak lagi pelawat, terdiri dari rahib-rahib Tionghoa, berangkat ke India. Tetapi catatan perlawatan mereka itu lenyap kecuali petikan-petikan singkat



dijumpai pada berbagai naskah tua. Menjelang



penghujung abad ke-7 M, seorang rahib Tionghoa bernama Hsuan-Tsang (I-Tsing) melakukan perlawatan lagi ke India dan catatan perlawatannya pada berbagai wilayah barat itu (Record of Western Regions) merupakan salah satu sumber sejarah sampai kini. Ia mengeluh menyaksikan agama yang di cintainya itu telah kehilangan pengaruh pada anak benua India. Pada periode awal perkembangan Agama Budha di Cina itu banyak didirikan wihara-wihara dan dilakukan penerjemahan naskah-naskah kedalam bahasa Cina. Salah seorang penerjemah yang terkenal adalah Sarvastivadin yang telah mengerjakan terjemahan tidak kurang dari 100 naskah Buddha kedalam bahasa Cina. Akan tetapi masa keemasan agama Budha di Cina terjadi antara abad ke-7 M Hingga abad ke-9 M dibawah kekuasaan Dinasti Tang. Pada masa ini, kontak antara Cina dan India tidak hanya terbatas pada bidang keagamaan saja, tetapi juga menyangkut bidang-bidang yang lain. Dinasti Tang memiliki ciri keterbukaan kuat terhadap pengaruh asing dan pertukaran unsur kebudayaan dengan India. Namun, pengaruh asing kembali dianggap negative pada masa akhir Dinasti Tang. Pada tahun 845, Kaisar Tang Wu Tsung melarang semua agama asing untuk lebih mendukung Taoisme yang merupakan ajaran pribumi. Maka dengan ini, berakhirlah kejayaan kebudayaan dan kekuasaan intelektual Buddha. Pada Masa Dinasti Tang, agama Buddha diadaptasikan dan dikombinasikan dengan kebudayaan setempat, seperti terlihat dalam berbagai karya seni yang bercorak keagamaan. Masa keemasan ini juga ditandai dengan banyaknya para ilmuwan Cina yang 30



melakukan perjalanan untuk mempelajari dan menulis sejarah agama ke berbagai negeri termasuk Nusantara, menterjemahkan kitabkitab sutra dan memperkaya dengan ide-ide keagamaan yang ganjil dan menakjubkan. Diantara para ilmuwan itu adalah fa Hien, Hi Nen Tsang dan I’Tsing. Namun kemajuan agama Budha di Cina itu ditandai pula dengan kebangkitan kembali Konfusianisme yang bersifat sosialelitis sehingga sering berbenturan dengan ajaran Budha yang menekankan pada kehidupan sejati melalui hidup membiara sebagai Bhikkhu. Pertentangan tersebut merembet pula pada tradisi Cina yang menekankan pada kehidupan keluarga di satu pihak, dengan ajaran Buddha untuk hidup selibat dan membiara di lain pihak yang secara ekonomis tidak membantu pengembangan produktivitas keluarga dan masyarakat. Namun sejauh itu agama Budha tetap mampu mengakomodasikan dirinya dengan kepercayaan tersebut sehingga memperoleh tempat sejajar dengan Konfusianisme dan Taoisme. Bahkan ketiga-tiganya membentuk landasan filsafat dan agama di Cina yang dikenal sebagai SamKauw atau Tri dharma yang berarti tiga ajaran. Paramartha(Po-lo-mo-tho) Paramatha berasal dari Ujjain dan dikirim ke Cina oleh raja Magadha, tahun 548 M tiba di Nanking. dia menerjemahkan Mahayana Samparigraha dari Asanga dan komentar-komentar dari vasubhandu pada tahun 563 M. Pada tahun 564 M, ia menerjemahkan Tarka-Sastra dari Vasubhandu. Antara tahun 566-567 M, dia menerjemahkan kembali Tarka-Sastra. Selain seorang penerjemah yang hebat, dia juga seorang guru besar logika Budhis yang hebat. Dia adalah penerjemah yang besar yang telah memberikan konstribusi yang paling penting setelah kumarajiva dan sebelum Xuan Zhung. Paramatha meniggal dalam usia 71 tahun pada tahun 568 M. Meninggalkan karya terjemahan sebanyak 70 judul kitab agama Buddha. Xuan Zhuang Apa yang diterjemahkan dan disebarkan oleh Xuan Zhuang berdasarkan pada ajaran Dharmapala sebagai patokan murid-muridnya menganggap ide Paramartha dan pandangan dari guru-guru besar Dasabhumi-sastra-sastra sebagai pemikiran kolot atau terjemahan versi lama. Dan mereka menganggap apa yang diterjemahkan da disebarkan oleh Xuan zhuang sebagai terjemahan versi baru. Budhabhadra menerjemahkan Matamasaka-Sutra antara tahun 418-421 M. 31



Dharmaksema menerjemahkan Mahaparanirvana-sutra pada Tahun 421 M Gunabhadra menerjemahkan Lankavatara-sutra pada tahun 443 M. Bodhiruci menerjemahkan sutra-sutra dan komentar-komentar sekte Yogacara Mahayana (sistem dari Asanga dan Vasubhandu) Penyebaran Agama Budha di Cina tidak dapat dipisahkan dari peranan penerjemahan yang paling awal, seperti yang disebutkan diatas berlangsung pada kaisar Ming Ti dilakukan oleh Kasyapamatanga dan Zhu Fa Lan yang mulai menerjemahkan sutra 42 Bagian. Konon mereka juga menerjemahkan beberapa sutra lainnya. Semua ini merupakan penerjemahan yang paling awal. Selama masa akhir Dinasti Han penerjemah yang paling terkenal adalah diantaranya: a. An Zhi Gau dari An Xi (sekarang di wilayah Iran) b. Lokaksema dari Re Zi, Kang Seng Hue, dan Kang Seng Kai dari Kang Ju (sekarang di Siberia di Rusia) c.Seorang Biksu Cina berdarah Da Re Zi, Zhu Fa Hu yang merupakan salah satu misionaris terawal yang pergi ke India untuk mencari Dharma. Karena usaha mereka, banyak kitab suci baik dari aliran Srawaka maupun Mahayana diterjemahkan kedalam bahasa Mandarin. Perbedaan antara kitab-kitab yang diterjemahkan oleh para penerjemah diatas adalah ada dua sistem utama diantara mereka. Satu sistem termasuk kedalam aliran Theravada yang memiliki ajaran sutra Agama dan doktrin meditasi sebagai subjek utama, yang dapat diwakilkan oleh An Shi Gao. Yang lain tergolong kedalam aliran Mahayana, yaitu berdasarkan Sitra Prajna dan Konsep Tanah Suci, yang dapat diwakilkan oleh Lokaksema. Kedua sistem ini terus berkembang secara bersamaan. Setelah akhir masa Dinasti Tang, agama Budha lambat laun mengalami kemunduran. Situasi demikian terus berlanjut sampai Dinasti Qing. Namun semenjak Dinasti Qing, agama Budha mulai diperbaharui kembali. Banyak orang berbakat yang muncul, diantara tokoh-tokoh yang terkenal dari agama Budha modern tersebut adalah Yeng Ren Shan (1837-1911). Dengan tujuan melatih personil Budhis dan memperluas sirkulasi buku-buku Budhis sehingga dapat mempermudah penelitian Budhis, dia menghabiskan beberapa dekade untuk memberikan eramah dan mengembangkan publikasi Budhis. Dari Jepang, dia memboyong banyak hasil karya



