Studi Pemikiran Ali Asshobuni Dalam Kitab Rawai' Bayan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENAFSIRAN AYAT-AYAT HAID DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HUKUM (STUDI PEMIKIRAN ALI ASSHOBUNI DALAM KITAB RAWAI’ BAYAN) HALAMAN JUDUL



SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)



Oleh:



Rizqi Fi’ismatillah NIM. 53020150015



PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA



2019



PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama



: Rizqi Fi‘ismatillah



Nim



: 53020150015



Fakultas



: Ushuluddin, Adab dan Humaniora (FUADAH)



Program Studi : Ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir Menyatakan bahwa naskah skripsi saya berjudul ―Penafsiran Ayat-ayat Haid dan Implikasinya terhadap Hukum (Studi Pemikiran Ali Asshobuni dalam Kitab Rawai‘ Bayan)‖ adalah benar-benar hasil penelitian/karya saya sendiri, kecuali pada bagaian-bagian yang dirujuk sumbernya berdasarkan kode etik ilmiah dan bebas dari plagiarisme. Jika kemudian hari terbukti ditemukan plagiarisme, maka saya siap ditindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.



Salatiga, 4 September 2019 Yang menyatakan



Rizqi Fi‘ismatillah



ii



PERSETUJUAN PEMBIMBING



Setelah dikoreksi dan di perbaiki, maka skripsi saudarai: Nama



: Rizqi Fi‘ismatillah



Nim



: 53020150015



Fakultas



: Ushuluddin, Adab dan Humaniora (FUADAH)



Program Studi : Ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir Judul



:PENAFSIRAN AYAT-AYAT HAID DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HUKUM (STUDI PEMIKIRAN ALI ASSHOBUNI DALAM KITAB RAWAI‘ BAYAN



Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.



Salatiga, 4 September 2019 Pembimbing



Dr. H. Mubasirun. M. Ag NIP. 195902021990031001



iii



KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA Jalan Nakula Sadewa VA/No. 09 Salatiga 50721 Telp (0298) 323706 Fax. 323433 PENGESAHAN KELULUSAN Skripsi Saudara/i Rizqi Fi‘ismatillah dengan Nomor Induk Mahasiswa 53020150015 yang berjudul ―Penafisran Ayat-Ayat Haid dan Implikasinya Terhadap Hukum (Studi Pemikiran Ali Asshobuni dalam Kitab Rawai‘ Bayan‖ telah dimunaqosyahkan dalam Sidang Panitia Ujian Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga pada Selasa, 24 September 2019 dan telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir. Salatiga, 24 Muharam 1441 H 24 September 2019 M Panitia Ujian Ketua Sidang



Sekretaris Sidang



Dr. Benny Ridwan, M. Hum. NIP. 197305201999031006



Dr. H. Mubasirun M.Ag. NIP. 195902021990031001



Penguji I



Penguji II



Prof. Dr. H. Budiarjo, M.Ag. NIP. 195410021984031001



Dr. M. Ghufron, M.Ag. NIP.1972081420003121001



iv



MOTTO



‫فَِإنَّ َم ََّع الْعُ ْس َِّر يُ ْسًرا‬ Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS. al-Insyrah:5)



waktu seperti pedang jika engkau tidak memanfaatkannya dengan baik, maka ia akan memanfaatkanmu (HR. Muslim)



mulailah dari tempatmu berada gunakan yan gkau punya lakukan yang kau bisa (Arthur Ashe)



v



PERSEMBAHAN



Dalam perjuangan mengarungi lautan ilmu yang tidak bertepi, dengan keringat dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk mereka yang tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat: Kedua orang tua yang telah memberi kasih sayang yang tak terhingga, motivasi, dorongan, dan do‘a untukku hingga skripsi ini selesai. Teruntuk kakak-kakak yang semoga Allah jadikan insan sholeh-sholehah dan berbakti kepada kedua orang tua Teruntuk pula segenap keluarga, sahabat dan khususnya teman-teman IAT angkatan 2015 Dengan segala kekurangan dan dengan segala upaya dan usaha yang ada, penulis persembahkan tulisan ini untuk semua kalangan



vi



KATA PENGANTAR



‫بِ ْس ِمَّالل ِوَّالر ْْحَ ِنَّالرِحيم‬ Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT yang telah menurunkan kitab Al-Qur‘an sebagai petunjuk untuk umat manusia. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi akhir zaman yang telah menjelaskan Al-Qur‘an melalui ucapan, tindakan serta keteladan yang syafa‘atnya diharapkan oleh seluruh manusia di akhirat kelak, yakni Nabi Muhammad SAW, demikian pula kepada keluarga dan para sahabat beliau. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin bisa terselesaikan tanpa adanya bantuan dan dorongan baik moril maupun materil dari semua pihak yang telah membantu proses penyusunan skripsi ini. Berkat bantuan, saran dan motivasi dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.Oleh karena itu, sudah sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Rektor IAIN Salatiga, Prof. Zakiyudin, M.Ag. beserta segenap jajaranya. 2. Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN Salatiga, Dr. Benny Ridwan, M.Hum beserta jajaranya 3. Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir IAIN Salatiga, Tri Wahyu Hidayati, M.Ag. yang telah memberikan izin untuk penelitian dan penyusunan skripsi ini. 4. Dr. H. Mubasirun. M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing, memberi nasihat, arahan serta masukan-masukan yang sangat membantu penyusunan tugas akhir ini. 5. Seluruh dosen fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN Salatiga, terlebih dosen ilmu tafsir atas ilmu-ilmu dan warisan-warisan intelektual beliau curahkan dan mengantarkan penulis untuk berproses menjadi lebih baik lagi.



vii



6. Bapak Rofik selaku staf perpustakaan kampus dua IAIN Salatiga yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini. 7. Bapak Sadzali Marjan dan Ibu Siti Mukhibah tercinta yang tak pernah lelah mendo‘akan dan memberikan restunya untuk penulis agar tetap semangat dalam menuntut ilmu. 8. Kepada Mas Ulul dan Mba Sayin, Mba Lia dan Mas Reza, Mba Muna, beserta ponakan-ponakan yang lucu, yaitu: Naufal, Fia, Aghitsna dan Hilya yang selalu memberikan warna-warni kehidupan penulis selama ini. 9. Untuk semua guru-guru yang telah mendidik penulis hingga sekarang, terkhusus Ustadz Ahmad Darojat yang selalu membimbing ketika penulis kehilangan arah. 10. Teman-teman program studi ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir angkatan 2015 yang terus memberikan dukungan serta selalu meluangkan waktu untuk mendengarkan ocehan penulis di tengah-tengah perjalanan luar biasa



dalam menulis dan



menyelesaikan skripsi. Untuk semua yang masih berjuang, semoga semangat selalu tersemat dalam diri kita. Untuk mba Bicha selaku kakak tingkat yang selalu sabar dengan keluh kesahku. Untuk yang teman-teman seperjuangan yang telah wisuda (mb Fia, mb Dewi, mb Amanah, Kuni, Azim dan Adha) selamat menempuh di kehidupan nyata. Semoga kita semua termasuk orang yang sukses dunia akhirat, aamiin. 11. Keluarga Qaryah-Thayyibah yang selalu memberikan ruang bagi penulis, dan kepada Fani, mba Zulfa, Pak Jos, Riyanto yang biasa aku repotkan dalam penulisan skripsi ini. 12. Grup Muslimah mengaji yang memberikan segala macam ilmu, semoga untuk para admin, mba Fina, mba Liza dan semua anggotanya, semoga silaturahmi ini tetap selalu terjaga. 13. Terakhir, untuk semua pihak dan elemen yang secara langsung maupun tidak langsung dalam membantu menyelesaikan tulisan ini dari awal hingga proses penelitian hingga skripsi ini terselesaikan. viii



Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan dapat dipergunakan sebagaimana mesti. Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya.



Salatiga, 5 September 2019 Penulis



Rizqi Fi‘ismatillah



ix



ABSTRAK Skripsi ini hasil dari penelitian kepustakaan dengan judul ―Penafsiran AyatAyat Haid dan Implikasinya Terhadap Hukum (Studi Pemikiran Ali Asshobuni dalamn Kitab Rawai‘ Bayan)‖. Haid adalah suatu keadaan yang akan terus dialami oleh setiap wanita. Darah keluar dari kemaluan wanita pada kondisi sehat, bukan karena faktor persalinan ataupun pecahnya selaput keperawanan. Dibalik keluarnya darah haid tersebut ada aturan hukum islam yang timbul akibatnya, yakni berupa larangan-larangan yang terkait dengan ibadah maupun munakahah. Maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai persoalan-persoalan haid dan implikasinya terhadap hukum islam. Adapun rumusan masalah yang akan diajukan dalam penelitian ini ada tiga. Pertama, bagaimana prespektif-prespektif tentang haid? Kedua, bagaimana penafsiran Ali Asshobuni terhadap ayat-ayat haid dalam AlQur'an? Ketiga, apa implikasi hukum bagi wanita yang sedang mengalami haid? Dalam menyusun skripsi ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif. Data Primer yang digunakan itu menggunakan karya Ali Asshobuni yang berjudul Rawai‘ Bayan. Sementara data sekunder yang digunakan yaitu menggunakan karya literatur lainnya yang relevan dengan judul skripsi ini. Adapun teknik pengumpulan data menggunakan teknik library research (penelitian kepustakaan), sedangkan metode analisisnya adalah metode deskriptif analisis. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Ali Asshobuni melarang wanita yang sedang mengalami haid masuk masjid, hal ini sependapat dengan Imam Abu Hanifah. Namun melihat kondisi sekarang, yang sudah ditemukan cara yang efisien untuk wanita yang sedang haid agar darah tidak tercecer ke mana-mana, maka penulis membolehkan wanita yang sedang haid masuk masjid. Dan hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah yang menceritakan bahwa ada wanita yang tinggal di dalam masjid, dan tidak ditemukan Nabi SAW memerintahkan pada wanita tersebut keluar dari masjid ketika haidnya tiba. Kata Kunci: Penafsiran, Ayat-Ayat, Haid, Implikasi, Hukum



x



PEDOMAN TRANSLITERASI Pedoman transliterasi huruf (pengalihan huruf) dari huruf Arab ke huruf Latin yang digunakan adalah hasil Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158 Tahun 1987 atau Nomor 0543 b/u 1987, tanggal 22 Januari 1988, dengan melakukan sedikit modifikasi untuk membedakan adanya kemiripan dalam penulisan. A. Penulisan huruf : No 1.



