Standar Prosedur Core Logging Oleh Wellsite - Field Geologist [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1.



Persiapan kerja Baca dan pahami Standard Job Sheet logging terlebih dahulu, untuk mengetahui perlengkapan apa saja yang dibutuhkan dan safety apa saja yang harus ditaati.



2.



Pengecekan collar, hole id dan deposit Lakukan pengecekan sample meliputi collar, hole id dan deposit untuk mencegah tertukarnya sample. Jangan lupa untuk menuliskan nama logger dan tanggal logging untuk melakukan konfirmasi di kemudian hari. Check juga urutan meteran sample dan yakinkan bahwa core box sudah disusun secara berurut dan rapi untuk mempermudah proses logging dan mencegah kemungkinan urutan sample terbalik.



3.



Koreksi recovery actual Sebelum memulai pekerjaan, lakukan koreksi terhadap core recovery terlebih dahulu. Core recovery pada logging tidak harus sama dengan core recovery dari core loss form. Core recovery pada logging harus ditekankan pada kualitas data yang akan dihasilkan dan mempertimbangkan factor geoevaluasi.



4.



Layer general Lihat secara “general” profil laterit dari hole yang akan di logging. Tentukan terlebih dahulu batas Limonite, Saprolite dan Bedrock sebelum menentukan break geologinya.



5.



Break geologi Lakukan break geologi pada zona-zona yang memang memiliki perbedaan kharakter yang jelas dan menerus. Untuk kharakter yang tidak menerus (hanya setempat-setempat) tidak perlu di lakukan break geologi. Perhatikan baik-baik pada saat melakukan break geology, jangan melakukan break pada sample dengan panjang < 15cm (minimal interval 15cm), karena tidak akan memenuhi syarat representative data sehingga data tersebut tidak dapat dipakai, atau dinyatakan sebagai error. Break geologi minimal juga harus memiliki core recovery > 15% (minimal recovery 15%). Jika material memiliki length atau core recovery yang lebih kecil, maka tidak perlu di break (digabungkan dengan material lain yang lebih dominant). Jika diperlukan, sample boleh di split (harus rapi) untuk dilihat bagian dalamnya.



6.



Pemotretan Lakukan pemotretan secara baik dan hati – hati sehingga : kualitas foto terjamin (cukup terang untuk di lakukan analisa, dan semua bagian sample terlihat / tidak terpotong.), tidak ada sample / core box yang terlewati, yakinkan tidak ada foto yang terhapus / tertumpang. Pastikan dulu kualitas foto sebelum melakukan aktivitas logging.



7.



Pengisian kolom From – To. Perhatikan baik-baik meterannya, jangan pernah dilakukan generalisasi atau pembulatan karena ingin memudahkan perhitungan. Catat meteran apa adanya. Gunakan mistar atau meteran untuk mengukur setiap intraval. Pengisian kolom From – To pada area yang mengalami swelling ataupun loss, harus memenuhi kaidah sesuai dengan perhitungan core recovery. (Untuk lebih jelasnya lihat point 9, kolom From – To menyesuaikan panjang interval run hasil perhitungan)



8.



Pengisian kolom Length. Pada umumya Length dapat diperoleh dari mengukur panjang sample dalam satu break (pada kondisi biasa, yaitu tidak mengalami swelling maupun loss). Penulisan dan pengisian kolom ini harus benar-benar teliti dan berhati-hati karena kesalahan dan pembulatan akan menyebabkan perbedaan nilai Tonnage Factor yang cukup significant. Pada kondisi khusus (terjadi swelling dan loss), kolom length harus dihitung dengan menggunakan kaidah seperti pada perhitungan core recovery. (Untuk lebih jelasnya lihat point 9, kolom Length menyesuaikan panjang interval run hasil perhitungan)



9.



