Skripsi Irham (071001400109) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

EVALUASI PENGGUNAAN HIGH PERFORMANCE WATER BASE MUD TRAYEK 17½” PADA SUMUR I DI LAPANGAN K



Usulan Penelitian Untuk Skripsi Program Studi Sarjana Teknik Perminyakan Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, UniversitasTrisakti



Oleh



Muhammad Irham Karimurrahman 0710014000109



PROGRAM STUDI SARJANA TEKNIK PERMINYAKAN FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS TRISAKTI 2020 1



LEMBAR PENGESAHAN EVALUASI PENGGUNAAN HIGH PERFORMANCE WATER BASED MUD TRAYEK 17½ ” PADA SUMUR I DI LAPANGAN K SKRIPSI Disusun sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Program Studi Sarjana Teknik Perminyakan Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti Oleh



Muhammad Irham Karimurrahman 071001400021



Menyetujui, Pembimbing Utama



Pembimbing Pendamping



(Ir. Abdul Hamid, MT) NIK 1894/USAKTI



(Ir. Pauhesti Rusdi, MT) NIK Mengetahui,



Ketua Program Studi Sarjana Teknik Perminyakan



(Ir. Abdul Hamid, MT) NIK 1894/USAKTI



2



LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi yang berjudul “EVALUASI PENGGUNAAN HIGH PERFORMANCE WATER BASED MUD TRAYEK 17 ½” PADA SUMUR I DI LAPANGAN K” telah dipertahankan di depan tim penguji pada hari …............. tanggal …...................…...



TIM PENGUJI 1. (Nama Ketua Penguji)



Ketua Penguji



(............................)



2. (Cahaya Rosyidan, M.Sc)



Pembimbing Akademik



(............................)



3. (Ir. Abdul Hamid, MT)



Pembimbing Utama



(............................)



4. (Ir. Pauhesti Rusdi, MT)



Pembimbing Pendamping (............................)



5. (Nama dosen Penguji 1)



Anggota Penguji



(............................)



6. (Nama dosen Penguji 2)



Anggota Penguji



(............................)



Mengetahui, Ketua Program Studi Sarjana Teknik Perminyakan



(Ir. Abdul Hamid, MT) NIK 1894/USAKTI



3



HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama



: Muhammad Irham Karimurrahman



Nim



: 071001400109



Program studi : Teknik Perminyakan Fakultas



: Teknologi Kebumian dan Energi



Jenis Karya



: Skripsi



demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Trisakti Hak Bebas Royalti Non ekslusif (Non-exclusive-RoyaltyFree-Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: “EVALUASI PENGGUNAAN HIGH PERFORMANCE WATER BASED MUD TRAYEK 17 ½” PADA SUMUR I DI LAPANGAN K” beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non ekslusif ini Universitas Trisakti berhak menyimpan, mengalih media/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan menyebarkan skripsi saya sesuai aturan, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Jakarta, (



/



/2020)



Yang membuat pernyataan



(Muhammad Irham Karimurrahman)



4



SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS Saya Mahasiswa Program Studi Sarjana Teknik Perminyakan, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Usakti yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Muhammad Irham Karimurrahman Nim



: 071001400109



Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi dengan judul : “EVALUASI PENGGUNAAN HIGH PERFORMANCE WATER BASED MUD TRAYEK 17 ½” PADA SUMUR I DI LAPANGAN K” Adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bebas dari peniruan terhadap karya dari orang lain. Kutipan pendapat dan tulisan orang lain ditunjuk sesuai dengan cara-cara penulisan karya ilmiah yang berlaku. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa dalam skripsi ini terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk-bentuk peniruan lain yang dianggap melanggar peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut. Jakarta, (



/



/2020)



Yang membuat pernyataan



(Muhammad Irham Karimurrahman)



5



KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat melakukan Skripsi dan telah menyelesaikan Skripsi ini dengan judul “EVALUASI PENGGUNAAN HIGH PERFORMANCE WATER BASED MUD TRAYEK 17 ½” PADA SUMUR I DI LAPANGAN K”. Terima kasih kepada Agam Syahlevi dan Conny Yuniawati, selaku Orang Tua penulis yang telah memberikan semangat dan doanya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang memiliki peran dalam penulisan Skripsi ini, pemberian materi, dan juga semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan pada penulis. Bersama dengan selesainya Skripsi ini, penulis menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada: 1. Ir. Abdul Hamid, MT selaku Ketua Program Studi Teknik Perminyakan dan juga selaku Pembimbing 1 Skripsi yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan dalam penulisan Skripsi 2. Ir. Pauhesti Rusdi, MT selaku Pembimbing 2 Skripsi dikampus yang telah banyak meluangkan waktu dan ilmunya untuk memberikan pengarahan dalam penulisan Skripsi 3. Dr. Ir. Afiat Anugrahadi, MS selaku Dekan Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi. 4. Ir. Onnie Ridaliani, MT selaku Sekretaris Jurusan Program Studi Teknik Perminyakan. 5. Mas Aziz Muslim selaku Field Manager Drilling Well Operation PT. I 6. Mas Annas Hanafiah selaku Drilling Engineer dan pebimbing di PT.I yang telah meluangkan waktu dan pengarahan untuk penulis dalam menyelesaikan Skripsi. Jakarta,



2020 Penulis



6



7



ABSTRAK EVALUASI PENGGUNAAN HIGH PERFORMANCE MUD WATER BASE MUD TRAYEK 17½” PADA SUMUR I DI LAPANGAN K



Muhammad Irham karimurrahman Nim: 071001400109 Program Studi Sarjana Teknik Perminyakan, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti, Jakarta, Indonesia



Lumpur pemboran (drilling fluid) adalah suatu fluida yang dirancang khusus untuk membantu proses pemboran. Komposisi dan sifat-sifat fisik lumpur pemboran sangat berpengaruh dan berperan penting terhadap kesuksesan atau kegagalan suatu operasi pemboran. Keberhasilan kinerja suatu lumpur pemboran dapat dievaluasi berdasarkan laju kecepatan pemboran (drilling time & cost), dan safety and hole stability. Metode yang digunakan dalam pembuatan program lumpur pemboran adalah metode analisis sumur offset (korelasi data) dan perhitungan untuk menghitung kebutuhan volume beserta material lumpur pada program lumpur pemboran ini. Korelasi data yang akan digunakan adalah data DDR (Daily Drilling Report) untuk data durasi pengeboran, dan data DMR (Daily Mud Report) untuk data sifat fisik lumpur. Untuk menentukan sistem dan mendesain program lumpur yang akan digunakan pada pemboran di Sumur I adalah data korelasi lumpur. Sumur terdekat (offset well) yang akan digunakan dalam evaluasi ini yaitu sumur A, sumur B, dan sumur C. Sistem lumpur yang digunakan pada sumur A adalah KCl Polymer PHPA yang berbahan dasar dari air tawar atau disebut juga dengan WBM A (Water Base Mud). Sistem lumpur yang digunakan pada sumur I, sumur B, dan sumur C adalah HPWBM (High Performance Water Base Mud) I, HPWBM B, dan HPWBM C. Sistem lumpur tersebut cocok dalam mengatasi masalah yang terjadi pada proses pemboran. High Performance Water Based Mud adalah lumpur yang berbahan dasar air yang memiliki kelebihan juga ramah lingkungan. High Performance Water Based Mud dapat lihat baik dan tidaknya melalui hasil cutting yang baik. High Performance Water Based Mud menggunakan penghambat shale untuk mencegah shale problem selama operasi pemboran berlangsung. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi permasalahan sloughing shale dan swelling clay. Volume total kebutuhan pada sumur I sebanyak 2472 bbl. Total volume kebutuhan lumpur didapat dari penjumlahan total volume lubang dengan volume mud excess serta dengan volume mud tank. Volume total kebutuhan pada sumur A sebanyak 2976 bbl. Volume total kebutuhan pada sumur B sebanyak 2219,6 bbl. Volume total kebutuhan sumur C sebanyak 2467,7 bbl. Volume polyamine yang digunakan pada lumur High Performance Water Base Mud pada sumur I sebanyak 75,9 bbl, pada sumur B sebanyak 55,5 bbl, pada sumur C sebanyak 49 bbl. Actual drill trayek 17 ½” pada sumur I berlangsung selama 80,5 jam. Actual Drill trayek 17



