Skripsi Kopet Edit Daftar Isi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT MACET DI BPR GUNUNG RIZKI SEMARANG



Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Hukum Program Kekhususan Hukum Perdata



Diajukan Oleh : DWI ANDRA FARENZA 30301408493



Dosen Pembimbing : Dr.Lathifah Hanim,S.H.,M.Hum.,M.Kn. NIDN : 06-2102-7401



FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG 2019



i



PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT MACET DI BPR GUNUNG RIZKI SEMARANG



Diajukan Oleh : DWI ANDRA FARENZA 30301408493



Telah disetujui oleh: Dosen Pembimbing



Dr.Lathifah Hanim,S.H.,M.Hum.,M.Kn. NIDN : 06-2102-7401



Tanggal,...................................................



ii



SURAT PERNYATAAN KEASLIAN



Yang bertanda tangan di bawah ini:



Nama



: Dwi Andra Farenza



NIM



: 30301408493



Dengan ini saya nyatakan bahwa Karya Tulis Ilmiah yang berjudul:



PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT MACET DI BPR GUNUNG RIZKI SEMARANG



Adalah benar hasil karya saya dan penuh kesadaran bahwa saya tidak melakukan tindakan plagiasi atau mengambil alih seluruh atau sebagian besar karya tulis orang lain tanpa menyebutkan sumbernya. Jika saya terbukti melakukan tindakan plagiasi, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.



Semarang, 05 September 2019



Dwi Andra Farenza



iii



PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT MACET DI BPR GUNUNG RIZKI SEMARANG



Dipersiapkan dan disusun oleh: Dwi Andra Farenza 30301408493



Telah dipertahankan dihadapan Tim Penguji Pada tanggal, ........................ Dan dinyatakan telah memenuhi syarat dan lulus Tim Penguji Ketua,



(....................................) NIDN: ....................... Anggota,



Anggota,



(....................................)



(....................................)



NIDN: .......................



NIDN:..........................



Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum



Prof.Dr.H.Gunarto,SH,SE,Akt,M.HUM NIDN: 06.0503.6205



4



PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT MACET DI BPR GUNUNG RIZKI SEMARANG (STUDI KASUS DI BPR GUNUNG RIZKI SEMARANG)



Dipersiapkan dan disusun oleh DWI ANDRA FARENZA 30301408493



Telah Dipertahankan Di Hadapan Tim Penguji Pada tanggal.................... Dan Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Dan Lulus Tim Penguji Ketua,



(..........................)



Anggota



Anggota



(.....................)



(...........................)



v



MOTTO DAN PERSEMBAHAN



MOTTO:  Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhan-mu lah engkau berharap. (Q.S AlInsyirah: 6-8)  Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggung jawabannya. (Q.S Al-Isra’: 34)



PERSEMBAHAN Alhamdulillah atas berkah, rahmat, hidayah, dan karunia-Nya Saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Karya ini Saya persembahkan kepada:  Tercinta, tersayang, dan terkasih Papa dan Mama  Almamater tercinta UNISSULA  Teman seperjuangan Fakultas Hukum UNISSULA angkatan 2014



vi



KATA PENGANTAR



Assalamu‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan berkah, rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PERLINDUNGAN



KONSUMEN



TERHADAP



PERJANJIAN



KREDIT



MACET DI BPR GUNUNG RIZKI SEMARANG (STUDI KASUS DI BPR GUNUNG) dengan tepat waktu sebagai sayarat untuk menyelesaikan studi Program Sarjana (S1) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang. Shalawat serta salam juga penulis sampaikan kepada junjungan kita semua Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarganya yang senantiasa kita nantikan syafaatnya di yaumul akhir nanti. Penulis tentu saja mengalami berbagai rintangan dan hambatan selama proses penulisan skripsi ini, namun dengan dukungan, motivasi, bantuan, serta doa-doa terbaik dari berbagai pihak penulis dapat melakukan usaha yang terbaik guna menyelesaikan penulisan skripsi ini. Oleh karena itulah penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada yang terhormat: 1. Bapak Ir. H. Prabowo Setiyawan, MT,Ph.D, selaku rektor Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang. 2. Bapak Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E., Akt., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.



vii



3. Dr.Lathifah Hanim,S.H.,M.Hum.,M.Kn., selaku Dosen Pembimbing yang senantiasa meluangkan waktunya dan selalu penuh dengan motivasi, kesabaran, nasehat, kebijaksanaan, serta memberikan doa-doa terbaiknya untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu. 4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNISSULA Semarang yang senantiasa memberikan ilmu baik berupa materi ataupun praktek kepada penulis sejak di masa awal perkuliahan hingga masa penulisan skripsi ini berakhir, serta telah menjadi tempat berdiskusi yang sangat membantu dalam proses penulis menyelesaikan skripsi ini. Semoga ilmu yang telah diberikan dapat bermanfaat selalu bagi semua orang. 5. Bapak Siswanto Akwan selaku Direktur Utama yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan riset di BPR tersebut. 6. Duhita kurnia, selaku Staff BPR GUNUNG RIZKI SEMARANG yang telah membantu penulis untuk dapat melakukan penelitian. 7. Keluarga tercinta Ayahanda Raban dan Ibunda Heryuni Endang Sumiati, adek saya Alfian Triaji Wibowo serta kakak tersayang Hendri Prasodjo atas doa, perhatian, kasih sayang, dukungan, nasehat, dan kesabaran yang tiada henti hingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. 8. Seluruh teman seperjuangan Fakultas Hukum UNISSULA khususnya keluarga besa Angkatan 2014 yang telah memberikan motivasi, semangat, pembelajaran hidup serta telah menjadi tempat berbagi dan menghabiskan hari selama masa perkuliahan penulis dari awal hingga akhir masa penulisan skripsi.



viii



9. Sahabat-sahabatku Arinda Ghina, Faisal Rasyid, yang senantiasa menjadi tempat terbaik untuk berbagi semangat, suka, maupun duka. Terimakasih untuk waktu dan kebersamaan selama ini dan InsyaAllah seterusnya. 10. Terimakasih kepada Arinda Ghina yang selalu menemani dan memberi semangat penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 11. Staff Tata Usaha dan Puskom Fakultas Hukum UNISSULA Semarang yang telah banyak membantu penulis selama poses perkuliahan berlangsung dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini. Akhir kata Penulis mengucapkan maaf dan terimakasih apabila terdapat kesalahan di dalam penulisan skripsi ini kepada seluruh pihak yang membaca, penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan hasil penulisan skripsi yang terbaik. Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Sekian dan terimakasih. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh



Semarang,



Penulis



ix



2019



ABSTRAKSI



Penelitian“PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT MACET DI BPR GUNUNG RIZKI SEMARANG (STUDI KASUS DI BPR GUNUNG)” bertujuan untuk: 1) mengetahui bagaimana perlindungan konsumen terhadap kegiatan perjanjian kredit macet di BPR Gunung Rizki Semarang. 2) untuk mengetahui hambatan-hambatan dan terhadap kegiatan perjanjian kredit macet di BPR Gunung Rizki Semarang. solusi dalam pelaksanaan perlindungan konsumen Metode penelitian dalam skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis dengan spesifikasi metode pengumpulan data untuk memperoleh data yang akan dijadikan bahan skripsi melalui wawancara dengan manager dan staff BPR Gunung Rizki Semarang, ataupun dengan obsrvasi yang berupa pengamatan terlibat secara sistematis dalam memperoleh data. Setelahnya akan dilakukan analisis data yang diperoleh dari berbagai sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) proses simpan pinjam telah di setujui oleh kedua pihak, apabila ada yang melanggar akan di kenakan sanksi yang sudah kita sepakati sebelumnya . 2) Hambatan eksternal : Untuk hambatan itu sendiri terkadang konsumen lebih pintar mencari celah untuk melanggar legalitasnya. Pihak bank sudah sudah dijelaskan mengenai peraturan yang sudah ditetatapkan, apabila menemukan kecurangan akan dikenakan hukuman yang sudah ditetapkan. Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Perjanjian Kredit Macet



x



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL.............................................. Error! Bookmark not defined. HALAMAN PERSETUJUAN ............................... Error! Bookmark not defined. SURAT PERNYATAAN KEASLIAN.................................................................. iii HALAMAN PENGESAHAN ................................ Error! Bookmark not defined. MOTTO DAN PERSEMBAHAN ......................... Error! Bookmark not defined. KATA PENGANTAR ........................................... Error! Bookmark not defined. ABSTRAKSI ...........................................................................................................x BAB 1 ..................................................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 7 C. Tujuan Penilitian .......................................................................................... 8 D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 8 E. Metode Penelitian......................................................................................... 9 F.



Sistematika Penulisan ................................................................................ 13



BAB II ................................................................................................................... 15 A. Tinjauan Tentang BPR ............................................................................... 15 1.



Pengertian BPR ...................................................................................... 15



B. Tinjauan Tentang Perjanjian ...................................................................... 17 1.



Pengertian Perjanjian .............................................................................. 17



2.



Unsur – Unsur Perjanjian ....................................................................... 18



3.



Subjek dan Objek Perjanjian .................................................................. 21



4.



Asas-Asas Perjanjian .............................................................................. 22



5.



Jenis-Jenis Perjanjian ............................................................................. 25



6.



Syarat Sahnya Perjanjian ........................................................................ 28



7.



Perjanjian Menurut Hukum Islam .......................................................... 29



8.



Perjanjian Menurut Hukum Islam .......................................................... 30



9.



Hapusnya Perjanjian ............................................................................... 34



C. Tinjauan tentang perjanjian kredit ............................................................. 36



xi



1.



Dasar hukum perjanjian kredit ............................................................... 37



2.



Pengertian perjanjian kredit .................................................................... 38



3.



Asas - asas perjanjian kredit ................................................................... 38



4.



Jenis perjanjian kredit ............................................................................. 41



5.



Subyek perjanjian kredit ......................................................................... 42



D. Tinjuan tentang perlindungan konsumen ................................................... 46 1.



Dasar hukum perlindungan konsumen ................................................... 46



2.



Pengertian perlindungan konsumen ....................................................... 47



3.



Asas – asas perlindungan konsumen ...................................................... 47



4.



Tujuan perlindungan konsumen ............................................................. 49



5.



Hak dan kewajiban konsumen ................................................................ 50



E. Tinjauan tentang kredit macet .................................................................... 54 1.



Pengertian kredit macet .......................................................................... 54



2.



Unsur – unsur kredit ............................................................................... 55



BAB III ................................................................................................................. 61 A. Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Kredit Macet di BPR Gunung Rizki Semarang ................................................................................... 61 B. Hambatan-Hambatan dan Solusi Dalam Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Kredit Macet di BPR Gunung Rizki .............. 67 BAB IV ................................................................................................................. 86 A. Kesimpulan ................................................................................................ 86 B. Saran ........................................................................................................... 87



xii



BAB 1 PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini pemerintah sedang giat-giatnya melakukan pembangunan di berbagai bidang sosial, ekonomi. Dengan adanya pembangunan tersebut di harapkan kehidupan masyarakat akan lebih meningkat sehingga terwujud cita-cita bangsa yaitu masyarakat adil dan makmur di berbagai bidang sesuai dengan asas pancasila. Pembangunan tersebut terutama di bidang ekonomi tidak hanya di harapkan dilakukan oleh pemerintah tetapi juga oleh pihak swasta. Salah satu peranan yang mempunyai peran strategis dalam pelaksanaan pembangunan tersebut adalah perbankan karena pembangunan dimanapun dan apapun bentuknya memerlukan modal yang banyak, untuk mendapatkan modal yang cukup sektor perbankan dapat menyediakannya. Bank selain sebagai salah satu penghimpun dana dalam masyarakat juga berfungsi sebagai penyalur dana kepada pihak-pihak yang membutuhkannya, penyalur dana tersebut bisa melalui bentuk pemberian kredit oleh perbankan.1 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019 berimplikasi pada penguatan sektor perekonomian. Pemerintah melaksanakan penguatan sektor ekonomi nasional terkhusus pada bidang perbankan untuk mencapai tujuan pengembangan dan pertumbuhan kehidupan dengan mengedepankan perlindungan sosial. Pelaksanaan tersebut ialah dengan mengupayakan



1



peningkatan kesempatan kerja serta pemberdayaan ekonomi dan kredit usaha. Perkreditan adalah suatu penyediaan uang atau yang dipersamakan dengannya, yang didasari atas perjanjian pinjam-meminjam antara pihak kreditur (bank, perusahaan atau perorangan) dengan pihak debitur (peminjam).2 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Dengan lokasi yang pada umumnya dekat dengan tempat masyarakat yang membutuhkan. Status BPR diberikan kepada Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan berdasarkan UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 dengan memenuhi persyaratan tatacara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 1



Deskripsi mengenai hal itu dapat dilihat dari berbagai literatur, misalnya H. Salim S.H, M.S, Perkembangan Hukum



Jaminan di Indonesia, Maria Darus Badruzaman, 1991. Perjanjian Kredit Bank. Ctk. Kelima. PT Citra Aditya Bhakti, Bandung. Djohari Santoso dan Ahmad Ali, 1983. Hukum Perjanjian Indonesia Ctk Pertama. 2 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 111.