32



penting sekte Madhyamika dan Yogacara yang telah hilang di Cina. Dia juga yang berperan dalam percetakan penerbitan hasil karya tersebut di Jing Ling Ke Jing Zu (Biro Percetakan Kitab Suci Budhis Jing Ling). AGAMA BUDDHA DI KOREA Semua tradisi Buddhis China dibawa ke Korea pada permulaan abad ke-4, tetapi tradisi-tradisi itu menjadi satu kekuatan kultural yang penting hanya dalam abad ke-7, sebagaiannya oleh karena usaha luar biasa hebat dari cendekiawan besar Buddhis Korea, yaitu Wonhyo( 417-686). Tradisi Ch’an yang sangat berpengaruh mungkin dibawa ke Korea, dimana ia dikenal sebagai Son oleh Pomnang pada pertengahan abad ke-7. Anmun Chinul (1158-1210) yangyang mendirikan sekolah chogye-chong tradisi Son sebagai tradisi Buddhis yang dominan di Korea. Negeri Korea mulai mengenal agama Buddha pada awal abad ke-4 M. Pada masa itu semenanjung Korea terbagi dalam tiga wilayah, yakni Koguryu/Goguryeo (di utara), Pakche/Baekje (barat daya), dan Silla (tenggara). Sejarah agama Buddha di ketiga wilayah tersebut tidak sama. Agama Buddha untuk pertama kali dibawa ke Koguryo oleh seorang bhikṣu bangsa China pada tahun 372 bernama Sundo yang berasal dari dinasti Qian. Dua belas tahun kemudian agama Buddha baru tiba di Pakche dan diperkenalkan oleh Bhikṣu Marananda dari Asia Tengah. Sedangkan Silla adalah wilayah terakhir yang mengenal agama Buddha, yakni sekitar 30 tahun setelah agama Buddha diperkenalkan di Koguryu. Peranan Korea dalam sejarah agama Buddha terletak pada kedudukannya sebagai jembatan penyeberangan agama Buddha dari China ke Jepang. Meskipun agama Buddha di semenanjung Korea diterima oleh kerajaan-kerajaan setempat, namun sejarah tidak mencatat kemajuan dari ajaran agama Buddha. a)      Koguryu (Utara) Sejarah dan tokoh-tokohnya : 33



Goguryeo adalah sebuah kerajaan kuno yang menduduki wilayah Manchuria dan sebelah utara Semenanjung Korea. Goguryeo termasuk ke dalam Tiga Kerajaan Korea bersama Kerajaan Baekje dan Silla dan merupakan kerajaan yang terbesar. Goguryeo berdiri tahun 37 SM dan berakhir pada tahun 668 Masehi. Agama Buddha disebarkan Oleh Bikhu Ado dari Goguryeo pada Pertengahan abad ke 5. Karena sesuai sebagai alat spiritual demi menciptakan struktur pemerintahan berdasarkan Buddha, agama Buddha mendapat dukungan penuh dari penguasa tiga kerajaan seperti raja yang berfungsi sebagai symbol kekuasaan yang diagungkanPeranan Korea pada sejarah agama Budda terletak pada kedudukannya sebagai jembatan penyebrangan agama Buddha dari China ke Jepang. Meskipun agama Buddha diteriama oleh kerajaan- kerajaan di berbagai tempat, namun sejarah tidak mencatat kemajuan yang di bawa dari ajaran Buddha.



Sampai abad ke enam, para biarawan dan pengrajin bermigrasi ke Jepang dengan membawa kitab-kitab



suci dan artefak untuk membentuk dasar bagi terciptanya kebudayaan Buddha di sana. Kerajaan Koguryo didirikan oleh ‘raja Jumong(Dongmyong Songwang) di bagian selatan Mancuria. Teritorial kerajaan Koguryo mencakup sebagian Mancuria dan bagian Utara Semenanjung Korea, hingga kerajaan Koguryo tidak bisa dihindari dari pertentangan dengan suku Han di Cina.Kerajaan Koguryo mengusir segala kekuatan Cina dari Semenanjung Korea setelah mempecundangi tentara Nakrang dan Daebang di Cina yang mapan di Semenanjung Korea di saat kerajaan Gojosun runtuh. Setelah itu, kerajaan Koguryo juga berhasil memukul mundur kerajaan Su di Cina di tahun 598 lalu, hingga muncul sebagai negara kuat di wilayah Asia Timur Laut.Oleh karena itu, kerajaan Koguryo membuat jaya nama dengan memiliki teritorial yang paling luas dan militer yang paling kuat diantara 3 kerajaan. Meskipun demikian, kerajaan Koguryo yang kekuatan nasional menjadi lemah akibat pertengkaraan dengan kerajaan Su, akhirnya runtuh oleh pasukan sekutu antara kerajaan Shilla dan kerajaan Tang, Cina. Setelah runtuh, kerajaan Koguryo disatukan oleh kerajaan Shilla, namun sebagian para migran yang menerima berbagai suku setelah pindah ke utara, berhasil mendirikan kerajaan Balhae. Berdasarkan babad Korea Samguk Sagi, Baekje didirikan tahun 18 SM oleh Raja Onjo yang memimpin sebagian kecil warga Goguryeo menuju selatan Semenanjung Korea, tepatnya di wilayah propinsi Jeolla saat ini. Berdasarkan catatan sejarah Tiongkok, San Guo Zhi, pada masa Samhan, salah satu wilayah Konfederasi Mahan ada yang bernama Baekje.Samguk sagi memberikan penjelasan detail mengenai pendirian Baekje. Jumong meninggalkan putranya Yuri di Buyo ketika ia meninggalkan kerajaan tersebut 34



untuk mendirikan Goguryeo.



