Spinal Cord Injury [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN SPINAL CORD INJURY KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II



Disusun oleh: LULUK NAFISAH 41181095000005



PROGRAM PROFESI NERS PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA OKTOBER/2018



SPINAL CORD INJURY



1. Definisi Spinal Cord Injury (SCI) adalah kerusakan atau trauma pada sumsum tulang belakang yang mengakibatkan kerugian atau gangguan fungsi menyebabkan mobilitas dikurangi atau perasaan. Penyebab umum dari kerusakan adalah trauma (kecelakaan mobil, tembak, jatuh, cedera olahraga, dll) atau penyakit (myelitis melintang, Polio, spina bifida, Ataksia Friedreich, dll). Sumsum tulang belakang tidak harus dipotong agar hilangnya fungsi terjadi. Pada kebanyakan orang dengan SCI, sumsum tulang belakang masih utuh, tetapi kerusakan selular untuk itu mengakibatkan hilangnya fungsi. SCI sangat berbeda dari cedera punggung seperti disk pecah, stenosis tulang belakang atau saraf terjepit.



2. Etiologi Cedera tulang belakang yang paling sering traumatis, disebabkan oleh lateral yang lentur, rotasi dislokasi, pemuatan aksial, dan hyperflexion atau hiperekstensi dari kabel atau cauda equina. Kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab paling umum dari SCI, sedangkan penyebab lain meliputi jatuh, kecelakaan kerja, cedera olahraga (menyelam, judo dll), dan penetrasi seperti luka tusuk atau tembak, kecelakaan di rumah (jatuh dr ketinggian, bunuh diri dll), dan bencana alam, misal gempa. SCI juga dapat menjadi asal non-traumatik,. Seperti dalam kasus kanker, infeksi, penyakit cakram intervertebralis, cedera tulang belakang, penyakit sumsum tulang belakang vascular, transverse myelitis, tumor dan multiple sclerosis.



3. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis bergantung pada lokasi yang mengalami trauma dan apakah trauma terjadi secara parsial atau total.(Gbr.9) Berikut ini adalah manifestasi berdasarkan lokasi trauma : 



Antara C1 sampai C5 Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal.







Antara C5 dan C6 Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang lemah; kehilangan refleks brachioradialis.







Antara C6 dan C7 Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi siku masih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep.







Antara C7 dan C8 Paralisis kaki dan tangan







C8 sampai T1 Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki.







Antara T11 dan T12 Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut.







T12 sampai L1 Paralisis di bawah lutut.







Cauda equine



Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan biasanya nyeri dan sangat sensitive terhadap sensasi, kehilangan kontrol bowel dan bladder. 



S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1 Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total. (Sumber:www.jaspersci.com)



4. Deskripsi patofisiologi (Berdasarkan Kasus kegawatdaruratan) Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus terbanyak cedera spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera dapat terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada tulang belakang. Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera spinal cord dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan memblok syaraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut anestesi. Iskemia dan hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum serta kandung kemih. Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen dan potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia dan gangguan eliminasi. Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang terkena: jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan mengalami tetraplegia dengan kehilangan fungsi pernapasan atau sistem muskular total; jika cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan terjadi tetraplegia dengan kerusakan, menurunnya kapasitas paru, ketergantungan total terhadap aktivitas sehari-hari; jika terjadi cedera pada C-6 dan C7 pasien akan mengalami tetraplegia dengan beberapa gerakan lengan atau tangan yang memungkinkan untuk melakukan sebagian aktivitas sehari-hari; jika terjadi kerusakan pada spinal C-7 sampai T-1 seseorang akan mengalami tetraplegia dengan keterbatasan menggunakan jari tangan, meningkat kemandiriannya; pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia dengan fungsi tangan dan berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih baik; jika terjadi cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang tersebut akan kehilangan fungsi motorik dan sensorik, kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.