Ketentuan tersebut diberlakukan karena mengingat bahwa lembagalembaga tersebut telah berkembang dari lingkungan masyarakat Indonesia,



2



serta masih diperlukan oleh masyarakat, maka keberadaan lembaga dimaksud diakui. Oleh karena itu, UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 memberikan kejelasan status lembaga-lembaga dimaksud. Untuk menjamin kesatuan dan keseragaman dalam pembinaan dan pengawasan, maka persyaratan dan tatacara pemberian status lembagalembaga dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.3 Menurut Pasal 13 UU Perbankan No. 10 tahun 1998, Bank Perkreditan Rakyat mempunyai suatu kegiatan usaha yaitu sebagai berikut. a. Bertugas untuk menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. b. Bertugas memberikan kredit. c. Bertugas untuk menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. d. Bertugas untuk menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain.



Fungsi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) a. Berfungsi untuk memberikan suatu pelayanan kepada masyarakat untuk menerima tabungan mereka dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; b. Berfungsi untuk memberikan kredit;



3



c. Berfungsi untuk menyediakan pembiayaan bagi nasabah yang berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah; serta d. Berfungsi untuk menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan atau pada bank lain.4 Perjanjian berarti menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau lebih yang membuatnya sehingga perjanjian adalah sumber perikatan di samping sumber-sumber yang lain. Suatu perjanjian dinamakan juga persetujuan, karena dua orang atau lebih itu sepakat untuk melakukan sesuatu. Suatu perikatan adalah suatu hubungan antara dua orang ataulebih dimana pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan,demikian juga sebaliknya.5



3 4



Diakses melalui https://id.wikipedia.org/wiki/Bank_Perkreditan_Rakyat pada tanggal 6 Oktober 2018 pukul 20.35 Diakses



melalui



https://www.gurupendidikan.co.id/bank-perkreditan-rakyat-bpr-pengertian-tugas-dan-fungsi-beserta-



contohnya-secara-lengkap/ pada tanggal 6 Oktober 2018 pukul 20.36 5 Subekti, 1997. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti. hal 1.



Perjanjian Kredit adalah perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antar keduanya.6 Perjanjian kredit bank adalah perjanjian pendahuluan (vooroverensoms) dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima perjanjian mengenai hubungan hubungan hukum keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil (facto de



4



contrahendo) yang dikuasai oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan. Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu: 1.Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian. 2.Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Syarat Sahnya Perjanjian Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: 5



1.Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.



2.Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.



3.Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu. 4.Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian



haruslah



berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban.7 Pencantuman klausul-klausul yang telah dibuat sepihak oleh pihak bank



6



Mariam Darus Badrulzaman, 2003, Perjanjian Kredit Bank, Bandung: Alumni, Hal. 28



dalam bentuk perjanjian standart akan memberikan bank kewenangan yang tidak seimbang jika dibandingkan dengan debitur. Hal ini dapat terjadi karena pihak bank merupakan pihak yang lebih unggul secara ekonomis dari pada nasabah yang membutuhkan dana, sehingga menimbulkan keadaan ketentuan yang diatur oleh bank dalam perjanjian kredit, mau tidak mau harus diterima pihak debitur agar dapat memperoleh kredit dari bank yang bersangkutan. Ini memposisikan debitur berada di pihak yang lemah.8



6



Lemahnya posisi debitur tersebut disebabkan antara lain perangkat hukum yang ada belum bisa memberikan rasa aman, peraturan perundang-undangan yang ada kurang memadai untuk secara langsung melindungi kepentingan dan hak-hak konsumen. Secara eksplisit sulit ditemukan ketentuan mengenai perlindungan nasabah debitur dalam Undang-Undang perbankan Nomor 10 Tahun 1998, sebagaian besar Pasal-Pasal hanya berkonsentrasi pada aspek kepentingan perlindungan bank sehingga kedudukan nasabah sangatlah lemah, perjanjian kredit yang biasanya menggunakan standar kontrak, senantiasa membebani debitur dengan berbagai macam kewajiban dan tanggung jawab atas resiko yang ditimbulkan selama perjanjian berlangsung ditujukan kepada debitur. Perlindungan konsumen dalam sektor jasa keuangan diatur dalam peraturan otoritas jasa keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Oleh sebab itu,berdasarkan uraian diatas, maka penulis terdorong untuk mengadakan penelitian serta menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul ” Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Kredit Macet Di BPR Gunung Rizki Semarang”



B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:



7



1. Bagaimanakah perlindungan konsumen terhadap perjanjian kredit macet di BPR Gunung Rizki Semarang? 2. Apa



hambatan-hambatan



dan



solusi



dalam



pelaksanaan



perlindungan konsumen terhadap perjanjian kredit di BPR Gunung Rizki Semarang? C. Tujuan Penilitian Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan konsumen terhadap kegiatan perjanjian kredit macet di BPR Gunung Rizki Semarang 2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dan solusi dalam pelaksanaan perlindungan konsumen terhadap kegiatan perjanjian kredit macet di BPR Gunung Rizki Semarang



7



Diakses melalui https://legalbanking.wordpress.com/materi-hukum/dasar-dasar-hukum-perjanjian/ pada tanggal 7



Oktober 2018 pukul 20.37



D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Manfaat dari penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran dan informasi terhadap suatu masalah hukum khususnya dalam perlindungan konsumen terhadap kegiatan perjanjian kredit di BPR 8



2. Manfaat Praktis a. Bagi Penulis Menambah wawasanpenulis mengenai wacana nilai hukum , untuk selanjutnya dijadikan sebagai acuan dalam bersikap dan berperilaku. b. Bagi Ilmu Pengetahuan Sebagai bahan referensi dalam ilmu pendidikan sehingga dapat memperkaya dan menambah wawasan. c. Bagi peneliti berikutnya Dapat



dijadikan



sebagai



bahan



pertimbangan



atau



dikembangkan lebih lanjut, serta referensi terhadap penelitian yang sejenis. E. Metode Penelitian



Penelitian merupakan suatu kegiatan yang ditujukan untuk mengetahui seluk-beluk sesuatu. Kegiatan ini biasanya muncul dan dilakukan karena ada suatu masalah yang memerlukan jawaban atau ingin membuktikan sesuatu yang telah lama dialaminya selama hidup, atau untuk mengetahui berbagai latar belakang terjadinya sesuatu.Banyak alasan munculnya penelitian8



1. Pendekatan Penelitian Penelitian Hukum Empiris yaitu metode penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data primer dan menentukan kebenaran dengan menggunakan metode berpikir induktif dan kebenaran koresponden



9



serta fakta yang digunakan untuk melakukan proses induksi dan pengujian kebenaran secara koresponden adalah fakta yang mutakhir 2. Spesifikasi Penelitian Penelitian deskriptif yaitu memberikan data seteliti mungkin tentang keadaan objek penelitian dengan akan mempertegas hipotesa 3. Jenis dan Sumber Data a. Data primer Merupakan sumber utama yang dijadikan pembahasan dalam penelitian ini, yaitu keterangan yang diperoleh dari sumbernya dan



dicatat



melalui



hasil



wawancara



dan



observasi



(pengamatan) yang mana penulis melakukan interview dan wawancara dengan pegawai BPR dan Debitor di Semarang b. Data sekunder Yaitu data yang diperoleh dengan cara mempelajari dan menganalisa bahan hukum serta wawancara yang dilakukan kepada pihak yang bersangkutan. Data sekunder juga disebut studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mencari literatur dan dokumen yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti di perpustakaan



10



Dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bahan hukum yaitu: a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata



1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari: b. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 c. Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 d. Peraturan



Otoritas



1/POJK.07/2013



Jasa



Tentang



Keuangan



Perlindungan



Nomor Konsumen



Sektor Jasa Keuangan 2. Bahan hukum sekunder Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan bagi bahan hukum primer, terdiri dari buku-buku hasil penelitian, majalah-majalah, dokumen-dokumen, artikel ilmiah, hasil penelitian hukum dari pendapat pakar, dan e.



8



Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm 39



hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan 3. Bahan hukum tersier Yaitu bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder misalnya biografi,



11



kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Belanda yang berkaitan dengan topik penelitian 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan cara: a. Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya langsung kepada yang bersangkutan dan dianggap yang menguasai suatu permasalahan. b. Studi dan dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara mencari dan membaca literature dan dokumen yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti dari perpustakaan9 5. Metode Penyajian Data



Semua hasil penelitian yang telah terkumpul akan disusun secara sistematis, yang selanjutnya akan diolah untuk disusun dalam bentuk uraian.



Adapun penyusunan uraian tersebut ditempuh melalui dua tahap, yaitu:



a. Editing Dalam tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah memeriksa secara rinci dan teliti data yang telah terkumpul untuk dapat dipertanggung



jawabkan



kenyataan yang ada.



12



kebenarannya



sesuai



dengan



b. Menganalisa data Dalam tahap ini, peneliti melakukan kegiatan pengkajian terhadap



pengolahan



data



berupa



perumusan



maupun



kesimpulan 6. Teknik Analisis Data Setelah semua data terkumpul, maka dilakukan analisa data dengan menggunakan metode kualitatif yaitu menguji data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis untuk mencapai suatu kejelasan masalah yang akan dibahas tanpa menggunakan rumus matematis maupun statistik.10 F.Sistematika Penulisan



Penulisan skripsi dibagi menjadi empat bab yaitu:



9



M.Ali, Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi,Sinar Pagi, Jakarta, 1985, hal 91



BAB I:Pendahuluan



Dalam bab pendahuluan ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.



BAB II:Tinjauan Pustaka



13



Dalam bab tinjauan pustaka ini berisi tentang pengertian tentang pengertian BPR, perjanjian, syarat sahnya perjanjian, perlindungan konsumen dalam sektor jasa keuangan di BPR.



10



Waluyo.B, Praktek Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm 7



14



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Tinjauan Tentang BPR 1. Pengertian BPR Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Dengan lokasi yang pada umumnya dekat dengan tempat masyarakat yang membutuhkan. Status BPR diberikan kepada Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan berdasarkan UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 dengan memenuhi persyaratan tatacara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.



Ketentuan tersebut diberlakukan karena mengingat bahwa lembagalembaga tersebut telah berkembang dari lingkungan masyarakat Indonesia, serta masih diperlukan oleh masyarakat, maka keberadaan lembaga dimaksud



15



diakui. Oleh karena itu, UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 memberikan kejelasan status lembaga-lembaga dimaksud.



Untuk menjamin kesatuan dan keseragaman dalam pembinaan dan pengawasan, maka persyaratan dan tatacara pemberian status lembagalembaga dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.11



Menurut Pasal 13 UU Perbankan No. 10 tahun 1998, Bank Perkreditan Rakyat mempunyai suatu kegiatan usaha yaitu sebagai berikut. a. Bertugas untuk menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. b. Bertugas memberikan kredit. c. Bertugas untuk menyediakan pembiayaan



dan penempatan dana



berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. d. Bertugas untuk menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain.



