Senja Yang Abadi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Senja Yang Abadi Judul Cerpen Senja Yang Abadi Cerpen Karangan: Ferna Kategori: Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Keluarga Lolos moderasi pada: 16 September 2016 Malam ini sungguh sunyi.. Hanya terdengar suara detingan jam di sudut ruang keluarga. Semerbak tiupan angin membelalak jendela rumah. Percikan hujan di luar membuatku gelisah nan gundah Malam ini mungkin kesekian kalinya aku sendiri. Menunggu suami yang sering pulang terlambat. Padahal aku sudah menyiapkan makan malam yang spesial. Beberapa saat kucoba menelepon dan mengirim pesan, namun.. Tak ada jawaban. Aku akan tetap menunggunya hingga pulang.. Tiba tiba. Alarmku berbunyi. “Sudah jam 3 malam?” tanyaku dalam hati melihat alarm yang setiap malam aku nyalakan untuk membangunkanku sholat tahajjud. Kulirik makanan di meja makan, semuanya masih rapi. Belum ada satu lauk yang berkurang. Dan tidak kudapati piring sisa di meja makan. Ternyata suamiku belum pulang. Aku segera menunaikan sholat tahajjud dan berdoa kepada Tuhan agar senantiasa menjaga suamiku. Pagi ini aku memulai aktivitas rumah. Seperti biasa, aku yang mengurus rumah semegah ini sendirian. Namun tak lama kemudian.. Jgrek. Suara pintu rumah terbuka.. Aku cepat cepat melihat siapa yang datang. Ternyata suamiku. “Assalamualaikum mas” salamku menyambut kedatangannya. Tidak ada jawaban. Dia bahkan tak mau melihat ke arahku. Aku mengikutinya ke kamar. “Mas mau mandi air hangat? Biar aku siapkan. Atau mau minum teh panas dulu sama sarapan?” tanyaku menawari. Dia terdiam. Kemudian melepas dasinya. Dan merebahkan diri di atas tempat tidur. Aku mencoba mengulang pertanyaanku. Namun nihil hasilnya. Akhirnya aku memutuskan untuk membuatkan sarapan pagi dan air hangat untuknya. “Mas.. Air sama sarapannya udah siap”, kataku lirih sembari membangunkan tidurnya. “Kamu ini ganggu orang aja! Masih peduli kamu sama aku?” tiba tiba suamiku berontak. Dan ia menyuruhku untuk meninggalkannya sendiri. Malam yang indah. Aku mulai membuat surprise kecil. Ya.. Aku membuatkan menu makan malam spesial untuk suamiku. Sayur bening dengan ikan bakar. Aku tau dia sangat menyukai masakan itu. “Surprise!” aku tersenyum menyambutnya di meja makan. Dia hanya melirik dan tidak lama ia berpamitan akan pergi sebentar. Aku sedikit kecewa. Namun segera kutahan rasa itu.



“Mas nggak mau makan dulu?” tanyaku dengan nada lirih. “Nggak usah. Kamu makan aja.” jawabnya segera masuk mobil. “Hati hati. Assalamualaikum.” salamku padanya dan mobil itu pun meninggalkan halaman. Mungkin aku sering merasa seperti ini berhari hari. Karena sejak kita menikah, sepertinya ia terpaksa merajut hidup denganku. Setelah sholat isya’ aku bergegas membereskan meja makan. Aku hanya memakan sedikit. Karena aku masih berharap suamiku pulang dan mau menyantap masakanku. Rasanya tubuhku sedikit lelah. Dengan napas tersenggal senggal, aku menuju kamar. Entah kenapa dadaku terasa sangat sakit dan susah untuk bernapas. Tiba tiba.. Aku menemukan handphone suamiku tergeletak di meja kamar. Aku tidak ingin lancang. Namun beberapa kali handphone itu berdering. “Maafkan aku mas,” Aku pun mencoba membuka pesan pesan yang masuk. Sungguh mati bukan main. Aku sangat terkejut. Kudapati pesan pesan mesra bersama wanita lain. Dan gambar di layar depan yang menunjukkan kemesraan mereka berdua. Aku tak sanggup melihat itu semuanya. Hancur berkeping keping perasaanku. Tiada harapan lagi yang tersisa dalam benakku. Mungkin suamiku lebih bahagia dengan wanita cantik itu. Aku pun tergeletak seketika. Keesokan harinya… “Astaghfirullah” aku membetulkan jilbab syar’i ku. Dan aku menyadari semalam pingsan tidak ada bala bantuan yang datang. Bahkan suamiku tidak pulang. Entah mengapa kondisi tubuhku melemah hari demi hari. Aku semakin khawatir. Namun tidak kuhiraukan.. Jgrek. “Linda! Kamu dimana?” teriak seseorang dari lantai bawah. Dengan sangat letih aku menhampiri suara itu. “Mas adi? Alhamdulillah mas pulang.” aku tersenyum kecut melihat wajah suamiku yang tega melakukan semua ini. “Kamu gak papa kan? Bibir kamu kok pucet?” tanya suamiku. “Tidak mas. Mas mau mandi atau sarapan?” tanyaku. Suamiku hanya menggeleng. Tidak sempat berjalan, aku ambruk di jalan… — “Mas adi, aku dimana?” tanyaku. “Kamu di rumah sakit.” Aku tersentak. Ada apa dengan diriku. “Mas aku kenapa?” Suamiku hanya diam. “Kamu sehat aja kok. Tapi aku sarankan kamu opname aja. Biar kalau ada apa apa ada yang ngurus.” Aku tersenyum. “Mas.. Aku nggak papa. Aku harus ngurusin kamu di rumah.” jawabku.