Pengisian Recovery Length. Secara sederhana, Core Recovery perhitungan :



length



diperoleh dengan



melakukan



Core Recovery = Panjang sample yang diperoleh (Actual length) Panjang run (Actual run) Dengan pertimbangan terjadinya extrusion pada material, core recovery disini akan selalu memberikan nilai yang over estimated. Persentase dari “over estimated” akan di study lebih lanjut. Recovery ditulis tidak dalam persen, melainkan dalam bentuk bilangan bulat desimal, artinya recovery 100% akan ditulis sebagai 1, sedangkan recovery 90% akan ditulis 0.9. Perhatikan baik-baik pada saat penulisan core recovery. Jika dalam 1 meter sample terdapat lebih dari 1 jenis material yang memiliki karakter yang berbeda dan memiliki total Recovery length yang tidak sama dengan 1 (bisa lebih bisa kurang), tentukan material mana yang paling mungkin untuk terjadi “loss” (Recovery 1). Jika semua material dalam meteran tersebut memungkinkan terjadinya loss dan swelling, maka core recovery-nya dianggap sama, yaitu core recovery totalnya. Jika dalam satu meter hanya terdapat sebagian saja material yang mungkin loss atau swelling, sedangkan yang lainnya tidak mungkin untuk loss dan swelling, maka perlu dilakukan perhitungan core recovery untuk masing-masing jenis material.



Untuk material yang tidak mungkin terjadi loss dan swelling boulder), maka material tersebut akan memiliki recovery = 1.



(misal:



Untuk material yang mungkin terjadi loss dan swelling (yaitu: clay material and Soft material) maka core recovery harus dihitung dengan rumus perhitungan seperti berikut ini : Contoh perhitungan : Jika Soft material Loss 5



Loss 6



Hard Material Soft Mat erial



8 9



Hard Material



Soft Material



6 7



5.90



5.50



Hard Material



Loss



Hard Material



8



Soft Material Soft Material



Loss



1. Dari meteran 5 ke 6 Diketahui: Actual length Soft material (SM) = 50 cm Actual length Hard material (HM) = 40 cm Loss = 10 cm Total run = 1m Total recovery length 1 meter = 0.9 Maka jika sample di break pada batas Soft material dan Hard material, maka Recovery length masing-masing sample adalah sebagai berikut: Rec. SM (diasumsikan tidak loss) = 50 cm / 50 cm = 1 Rec. HM (diasumsikan loss) = 40 cm / (1m – 50cm) = 40 cm / 50 cm = 0.80 2. Dari meteran 7 ke 8 diketahui : Actual length Soft material (SM) = 40 cm Actual length Hard material (HM) = 50 cm Loss = 10 cm Total run = 1m Total recovery length 1 meter = 0.9 Maka jika sample di break pada batas Soft material dan Hard material, maka Recovery length masing-masing sample adalah sebagai berikut: Rec. SM (loss) = 40 cm / (1m – 50cm) = 40 cm / 50 cm = 0.80 Rec. HM (tidak loss) = 40 cm / 40 cm = 1



10



3. Dari meteran 9 ke 10 diketahui : Actual length Hard material (HM) = 40 cm Actual length Soft material (SM) = 50 cm Loss = 10 cm Total run = 1m Total recovery length 1 meter = 0.9 Maka jika sample di break pada batas Soft material dan Hard material, maka Recovery length masing-masing sample adalah sebagai berikut: Rec. HM (tidak loss) = 40 cm / 40 cm = 1 Rec. SM (loss) = 40 cm / (1m – 50cm) = 40 cm / 50 cm = 0.80



Contoh perhitungan : Jika Soft material swelling 5.40



5



5.60



Soft Material (A1)



Hard Material (B)



Soft Material (A2)



6



Soft Material (A2)



6 7



1. Dari meteran 5 ke 6 Diketahui: Actual length Soft Material (SM) A1 = 40 cm Actual length Soft Material (SM) A2 = 80 cm Actual length Hard Material (HM) = 20 cm (diasumsikan tidak swelling) Total run = 1m Total recovery length 1 meter = 1.4 Actual run yang di tempati Soft Material A = 100 cm – 20 cm = 80 cm Actual length total untuk soft material A = 40 cm + 80 cm = 120 cm Maka jika sample di break pada batas Soft material A1 dan Hard material B, dan Hard Material (B) dengan soft material (A2), maka Recovery length masing-masing sample adalah sebagai berikut: Tentukan dulu interval masing-masing Soft material A1 dan A2 :