8



½” pada sumur A berlangsung selama 98 jam. Actual Drill trayek 17 ½” pada sumur B berlangsung selama 83 jam. Actual Drill trayek 17 ½” pada sumur C berlangsung selama 107 jam Perhitungan total cost dari keempat sumur tersebut adalah, sumur I trayek 17 ½” sebesar $ 908.498,26 . Sumur A dengan lumpur WBM A pada trayek 17 ½” sebesar $ 1.134.914,21. Sumur B dengan lumpur HPWBM B pada trayek 17 ½” sebesar $ 1.271.597,30. Sumur C dengan lumpur HPWBM C pada trayek 17 ½”sebesar $1.737.115,67 Cost per foot trayek 17 ½” sumur I sebesar $ 246,1305 , sumur A sebesar $ 293,6375, Sumur B sebesar $ 320,03636 dan sumur C sebesar $ 438,6471. Perbedaan durasi pemboran pada drilling time disebabkan oleh control drilling dan kehatian-hatian dalam menjaga arah lintasan (trajectory path) , serta dari terganggunya drill time pada waktu proses pemasukan casing yang dapat berbeda beda.



Kata kunci: Fluida Pemboran, Lumpur, KCL Polimer, HPWBM



9



ABSTRACT HIGH PERFORMANCE WATER BASED MUD EVALUTION ON 17½” TRAYECT IN WELL I IN THE FIELD Y Muhammad Irham Karimurrahman Nim: 071001400109 Study Program of Petroleum Enginering, Faculty Of Earth Technology and Energy, Universitas Trisakti, Jakarta, Indonesia



Drilling fluid is a fluid specially design to assist the drilling process. The composition and physical properties of drilling mud are very influential and play an important role in the success or failure of a drilling operation. The successful performance of a drilling mud can be evaluated based on the speed of drilling (drilling time & cost) along with safety and hole stability. The method used in making the drilling mud program is the offset well analysis method (data correlation) and the calculation to calculate the volume requirements along with the mud material in this drilling mud program. Correlation data that will be used are DDR data (Daily Drilling Report) for drilling duration data and DMR (Daily Mud Report) data for mud physical properties data. To determine the system and design the mud program that will be used for drilling in Sumur I, the mud correlation data will be used. The nearest wells (offset well) that will be used in this evaluation are well A, well B, and well C. The mud system used in well A is KCl Polymer PHPA which is made from fresh water or also known as WBM A (Water Base Mud). The mud system used in well I, well B, and well C is HPWBM (High Performance Water Base Mud) I, HPWBM B, and HPWBM C. These mud systems are suitable in overcoming problems that occur in the drilling process. High Performance Water Based Mud is water-based mud which has the advantage of being environmentally friendly. The quality of High Performance Water Based Mud can be seen through the cutting results. High Performance Water Based Mud uses shale inhibitors to prevent shale problems during drilling operations. This study aims to evaluate the problems of sloughing shale and swelling clay. The total volume of demand in well I is 2472 bbl. The total volume of sludge requirements is obtained from the sum of the total volume of the hole with the volume of mud excess and the volume of the mud tank. The total volume of demand in well A is 2976 bbl. The total volume of demand in well B is 2219.6 bbl. The total volume of demand in well C is 2467.7 bbl. The volume of polyamine used in the High Performance Water Base Mud in well I was 75.9 bbl, well B was 55.5 bbl, well C was 49 bbl. Actual drill route 17 ½ "at well I lasts 80.5 hours. Actual Drill route 17 ½ "at well A lasts 98 hours. Actual Drill Route 17 ½ "at well B lasts 83 hours. Actual Drill route 17 ½ "at well C lasts 107 hours. The total cost of the four wells is, well I route 17 ½" is $ 908,498.26. Well A with WBM A mud on route 17 ½ "for $ 1,134,914.21. Well B with HPWBM B mud on route 17 ½ "for $ 1,271,597.30. Well C with HPWBM C mud on route 17 ½ "for $ 1,737,115.67 Cost per foot of route 17 ½" well I is $ 246,1305, well A is $ 10



293,6375, Well B is $ 320,03636 and well C for $ 438,6471. The difference in drilling duration in drilling time is caused by control drilling and carefulness in maintaining the trajectory path, as well as from disruption of drill time at the time of the insertion of the casing which can be different.



Keyword: Drilling Fluid, Mud, KCL Polymer, High Performance Water Based Mud



11



DAFTAR ISI



EVALUASI PENGGUNAAN HIGH PERFORMANCE WATER BASE MUD TRAYEK 17½” PADA SUMUR I DI LAPANGAN K...........................................i LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii LEMBAR PERSETUJUAN...................................................................................iii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS...............................................................iv SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS............................................................v KATA PENGANTAR............................................................................................vi ABSTRAK...............................................................................................................1 ABSTRACT...............................................................................................................3 DAFTAR ISI............................................................................................................5 DAFTAR TABEL....................................................................................................8 DAFTAR GAMBAR...............................................................................................9 DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG........................................................10 BAB I PENDAHULUAN.................................................................................11 I.1 Latar belakang..............................................................................12 I.2 Maksud Dan Tujuan Penelitian....................................................13 I.3 Ruang Lingkup Permasalahan.....................................................13 I.4 Manfaat Penelitian.......................................................................13 BAB II LUMPUR PEMBORAN........................................................................13 II.1 Landasan Teori.............................................................................14 II.2 Komposisi Lumpur Pemboran.....................................................14 II.3 Fungsi Lumpur Pemboran............................................................16 II.3.1 Mengangkat Serbuk Bor ke Permukaan........................16 II.3.2 Mengontrol Tekanan Formasi........................................17 II.3.3 Mendinginkan Serta Melumasi Pahat Dan Rangkaian Bor.................................................................................17 II.3.4 Membersihkan Dasar Lubang Bor.................................17 II.3.5 Membantu Dalam Evaluasi Formasi..............................18 II.3.6 Melindungi Formasi Produktif.......................................18 II.3.7 Membantu Stabiltas Formasi.........................................18 II.4 Sifat Fisik Lumpur Pemboran......................................................18 II.4.1 Berat jenis lumpur (Densitas)........................................19 II.4.2 Viskositas.......................................................................19 II.4.3 Plastic Viscosity.............................................................20 II.4.4 Yield Point.....................................................................21 II.4.5 Gel Strength...................................................................21 II.4.6 Filtration Loss................................................................21 II.4.7 pH Lumpur.....................................................................22 II.4.8 Solid Content.................................................................22 II.5 High Performance Water Based Mud..........................................22 II.6 Jenis Shale Inhibitor.....................................................................23 II.6.1 Mineral Shale.................................................................24