Fungsi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) a. Berfungsi untuk memberikan suatu pelayanan kepada masyarakat untuk menerima tabungan mereka dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;



16



11



Diakses melalui https://id.wikipedia.org/wiki/Bank_Perkreditan_Rakyat pada tanggal 6 Oktober 2018 pukul 20.35



b. Berfungsi untuk memberikan kredit; c. Berfungsi untuk menyediakan pembiayaan bagi nasabah yang berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah; serta d. Berfungsi untuk menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan atau pada bank lain.12



B. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Menurut Pasal 1313 KUHPerdata mengatur bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.



Pengertian ini sebenarnya tidak begitu lengkap, tetapi dengan pengertian ini, sudah jelas bahwa dalam perjanjian itu terdapat satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain. Pengertian ini sebenarnya seharusnya menerangkan juga tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri tentang sesuatu hal.13Menurut Subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana orang



17



berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.14 2. Unsur – Unsur Perjanjian Dari beberapa pengertian maka dapat disimpulkan adanya unsur perjanjian sebagai berikut: 1. Kata sepakat dari dua pihak atau lebih Unsur atau ciri pertama dari perjanjian adalah adanya kata sepakat, yaitu pernyataan kehendak beberapa orang. Artinya, perjanjian hanya dapat timbul dengan kerja sama dari dua orang atau lebih atau perjanjian “dibangun” oleh perbuatan dari beberapa orang. Karenanya, perjanjian digolongkan sebagai perbuatan hukum berganda. 2. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak Kata sepakat tercapai jika pihak yang satu menyetujui apa yang ditawarkan oleh pihak lainnya. Dengan kata lain, para pihak saling menyetujui. Namun, kehendak para pihak saja tidaklah cukup. 12



Diakses



melalui



https://www.gurupendidikan.co.id/bank-perkreditan-rakyat-bpr-pengertian-tugas-dan-fungsi-beserta-



contohnya-secara-lengkap/ pada tanggal 6 Oktober 2018 pukul 20.36 13 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op.Cit, hlm 63 14 Subekti, Op.Cit, hlm 1



18



3. Kata sepakat dari dua pihak atau lebih Unsur atau ciri pertama dari perjanjian adalah adanya kata sepakat, yaitu pernyataan kehendak beberapa orang. Artinya, perjanjian hanya dapat timbul dengan kerja sama dari dua orang atau lebih atau perjanjian “dibangun” oleh perbuatan dari beberapa orang. Karenanya, perjanjian digolongkan sebagai perbuatan hukum berganda. 4. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak



Kata sepakat tercapai jika pihak yang satu menyetujui apa yang ditawarkan oleh pihak lainnya. Dengan kata lain, para pihak saling menyetujui. Namun, kehendak para pihak saja tidaklah cukup. Kehendak tersebut harus pula dinyatakan. Kehendak saja dari para pihak tidak akan menimbulkan akibat hukum. perjanjian terbentuk setelah para pihak saling menyatakan kehendaknya dan adanya kesepakatan di antara mereka.



5. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum Tidak semua janji di dalam kehidupan sehari-hari membawa akibat hukum. Memang janji yang dibuat seseorang dapat memunculkan kewajiban sosial atau kesusilaan. Akan tetapi, hal itu muncul bukan sebagai akibat hukum. apakah maksud para pihak menentukan muncul tidaknya akibat hukum dari suatu janji, ada kemungkinan para pihak tidak sadar bahwa janji yang dibuatnya tidak berakibat hukum. kesemua itu bergantung pada keadaan dan kebiasaan di dalam



19



masyarakat.



Faktor



itulah



yang



harus



diperhitungkan



untuk



mempertimbangkan apakah suatu pernyataan kehendak yang muncul sebagai janji akan memunculkan akibat hukumatau sekedar kewajiban sosial dalam kemasyarakatan. 6. Keinginan atau kemauan para pihak saja tidaklah cukup untuk memunculkan akibat hukum Untuk terbentuknya perjanjian diperlukan pula unsur bahwa akibat hukum tersebut adalah untuk kepentingan pihak yang satu atas beban pihak yang lain atau bersifat timbal balik. Perlu diperhatikan, akibat hukum perjanjian hanya mengikat para pihak dan tidak dapat mengikat pihak ketiga, lagi pula tidak dapat membawa kerugian. Ini merupakan asas umum dari hukum kontrak dan juga termuat di dalam ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata jo. Pasal 1340 KUHPerdata yang menetapkan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.



7. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan Bentuk perjanjian pada umumnya bebas ditentukan para pihak. Namum, undang-undang menetapkan bahwa beberapa perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk tertentu. Penetapan demikian oleh undang-undang mengenai bentuk yang diwajibkan mengakibatkan bahwa akta menjadi syarat mutlak bagi terjadinya perbuatan hukum tersebut.15



20



3. Subjek dan Objek Perjanjian Pengertian Subjek Hukum Pengertian subjek hukum (rechts subjek) menurut Algra dalah setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid), sedangkan pengertian wewenang hukum itu sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subjek dari hak-hak. Dalam menjalankan perbuatan hukum, subyek hukum memiliki wewenang. Wewenang subjek hukum ini di bagi menjadi dua. Pertama, wewenang untuk mempunyai hak (rechtsbevoegdheid) dan Kedua, wewenang untuk melakukan (menjalankan) perbuatan hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.Yang dapat menjadi subjek suatu perjanjian meliputi: a. Manusia Biasa Syarat manusia menjadi subjek hukum adalah: Cakap Hukum : Seseorang yang sudah dewasa (berumur 21 tahun), seseorang yang berusia dibawah 21 tahun tetapi pernah menikah, seseorang yang sedang tidak menjalani hukum, berjiwa sehat & berakal sehat b. Tidak Cakap Hukum : Seseorang yang belum dewasa, sakit ingatan, kurang cerdas, orang yang ditaruh dibawah pengampuan, seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata) c. Badan hukum : badan hukum publik dan badan hukum privat.



15 http://artonang.blogspot.co.id/2016/08/unsur-unsur-perjanjian.html diakses pada tanggal 28 april 2019 pukul 19.56



21



d. Objek Hukum Objek hukum menurut Pasal 499 KUH Perdata, yakni benda. Benda adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum atau segala sesuatu yang menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi para subyek hukum atau segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik. Berdasarkan Pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi 2, yakni benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen), dan benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriekegoderan): e. Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen) Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen) adalah suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dirasakan dengan panca indera, terdiri dari benda berubah / berwujud. f.



Benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriekegoderen) Benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriegoderen) adalah suatu benda yang dirasakan oleh panca indera saja (tidak dapat dilihat) dan kemudian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan16



4. Asas-Asas Perjanjian Di dalam hukum perjanjian dikenal lima asas penting yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas kepastian hukum (pacta sun servanda), asas iktikad baik, dan asas kepribadian. 1. Asas kebebasan berkontrak



22



Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menegaskan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. ”Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian/ pelaksanaan dan persyaratannya, menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.Asas kebebasan berkontrak merupakan sifat atau ciri khas dari Buku III KUHPerdata, yang hanya mengatur para pihak, sehingga para pihak dapat saja mengenyampingkannya, kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.



2. Asas konsensualisme Asas konsensualisme dapat disimpulkan melalui Pasal 1320 ayat (1) KUHP perdata. Bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak. Dengan adanya kesepakatan oleh para pihak, jelas melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut telah bersifat obligatoir yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut. 3. Asas pacta sunt servanda Asas pacta sunt servanda atau disebut juga sebagai asas kepastian hukum, berkaitan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda



23



merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.Asas pacta sunt servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menegaskan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.” 4. Asas iktikad baik (geode trouw) Ketentuan tentang asas iktikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW yang menegaskan “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.”Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak Kreditur dan Debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.Asas iktikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Iktikad baik nisbi adalah orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Sedangkan iktikad mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.



16



Diakses



melalui http://materiilmupintar.blogspot.co.id/2016/03/makalah-tentang-pengertian-perjanjian.html, pada



tanggal 28 April 2019 pukul 20.04



24



5. Asas kepribadian Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seorang yang akan melakukan kontrak hanya untuk kepentingan perorangan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata.Pasal 1315 menegaskan “pada umumnya seseorang tidak dapat



mengadakan



perjanjian



hanya



untuk



kepentingan



dirinya



sendiri.”Pasal 1340 menegaskan “perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuatnya.”Jika dibandingkan kedua pasal tersebut, maka dalam Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya, atau orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.Di samping kelima asas di atas, di dalam lokakarya Hukum perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembina hukum nasional, Departemen Kehakiman 17 sampai 19 Desember 1985 asas dalam hukum perjanjian terbagi atas; asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindungan.17 5. Jenis-Jenis Perjanjian Didalam hukum terdapat jenis perjanjian hukum antara lain: a.Perjanjian Sepihak dan Perjanjian Timbal Balik Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi pada satu pihak. Misalnya perjanjian hibah, perjanjian penanggungan (borgtocht),



25



dan perjanjian pemberian kuasa tanpa upah. Sedangkan perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebankan prestasi kepada kedua belah pihak. Misal jual beli18 b.Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian Atas Beban Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya. Misalnya hibah, pinjam pakai, pinjam meminjam tanpa bunga, dan penitipan barang tanpa biaya. Sedangkan perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk melakukan prestasi berkaitan langsung dengan prestasi yang harus dilakukan oleh pihak lain. Contoh perjanjian atas beban adalah jual beli, sewa menyewa, dan pinjam meminjam dengan bunga19 c.Perjanjian konsensuil, perjanjian riil, dan perjanjian formil Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang mengikat sejak adanya kesepakatan antara dua belah pihak.Contohnya perjanjian jual beli dan perjanjian sewa menyewa.20Sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang tidak hanya mensyaratkan kesepakatan, namun juga mensyaratkan penyerahan objek perjanjian atau bendanya. Misal perjanjian penitipan barang dan perjanjian pinjam pakai.21



17



Diakses melalui http://www.negarahukum.com/hukum/asas-asas-perjanjian.html pada tanggal 28 April 2019 pada pukul



20.26



26



Perjanjian formil adalah perjanjian yang selain dibutuhkan kata sepakat, juga dibutuhkan formalitas tertentu, sesuai apa yang telah ditentukan oleh undang-undang. Contohnya pembebanan jaminan fidusia22



d.Perjanjian Bernama, Perjanjian Tak Bernama dan Perjanjian Campuran



Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur dalam undang-undang. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang.



Misalnya perjanjian leaseing, franchising dan factoring. Sedangkan perjanjian campuran adalah perjanjian yamng merupakan kombinasi dari dua atau lebih perjanjian bernama.



Misalnya perjanjian pemondokan (kost) yang merupakan campuran dari perjanjian sewa meyewa dan perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan (mencuci baju,menyetrika baju, membersihkan kamar)23



18



Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung, Citra Aditya,



2010, hlm 54-55 19 Ibid, hlm 59 20 Komariah, Hukum Perdata, Malang:Universitas Muhamaddiyah Malang, 2002, hlm 171 21 Herlien Budiono, Op.Cit, hlm 46



27



6. Syarat Sahnya Perjanjian



Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:



1. Kesepakatan 2. Kecakapan 3. Mengenai suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.24 Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat kesepakatan tidak sah, yaitu: 25 1. Paksaan Yang dimaksud dengan paksaan, adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis), jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya, salah satu pihak, karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian.



22 23



Ibid, hlm 47-48 Ibid, hlm 35-36



28



2. Kekhilafan atau Kekeliruan Terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya. 3. Penipuan Terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan persetujuannya. 7.