“Kamu nggak perlu ngurusin aku. Yang aku pertimbangkan itu biayanya. Daripada kamu buat sakit?” jawab suamiku tajam. Aku terdiam. Kenapa suamiku tega berkata seperti itu padaku. “Aku pulang aja. Lebih baik uangnya kamu tabung mas” kataku. Beberapa hari.. Aku sudah kembali ke rumah. “Mas mau kemana?” tanyaku melihat suamiku sudah buru buru. “Mau nyari udara di luar.” jawabnya singkat. Beberapa bulan kemudian… Aku menatap senja di atas loteng rumah sakit. Sudah hampir 3 minggu aku menjalani tranfusi darah. Aku tidak berharap banyak tentang hidupku. Apalagi ketika aku mengetahui penyakitku. Kulihat semua orang berada dekat dengan orang orang yang mereka sayang. Dan kudapati sejumlah keluarga bahagia bersama anak anak mereka. Aku tersenyum. “Mereka pasti bahagia. Semoga ibunya diberi kesehatan.” doaku. Senja kali ini rasanya aku ingin menghabiskan waktu bersama suamiku. Segera aku menelepon suamiku untuk kemari. Dia bilang dia sibuk. Namun aku memohon dengan sangat.. Dan akhirnya ia mau. “Linda..” beberapa jam menit kemudian. Aku mengarahkan kursi rodaku pada suara itu. “Mas adi?” aku tersenyum dan menghampirinya. Aku memeluknya. Serasa aku sangat merindukannya. “Mas.. Aku ingin menikmati senja yang terakhir bersamamu.” “Kamu bicara apa Lin?” tanya suamiku. “Mas.. Aku tau selama ini aku selalu merepotkan. Aku harap esok hari aku bisa melegakan kamu. Tanpa kehadiranku” “Lin.. Kamu jangan aneh aneh!” “Mas.. Kalau mas pulang ke rumah, aku ada hadiah kecil buat mas adi. Mas bisa simpan semuanya dari Linda.” Air mataku menetes.. “Aku mencintaimu” kataku melihat ke arahnya. Dia hanya terdiam. Malam hari.. “Mas adi mau pulang?” tanyaku. “Nggak Lin. Mau nginep hotel kayaknya.” jawabnya. “Mas nggak mau nemenin Linda malam ini aja? Linda mau tidur. Besok pagi mas bisa pergi ninggalin Linda.” Mas adi terdiam. Tiba tiba dia menghampiriku. “Maaf Lin.. Aku nggak bisa.” Kemudian dia pergi menutup pintu kamar inapku. Aku tersenyum. Setidaknya senja tadi sudah membuatku senang dan lega. “Selamat Tinggal Cinta” —



“LINDAAAA!!!” teriak mas adi melihatku tak bernyawa lagi. Kain putih menutup wajahku yang tersenyum. Dan kini saatnya aku meninggalkan suamiku. Karena Tuhan tau dia tak mencintaiku. Beberapa hari setelah kepergianku. Mas Adi sering mengurung diri di kamar dengan mendekap sweater rajut hadiah terakhir dariku. Dengan surat kecil di atas kotak hadiah. “Semoga kau merelakan kenyataan ini.. Seperti halnya diriku yang sudah merelakan cintamu untuk wanita lain” Cerpen Karangan: Ferna Blog: fafaalison.blogspot.com Cerita Senja Yang Abadi merupakan cerita pendek karangan Ferna, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.