7



Interval (SM) A1 = (SM) A1 actual length X Actual run Soft Material A Actual length total SM (A) = (40cm / 120 cm) x 80 cm = 0.3333 x 80 cm = 26.67 cm . Recovery (SM) A1 = (SM) A1 Interval (SM) A1 = (40 cm / 26.67 cm) = 1.5 X Actual run Soft Material A Interval (SM) A2 = SM) A2 actual length Actual length total SM (A) = (80cm / 120 cm) x 80 cm = 0.6667 x 80 cm = 53.33 cm (SM) A2 . Recovery (SM) A2 = Interval (SM) A2 = (80 cm / 53.33 cm) = 1.5 5.80



5



(HM)



Soft Material (SM) 6



(Contoh Kasus I)



Hard Material (HM) (30 cm)



6



Soft Material (SM) Hard Material (HM) (50 cm)



7



7



Soft Material (SM)



Hard Material (HM) (50 cm) Soft Material (SM) (30 cm)



(Contoh Kasus II)



8



( Contoh Kasus 3 )



2. Dari meteran 5 ke 6 Diketahui ( Contoh Kasus I ) Actual length Soft Material (SM) = 80 cm Actual length Hard Material (HM) = 50 cm (tidak swelling) Total run = 1m Total recovery length 1 meter = 1.3 Actual run yang ditempati Soft Material (SM) = 100 cm – 50 cm = 50 cm Maka jika sample di break pada batas Soft material A dan Hard material , maka Recovery length masing-masing sample adalah sebagai berikut: Recovery Soft material (SM) = Actual length (SM) /Actual run (SM) = 80 cm / 50 cm = 1.6 Recovery Hard Material (HM) = Actual length (HM) / Actual run (HM) = 50 cm / 50 cm = 1



3. Dari meteran 5 ke 6 Diketahui ( Contoh Kasus II ) Kasus II dapat kita tentukan recovery-nya dengan cara yang sama dengan Contoh kasus I Actual length Soft Material (SM) = 100 cm (swelling) Actual length Hard material (HM) = 50 cm (tidak swelling) Total run = 100 cm Recovery total = 1.5 Actual run HM = 50 cm Actual run SM = Total run – Actual run HM = 100 cm – 50 cm = 50 cm Recovery HM = Actual length HM / Actual run HM = 50 cm / 50 cm = 1 Recovery SM = Actual length SM / Actual run SM = 100 cm / 50 cm = 4. Dari meteran 5 ke 6 Diketahui ( Contoh Kasus II ) Kasus III dapat kita tentukan recovery-nya dengan cara yang sama dengan Contoh kasus II Actual length Hard material (HM) = 50 cm (tidak swelling) Actual length Soft Material (SM) = 100 cm (swelling) Total run = 100 cm Recovery total = 1.5 Actual run HM = 50 cm Actual run SM = Total run – Actual run HM = 100 cm – 50 cm = 50 cm Recovery HM = Actual length HM / Actual run HM = 50 cm / 50 cm = 1 Recovery SM = Actual length SM / Actual run SM = 100 cm / 50 cm = 2 Contoh perhitungan : Jika Soft material tidak loss dan tidak ada swelling 5.40



5 Soft Material A (SM A)



5.70 Hard Material (HM)



6



Soft Material (SM)



7



Hard Material (HM)