Huruf Arab



Nama



Huruf Latin



‫ا‬



Alif



Tidak dilambangkan



ٕ.



‫ب‬



Ba‘



B



ٖ.



‫ت‬



Ta



T



ٗ.



‫ث‬



ṡa







٘.



‫ج‬



Jim



J



ٙ.



‫ح‬



Ḥa







ٚ.



‫خ‬



Kha



Kh



ٛ.



‫د‬



Dal



D



ٜ.



‫ذ‬



ẑal







ٔٓ.



‫ر‬



Ra



R



ٔٔ.



‫ز‬



Za



Z



ٕٔ.



‫س‬



Sin



S



ٖٔ.



‫ش‬



Syin



Sy



ٔٗ.



‫ص‬



Ṣad







ٔ٘.



‫ض‬



Ḍad







xi



ٔٙ.



‫ط‬



Ṭa‘







ٔٚ.



‫ظ‬



Ẓa







ٔٛ.



‫ع‬



‗ain



‘ (koma terbalik di atas)



ٜٔ.



‫غ‬



Gain



G



ٕٓ.



‫ف‬



Fa‘



F



ٕٔ.



‫ق‬



Qaf



Q



ٕٕ.



‫ك‬



Kaf



K



ٕٖ.



‫ل‬



Lam



L



ٕٗ.



‫م‬



Mim



M



ٕ٘.



‫ن‬



Nun



N



ٕٙ.



‫و‬



Wawu



W



ٕٚ.



‫ه‬



Ha‘



H



ٕٛ.



‫ء‬



Hamzah



‗ (apostrof)



ٕٜ.



‫ي‬



Ya‘



Y



َََّ ِ



Fathah



Ditulisَّ “ a “



Kasroh



Ditulisَّ “ i “



ََُّ



Dhammah



Ditulis ََّّ “ u “



B. Vokal:



C. VOKAL PANJANG:



xii



‫ا‬+ِ



Fathah + alif



Ditulis “ ã “



‫جاهلية‬



Jãhiliyah



‫ى‬+ِ



Fathah + alif Layin



Ditulis “ ã “



‫تنسى‬



Tansã



‫ي‬+ِ



Kasrah +ya‘ Ditulis “ ỉ “ Mati Dlammah + Ditulis “ ủ “ wawu mati



‫حكيم‬



Hakỉm



‫فروض‬



Furủd



Ditulis “ ai “



‫بينكم‬



Bainakum



Ditulis “ au “



‫قول‬



Qaul



‫و‬+ِ



D. Vokal rangkap:



‫ا‬+ِ ‫و‬+ِ



Fathah + ya‘ mati Fathah + wawu mati



E. Huruf rangkap karena tasydid (



ِ



) ditulis rangkap:



‫د‬



Ditulis ” dd “



‫عدة‬



‗Iddah



‫ن‬



Ditulis “ nn “



‫منا‬



Minna



F. Ta’ Marbuthah: 1. Bila dimatikan ditulis h :



‫حكمة‬



Hikmah



‫جزية‬



Jizah



(ketentuan ini tidak berlaku untuk kata-kata bahasa arab yang sudah diserap kedalam bahasa indonesia) 2. Bila Ta‘ Marbuthah hidup atau berharakat maka ditulis t :



xiii



‫زكاةالفطر‬ ‫حياةاالنسان‬



Zakãt al-fiṭr Ḥayãt al-insãn



G. Vokal pendek berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan Apostrof (‘)



‫أأنتم‬



A‘antum



‫أعدد‬



U‘iddat



‫لئن شكرتم‬



La‘insyakartum



H. Kata sandang alif +lam



I.



Al-qamariyah



‫القران‬



al-Qur‘ãn



Al-syamsiyah



‫السماء‬



al-samã‘



Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat: Ditulis menurut bunyi atau pengucapannya



‫ذوي الفروض‬



Ẑawi al-furủd



‫أهل السنة‬



Ahl al-sunnah



xiv



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...................................................................................................... i PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .................................................................... ii PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................................ iii PENGESAHAN KELULUSAN .................................................................................. iv MOTTO ........................................................................................................................ v PERSEMBAHAN ........................................................................................................ vi KATA PENGANTAR ................................................................................................ vii ABSTRAK .................................................................................................................... x PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................................. xi DAFTAR ISI ............................................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1 A. Latar Belakang ................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 9 4.



Tujuan Penelitian ............................................................................................. 10



5.



Manfaat Penelitian ........................................................................................... 10



6.



Kerangka Teori................................................................................................. 10



7.



Kajian Pustaka.................................................................................................. 13



8.



Metode Penelitian............................................................................................. 16



9.



Sistematika penulisan ....................................................................................... 18



BAB II HAID DALAM BERBAGAI PRESPEKTIF ................................................. 20 A. Haid Dalam Prespektif Hukum Islam .............................................................. 20 1.



Pengertian Haid ............................................................................................ 20



2.



Usia Seorang Mengalami Haid ..................................................................... 23



3.



Masa Minimal dan Maksimal Haid .............................................................. 24



4.



Jenis Dan Sifat-Sifat Darah Haid ................................................................. 26



5.



Hal-Hal di Luar Kebiasaan Haid .................................................................. 28



B. Haid Dalam Prespektif Medis .......................................................................... 31



xv



1.



Pengertian Haid (menstruasi) ....................................................................... 31



2.



Kandungan Darah haid (menstruasi) ............................................................ 32



3.



Siklus Haid (menstruasi) .............................................................................. 33



4.



Gangguan Haid (menstruasi) ........................................................................ 36



5.



Dampak Berhubungan Seks Saat Menstruasi ............................................... 40



BAB III ALI ASSHOBUNI DAN PENAFSIRAN AYAT-AYAT HAID ................. 44 A. Riwayat Singkat Tentang Ali Asshobuni ......................................................... 44 1.



Tempat Kelahiran dan Pendidikan Ali Asshobuni ....................................... 44



2.



Karya Ali Asshobuni .................................................................................... 47



B. Tafsir Rawai‘ Bayan ........................................................................................ 48 1.



Deskripsi Umum Tentang Tafsir Rawai‘ Bayan .......................................... 48



2.



Metodologi Tafsir Rawai‘ Bayan ................................................................. 51



3.



Sistematika Tafsir Rawai‘ Bayan ................................................................. 54



C. Penafsiran Ali Asshobuni Terhadap Ayat-Ayat Haid Dalam Al-Qur‘an......... 55 1.



Surat al Baqarah Ayat 222............................................................................ 55



2.



Surat al-Baqarah Ayat 228 ........................................................................... 70



3.



Surat an-Nisa Ayat 43 .................................................................................. 82



BAB IV IMPLIKASI HUKUM ISLAM BAGI WANITA YANG SEDANG MENGALAMI HAID ................................................................................................. 98 A. Polemik Menyetubuhi Wanita Haid ................................................................. 98 B. Polemik Iddah Wanita Haid ........................................................................... 107 C. Polemik Wanita Haid Masuk Masjid ............................................................. 113 D. Polemik Wanita Haid Membaca dan Memegang Al-Qur‘an ......................... 119 BAB V PENUTUP ................................................................................................... 125 A. KESIMPULAN .............................................................................................. 125 B. SARAN .......................................................................................................... 126 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 128 DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................................. 133



xvi



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Al-Qur‘an memiliki muatan yang tidak terbatas pada tema atau kajian tertentu, tetapi berisi keseluruhan sistem hidup. Al-Qur‘an mencakup permasalahan yang utuh, mulai dari perintah dan larangan, hak dan kewajiban, kejahatan dan hukuman, ajaran tentang masalah pribadi dan sosial dan lain-lain. Cara Al-Qur‘an mengungkapkan isinya juga bervariasi, seperti melalui sindiran, peringatan, teguran bahkan ancaman. Dibandingkan dengan kitab yang lainnya, Al-Qur‘an merupakan kitab yang paling sempurna. Hal ini dikarenakan Al-Qur‘an berfungsi sebagai burhan, huda dan furqon adalah juga sebagai penyempurna kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur‘an sempurna kandungannya yang mencangkup kehidupan secara fisik maupun psikis. Hukumnya mencangkup hal yang ushul (pokok-pokok aqidah) maupun yang furu (cabang-cabang amaliyah). Sebagaimana firman Allah Ta‘ala dalam surat al-Maidah ayat 3:



ِ ‫الْي ومَّأَ ْكم ْلتَّلَ َُّكم‬ ...‫َّدينَ ُك َّْم‬ ْ ُ َ ََْ



Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu...1



Salah satu kesempurnaan Al-Qur‘an adalah adanya aturan dan hukum-hukum bagi wanita yang sedang haid. Haid adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita pada kondisi sehat, bukan karena faktor persalinan ataupun pecahnya



1



Departemen Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, al-Qur’an dan Terjemahannya (Medinah Munawwarah: Mujamma‘ al-Malik Fahd Ii Thiba‘at al-Mush-haf, 1415), a. QS. al-Maidah: 3.



