Seminar Apendisitis Askep [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apendisitis atau radang apendiks merupakan kasus infeksi intraabdominal yang sering dijumpai pada anak. Di Amerika 60.000-80.000 kasus apendisitis didiagnosa per tahun, rata-rata usia anak yang mengalami apendisitis adalah 10 tahun. Di Amerika Serikat angka kematian akibat apendisitis 0.2-0.8% (Santacroce & Craig, 2006). Di Indonesia Apendisitis menjadi penyakit terbanyak diderita dengan urutan keempat tahun 2006 setelah dyspepsia, gastritis dan duodenitis (DepKes RI, 2006). Kelompok usia yang umumnya mengalami apendisitis yaitu pada usia 10 – 30 tahun. Satu dari 15 orang pernah mengalami apendisitis dalam hidupnya (Sisk, 2004). Apendisitis lebih sering terjadi di negara-negara maju, pada masyarakat barat (Sulu, Gunerhan, Ozturk & Arslan, 2010). Sebuah hasil penelitian menunjukkan masyarakat urban Afrika Selatan yang mengkonsumsi makanan rendah serat daripada orang Caucasian, insiden apendisitis terjadi lebih rendah pada orang Caucasian (Carr, 2000). Urbanisasi mempengaruhi transisi demografi dan terjadi perubahan pola makan dalam masyarakat seiring dengan peningkatan penghasilan yaitu konsumsi tinggi lemak dan rendah serat (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Apendisitis dapat disebabkan oleh gaya hidup dan kebiasaan sehari-hari yang tidak sehat seperti kurangnya mengkonsumsi makanan berserat dalam menu sehari-hari. Makanan rendah serat memicu terbentuknya fecalith yang dapat menyebabkan obstruksi pada lumen appendiks (Marianne, Susan & Loren, 2007). Apendisitis dapat disebabkan oleh penyebab lainnya antara lain; hyperplasia jaringan limfoid, infeksi virus, parasit Enterobius vermicularis yang dapat menyumbat lumen appendiks (Hockenberry & Wilson, 2007). Gejala klasik yang terjadi pada anak yang menderita apendisitis antara lain nyeri periumbilikal, mual, muntah, demam, dan nyeri tekan pada kuadaran kanan bawah perut, (Marianne, Susan & Loren, 2007).



Beberapa tanda nyeri yang terjadi pada kasus apendisitis dapat diketahui melalui beberapa tanda nyeri antara lain; Rovsing’s sign, Psoas sign, dan Jump Sign, (Lynn, Cynthia & Jeffery, 2002). Peradangan akut pada apendiks memerlukan tindakan pembedahan segera untuk mencegah terjadinya kompilkasi berbahaya (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Apendiktomi merupakan tindakan pembedahan untuk mengangkat apendiks dilakukan segera mungkin untuk mengurangi risiko perforasi (Brunner & Suddarth, 2001).



1.2 Tujuan Penulisan a. Tujuan Umum Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien apendisitis. b. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui definisi dari apendisitis. 2. Untuk mengetahui etiologi dari apendisitis. 3. Untuk mengetahui klasifikasi dari apendisitis. 4. Untuk mengetahui komplikasi dari apendisitis. 5. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dari apendisitis.



BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Definisi Apendisitis Apendiks adalah ujung seperti jari yang kecil yang panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), melekat pada sekum tepat dibawah katup ileosekal. Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur kedalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, apendiks cenderung terjadi sumbatan dan terutama rentan terhadap infeksi (apendisitis) (Smeltzer, 2001: 1097). Apendisitis merupakan peradangan pada appendiks dan menjadi penyebab umum terjadinya tindakan emergency bedah abdomen pada anak (Hockenberry & Wilson, 2008). Definisi lain Apendisitis merupakan peradangan pada appendiks, sebuah kantung buntu yang berhubungan dengan bagian akhir secum yang umumnya disebabkan oleh obstruksi pada lumen appendiks (Luxner, 2005). Jadi dapat disimpulkan apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada appendiks (kantung buntu yang berhubungan dengan akhir secum) yang disebabkan oleh obstruksi pada lumen appendiks.