5. Tahapan / Grade/ Tingkatan Cedera Medulla spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Terdapat 5 sindrom utama cedera medulla spinalis inkomplet. Menurut American Spinal Cord Injury Association yaitu : (1) Central Cord Syndrome, (2) Anterior Cord Syndrome, (3) Brown Sequard Syndrome, (4) Cauda Equina Syndrome, dan (5) Conus Medullaris Syndrome. Lee menambahkan lagi sebuah sindrom inkomplet yang sangat



jarang terjadi



yaitu



Posterior



Cord



Syndrome



Central Cord



Syndrome (CCS) biasanya terjadi setelah cedera hiperekstensi. Sering terjadi pada individu di usia pertengahan dengan spondilosis cervicalis. Predileksi lesi yang paling sering adalah medulla spinalis segmen servikal, terutama pada vertebra C4-C6. Sebagian kasus tidak ditandai oleh adanya kerusakan tulang. Mekanisme terjadinya cedera adalah akibat penjepitan medulla spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteofit atau material diskus dari anterior. Bagian medulla spinalis yang paling rentan adalah bagian dengan vaskularisasi yang paling banyak yaitu bagian sentral. Pada Central Cord Syndrome, bagian yang paling menderita gaya trauma dapat mengalami nekrosis traumatika yang permanen. Edema yang ditimbulkan dapat meluas sampai 1-2 segmen di bawah dan di atas titik pusat cedera. Sebagian besar kasus Central Cord Syndrome menunjukkan hipo/isointens pada T1 dan hiperintens pada T2, yang mengindikasikan adanya edema. Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah



kelemahan



yang



lebih prominen pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan fungsi ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara pada ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai disabilitas neurologic permanen. Hal ini terutama disebabkan karena pusat cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi LMN. Gambaran klinik dapat bervariasi, pada beberapa kasus dilaporkan disabilitas permanen yang unilateral. a. Klasifikasi berdasarkan keparahan 1. Klasifikasi Frankel : Grade A : motoris (-), sensoris (-)



Grade B : motoris (-), sensoris (+) Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+) Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+) Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+) 2. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association) Grade A : motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral Grade B : hanya sensoris (+) Grade C : motoris (+) dengan kekuatan otot < Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3 Grade E : motoris dan sensoris normal



Klasifikasi menurut American Spinal Injury Association: Grade A Grade B Grade C Grade D Grade E



Hilangnya seluruh fungsi morotik dan sensorik dibawah tingkat lesi Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sebagian fungsi sensorik di bawah tingkat lesi. Fungsi motorik intak tetapi dengan kekuatan di bawah 3. Fungsi motorik intak dengan kekuatan motorik di atas atau sama dengan 3. Fungsi motorik dan sensorik normal.



Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik dipergunakan Frankel Score. kehilangan fingsi motorik dan sensorik Frankel Score A lengkap (complete loss). Frankel Score B Fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh. Frankel Score C Fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak berguna (dapat menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan). Frankel Score D Fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak dengan normal ”gait”). Frankel Score E Tidak terdapat gangguan neurologik.



Skala kerusakan berdasarkan American spinal injury association/International medical society of Paraplegia (IMSOP) Grade Tipe Gangguan spinalis ASA/IMSOP A Komplit Tidak ada fungsi sensorik dan motorik sampai S4-5 B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi fungsi motorik terganggu sampai segmen sakral S4-5 C Inkomplit Fungsi motoik terganggu dibawah level, tapi otot-otot motorik utama masih punya kekuatan < 3 D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot motorik utamanya punya kekuatan > 3 E Normal Fungsi sensorik dan motorik normal Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi atas : b. Paraplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral. c. Quadriplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena kerusakan pada segment cervikal.



Sindrom cedera medulla spinalis menurut ASIA, yaitu : Nama Sindroma Central cord syndrome



Brown- Sequard Syndrome



Anterior cord syndrome



Posterior cord syndrome



Cauda equine syndrome



Pola dari lesi saraf Cedera pada posisi sentral dan sebagian pada daerah lateral. Dapat sering terjadi pada daerah servikal Anterior dan posterior hemisection dari medulla spinalis atau cedera akan menghasilkan medulla spinalis unilateral Kerusakan pada anterior dari daerah putih dan abu- abu medulla spinalis Kerusakan pada anterior dari daerah putih dan abu- abu medulla spinalis Kerusakan pada saraf lumbal atau sacral samapi ujung medulla spinalis



Kerusakan Menyebar ke daerah sacral. Kelemahan otot ekstremitas atas dan ekstremitas bawah jarang terjadi pada ekstremitas bawah Kehilangan proprioseptiv dan fungsi motorik.



ipsilateral kehilangan



Kehilangan funsgsi motorik dan sensorik secara komplit.



Kerusakan proprioseptiv diskriminasi dan getaran. Funsgis motor juga terganggu Kerusakan sensori dan lumpuh flaccid pada ekstremitas bawah dan kontrol berkemih dan defekasi.