Jumong bergelar Dongmyeongseong setelah diangkat jadi raja di Goguryeo. Ia



mempunyai 2 putra lagi dari istri ke-2 nya di Goguryeo , yaitu Onjo dan Biryu. Ketika Yuri datang ke Goguryeo , Jumong langsung menggelarinya sebagai putra mahkota. Mengetahui bahwa Yuri akan dijadikan raja selanjutnya, Onjo dan Biryu memutuskan untuk hijrah ke selatan bersama 10 orang budak.



Onjo menetap di Wiryeseong (sekarang Hanam) dan mendirikan kerajaan yang disebut



Sipje ("Sepuluh Budak"), sementara Biryu menetap di Michuhol (sekarang Incheon). Sipje hidup dengan makmur, sedangkan Biryu harus bertahan susah payah karena Michuhol berair asin dan tanahnya berawa-rawa. Biryu lalu pergi menuju Wiryeseong untuk meminta Onjo menyerahkan tampuk kepemimpinan padanya, namun Onjo menolak dan membuat Biryu mendeklarasikan perang. Biryu kalah dalam perang tersebut dan bunuh diri karena malu. Para pengikut Biryu pindah ke Wiryeseong dan diterima senang hati oleh Onjo. Onjo lalu mengganti nama kerajaanya dengan :"Baekje" atau "Seratus Budak".Karena adanya tekanan dari negara bagian lain dari Konfederasi Mahan (Baekje pada awalnya merupakan negara bagian dari Konfederasi Mahan), Raja Onjo memindahkan ibukota dari selatan ke sebelah utara sungai Han, lalu pindah lagi ke selatan. Raja Gaeru memindahkan ibukotanya ke Gunung Buk (Bukhan) tahun 132 M di wilayah yang diperkirakan dekat dengan kota Kwangju saat ini. Baekje perlahan-lahan menjadi kuat dan mulai mengendalikan banyak negara bagianMahan. Masa ini disebut zaman Proto Tiga Kerajaan. b)      Pakche (Barat daya) Baekje (16 SM-660 M) adalah salah satu dari Tiga Kerajaan Korea, menguasai wilayah sebelah barat daya Semenanjung Korea. Baekje mengaku sebagai penerus darikerajaan Buyo dari Manchuria. Kerajaan Baekje didirikan oleh Raja Onjo, putra ke-3 dari Jumong, raja pendiri Goguryeo. Baekje beribukotakan di Wiryeseong, yang saat ini dekat dengan kota Seoul. Puncak keemasan Baekje terjadi pada abad ke-4 Masehi ketika kekuasaannya meliputi wilayah semenanjung Korea sebelah barat daya sejauh kota Pyongyang. Baekje runtuh tahun 660 setelah dikalahkan oleh gabungan Silla dan Dinasti Tang, lalu setelah itu menjadi wilayah kekuasaan Silla Bersatu. 35



Menurut legendanya, dua anak laki-laki dari raja Dongmyong Songwang di kerajaan Koguryo, yaitu Onjo dan Biryu membangun kerajaan Baekje setelah turun ke selatan. Dengan kata lain, kerajaan Baekje didirikan oleh kekuatan migran yang didorong dari kekuatan pimpinan kerajaan Koguryo. Kerajaan Koguryo dari bagian utara, menghalangi kerajaan Baekje maju, dan melakukan pertukaran dengan berbagai kerajaan di Cina di bagian timur. Sementara itu, kerajaan Baekje tidak bisa dihindari dari pertengkaran dengan kekuatan Cina di Semenanjung Korea, yaitu pasukan Daebang yang menguasai bagian selatan kerajaan Baekje, serta mengadakan pertempuran yang menyengsarakan dengan kerajaan Shilla di bagian timur yang semakin berkembang. Meskipun bunga budaya yang mewah berkembang, namun kekuatan nasional menjadi lemah akibat pertengkaran kerajaan Koguryo, dan Shilla, hingga ditaklukkan oleh pasukan gabungan di tahun 660. Setelah runtuh, banyak migran pindah ke Jepang, hingga menyumbangkan jasa besar untuk membangun negara kuno di Jepang dan menciptakan budaya Jepang. c)      Silla (Tenggara) Silla (57 SM {catatan 1} -935 AD adalah salah satu dari Tiga Kerajaan Korea, dan salah satu dinasti berkelanjutan terpanjang didunia. meskipun didirikan oleh Park Hyeokgeose, yang juga dikenal sebagai pencetus Korea nama keluarga Park, dinasti itu untuk melihat



Gyeongju



Kim.



clanterusaturan



untuksebagian



besardari



992perusahaantahun



sejarah.Apa



yang



dimulai



sebagaichiefdomdiKonfederasi Samhan, setelah bersekutudengan Cina, Sillaakhirnyamenaklukkandua kerajaanlainnya, Baekjedi660 danGoguryeodi668. Setelah itu, Silla BersatuatauSillaKemudian, seperti yangsering disebut, menduduki sebagian besarSemenanjung Korea, sedangkanbagian utarakembali munculsebagaiBalhae, penerus-negara Goguryeo. Setelahhampir 1000tahun pemerintahan, Sillaterpecah menjadisingkatKemudianTiga Kerajaan, menyerahkan kekuasaan kepadapenggantinyaDinastiGoryeodi935.