12



II.6.2 Komposisi Shale............................................................25 II.6.3 Jenis-jenis Shale.............................................................26 II.7 Faktor-faktor yang menyebabkan shale menjadi tidak stabil.......29 BAB III METODOLOGI PENELITIAN............................................................30 III.1 Prosedur Kerja..............................................................................31 III.2 Pengumpulan Data.......................................................................31 III.3 Diagram Alir (Flow Chart)..........................................................31 BAB IV PEMBAHASAN....................................................................................32 IV.1 Hasil.............................................................................................33 IV.1.1Evaluasi Program Lumpur Pemboran.........................................33 IV.1.2Sistem Lumpur Pada Trayek 17 ½”...........................................34 IV.1.3Perhitungan jumlah polyamine....................................................40 IV.1.4Total Cost dan Cost Per Foot Trayek 17 ½”...............................41 IV.2 Pembahasan..................................................................................43 BAB V KESIMPULAN......................................................................................45 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................46 LAMPIRAN...........................................................................................................49



13



DAFTAR TABEL



14



DAFTAR GAMBAR Gambar II. 1 Mud Balance Regular (Amin, 2013)..................................................8 Gambar II. 2 Marsh Funnel (Amin, 2013)...............................................................9



15



DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG SINGKATAN Nama



Pemakaian pertama kali pada halaman



CEC



Cation Exchange Capacity



19



MBT



Metheylene Blue Test



30



MD



Measured Depth (feet)



44



MW



Mud Weight



29



PV



Plastic Viscosity



15



YP



Yield Point



16



ROP



Rate Of Penetration



31



pH



Power of Hydrogen



LAMBANG Bbl



Barrel



29



cP



Centri Poise



14



ID



Inside Diameter



7



L



Kedalaman



7



ppb



Part per billion



29



ppgs



Pound per gallon



29



V



Volume Lumpur Pemboran



7



Dial reading untuk putaran 600 rpm



14



Dial reading untuk putaran 300 rpm



14



16



BAB I



I.1



PENDAHULUAN



Latar belakang Pemboran merupakan salah satu cara dalam mencari hidrokarbon baik dalam wujud gas, ataupun minyak. Pada waktu berjalannya pemboran sering sekali terjadi adanya permasalahan dalam sumur seperti sloughing shale (hole pack off), gumbo dan swelling clay. Di semua permasalahan di dunia perminyakan adalah permasalahan yang berisiko yang harus siap dihadapi. Perencanaan evaluasi program pemboran sangat mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya dalam suatu pekerjaan pemboran sumur yang menembus berbagai macam formasi atau lapisan batuan. Pada Lapangan K akan dilakukan pemboran sumur I. Perencanaan pemboran sumur I ini menggunakan fluida pemboran High Performance Mud atau disebut juga dengan HPWBM. Lumpur tersebut direncanakan dapat untuk menyelesaikan masalah yang terjadi seperti sloughing shale (hole packoff) dan swelling clay. Dengan mengevaluasi permasalahan yang telah dialami pada offsite well, diharapkan pemboran sumur I dapat berjalan dengan lancar. Kecepatan pemboran, efisiensi, keselamatan dan biaya pemboran sangat bergantung dari lumpur yang digunakan, sehingga perlu dilakukan perencanaan desain lumpur yang baik. Teknologi pemboran yang berkembang selama ini telah menggunakan suatu campuran kimia Potasium Klorida (KCl) yang berfungsi sebagai inorganic shale inhibitor merupakan salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan swelling clay. Namun potasium klorida (KCl) ini dapat berpotensi merusak formasi (formation damage) dan limbah dari KCl juga dapat mencemari lingkungan (solid content tinggi) jika dibuang ke lingkungan tanpa dilakukan treatment khusus. Oleh karena itu diperlukan suatu campuran bahan kimia tertentu yang selain dapat mencegah terjadinya swelling clay secara efektif tapi juga mendukung kelancaran proses pemboran dan ramah lingkungan (tidak diperlukan



biaya



untuk



treatment



1



khusus).



Salah



satunya



dengan



menggunakan organic shale inhibitor sebagai bahan campuran berupa water based mud (WBM) untuk mencegah terjadinya clay swelling. Jenis campuran bahan kimia ini dikenal ramah lingkungan dan dapat mencegah terjadinya clay swelling. Di sisi lain, penggunaan organic shale inhibitor sudah banyak dilakukan. Organic shale inhibitor ini digunakan sebagai pencampuran High Performance Water Based Mud yang akan menghasilkan operasi pemboran yang efisien dan menghindari terjadi permasalahan swelling clay ataupun shale stability. I.2



Maksud Dan Tujuan Penelitian Tujuan dari penulisan Skripsi ini adalah







Memilih dan menentukan lumpur pemboran yang digunakan sesuai dengan kondisi formasi yang akan ditembus dengan tujuan pencapaian keselamatan kerja, kecepatan pemboran yang optimum, efisiensi, dan optimasi biaya operasi.







Meminimalisir segala bentuk permasalahan yang terjadi selama operasi pemboran. Terutama permasalahan yang berhubungan dengan fluida pemboran.



I.3



Ruang Lingkup Permasalahan Ruang lingkup yang digunakan untuk penelitian skripsi ini adalah mengevaluasi program lumpur sumur I dengan menggunakan referensi sumur sebelumnya untuk meneliti permasalahan yang sering dijumpai. Masalah yang sering dijumpai adalah sloughing shale dan swelling clay. Penelitian yang dilakukan



meliputi



sifat



fisik



fluida



pemboran



dan



perbandingan



keekonomisan operasi pemboran dengan menggunakan lumpur High Performance Water Based Mud I, B, C dan KCL Polimer (WBM A). I.4



Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari Skripsi ini adalah untuk meminimalisir segala bentuk masalah yang sering terjadi selama operasi pemboran. Terutama permasalahan yang berhubungan dengan fluida pemboran. Evaluasi program lumpur dapat dijadikan sebagai referensi untuk sumur-sumur berikutnya, dan



2



juga pengetahuan yang lebih luas tentang lumpur HPWBM



BAB II



LUMPUR PEMBORAN



II.1 Landasan Teori Lumpur pemboran adalah fluida yang disirkulasikan melalui sumur untuk membersihkan atau membawa cutting dari lubang sumur. (Hughes, 1995). Berdasarkan bahan dasarnya, lumpur pemboran terbagi 3: Water Base Mud (WBM), Oil Base Mud (OBM) dan Gaseous. Metode yang digunakan dalam pembuatan program lumpur pemboran adalah metode analisis sumur offset (korelasi data) dan perhitungan untuk menghitung kebutuhan volume beserta material lumpur pada program lumpur pemboran ini. Untuk menghitung volume kebutuhan lumpur, dapat menggunakan V=



ID2 xL 1029,4



(II.1)