6



Soft Material B (SM B) 7 8



1. Dari meteran 5 ke 6 Diketahui Actual length Soft Material A (SM A) = 40 cm Actual length Hard material (HM) = 30 cm Actual length Soft Material B (SM B) = 30 cm Total run = 100 cm Recovery total = 1 Pada kondisi core seperti ini ( tanpa loss dan tanpa swelling), maka actual run untuk masing-masing material di asumsikan sama dengan actual run-nya, perhitungan recovery masing-masing material adalah : Recovery HM = Actual length HM / Actual run HM = 30 cm / 30 cm = 1 Recovery SM A = Actual length SM A / Actual run SM A = 40 cm / 40 cm = 1 Recovery SM B = Actual length SM B / Actual run SM B = 30 cm / 30 cm = 1 Perhitungan yang sama berlaku juga untuk meteran 6 ke 7 dan 7 ke 8. 10. Pengisian Material Code Material code diisi berdasarkan jenis material (ekuivalen dengan layer-layer yang mungkin ada pada laterite profile), yaitu: 1. LIM untuk limonite material 2. SAP untuk saprolite material 3. BLD untuk boulder material (terletak di dalam layer LIM atau SAP) 4. BRK untuk bedrock material (terletak pada meteran terakhir) Untuk Transition Zone dituliskan Limonite dan beri keterangan pada kolom remark/comment sebagai transition Zone. 11. Pengisian Rock Code Rock code diisi berdasarkan Nama Batuan actual yang ditemukan dalam tiap break geologi, yaitu: 1. HRZ untuk harzburgite 2. DUN untuk dunite 3. SRP untuk serpentinite 4. PXT untuk piroksenit 5. SIL untuk silica 6. LHZ untuk lherzolite 7. PDT untuk peridotite (jika tidak dapat dibedakan antara HRZ dan LHZ) 8. CLY untuk clay 9. CGL untuk conglomerate 10. GAB untuk Gabro (khusus pada daerah Bahodopi) 11. DBS untuk Diabase (khusus pada daerah Bahodopi)



Jika logger menemukan batuan lain yang tidak dapat dikategorikan sebagai salah satu Nama Batuan di atas, diharap segera memberitahu Geo Evaluasi untuk diadakan study dan pemberian nama standard. 12. Pengisian Grain Size (Igneous Grain Size) Grain size diisi dengan mengkategorikan ukuran butir mineral batuan (baik yang sudah lapuk dan individual maupun yang masih fresh dan interlocking) ke dalam: (International Standard) 1. fg untuk fine grain (less than 1 mm but not glassy) 2. mg untuk medium grain (1-5 mm) 3. cg untuk coarse grain (5 – 30 mm) 4. vcg untuk very coarse grain (greater than 30 mm) 13. Pengisian Tingkat Serpentinisasi Tingkat serpentinisasi diisi di semua intercept / break geologi pada hole-hole yang mencirikan adanya poses serpentinisasi. Tingkat serpentinisasi tidak hanya ada pada batuan berukuran kasar, tetapi juga memungkinkan untuk hadir di batuan yang berukuran halus. Tingkat serpentinisasi pada kolom ini diisi berdasarkan kenampakan visualnya saja (warna, kelimpahan mineral hasil proses serpentinisasi, tekstur, dll) jangan dicampur adukkan dengan pembacaan dari magsus. Tingkat serpentinisasi diisi dengan code: 1. nil untuk tidak adanya proses serpentinisasi 2. low untuk tingkat serpentinisasi rendah 3. med untuk tingkat serpentinisasi menengah 4. hi untuk tingkat serpentinisasi tinggi. Untuk kalibrasi tingkat serpentinisasi berdasarkan pengamatan visual, setiap logger diwajibkan menguasai materi training petrography dari Jacques Babineau. 14. Pengisian Tingkat Weathering Tingkat weathering tidak ada kaitannya dengan ukuran butir, meskipun untuk material yang halus pada umumnya memiliki tingkat weathering yang tinggi. Di beberapa area, terutama yang mengalami serpentinisasi tinggi dan memiliki ukuran butir halus bisa memiliki tingkat weathering yang rendah. Dengan demikian, tingkat weathering hanya bisa diukur dengan cara melihat warna visual, kelimpahan mineral hasil weathering, dan tekstur pada batuan. Tingkat weathering dituliskan di intercept “hard material” saja untuk hole yang tidak mencirikan proses serpentinisasi, atau di seluruh intercept (break geologi) untuk hole yang mencirikan proses serpentinisasi.