6. Pemeriksaan Penunjang 



Evaluasi Klinik Ketika pasien yang mengeluh sakit leher, meskipun mereka tidak benar-benar terjaga, atau ketika mereka telah jelas kelemahan. Kita harus mewaspadai adanya SCI, dari tanda dan gejala diatas dengan pemeriksaan radiologi.







Pemeriksaan Radiologi Pasien dengan SCI juga dapat menerima baik komputerisasi Tomography (CT scan atau CAT) dan magnetis resonansi imaging (MRI) dari tulang belakang. Karena alasan diatas, perlu dilakukan pemeriksaan radiografi tulang belakang servikal pada semua pasien cedera kepala sedang dan berat. Radiograf yang diambil di UGD kualitasnya tidak selalu baik dan bila tetap diduga adanya cedera tulang belakang, radiograf selanjutnya diambil lagi termasuk tampilan oblik bila



perlu, serta (pada daerah servikal) dengan leher pada fleksi serta ekstensi bila diindikasikan. Tampilan melalui mulut terbuka perlu untuk memperlihatkan proses odontoid pada bidang antero-posterior. 



Intensive Care Unit Standar perawatan ICU, termasuk menjaga tekanan darah yang stabil, pemantauan fungsi cardiovascular, memastikan ventilasi yang memadai dan fungsi paru-paru, dan mencegah infeksi dan segera merawat dan komplikasi lain, adalah penting agar SCI pasien dapat mencapai hasil yang terbaik.







Steroid Therapy Methylprednisolone, sebuah obat steroid, menjadi tersedia sebagai perawatan untuk SCI akut pada tahun 1990 ketika seorang multicenter percobaan klinis menunjukkan lebih neurological mengubah skor di pasien yang diberi obat di dalam delapan bulan pertama dari cedera.



7. Penatalaksanaan Medis/Operatif 



Penatalaksaan Medis Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral dalam posisi lurus:



pemakaian



kollar leher, bantal pasir atau



kantung



IV



untuk



mempertahankan agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila memindahkan pasien; melakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi penggunaan Crutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada tengkorak, tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan fraktur servikal stabil ringan; pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington) untuk mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinarX ditemui spinal tidak aktif. Intervensi bedah = Laminektomi, dilakukan bila: deformitas tidak dapat dikurangi dengan fraksi, terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal, cedera terjadi pada region lumbar atau torakal, status neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau dekompres medulla. (Diane C. Braughman, 2000 ; 88-89). Tindakan-tidakan untuk mengurangi pembengkakan pada medula spinalis dengan menggunakan glukortiko steroid intravena







Penatalaksanaan Keperawatan Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis, kemungkinan didapati defisit motorik dan sensorik di bawah area yang terkena: syok spinal, nyeri, perubahan fungsi kandung kemih, perusakan fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya tidak terganggu fungsi seksualnya, perubahan fungsi defekasi; kaji perasaan pasien terhadap kondisinya; lakukan pemeriksaan diagnostik; pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing, Circulation) agar kondisi pasien tidak semakin memburuk.



8. Pemeriksaan fisik (Berdasarkan ABCD/Kasus Kegwatdaruratan) Pengkajian 1. Riwayat Penyakit Sebelumnya 



Apakah klien pernah menderita :







Penyakit stroke







Infeksi otak







DM







Diare dan muntah yang berlebihan







Tumor otak







Intoksiaksi insektisida







Trauma kepala







Epilepsi dll.



2. Pemeriksaan Fisik 



Sistem pernafasan Gangguan pernafasan, menurunnya vital kapasitas, menggunakan otot-otot pernafasan tambahan







Sistem kardiovaskuler Bardikardia, hipotensi, disritmia, orthostatic hipotensi.







Status neurologi Nilai GCS karena 20% cedera medulla spinalis disertai cedera kepala.







Fungsi motorik Kehilangan sebagian atau seluruh gerakan motorik dibawah garis kerusakan, adanya quadriplegia, paraplegia.







Refleks Tendon Adanya spinal shock seperti hilangnya reflex dibawah garis kerusakan, post spinal shock seperti adanya hiperefleksia ( pada gangguan upper motor neuron/UMN) dan flaccid pada gangguan lower motor neuron/ LMN).







Fungsi sensorik Hilangnya sensasi sebagian atau seluruh bagian dibawah garis kerusakan.







Fungsi otonom Hilangnya tonus vasomotor, kerusakan termoreguler.







Autonomik hiperefleksia (kerusakan pada T6 ke atas) Adanya nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, bradikardia, hidung tersumbat, pucat dibawah garis kerusakan, cemas dan gangguan penglihatan.