Perjanjian Menurut Hukum Islam Adapula asas asas perjanjian dalam Hukum Islam dimana asas itu sama dengan asas asas dalam KUHPerdata 1. Al-Hurriyah (Kebebasan) Asas ini merupakan prinsip dasar dalam hukum perjanjian islam, dalam artian para pihak bebas membuat suatu perjanjian atau akad. Bebas dalam menentukan objek perjanjian dan bebas menentukan dengan siapa dia akan membuat perjanjian, serta bebas menentukan bagaimana cara



24 25



Subekti, Op.Cit, hlm. 17. Subekti, Op.Cit.hlm. 23-24



29



8. Perjanjian Menurut Hukum Islam Adapula asas asas perjanjian dalam Hukum Islam dimana asas itu sama dengan asas asas dalam KUHPerdata 2. Al-Hurriyah (Kebebasan) Asas ini merupakan prinsip dasar dalam hukum perjanjian islam, dalam artian para pihak bebas membuat suatu perjanjian atau akad. Bebas dalam menentukan objek perjanjian dan bebas menentukan dengan siapa dia akan membuat perjanjian, serta bebas menentukan bagaimana cara menentukan penyelesaian sengketa jika terjadi di kemudian hari.Asas kebebasan berkontrak di dalam hukum islam dibatasi oleh ketentuan syari’ah islam. Dalam membuat perjanjian ini tidak boleh ada unsur paksaan, kekhilafan, dan penipuan.Dasar hukum mengenai asas ini tertuang dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 256,yang artinya sebagai berikut : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat........”. 3. Al-Musawah (Persamaan atau Kesetaraan) Asas ini mengandung pengertian bahwa para pihak mempunyai kedudukan yang sama, sehingga dalam menentukan suatu akad/perjanjian setiap pihak mempunyai kesetaraan atau kedudukan yang seimbang.Dasar hukum mengenai asas persamaan ini teruang di dalam ketentuan AlQur’an surat Al-Hujarat ayat 13yang artinya sebagai berikut :“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seeorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan



30



bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” 4. Al-Adalah (Keadilan) Pelaksanaan asas ini dalam suatu perjanjan/akad menuntut para pihak untuk melakukan yang benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi semua kewajiban. Perjanjian Harus senantiasa mendatangkan keuntungan yang adil dan seimbang, serta tidak boleh mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak. Dasar hukumnya dapat di baca dalam Al Quran surat Al Maidah [5]:8. yang artinya sebagai berikut“ Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang selalu menegakkan kebenaran karena ALLAH, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuat kamu cenderung untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, kerena adil itu lebih



dekat



dengan



takwa.



Dan



bertakwalah



kepada



ALLAH,



sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. 5. Al-Ridha (Kerelaan) Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang di lakukan harus atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak, harus didasarkan pada kesepakatan bebas dari para pihak dan tidak boleh ada unsur paksaan, tekanan, penipuan dan mis-statemen.Dasar hukum adanya asas kerelaan dalam pembuatan perjanjian dapat di baca dalam Al-Qur’an surat An-Nisa



31



ayat 29, yang artinya sebagai berikut :“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya ALLAH adalah Maha Penyayang kepadamu”. 6. Ash-Shidq (Kebenaran dan Kejujuran) Bahwa di dalam Islam setiap orang dilarang melakukan kebohongan dan penipuan, karena dengan adanya penipuan/kebohongan



sangat



berpengaruh



dengan



keabsahan



perjanjian/akad. Perjanjian yang di dalamnya mengandung unsur kebohongan/penipuan, memberikan hak kepada pihak lain untuk menghentikan proses pelaksanaan perjanjian tersebut.Dasar hukum kita baca dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 70 yang artinya adalah sebagai berikut “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”. 7. Al-kitabah (Tertulis) Bahwa setiap perjanjian hendaknya dibuat secara tertulis, lebih berkaitan demi kepentinganpembuktian jika dikemudian hari terjadi sengketa.



Dalam



Al-Qur’an



surat



Al-Baqaroh



ayat



mengisyaratkan agar akad yang dilakukan benar-benar berada



282-283 dalam



kebaikan bagi semua pihak. Bahkan juga dalam pembuatan perjanjian hendaknya juga disertai dengan adanya saksi-saksi (syahadah).Dasar hukumnya dapat dibaca dalam Al Quran surat Al Baqarah [2]:282 yang



32



artinya sebagai berikut “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang di tentukan, hendaklah kamu menuiskannya”. 8. Al Amanah (Asas Kepercayaan) Setiap akad wajib di laksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang di terapkan oleh yang bersangkutan dan pada sama terhindar dari cedera-janji.Dasar hukumnya dapat di baca dalam surat An Nisa[4]:58 yaitu “sesungguhnya ALLAH menyuruh kamumenyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”Al Baqarah [2]:283 yaitu “Maka hendaklah yang di percayai itu menunaikan amanatnya”.Al Anfal[8]:27 yaitu :“Janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” 9. Iktiyati (kehati-hatian) Setiap akad dilakukajn dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat. 10. Kemampuan Setiap akad dilakukan dengan kemampuan para pihak sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan. 11. Transparasi Setiap akad dilakukan dengan pertanggung jawaban para pihak secara terbuka. 12. Taisir/Kemudahan



33



Setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan. 13. Iktikad baik Akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.



13. Sebab yang Halal Tidak bertentangan dengan hukum, tidak di larang oleh hukum dan tidak haram26 9. Hapusnya Perjanjian



Menurut Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) cara hapusnya perikatan sebagai berikut: I. Pembayaran (Pasal 1382-1403 KUHPerdata) Yaitu pelunasan utang (uang, jasa, barang) atau tindakan pemenuhan prestasi oleh debitur kepada kreditur. Misalnya perjanjian jual beli sepeda. A membeli sepeda milik B, maka saat A 26 diakses melalui http://mitra-usaha-stienu-jepara.blogspot.co.id/2013/01/asas-asas-hukum-perjanjian-islam.html pada



tanggal 28 April 2019 pada pukul 21.04



membayar harga sepeda dan sepeda tersebut diserahkan B kepada A yang berarti lunas semua kewajiban masing-masing pihak (A dan B) maka perjanjian jual beli antara A dan B dianggap berakhir/hapus. II. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan/konsinyasi (Pasal 1404-14012 KUHPerdata)



34



Yaitu suatu cara hapusnya perikatan dimana debitur hendak membayar utangnya namun pembayaran ini ditolak oleh kreditur, maka kreditur bisa menitipkan pembayaran melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Misalnya, A punya utang kepada B. Akhirnya A membayar utang tersebut kepada B tapi B menolak menerimanya. Dalam kondisi demikian, A bisa menitipkan pembayaran utangnya tersebut melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat nanti pengadilan yang akan meneruskannya kepada B. Jika menitipkan melalui pengadilan ini sudah dilakukan, maka utang-piutang antara A dan B dianggap sudah berakhir. III. Novasi/pembaharuan utang (Pasal 1425-1435 KUHPerdata) Adalah perjanjian antara kreditur dengan debitur dimana perikatan yang sudah ada dihapuskan dan kemudian suatu perikatan yang baru. Misalnya, A punya utang Rp. 1.000.000,- kepada B, tapi A tidak sanggup bayar utangnya tersebut. Lalu B mengatakan bahwa B tidak perlu lagi membayar utangnya sebesar Rp. 1.000.000,- tersebut, melainkan cukup bayar Rp. 500.000,saja, dan utang dianggap lunas. Dalam hal ini perjanjian utang piutang antara A dan B yang sebesar Rp. 1.000.000,- dihapuskan dan diganti perjanjian utang piutang yang sebesar Rp. 500.000, – saja. IV. Perjumpaan utang/kompensasi (Pasal 1425-1435 KUHPerdata). Yaitu penghapusan utang masing-masing dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih secara timbal balik antara debitur dan kreditur. Misalnya A punya utang kepada B sebesar Rp. 500.000,- tapi pada saat yang sama B juga ternyata punya utang kepada A sebesar Rp. 500.000,-. Dalam hal demikian maka utang masing-masing sudah dianggap lunas karena “impas”, dan perjanjian utang-piutang dianggap berakhir. V. Konfisio/percampuran utang (Pasal 1436-1437 KUHPerdata). Adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu. Misalnya, A punya utang kepada B. Ternyata karena berjodoh A akhirnya menikah dengan B. Dalam kondisi demikian maka terjadilah percampuran utang karena antara A dan B telah terjadi suatu persatuan harta kawin akibat perkawinan. Padahal dulunya A mempunyai utang kepada B. VI. Pembebasan utang (Pasal 1438-1443 KUHPerdata). 35



Yaitu pernyataan sepihak dari kreditur kepada debitur bahwa debitur dibebaskan dari utang-tangnya. Misal, A punya utang kepada B. Tapi B membebaskan A dari utangnya tersebut. VII. Musnahnya barang terutang (Pasal 1444-1445 KUHPerdata) Yaitu perikatan hapus dengan musnahnya atau hilangnya barang tertentu yang menjadi prestasi yang diwajibkan kepada debitur untuk menyerahkannya kepada kreditur. Musnahnya barang yang terutang ini digantungkan pada dua syarat (Miru dan Pati, 2011: 150): 1. Musnahnya barang tersebut bukan karena kelalaian debitur; 2. Debitur belum lalai menyerahkan kepada kreditor. VIII. Kebatalan dan pembatalan perjanjian (Pasal 1446-1456 KUHPerdata) Yang dimaksud “batal demi hukum” di dalam Pasal 1446 KUHPerdata adalah “dapat dibatalkan”. (Komandoko dan Raharjo, 2009: 11). Misalnya, suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang yang belum dewasa (belum cakap hukum) perjanjian tersebut bisa dimintakan kebatalannya melalui pengadilan. Dan saat dibatalkan oleh pengadilan maka perjanjian tersebut pun berakhir. IX. Berlakunya syarat batal (Pasal 1265 KUHPerdata) Artinya syarat-syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perjanjian dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula yaitu seolah-olah tidak ada suatu perjanjian. Misalnya perjanjian yang dibuat bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata) adalah batal demi hukum



X. Lewatnya waktu/daluwarsa (Pasal 1946-1993 Bab VII Buku IV KUHPerdata) Menurut Pasal 1946 KUHPerdata, daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.27 C. Tinjauan tentang perjanjian kredit



36



1. Dasar hukum perjanjian kredit Menurut Pasal 1 angka 11 UU Perbankan,[2] kredit diartikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Berdasarkan pengertian ini, perjanjian kredit dapat diartikan sebagai perjanjian pinjam-meminjam antara bank sebagai kreditur dengan pihak lain sebagai debitur yang mewajibkan debitur untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.28 Pemberian istilah “perjanjian kredit” memang tidak tegas dinyatakan dalam peraturan



perundang-undangan.



Namun,



berdasarkan



surat



Bank



Indonesia No.03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970 yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa saat itu, pemberian kredit diinstruksikan harus dibuat dengan surat perjanjian kredit sehingga perjanjian pemberian kredit tersebut sampai saat ini disebut Perjanjian Kredit.29



27 diakses melalui https://konsultanhukum.web.id/10-cara-hapusnya-perjanjian-menurut-hukum/ pada tanggal 27 Agustus



pada pukul 19.46



28



UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, LN Tahun 1992 Nomor 31, TLN Nomor 3472, sebagaimana yang telah



diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, LN Tahun 1998, Nomor 182, TLN Nomor 2790.