Dalam menganalisis lumpur pemboran, diperlukan data-data yang mendukung seperti data permasalahan pada lubang bor, data pemboran, serta evaluasi lumpur pemboran yang berasal dari sumur offset. Data-data tersebut akan dianalisis kemudian dikorelasikan dalam evaluasi pembuatan program lumpur pemboran untuk sumur yang akan dibuat. (Amin, 2013) II.2 Komposisi Lumpur Pemboran Pada zaman dahulu air merupakan satu-satunya media untuk mengangkat cutting. Lalu dengan berkembangnya pemboran, maka lumpur digunakan sebagai media pengangkat cutting. Untuk memperbaiki sifat-sifat, zat-zat kimia lumpur ditambahkan dan akhirnya digunakan pula udara dan gas untuk pemboran walaupun lumpur tetap bertahan. (Rubiandini, 2009) Secara umum lumpur pemboran memiliki empat fasa : A.Fasa Cair Fasa cair ini dapat berupa dalam minyak atau air. Air dapat pula dibagi dua, tawar dan asin. Tujuh puluh lima persen lumpur pemboran menggunakan air. Sedang pada air dapat pula dibagi menjadi air asin tak jenuh dan jenuh. Istilah oil3



base digunakan bila minyaknya lebih dari Sembilan puluh lima persen. Invert emulsions mempunyai komposisi minyak 50%-70% (sebagai fasa kontinu) dan air 30-50% (sebagai fasa terdispersi) B.Reactive solids Reactive solid merupakan padatan yang bereaksi dengan sekelilingnya untuk membentuk koloidal. Dalam hal ini clay air tawar seperti bentonit menghisap (absorb) air tawar dan membentuk lumpur. Istilah “yield” digunakan untuk menyatakan junlah barrel lumpur yang dapat dihasilkan dari satu to clay agar viskositas lumpurnya 15 cp. Untuk bentonit, yieldnya kira-kira 100bbl/ton. Dalam hal ini bentonit menghisap air tawar pada permukaan partikel-partikelnya, sehingga kenaikan volumenya mencapai sepuluh kali atau lebih, yang disebut swelling atau hidrasi. Untuk salt water clay (attapulgite), swelling akan terjadi baik di air tawar atau di air asin oleh karena itu digunakan untuk pemboran dengan “salt water muds”. Untuk oil base mud, viskositas dinaikkan dengan penaikan kadar air dan penggunaan aspal. C.Inert Solids Inert solids atau padatan yang tidak bereaksi dengan lumpur. Inert solids biasanya menggunakan barite (BaSO4) untuk menaikkan densitas lumpur, ataupun galena atau bijih besi. Inert solids dapat pula berasal dari formasi-formasi yang dibor dan terbawa lumpur seperti chert, pasir atau clay-clay non swelling, dan padatn-padatan seperti ini secara tidak sengaja memberikan kenaikan ednsitas lumpur dan perlu dibuang secepat mungkin (bisa menyebabkan abrasi, kerusakan pompa dll). D. Fasa Kimia Zat Kimia merupakan bagian dari sistem yang digunakan untuk mengontrol sifat-sifat lumpur, misalnya dalam dispersion (menyebarnya partikelpartikel clay) atau flocculation (berkumpulnya partikel partikel clay). Banyak zat kimia yang digunakan untuk menurunkan viskositas mengurangi water loss, dan mengontrol fasa koloid (disebut surface active agent). Aditif merupakan bahan tambahan yang memiliki fungsi untuk mengontrol dan memperbaiki sifat-sifat lumpur agar sesuai dengan keadaan formasi yang ditembus atau dihadapi selama 4



operasi pemboran. Berikut ini akan disebutkan beberapa bahan kimia tersebut. 



Bahan untuk menaikkan berat jenis (weighting agent) mempunyai contoh seperti barite atau barium sulfate, Iron oxides, calcium carbonate untuk oil base mud dan galena.







Bahan untuk menaikkan viskositas (viscosifier) mempunyai contoh yaitu Wyoming Bentonite, Attapulgite, Extra High Yield Bentonite, High Yielding Clay, Asbestos, polymer







Bahan untuk menurunkan viskositas (thinner) contoh dari bahan ini adalah Calsium Lignosulfonat, Phosphat, Sodium Acid Phyrohosphat (SAPP), Quebracho, Tannate, Processed lignite, Alkaline.







Bahan untuk untuk Laju tapisan (filtration loss control) mempunyai bahan yaitu Polyanionic Cellulose (PAC), Modified Starch, Sodium Carboxymethyl Cellulose, CMC, Bentonite, Dispersant







Bahan untuk pH Lumpur (pH controls) seperti Sodium Hydroxide/Caustic Soda, Potassium Hydroxide dan Calcium Hydroxide.



II.3 Fungsi Lumpur Pemboran Menggunakan lumpur atau fluida pemboran bertujuan agar proses pemboran tidak memenuhi kesulitan-kesulitan yang dapat memenuhi kelancaran pemboran itu sendiri. Faktor yang paling penting dalam pemboran adalah lumpur pemboran. Kecepatan pemboran, efisiensi, keselamatan dan biaya pemboran sangat tergantung pada lumpur ini. (Amin, 2013) Hal ini dapat dilihat dari fungsi atau kegunaan utama dari lumpur pemboran, yaitu sebagai berikut: 1.



Mengangkat serbuk bor ke permukaan



2.



Mengontrol tekanan formasi



3.



Mendinginkan serta melumasi pahat dan drillstring



4.



Membersihkan dasar lubang



5.



Membantu dalam evaluasi formasi



6.



Melindungi formasi produktif



7.



Membantu stabilitas formasi (Aris Buntoro, 2016)



5



II.3.1 Mengangkat Serbuk Bor ke Permukaan Serbuk bor dihasilkan pada waktu operasi pemboran harus segera diangkat ke permukaan agar tidak terjadi penumpukan serbuk bor di dasar lubang. Kapasitas pengangkatan serbuk bor tergantung dari beberapa factor, antara lain: kecepatan aliran di anulus, viskositas plastik, yield point lumpur pemboran dan slip velocity dari serbuk bor yang dihasilkan. Lumpur pemboran juga harus bisa menahan serbuk bor dalam suspensi ketika sirkulasi dihentikan, sehingga dapat mencegah terjadinya terakumulasi serbuk bor di dasar lubang bor yang dapat menyebabkan pipa terjepit. (Aris Buntoro, 2016) II.3.2 Mengontrol Tekanan Formasi Untuk keselamatan pemboran, tekanan formasi yang tinggi juga harus diimbangi dengan tekanan hidrostatik lumpur yang tinggi, sehingga tekanan hidrostatik lumpur lebih besar dengan tekanan formasi. Secara efektif perbedaan antara tekanan hidrostatik lumpur dengan tekanan formasi (overbalanced pressure) harus sama dengan nol, tetapi dalam praktek harganya sekitar 100 – 200 psi. Untuk mengontrol tekanan formasi tersebut dilakukan dengan mengatur berat (densitas) lumpur (Aris Buntoro, 2016) II.3.3 Mendinginkan Serta Melumasi Pahat Dan Rangkaian Bor Perputaran pahat dan drillstring terhadap formasi akan menghasilkan panas, sehingga dapat mempercepat keausan pahat dan drillstring. Selain panas yang ditimbulkan akibat gesekan juga panas yang berasal dari formasi itu sendiri, dimana semakin dalam formasi yang dibor, temperature juga semakin tinggi. Dengan adanya lumpur pemboran, maka panas tersebut dapat ditransfer keluar dari lubang bor. Lumpur pemboran dapat membantu mendinginkan drillstring dengan menyerap panas dan melepaskannya, melalui proses konveksi dan radiasi, pada udara di sekitar mud pit. Lumpur pemboran juga dapat melumasi pahat dan drillstring dengan menurunkan friksi drillstring dan pahat dengan formasi yang ditembus. Untuk mendapatkan pelumasan yang lebih baik pada umumnya dapat ditambahkan sedikit minyak ke dalam lumpur. (Aris Buntoro, 2013)