1



selaput keperawanan.2 Haram hukumnya berhubungan badan saat wanita sedang mengalami haid, kecuali setelah berhentinya darah haid dan mandi dengan niat bersuci terlebih dahulu.3 Larangan Allah dalam ayat ini tentu hanya bisa diaplikasikan kepada wanita yang sedang dalam ikatan pernikahan. Adanya aturan mengenai hukum bagi wanita yang sedang haid ini menunjukkan betapa komprehensifnya cakupan hukum Islam yang ada dalam AlQur‘an, sehingga perkara yang dianggap tabu oleh kebanyakan masyarakat juga telah diatur dalam Al-Qur‘an. Sebagaimana yang tercantum dalam Surat AlBaqarah ayat 222:



ِ ْ َ‫يض َّۖ َّقُ َّل َّ ُى َّو َّأَ ًذى َّف‬ ِ ‫َّع ِن َّالْ َم ِح‬ َّ‫ّت‬ َّ‫وىنَّ َّ َح ى‬ َِّ ‫ف َّالْ َم ِح‬ َّ َِّ َ‫اء‬ َّ ‫ِّس‬ َ َ‫َويَ ْسأَلُون‬ َ ‫ك‬ ُ ُ‫يض َّۖ َّ َوََّل َّتَ ْقَرب‬ َ ْ َ ‫اعتَزلُوا َّالن‬ ََّ ‫يَّ َوُُِيبََّّالْ ُمتَطَ ِّه ِر‬ ‫ين‬ ََّ ِ‫ثَّأ ََمَرُك َُّمَّاللوََُّّۖإِنََّّالل ََّوَّ ُُِيبََّّالت واب‬ َُّ ‫وىنََّّ ِم َّْنَّ َحْي‬ ُ ُ‫يَطْ ُه ْر ََّنََّّۖفَِإ َذاَّتَطَه ْر ََّنَّفَأْت‬ Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.4 Pertanyaan dalam ayat tersebut pada hakikatnya bukan pertanyaan tentang apa itu pengertian dari haid, tetapi bagaimana tuntunan Illahi kepada suami pada saat istrinya sedang mengalami haid. Karena pertanyaan itu muncul atas



2



Abdul Wahhab Khallaf, Fikih Empat Mazhab Praktis (Jakarta: Umul Qura‘, 2018), 296.



3



Quraish Shihab, Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an (Tangerang: Lentera Hati, 2012), 72–73. 4



al-Qur’an dan Terjemahannya, a. QS. al-Baqarah: 222.



2



perlakuan-perlakuan yang dilakukan oleh orang Yahudi kepada wanita-wanita yang sedang mengalami haid.5 Bahwa



Al-Qur‘an telah memberi peringatan dalam ayat tersebut, Nabi



Muhammad juga lebih merincikan konsekuensi yang harus dibayarkan terhadap pelanggaran atas larangan berhubungan badan dengan istri yang sedang mengalami haid. Hal tersebut direkam dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, ad-Darimi dan Ahmad.



ِ ‫ع ِنَّالنِِبَّصلىَّاللوَّعلَي ِوَّوسلم َِّفَّال ِذيَّيأِِْتَّامرأَتَوَّوِىي‬ َّ‫صد ُقَّبِ ِدينَا ٍرَّأ َْو‬ َ َ‫َّق‬،‫ض‬ ٌ ‫َّحائ‬ َ َ َ‫يَت‬: " َّ‫ال‬ َ ِّ َ َ َ ُ َْ َ َ ََ َْ ُ 6ٍ ِ‫ف‬ ِ ِ‫ص‬ ‫َّدينَا َّر‬ ْ‫ن‬ Rasulullah shallallahu ‗alaihi wasallam menyuruh orang yang mendatangi isterinya (jima') dalam keadaan haid untuk bersedekah dengan satu dinar atau setengahnya. Haid mangakibatkan gangguan terhadap fisik dan psikis wanita dan juga terhadap laki-laki. Secara fisik, dengan keluarnya darah



yang kotor,



mengakibatkan gangguan pada jasmani wanita, seperti rasa sakit yang sering kali melilit perutnya akibat kontraksi pada rahim. Di sisi lain, haid mengakibatkan nafsu seksual wanita sangat menurun, dan emosinya sering kali tidak terkontrol. Hubungan badan ketika itu tidak melahirkan hubungan intim antara pasangan, apalagi dengan darah yang selalu siap keluar. Hal tersebut merupakan gangguan psikis bagi wanita. Darah yang aromanya tidak sedap serta tidak menyenangkan 5



Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Tangerang: Lentera Hati, 2012), 582. 6



Abu Dawud Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Siria: Dar al-Fikr, t.t.), 69, nomor hadis: 264.



3



untuk dilihat merupakan salah satu aspek gangguan kepada laki-laki.7 Lalu apa hikmah dibalik pelarangan Al-Qur‘an untuk para suami agar tidak menggauli isrtinya ketika dalam keadaan haid? Hikmah pelarangan Allah tentang ketidak bolehan menggauli istri ketika dalam keadaan haid ini dapat dibuktikan secara ilmiah. Saat mengalami haid, kelamin wanita sangat rentan jika terjadi gesekan atau kemasukan benda asing. Pada saat itu sel-sel di dalam kelamin wanita kondisinya tidak sama pada saat wanita sedang suci (tidak haid). Beberapa penelitian membuktikan bahwa wanita yang tetap melakukan hubungan badan pada saat haid atau nifas mempunyai resiko kanker yang lebih tinggi dibading yang tidak sedang haid.8 Dalam ilmu kesehatan pun menunjukkan bahwa saat haid, saluran antara vagina dan rahim (mulut rahim) sedang terbuka, sehingga akan mempermudah masuknya penyakit ke dalam rahim. Disamping itu juga ada resiko yang cukup fatal, di mana jika melakukan hubungan badan ketika sedang haid maka udara akan terdorong masuk ke dalam mulut rahim, lalu masuk ke dalam pembuluh darah, hal tersebut akan membawa kuman ke jantung sehingga menimbulkan gangguan jantung. Apabila terbawa ke otak, dengan cepat akan terjadi suatu



7



Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, 583.



8



Nada Fitra Lestari, ―Hukum Mencampuri Istri yang Sedang Haid Menurut Islam dan Kesehatan‖ (Universitas Islam Negri Alauddin Makasar, 2015), 32.



4



reaksi alergi atau akan menyebabkan gangguan otak (akan mengalami kejangkejang dan diikuti dengan kematian mendadak).9 Wanita yang sedang mengalami haid karena suatu proses hormonal akan mengalami nyeri. Tingkatan rasa nyeri ketika haid dan pengaruhnya pada wanita berbeda antara wanita yang satu dengan yang lainnya. Ada kalanya rasa nyeri tersebut terasa ringan bahkan hampir tidak dirasakan sama sekali, namun ada pula kadar rasa nyerinya sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan 10. Nyeri dan gangguan ini akan terasa sakit terutama di hari pertama dan kedua. Ada yang mampu tetap beraktifitas seperti biasa, ada yang harus minum obat penghilang nyeri, bahkan ada yang harus berbaring beberapa hari sampai haid itu selesai. Selain mengalami gangguan fisik, wanita juga mengalami gangguan psikis. Proses hormonal yang sedang terjadi memberikan dampak terhadap psikologis wanita. Perubahan hormon ekstrogen dan progesterone menyebabkan perubahan psikologis di mana wanita menjadi lebih mudah tersinggung, marah bahkan depresi. Permasalahan haid merupakan salah satu aspek yang penting dalam membangun kualitas sumber daya manusia. Selain itu, permasalahan haid sangat erat kaitannya dengan kesehatan reproduksi. Sudah selayaknya untuk setiap



9



Ibid., 2.



10



Muhammad Utsman Al-Khasyt, Fikih Wanita Empat Madzhab (Bandung: Ahsan Publishing, 2010), 63.



5



wanita mengetahui seperangkat hukum yang telah ditetapkan Allah SWT untuk kemashlahatan dirinya.11 Pengetahuan tentang haid dan juga permasalahan-permasalahan yang terdapat di dalamnya merupakan materi yang sangat sulit untuk dipahami, sehingga untuk memahaminya diperlukan ketekunan serta ketelitian dalam mempelajari Al-Qur‘an, hadis Nabi, perkataan sahabat yang berbicara tentangnya. Di samping itu, diperlukan juga pemahaman yang mendalam dengan menelaah penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh para pakar yang secara khusus mendalami masalah tersebut. Karena terkadang ulama berselisih pendapat terkait dengan hukum tersebut. Seperti misalnya hukum wanita yang sedang haid masuk ke dalam masjid. Mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita yang sedang mengalami haid tidak diperbolehkan masuk ke dalamnya. Di sisi yang lain, kondisi masyarakat sekarang ini, khususnya para wanita yang sedang mengalami haid cenderung menganggap biasa jika masuk ke dalam masjid, meskipun hukumnya sudah jelas, tidak diperbolehkan menurut kebanyakan imam madzhab. Bahkan tidak jarang, seminar kajian agama atau perkuliahan di kampus yang berbasis islam juga menyelenggarakannya di dalam masjid. Padahal akan sangat mungkin ada wanita yang mengikuti kajian tersebut mengalami haid.



11



Fitra Lestari, ―Hukum Mencampuri Istri yang Sedang Haid Menurut Islam dan Kesehatan,‖ 63.