29



Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, hlm. 99



37



2. Pengertian perjanjian kredit Perjanjian kredit (credit/loan agreement) merupakan salah satu perjanjian yang dilakukan antara bank dengan pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah nasabahnya. Perjanjian kredit sebenarnya dapat dipersamakan dengan perjanjian utangpiutang. Perbedaannya, istilah perjanjian kredit umumnya dipakai oleh bank sebagai kreditur, sedangkan perjanjian utang-piutang umumnya dipakai oleh masyarakat dan tidak terkait dengan bank.30 Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensuil antara Debitur dengan Kreditur (dalam hal ini Bank) yang melahirkan hubungan hutang piutang, dimana Debitur berkewajiban membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh Kreditur, dengan berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disepakati oleh para pihak.31 3. Asas - asas perjanjian kredit 1. Asas Pacta Sunt Servada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata , yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya bahwa mereka belah pihak wajib mentaati dan melaksaakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas pacta sunt servada adalah perjanjian tiak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan



38



sepakat dua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. 2. Asas Konsensualisme Asas konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya suatusyarat-syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan bahwa perjanjian tersebut telah dilahirkan pada saat telah tercapainya suatu kesepakatan antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Dengan begitu, suatu perjanjian telah sah ketika syarat-syarat yang ada dalamPasal 1320 KUHPerdata tersebut telah dipenuhi dan lahir ketika para pihak telah mengucapkan kata sepakat 3. Asas Itikad Baik Dalam KUHPerdata pada Pasal 1338 ayat (3) menyatakan bahwa : perjanjian itu harus dilakukan dengan itikad baik”. Dengan kata lain, setiap orang atau badan hukum (subyek hukum) yang ingin mengadakan perjanjian harus mempunyai itikatbaik. Itikad baik di sini merupakan suatu bentuk perlindungan untuk memberikan perlindungan hokum bagi salah satu pihak yang mempunyai itikad baik dalam perjanjian baik dalam waktu pembuatan perjanjian maupun pada waktu pelaksanaan perjanjian. 30



Frank Taira Supit, “Aspek-Aspek Hukum Dari “Loan Agreement” dalam Dunia Bisnis Internasional”, Simposium



Aspek-Aspek Hukum Masalah Perkreditan (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1985) hlm. 45 31



Diakses



melalui



https://legalbanking.wordpress.com/materi-hukum/perjanjian-kredit-dan-pengakuan-hutang/



tanggal 27 Agustus 2018 pada pukul 20.22



39



pada



4. Asas Kepribadian Asas ini berhubungan dengan subyek yang terikat dalam suatu perjanjian. Asas kepribadian dalam KUHPerdata diatur dalam pasal 1340 ayat (1) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya. Pernyataan ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan mengenai hal ini ada pengecualiannya, sebagaimana yang diatur dalam pasal 1337 KUHPerdata yaitu, dapat pula perjanjia diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu. 5. Asas Kebebasan Berkontrak Hal ini menjelaskan bahwa, setiap subyek hokum mempunyai kebebasan dalam mengadakan suatu bentuk perjanjian apa saja maupun perjanjian yang telah diatur dalam undang-undang. Perbuatan ini mengasumsikan bahwa adanya suatu kebebasan tertentu di dalam masyarakat untuk dapat turut serta di dalam lalu lintas yuridis. Dengan kata lain, kebebasan berkontrak adalah begitu esensial, baikbagi individu untuk mengembangkan diri di dalam kehidupan pribadi dan didalam lalulintas kemasyarakatan serta untuk mengindahkan kepentingankepentingan harta kekayaannya, maupun bagi masyarakatnya sebagai suatu kesatuan, sehingga hal-hal tersebut oleh beberapa peneliti dianggap sebagai suatu hak dasar.32



40



4. Jenis perjanjian kredit Kredit dapat digolongkan dalam berbagai macam kategori. Macam-macam kredit[5] dilihat dari tujuannya, dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Kredit konsumtif, yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan untuk memperoleh/membeli barang-barang dan kebutuhan-kebutuhan lainnya yang bersifat konsumtif. 2. Kredit produktif, yaitu kredit yang diberkan dengan tujuan untuk memperlancar jalannya proses produksi. 3. Kredit perdagangan, yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan untuk membeli barang-barang untuk dijual lagi, yang terdiri atas kredit perdagangan dalam dan luar negeri.33 4. Kalau dilihat dari sudut jangka waktunya, kredit dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu kredit jangka pendek (kurang dari 1 tahun), kredit jangka menengah (maksimal 3 tahun) dan kredit jangka panjang (lebih dari 3 tahun). Sementara, kalau kredit dilihat dari sudut jaminannya,32 dapat berupa kredit tanpa jaminan (di Indonesia dilarang dilakukan oleh bank) dan kredit dengan jaminan, seperti barang bergerak/tidak bergerak, pribadi (borgtocht), dan efek-efek saham. Perjanjian borgtocht adalah perjanjian di mana satu pihak (borg) 32



Diakses melalui https://suduthukum.com/2017/11/asas-asas-perjanjian-kredit.html pada tanggal 27 Agustus 2019 pada



pukul 20.32



33 R. Ali Ridho, et. al, Hukum Dagang (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 273



41



menyanggupi pihak lainnya (kreditur) bahwa ia menjamin pembayaran suatu utang, apabila si terutang (debitur) tidak menepati kewajibannya.



Selain itu, subyek dalam perjanjian kredit tidaklah selalu perseorangan. Berdasarkan status hukum debiturnya,33 kredit bank umum dapat dibedakan menjadi 2 macam golongan, yaitu kredit yang diberikan kepada debitur yang berstatus badan hukum (kredit korporasi) dan kredit yang diberikan kepada debitur perorangan. Dalam hal pertama, debitur kredit ini merupakan badan usaha yang membutuhkan dana untuk modal kerja, pengadaan fasilitas baru, penggantian atau renovasi fasilitas produksi yang ada dan sebagainya. Dalam hal kredit perorangan, kredit yang diberikan umumnya untuk membiayai kebutuhan barang dan jasa konsumtif, antara lain kredit perumahan, atau kartu kredit.



5. Subyek perjanjian kredit Manusia adalah orang (persoon) dalam arti hukum, demikian menurut Paul Scholten.34 32



Ridho, Hukum Dagang, hlm. 274. Lembaga jaminan di Indonesia dapat dibedakan menurut cara terjadinya, yaitu



jaminan yang lahir karena ditunjuk oleh undang-undang (misalnya hak retensi, Pasal 1131 KUH Perdata). Apabila dilihat



sifatnya, maka jaminan dapat dibedakan sebagai jaminan umum atau khusus.



33



34



Siswanto Sutojo, Analisa Kredit Bank Umum. Konsep dan Teknik, hlm. 25.



Chidir Ali, Badan Hukum, cet.2 (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 6.



42



Hukum merupakan hal yang tidak terlepas dari manusia (persoon) karena hukum mengatur bagaimana manusia bertindak di depan hukum. Di dalam ilmu hukum, persoon disebut sebagai pendukung atau subyek hak.35



Namun, istilah persoon memiliki memiliki pengertian yang lebih luas, tidak saja mencakup naturrlijk



persoon (orang



pribadi),



melainkan melainkan



juga rechtpersoon (badan hukum), yaitu orang yang diciptakan hukum secara fiksi.36



Menurut Soemitro, pengertian badan hukum merupakan suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang-orang pribadi.37



Dalam hal ini, Soemitro melihat badan hukum dari segi kewenangannya, yang terbagi atas dua, yaitu: 1) kewenangan atas harta kekayaan dan 2) kewenangan untuk mempunyai hak dan mempunyai kewajiban. Pendekatan lain dikemukakan oleh



Sri Soedewi Masjchoen38 yang menyebutkan bahwa



badan hukum



merupakan kumpulan orang yang bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu badan, yaitu berwujud himpunan dan harta kekayaan yang disendirikan untuk tujuan tertentu. Pandangan ini difokuskan pada pengertian badan hukum dari segi tujuan dan pendiriannya. Berdasarkan kedua pandangan tersebut, badan hukum setidaknya memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1. mempunyai tujuan tertentu 2. mempunyai harta kekayaan 3. mempunyai hak dan kewajiban dan 4. mempunyai organisasi.



43



Oleh sebab itu, hukum tidak hanya memberikan legal personality kepada manusia. Manusia dapat membentuk suatu korporasi yang kemudian diakui sebagai juristic person



39



sehingga dapat bertindak seperti halnya orang-



perseorangan. Oleh karena badan hukum merupakan entitas hukum (legal entity) yang diberikan oleh hukum, maka badan hukum tersebut harus ditetapkan menurut ketentuan yang berlaku.



Masing-masing subyek hukum, baik orang pribadi maupun badan hukum dapat bertindak dalam lalu lintas hukum, yaitu melakukan perbuatan hukum. Suatu perbuatan hukum adalah setiap perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum sebagai akibat yang dikehendaki oleh yang membuatnya,40 misalnya untuk dapat memiliki kekayaan, mempunyai utang, membuat perjanjian dan seterusnya. Terkait dengan subyek hukum dalam perjanjian, Pasal 1320 juncto Pasal 1329 KUH Perdata mensyaratkan bahwa perjanjian itu harus dibuat oleh orang yang cakap dalam melakukan tindakan hukum. Sementara terkait dengan badan hukum, KUH Perdata mengaturnya secara khusus dalam Bab IX Buku III, mulai Pasal 1653 sampai dengan Pasal 1665 KUH Perdata. Pasal 1654 KUH Perdata menyatakan bahwa badan hukum yang diakui sah dapat melakukan perbuatan35



36



37



38



39



Ibid., hlm. 3.



Salim H.S, Hukum Kontrak.., hlm. 73.



Ibid., hlm. 64



Ibid



Denis Keenan dan Sarah Riches, Business Law, 3rd ed., (London: Pitman Publishing, 1993), hlm. 53



44



perbuatan hukum perdata sehingga ketentuan ini dipandang sebagai dasar hukum yang menyatakan bahwa badan hukum sebagai subyek hukum



Perjanjian kredit dapat juga ditinjau dari sudut subyek hukumnya, yaitu dari sisi kreditur maupun debitur. Dari sisi kreditur, perjanjian kredit dapat dilakukan antara dua kreditur dengan satu debitur, yang disebut sebagai kredit sindikasi. Dari sisi debitur, subyek hukumnya dapat berstatus badan hukum (korporasi) maupun perorangan. Walaupun badan hukum korporasi dan orang perseorangan dapat melakukan tindakan hukum (rechtsbevoegdheid), namun keduanya tetap memiliki pengecualian atau pembatasan. Pengecualian atau pembatasan ini biasanya diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.



Sebagai contoh, terhadap subyek hukum perseorangan, KUH Perdata masih memberlakukan



adanya



kecakapan



berbuat



(handelingsbekwaam)



dan



ketidakcakapan berbuat (handelingsbekwaan) bagi anak-anak di bawah umur, yang belum genap 21 tahun atau di bawah pengampuan.



Dalam lapangan hukum kekayaan pada prinsipnya kemampuan badan hukum sama seperti orang perseorangan sehingga badan hukum dapat melakukan hubungan-hubungan hukum dalam bidang perikatan dan kebendaan, membuat perjanjian-perjanjian tertulis dan tidak tertulis dengan pihak ketiga atau memiliki benda-benda, baik yang berwujud atau tidak berwujud. Sebagai pengecualiannya, badan hukum menurut UU Pokok Agraria41 tidak dapat memiliki



45



Hak Milik atas tanah. Pada lapangan hukum acara perdata, badan hukum dapat menjadi pihak yang berperkara. Namun, badan hukum selalu diwakili dan pihak yang mewakilinya adalah organ yang berhak atau yang ditunjuk oleh undangundang atau anggaran dasar badan hukum tersebut. Badan hukum yang diwakili disebut



dengan materielle



partij,



sedangkan



organ



yang



mewakilinya



disebut formeele partij.42 Konsep hubungan hukum antara badan hukum dan orang yang mewakilinya merupakan suatu bentuk perwakilan. Menurut ilmu hukum, perwakilan dimaksudkan sebagai bentuk mempertanggungjawabkan perbuatan hukum seseorang kepada orang lain daripada orang yang berbuat, untuk bertindak dalam batas wewenang yang diberikan dan atas nama principaal.43



Dengan



demikian,



suatu



perwakilan



memiliki



3



unsur,



yaitu



1)



pertanggungjawaban suatu perbuatan hukum, 2) dilaksanakan dalam batas wewenang dan 3) dilakukan dengan atas nama dan untuk kepentingan prinsipal.



D. Tinjuan tentang perlindungan konsumen 1. Dasar hukum perlindungan konsumen Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia, 41



42



43



UU Nomor 5 Tahun 1960, LN Nomor 104, TLN Nomor 2043 Ali, Badan Hukum…, hlm. 178.



Ali, Badan Hukum, hlm. 18



46



untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen.44 2. Pengertian perlindungan konsumen Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup45 Sedangkan menurut Sidobalok (2014:39), hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan Peraturan dan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dan mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.46 3. Asas – asas perlindungan konsumen Asas perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 2 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:



44



Diakses melalui https://naufalalfatih.wordpress.com/2012/10/10/dasar-hukum-perlindungan-konsumen/ pada tanggal 28



Agustus 2019 pada pukul 18.15



45



46



Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Grasindo



Sidobalok, Janus. 2014. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.