Tingkat weathering dituliskan dengan code: (modifikasi dari klasifikasi weathering menurut Evert Hoek) 1. “1” untuk tingkat pelapukan tinggi (pelapukan sempurna, tekstur sisa batuan yang fresh sudah jarang ditemukan, terdapat tanda-tanda slickensided, dan kehadiran mineral clay) 2. “2” untuk tingkat pelapukan menengah (pelapukan belum sempurna, tekstur sisa batuan yang fresh masih banyak/melimpah ditemukan, terdapat tanda-tanda alterasi mineral hasil proses pelapukan) 3. “3” untuk tingkat pelapukan rendah (pelapukan belum terjadi, atau pelapukan baru pada tahap awal (hanya terdapat pada permukaan batuan), fisik batuan masih keras) 15. Pengisian Color Code Color code diisi dengan warna visual yang tampak pada batuan. Warna batuan dapat terdiri dari: 1. blk untuk black (hitam) 2. brn untuk brown (coklat) 3. grn untuk green (hijau) 4. gry untuk gray (abu-abu) 5. red untuk red (merah) 6. yel untuk yellow (kuning) 7. wht untuk white (putih) Warna batuan pada umumnya mencirikan kelimpahan mineral tertentu. Logger diharapkan memiliki basic petrology laterite yang cukup kuat. (semua literature disarankan, diskusi perlu dilakukan untuk kalibrasi standard penentuan warna batuan). 16. Pengisian Structure Structure terdiri dari structure primer dan structure sekunder. Structure primer menggambarkan structure major/utama pada batuan, sedangkan structure sekunder menggambarkan structure minor pada batuan. Contoh: 1. Structure primer berupa joint, structure sekunder berupa vein silica. 2. Structure primer berupa vein, structure sekunder “tidak ada”. Kode pada kolom Structure adalah: 1. bxk untuk boxwork 2. ven untuk vein 3. brc untuk brecciated 4. jnt untuk joint 5. frc untuk fracture 6. dbs untuk diabasic structure bisa diisi pada semua intercept, baik fine material maupun coarse material, selama intercept tersebut masih memberikan kenampakan structure.



17. Pengisian Mineral Mineral diisi berdasarkan kelimpahan yang ada pada batuan. Untuk nama mineral yang melimpah tuliskan di kolom “Primary”, cukup melimpah di kolom “Sec.”, dan sedikit melimpah di kolom “Tertiary”. Secara umum, mineral yang terdapat di SPA, dan memungkinkan untuk terlihat secara megaskopis adalah: 1. chl untuk chlorite 2. chr untuk chrome 3. grt untuk garnierite 4. mgt untuk magnetite 5. mng untuk manganese wad 6. opx untuk orthopiroxen (bronzite/enstatite) 7. ser untuk serpentine 8. sil untuk silica 9. tlc untuk talc 10. mgh untuk maghemite 11. hmt untuk hematite 12. asb untuk asbolite 13. gth untuk goethite 14. mgs untuk magnesite 15. non untuk nontronite 16. olv untuk olivin 17. prx untuk piroksin 18. mic untuk mica 19. crb untuk carbon 20. crp untuk crisoprast 21. ast untuk asbestos 22. cry untuk crysotile 23. cob untuk cobalt 24. kal untuk Kaolin 25. brz untuk bronzite 26. mnt untuk montmorilonite 27. lpc untuk lepidocrosite 28. plg untuk plagioklas 29. fel untuk feldspar 30. mgn untuk mangan 31. ant untuk Antigorite 18. Pengisian Magnetic Susceptibility Mag. Suscept. dihitung disemua boulder yang terdapat di setiap intercept yang masih memungkinkan / memenuhi syarat untuk pengukuran magsus.