6



Aturan tentang ketidakbolehan wanita yang sedang mengalami haid memasuki masjid ini telah diatur dalam Al-Qur‘an surat An-Nisa ayat 43:



ِ َّ‫َّجنُبًا‬ َّ‫ى َّ َح ى‬ َّ‫َّس َك َار ى‬ َ ‫َّآمنُو‬ ُ ‫اَّماَّتَ ُقولُو َن ََّوَل‬ َ ‫ّت َّتَ ْعلَ ُمو‬ َ ‫ين‬ ُ ‫اَّل َّتَ ْقَربُواَّالص ََلةَ ََّوأَنْتُ ْم‬ َ ‫يَاَّأَي َهاَّالذ‬ ِ َّ ‫إِلَّعابِ ِريَّسبِ ٍيلَّح‬ َّ‫َح ٌد َِّمْن ُك ْم‬ َ ‫ّتَّتَ ْغتَسلُواََّّۖ َوإِ َّْنَّ ُكْنتُ َّْمَّ َم ْر‬ ‫َ َى‬ َ َ ‫َّجاءََّأ‬ َ ‫ض ىَّىَّأ ََّْوَّ َعلَ ىَّىَّ َس َف ٍَّرَّأ َْو‬ َِ ‫ِم َّن َّالْغَائِ ِط َّأَو ََّلمستُم َّالنِّساء َّفَلَم‬ َّ‫يدا َّطَيِّبًا َّفَ ْام َس ُحوا‬ ً ِ‫َّصع‬ َ ‫ََّت ُدوا ََّماءً َّفَتَ يَم ُموا‬ ْ ََ ُ َْ ْ َ ِ ِ ِ ِ ‫ورا‬ ً ‫ب ُو ُجوى ُك ْم ََّوأَيْدي ُك ْمََّّۖإنََّّالل َّوََّ َكا ََّنَّ َع ُف ًّواَّ َغ ُف‬ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh wanita, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.12



Memang harus diakui, meskipun tidak disebutkan secara exsplisit mengenai pelarangan wanita yang sedang mengalami haid dalam ayat tersebut. namun ulama menqiyaskan wanita yang sedang mengalami haid dengan seseorang yang junub. Menurut pendapat madzhab Hanafiyah dan Malikiyah melarang wanita yang sedang mengalami haid memasuki masjid secara mutlak, baik berdiam diri di dalamnya maupun hanya sekedar melewatinya saja. Sedangkan pendapat Imam Syafi‘i membolehkan wanita yang sedang mengalami haid jika sekedar melewati masjid, namun tetap melarang jika memasuki masjid dan berdiam diri di dalamnya. 12



al-Qur’an dan Terjemahannya, a. QS. al-Nisa: 43.



7



Para imam madzhab memiliki pandangan yang sama, yaitu melarang wanita yang sedang haid memasuki masjid, meskipun tetap terjadi perbedaan mengenai sampai batas mana kebolehan wanita yang sedang haid memasuki masjid. Dari paparan tersebut, Ali Asshobuni lebih cenderung pada pendapatnya madzhab Hanafiyah dan Malikiyah, bahwa haram hukumnya memasuki masjid bagi wanita yang sedang mengalami haid. Karena darah haid merupakan sesuatu yang najis, dan haram hukumnya mengotori masjid dengan sesuatu yang najis. Berangkat dari persoalan-persoalan yang telah disebutkan di atas, maka penulis ingin meneliti tentang ―Penafsiran Ayat-Ayat Haid dan Implikasinya Terhadap Hukum, Studi Pemikiran Ali Asshobuni dalam Kitab Rawai‘ Bayan). Dan dari hal tersebut penulis ingin mengupas lebih dalam persoalan tentang haid dengan melakukan penelitian serta membedah kembali tentang penafsiran ayatayat haid dan implikasinya serta relevansi terhadap konteks yang sekarang ini. Karena persoalan terkait dengan haid merupakan sisi yang akan terus dialami oleh setiap wanita. Dalam hal ini penulis mengambil judul ―Penafsiran Ayat-Ayat Haid dan Implikasinya Terhadap Hukum (Studi Pemikiran Ali Asshobuni dalam Kitab Rawai‘ Bayan)‖. Dalam persoalan haid yang dijadikan objek penelitian penulis adalah ayatayat haid dalam penafsiran Ali Asshobuni dalam kitabnya tafsirnya yang berjudul Rawai‘ Bayan. Kitab Rawai‘ Bayan ini adalah kitab yang paling baik dalam masalah tafsir terhadap ayat-ayat hukum. Hal ini karena pola penyusunan yang digunakan oleh 8



Ali Asshobuni dalam menulis kitab ini menggabungkan pola lama dari segi kekayaan materi pembahasan dan pola baru dari segi metode, sistematika dan gaya (uslub) yang memudahkan pembaca untuk memahami kandungankandungan tersebut.13 Dalam menafsirkan Al-Qur‘an, Ali Asshobuni menggunakan pola klasik dari segi kekayaan materi dalam penafsirannya. Ali Asshobuni terlebih dahulu mencantumkan penafsiran ulama-ulama lain sebelum beliau menjelaskan penafsirannya sendiri atas suatu ayat. Bahkan Ali Asshobuni juga menjelaskan penafsiran yang bersifat kontradiktif dengan memaparkan masing-masing penafsiran baru kemudian menjelaskan pemikirannya mengenai hal tersebut. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disinggung sebelumnya, agar tidak terjadi pembahasan yang terlalu luas sehingga akan mengaburkan permasalahan yang ada, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana prespektif-prespektif tentang haid? 2.



Bagaimana penafsiran Ali Asshobuni terhadap ayat-ayat haid dalam AlQur‘an?



3. Apa implikasi hukum Islam bagi wanita yang sedang mengalami haid?



13



Mu‘amal Hamidy dan Imron A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983), xii. (Syekh Abdullah Al-Khayyath, kata sambutan untuk Muhammad Ali Asshobuni dalam Rawai‘ Bayan juz 1



9



4. Tujuan Penelitian Sesuai dengan latar belakang dan pokok permasalahan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui prespektif-prespektif tentang haid. 2. Untuk mengetahui penafsiran Ali Asshobuni terhadap ayat-ayat haid dalam Al-Qur‘an. 3. Untuk mengetahui implikasi hukum Islam bagi wanita yang sedang mengalami haid. 5. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan yang dipaparkan di atas, maka penelitian ini diharapkan agar berguna: 1. Sebagai sumbangan pemikiran positif,



khususnya dalam memahami dan



mempelajari implikasi haid dari prespektif hukum Islam. 2. Dapat memperkaya wacana kajian wanita dalam Islam di dunia akademis. 3. Untuk menampah wawasan penulis serta sebagai kontribusi pemikiran dalam bidang Ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir. 4. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas akhir pada program strata satu program Studi Ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir di Institut Agama Islam Negri Salatiga. 6. Kerangka Teori Al-Qur‘an merupakan petunjuk (huda). Tidak hanya petunjuk bagi suatu umat tertentu dan untuk periode waktu tertentu, melainkan menjadi petunjuk universal 10



dan berlaku sepanjang waktu. Bukan hanya petunjuk untuk orang-orang beriman, namun juga petunjuk umat seluruh umat manusia (hudan li al-nas). Sebagai kitab petunjuk yang berlaku sepanjang zaman, isi kandungan AlQur‘an tentu mencangkup seluruh aspek kehidupan masyarakat, serta memuat informasi-informasi dasar tentang berbagai hal. Di dalamnya tidak hanya dibahas persoalan akidah, namun juga persoalan hukum. Seiring dengan perubahan dan kemajuan perkembangan zaman, umat Islam selalu menghadapi berbagai masalah baru yang meliputi hampir semua aspek kehidupan. Seperti misalnya persoalan yang terkait dengan haid. Meskipun hukum haid sudah ada sejak masa Nabi SAW, namun hukum yang terkait dengan hal ini masih dibutuhkan agar mampu menghadapi tantangan zaman sehingga tetap relevan diterapkan sebagai hukum Islam di era sekarang. Dalam penelitian ini, penulis mengkaji lebih dalam mengenai penafsiran ayat-ayat haid dan hukumnya serta relevansi dengan konteks yang sekarang ini. Metode pembahasan dalam penelitian ini berdasarkan tema-tema yang berkaitan, atau dalam istilah ilmu tafsir dikenal dengan metode maudhu‘i. Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menyusun suatu karya tafsir berdasarkan metode maudhu‘i adalah: 1. Menentukan topik bahasan setelah menemukan batas-batasnya, dan mengetahui jangkauannya di dalam ayat-ayat Al-Qur‘an. 2. Menghimpun dan menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut. 11



3. Merangkai urutan-urutan ayat sesuai dengan masa turunnya, misalnya dengan mendahulukan ayat Makkiyah dari pada ayat Madaniyah, karena ayat-ayat yang diturunkan di Makkah biasanya bersifat umum. 4. Kajian tafsir ini merupakan kajian yang memerlukan bantuan kitab-kitab tafsir tahlili, pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat sepanjang yang dapat dijumpai, munasabat dan pengetahuan tentang dilalah suatu lafal dan penggunannya. Maka mufassir perlu mengetahui itu semua, meskipun tidak harus dituangkan dalam pembahasan. 5. Menyusun pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna. 6. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang menyangkut masalah yang dibahas itu. 7. Mempelajari ayat-ayat yang dipilih dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang sama pengertiannya. Atau mengkompromikan antara am (umum) dan khash (khusus), yang mutlaq dengan muqayyad, atau yang kelihatannya kontraditif, sehingga semuanya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemakasaan dalam penafsiran. 8. Pembahasan dibagi dalam beberapa bab yang meliputi beberapa fasal, dan setiap fasal itu dibahas, kemudian ditetapkan unsur pokok yang meliputi macam-macam



pembahasan



yang



12



terdapat



pada



bab,



kemudian



menjadikan unsur yang bersifat cabang (furu) sebagai satu macam dari fasal.14 Adapun Corak dan kecenderungan yang peneliti gunakan dalam mengkaji tema ini menggunakan corak fiqih (tafsir fiqhi) yang khusus membahas ayat-ayat hukum dalam Al-Qur‘an. Tafsir fiqhi secara spesifik mengulas fanatisme madzhab satu sisi dan sisi lain melemahkan madzhab yang lain.15 Penulis berharap dengan menggunakan metode dan corak seperti ini akan terkuak bagaimana Al-Quran dapat memberikan jawaban bagi permasalahan manusia, khususnya untuk prempuan atas masalah haid. 7. Kajian Pustaka Tema tentang haid memang sudah banyak yang mengkajinya, baik dalam bentuk skripsi, tesis, artikel, maupun buku dengan menggunakan metode yang berbedabeda, diantaranya sebagai berikut: Tesis yang berjudul Haid (Menstruasi) dalam Hadis karya Ahmad Suhendra membahas tentang haid dalam prespektif hadis. Di dalam tesisnya, Ahmad Suhendra menelaah ulang hadis-hadis tentang haid dari aspek pemaknaan dan pemahaman hadis-hadis wanita yang bias gender. Selain itu, Suhendra membatasi penelitiannya pada hadis-hadis yang memiliki korelasi dengan mitos-mitos yang terjadi di masyarakat terkait dengan wanita yang sedang mengalami haid. Ahmad



14



Ahmat Roes, ―Kajian Terhadap Kitab-Kitab Tafsir‖ (Universitas Islam Negri Walisongo, 2014),



15



Ibid., 10.