Sistem gastrointestinal Pengosongan lambung yang lama, ileus paralitik, tidak ada bising usus, stress ulcer, feses keras atau inkontinensia.







Sistem urinaria Retensi urine, inkontinensia







Sistem Muskuloskletal Atropi otot, kontraktur, menurunnya gerak sendi (ROM)







Kulit Adanya kemerahan pada daerah yang terrtekan (tanda awal dekubitus







Fungsi seksual. Impoten, gangguan ereksi, ejakulasi, menstruasi tidak teratur.







Psikososial Reaksi pasien dan keluarga, masalah keuangan, hubungan dengan masyarakat.



9. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul dan Prioritas Diagnosa 



Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma, kelemahan dengan paralisis otot abdominal dan interkostal serta ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.







Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan, sensorik dan motorik







Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera, pengobatan dan namanya imobilitas.







Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan rectum, adanya atonik kolon sebagai akibat gangguan autonomic. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan, ketidakmampuan untuk berkemih spontan







Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama, kehilangan sensori dan mobilitas



Prinsip-Prinsip Utama Penatalaksanaan Trauma Spinal: 



Immobilisasi Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal; dengan menggunakan ’cervical collar’. Cegah agar leher tidak terputar (rotation). Baringkan penderita



dalam



posisi



terlentang (supine) pada tempat/alas yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara ”4 men lift” atau menggunakan ’Robinson’s orthopaedic stretcher’. 



Stabilisasi Medis Terutama sekali pada penderita tetraparesis/etraplegia: o Periksa vital signs o Pasang ’nasogastric tube’ o Pasang kateter urin o Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor AGD (analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic shock. Pemberian megadose Methyl Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis.







Mempertahankan posisi normal vertebra (”Spinal Alignment”) Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi



traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai terjadi reduksi. 



Dekompresi dan Stabilisasi Spinal Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’ dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan ’open reduction’ dan stabilisasi dengan ’approach’anterior atau posterior.







Rehabilitasi. Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini adalah ’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi-fungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia.



RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN No 1



Perencanaan



Diagnosa Keperawatan



Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC)



Intervensi (NIC) Airway management



Aktivitas (NIC)



Pola napas tidak



Setelah dilakukan tindakan pasien



efektif berhubungan



menunjukkan keefektifan pola nafas,



dengan kelumpuhan



dibuktikan dengan kriteria hasil:



2. Pasang mayo bila perlu



otot diafragma,



Mendemonstrasikan batuk efektif



3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu



kelemahan dengan



dan suara nafas yang bersih, tidak



paralisis otot



ada sianosis dan dyspneu (mampu



abdominal dan



mengeluarkan



interkostal serta



bernafas dg mudah, tidakada pursed



ketidak mampuan



lips)



untuk



sputum,



mampu



Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama



sekresi



nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara



terdapat tarikan



nafas abnormal)



4. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction 5. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan



normal



(tekanan



hasil GDA: PaO2
45, RR



ventilasi



6. Berikan bronkodilator :



membersihkan



Do: sesak nafas,



1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan



darah,



nadi,



10. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea 11. Pertahankan jalan nafas yang paten 12. Observasi



adanya



tanda



tanda



= 28 x/menit



hipoventilasi



Ds: pasien



13. Monitor



mengatakan



adanya



kecemasan



pasien



terhadap oksigenasi



kesulitan bernafas



14. Monitor vital sign 15. Informasikan pada pasien dan keluarga tentang



tehnik



relaksasi



untuk



memperbaiki pola nafas. 16. Ajarkan bagaimana batuk efektif 17. Monitor pola nafas 2



Kerusakan mobilitas



Setelah dilakukan tindakan



fisik berhubungan



keperawatan gangguan mobilitas fisik



dng kelumpuhan,



teratasi dengan kriteria hasil:



kerusakan



 Klien meningkat dalam aktivitas



muskuloskelettal dan neuromuskuler



fisik  Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas



Do: ada kontraktur,



 Memverbalisasikan perasaan



kekuatan otot (ROM



dalam meningkatkan kekuatan dan



menurun), cedera



kemampuan berpindah



atau lesi pada servikal







Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi



Activity Daily Living



1. Kaji



kemampuan



pasien



dalam



mobilisasi 2. Latih



pasien



dalam



pemenuhan



kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan 3. Dampingi



dan



Bantu



pasien



saat



mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps. 4. Berikan



alat



Bantu



jika



klien



memerlukan. 5. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi



dan



berikan



bantuan



jika



Ds:



pasien



mengatakan dapat



diperlukan



tidak



6. Bantu



melakukan



pergerakan



pasien



makan



dan



minum



(menyuapi, mendekatkan alat-alat dan



pada



makanan/minuman)



tangan dan kaki



7. Pertahankan kesehatan dan kebersihan mulut pasien 8. Bantu pasien mamakai pakaiannya 9. Libatkan keluarga dan ajarkan cara memakaikan pakaian pada pasien 10. Memandikan pasien 11. Libatkan keluarga untuk membantu memandikan pasien 12. Lakukan perawatan mata, rambut, kaki, mulut, kuku dan perineum 13. Bantu pasien bak/bab 14. Lakukan perawatan inkontinensia usus 15. Manajemen nutrisi 16. Libatkan keluarga dalam perawatan



3



Gangguan rasa



Setelah dilakukan tindakan







Paint management



Paint Management



nyaman nyeri



keperawatan, Pasien tidak mengalami







Analgetic



1. Lakukan



berhubungan dengan nyeri, dengan kriteria hasil:



administration



pengkajian



komperhensif



nyeri



termasuk



secara lokasi,



adanya cedera,







Mampu mengontrol nyeri (tahu



karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas



pengobatan dan



prnyebab



dan faktor presipitasi



namanya imobilitas



menggunakan



nyeri,



mampu tekhnik



nonfarmakologi untuk mencari Do: wajah pasien meringis, skala nyeri



Melaporkan



bahwa



nyeri



reaksi



nonverbal



dari



ketidaknyamanan 3. Bantu



nyeri, mencari bantuan) 



2. Observasi



pasien



dan



keluarga



untuk



mencari dan menemukan dukungan



4-6, luka atau lesi di



berkurang dengan menggunakan



tempat yang



manajemen nyeri



mempengaruhi



Mampu mengenali nyeri (skala,



ruangan, pencahayaan dan kebisingan



mengalami cedera







4. Kontrol



lingkungan nyeri



yang



dapat



seperti



suhu



Ds: pasien



intensitas, frekuensi dan tanda



5. Kurangi faktor presipitasi nyeri



mengeluh nyeri



nyeri)



6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk



pada daerah yang







cedera



Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang



menentukan intervensi 7. Ajarkan



tentang



teknik



non







Tanda vital dalam rentang normal



farmakologi: napas dalam, relaksasi,







Tidak mengalami gangguan tidur



distraksi, kompres hangat/dingin 8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri 9. Monitoring vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali Analgetic Administration 1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas,



dan derajat nyeri sebelum pemberian obat 2. Cek intruksi dokter tentang jenis obat, dosis, frekuensi 3. Cek riwayat alergi 4. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian obat 4



Gangguan eliminasi



Setelah dilakukan tindakan



Manajemen Usus (0430) 1. Identifikasi



alvi /konstipasi



keperawatan konstipasi pasien teratasi



Bowel Training (0440)



berhubungan dengan dengan kriteria hasil: gangguan persarafan



 Pola BAB dalam batas normal



pada usus dan



 Feses lunak



rectum, adanya



 Cairan dan serat adekuat



atonik kolon sebagai



 Aktivitas adekuat



akibat gangguan



 Hidrasi adekuat



autonomic



faktor-faktor



yang



menyebabkan konstipasi 2. Monitor



tanda-tanda



ruptur



bowel/peritonitis 3. Jelaskan penyebab dan rasionalisasi tindakan pada pasien 4. Konsultasikan dengan dokter tentang peningkatan dan penurunan bising usus 5. Kolaburasi jika ada tanda dan gejala konstipasi yang menetap



Do: jika dilakukan palpasi pada abdomen akan didapatkan tegang



6. Jelaskan pada pasien manfaat diet (cairan dan serat) terhadap eliminasi 7. Jelaskan



pada



klien



konsekuensi



menggunakan laxative dalam waktu



atau keras pada



yang lama



abdomen pasien,



8. Kolaburasi dengan ahli gizi diet tinggi



Ds: pasien



serat dan cairan



mengatakan tidak



9. Dorong peningkatan aktivitas yang



dapat atau sulit



optimal



untuk BAB



10. Sediakan privacy dan keamanan selama BAB



5



Perubahan pola



Setelah dilakukan tindakan



eliminasi urine



keperawatan kebutuhan eliminasi urine urin



berhubungan dengan pasien terpenuhi kelumpuhan syarat



dengan criteria hasil:



perkemihan,



1. Pengosongan kandung kemih



ketidakmampuan



komplit



untuk berkemih



2. Mampu menahan/mengontrol urine



spontan



3. Terbebas dari ISK



manajemen eliminasi



Perawatan Retensi Urin



1. Monitor



eliminasi



urine



(frekuensi,



konsistensi, bau, volume, warna) 2. Monitor tanda dan gejala retensi urine 3. Ajarkan pada pasien tanda dan gejala ISK 4. Catat



waktu



urinal



terakhir



jika



diperlukan 5. Libatkan pasien/keluarga untuk mencatat urine output jika diperlukan



Do: produksi urine < 50



cc/jam,



luka



karena



cedera



spinal,



adanya



distensi bladder



6. Masukkan



suppositoria



uretral



jika



diperlukan 7. Siapkan



specimen



urine



midstream



untuk analisa jika perlu 8. Laporkan ke dokter jika ditemukan tanda



Ds: pasien mengaku



dan gejala ISK



kesulitan



saat



9. Anjurkan pasien minum 8 gelas sehari



berkemih,



dan



saat makan, anatara makan dan saat pagi



berkemihnya



juga



hari



jarang



10. Bantu pasien mengatur toileting rutin kalau perlu 11. Anjurkan



pasien



untuk



memeonitor



tanda dan gejala ISK 12. Berikan prifasi untuk eliminasi urin 13. Gunakan kekuatan sugesti dengan aliran air untuk memancing eliminasi 14. Stimulasi



reflek



kandung



kencing



dengan pemberian kompres dingan pada abdomen atau dengan mengalirkan air 15. Berikan waktu yang cukup untuk mengosongkan kandung kencing (10 menit) 16. Gunakan manuver Crede jika diperlukan 17. Masukkan kateter urin jika diperlukan 18. Monitor intake dan output cairan 19. Monitor



adanya



distensi



kandung



kencing dengan palpasi atau perkusi 20. Bantu toileting dengan jarak teratur jika



memungkinkan 21. Lakukan kateterisasi untuk residu, jika perlu 22. Lakukan kateterisasi secara intermiten jika perlu 23. Rujuk ke ahli urinary Continance jika perlu 6



Gangguan integritas



Setelah



kulit berhubungan



keperawatan, Gangguan integritas kulit



dengan tirah baring



tidak terjadi dengan kriteria hasil:



2. Hindari kerutan padaa tempat tidur



lama, kehilangan



 Integritas kulit yang baik bisa



3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih



sensori dan



dilakukan



tindakan Pressure Management



dipertahankan  Melaporkan



imobilitas



adanya



gangguan



yang mengalami gangguan



bernanah, kulit



proses



lembab, luka



mencegah



dekubitus



berulang



Ds: mengatakan



pasien  Mampu nyeri



perbaikan



kulit



terjadinya



4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali 5. Monitor kulit akan adanya kemerahan



 Menunjukkan pemahaman dalam



kemerahan,



pakaian yang longgar



dan kering



sensasi atau nyeri pada daerah kulit Do: adanya



1. Anjurkan pasien untuk menggunakan



dan sedera



6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien 8. Monitor status nutrisi pasien



melindungi



kulit



dan



mempertahankan kelembaban kulit



9. Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat



pada punggung



dan perawatan alami



10. Gunakan



pengkajian



risiko



untuk



 Status nutrisi adekuat



memonitor faktor risiko pasien (Braden



 Sensasi dan warna kulit normal



Scale, Skala Norton) 11. Inspeksi kulit terutama pada tulangtulang yang menonjol dan titik-titik tekanan ketika merubah posisi pasien. 12. Jaga kebersihan alat tenun 13. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian tinggi protein, mineral dan vitamin 14. Monitor serum albumin dan transferin



DAFTAR PUSTAKA



Batticaca, F. B. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Junita.



2013. Diagnosa dan Penatalaksanaan Cedera Sevikal Medula Spinalis. Jurnal Biomedik : Bagiam Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.



Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta. Muttaqin, A. (2008). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Smelzter, suzamne C. 2001. Keperawatan Medical Bedah, ed. 8 Vol. 2. Jakarta : EGC Wilkinson, judith M. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan : Diagnosa Nanda, Intervensi NIC, Kriteria hasil NOC ed. 9. Jakarta : EGC