2.2 Etiologi Apendisitis Penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen, adalah penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Kira-kira 7 % dari populasi akan mengalami apendisitis pada waktu yang bersamaan dalam hidup mereka; pria lebih sering diperngaruhi daripada wanita, dan remaja lebih sering pada orang dewasa. Meskipun ini dapat terjadi pada usia berapapun, apendisitis paling sering terjadi antara usia 10 dan 30 tahun (Smeltzer, 2001: 1097). Etiologi apendisitis yang terjadi antara lain disebabkan oleh obstruksi lumen appendiks. Obstruksi lumen pada appendiks yang menyebabkan apendisitis antara lain karena; material feses yang keras (fecalith), hyperplasia jaringan limfoid, dan infeksi virus (Hockenberry & Wilson, 2007). Penyebab lainnya dari apendisitis antara lain; benda asing, infeksi bakteri, parasit, dan tumor appendiks atau sekum (Lynn, Cynthia, & Jeffery, 2002).



2.3 Klasifikasi Apendisitis Terdapat Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu apendisitis akut dan kronis (Sjamsuhidayat & Jong, 2005). 1. Apendisitis Akut Peradangan pada appendiks dengan gejala khas yang memberikan tanda setempat. Gejala apendisitis akut antara lain nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilicus. Keluhan ini disertai rasa mual muntah dan penurunan nafsu makan. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik McBurney. Pada titik ini nyeri yang dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatic setempat (Sjamsuhidayat, 2005). Nyeri tekan dan nyeri lepas disertai rigiditas pada titik McBurney sensitive untuk apendisitis akut. Komplikasi dari apendisitis akut yang paling sering terjadi adalah perforasi. Perforasi dari appendiks dapat menimbulkan abses periapendisitis yaitu terkumpulnya pus yang terinfeksi bakteri. Appendiks menjadi terinflamasi, bisa terinfeksi dengan bakteri, dan bisa dipenuhi pus hingga pecah, jika appendiks tidak diangkat tepat waktu. Pada apendisitis perforasi isi pus yang di dalam appendiks dapat ke luar ke rongga peritoneum. Gejala dari apendisitis perforasi mirip dengan gejala apendisitis akut biasa, namun keluarnya pus dari lubang appendiks menyebabkan nyeri yang lebih saat mencapai rongga perut (Lee, 2009). 2. Apendisitis Kronik Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan 3 hal yaitu; pertama, pasien memiliki riwayat nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen selama paling sedikit 3 minggu tanpa alternative diagndosis lain. Kedua, setelah dilakukan appendiktomi gejala yang dialami pasien akan hilang dan yang ketiga, secara histopatologik gejalanya dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi kronis yang aktif pada dinding appendiks atau fibrosis pada appendiks, (Santacroce & Craig, 2006). Gejala yang dialami oleh pasien apendisitis kronis tidak jelas dan progresifnya lambat. Terkadang pasien mengeluh merasakan nyeri pada kuadran kanan bawah yang intermiten atau persisten selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan.



2.4 Manifestasi Klinis Apendisitis



Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam disertai oleh demam rigan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik McBurney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas (hasil atau intensifikasi dari nyeri bila tekanan dilepaskan) mungkin dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak bergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiktis. Bila apendiks melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa didaerah lumbar; bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini hanya dapat diketahui dengan pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujungan apendiks berada dekat rektum; nyeri pada saat perkemihan menunjukkan bahwa apendiks berada didekat kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian otot rektus kanan dapat terjadi (Smeltzer, 2001: 1098). Tanda Rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri, yan secara paradoksial meyebabkan nyeri yang terasa di kuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi lebih menyebar; distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitis, dan kondisi pasien memburuk (Smeltzer, 2001: 1099).