7.



13



Suhendra menelusuri hadis-hadis dan sumber-sumber yang berkaitan tentang haid, maka jenis penelitian ini termasuk penelitian kualitatif. Adapun sifat penelitian ini adalah kepustakaan murni (library research), yakni penelitian yang menggunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber data. Tesis berjudul Larangan Bagi Wanita Haid Menurut Ibn Hazm dalam Tinjauan Maqashid Al-Syari'ah dan Relasinya dengan Kemajuan Ilmu Pengetahuan karya Syahmi Hartis. Syahmi Hartis mengulas tentang pandangan Ibn Hazm tentang larangan bagi wanita yang sedang haid dalam tinjauan maqashid al-syari'ah dan relevansinya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penelitiannya dibatasi pada permasalahan larangan membaca dan menyentuh Al-Qur‘an serta larangan masuk masjid ditinjau dari maqashid alsyari'ah. Syahmi Hartis menggunakan metode pustaka (library research) untuk penelitiannya tersebut. Skripsi yang berjudul Study Analisis Pemahamam Materi Haid dan Istihadhah pada Siswi Kelas VII MTS Al-Hadi Girikusuma Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak Tahun Ajaran 2014/2015 karya Siti Fajaroh mengulas tentang pengertian haid dan istihadhoh, ciri-cirinya serta masa paling minimal dan maksimal haid serta istihadhoh. Dalam skripsi ini, Siti Fajaroh menggunakan metode kuantitatif yang dilakukan di MTS Al-Hadi Girikusuma Kabupaten Demak. Skripsi yang berjudul Kesadaran Hukum Wanita Haid Berdiam Diri Di Masjid (Studi Kasus Mahasiswi IAIN Syekh Nurjati Cirebon) karya Rochmat 14



Fauzi mengulas tentang haid secara umum, hikmah adanya haid, masa haid serta disebutkan juga jenis dan sifat darah haid dan apa saja perkara yang diharamkan ketika haid. Dalam skripsinya, Rochmat Fauzi mengunakan metode kuantitatif yang dilakukan di IAIN Syekh Nurjati Cirebon untuk mengetahui pemahaman wanita terutama mahasiswi IAIN Syekh Nurjati Cirebon berdiam diri di masjid pada saat mengalami haid. Skripsi yang berjudul Regulasi Emosi dengan Rasa Nyeri Haid (Dismenore) pada Remaja karya Dwi Anna Khoerunisya ini mengulas tentang haid dari sisi kesehatan, seperti misalnya pengertian nyeri haid, macam-macam nyeri serta bagaimana tingkatan nyeri haid. Dalam skripsi ini, Dwi Anna Khoerunisya menggunakan metode kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui seberapa berpengaruhnya nyeri haid (disminore) pada emosi remaja. Meskipun penelitian mengenai haid sudah banyak dilakukan, penelitian ini setidaknya layak untuk dilanjutkan untuk melengkapi tulisan-tulisan dan penelitian-penelitian sebelumnya. Karena menurut penulis, belum ada kajian yang membahas secara khusus penafsiran ayat-ayat haid dan implikasinya terhadap hukum islam. Yang membedakan dengan kajian pustaka di atas, dalam skripsi ini menyebutkan secara keseluruhan mengenai ayat-ayat yang bersangkutan dengan permasalahan haid. Dalam kajian ini, penulis menggunakan tafsir ahkam karya Ali Ashobuni sebagai sumber utama dalam memahami tafsir ayat-ayat yang berhubungan dengan haid. Karena sejauh penelusuran penulis, meskipun banyak peneliti 15



menyebutkan hukum-hukum haid, namun belum ada kajian yang merujuk secara spesifik pada tafsir ahkam, terutama karya Ali Ashobuni. 8. Metode Penelitian Metodologi penelitian sangat menentukan sebuah keberhasilan atas maksud yang ingin dicapai dalam sebuah tulisan. Persoalan yang penting patut dikedepankan dalam metodologi penelitian adalah dengan cara apa dan bagaimana data yang diperlukan dapat dikumpulkan sehingga hasil akhir penelitian mampu menyajikan informasi yang valid dan reliable.16 Oleh karena itu, untuk memperoleh bahan informasi yang akurat dalam pembahasan Skripsi ini, digunakanlah metodologi dan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Jenis Data Jenis penelitian ini adalah library research (penelitian kepustakaan) melalui pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan karena fokus penelitian menitik beratkan pada kajian konseptual mengenai haid, dengan membaca buku referensi dari literatur yang berkenaan dengan penelitian ini, yaitu berupa karya tulis dan sebagainya. 2. Sumber Data Karena penelitian ini merupakan library research, maka semua penelitian dipusatkan pada kajian terhadap data dan buku-buku yang berkaitan dengan 16



Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), 42.



16



permasalahan ini. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan dua sumber, yaitu: a. Data Primer Yaitu data yang diambil dari sumber asli yang memuat suatu informasi. Artinya sumber data yang digunakan merupakan karya yang langsung diperoleh dari tangan pertama yang terkait dengan tema penelitian. Jadi, data-data primer ini mencangkup Al-Qur‘an, Hadis, serta Tafsir AyatAyat Ahkam karya Ali Ashobuni. b. Data Sekunder Yaitu data yang diperoleh bersifat pelengkap. Biasanya data ini tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen untuk memberikan penjelasan tentang pokok permasalahan. Dalam hal ini penulis mengambil data dari bukubuku yang ada relevansinya dengan permasalahan yang sedang penulis bahas, seperti kitab Tafsir Al-Lubab, M. Quraish Shihab Menjawab: 101 Soal Wanita yang Patut Anda Ketahui, Fiqih Sunnah Lin Nisa‘, Fikih Empat Madzhab, dan lain sebagainya. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah cara yang dipakai untuk mengumpulkan informasi atau fakta-fakta di lapangan.17



17



Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan Penelitian (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2014), 208.



17



Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode riset kepustakaan. Penulisan dalam kajian pustaka sebagaian besar hanya merupakan kutipan dari berbagai karya ilmiah dan buku refrensi yang mendukung pembahasan masalah judul skripsi ini. 4. Analisis Data Setelah semua data yang dibutuhkan didapatkan, penulis akan mengolah data dan menganalisis data tersebut dengan menggunakan metode yang bersifat deskriptif, yaitu bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku.18 9. Sistematika penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini antara lain memuat beberapa bab dan sub-bab yang meliputi point-point penting terhadap permasalahan yang ada. Pada Bab pertama adalah pendahuluan, yang memuat pembahasan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan. Bab kedua, menampilkan persoalan-persoalan wanita mengenai tentang haid. Dalam bab ini dijelaskan pula mengenai pengertian haid, masa terjadinya haid, gangguan-gangguan yang terjadi selama haid, serta dijelaskan pula haid dari segi medis, mulai dari pengertian, siklus haid, gangguan-gangguan yang dialami



18



Mardalis, Metode Penelitian (Suatu Pendekatan Proposal) (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), 26.



18



wanita ketika mengalami haid serta menyebutkan akibat berhubungan badan ketika wanita sedang mengalami haid. Setelah mengetahui apa saja pengertian serta persoalan-persoalan wanita mengenai tentang haid, pada bab ketiga ini dijelaskan persoalan haid dalam prespektif Al-Qur‘an. Di sini penulis memaparkan penafsiran ayat-ayat haid dengan menggunakan tafsir ahkam karya ali Ashobuni. Serta memaparkan pula dampak-dampak hukum ketika wanita sedang mengalami haid dalam prespektif Al-Qur‘an Pembahasan dilanjutkan dengan bab keempat yang menampilkan analisis penulis terhadap hal-hal yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya. Dan yang terakhir yaitu bab kelima. Pada bab ini berisi kesimpulan dari seluruh uraian yang telah dikemukakan dan merupakan jawaban dari rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, serta saran-saran yang dapat disumbangkan sebagai rekomendasi untuk kajian lebih lanjut, serta lampiran-lampiran.



19



BAB II HAID DALAM BERBAGAI PRESPEKTIF A. Haid Dalam Prespektif Hukum Islam 1. Pengertian Haid Menurut bahasa, kata haid merupakan mashdar dari fi’il: khaada- yahidukhaidon. Dalam kamus Maqoyisul Lughoh disebutkan bahwa khaada artinya adalah mengeluarkan air yang berwarna merah.19 Adapun dalam kamus AlMunawir khaada mempunyai arti mengalirkan.20 Dan menurut arti syara‘ ialah darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau melahirkan. Karena haid adalah darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.21 Haid adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita pada kondisi sehat, bukan karena faktor persalinan ataupun pecahnya selaput keperawanan. Apabila seorang wanita melihat darah sebelum menginjak usia Sembilan tahun atau melihat darah setelah menginjak usia menopause, darah tersebut bukan darah haid, tetapi darah kotor atau biasa disebut dengan istihadoh.22



19



Ahmad Faris, Mu’jam Maqoyisul Lughoh Jilid 2 (Beirut: Darul Fik, 1979), 124.



20



Ahmad Warson Munawir, Kamus AL-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap (Jakarta: Pustaka Progressif, 1984), 314. 21



Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsmani, Darah Kebiasaan Wanita, t.t., 6.



22



Wahhab Khallaf, Fikih Empat Mazhab Praktis, 296.