Nilai magsus dituliskan sesuai dengan angka yang tertera pada bacaan alat, jangan di generalisasikan kedalam nilai kualitatif. Nilai magsus diperoleh dengan melakukan average dari 3 kali pengukuran pada titik yang berbeda. Perhatikan syarat-syarat pengukuran magsus pada batuan. 19. Pengisian Fracture Kolom fracture diisi dengan jumlah open fracture / joint / kenampakan struktur yang berpola, baik yang sudah maupun yang belum terisi oleh mineral sekunder. Fracture ini dihitung pada suatu zona boulder yang menerus, selama ciri-ciri adanya fracture masih terlihat. Kedua ujung dari rangkaian boulder tidak dihitung sebagai fracture. Fracture diisi disetiap intercept yang memiliki rangkaian boulder, dengan ketentuan sebagai berikut: 1.



Fracture dihitung dalam satu rangkaian boulder secara keseluruhan, selama fracture tersebut masih dapat diidentifikasi dengan jelas. Artificial



Fracture



Gambar: 11 cm



25 cm 24 cm 40 cm 1 2 3 Jumlah fracture dari boulder diatas adalah : 3 Fracture 5 cm 9 cm 8 cm 5 cm 1 2 3 Jumlah fracture dari boulder diatas adalah : 3 Artificial Fracture 11 cm 1



15 cm 2



15 cm 3 4 5



19 cm 6 7



30 cm



15 cm 8



Jumlah fracture dari boulder diatas adalah : 8 2. Jika rangkaian boulder yang mempunyai fracture dipisahkan oleh soft material, maka perhitungan fracture dilakukan secara terpisah antara rangkaian boulder yang satu dengan rangkaian boulder yang lainnya. Gambar:



rangkaian boulder 1



rangkaian boulder 2



Fracture 5 cm Soft material 2 cm 9 cm 8 cm 17 cm 5 cm 5 cm 1 2 3 45 Jumlah fracture dari boulder diatas adalah : 5



3.



Untuk fracture yang sangat intensif, sehingga meski teridentifikasi sebagai fracture logger masih mengalami kesulitan dalam menghitung jumlah fracture, diberi angka konstan (konstanta) 100.



Gambar:



Intensif Fracture



Jumlah fracture dari boulder diatas adalah : 100 4.



Untuk fracture yang sangat intensif, yang terletak diantara 2 rangkaian boulder maka fracture tersebut diperlakukan sama seperti soft material pada point 2.



Gambar:



rangkaian boulder 1



rangkaian boulder 2



Fracture 2 cm 5 cmIntensif Fracture 9 cm 8 cm 17 cm 5 cm 5 cm 1 2 3 45 Jumlah fracture dari boulder diatas adalah : 5 Perhatikan baik-baik apakah fracture berasal dari struktur atau artificial selama pemboran berlangsung. Struktur biasanya dicirikan dengan kenampakan yang berpola, atau sudah mengalami weathering, atau terisi oleh mineral-mineral sekunder. 20. Pengisian Boulder > 10 cm Kolom Boulder > 10 cm diisi dengan total panjang boulder yang lebih besar dari 10 cm. Untuk boulder < 10 cm tidak perlu dikalkulasikan. Boulder > 10 cm diisi disetiap intercept yang memiliki boulder > 10 cm. Contoh : Fracture



