Serat Sentini  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SERBA-SERBI BPTPM, 20/03/2013



SERAT CENTHINI, ELIZABETH DAN AGUS FATCHUR RAHMAN SRAGEN – Kamis malam (14/3/2013). Pukul 19.00 ratusan orang memadati komplek Pendapa Serambi Sukowati Sragen. Mereka penasaran tentang sosok wanita asal Perancis, bernama Elizabeth D.Inandiak yang hadir di acara “Apresiasi Sastra Serat Centhini” itu. Bukan hanya warga Sukowati saja, namun banyak dari berbagai daerah di tlatah Surakarta, dengan antusias menghadiri acara yang digelar Dewan Kesenian Daerah Sragen (DKDS) kerjasama dengan kerabat Serambi Sukowati ini. Tamu malam itu terdiri dari para birokrat, seniman, pegiat sastra, para guru bahasa dan seni, serta para akademisi. Sederet pertanyaan muncul malam itu. Diantaranya, apa yang mendorong Elizabeth D. Inandiak mampu menyadur buku Serat Centhini, karya sastra Jawa Klasik abad ke-19 setebal 4200 halaman itu kedalam bahasa Perancis? Mengapa sastrawan asal Lyon, Perancis ini begitu besar perhatiannya terhadap kebudayaan Jawa? Begitu berartikah Serat Centhini yang lahir pada masa pemerintahan Raja Keraton Surakarta, Sri Susuhunan Pakubuwana V ini bagi Elizabeth? Lantas, mengapa Bupati Sragen, Agus Fatchur Rahman tertarik pada Elizabeth? Karya Sastra Besar Dunia “Serat Centhini adalah salah satu karya sastra terbesar di dunia. Karya adiluhung pujangga tanah Jawa ini merupakan sebuah peninggalan luar biasa yang dipunyai bangsa Indonesia dan harus diperkenalkan kepada dunia”, kata Elizabeth menjawab berbagai pertanyaan hadirin saat berdialog. “Karena keberadaannya mulai terancam sirna, maka saya tertarik untuk menyadurnya ke dalam bahasa Perancis”, tambahnya. Namun menurut Elizabeth, ketertarikannya tentang Serat Centhini berawal dari seorang Mohammad Rasyidi, mantan Menteri Agama RI yang mengerjakan disertasi doktornya tentang kitab Centhini berjudul: “Critique et Consideration du Livre Centhini” di Universitas Sorbonne, Paris pada tahun 1956.



Melalui tulisan Pak Rasjidi-lah ia mengenal Serat Centhini dan mempelajarinya selama bertahun-tahun, kemudian menyadur, menafsir, meringkas, dan menerbitkannya sebagai “CENTHINI, Kekasih yang Tersembunyi”. Dengan latarbelakang itu, Elizabeth berharap buku Mohammad Rasyidi tersebut bisa diterbitkan dalam bahasa Indonesia, karena isinya sangat bagus. Elizabeth menjelaskan, buku Serat Centhini itu menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, sehingga ada yang menyebutnya sebagai “Ensiklopedi Kebudayaan Jawa” paling lengkap. Menurut Elizabeth, dalam Serat Centhini juga banyak terkandung nilai filsafat, kemanusiaan, rokhani dan ajaran hidup yang sangat bermanfaat hingga sekarang. Malu Dengan Orang Perancis Ketika pertanyaan tertuju kepada Bupati Sragen, Agus Fatchur Rahman, mengapa ia punya gagasan mengadakan kegiatan apresiasi Serat Centhini dan harus menghadirkan Elizabeth? Dengan lugas Agus menjawab, awalnya ia merasa malu dengan orang yang bernama Elizabeth itu. Agus bercerita, ketika membaca buku karya Elizabeth D. Inandiak berjudul “empat puluh malam satunya hujan” yang merupakan salah satu saduran dari Serat Centhini, dirinya kagum sekaligus malu. “Saya kagum dan malu, karena ada orang Perancis mampu menyadur karya sastra Jawa klasik kedalam bahasa yang enak dibaca, sehingga kita mudah memahaminya”, ungkap Agus. Setelah membaca buku itu, Agus mengajak teman-teman di DKDS dan Serambi Sukowati untuk menyelenggarakan acara “Apresiasi Sastra Serat Centhini”, sekaligus bisa menghadirkan Elizabeth. Menurutnya, generasi kita sekarang perlu membaca karya sastra peninggalan nenek moyang itu. “Ada nilai-nilai luhur dan spiritual yang luar biasa dalam Serat Centhini, yang secara substansial bisa kita ambil hikmahnya untuk masa kini”, katanya. Jangan sampai, katanya, kalau bicara budaya Jawa, kita hanya mengenal soal tatacara manten, busana dan gelar saja. “Makanya nilai-nilai luhur budaya Jawa yang hilang itu harus kita gali dan temukan, diantaranya melalui apresiasi sastra seperti ini”, ujar Agus. Acara “Apresiasi Serat Centhini” diselingi dengan pertunjukan seni kolaborasi Suprapto Suryodarmo (Mbah Prapto) dari Padepokan Lemah Putih Solo, dan Misbach Daeng Bilok (Napas Angin, Kelompok Al-Here Makasar), yang menampilkan para cewek Bule dari berbagai Negara, menari dengan amat luwesnya. Sebelum sesi dialog, Bupati Sragen, Agus Fatchur Rahman, membacakan naskah tembang puluhan halaman, berisi beberapa episode kisah dalam buku “Empat puluh malam, satunya hujan”. Penampilan, ekspresi dan gaya Agus memukau para pengunjung.



Dengan bertelanjang dada, berikat kepala, dan memakai sarung, Agus yang terlihat layaknya seorang pengembara itu membaca bait demi bait syair dalam Serat Centhini dengan penuh penghayatan. Salah satu penggalan bait itu adalah : “Jangan risau, biarkan rasa mengikuti kesedihan hatimu. Ingat, kamu adalah keturunan Kyai yang hebat. Biarkan kobaran api yang sulit dipadamkan terus menyala. Nanti, ketika mati sendiri, segala kotorannya akan lenyap. Itulah sebabnya biarkan hidup keindahan emas ini!”. Jangan Berhenti Disini Banyak saran dan kritik mengemuka. Suparjo, pakar sastra Jawa dari UNS misalnya, memberikan catatan kritis tentang Serat Centhini dan penyelenggaraan acara malam itu. Ada juga, orang salah seorang kerabat Kerator Surakarta yang mengupas Serat Centhini dari simbolsimbol budaya Jawa. Sementara para guru bahasa dan seni di Sragen mengharapkan acara seperti ini bisa diadakan lagi. Terlepas dari segala kekurangan yang ada, acara “Apresiasi Sastra Serat Centhini” di Pendapa Serambi Sukowati itu patut diacungi jempol, karena mampu membuka mata kita untuk menengok kembali maha karya sastra Jawa klasik awal abad 19 yang dilupakan orang Jawa sendiri. – catatan : Suparto / BPTPM Sragen -