20



Muhammad Jawad Mughniyah dalam bukunya menyebutkan bahwa haid adalah darah yang biasa keluar dari diri seseorang wanita pada hari-hari tertentu. Haid itu mempunyai dampak yang membolehkan meninggalkan ibadah dan menjadi patokan selesainya iddah bagi wanita yang dicerai.23 Ada beberapa hal yang berbeda dalam pandangan imam madzhab terkait dengan permasalahan haid ini:24 a. Hanafiyah Apabila darah keluar dari (kemaluan) wanita berusia sembilan tahun, darah tersebut adalah darah haid menurut pendapat terbaik. Apabila yang bersangkutan melihat darah tersebut, ia tidak boleh berpuasa dan shalat. Apabila seorang wanita melihat darah keluar dari (kemaluannya) setelah itu, darah tersebut bukan darah haid. Kecuali jika ia melihat darah kental berwarna hitam atau merah pekat setelah menginjak usia menopause, saat itu darah tersebut dinilai sebagai darah haid. b. Malikiyah Apabila darah keluar dari (kemaluan) gadis remaja berusia sembilan hingga tiga belas tahun, lalu hal itu ditanyakan kepada para wanita, kemudian mereka memastikan darah tersebut



darah



haid



atau



meragukannya, berarti darah tersebut adalah darah haid. Sementara jika



23



Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab (Jakarta: Lentera, 2007), 34.



24



Wahhab Khallaf, Fikih Empat Mazhab Praktis, 296–97.



21



mereka memastikan darah tersebut bukan darah haid, berarti bukan darah haid, tetapi darah penyakit atau darah kotor. Apabila darah keluar dari (kemaluan) wanita yang berusia lebih dari tiga belas tahun hingga usia lima puluh tahun, darah tersebut dipastikan haid. Dan jika darah keluar dari (kemaluan) wanita yang berusia lebih dari lima puluh tahun hingga usia tujuh puluh tahun, lalu hal tersebut ditanyakan kepada para wanita, kemudian pendapat mereka diterapkan, dipastikan darah tersebut bukan darah haid, tapi darah istihadhah. Seperti itu juga ketika darah keluar dari anak wanita yang belum menginjak usia Sembilan tahun. c. Syafi‘iyah Masa haid tidak ada batas akhirnya. Haid mungkin saja terus dialami seorang wanita sepanjang hidup. Namun umumnya darah haid berhenti setelah menginjak usia enam puluh dua tahun. d. Hanabilah Mereka memperkirakan batas usia menopause adalah lima puluh tahun. Misalkan seorang wanita melihat darah setelah batas usia ini, darah tersebut bukan darah haid meski kental. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa darah haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita pada kondisi sehat yang sudah mencapai usai sembilan tahun melalui vagina. Darah haid keluar secara alami pada waktu-waktu tertentu, bukan disebabkan oleh suatu 22



penyakit, pecahnya selaput keprawanan, keguguran ataupun melahirkan. Oleh karena haid adalah darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita. Haid juga merupakan indikasi wanita telah mencapai usia baligh. 2. Usia Seorang Mengalami Haid Semua ulama madzhab bersepakat bahwa usia terendah bagi seorang wanita untuk menjalani masa haid adalah sembilan tahun. Oleh karena itu, apabila ada seorang wanita yang mengeluarkan darah melalui kemaluannya sebelum usia tersebut, maka itu bukanlah darah haid. Artinya tidak berlaku baginya hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah haid. Karena tidak ada ketetapan hukum yang mengatur bahwa seorang wanita mampu menjalani masa haid sebelum usia tersebut.25 Telah diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu anha, dimana dia berkata:



ِ ِ ِ ْ َّ‫ت‬ َّ 26.ٌ‫َّامَرأَة‬ َِّ َ‫َّعائِ َشةَُّإِذَاَّبَلَغ‬ ْ َ‫َوقَ ْدَّقَال‬ َ ‫ت‬ َ ‫اْلَا ِريَةَُّت ْس َعَّسن‬ ْ ‫يَّفَ ِه َى‬



Apabila seorang anak wanita mencapai usia sembilan tahun, maka ia sudah termasuk permpuan (memasuki usia baligh). (HR. Imam Attirmidzi) Hanya saja para Ulama‘ berbeda pendapat mengenai batas usia lanjut yang haidnya telah berhenti. Adapun Hambali berpendapat, maksimal wanita mengalami haid itu jika dia berusia lima puluh tahun, Hanafi berpendapat lima 25



Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), 84.



26



Muhammad bin ‘Isa Al-Tirmidzi, Jami’ al-Tirmidzi (Beirut: Dar Ihya al-Turots al-‘Arobiy, t.t.), 419, nomor hadis: 1109.



23



puluh lima tahun, adapun Maliki berpendapat tujuh puluh tahun, dan Syafi‘i berpendapat bahwa selama masih hidup maka haid itu masih mungkin, sekalipun biasanya darah akan berhenti setelah berusia enam puluh dua tahun.27 Ad Darimi juga berpendapat bahwa, haid yang menjadi acuannya adalah keberadaannya



darah.



Maka



seberapa



pun



adanya,



dalam



kondisi



bagaimanapun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Jadi kapanpun seorang wanita mengeluarkan darah berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai sembilan tahun atau di atas lima puluh tahun. Sebab Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut. Maka dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum.28 Perbedaan pendapat mengenai usia terakhir haid tersebut disebabkan karena tidak adanya penjelasan dari Al-Qur‘an maupun hadis. Adapun para ulama menetapkan batasan tersebut dengan melihat kebiasaan dan keadaan wanita. 3. Masa Minimal dan Maksimal Haid Sama seperti usia maksimal wanita mengalami haid, para ulama berbeda pendapat mengenai penetapan masa minimal dan maksimal lamanya masa haid. Boleh jadi perbedaan ini dikarenakan hasil penelitian dan pengamatan 27



Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, 34.



28



Darah Kebiasaan Wanita, 7.



24



para ulama terhadap wanita yang mengalaminya berbeda-beda antara seorang dengan yang lain.29 Menurut Ulama Hanafiyah, batas minimal masa haid adalah tiga hari tiga malam, dan batas maksimalnya sepuluh hari sepuluh malam. Jika darah haid terjadi secara rutin dan batas waktunya melebihi waktu normal namun kurang dari sepuluh hari, selebihnya tersebut termasuk haid.30 Ulama Malikiyah berkata, ―Tidak ada batas minimal haid dalam kaitannya dengan ibadah, bukan berdasarkan darah yang keluar, juga bukan berdasarkan waktunya. Andaikan darah keluar dari kemaluan seorang wanita satu kali dalam sesaat, darah tersebut dianggap sebagai darah haid. Namun jika kaitannya dengan ‗iddah dan istibra‘, maka batas minimalnya sehari atau kurang dari sehari. Juga tidak ada batas maksimal haid, namun berdasarkan darah yang keluar. Untuk itu haid tidak dibatasi sebanyak satu rithel misalnya. Lebih dari itu atau kurang dari itu. Adapun batas maksimal haid-berdasarkan waktu-diperkirakan selama lima belas hari bagi wanita pemula yang tidak sedang hamil.31 Batas minimal masa suci menurut imam madzhab juga berbeda pendapat. Ulama Hanabilah berpendapat, Batas minimal masa suci di antara dua haid adalah tifa belas hari. Ulama‘ Syafi‘iyah berpendapat, Batas minimal masa 29



Quraish Shihab, M Quraish Shihab menjawab 101 Soal Perempuan Yang Patut Anda Ketahui (Tangerang: Lentera Hati, 2010), 52. 30



Wahhab Khallaf, Fikih Empat Mazhab Praktis, 299.



31



Ibid., 300.



25



suci adalah lima belas hari, dengan syarat masa suci berada di antara dua darah haid. Bersih yang berada diantara dua haid dalam satu rentang masa imkanul haid (masa 15 hari sejak awal darah haid keluar) dianggap sebagai darah haid. Misalkan seseorang wanita melihat darah pada suatu hari, dan pada hari berikutnya melihat bersih, lalu pada hari berikutnya melihat darah, dan semua ini terjadi dalam masa haid, semua dianggap haid. Sedangkan menurut ulama Hanabilah dan Malikiyah berpendapat, Bersih pada masa haid adalah suci. Misalkan darah berhenti pada satu hari di antara dua haid, masa tersebut dianggap masa suci. Pada masa itu, wanita yang bersangkutan melakukan halhal yang dilakukan wanita-wanita yang bersih (tidak sedang haid).32 Dan berhentinya darah haid dapat diketahui dengan cara wanita memasukkan kain bersih atau kapas ke dalam kemaluannya untuk melihat ada sisa darah atau tidak. Jika sudah benar-benar bersih, tidak ada cairan yang berwarna keruh maka dapat di pastikan kalau masa haid telah berakhir.33 4. Jenis Dan Sifat-Sifat Darah Haid Adapun syaratnya warna darah haid itu harus memiliki warna seperti salah satu warna darah, yaitu: a. Hitam (warna yang paling kuat)



32



Ibid., 301.



33



Erna Sinaga, Nonon Saribanon, dan Nailus Sa‘adah, Manajemen Kesehatan Menstruasi (Universitas Nasional: IWWASH Hlobal One, 2017), 118.



26



b. Merah c. Kuning d. Keruh34 Jika darah yang keluar berwarna kuning atau keruh apabila keluarnya setelah suci dari haid, maka cairan tersebut tidak termasuk sebagai darah haid.35 Dan dihukumi najis sebagaimana darah istihadoh, karena keluarnya dari bagian dalam (batin).36 Adapun yang menjadi sebab perselisihan pendapat di kalangan ulama mengenai masalah warna darah di antaranya adalah, pemahaman terhadap makna lahiriyyah dari hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Athiyyah dan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah. Hadis Ummu Athiyyah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori:



ِ ‫َّعْنأ ُِّم‬،َّ‫َّع َّنَّ ُُمم ٍَّد‬،َّ‫وب‬ ِ ‫َّحدثَنَاإِ ْْس‬:َّ ‫ال‬ َّ‫ت‬ َُّ ‫اع‬ ٍَّ ِ‫َّسع‬ ْ َ‫َّقَال‬،َّ‫َّعطي ََّة‬ َ ْ َ ََّ ‫َّع َّْنَّأَي‬، َ َ َ َّ‫يل‬ َ َ َ َ‫َّق‬،َّ‫يد‬ َ ‫َحدثَنَاَّقُتَ ْيبَةَُّبْ ُن‬ 37 .‫َّشْيئًا‬ َ ‫َّ ُكن‬: َ ‫اَّلَّنَعُدَّالْ ُك ْد َرَة ََّوالص ْفَرَة‬ Sesungguhnya kami tidak menganggap cairan keruh dan keluning-kuningan (setelah suci) sebagai suatu masalah.