2.5 Patofisiologi Apendisitis Apendisitis terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau tersumbat, kemungkinan oleh fekalit massa keras dari feses), tumor, atau benda asing. Proses inflamasi meningkatkan tekanan inflmasi, menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam, terlokalisasi dikuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya, apendiks yang terinflamasi berisi pus (Smeltzer, 2001: 1097). Berdasarkan definisi, apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis. Karena struktur yang terpuntir, apendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan multiplikasi. Apendisitis dapat terjadi pada segala usia kendati lebih sering ditemukan pada remaja dan dewasa muda (Chang, 2009: 313). Kemungkinan penyebab apendisitis meliputi obstruksi lumen apendiks oleh faecalith (massa feses yang keras), batu, benda asing, tumor, atau edema; pelekukan apendiks; pembengkakan dinding usus; dan oklusi eksternal usus oleh pelekatan. Terlepas dari penyebabnya, ketika apendiks tersumbat, tekanan didalam lumen meningkat. Keadaan ini mengganggu suplai darah sehingga terjadi inflamasi, edema, nekrosis, gangren atau perforasi (Chang, 2009: 313).



2.6 Pemeriksaan Diagnostik Diagnosa didasarkan pada pemeriksaan fisik lengkap dan tes laboratorium dan sinar-x. Hitung darah lengkap dilakukan dan akan menunjukkan peningkatan jumlah darah putih. Jumlah leukosit mungkin lebih besar dari 10.000/mm 3 dan pemeriksaan ultrasound dapat menunjukkan densitas kuadran kanan bawah atau kadar aliran-udara terlokalisasi (Smeltzer, 2001: 1099). Diagnosis apendisitis dibuat, terutama berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik pasien. Namun, hasil pemeriksaan laboratorium akan membantu menegakkan diagnosis yang benar. Hasil abnormal meliputi kenaikan jumlah sel darah putih dan protein C-reaktif kendati kedua hasil pemeriksaan ini tidak khas hanya pada apendisitis. Sinar-X dan USG abdomen dapat mengungkapkan kepadata pada abdomen kuadran kanan bawah atau distensi lokal pada usus kendati hasil radiograf yang negatif tidak boleh digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis apendisitis (Chang, 2009: 313).



2.7 Penatalaksanaan Apendisitis Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV ddiberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan (Smeltzer, 2001: 1099). Apendektomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi. Apendektomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif (Smeltzer, 2001: 1099). Tidak ada terapi farmakologi yang spesifik untuk apendisitis. Terapi, terutama terdiri dari pengangkatan apendiks dengan pembedahan. Asuhan pra bedah meliputi pemberian infus dan antibiotik. Karena perforasi dapat terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam sesudah awitan gejala, laparotomi merupakan satu-satunya tindakan yang aman jika apendisitis merupakan diagnosis sementara. Bayak uji coba memperlihatkan efektivitas terapi antibiotik prabedah dalam menurunkan komplikasi infeksi, akan tetapi, jika yang ditemukan hanya



apendisitis akut sederhana, pemberian antibiotik lebih dari 24 jam tidak membawa manfaat (Chang, 2009: 314). Karena adanya orgaisme Gram-negatif didalam usus, terapi antibiotik harus meliputi pemberian sefalosporingenerasi-ketiga yang efektif melawan banyak bakteri Gram-Negatif. Contoh sefalosporin generasi-ketiga adalah sefotaksim, seftriakson, dan seftazidim. Ketiga preparat ini menghancurkan bakteri dengan menghambat sintesis dinding selnya (Chang, 2009: 314).



2.8 Komplikasi Apendisitis Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks, yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32% . insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7o C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer, 2001: 1099).



2.9 Asuhan Keperawatan 2.5.1 Pengkajian Riwayat kesehatan meliputi gambaran lengkap masalah telinga, termasuk infeksi otalgia, otorea, kehilangan pendengaran. Data dikumpulkan dari durasi dan intensitas masalahnya, penyebab, dan pengangan sebelumnya. Informasi perlu diperoleh mengenai masalah kesehatan lain dan semua obat yang diminum pasien. Selain itu, pertanyaan mengenai alergi obat dan riwayat keluarga penyakit telingan harus ditanyakan. Pengkajian fisik meliputi observasi adanya eritema, edema, otoria, lesi,dan bau cairan yang keluar. Hasil audiogram harus dikaji (Smeltzer, 2001). 2.5.2 Diagnosa Berdasarkan pada data pengkajian, diagnose yang mungkin mucul meliputi: 1. Ansietas yang berhungan dengan prosedur pembedahan, potensial kehilangan pendengaran, potensial gangguan pengecap dan potensial kehilangan gerakan vasial.