36



Agama Budha adalah agama filosofis yang menuntut disiplin tinggi dengan penekanan pada keselamatan pribadi melalui kelahiran kembali dalam suatu siklus reinkarnasi tanpa akhir. Agama Budha diperkenalkan di Korea pada tahun 372 pada periode pemerintahan Kerajaan Goguryeo oleh seorang biarawan bernama Sundo yang berasal dari Dinasti Qian Qin di Cina. Pada tahun 384, biarawan Malananda membawa agama Budha ke-Baekje dari Negara Bagian Timur Jin di Cina. Pada masa Kerajaan Silla, agama Budha disebarkan oleh Biksu Ado dari Goguryeo pada pertengahan abad ke-5.Agama Budha nampaknya mendapat dukungan penuh dari penguasa Tiga Kerajaan karena agama ini sangatlah sesuai sebagai alat spiritual demi menciptakan struktur pemerintahan berdasarkan Budha, seperti raja, yang berfungsi sebagai simbol kekuasaan yang diagungkan. Di bawah perlindungan kerajaan, banyak kuil dan biara dibangun dan jumlah pemeluk agama Budha meningkat secara tetap. Sampai abad keenam, para biarawan dan pengrajin bermigrasi ke Jepang dengan  membawa kitab-kitab suci dan artefak-artefak untuk membentuk dasar bagi terciptanya kebudayaan Budha di sana.Kuil Jogyesa adalah pusat agama Budha Zen di Korea dan berada dijantung kota Seoul. Ketika Kerajaan Silla menyatukan seluruh Semenanjung Korea pada tahun 668, agama Budha telah dijadikan sebagai agama negara, meski sistem pemerintahannya masih berdasarkan prinsip-prinsip Konfusianisme. Pilihan kaum kerajaan pada agama Budha pada periode ini menghasilkanperkembangan luar biasa dari kesenian Buddha dan arsitektur kul Buddha termasuk kuil Bulguks dan peniggalan-peninggalan lain di Gyeongju, ibukota Kerajaan Silla. Pemujaan negara pada agama Budha mulai menurun ketika kaum bangsawan menerjunkan diri dalam kehidupan yang penuh kemewahan. Agama Budha kemudian membentuk aliran Seon (Zen) agar berkonsentrasi pada usaha menemukan kebenaran universal melalui kehidupan yang penuh kesadaran. Para penguasa berikutnya dari Dinasti Goryeo bahkan lebih bersemangat dalam mendukung agama ini. Pada masa kepemimpinan Dinasti Goryeo, kesenian dan arsitektur Budha terus berkembang dengan dukungan terang-terangan dari kaum ningrat. Kitab Tripitaka Koreana ditulis dalam periode ini. Ketika Yi Seong-gye, pendiri Dinasti Joseon, mengadakan pemberontakan 37



dan memproklamirkan dirinya sebagai raja pada tahun 1392, ia mencoba mengahapus seluruh pangaruh agama Buddha dari pemerintahan serta mengadopsi Konfusianisme sebagai pedoman pengelolaan negara dan moralitas. Sepanjang



lima



abad, pemerintahan Dinasti



Joseon,



segala



upaya



untuk



menghidupkan



kembali



agama Budha



mendapat perlawanan keras dari para cendekiawan dan pejabat Konfusian. Sebelum kedatangan agama Buddha, agama primitive di Korea menganggap langit sebagai tuhan yang paling agung, yakni sesuatu yang melebihi segala hal.selain itu, Shamanisme juga berakar mendalam bagi warga Korea sebagai kepercayaan rakyat. Dengan demikian, warga Korea pada masa itu mendatangi peramal atau dukun untuk menghilangkan nasib buruk dan ketika berhadapan  pilihan saat menghadapi pilihan-pilihan yang penting. d)     Zaman keemasan dan aliran-alirannya : Zaman keemasan agama Buddha di Korea terjadi pada masa pemerintahan dinasti Wang (abad ke-1). Sebelum itu, agama Buddha terpisah-pisah dan terpengaruh oleh dinasti Silla serta banyak bhikṣu pergi ke China untuk belajar agama Buddha. Beberapa di antara mereka adalah Yuan Ts'o (613-683) dari aliran Fa Sian, Yuan Hiao (617-670) dan Yi Slang (625-702) dari aliran Houa Yen. Setelah abad ke-11, agama Buddha yang semula hanya dipeluk oleh para aristocrat dari dinasti Silla, mulai diterima oleh masyarakat umum berkat usaha-usaha yang dilakukan bhikṣu Yi T’ien, bhikṣu P'u Chao, dan lain-lain.Bhikṣu Yi T'ien terkenal dengan editing katalog kitab Tripiṭaka China (disebut YiT'ien Lit) setelah belajar agama Buddha di China dan menyebarkan pandangan aliran Houa Yen dan T'ien T'ai di Korea. Bhikṣu Yi T'ien juga menulis beberapa naskah agama Buddha dalam bahasa Korea. Sedangkan bhikṣu P'u Chao di kemudian hari memperkenalkan ajaran Zen di Korea. Ajaran Zen ini memegang peranan penting dalam sejarah Korea.  Ketika kekuasaan dinasti Wang atas semenanjung Korea diambil alih oleh dinasti Yuan dari kemaharajaan Mongol, maka agama Buddha di Korea banyak dipengaruhi oleh Lamaisme (Tibet). Setelah dinasti Yuan dikalahkan oleh dinasti Rhee dari Cho sen, Korea, maka dinasti ini menerima ajaran Kong Hu Chu dan membenamkan agama Buddha. Meski terdapat pergantian



38



penguasa di semenanjung Korea, agama Buddha tetap bertahan karena telah merakyat.Agama Buddha pada zaman modern di Korea, sesunguhnya adalah agama Buddha Zen dengan tetap mempercayai Buddha Amitabha atau Bodhisatva Maitreya.