6



II.3.4 Membersihkan Dasar Lubang Bor Secara umum, pembersihan dasar lubang bor dilakukan dengan menggunakan fluida yang encer pada shear rate tinggi saat melewati nozzle pada pahat. Ini berarti bahwa fluida yang kental kemungkinan besar dapat digunakan untuk membersihkan lubang bor, jika fluida tersebut mempunyai sifat shear thinning yang baik. Pada umumnya, fluida dengan kandungan padatan (solid content) yang rendah dapat merupakan fluida yang paling baik untuk membersihkan lubang bor. (Aris Buntoro, 2016) II.3.5 Membantu Dalam Evaluasi Formasi Sifat fisik dan kimia lumpur pemboran berpengaruh terhadap program well logging. Pada saat tertentu diperlukan informasi tentang kandungan hidrokarbon, batas air-minyak, dan lainnya untuk korelasi, maka dilakakukan well logging, yaitu memasukan sonde/alat ke dalam sumur, misalnya log listrik, maka diperlukan media penghantar, dalam hal ini lumpur merupakan penghantar listrik. Sebagai contoh, lumpur dengan kadar garam yang tinggi akan menghambat pengaturan spontaneous potensial (SP) karena konsentrasi garam dari lumpur dan formasi hampir sama. Di samping itu, oil mud akan menghambat resistivitas karena minyak akan bertindak sebagai isolator dan dapat mencegah terjadinya aliran listrik. Oleh karena itu, pemilihan lumpur pemboran harus sesuai dengan program evaluasi formasi.(Aris Buntoro, 2016) II.3.6 Melindungi Formasi Produktif Perlindungan formasi produktif sangat penting. Oleh karena itu, pengendapan mud cake pada dinding lubar bor dapat mengizinkan operasi pemboran terus berjalan atau tidak menyebabkan kerusakan formasi produktif. Kerusakan formasi produktif biasanya akan menurunkan permeabilitas di sekitar lubang bor.(Aris Buntoro, 2016) II.3.7 Membantu Stabiltas Formasi Pada lubang bor sering dijumpai dengan adanya problem stabilitas yang disebabkan oleh fenomena geologi, seperti zona rekahan, formasi lepas hidrasi



7



clay, dan tekanan tinggi. Lumpur pemboran harus mampu mengontrol permasalahan tersebut, sehingga lubang bor tetap terbuka dan proses pemboran dapat terus dilanjutkan.(Aris Buntoro, 2016) II.4 Sifat Fisik Lumpur Pemboran Faktor yang penting dalam melakukan pemboran sumur adalah mengontrol komposisi dan kondisi dari lumpur bor. Sifat-sifat lumpur bor harus dijaga dan selalu diamati secara teliti dan berkesinambungan dalam setiap tahap operasi pemboran. Untuk mempermudah pengertian, maka terdapat delapan fisik lumpur pemboran yaitu densitas (berat jenis), viskositas, plastic viscosity, yield point, gel strength, laju tapisan, pH lumpur bor, solid control. (Amin, 2013) II.4.1 Berat jenis lumpur (Densitas) Berat jenis lumpur merupakan salah satu sifat lumpur yang sangat penting karena perannya berhubungan langsung dengan fungsi lumpur bor dalam mengontrol tekanan formasi. Lumpur dengan densitas yang terlalu besar dapat menyebabkan terjadinya lumpur hilang ke formasi (lost circulation), sedangkan lumpur dengan densitas terlalu rendah dapat menyebabkan terjadinya kick. Maka densitas lumpur harus disesuaikan dengan keadaan formasi yang akan dibor. Berat jenis lumpur harus dikontrol agar dapat memberikan tekanan hidrostatik yang cukup untuk mencegah masuknya cairan formasi ke dalam lubang bor tetapi tekanan tersebut jangan terlalu besar sehingga menyebabkan formasi pecah dan lumpur hilang ke formasi. (Amin, 2013)



Gambar II. 1 Mud Balance Regular (Amin, 2013)



8



II.4.2 Viskositas Viskositas adalah tahanan fluida terhadap aliran atau gerakan yang disebabkan oleh adanya gesekan antara partikel pada fluida yang mengalir. Pada lumpur bor, viskositas merupakan tahanan aliran lumpur saat dilakukan sirkulasi, hal ini dapat terjadi karena adanya pergeseran antara partikelpartikel dari lumpur bor, dimana viskositas lumpur memegang peranan dalam pengangkatan cutting. Pada dasarnya viskositas diukur dengan Fann VG Meter yang mempunyai shear rate tertentu atau dapat juga diukur dengan Marsh Funnel. (Rabia, 2010) Gambar II.2 ini merupakan gambar dari marsh funnel untuk menentukan viskositas.



Gambar II. 2 Marsh Funnel (Amin, 2013) II.4.3 Plastic Viscosity Plastic Viscosity merupakan gaya gesek anatara padatan dengan padatan, cairan dengan cairan yang berhubungan dengan presentasi padatan di dalam lumpur. PV didapat dari hasil pengukuran dengan viscosimeter. Harga PV yang tinggi menunjukkan kenaikan gesekan padatan yang disebabkan oleh naiknya konsentrasi padatan. (Rabia, 2010) Cara membaca Plastic Viscosity yaitu dilihat dari selisih angka yang ditunjukkan dial reading untuk putaran 600 rpm dengan dial reading untuk putaran 300 rpm.



PV =θ 600−θ300



(II.2)



9



Fann VG Meter merupakan contoh alat untuk mengukur rheologi lumpur dapat dilihat pada Gambar II.3



Gambar II.3



Fann VG Meter (Amin, 2013)



II.4.4 Yield Point Bagian dari resistansi untuk mengalir oleh gaya tarik-menarik antar partikel. Jadi yield point merupakan angka yang menunjukan shearing stress yang diperlukan untuk mensirkulasikan lumpur kembali, dengan kata lain lumpur tidak akan dapat bersirkulasi sebelum diberikan shearing stress sebesar yield point. Cara membaca Yield Point yaitu dilihat dari selisih angka yang ditunjukkan dial reading untuk putaran 300 rpm dengan harga Plastic Viscosity. Satuannya adalah lb/100ft2. (Rabia, 2010) II.4.5 Gel Strength        



Gel strength mempunyai peranan yang sangat penting pada saat sirkulasi berhenti, lumpur akan menjadi gel ataur mengagar saat tidak ada sirkulasi hal ini disebabkan oleh gaya tarik menarik antara partikel-partikel padatan lumpur saat lumpur berhenti bersirkulasi, lumpur harus mempunyai sifat gel strength yang dapat menahan cutting dan material pemberat lumpur agar tidak turun sehingga padatan tidak menumpuk dan mengendap di annulus. (Rabia, 2010)



10



II.4.6 Filtration Loss Filtration loss adalah proses kehilangan sebagian fasa cair dari lumpur yang masuk ke dalam dinding lubang bor yang disebut filtrat. Kegunaannya adalah membentuk mud cake pada dinding lubang bor. Filtration Loss ini harus dikontrol dengan baik. Mud cake yang baik adalah tipis untuk mengurangi kemungkinan terjepitnya pipa bor dan kuat untuk membantu kestabilan lubang bor, serta padat atau compressible agar mud filtrate yang masuk ke dalam formasi tidak terlalu berlebihan. sedangkan HPHT (High Pressure High Temperature) Filter Press adalah alat yang digunakan untuk menstimulasikan filtrasi dengan mengkondisikan permeable formasi pada temperatur dan tekanan yang tinggi. (Rabia, 2010) (Fann, 2018)



Gambar II.4



API Filter Press dan HPHT (Amin, 2013) (Fann, 2018)



II.4.7 pH Lumpur        



Tingkat keasaman atau kebasaan suatu lumpur pemboran dapat digunakan pH. pH dan lumpur yang dipakai berkisar 8.5 - 11, jadi lumpur bor yang digunakan adalah dalam suasana basa. Lumpur sebaiknya tidak terlalu asam atau basa karena akan menaikan



viskositas dan gel strength dari lumpur.