Sedangkan hadis Aisyah diriwayatkan oleh Imam Malik:



ِِ ِ ِ‫ َّموَلة‬-َّ‫َّع َّنَّأ ُِّم َِّو‬،َّ‫َّعْن ع ْل َقمةَ َّب ِن َّأَِِب َّع ْل َقم ََّة‬،‫ك‬ ٍ ِ َ ‫ن َّ َُْيَي‬ َّ-َّ ‫ي‬ َ َْ َ ‫َّعائ َشةَ َّأ ُِّم َّالْ ُم ْؤمن‬ ْ َ َ َ ‫َّع ْن ََّمال‬، َْ َ َ َ َّ َِ‫َحدث‬ ِ ََّ ِ‫َّ َكا َن َّالنِّساء َّي ب عثْن َّإ‬:َّ ‫أَن هاَّقَالَت‬ ِ ِِ َُّ‫َّفِ ِيو َّالص ْفََّرة‬،َّ‫ف‬ َُّ ‫َّفِ َيهاَّالْ ُك ْر ُس‬،َّ‫ِّر َج َِّة‬ ْ َ َ ‫لَّ َعائ َش َّةََّأ ُِّم َّالْ ُم ْؤمنينَبالد‬ َ َ َْ ُ َ 34



Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Damaskus: Darul Fikr, 2007), 510.



35



Ibid.



36



M. Masykur Khoir, Haidl & Thoharoh (Kediri, 2002), 20.



37



Muhammad bin Isma‘il Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Sahih (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), 99, nomor hadis: 326.



27



ِ ‫َّاْلي‬ ِ َّ.ََّ‫اء‬ َّ ‫ض‬ ُ ‫َّفَتَ ُق‬،ِ‫اَّع ِن َّالص ََلة‬ َ ‫َّحّت َّتَ َريْ ََّنَّالْ َقص َة َّالْبَ ْي‬ َ َْْ ‫َّدِم‬ َ ‫م ْن‬ َ ‫َّيَ ْسأَلْنَ َه‬،‫ضة‬ َ ‫ََّل َّتَ ْع َج ْل َن‬:َّ ‫ول َّ ََلُن‬ ِ ‫تُِر‬ .38‫ض َِّة‬ ْ ‫كَّالط ْهَر َِّم َن‬ ُ َ ‫يدَّبِ َذل‬ َ ‫َّاْلَْي‬ Yahya bercerita kepadaku dari Malik, dari ‗Al Qomah, dari ibunya, maula (mantan hamba sahaya) Aisyah, bahwasanya ia mengatakan, Para wanita mengutus seseorang kepada ummul mukminin Aisyah dengan membawa kain yang berisikan kapas yang terdapat cairan berwarna kekuningan dari darah haid, mereka menanyakan kepadanya tentang bolehnya mereka untuk shalat (setelah keluarnya cairan kuning tersebut). Maka Aisyah berkata kepada mereka, ―Janganlah terburu-buru hingga kalian melihat cairan putih.‖ Yang dimaksudkan adalah suci dari haid.39 Untuk menjawab kedua hadis yang terlihat kontradiksi, maka kedua hadis ini dikompromikan oleh Imam Syafi‘i dengan memunculkan konsep imkanul haid (masa 15 hari sejak awal darah haid keluar). Sedangkan sifat-sifat darah haid adalah: a. Kental b. Cair c. Berbau busuk d. Tidak berbau40 5. Hal-Hal di Luar Kebiasaan Haid a. Waktu datangnya haid tidak sesuai dengan kebiasaan.



38



Malik bin Anas, Al-Muwatta (Mesir: Dar al-Syu‘bi, t.t.), 59, nomor hadis: 128.



39



Abu Malik Kamal, fiqih sunnah lin nisaa’ ENSIKLOPEDI FIQIH WANITA (Depok: Pustaka Khazanah Fawa‘id, 2016), 93. Hanya dishohihkan oleh Ibnu Hiban dan Al ‗Ijli 40



Khoir, Haidl & Thoharoh, 20.



28



Misalkan seorang wanita terbiasa haid pada awal bulan, lalu ternyata dia haid di akhir bulan, atau sebaliknya, misalkan dia terbiasa haid pada akhir bulan, lalu ternyata di awal bulan dia sudah mengalami haid. Terlambatnya waktu datang haid itu disebabkan oleh kondisi kejiwaan



seseorang.



Perasaan



takut,



sedih,



gelisah



dapat



juga



mempengaruhi keteraturan waktu datangnya haid, akibatnya datangnya haid akan terlambat, tidak seperti biasanya. Bisa juga haid datangnya terlambat dikarenakan oleh suatu penyakit.41 b. Darah haid keluar lebih lama. Misalnya seorang wanita biasanya haid selama lima hari setiap bulannya, namun pada bulan-bulan berikutnya, masanya lebih lama menjadi tujuh delapan atau sepuluh hari. Jika masih dalam masa maksimal haid tidaklah masalah. Tetapi jika darah masih keluar melebihi waktu batas maksimal haid, maka yang keluar bukan lagi darah haid, melainkan darah istihadoh. c.



Darah haid keluar secara terputus-putus.



Menurut Imam Syafi‘i, apabila saat terputus-putus jumlah darah yang keluar belum mencapai 24 jam, maka tidak wajib mandi. Bahkan hanya cukup membersihkan kemaluan lalu berwudhu. Setelah itu boleh melakukan aktivitas ibadah selayaknya orang yang tidak mengalami haid. Karena darah yang keluar tidak mencapai 24 jam itu bukanlah darah haid.



41



Khalid Jad, Hanya Untuk Perempuan (Solo: Era Intermedia, 2006), 88.



29



Namun jika darah yang keluar sudah mencapai 24 jam, maka diwajibkan untuk mandi.42 Jika yang terjadi adalan an-naqa (seorang wanita yang sedang haid kemudian dalam sehari haidnya terputus dan hari setelahnya keluar kembali), dalam masalah ini ada dua pendapat ulama. Yang pertama pendapat imam Hanafi dan Syafi‘i berpendapat bahwa masa darah berhenti mengalir (an-naqa) ditengah-tengah masa haid dianggap sebagai haid. Artinya keseluruhan masa-masa tersebut dianggap sebagai masa haid. Namun jika terjadi melebihi masa maksimal haid (15 hari) maka setelah melewati masa 15 hari itu adalah darah istihadhah (jika wanita tidak memiliki adat dan dia bukan orang yang tamyiz).43 Sedangkan pendapat kedua yang merupakan pendapatnya Imam Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa masa tidak keluarnya darah di antara masa keluarnya darah adalah sebagai suci. d. Keluarnya darah ketika hamil. Menurut kaidah yang berlaku, wanita hamil sebenarnya tidak mengalami haid. Namun, terkadang ada wanita yang tidak normal sehingga keluar darah pada saat hamil. Apabila dilihat kondisi darahnya menyerupai darah



42



Khoir, Haidl & Thoharoh, 9.



43



Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 514.



30



baik secara warnanya, baunya dan ciri-cirinya, serta keluar pada masa haid, maka darah tersebut dianggap sebagai darah haid.44 Sedangkan ulama madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa permpuan yang sedang hamil tidak akan didatangi haid, karena keluarnya darah haid merupakan tanda bersihnya rahim. Hal ini menunjukkan bahwa haid tidak akan dapat bersatu dengan kehamilan. Maka jika seseorang yang hamil mengeluarkan darah sebelum melahirkan, dia tetap mempunyai kewajiban untuk melaksanakan shalat, puasa, i‘tikaf, thawaf dan sebagainya. Karena darah yang keluar tersebut merupakan darah penyakit (fasad), bukan darah haid.45 B. Haid Dalam Prespektif Medis 1. Pengertian Haid (menstruasi) Menstruasi adalah suatu proses pelepasan lapisan dalam dinding rahim akibat pengaruh hormon yang terjadi secara berkala pada wanita yang sudah mencapai usia subur.46 Menstruasi merupakan proses biologis yang terkait dengan pencapaian kematangan seks, kesuburan, ketidakhamilan, normalitas, kesehatan tubuh dan bahkan pembaharuan tubuh itu sendiri.47 Menstruasi merupakan



44



Malik Kamal, fiqih sunnah lin nisaa’ ENSIKLOPEDI FIQIH WANITA, 96.



45



Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 510.



46



Dewi Ratna Sulistina, ―Hubungan Pengetahuan Menstruasi dengan Prilaku Kesehatan Remaja Putri Tentang Menstruasi Di SMPN 1 Trenggalek‖ (Universitas Sebelas Maret, 2009), 31. 47



Irwan Abdullah, ―Mitos Menstruasi: Konstruksi Budaya Atas Realitas Gender‖ 14, no. Humaniora (1 Februari 2002): 34.