A BRIEF HISTORY OF BUDDHISM IN JAPAN Buddhism Introduced to Japan.Presentation of Korean Buddhist Materials. Buddhism is considered to have been officially introduced to Japan in A.D. 538 when the ruler of Baekje, a Korean kingdom, presented a brilliant image of the Buddha along with scripture-scrolls and ornaments to the Japanese Emperor Kimmei. In those days, Emperor Kimmei ruled Japan with his court nobles and immediately controversy started over whether or not such a foreign cult should be accepted. The orthodox Mononobe and Nakatomi clans strongly opposed this new religion on the grounds that Japan already had its traditional and indigenous religion of Shinto. But the influential Soga clan favored Buddhism; they believed that it had much to offer for the enrichment of their culture. Thus in the end, despite the disputes that took place among the court nobles, the emperor deferred the matter to the Soga clan. About 40 years later, the pious Prince Regent Shotoku (A.D. 574–621) was appointed regent to the Empress Suiko, at which time he declared Buddhism as the official religion. Prince Shotoku was a great statesman and a devout Buddhist. He strongly believed that only with Buddhist teachings could he make Japan a unified and culturally refined country. Prince Shotoku’s Support of Buddhism.In order to carry out his plans, Prince Shotoku issued the 17–Article Constitution in 604, which emphasized Buddhist and Confucian principles. Article II of this injunction reads, “Fervently respect the Three Treasures.” Prince Shotoku stressed that everyone should faithfully revere the Three Treasures (the Buddha, Dharma, and Sangha) as the supreme and unmistakable guidance. He also ordered the government to build many Buddhist temples among which the most famous is Horyu-ji temple, the world’s oldest wooden structure now standing near the former capital of Nara. It was because of his patronage and devotion that Buddhism was firmly established on Japanese soil. Cultural Benefits of Buddhism



39



Therefore, we can see that in the beginning the introduction of Buddhism to Japan was highly motivated by political and cultural reasons. The court wanted to establish a system in which the existing clans could be consolidated. Buddhism offered both moral and intellectual benefits which Shinto lacked and it was these cultural learnings that attracted the court. Since Japan did not have a formal written language at the time, all of the Buddhist scriptures that were used were in Chinese. Thus at first, Buddhism was almost exclusive to the court families. However, the subsequent history of Buddhism in Japan demonstrated a gradual process of Buddhist acculturation downward through a ladder of social strata. The Nara Period (A.D. 710–784) National Support of Buddhism.After the death of Prince Regent Shotoku, Buddhism continued to flourish among court nobles, monks, and artisans. National Buddhist temples, called kokubunji, were built by the Emperer Shomu in every province, the headquarters of which was at Todai-ji temple in Nara. Buddhist scriptures were introduced from China and without much modification they were studied by the Japanese monks. Buddhist images and ornaments were made by the Japanese artisans, some of which can still be seen in the older temples in Japan. Buddhist temples in those days were the center of culture; they were not only used as places of worship, but also as schools, hospitals, dispensaries, orphanages, and refuges for older people. The monks were also school teachers, physicians, engineers, and developers of many construction projects. Therefore, the Japanese government encouraged and supported the Buddhist institutions and monks spiritually and materially, so that they could work with the government and the people more effectively. The Six Nara Schools of Buddhism.As the numbers of monks increased, they were gradually classified into six Buddhist schools; namely, the Sanron, Hosso, Kegon, Ritsu, Kusha, and Jojitsu. These schools were direct importations from China and were studied at the various government-established temples. These six schools were not independent sects, but existed in one temple side by side just like various departments in a college, and each school contributed much to the development of later Buddhist thought in Japan. The Heian Period (A.D. 794–1185).Introduction of Tendai Buddhism.In 784, the Japanese capital was transferred from Nara to Kyoto, and accordingly became the Buddhist center of Japan. Soon after, two new Buddhist schools were introduced from China, namely Tendai and Shingon. The six Buddhist schools were gradually overshadowed by these two schools. Saicho (767–822) established a Japanese Tendai school on Mount Hiei near Kyoto, and tried to synthesize all the then existing philosophical concepts. While in China, he studied Esotericism, Zen, and Pure Land Buddhism along with the Tiantai Buddhism. He 40



also studied the Brahmajala Sutra (Bonmokyo), a modification of the Hinayana precepts. Upon his return to Japan he refuted the standpoints of all other schools, particularly of the Sanron and Hosso schools, and instead expounded the Ekayana doctrine based on the Saddharma Pundarika Sutra. It emphasized the belief that all forms of life stood on an equal basis in attaining Buddhahood, so that even conciliation between Buddhism and Shinto was made possible. Establishment of a Mahayana Ordination Platform. In those days all the Buddhist monks had to accept the Hinayana precepts at the official ordination platform (kaidan), otherwise they were not admitted or qualified as Buddhist monks. Saicho, dissatisfied with this rule, wanted to be recognized under the Mahayana precepts which were suitable for Japanese monks. Several times he submitted a petition to the Emperor Saga to open a Mahayana ordination platform on Mount Hiei, and only after his death was the request granted by the Empreror in 822. From this time on, the Tendai school gained independence from the older schools in Japan, and from the fetter of the Hinayana precepts. After Saicho there were two outstanding leaders in Tendai Buddhism: Ennin (794–864) and Enchin (814–891), who had studied both Tendai philosophy and the rituals of esoteric Buddhism in China. It was due to their contributions that Japanese Tendai could meet the desires of its supporters for esoteric rituals. Saicho, their master and the founder of Japanese Tendai, was not able to embrace the esoteric teachings completely. In the course, however, his successors were to fulfill the unfinished work of their master Saicho. Saicho’s all inclusive Buddhism was thus gradually enriched by his faithful disciples. Introduction of Shingon Buddhism.Kukai (774–835) was a contemporary of Saicho, and he also studied Esoteric Buddhism in China. Upon his return to Japan, he established the Shingon school on Mount Koya, and expounded the mystical teaching of Oneness with Vairochana Buddha based on the text of the Mahavairocana Sutra (Dainichikyo). Unlike Saicho, Kukai did not deny the validity of the Hinayana precept. He accepted both the Hinayana and the Mahayana precepts and interpreted them according to his own esoteric teaching. He classified Buddhist thought into two parts: esoteric and exoteric, and taught that all schools of Buddhism other than Shingon were exoteric, because they were known and revealed by the historical Shakyamuni Buddha. On the other hand, in esoteric Buddhism, truth is hidden and must be revealed. There are in the universe the knower and the known, and they must be identical with Vairochana Buddha through the mystical practices of mantra (invocations) and mudra (hand gestures) in order for the universe to be in harmony. Kukai also classified the then existing concepts into ten parts according to the degree of profundity: 1) No doctrines at all; 2) Confucianism and Taoism; 3) The Sankya and Vaiseshika schools; 4) The Kusha school; 5) The Jojitsu school; 6) The Hosso school; 7) The Sanron school; 8) The Tendai school; 9) The Kengon school; and 10) The Shingon school. According to him, the Shingon school is the supreme and complete form of religion, while the other schools are lesser and incomplete.