2. Nyeri akut yang berhubungan dengan pembedahan mastoid . 3. Resiko terhadap infeksi bd mastoidektomi Pemasangan graft protesis, dan elektroda, trauma beda terhadap jaringan dan struktur disekitarnya. 4. Perubahan persepsi sensori auditoris bd kelainan telingan / pembedahan telinga. 5. Resiko terhadap trauma bd kesulitan keseimbangan / vertigo Selama periode pasca operasi segera. 6. Perubahan persepsi sensoro bd potensial kerusakan nervus vasialis( nervus kranialis Vll) dan saraf korda timpani. 7. Kerusakan integritas kulit bd pembedahan telinga, insisi, dan tempat graft. 8. Kurang pengetahuan mengenai penyakit mastoid, prosedur bedah dan asuhan pascaoperatif dan harapan.



BAB III PEMBAHASAN Kasus: Seorang pasien bernama Nn. Aq saat ini menjalani hari ke 2 dirawat di RSUD AA. Ketika dilakukan pengkajian oleh perawat, pasien mengeluhkan nyeri di kuadran kanan bawah. Nyeri hilang timbul dan bisa muncul meskipun dalam keadaan istirahat. Pasien juga mengeluhkan mual sehinggan pasien menjadi tidak selera makan. Klien tampak lemah dan pucat. Didapatkan hasil TTV Td=110/90 mmHg, Hr= 84x/i, Sh= 37 o C, dan RR= 19x/i. Diagnosa medis pasien adalah apendisitis. Pasien mengatakan sebelumnya suka mengkonsumsi makanan pedas. Pemeriksaan laboratorium didapatkan WBC=9000,



HGB=12 dan PLT=276.000. selain itu pasien mendapatkan terap medikasi cepotaxin dan ketorolax.



Pengkajian: 1. Anamnesa a. Identitas pasien 1) Inisial nama



: Tn. Aq



2) Usia



: 13 tahun



3) Jenis kelamin



: perempuan



4) Agama



: Islam



5) Suku



: Melayu



6) Pendidikan



: SMP



7) Alamat



: jalan satria no. 117



2. Riwayat penyakit a. Keluhan utama 1) Nyeri abdomen kuadran kanan bawah 2) Rasa mual b. Riwayat penyakit sekarang Sebelumnya pasien suka makanan yang pedas/ cabe, pada awalnya pasien mengeluhkan nyeri di abdomen kuadran kanan bawah, semakin lama pasien merasakan nyeri semakin bertambah. Pasien pun mengalami penurunan selera makan karena adanya rasa mual. Diagnosa medis adalah apendisitis. c. Riwayat penyakit dahulu Tidak ada. d. Riwayat penyakit keluarga (Genogram) Tidak ada dan tidak dilakukan pengkajia genogram. e. Riwayat alergi Tidak ada 3. ROS (review of system) a. Keadaan umum