(Amin, 2013) II.4.8 Solid Content Kadar padatan (solid content) terutama yang mempunyai sifat bentonitik yang berasal dari cutting yang terdispersi ke dalam lumpur sangat 11



berpengaruh pada kecepatan pemboran (ROP), pemakaian pahat dan waktu pemboran. Solid content juga sangat berpotensi pada jepitan pipa. Maka dari itu solid control equipment yaitu shale shaker, desander dan desilter diharapkan bekerja dengan maksimal agar program lumpur berhasil. (Amin, 2013) II.5 High Performance Water Based Mud Didefinisikan sebagai lumpur berbahan dasar air yang memiliki kemampuan untuk menanggulangi atau mencegah masalah tertentu tanpa mengurangi sifat ramah lingkungan yang dimiliki oleh lumpur berbahan dasar air. Penggunaan High Performance Water Based Mud (HPWBM) ini disesuaikan dengan permasalahan yang mungkin biasa terjadi di dalam operasi pemboran. Salah satu permasalahan tersebut adalah terjadinya swelling clay. Walaupun permasalahan ini dapat dicegah dengan menggunakan berbahan dasar miyak atau Oil Based Mud (OBM) namun penggunaan OBM dapat merusak lingkungan dan relative lebih mahal dibandingkan dengan menggunakan Water Based Mud (WBM). Oleh karena itu perlu adanya penggunaan High Performance Water Based Mud sehingga clay swelling dapat dicegah namun tetap tidak merusak lingkungan atau stabilitas lubang bor dapat tetap terjaga. (M-I, 2009) (Gholizadeh-Doonechaly, Tahmasbi, & Davani, 2009) Pada prinsipnya, High Performance Water Based Mud merupakan lumpur berbahan dasar air yang mengandung shale inhibitor. Shale inhibitor yang digunakan berupa Poly Amine. Poly Amine ini secara efektif menghambat hidrasi clay dan meminimalisir potensi bit balling, dan dapat secara langsung ditambahkan ke dalam sistem lumpur tanpa memberikan efek perubahan pada viskositas maupun properti fluida. Poly amine berperan sebagai penghambat hidrasi clay dengan adanya penambahan poly amine tersebut dan akan mengurangi rongga antar clay sehingga molekul air tidak akan berpenetrasi dan mengakibatkan swelling clay. Additive memberikan shale inhibition yang baik dan mengurangi dilution rates. (M-I, 2009) II.6 Jenis Shale Inhibitor Berdasarkan jenis mineral yang terkandung di dalam shale inhibitor, 12



maka shale inhibitor dibagi menjadi dua jenis : inorganic shale inhibitor dan organic shale inhibitor. (Herbowo, 2014) a. Inorganic Shale Inhibitor Contoh jenis shale inhibitor ini adalah garam-garaman berupa Sodium Lorida (Nacl), Kalsium Klorida (CaCl), dan Potasium Klorida (Kcl). Inorganic shale inhibitor ini hanya efektif selama lumpur yang mengandung inhibitor ini bersentuhan dengan clay. Maka ketika inhibitor ini digantikan air tawar, clay akan terhidrasi dan mengembang, dan membuat formasi menjadi tidak stabil. Garam inorganic relatif lebih murah dan banyak tersedia di berbagai tempat. Selain itu, garam inorganic dapat diaplikasikan di beragam kondisi pengeboran, pada kondisi temperatur dan tekanan tinggi serta dalam range pH yang besar (kondisi asam dan basa), garam ini sangat stabil. Namun penggunaan dalam jumlah banyak besar dapat mempengaruhi ekosistem biologi dan kimiawi. Di dalam pemboran eksplorasi konduktifitas m yang tinggi dapat mempengaruhi sensitifitas alat pada induction log. (Herbowo, 2014) b. Organic Shale Inhibitor Untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan karena efek penggunaan sebagai shale inhibitor namun tidak mengurangi dari shale inhibitor itu mengenai, beberapa sumber kation alternatif telah dievaluasi. Inilah yang menjadi awal pengembangan beberapa campuran exotic cationic amine sebagai shale inhibitor. Shale inhibitor ini dikategorikan sebagai shale inhibitor yang lebih permanen dan dikenal sebagai clay stabilizers. Shale inhibitor ini secara kimia bereaksi dengan shale dengan mekanisme pergantian ion secara tunggal atau banyak, dengan masuk ke dalam matrix atau bereaksi di permukaan shale. Dalam proses penguraian, garam amina ini menghasilkan bau ammonia yang tidak sedap dan menyebabkan shale inhibitor ini tidak efektif. Untuk mengurangi permasalahan mengenai racun, bau tidak sedap, stabilitas dan performa dari beberapa garam amina ini, sejumlah besar campuran exotic amines dan quaternary telah dikembangkan dan diaplikasikan di lapangan. Berdasarkan struktur dan unsur kimianya, senyawa ini diklasifikasikan menjadi tiga kategori utama : monomeric, oligomeric, dan polymeric amine shale inhibitors. Shale Inhibitor yang dipakai di



13



lapangan A adalah polymeric amine. (M-I, 2014) (Zhong et al., 2013) II.6.1 Mineral Shale Shale adalah batuan sedimaen yang terjadi dari endapan-endapan lempung (clay). Pengembangan mineral clay sebagai akibat terjadinya invasi fasa cair dari Lumpur ke dalam formasi yang mengandung clay reaktif terhadap air. Shale sering terjadi permasalahan pada proses operasi pemboran. Masalah shale atau ketidakstabilan shale akan menyebabkan kesulitan dalam operasi pemboran dan terkadang sulit diatasi. Clean sand merupakan suatu reservoir yang jarang ditemukan pada suatu reservoir yang mempunyai pasir sangat tebal. Biasanya didalamnya terdapat reservoir shallysand atau shale yang berlapis-lapis diantara batu pasir karena proses pengedapan. Shale merupakan hasil endapan yang biasanya terletak di lingkungan laut. Bila semakin kedalam letaknya, karena adanya tekanan overburden dan temperature yang tinggi, endapan tersebut mengalami konsolidasi menjadi shale. Namun tidak semua mineral clay dapat mengembang (swelling). (Ewy & Morton, 2009)



Gambar II.5



Perbandingan Jenis Clay; a. Kaolonite; b. Illte; c. Montmorillonite (Golub, 2015)



II.6.2 Komposisi Shale Berdasarkan mineral penyusun dan cara bergabungnya , maka mineral clay dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam, yaitu (Herbowo, 2014) a. Kaolonite kaolinite merupakan non-swelling clay yang memiliki lapisan dengan ikatan hidrogen yang kuat serta memiliki jarak antar lapisan yang kecil. Hal ini