41



Rising Power of Tendai and Shingon. However, the philosophical speculation of Tendai and the mystical ritualism of Shingon had only attracted the minds of court nobles, monks, and scholars who were weary of studying Buddhism theoretically without religious practice. The monks, belonging to either the Tendai or Shingon schools, became independent from the six schools and defended themselves from the influence of the government. Once they obtained the privilege of being monks, they lived together at the leading temples and became a third power standing against the Imperial government and its counterpart. The temple life became lax and there was degeneration and corruption among some of the monks in Buddhist institutions. Seeing this, the ordinary people were greatly discouraged and deeply impressed by the impermanency and vicissitudes of life. The Kamakura Period (A.D. 1192–1333) Changes of the Kamakura Period.Buddhism was confined to the privileged classes of court nobles, monks, scholars, and artisans who had enough time to master the complicated philosophy and rituals of Buddhism. It was in the Kamakura period that a drastic change took place in the field of religion; Buddhism became for the first time the religion of the masses. The old court eventually fell to a new military government which brought about the Kamakura period (1192–1333). The increasing discord and chaos of the times led to disillusionment and a call for the revival of faith. It was during these troubled time that Honen (1133–1212), Shinran (1173–1262), Eisai (1141–1215), Dogen (1200–1253), Nichiren (1222–1282), and other Buddhist leaders appeared and expounded their teachings of salvation for all. Development of Popular Buddhism.They were always on the side of the masses, discarding the existing aristocratic Buddhist hierarchy and its theoretical implications. Before this, only the elite class could enjoy the grandeur of Buddhist art and ceremony represented by glorious images, paintings, and ornaments. Strongly dissatisfied with these phenomena, these Buddhist leaders tried to reevaluate Buddhism through their own painful life experiences. The conclusion reached was that everyone had a potential Buddha Nature and thus could be saved by the mercy of the Buddha if one had firm faith in him. The new thoughts were based on the Bodhisattva doctrine of Mahayana Buddhism, particularly that of the Tendai school, which advocated that every sentient being has a Buddha Nature and is capable of becoming a Buddha. As the new military government was established by Minamoto no Yoritomo at Kamakura in 1192, five prominent Buddhist schools were founded one by one, namely the Jodo, Jodo Shin, Rinzai Zen, Soto Zen, and Nichiren. They had common stand-points; they were established on the foundation of the Tendai doctrine and yet transcended it in their own respective ways.



42



Honen and Pure Land Buddhism Honen (1133–1212) studied the Tendai doctrine thoroughly on Mount Hiei, and yet he was dissatisfied with a teaching which only taught the definition of salvation and the superiority of the Tendai doctrine as opposed to other schools of thought. However, what he wanted was a way to relieve others from suffering and to gain salvation himself. One day he came across the Genshin’s Ojoyoshu (The essentials of rebirth) in which he found a passage by the Chinese monk Shandao, “Only call the name of Amida Buddha with one’s whole heart—whether walking or standing still, whether sitting or lying—this is the practice which brings salvation without fail, for it is in accordance with the original vow of the Buddha.” In this passage he had at last found what he was seeking. He did not, however, deny the validity of other elaborate teachings and methods found in other schools. But he was convinced that this simple and straight forward calling of Amida Buddha was the only way for him and for everyone else who needed relief in that turbulent and degenerate age, because it required no elaborate rituals or complicated philosophy, but only the nembutsu, “Namu Amida Butsu,” which anyone can do anywhere. Opposition to Pure Land Buddhism. In 1175, Honen established the independent Jodo (Pure Land) school which was based on three canonical texts, the Larger Sukhavativyuha Sutra (Muryojukyo), the Smaller Sukhavativyuha Sutra (Amidakyo), and the Amitayurdhyana Sutra (Kan Muryojukyo). He wrote the Senchakuhongan Nembutsushu (Passages on the selection of the nembutsu in the original vow) in order to defend his standpoint against the orthodox schools, and preached the teaching of the nembutsu (the recitation of Namu Amida Butsu) to the masses of the people. However, his ever-increasing popularity among them encountered strong opposition from other schools and government, so that in 1207 his teachings were prohibited and he was exiled to the Isle of Shikoku with a handful of disciples. Later he was permitted to return and his teachings were officially recognized. One of Honen’s disciples, Shinran, further developed his teachings and established the Jodo Shin school. Shinran and Shinshu Buddhism. Shinran (1173–1262) deeply perceived the weak nature of human beings, and had become convinced that salvation could only be found in self-surrender and in complete reliance on the saving power of Amida Buddha. What mattered to Shinran was no longer Amida Buddha, as the object of worship, but “Namu Amida Butsu.” Amida Buddha as upaya (expedient device) can be objectified, but not “Namu Amida Butsu,” for it is the actual interrelationship between subject and object; it is not a static “thing;” but a dynamic “event.”



43



He totally abandoned the precepts of both Hinayana and Mahayana which were “musts” for all monks in those days. Instead he got married and called himself the most wicked man in the world. He simple wanted to identify himself with ordinary people in order to save his wretched self and to pave the way of relief for other suffering people. Introduction of Rinzai Zen. Zen Buddhism was introduced to Japan by Eisai and firmly established by Dogen. Eisai (1141–1215) studied the Tendai doctrine on Mount Hiei and then went to China where he found that the Tendai (Tiantai in Chinese) had already declined and the study of Zen was flourishing. He therefore studied Zen and brought back to Japan many Zen texts such as the Linchilu (Analects of Master Linchi; known as the Rinzai-roku in Japan), the Pi-yen-lu (The blue cliff record; known as the Hekigan-roku in Japan), and the Huaiangou-yu (The story of the country Huaian; known as the Kaian Kokugo in Japan), and established Rinzai Zen. Zen Buddhism teaches that there is nothing to rely upon but one’s true self. Everyone has the Buddha-nature and the potentiality to become a Buddha, and yet it is hidden because of our illusions. The aim of Zen is to throw off one’s illusions and all artificiality and to see directly into the innermost nature of one’s being. In order to awaken oneself and gain an intuitional understanding of life, Rinzai Zen stresses the practice of sitting in meditation and koan study. The koan is a pedagogic device which generally is put in the form of a problem. For example, “What was your original face before your mother gave birth to you?” or “When your corpse is cremated and the ashes are scattered to the winds, where are you?” These highly metaphysical questions must be answered immediately without resorting to any kind of logical reasoning process, because Zen is not a philosophical exercise but a way of life. This teaching was greatly favored by the military class, particularly by the Hojo family at Kamakura, and the government assisted the building of monasteries and temples for Eisai and his disciples. Introduction of Soto Zen. Dogen (1200–1253) also studied Zen in China, and upon his return to Japan he established Soto Zen. From the beginning, Dogen disliked to engage in worldly affairs and hated to submit to the authority and power of the military government. He built Eihei-ji, the mountain monastery, in Fukui Prefecture and wrote 95 volumes of essays. Soto Zen teaches that the practice of sitting in meditation is the sole means to discover our true selves and to attain enlightenment. It does not require any reasoning or inferring. Zen meditation is not a mystic union with Buddha or the simple confrontation with a religious object for one in a prescribed discipline at a specific time and place, but rather a way of life for everyone in any circumstances. It teaches a way to live and to die peacefully, meaningfully, and pleasantly. This teaching particularly attracted the warriors whose lives were constantly threatened by their enemies. The Bushido, the warrior’s spirit, developed out of its teaching. Nichiren and the Lotus Sutra. Nichiren (1222–1282) studied the then existing Buddhist schools of thought extensively, from which he chose the Lotus Sutra (Saddharma Pundarika Sutra) as the most reliable text. He established the Nichiren school which is of Japanese 44