47



a. Asas Manfaat Segala upaya yang dilakukan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Dengan kata lain, tidak boleh hanya salah satu pihak saja yang memperoleh manfaat, sedangkan pihak lain mendapatkan kerugian. b. Asas Keadilan Dalam hal ini, tidak selamanya sengketa konsumen di akibatkan oleh kesalahan pelaku usaha saja, tetapi bisa juga di akibatkan oleh kesalahan konsumen yang terkadang tidak tahu akan kewajibannya. Konsumen dan produsen/pelaku usaha dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan kewajiban secara seimbang. c. Asas Keseimbangan Asas keseimbangan ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban para pelaku usaha dan konsumen. Menghendaki konsumen, produsen/pelaku usaha dan pmerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen.



d. Asas Keamanan dan Keselamatan Asas ini bertujuan untuk memberikan adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang



48



dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya. e. Asas Kepastian Hukum Asas ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan menjalankan apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Tanpa harus membebankan tanggung jawab kepada salah satu pihak, serta negara menjamin kepastian hukum.47 4. Tujuan perlindungan konsumen



Perlindungan konsumen bertujuan untuk memberikan kepastian dan keseimbangan hukum antara produsen dan konsumen sehingga terwujud suatu perekonomian yang sehat dan dinamis sehingga terjadi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tujuan perlindungan konsumen diatur dalam dalam Pasal 3 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut: 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri. 2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian dan/atau jasa. 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.



49



4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.



Keinginan yang hendak dicapai dalam perlindungan konsumen adalah menciptakan rasa aman bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dalam menegakkan hukum perlindungan diperlukan pemberlakuan asas-asas yang berfungsi sebagai landasan penempatan hukum.48



5. Hak dan kewajiban konsumen Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Dengan keinginan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan konsumen, maka kepentingan-kepentingan itu dirumuskan dalam bentuk hak. Secara umum terdapat empat hak dasar konsumen yang diakui secara internasional yaitu: Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety), Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed), Hak untuk memilih (the right to choose), Hak untuk didengar (the right to be heard)49



47



Diakses melalui https://www.kajianpustaka.com/2018/05/pengertian-tujuan-asas-perlindungan-konsumen.html pada



tanggal 28 Agustus 2019 pada pukul 18.25



48



Diakses melalui https://www.kajianpustaka.com/2018/05/pengertian-tujuan-asas-perlindungan-konsumen.html pada



tanggal 28 Agustus 2019 pada pukul 18.30



50



Hak-hak konsumen diatur dalam pasal 4 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut: 1. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa. 2. Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. 3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan atau jasa. 4. Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan. 5. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. 6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 8. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi atau penggantian, apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan Kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK 8/1999, yaitu sebagaiberikut:



51



1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanan dan keselamatan. 2. Bertikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan jasa. 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. 4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 5.



Hak dan kewajiban pelaku usaha



6. Menurut Pasal 1 angka 4 dan 5 UUPK 8/1999, Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan



usaha



dalam



berbagai



bidang



ekonomi.



Pelaku usaha merupakan salah satu komponen yang turut bertanggung jawab dalam perlindungan konsumen. Maka di dalam berbagai peraturan perundang-undangan dibebankan sejumlah hak dan kewajiban serta halhal



49



yang



menjadi



tanggung



Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Grasindo



52



jawab



pelaku



usaha.



Hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:



1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai



kondisi



dan



nilai



tukar



barang



dan/atau



jasa



yang



diperdagangkan. 2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. 3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. Sedangkan kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 UUPK 8/1999, yaitu sebagai



berikut:



1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. 2. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 3. Menjamin



mutu



barang



dan/atau



jasa



yang



diproduksi



atau



diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. 4. Memberikan kompensasi, ganti rugi, apabila barang dan/jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.5



53



E. Tinjauan tentang kredit macet 1. Pengertian kredit macet Kredit macet adalah pinjaman yang mengalami kesulitan dalam penyelesaian kewajiban dari nasabah terhadap bank/lembaga keuangan non bank dikarenakan faktor kesengajaan atau karena faktor eksternal di luar kemampuan kendali debitur. Kredit macet juga dikenal dengan istilah kredit bermasalah, kredit kurang lancar atau kredit diragukan51.Menurut Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR, kredit Macet terjadi apabila terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bunga yang telah melampaui 270 hari, atau kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru, atau dari segi hukum maupun kondisi pasar,jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar. Berikut definisi dan pengertian kredit macet dari beberapa sumber buku: 



Menurut Siamat (2001), kredit macet dapat diartikan sebagai pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor kesengajaan dan atau karena faktor eksternal di luar kemampuan kendali debitur. 52







Menurut Riva’i (2004), kredit macet merupakan kesulitan nasabah di dalam penyelesaian kewajiban-kewajibannya terhadap bank/lembaga keuangan non bank, baik dalam bentuk pembayaran kembali pokoknya,







50



Diakses



melalui



https://www.kajianpustaka.com/2018/05/pengertian-tujuan-asas-perlindungan-



konsumen.html pada tanggal 28 Agustus 2019 pada pukul 18.40



54







pembayaran bunga, maupun pembayaran ongkos-ongkos bank yang menjadi beban bagi nasabah yang bersangkutan. 5







Menurut Hariyani (2010), kredit Macet adalah suatu kondisi pembiayaan yang ada penyimpangan (deviasi) atas terms of lending yang disepakati dalam



pembayaran



kembali



pembiayaan



itu



sehingga



terjadi



keterlambatan, diperlukan tindakan yuridis, atau diduga ada kemungkinan potensi loss. 54 



Menurut Mantayborbir (2002), kredit macet ialah kredit yang telah jatuh tempo, namun belum dilunasi dan tunggakan angsuran lebih dari 270 hari atau 9 bulan. Kredit macet juga dapat dikatakan ketika debitur tidak mampu lagi untuk mengangsur utang pokoknya dan bunga dari hasil usaha yang dimodali dengan fasilitas kredit.55



2. Unsur – unsur kredit Berikut unsur-unsur kredit yang harus terpenuhi dalam kesepakatan pinjam meminjam



51



Diakses



melalui



https://www.kajianpustaka.com/2019/02/pengertian-penyebab-dan-penyelamatan-kredit-macet.html



pada tanggal 28 Agustus 2019 pada pukul 19.25 52



53



Siamat, Dahlan. 2001. Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta: Ekonomi Universitas Indonesia Riva’i, Veithzal. 2004. Performance appraisal. Jakarta: Rajawali pers



55



1. Kepercayaan Bersama



Pemberian kredit dalam prosesnya tidak selamanya bisa dikatakan mudah maupun sulit. Bank secara umum tidak sembarangan dalam memberikan kredit kepada nasabah atau peminjam dana, semua tergantung dari kelayakan si nasabah. Bank memiliki



parameter



tersendiri



dalam



menentukan



apakah



nasabah



tersebut bankable atau tidak, kebanyakan untuk melihat kriteria tersebut bank akan melihat kondisi riwayat perbankan sebelumnya dari nasabah tersebut. Dari pemeriksaan riwayat tersebut akan terlihat apakah sebelumnya nasabah itu pernah mengalami kredit macet ataukah pernah mengajukan pinjaman dengan status transaksi lancar atau belum pernah melakukan pinjaman kredit sebelumnya. Hasil dari pemeriksaan riwayat tersebut akan menjadi penentu terhadap mudah tidaknya seseorang menjadi penerima kredit dari bank.



Mekanisme bank dalam memberikan pinjaman pastilah telah melalui proses berlapis yang pada akhirnya bersedia memberikan pinjaman, secara keseluruhan pemeriksaan tidak hanya sebatas dari riwayat transaksi, perhitungan aset nasabah pun akan dijadikan dasar dalam penilaian bank. Ketika seseorang dinyatakan memiliki kelayakan sebagai penerima dana, maka pemberian kredit bisa berjalan dengan lancar. Namun yang perlu dicatat dari sebuah transaksi permodalan ini ialah adanya rasa kepercayaan bersama dalam mengolah dan mengembalikan 54



Hariyani, Iswi. 2010. Restrukturisasi & Penghapusan Kredit Macet. Jakarta: Elex Media Komputindo.



55 Mantayborbir, S., dkk. 2002. Hukum Piutang dan Lelang Negara di Indonesia. Medan: Pustaka Bangsa



56



kewajiban yang harus ditanggung. Bank secara keyakinan beranggapan bahwa nasabah ini mampu mengembalikan dana pinjaman dalam jangka waktu tertentu dengan berbagai kriteria yang melekat di nasabah tersebut



2. Kesepakatan Perjanjian



Kesepakatan perjanjian didalamnya mencakup berbagai hal mengenai seluk beluk peraturan dalam pinjaman kredit dan kewajiban nasabah kepada bank yang sifatnya mengikat dan memiliki kekuatan hukum. Bank sebagai lembaga keuangan yang sah dalam negara harus menjalankan semua aktivitasnya mengikuti peraturan dari bank pusat termasuk dalam pemberian dana, aktivitas ini dimaksudkan agar bank memperoleh payung hukum ketika terdapat masalah kedepannya. Kesepakatan perjanjian pada akhirnya akan saling menguntungkan antara kedua belah pihak karena sifatnya yang memberikan kemudahan dan kepastian dalam menjalankan setiap proses dan langkah didalamnya. Nasabah yang telah dinyatakan memiliki kelayakan dalam menerima pinjaman dana harus mentaati semua kewajiban yang tertanggung pada bank dan bank akan meyakinkan nasabah akan menjalankan peran dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan, baik jika nanti terjadi masalah maupun tidak. Kesepakatan perjanjian memberikan rasa aman bagi kedua belah pihak yaitu antara bank dan penerima kredit, karena masing-masing yang terlibat memiliki komitmen dalam memberikan jaminan masing-masing terhadap semua peran yang bertujuan untuk kelancaran dalam menjalankan mekanisme yang telah terikat bersama.



3. Jangka Waktu Pengembalian



57



Dalam kesepakatan perjanjian pinjaman kredit akan memuat berbagai ketentuan yang menjadi tanggung jawab pihak penerima pinjaman dana, termasuk didalamnya aturan tentang jangka waktu pengembalian dana yang telah disepakati bersama. Jangka waktu pengembalian tergantung dari jenis pinjaman yang diberikan oleh bank, apakah itu jenis pinjaman kredit yang besifat jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Semua jenis pinjaman tersebut memiliki aturan tersendiri yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain dalam kesepakatan perjanjian bersama, hal ini berkaitan dengan besarnya dana dan kemampuan nasabah dalam melunasi semua biaya tertanggung. Jika melihat program dari perbankan yang ada di Indonesia saat ini, banyak sekali jenis kredit yang ditawarkan kepada masyarakat. Sebagai contoh kredit untuk usaha, bank bersedia memberikan pinjaman mulai dari puluhan juta hingga ratusan juta rupiah dengan syarat pengajuan kredit yang tergolong mudah. Jangka waktu pengembalian pinjaman pun beragam, beda jenis program kreditnya berbeda pula jangka waktu pengembaliannya. Namun secara umum bank kebanyakan memberikan kredit untuk jangka waktu menengah dan panjang, dimana jika dilihat dari syaratnya untuk pinjaman jangka menengah umumnya jangka waktu pengembalian maksimal 3 tahun sedangkan untuk jangka panjang maksimal 5 tahun



4. Tingkat Resiko



Pada dasarnya bank dalam memberikan pinjaman juga memperhatikan tingkat resiko yang mungkin akan terjadi di tengah jalan. Dari berbagai resiko yang