Fracture



Hard Material Soft Material 5 cm



30 cm



15 cm 5 cm



5 cm 25 cm



20 cm



Artificial



Pjg Bld = 45 cm



30 cm 30 cm



Pjg Bld = 60 cm



40 cm



2 cm 25 cm



25 cm



Pjg Bld = 65 cm



15 cm



Pjg Bld = 85 cm



21. Pengisian Comment Kolom Comment diisi dengan seluruh informasi geologi baik yang bersifat unik maupun yang berpola. Intercept dimana “relict texture (tekstur sisa)” pertama kali terlihat sebaiknya diberi keterangan pada kolom comment-nya. Keberadaan mineral-mineral atau struktur atau tekstur yang tidak lazim terdapat pada profil laterite sebaiknya juga diidentifikasi pada kolom comment, misal keberadaan mineral lempung sediment dalam kelimpahan yang cukup besar, atau boulder dari batuan bukan ultramafic. Type batuan WT 1, WT 2 dan WT 3 juga dapat dicantumkan dalam comment di setiap rangkaian boulder yang ada (tiap intercepth). Geologist logging sebaiknya memperhatikan kolom comment ini. Karena, besar kemungkinan terdapat informasi geologi yang tidak dapat dimasukkan kedalam kolom-kolom sebelumnya tetapi memiliki arti yang penting dalam evaluasi geologi. Untuk intercept yang memiliki informasi geologi yang sama pada kolom comment-nya, sebaiknya ditulis hanya di intercept awal dimana informasi tersebut pertama kali ditemukan dan intercept terakhir dimana informasi tersebut tidak nampak kembali (membentuk satu series informasi geologi, series ini memungkinkan untuk lebih dari satu). Sebagai panduan, logger diharapkan mengenal geology general Sorowako. Geological map terlampir dalam standard logging procedure. Ketidaksesuaian antara data coring dengan general geology Sorowako bukan merupakan suatu kesalahan dalam logging melainkan suatu informasi baru yang nantinya dapat digunakan untuk meng-update geology general Sorowako. Ketidaksesuaian ini merupakan informasi geology yang harus dicatat oleh logger. Comment harus disimpulkan menjadi satu kalimat di baris terakhir sebagai resume dari seluruh informasi geologi yang diketahui. Contoh: Resume comment Profile laterite lengkap dan berurut, relict texture mulai terlihat pada meteran 22-23, secara umum batuan pernah mengalami struktur yang intensive, banyak terdapat silica pada meteran 10-18, vein silica dan garnierite banyak mengisi rekahan batuan. Gejala serpentinisasi terlihat pada bidang fracture, type batuan WT 2 (tdk sesuai dengan General Map), protolith didominasi oleh Harzburgite, terdapat boulder conglomerate pada meteran 26-27. dll.



Penulisan comment diijinkan untuk menggunakan steno/singkatan, untuk singkatan yang tidak umum harap didiskusikan diantara logger dan dibuat standar abbreviation-nya. Lampiran 1. Koreksi Recovery Actual For all recoveries correction, it’s better to use Pipe or Splitter to make sure the volume is appropriate with drilling volume. MATERIAL SILIKA (GRAVEL SIZE)



RESULT



MATERIAL BOULDER / BEDROCK



RESULT



MATERIAL SAPROLITE + GRAVEL



RESULT



Lampiran 2. Tingkat Serpentinisasi (J. Babineau)



Lampiran 3. Contoh batuan



Brecciated Ultramafic Rock (fragment dan matriks terikat sangat kuat dan kompak)



Conglomerate Sediment (fragment dan matriks mudah lepas dan tidak kompak)



Konglomerat dan Brecciated Ultramafic rock memberikan kenampakan yang hampir sama. Untuk membedakan, perhatikan baik-baik tekstur, hubungan antar butir dan kekompakan batuan.



Fine Gabbro (dicirikan dengan tidak adanya / minimnya mineral olivine dan piroksen, digantikan oleh keberadaan mineral amphibole dan plagioklas)



Pegmatite (ukuran mineral sangat kasar (very coarse grain size), yaitu > 30 mm)



Chert (Warna merah, sangat kompak, banyak terdapat vein silika)



Chromite (Warna hitam, bentuk kristal original “cubic”, mempunyai struktur aggregate, berat jenis sangat tinggi)



Clay Sediment (Warna bervariasi, di SPA pada umumnya berwarna hitam dan merah, di beberapa tempat berwarna hijau tua).



Black Clay



Red Clay



Lampiran 4. Weathering Product minerals



Lampiran 5. Standard Color Code (disusun berdasarkan warna profile laterite di Sorowako Project Area (SPA))



Black Color (blk)



Brown Color (brn)



Green Color (grn)



Gray Color (gry)



Yellow Color (yel)



Red Color (red)



White Color (wht) White color is uncommon and already clear. High asbestos mineral content might give white color.



Lampiran 6. Classification and Nomenclature of Mafic and Ultramafic Rocks (Streckeisen,1976)