origin and proclaimed that the eternal life of the historical Buddha is revealed in us. He stressed that by reciting the name of this text, “Namu Myohorenge Kyo” in Japanese, with our whole heart, we can become one with the eternal Buddha and gain enlightenment. He denounced all other existing schools strongly on the ground that their teachings refer to salvation only in the next world. According to him, no texts except the Lotus Sutra are a direct and authentic revelation to us who are living in this world. Since he wrote the Rissho Ankokuron (The establishment of righteousness in the rule of the country) and tried to persuade the government also to be blessed and ruled by his teaching, he was punished by the government and exiled to the Izu Peninsula and the Isle of Sado. Later he was pardoned to return to Kamakura. He built the Kuon-ji temple on Mount Minobu afterward and settled there for the rest of his life. His worldly and patriotic spirit accelerated the rise of the new subsects which we see in contemporary Japan. Peak of Religious Consciousness. There were many other fine personalities living during this period, but they are somewhat less significant compared to the above mentioned Honen, Shinran, Eisai, Dogen, and Nichiren. No new major schools have arisen since the Kamakura period. Those that did arise were more or less the filling-in and working-out of details in the existing ones. That is, after the Kamakura period, there was nothing that stimulated the growth of new thought except the flourishing Jodo, Zen, and Nichiren schools of the Kamakura period. Although during this period little productivity in art and literature was seen, a well-disciplined and concentrated spirit, as well as religious zeal and originality were crystallized by the founders of the newly established schools. Therefore, it was a time in Japanese history that religious consciousness attained its highest peak, and individual minds were freed from all the external bondages which had long obstructed spontaneous growth. The Muromachi Period (A.D. 1336–1573).Flourishing of Culture in the Muromachi Period. Though the military government at Kamakura unified the country and won battles against the two Mongol invasions of 1274 and 1281, it began to decline and collapse in the next century. Once again Japan was in chaos and encountered great political and social unrest with many civil wars. The ordinary people were perplexed and ill at ease. As a natural consequence, the people were obliged to seek solace by relying on religion. The worship of Avalokiteshvara (Kannon), the Bodhisattva of Infinite Compassion, flourished among the people at large. When the new military government was established by Ashikaga Takauji in 1336, Japan was once again unified. More temples and monasteries were built through the patronage of the government or by contributions from the people. Buddhist culture also became highly developed during this period. The introduction of painting, calligraphy, tea ceremony, flower arrangement, and gardening by the monks from China greatly influenced the formation of refinements in Japanese culture that have continued to develop up to the present time. 45



Powerful Buddhist Institutions and Secluded Zen Temples. However, partial favoritism of certain schools by the government or the Imperial Household caused jealousy among Buddhist institutions and they either fought against each other or against the government. Particularly the leading temples on Mount Hiei and Mount Koya became the citadel of the priest-warriors of the Tendai and Shingon schools. The priests were more conspicuous as a military and political force than in their proper religious sphere. Zen temples and monasteries, however, became hermitages for the monks who detached themselves from worldly affairs and either concentrated their minds on meditation or engaged in artistic creation. The Jodo and Jodo Shin schools were less significant during this period, but they quietly and steadily increased their influence among the populace. The Momoyama Period (A.D. 1573–1603).Suppression of Buddhism by Oda Nobunaga. When Oda Nobunaga overthrew the military government of Ashikaga in 1573, he actively suppressed Buddhist institutions because he feared the increased power of the leading temples and monasteries which sided with his enemies. He favored the newly introduced foreign cult of Christianity for purely political reasons. After the death of Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi took over his stand and also suppressed Buddhist institutions with the idea of bringing the ecclesiastical completely under the sway of the secular. With the surrender of the Buddhist institutions to the secular power of Nobunaga and Hideyoshi, Buddhist art gradually lapsed into insignificance and was replaced by secular art. The Edo Period (A.D. 1603–1867).Isolation of Japan and the Proscription of Christianity When Tokugawa Ieyasu established the Tokugawa shogunate in 1603 at Edo (the present Tokyo), he prohibited the Japanese to leave the country and foreigners to enter with few exceptions. The isolation of Japan lasted for the next 260 odd years; and during that time, Buddhism became purely ecclesiastical. The temples and monasteries destroyed by Nobunaga and Hideyoshi were restored by Ieyasu as comparatively modest and unfortified buildings. Ieyasu personally favored the Jodo school and assisted in building Zojo-ji temple in Tokyo, Chion-in temple in Kyoto, and other temples. He also assisted in building Higashi Hongan-ji for financial and administrative reasons and divided the Jodo Shin school into two subsects—Nishi Hongwanji and Higashi Hongwanji. The following successors of Ieyasu also followed his policies and continued to patronize Buddhism and to prescribe Christianity. These measures were taken in order to weaken and control the power of the Buddhist institutions and to protect Japan from foreign invasion. During this period, all temples became registry offices where births, marriages, deaths, and funerals had to be registered with the priest in charge and they were accordingly considered family temples. The priest lived in ease and idleness and they often gave the people cheap and worldly instruction. 46