58



mungkin terjadi, kredit macet merupakan salah satu jenis resiko yang paling dikhawatirkan karena memiliki dampak merugikan untuk jangka panjang. Contohnya dalam pinjaman dana yang diperuntukkan untuk kredit usaha, tentunya setiap kegiatan usaha memiliki potensi terhadap terjadinya kegagalan usaha. Jika terjadi hal buruk yang merugikan dan mengganggu kewajiban tertanggung oleh nasabah, maka akan merugikan terhadap dana yang harus dikembalikan oleh nasabah kepada bank. Dari masalah tersebut diperlukan sebuah langkah untuk menciptakan rasa aman dalam pemberian pinjaman dan untuk solusi masalah tersebut umumnya bank menerapkan adanya sistem jaminan, hal ini umumnya terjadi pada dana pinjaman yang tergolong besar. Perhitungan tingkat resiko berbanding lurus dengan besar jaminan yang diberikan kepada bank. Namun tidak semua jaminan yang diberikan oleh peminjam nilainya setara dengan dana yang diberikan oleh bank. Beberapa jenis jaminan yang biasanya digunakan adalah surat kepemilikan properti dan surat kepemilikan kendaraan bermotor



5. Balas Jasa



Balas jasa yang dimaksud adalah berkaitan dengan keuntungan yang diperoleh bank atas adanya kegiatan pemberian pinjaman dana kepada nasabah. Untuk bank konvensional balas jasa diperoleh dari bunga dana pinjaman sedangkan bank syariah dikenal dengan sistem bagi hasil. Ketika bank konvensional memberikan kredit dengan jumlah tertentu kepada nasabah atau peminjam dana, maka akan ada kewajiban bagi penerima dana untuk mengembalikan jumlah dana tertanggung yang umumnya dana yang harus dikembalikan berupa dana pinjaman



59



pokok dan bunga dari pinjaman tersebut, hal tersebut telah tertuang dalam kesepakatan perjanjian bersama. Besarnya bunga dari setiap program kredit dari bank berbeda-beda dan jika dilihat secara keseluruhan besarnya bunga rata-rata dibawah 12%.Mekanisme bank syariah harus berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi syariah yang berdasarkan pada aturan-aturan agama islam, sehingga dalam menjalankan kegiatannya tidak mengenal sistem bunga, karena bunga atau riba termasuk hal yang dilarang dalam transaksi islam. Keuntungan yang diperoleh dari bank syariah berasal dari kesepakatan bagi hasil antara bank dengan pihak penerima dana. Kelebihan dengan menerapkan prinsip syariah adalah ketika pihak penerima dana mengalami kegagalan dalam usaha, maka akan ada perhitungan bagi rugi antara bank dengan penerima dana56



56 diakses melalui https://dosenekonomi.com/ilmu-ekonomi/kredit/unsur-unsur-kredit pada tanggal 28 Agustus 2019



pada pukul 20.13



60



BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Kredit Macet di BPR Gunung Rizki Semarang Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha57yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi. Menurut Pasal 1 dan angka 2 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen bahwa” Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,baik bagi kepentingan diri sendiri, kewarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan” 58



Dalam hal ini nasabah adalah konsumen dalam perjanjian kredit di BPR Gunung Rizki Semarang. Sedangkan hubungan antara konsumen dengan BPR Gunung Rizki Semarang sebagai pelaku usaha pelayanan jasa diatur di dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK mengatur mengenai hak dan kewajiban dari konsumen dan pelaku usaha. Hak-hak konsumen menurut UUPK Pasal 4 adalah: a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa



61



b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya i. hak hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan lainnya.



57 Mariam Darus, Perlindungan Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Segi Standar Kontrak, Makalah Pada Simposium Aspek –Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, BPHN – Bina Cipta, Jakarta, 1990, hal.59-60 58



Undang Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.



62



Selain mengatur hak konsumen UUPK juga mengatur tentang kewajiban konsumen, menurut UUPK Pasal 6 antara lain: a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. UUPK juga mengatur hak hak pelaku usaha disini adalah BPR Gunung Rizki Semarang yang diatur dalam UUPK Pasal 6 antara lain: a. Hak untuk menerima pembayaran uang yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar baranghak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan



63



e. Hak- hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan lainnya. Untuk memenuhi hak dari konsumen BPR Gunung Rizki Semarang sebagai pelaku usaha juga dibebankan kewajiban yang diatur di UUPK Pasal 7 antara lain: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan konsumen mutu barang dan/atau jasa yang berlaku e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian



64



Dalam hukum perdata nasional Indonesia, syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang berisi 4 (empat) syarat, yaitu adanya kesepakatan antara mereka yang mengikatkan diri, kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan, suatu objek tertentu (objek perjanjian harus jelas dan dapat dilaksanakan) dan suatu kausa yang diperbolehkan (tidak melanggar hukum, kesusilaan dan ketertiban umum). Dalam hal ini BPR Gunung Rizki Semarang selalu memastikan legalitas dengan pihak ketiga ( notaris ) secara benar dan akurat. Dan memastikan agunan tersebut tidak dalam sengketa. Apabila legalitas sudah sesuai dengan peraturan maka baik konsumen ataupun pihak bank tidak ada yang dirugikan. Dalam hal ini BPR Gunung Rizki Semarang sudah cakap dan paham akan peraturan mengenai perlindungan konsumen. Jadi penulis beranggapan bahwa perlindungan hukum disini sudah jelas apabila konsumen tidak bertanggung jawab maka konsumen tersebut dianggap wanprestasi karena sudah diatur dalam UUPK Berarti konsumen sudah tidak beritikad baik dalam perjanjian pelayanan jasa dan pembelian barang yang diatur dalam Pasal 5 UUPK. Konsumen disini juga telah melanggar Pasal 6 UUPK terkait hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran yang telah sesuai di awal kesepakatan Adapun proses peminjaman kredit BPR Gunung Rizki Semarang 1. Nasabah menentukan jenis pinjaman sesuai kebutuhan 2. Mengisi formulir pengajuan kredit dan melengkapi persyaratan 3. Menunggu proses verifikasi dan persetujuan kredit



65



4. Akad kredit dan pencairan dana Adapun skema bagan tentang proses peminjaman kredit BPR Gunung Rizki Semarang:



NASABAH



MENENTUKAN JENIS PINJAMAN



MENGISI FORMULIR PENGAJUAN KREDIT



MELENGKAPI PERSYARATAN KREDIT



PROSES VERIFIKASI DAN PERSETUJUAN KREDIT



AKAD KREDIT 66



PENCAIRAN DANA B. Hambatan-Hambatan dan Solusi Dalam Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Kredit Macet di BPR Gunung Rizki Semarang Dalam perlindungan konsumen/nasabah, BPR Gunung Rizki harus memberikan perlindungan konsumen yang jelas terkait perjanjian kredit pihak konsumen/nasabah. Dan didalam perjanjian penggunaan jasa BPR Gunung Rizki Semarang pasti ada hambatan- hambatan yang harus ditemukan solusinya. Hambatan yang terjadi terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen terhadap perjanjian kredit macet di BPR Gunung Rizki Semarang, penulis bedakan menjadi 2 hal yaitu internal dan eksternal, berikut hambatan internal: 1. Terkadang dari pihak bank melupakan pentingnya double check. Maka pernah terjadi kurangnya ketelitian dalam memastikan agunan tersebut memenuhi syarat untuk menjadi agunan di BPR Agunan disini dimaksud adalah barang yang dijaminkan oleh nasabah kepada pihak BPR Gunung Rizki Semarang



67



Solusi disini adalah melakukan pengecekan kembali dan melibatkan pihak ketiga yaitu notaris dalam melakukan layak atau tidaknya sudah sesuai dengan legalitas



Berikut adalah hambatan eksternal:



1. Terkadang pihak konsumen lebih pintar dari pihak bank mencari celah untuk melanggar legalitasnya. Solusinya disini adalah pihak bank pun sebelum pembacaan perjanjian kredit sudah dijelaskan sejelas – jelasnya untuk peraturan yang sudah ditetapkan pihak bank, dan apabila pihak bank menemukan kecurangan yang dilakukan oleh konsumen akan dikenakan hukuman yang sudah ditetapkan di perjanjian kredit yang sudah di tandatangani konsumen



Agar lebih jelasnya tentang hambatan-hambatan dan solusi dalam pelaksanaan perlindungan konsumen terhadap perjanjian kredit macet di BPR Gunung Rizki Semarang penulis sajikan dalam tabel dibawah ini:



No



Hambatan Hambatan



Solusi



1



Hambatan Internal: Terkadang dari pihak bank Melakukan pengecekan melupakan pentingnya double check. Maka



kembali dan melibatkan



pernah terjadi kurangnya ketelitian dalam



pihak ketiga yaitu notaris



memastikan agunan tersebut memenuhi syarat



dalam melakukan layak



untuk menjadi agunan di BPR



atau tidaknya sudah sesuai



68



dengan legalitas 2



Hambatan Eksternal: Terkadang pihak



Pihak bank pun sebelum



konsumen lebih pintar dari pihak bank



pembacaan perjanjian



mencari celah untuk melanggar legalitasnya



kredit sudah dijelaskan sejelas – jelasnya untuk peraturan yang sudah ditetapkan pihak bank, dan apabila pihak bank menemukan kecurangan yang dilakukan oleh konsumen akan dikenakan hukuman yang sudah ditetapkan di perjanjian kredit yang sudah di tandatangani konsumen



Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:



1. Pelaku Usaha Jasa Keuangan adalah Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Bank Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan



69



Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara syariah.



2.Konsumen



adalah



pihak-pihak



yang



menempatkan



dananya



dan/atau



memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan.



3. Perlindungan Konsumen adalah perlindungan terhadap Konsumen dengan cakupan perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan.



4. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.



5. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.



6. Perusahaan Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan atau Manajer Investasi.



7. Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat kontrak dengan Emiten untuk melakukan Penawaran Umum bagi kepentingan Emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa Efek yang tidak terjual.



70



8. Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha jual beli Efek untuk kepentingan sendiri atau Pihak lain.



9. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.



10. Penasihat Investasi adalah Pihak yang memberi nasihat kepada Pihak lain mengenai penjualan atau pembelian Efek dengan memperoleh imbalan jasa.



11. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak - hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.



12. Perusahaan Asuransi Kerugian adalah perusahaan asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko kerugian,kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa dari tak pasti.



13. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.



71



14. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun.



15. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan mengenai lembaga pembiayaan.



16. Perusahaan Gadai adalah badan usaha yang didirikan untuk menyalurkan uang pinjaman kepada nasabah dengan menerima barang bergerak sebagai jaminan.



17. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha pokok melakukan penjaminan.



Pasal 2 Perlindungan Konsumen menerapkan prinsip:



a. transparansi;



b. perlakuan yang adil;



c. keandalan;



d. kerahasiaan dan keamanan data/informasi Konsumen; dan



e. penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.



72



Pasal 3 Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak untuk memastikan adanya itikad baik Konsumen dan mendapatkan informasi dan/atau dokumen mengenai Konsumen yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan



Pasal 4 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan.



(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam dokumen atau sarana lain yang dapat digunakan sebagai alat bukti.



(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. disampaikan pada saat memberikan penjelasan kepada Konsumen mengenai hak dan kewajibannya; b. disampaikan pada saat membuat perjanjian dengan Konsumen; dan c. dimuat pada saat disampaikan melalui berbagai media antara lain melalui iklan di media cetak atau elektronik.



Pasal 5 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan informasi yang terkini dan mudah diakses kepada Konsumen tentang produk dan/atau layanan.



Pasal 6 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan informasi kepada Konsumen tentang penerimaan, penundaan atau penolakan permohonan produk dan/atau layanan.



(2) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyampaikan informasi tentang penundaan atau penolakan permohonan produk dan/atau layanan sebagaimana



73



dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan alasan penundaan atau penolakannya kecuali diatur lain oleh peraturan perundangundangan.



Pasal 7 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menggunakan istilah, frasa, dan/atau kalimat yang sederhana dalam Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti oleh Konsumen dalam setiap dokumen yang: a. memuat hak dan kewajiban Konsumen; b. dapat digunakan Konsumen untuk mengambil keputusan; dan c. memuat persyaratan dan dapat mengikat Konsumen secara hukum.



(2) Bahasa Indonesia dalam dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disandingkan dengan bahasa lain jika diperlukan.



(3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menggunakan huruf, tulisan, simbol, diagram dan tanda yang dapat dibaca secara jelas.