14



mencegah masuknya partikel karena air tidak dapat masuk ke dalam celah lapisan clay. Kaolinite tidak memiliki kation antar lapisan (interlayer cation) karena memiliki sedikit atau bahan tidak mempunyai pergantian tetrahedral ataupun octahedral sheets. Kaolinite memiliki CEC yang relatif rendah, yaitu 5-10 meq/100 gram. (Amin, 2013) b. Illite Illite memiliki struktur dasar dari satu unit bidang pelapisan berupa octahedral sheet sebagai pusat serta dua unit silica tetrahedral menuju ke pusat unit dan bergabung dengan octahedral sheet pada suatu bidang pelapisan dimana terjadi pergantian hidroksil dengan oksigen. Secara kesuluruhan sifat-sifat kristalnya mirip dengan struktur kristal mica. konfigurasi 2 : 1 sama seperti montmorilonite. Pergantian Si4+ pada struktur tetrahedron dengan Al3+, dan Al3+ dalam struktur octahedron dengan Fe2+, Fe3+, dan Mg3+ mengakibatkan ketidakseimbangan muatan minus sati per unit Kristal. Illite tidak langsung terhidrasi oleh pada air tawar. Ketidakseimbangan tersebut dinetralisir oleh ionion potassium. Disebut juga non-expanding clay. (Amin, 2013) c. Smectite atau Montmorilonite Montmorilonite dikemukakan oleh Maacgdefrau dan Hormann (1937), Marshal (1935) dan Hendricks (1942) yang menyatakan bahwa struktur kristal montmorilonite terdiri dari dua unit silica tetrahedral sheet dengan pusatnya adalah alumina octahedral sheet, dimana semua ujung dari unit tetrahedral menuju ke pusat unit sehingga masing-masing bertemu dengan satu gugusan hidroksil dari unit octahedral, dengan demikian tetrahedral bergabung dengan octahedral dan membentuk satu lapisan. Pada montmorilonite satu lattice terdiri dari dua silica tetrahedron dan satu alumina octahedron (konfigurasi 2:1) antara dua lattice Kristal ini diikat oleh dua sisi oksigen dan silica tetrahedral. Ikatan ini tidak begitu kuat dan memungkinkan air masuk ke dalamnya, sehingga basal plane bertambah luas (swelling). (Amin, 2013) d. Chlorite Chlorite adalah mineral yang tidak kompak dan memiliki butiranbutiran yang halus, akibatnya bentuk kristalnya sukar diamati. Kebanyakan 15



mineral clay chlorite memiliki struktur kristal trioctahedral, tetapi ada juga yang memiliki struktur dioctahedral. Chlorite termasuk jenis three-layer clay seperti monmorilonite tetapi tetrahedral seet-nya mengandung MG++(Brucite). Partikel-partikel chlorite tidak menyerap air dan bentuk partikel adalah pipih. (Amin, 2013) II.6.3 Jenis-jenis Shale Bermacam-macam tes telah dilakukan untuk memperoleh sifat-sifat dari shale, hingga dapat dikelompokkan menurut persamaan sifat-sifat tertentu. Test yang umum yang dilakukan adalah mengukur kapasitas pertukaran kation (CEC test) untuk mengetahui presentase kereaktifan shale, juga dilakukan analisa shale defraksi sinar x dan inframerah untuk mengetahui komposisi mnieralnya serta test pengembangan (hydration swelling test). (Ewy & Morton, 2009) Di lain pihak dari hasil pengamatan pembesaran lubang, masalah shale dapat dikualifikasikan menjadi sloughing shale dan swelling clay. II.6.3.1 Sloughing Shale Pentingnya



perbedaan



tekanan



dapat



menentukan



kelancaran



pemboran. Terutama tekanan formasi dan tekanan hidrostatis (lumpur). Tekanan formasi didapatkan dari formasi sumur tersebut, sedangkan tekanan hidrostatis berasal dari perhitungan densitas lumpur, maka dari itu jika densitas lumpur besar maka tekanan hidrostatis pun besar. Shale jenis ini tidak banyak bereaksi/ berhidrasi dengan air, tetapi mudah runtuh. Masalah ini akan semakin besar apabila lapisan miring dan ditambah lagi bila menjadi – oleh air atau lumpur. Sloughing shale terjadi karena kurangnya densitas lumpur yang mengontrol formasi sehingga menjadi tidak stabil, yang dapat menyebabkan bor-hole collapse, kemudian drill pipe menjadi stuck. (Amin, 2013)



16



Gambar II.6



Sloughing Shale (Radwan Pet-oil, 2018)



Pengaruh mekanis lainnya adalah erosi aliran pemboran di annulus atau dapat juga pecah (rusaknya) serpih yang diakibatkan oleh gerakan rangkaian pemboran. Caving yang diakibatkan oleh pergerakan horizontal lapisan serpih. Tanda telah terjadinya runtuhan pada saat pemboran adalah cutting yang keluar besar dan pipih, tekanan pompa lumpur naik, torsi naik sehingga ROP menjadi turun. Perbedaan tekanan dapat mengakibatkan runtuhnya dinding lubang bor pada waktu pemboran sedang berlangsung. Cara untuk menanggulangi masalah ini adalah dengan menaikkan tekanan hidrostatis lubang bor, dalam hal ini menaikkan berat lumpur, jenis aliran di annulus harus laminar, serta menggunakan lumpur dengan water loss yang kecil pada saat menembus formasi shale, sudut kemiringan harus dikurangi dan swab serta surge effect harus dikurangi untuk menghidrasi terjadinya rekahan pada bagian lubang terbuka, dan kecepatan fluida di annulus yang tinggi harus dihindari untuk mengurangi erosi lubang dan sloughing shale secara mekanis. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah menjaga agar lubang bor tetap terisi penuh pada waktu cabut dan masuk pahat serta mengurangi kemungkinan swabbing dengan jalan menurunkan viskositas gel strength. (Sanclemente, 1989), (Rizkina RW, 2015) II.6.3.2 Swelling Shale (Mud Making Shale) Densitas dari fluida pemboran mempunyai peran yang penting pada dinding lubang bor. Komposisi unsur kimawi dari fluida pemboran dapat di gunakan untuk mengurangi infiltration rate dan membuat waktu efisien terhadap dinding lubang bor. (Molenaar, Huyghe, & van den Bogert, 1998)



17



Gambar II.7



Swelling Shale (radwan pet-oil, 2018)



Swelling merupakan mengembangnya mineral clay (shale) akibat pengikatan air oleh mineral clay. Swelling terjadi karena adanya fasa cari lumpur pemboran (mud filtrate) serta mineral clay yang dapat mengembang merupakan factor utama yang penyebab terjadinya swelling clay. Masalah ini terjadi disebabkan oleh adanya invasi mud filtrate yang kemudian dihidrasi oleh mineral clay yang terdistribusi di dalam formasi. Jenis shale yang lain adalah shale yang sangat sensitif terhadap air atau lumpur. Peningkatan air tersebut dipengaruhi oleh nilai CEC (Cation Exchange Capacity) yaitu kemampuan partikel mineral clay untuk pertukaran kation. Cara menghadapi shale jenis ini adalah dengan cara melakukan pemboran dengan menggunakan jenis fluida pemboran yang tidak bereaksi dengan shale, yaitu: lime mud, mud, lignosulfonate mud, polymer mud ataupun OBM. (Amin, 2013) Namun demikian, jenis-jenis lumpur itupun tidak seluruhnya mampu mengatasi masalah shale jenis ini. Jadi yang dapat diusahakan adalah agar shale ini tidak terhidrasi atau bereaksi dengan lumpur ataupun filtrat-lossnya, antara lain dipakai lumpur dengan filtrate loss yang sangat rendah. Dalam dunia perminyakan khususnya dalam teknik pemboran, jenis clay yang dapat mengembang atau menghidrat (swelling clay) yang paling umum ditemui adalah montmorillonite. Mineral Monmorillonite merupakan mineral yang paling reaktif apabila bercampur dengan air, karena mineral tersebut mengandung kation Na+ yang akan mengembang apabila tercampur dengan H2O. Shale mengandung mineral