Rise of Shinto and Confucianism.Despite these unfavorable circumstances, Zen Buddhism continued to show some vitality. Hakuin appeared and revitalized Rinzai Zen with his fine personality and sermons. Basho, who brought into fashion the 17-syllable haiku poetry, owed much to Zen. Ingen established Obaku Zen when he was invited from China to Japan in 1655. Tetsugen published a reprint of the Ming edition of the Buddhist canon (Tripitaka) in 1681 which is remarkable for its clear type printing. However, from the 17th century on, the influence of Buddhism gradually declined and was overshadowed by the rise of the rival religious and political philosophies of Confucianism and Shinto. In the first place both Buddhism and Shinto were identified by the decree of 1614, but later due to the roles of Buddhism, Confucianism, and Shinto, the three were completely separated; i.e., Buddhism functioned in the sphere of religion; Confucianism in the moral; and Shinto in state politics. The idea of separation of these roles was consciously or unconsciously implanted in the minds of the Japanese and has been continuously held by them up to the present time. Buddhism was no longer a vital religion, but retained only its tradition which was handed down by the priests and monks from the Kamakura period. Under Imperial Japan (A.D. 1868–1945).Proscription of Buddhism in the Meiji EraThe Meiji Restoration in 1868 ended the long isolation of Japan and restored the power of the Imperial Household which had been under the shadow of successive military governments for the previous 800 years. Japan opened its door to the world and encountered the impact of Western culture and technology. The policy of the Meiji government, therefore, went to both extremes in order to cope with modern nations. That is to say, Japan adopted Western culture and technology as a means of modernizing Japan and reaffirmed the Imperial Household, which was transferred from the ancient capital of Kyoto to the present day Tokyo in 1868, as the supreme sovereignty of Japan. The Emperor was the object of worship as a living god of Shinto; and since Buddhism had no room in this schema, it was completely separated from Shinto. Buddhist beliefs and worship were banned by the order of the Meiji government in 1868. Many temples and valuable works of Buddhist art were either destroyed or sold. A large number of priests and monks were forced to return to lay life, although this ban was later lifted. The Buddhist institutions were, however, classified under 13 denominations and 56 subsects and the founding of any new sect was strictly prohibited. Buddhism and Military Expansionism.Fortunately or unfortunately, Buddhism had already been accepted by the Japanese as part of Japanese culture and tradition. Therefore, apart from its religious beliefs and practices, Buddhism had permeated even to the lowest strata of the people and was removed from few of them. Only a very small number of priests and monks endured and reaffirmed their Buddhist discipline despite the hardships.



47



They also reevaluated their religion in the light of modern scholarship. However, as time went on, this critical study and application of Buddhism was often interrupted by the nationalistic military government, and Buddhist institutions were once again utilized by it during two World Wars. Contemporary Japan (A.D. 1945–).Two Streams in Modern BuddhismSince the militaristic Imperial government surrendered to the Allied Powers in 1945, Buddhism has been neither the monopoly of Buddhist institutions nor of the government nor of a certain privileged class of people. Buddhist studies have been accelerated by the monks, ministers, and scholars in temples, institutions, and universities. Ancient treasures of Buddhist art have been preserved at temples and museums under the protection of the government. Once ruined temples have been restored and have become centers of study and worship. International Buddhist conferences have been held in Japan in which a number of programs have been initiated for the exchange of knowledge and individuals. As can be seen from the above brief history of Buddhism in Japan, two streams of Buddhism have come to exist; one which flows from top down and one which flows from the bottom up. In other words, the former can be characterized as “Higher” or “Normative” Buddhism to which many of the Buddhist monks and their denominations belong, though not a form of state religion with official status; while the latter can be characterized as “Lower” or “Popular” Buddhism to which lay members usually profess. In the course and development of Buddhism in Japanese history, when the former acted too progressively, the latter appeared to regress; on the other hand, when the former became hopelessly stagnant, the latter demanded reform movements with religious zeal which ushered in changes in response to the social, economic, and political climate of the day. Because of these two streams which have been interacting with each other, Japanese Buddhism has come to the present time, enriching and developing both its inner and outer forms. Embracing Nature of Buddhism.The Japanese word for “faith” sometimes means “progress” as well, which can mean including something better from outside. Therefore, we see in Japanese Buddhism heterogeneous elements from other beliefs such as Hinduism, Shinto, Confucianism, Taoism, Christianity, and folk religion. Most Japanese Buddhists prefer substance and quality over name or form and regard the virtue of the Buddha permeating to all corners of the world. It is pervasive but formless; it is difficult to grasp unless we are a part of it and living in it. This idea is in accordance with the teachings of Mahayana Buddhism. That is why we are taught that all sentient beings, whatever we profess to, are within the hands of the Buddha. Some say that this all-embracing attitude of Buddhists is nothing but degenerating Buddhism from its original for, making it insignificant and secular. But we do not believe that this is so. By assimilating other elements such as modern technology and Western thought, Buddhism in Japan has enriched and expanded its tenets and power while retaining its century-old traditions. In this way, it continually recreates itself.



48



Buddhism at a New Juncture.However, at this juncture, Buddhism in Japan stands where its road forks—leading either to selfdestruction or development. If it stands idle, it may lead to self-destruction, but if it looks ahead and struggles, it may lead to prosperous development. At the time when the rigorous austerities, intellectualism, and self-affirming egoism have entered a blind alley, there is great perplexity, can these not be set free by the all-embracing sensitivity and ever-renewing selflessness of Buddhist teachings? In this sense, Buddhism in Japan would play a great role in order to give birth to a new sense of value not only in the present world but also in the world to come. At present, the Japanese have an opportunity to open their eyes to see Buddhism not only as a part of their culture and tradition, but also as a religion and a way of life. Moreover, they are assured of freedom of belief. Individual minds are once again freed from all external bondage and fetters. At this time, they are free to choose their own belief from the already established or not-yet established systems of thought, religion, philosophy, and morals. It seems that they are now struggling to find the best and most suitable discipline to be the guiding light of their lives. No one can tell exactly where they are going, but one thing is clear, that is, they will never tread the same way as in the past. Instead of becoming tools of an already established culture and tradition, they are becoming fine designers of their own future.



49



50