: baik



b. Kesadaran / GCS



: compos mentis Nadi: 84 x/i Suhu: 37oC



c. Tanda vital : TD: 110/90 mmHg



RR : 19 x/i



d. Pernapasan 1) Bentuk dada



: Normoches



2) Pola napas/ irama



: Teratur/ reguler



3) Suara napas



: normal



e. Kardiovaskuler 1) Irama jantung



: Regular/ teratur



2) S1/S2 tunggal



: S1 dan S2 tunggal, tidak ada bunyi tambahan



3) Bunyi jantung



: lup dup



4) CRT



: < 3 derik



5) Akral



: Hangat



6) JVP



: tidak dilakukan tindakan



f. Persyarafan dan pengindraan Refleks fisiologis



: Normal, tidak ada kelainan



Refleks patologis



: Tidak ada kelainan dari lahir



Istirahat/ tidur



: 7 jam/ hari



Gangguan tidur



: Susah tidur dimalam hari karena nyeri hilang timbul



Pusing



: tidak ada



Nyeri



: ada bawah



Skala nyeri: 8 Lokasi: abdomen kuadran kanan



Durasi: 3-5 menit



g. Penglihatan 1) Skelra



: Tidak ikterik



2) Pupil



: Mengecil jika terkena cahaya



3) Konjungtiva



: tidak anemis



4) Gangguan pendengaran : tidak ada gangguan pendengaran 5) Bentuk hidung



: simetris



h. Perkemihan 1) Keluhan



: tidak ada keluhan saat BAK



2) Alat bantu



: tidak menggunakan alat bantu



3) Bladder



: tidak ada nyeri tekan



4) Produksi urin



: warna: kuning



5) Intake cairan



: Parenteral ± 500 cc/hari



i. Pencernaan



Bau: khas



1) BB: 44 kg 2) Mukosa mulut



: Bibir kering



3) Gigi



: tidak ada caries pada gigi



4) Tenggorokan



: tidak ada nyeri saat menelan



5) Abdomen



: nyeri abdomen kuadran kanan bawah



6) BAB



: belum ada BAB



7) Diet Frekuensi



: 3x/hari



Jenis



: bubur



j. Musculoskeletal/ integumen 1) Pergerakan sendi



: sendi bebas, tidak ada gangguan



2) Kulit



: lembut dan tidak kering



3) Turgor



: elastis



4) Luka dan balutan



: tidak ada



k. Personal hygyne 1) Mandi /dilap



: - x/hari



Sikat gigi



: 2 x/hari



2) Keramas



: - x/hari



Kuku



: pendek dan bersih



3) Rambut



: bersih



4) Ganti pakaian



: 1x/hari



l. Psiko-sosio-spritual 1) Persepsi klien terhadap penyakitnya



: klien takut dan cemas dengan



penyakitnya 2) Ekspresi klien terhadap penyakitnya



: klien tampak tenang namun



terlihat pucat 3) Reaksi saat interaksi



: klien kurang kooperatif



m. Pemeriksaan laboratorium/ penunjang Pemeriksaan



Hasil



Nilai Normal



WBC



9.000



5.000-10.000



HGB



12



12-14 (wanita) 14-16 (pria)



PLT



276.000



150.000-450.000



n. Terapi Medikasi Obat



Dosis



cepotaxin



Kegunaan



Efek Samping



Sebagai



obat Radang



infeksi bakteri ketorolax



½ ampul



Anti



pada



tempat suntikan



nyeri Ulkus, perdarahan



(analgesik)



saluran cerna dan perforasi



FORMAT ANALISA DATA No. 1



Data DS:



Bagan etiologi



Masalah keperawatan



sering makan cabe



Gangguan rasa nyaman



Klien mengatakan nyeri dibagian



perut



kanan



nyeri massa keras feses



bawah dan nyeri bisa muncul



saat



kedaan



obstruksi lumen



istirahat. Skala nyeri: 8. Klien mengatakan nyeri



suplai aliran darah menurun



hilang timbul. DO: Klien



tampak



lemah



dan



memegang



area



pucat,



mukosa terkikis



sesekali nyeri.



peradangan pada apendiks



TD:



110/90



Sh:37,5oC



HR: 84x/i RR: 19x/i 2



nyeri



DS:



penyebab belum diketahui



Klien mengatakn ketika sedang



makan



muncul



Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan



kerja fisik yang keras



tubuh



rasa mual, tidak ada nafsu massa feses keras



makan DO: klien tampak pucat dan lemah



obstruksi umen suplai darah menurun distensi abdomen menekan gaster peningkatan produk HCl mual, muntah perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh



Diagnose keperawatan: 1. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d distensi jaringan usus oleh inflamasi 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d peningkatan pada HCl, tekanan pada abdomen



No



Diagnosa



Tujuan dan Kriteria



Intervensi



Keperawatan 1



Hasil



1. Gangguan rasa Setelah nyaman b.d



dilakukan



nyeri tindakan distensi 3x24



jaringan



keperawatan



jam



diharapkan



usus nyeri hilang/ berkurang.



oleh inflamasi



1. Perubahan nutrisi



Setelah



keperawatan



dari kebutuhan selama tubuh



jam



b.d diharapkan nafsu makan



peningkatan pada



HCl,



tekanan



pada



abdomen



3x24



meningkat. KH:



-



seimbang teratasi



intake



2. Pertahankan



istirahat



dengan posisi semi fowler teknik



relaksasi



napas dalam



dilakukan



kurang tindakan



karakteristik nyeri



3. Ajarkan



KH: -skala nyeri