18



montmorillonite inilah yang dikhawatirkan dalam operasi pemboran, karena biasa mengakibatkan sloughing shale dan menyebabkan pipa terjepit. (Chenevert & Pernot, n.d.),(Rubiandini, 2009) Swelling clay memberikan efek tidak hanya pada kualitas reservoir tetapi juga banyak aspek dari operasi produksi pemboran minyak dalam EOR. Swelling clay sudah lama menjadi kasus utama pada formation damage dalam reservoir hidrokarbon. (Cameron, 1996) II.7 Faktor-faktor yang menyebabkan shale menjadi tidak stabil Beberapa faktor gaya berikut ini dapat menyebabkan suatu formasi atau lapisan shale menjadi tidak stabil. Faktor-faktor ini dapat bekerja sendiri-sendiri atau bersama-sama mempengaruhi kestabilan shale, sehingga menimbulkan masalah pemboran. (Herbowo, 2014) 1. Tekanan overburden Tekanan overburden adalah tekanan yang dialami oleh formasi karena beban (berat) batuan diatasnya. Umumnya kestabilan shale dalam lubang bor yang disebabkan oleh perbedaan tekanan beban dapat diatasi dengan menaikkan berat jenis lumpur. (Herbowo, 2014) 2. Tekanan pori Bila tekanan lumpur pemboran lebih kecil dari tekanan fluida yang ada di pori batuam, perbedaan tekanan cenderung menuju ke lubang, menginduksi fragmen-fragmen batuan untuk jatuh ke lubang bor. (Herbowo, 2014) 3. Gaya-gaya tektonik Merupakan hasil dari tekanan yang diberikan pada pelapisan deformasi kerak bumi. Tekanan yang terbentuk, demikian cepat kerja pada lapisan shale dan dapat merubahnya. (Herbowo, 2014) 4. Penyerapan air Hampir



semua



jenis



shale



menyerap



air,



akibatnya



akan



terjadi



pengembangan mineral clay sekaligus menurunkan daya tarik-menarik antar partikel clay. (Herbowo, 2014) 5. Pengaruh mekanis pemboran Menyebabkan formasi shale menjadi tidak stabil, ialah efek yang timbul 19



selama operasi pemboran berlangsung, secara tidak terduga dapat terjadi erosi pada dinding lubang bor, gesekan pada rangkaian bor, serta swabbing effect. (Herbowo, 2014)



20



BAB III



METODOLOGI PENELITIAN



III.1 Prosedur Kerja 1. Mengumpulkan data-data geologi (pengenalan lapangan), formasi atau statigrafi dari sumur offset 2. Mempelajari data dari daily drilling report, dan daily mud report. Data yang dibutuhkan dari DDR adalah durasi pengeboran, dan data DMR adalah data sifat fisik lumpur 3. Merumuskan dan mengevaluasi permasalahan yang terjadi, permasalahan utamanya adalah clay swelling dan sloughing shale 4. Menanggulangi masalah yang terjadi pada sumur offset dengan mengganti fluida pemboran yaitu lumpur High Performance Water Based Mud additif yang berperan dalam lumpur ini adalah polyamine 5. Menghitung volume kebutuhan polyamine pada trayek 17 ½“ 6. Menghitung



kebutuhan



konsentrasi



penggunaan



polyamine



sesuai



standarisasi 7. Menghitung nilai keekonomisan dan cost per foot dengan membandingkan lumpur KCL Polymer PHPA yang digunakan pada sumur A dan lumpur High Performance Water Based Mud yang digunakan pada sumur I, B dan C trayek 17½” III.2 Pengumpulan Data Pengumpulan data didapat berupa daily drilling report dan program drilling procedur serta daily mud report sumur I yang berisi data mud program, durasi pemboran per-trayek, inclination yang digunakan untuk menganalisa dan evaluasi sumur I. Setelah perhitungan volume kebutuhan lumpur didapat maka dapat dihitung pula keekonomisannya. III.3 Diagram Alir (Flow Chart) Gambar III.1 merupakan diagram alir (flow chart) dari penelitian



21



Start



DDR, DMR, Drill Time, DCR



Sifat fisik lumpur dan parameter pemboran



Apakah desain lumpur penyebab Tidak



sloughing dan swelling?



Ya Ya



Fluid loss, MBT dan rheologi lumpur



Pemilihan Jenis Lumpur



Evaluasi Penanggulangan



Ya



Selesai



Gambar III.1 Flow Chart



22



Tidak



BAB IV



PEMBAHASAN



IV.1 Hasil Sumur I merupakan sumur yang telah direncanakan dengan total kedalaman



2048.9



mMD.



Selama



pelaksanaan



pemboran



ini



akan



menggunakan kombinasi lumpur HPWBM (High Performance Water Based Mud). Sistem lumpur HPWBM digunakan sumur I dan juga digunakan pada sumur C. Sistem lumpur Hydroguard (Water based mud) yang digunakan pada sumur B. Sistem lumpur KCL Polymer PHPA digunakan pada sumur A. Lumpur HPWBM (High Performance Water Base Mud) digunakan karena lumpur tersebut memiliki keunggulan untuk penyeimbang shale dan untuk mencegah terjadinya kerusakan formasi produktif oleh lumpur itu sendiri. Sistem lumpur HPWBM (High Performance Water Based Mud) merupakan lumpur berbahan dasar air yang memiliki kemampuan untuk menanggulangi atau mencegah masalah tertentu. Penggunaan sistem lumpur ini disesuaikan dengan permasalahan yang mungkin biasa terjadi di dalam operasi pemboran. Berikut merupakan sistem lumpur HPWBM. IV.1.1 Evaluasi Program Lumpur Pemboran Evaluasi



program



lumpur



pada



sumur



I



dilakukan



dengan



menggunakan metode korelasi lumpur yaitu dengan menganalisa sistem lumpur offset well, data-data formasi yang ditembus, sifat lumpur dan komponen-komponen penyusun lumpur pemboran. Tabel IV. 1 Korelasi Sistem Lumpur sumur A, Sumur B, Sumur C dan Sumur I Trayek, Casing



Sumur A



Sumur



Sumur C



Sumur I



(Evaluasi)



B



(Evaluasi)



(Evaluasi)



HPWBM C



HPWBM I



(Evalua si) Hydrog



Trayek 17 ½”KCL Polymer PHPA WBM A



uard HPWB



23



MB



Tabel IV.2 merupakan tabel kebutuhan volume pada trayek 17 ½” Tabel IV. 2 Total Kebutuhan Trayek 17 ½“ Trayek 17 ½” sumur I 17 ½” sumur A 17 ½” sumur B 17 ½” sumur C



Total Volume, bbl 2472 2976 2219,6 2467,7



IV.1.2 Sistem Lumpur Pada Trayek 17 ½” Pada trayek 17 ½” sumur C menggunakan casing yang berukuran 13 ⅜”, interval kedalaman pada pemboran ini berkisar 349 – 1558 mMD. sistem lumpur yang digunakan pada trayek ini yaitu lumpur KCl Polyamine. Formasi yang ditembus pada trayek ini adalah formasi Parigi. Permasalahan yang sering terjadi pada trayek ini adalah stuck pipe yang diakibatkan terjadinya swelling atau sloughing shale dan mengakibatkan perlambatan proses pemboran. Tabel IV.3 merupakan mud properties yang digunakan dan tabel IV.4 komposisi lumpur yang digunakan pada sumur C pada trayek 17 ½”. Tabel IV. 3 Mud Properties Trayek 17 ½“ Sumur C Mud Properties Mud Sistem SG Viscosity (sec/qt) API Yield Point (lb/100ft2) Plastic Viscosity (cP) Gel Strength(10 sec/10 min) LGS (%) Fluid Loss (cc/30 min)



Tabel IV.3



PROGRAM Trayek 17 ½” KCL Polymer



ACTUAL Trayek 17 ½” KCL Polyamine



1,20 – 1,40 44 – 49 28 – 40 < 25 10 – 14 / 12 – 30