(4) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan penjelasan atas istilah, frasa, kalimat dan/atau simbol, diagram dan tanda yang belum dipahami oleh Konsumen.



(5) Dalam hal dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan menggunakan bahasa asing, bahasa asing tersebut harus disandingkan dengan Bahasa Indonesia.



Pasal 8 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyusun dan menyediakan ringkasan informasi produk dan/atau layanan.



74



(2) Ringkasan informasi produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat secara tertulis, sekurangkurangnya memuat: a. manfaat, risiko, dan biaya produk dan/atau layanan; dan b. syarat dan ketentuan.



Pasal 9 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan pemahaman kepada Konsumen mengenai hak dan kewajiban Konsumen.



Pasal 10 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan informasi mengenai biaya yang harus ditanggung Konsumen untuk setiap produk dan/atau layanan yang disediakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan.



(2) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang memberikan fasilitas secara otomatis yang mengakibatkan tambahan biaya tanpa persetujuan tertulis dari Konsumen.



Pasal 11 (1) Sebelum Konsumen menandatangani dokumen dan/atau perjanjian produk dan/atau layanan, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan dokumen yang berisi syarat dan ketentuan produk dan/atau layanan kepada Konsumen.



(2) Syarat dan ketentuan produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: a. rincian biaya, manfaat, dan risiko; dan b. prosedur pelayanan dan penyelesaian pengaduan di Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Pasal 12 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menginformasikan kepada Konsumen setiap perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat, dan ketentuan yang



75



tercantum dalam dokumen dan/atau perjanjian mengenai produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberitahukan kepada Konsumen paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berlakunya perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat dan ketentuan atas produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (3) Dalam hal Konsumen tidak menyetujui perubahan terhadap persyaratan produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Konsumen berhak memutuskan produk dan/atau layanan tanpa dikenakan ganti rugi apapun. (4) Dalam hal Konsumen sudah diberikan waktu untuk menyampaikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Konsumen tidak memberikan pendapatnya maka Pelaku Usaha Jasa Keuangan menganggap Konsumen menyetujui perubahan tersebut. Pasal 13 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyusun pedoman penetapan biaya atau harga produk dan/atau layanan jasa keuangan. Pasal 14 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyelenggarakan edukasi dalam rangka meningkatkan literasi keuangan kepada Konsumen dan/atau masyarakat. (2) Rencana penyelenggaraan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun dalam suatu program tahunan dan dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.



76



(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan rencana penyelenggaraan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 15 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan akses yang setara kepada setiap Konsumen sesuai klasifikasi Konsumen atas produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (2) Klasifikasi Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan berdasarkan: (a) latar belakang Konsumen; (b) keterangan mengenai pekerjaan; (c) rata-rata penghasilan; (d) maksud dan tujuan menggunakan produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan; atau (e) informasi lain yang digunakan untuk menentukan klasifikasi Konsumen. Pasal 16 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memperhatikan kesesuaian antara kebutuhan dan kemampuan Konsumen dengan produk dan/atau layanan ditawarkan kepada Konsumen. Pasal 17 Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang menggunakan strategi pemasaran produk dan/atau layanan yang merugikan Konsumen dengan memanfaatkan kondisi Konsumen yang tidak memiliki pilihan lain dalam mengambil keputusan. Pasal 18 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dapat menjual produk dan/atau layanan dalam satu paket dengan produk dan/atau layanan lain (bundling product/service). (2) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menjual produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka : a. Pelaku Usaha Jasa Keuangan



77



dilarang memaksa Konsumen untuk membeli produk dan/atau layanan lain dalam paket produk dan/atau layanan tersebut; dan b. Konsumen dapat memilih penyedia produk dan/atau layanan lain dalam paket produk dan/atau layanan tersebut. (3) Dalam hal produk dan/atau layanan lain dalam paket produk dan/atau layanan yang ditawarkan merupakan pilihan konsumen, maka risiko atas pilihan tersebut menjadi tanggung jawab Konsumen. Pasal 19 Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang melakukan penawaran produk dan/atau layanan kepada Konsumen dan/atau masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan Konsumen. Pasal 20 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan dalam setiap penawaran atau promosi produk dan/atau layanan: a. nama dan/atau logo Pelaku Usaha Jasa Keuangan; dan b. pernyataan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal penjualan produk dan/atau layanan hanya dapat dilakukan oleh orang perorangan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, dalam penawaran atau promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan pernyataan bahwa orang perorangan dimaksud terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 21 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan Konsumen.



78



Pasal 22 (1) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menggunakan perjanjian baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan peraturan perundangundangan. (2) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk digital atau elektronik untuk ditawarkan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan melalui media elektronik. (3) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen; b. menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli; c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan; d. mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen, bukan merupakan tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan; e. memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan; f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam 79



masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya; dan/atau g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran. Pasal 23 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan, agen penjual, dan pengurus/pegawai dari Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menghindari benturan kepentingan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan dengan Konsumen. (2) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan informasi mengenai adanya benturan kepentingan atau potensi benturan kepentingan. Pasal 24 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan layanan khusus kepada Konsumen dengan kebutuhan khusus. Pasal 25 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menjaga keamanan simpanan, dana, atau aset Konsumen yang berada dalam tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Pasal 26 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan tanda bukti kepemilikan produk dan/atau pemanfaatan layanan kepada Konsumen tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian dengan Konsumen. Pasal 27 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan laporan kepada Konsumen tentang posisi saldo dan mutasi simpanan, dana, aset, atau kewajiban Konsumen secara akurat, tepat waktu, dan dengan cara atau sarana sesuai dengan perjanjian dengan Konsumen.



80



Pasal 28 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib melaksanakan instruksi Konsumen sesuai dengan perjanjian dengan Konsumen dan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 29 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung jawab atas kerugian Konsumen yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian, pengurus, pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Pasal 30 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib mencegah pengurus, pengawas, dan pegawainya dari perilaku: a. memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau pihak lain, b. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya, yang dapat merugikan Konsumen. (2) Pengurus dan pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib mentaati kode etik dalam melayani Konsumen, yang telah ditetapkan oleh masing-masing Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung jawab kepada Konsumen atas tindakan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang bertindak untuk kepentingan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Pasal 31 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang dengan cara apapun, memberikan data dan/atau informasi mengenai Konsumennya kepada pihak ketiga.



81



(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal: a. Konsumen memberikan persetujuan tertulis; dan/atau b. diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan memperoleh data dan/atau informasi pribadi seseorang dan/atau sekelompok orang dari pihak lain dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan akan menggunakan data dan/atau informasi tersebut untuk melaksanakan kegiatannya, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki pernyataan tertulis bahwa pihak lain dimaksud telah memperoleh persetujuan tertulis dari seseorang dan/atau sekelompok orang tersebut untuk memberikan data dan/atau informasi pribadi dimaksud kepada pihak manapun, termasuk Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (4) Pembatalan atau perubahan sebagian persetujuan atas pengungkapan data dan atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan secara tertulis oleh Konsumen dalam bentuk surat pernyataan. Pasal 32 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan bagi Konsumen. (2) Mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberitahukan kepada Konsumen. Pasal 33 Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang mengenakan biaya apapun kepada Konsumen atas pengajuan pengaduan.



82



Pasal 34 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib melaporkan secara berkala adanya pengaduan Konsumen dan tindak lanjut pelayanan dan penyelesaian pengaduan Konsumen dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal ini Kepala Eksekutif yang melakukan pengawasan atas kegiatan Pelaku Usaha Jasa Keuangan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) setiap 3 (tiga) bulan. Apabila tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka penyampaian laporan dimaksud dilakukan pada hari kerja pertama setelah hari libur dimaksud. Pasal 35 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib segera menindaklanjuti dan menyelesaikan pengaduan paling lambat 20 hari kerja setelah tanggal penerimaan pengaduan. (2) Dalam hal terdapat kondisi tertentu, Pelaku Usaha Jasa Keuangan dapat memperpanjang jangka waktu sampai dengan paling lama 20 hari kerja berikutnya. (3) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah: a. kantor Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang menerima pengaduan tidak sama dengan kantor Pelaku Usaha Jasa Keuangan tempat terjadinya permasalahan yang diadukan dan terdapat kendala komunikasi di antara kedua kantor Pelaku Usaha Jasa Keuangan tersebut; b. transaksi keuangan yang diadukan oleh Konsumen memerlukan penelitian khusus terhadap dokumen-dokumen Pelaku Usaha Jasa Keuangan; dan/atau c. terdapat hal-hal lain di luar kendali Pelaku Usaha Jasa Keuangan



83



seperti adanya keterlibatan pihak ketiga di luar Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam transaksi keuangan yang dilakukan oleh Konsumen. (4) Perpanjangan jangka waktu penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diberitahukan secara tertulis kepada Konsumen yang mengajukan pengaduan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir. Pasal 36 (1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki unit kerja dan/atau fungsi untuk menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan Konsumen. (2) Kewenangan unit kerja dan/atau fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diatur dalam mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32. (3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menunjuk 1 (satu) orang pegawai di setiap kantor Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk menangani penyelesaian pengaduan Konsumen. Pasal 37 Dalam hal pengaduan Konsumen terkait transaksi atau kegiatan melibatkan pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang memiliki kewenangan untuk menangani pengaduan atau pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang menyelesaikan pengaduan tersebut, maka penanganan dan penyelesaian pengaduan wajib dilakukan oleh pegawai lain. Pasal 38 Setelah menerima pengaduan Konsumen, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib melakukan: a. pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten, benar, dan obyektif; b. melakukan analisis untuk memastikan kebenaran pengaduan; dan 84



c. menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi (redress/remedy) atau perbaikan produk dan atau layanan, jika pengaduan Konsumen benar. Pasal 39 (1) Dalam hal tidak mencapai kesepakatan penyelesaian pengaduan, Konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan. (2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa. (3) Dalam hal penyelesaian sengketa tidak dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Konsumen dapat menyampaikan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk memfasilitasi penyelesaian pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Pelaku Usaha Jasa Keuangan.59



59 Diakses melalui https://www.ojk.go.id/id/regulasi/Documents/Pages/POJK-tentang-Perlindungan-Konsumen-Sektor-Jasa-



Keuangan/POJK%201%20-%202013.pdf pada tanggal 28 Agustus 2019 pada pukul 21.26



85



BAB IV PENUTUP



A. Kesimpulan



Kesimpulan bab terakhir dari perlindungan konsumen terhadap perjanjian kredit macet di BPR Gunung Rizki Semarang adalah sebagai berikut: 1. Perlindungan konsumen sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dalam hal ini BPR Gunung Rizki Semarang selalu memastikan legalitas dengan pihak ketiga ( notaris ) secara benar dan akurat. Dan memastikan agunan tersebut tidak dalam sengketa. Apabila legalitas sudah sesuai dengan peraturan maka baik konsumen ataupun pihak bank tidak ada yang dirugikan. Dalam hal ini BPR Gunung Rizki Semarang sudah cakap dan paham akan peraturan mengenai perlindungan konsumen. 2. Apa hambatan-hambatan dan solusi dalam perlindungan konsumen terhadap perjanjian kredit macet di BPR Gunung Rizki Semarang hambatan hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan perlindungan konsumen terhadap perjanjian kredit macet biasanya terdapat pada kesalahan konsumen yang selalu mencari celah dalam melanggar legalitasnya sedangkan dari pihak bank biasanya kurang teliti dalam



86



pengecekan barang yang di jaminkan sedang dalam sengketa atau tidak. B. Saran



1. Bagi konsumen kejelasan hukum dan tanggung jawab hukum para pihak seharusnya lebih dipertegas dan penggunaan pihak ketiga oleh bank saat ini setidaknya memperkecil celah yang dilakukan konsumen untuk melanggar legalitasnya 2. Bagi BPR Gunung Rizki Semarang dalam melakukan double check agar lebih diperketat lagi dalam proses tersebut



setidaknya



meminimalisir kesalahan dengan melakukan setiap kegiatan double check menggunakan pihak ketiga notaris dalam hal legalitas sebuah perjanjian kredit



87