31



kejadian fisiologis bagi wanita yang sudah remaja, dalam hal ini hormon-hormon reproduksi mereka sudah mulai bekerja. Menstruasi merupakan sebuah indikator kematangan seksual pada remaja putri.48 Menstruasi dikendalikan oleh hormon dan aktif terjadi pada masa reproduktif, yaitu sejak pubertas hingga menopause, kecuali selama kehamilan. Menstruasi yang terjadi pertama kali disebut menarche, dan menjadi tanda bahwa tubuh wanita tersebut sedang melakukan proses pelepasan telur. Setiap tahap dalam siklus menstruasi diatur oleh hormon-hormon yang berbeda, termasuk memproduksi estrogen.49 Pada tiap siklus menstruasi, terdapat 3-30 folikel yang akan diproses lebih lanjut lagi. Selanjutnya hanya akan ada satu folikel terpilih yang akan dikeluarkan dalam bentuk sel telur (oosit). Perdarahan yang terjadi pada kejadian menstruasi menandakan bahwa rahim telah berfungsi. 2. Kandungan Darah haid (menstruasi) Darah menstruasi yang dikeluarkan oleh vagina mengandung berbagai macam substansi (zat) atau unsur-unsur, yaitu sebagai berikut: a. 50-80% hasil campuran dari peluruhan lapisan endometrium uteri. b. bekuan darah yang telah mengalami proses hemolisis dan aglutinasi. c. sel-sel epitel dan sroma (jaringan ikat pada organ tubuh) dari dinding uterus dan vagina yang mengalami disintegrasi dan otolisis. 48



Mira Trisyani, ―Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Keluhan Tentang Menstruasi Di Antara Remaja Putri,‖ Jurnal Keperawatan Komprehensif, Vol. 4 No. 2 (Juli 2018): 87. 49



Caroline J. Bohme, Jannette C. Gosch-Weisbrodt, dan Rona B. Warton, Yang Perlu Anda Ketahui Kesehatan Wanita di Atas Usia 40 Tahun (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, t.t.), 2.



32



d. cairan dan lender (terutama yang dilekuarkan dari dinding uterus, vagina dan vulva). e. beberapa bakteri dan mikroorganisme yang senantiasa hidup di beberapa kemaluan wanita (flora normal) seberti basil doderleine, streptokokus, diferoid dan echerichia.50 3. Siklus Haid (menstruasi) Siklus menstruasi adalah jarak dari hari pertama menstruasi sampai hari pertama menstruasi berikutnya. Hari mulainya perdarahan dinamakan hari pertama siklus. Panjang siklus menstruasi yang normal



atau



dianggap



sebagai



siklus



menstruasi yang klasik ialah 28 hari, tetapi variasinya cukup luas antara wanita satu dengan wanita yang lain.51 Pada masa reproduksi dan dalam keadaan tidak hamil, selaput lendir (endometrium) uterus mengalami perubahan-perubahan siklik yang berkaitan erat dengan aktivitas ovarium. Dapat dibedakan tiga fase endometrium dalam siklus menstruasi.52 Masing-masing fase tersebut adalah sebagai berikut: a. Fase Proliferasi Setelah masing-masing daerah endometrium mengelupas sewaktu menstruasi, mulai terjadi proses perbaikan regeneratif, permukaan 50



H. Hendrik, Problema Haid Tinjauan Syariat dan Medis (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2006), 96. 51



Syamhartis, ―Larangan Bagi Wanita Haid Menurut Ibn Hazm Dalam Tinjauan Maqasidh AlSyari‘ah dan Relevansinya dengan Kemajuan Ilmu Pengetahuan‖ (Universitas Islam Sultan Syarif Kasim, 2011), 73. 52



Ibid.



33



endometrium dibentuk kembali dengan metaplasia sel-sel stroma dan dengan pertumbuhan keluar sel-sel epitel kelenjar endometrium. Dalam fase ini, salah satu gelembung dari gelembung-gelembung indung telur mengeluarkan hormon estrogen yang memiliki peran mengembangkan rahim. sehingga ukurannya mengalami peningkatan yang berlipat, di mana yang semulanya hanya berukuran 1mm menjadi 5 mm.53 Dalam fase ini endometrium tumbuh menjadi setebal lebih kurang 3,5 mm. Fase ini berlangsung menjadi tiga tahap, yaitu: 1) Fase proliferasi dini Fase ini terjadi pada hari ke 4 sampai hari ke 7. Fase ini dapat dikenali dari epitel permukaan yang tipis dan adanya regenerasi epitel. 2) Fase proliferasi madya. Fase ini terejadi pada hari ke 8 sampai hari ke 10. Fase ini merupakan bentuk transisi dan dapat dikenali dari epitel permukaan yang berbentuk torak yang tinggi. 3) Fase proliferasi akhir. Fase ini berlangsung antara hari ke-11 sampai hari ke- 14. fase ini dapat dikenali dari permukaan yang tidak rata dan dijumpai banyaknya mitosis.54 b. Fase luteal



53



Utsman Al-Khasyt, Fikih Wanita Empat Madzhab, 48.



54



Syamhartis, ―Larangan Bagi Wanita Haid Menurut Ibn Hazm Dalam Tinjauan Maqasidh AlSyari‘ah dan Relevansinya dengan Kemajuan Ilmu Pengetahuan,‖ 74.



34



Pada akhir fase luteal, endometrium sekretorius yang matang dengan sempurna mencapai ketebalan seperti beludru yang tebal dan halus. Endometrium menjadi kaya dengan darah dan sekresi kelenjar. Umumnya pada fase pasca ovulasi wanita akan lebih sensitif. Sebab pada fase ini hormon reproduksi (FSH, LH, estrogen dan progesteron) mengalami peningkatan. Jadi pada fase ini wanita mengalami yang namanya Pre Menstrual Syndrome (PMS).55 Sekitar seminggu setelah pembentukannya, produksi estradiol dan progesteron menurun. Sampai hari ke-28 dalam siklus, kadar steroid



ovarium



tidak



cukup



untuk



mendukung



penebalan



endometrium dan akhirnya luruh masuk ke uterus. Luruhan darah ini melaui vagina disebut menstruasi. c. Masa menstruasi Pada masa ini endometrium diluruhkan dari dinding rahim disertai perdarahan, hanya lapisan tipis yang tinggal yang disebut stratum basale, fase ini berlangsung 4 hari. Pengelupasan ini terjadi secara tidak teratur, serampangan, beberapa daerah tidak terganggu, bagian lain mengalami perbaikan, sedangkan tempat-tempat lain secara serentak dilepaskan. Endometrium yang lepas, bersama dengan cairan jaringan dan darah, membentuk koagulum di dalam rongga uterus.



55



Sinaga, Saribanon, dan Sa‘adah, Manajemen Kesehatan Menstruasi, 27.



35



Jadi dengan menstruasi itu keluar darah, potongan-potongan endometrium dan lendir dari servik. Darah itu tidak membeku karena ada fermen yang mencegah pembekuan darah dan mencairkan potongan-potongan mucosa (selaput lender). Hanya kalau banyak darah keluar maka fermen tersebut tidak mencukupi hingga timbul bekuan-bekuan darah dalam darah menstruasi. Banyaknya perdarahan selama menstruasi normal lebih kurang 50 cc.56 4. Gangguan Haid (menstruasi ) a. PMS (Pre Menstruasi Syndrome) Merupakan gabungan dari tanda-tanda fisik dan kejiwaan yang menyertai sebelum atau saat menstruasi (haid) berlangsung dan akan hilang dalam beberapa jam setelah darah haid keluar. PMS biasanya disertai dengan perasaan mudah tersinggung, emosi menjadi labil, sensitive, mudah uring-uringan, perasaan tertekan, sakit punggung, sakit kepala, kram perut, , berat badan bertambah karna cairan di dalam tubuh meningkat akibatnya payudara menjadi bengkak dan sakit, sembab pada muka atau kaki. Hal ini dikarenakan tidak adanya keseimbangan antara hormone estrogen dan progesterone di dalam tubuh seseorang,di mana estrogen mempengaruhi penumpukan cairan pada tubuh. 57 56



Syamhartis, ―Larangan Bagi Wanita Haid Menurut Ibn Hazm Dalam Tinjauan Maqasidh AlSyari‘ah dan Relevansinya dengan Kemajuan Ilmu Pengetahuan,‖ 76. 57



Faisal Yatim DTM, Haid Tidak Wajar Dan Menopause (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2001),



3–37.



36



PMS biasanya tidak memerlukan pengobatan khusus, kecuali jika kondisinya menjadi sangat berat. Namun perlunya mengatur diet dari kopi, makanan yang manis-manis. Serta perbanyak makan biji-bijian, sayursayuran dan asam linoleat yang banyak terdapat pada biji sejenis bunga rose. Serta harus diimbangi juga dengan olehraga dengan teratur. Keluhan PMS ini berbeda antara wanita satu dengan yang lain. Dan beberapa wanita, PMS bisa berlanjut dengan dismenorrhoe (rasa nyeri sewaktu darah haid keluar)58 b. Dismenorrhoe Dismenorrhoe merupakan istilah untuk rasa sakit sewaktu haid. Dismenorrhoe dikaitkan



dengan produksi hormone progesterone yang



meningkat. Hormone ini dihasilkan oleh jaringan ikat (corpus luteum) yang berfungsi sebagai pengganti jaringan indung telur setelah melepaskan sel telur yang matang setiap bulan. Berdasarkan nyerinya, dismenorrhoe dibagi menjadi: 1)



Dismenorrhoe primer



Adalah rasa nyeri yang timbul sejak pertama kali mengalami haid. Dan akan berkurang keluhan sakitnya seiring berjalannya waktu, tepatnya setelah stabilnya hormone tubuh atau perubahan posisi rahim setelah menikah dan melahirkan.



58



Ibid.



37



2)



Dismenorrhoe Sekunder



Rasa sakit akibat dismenorrhoe primer muncul ketika ada penyakit atau kelainan seperti misalnya rahim yang kurang sempurna karena ukurannya yang tidak normal (terlalu kecil), kelainan kedudukan rahim yang mengganggu organ dan jaringan di sekitarnya, adanya tumor dalam rongga Rahim (misalnya infeksi rahim, kista atau polip), atau penyakit-penyakit tubuh lain seperti tuberkulosa, kurang darah (anemia). Adapun untuk pencegahan dan pengobatannya, olahraga dan latihan peregangan otot-otot dan ligament sekitar rongga panggul lebih diutamakan., agar aliran darah di rongga panggul lancar. Selain itu harus membiasakan makan makanna berserat. Dan bila perlu, pemberian obat anitsakit juga kadang diperlukan.59 c. Nyeri dan Pendarahan di Antara Siklus Menstruasi Pendarahan saat haid bisa terjadi tanpa disertai dengan rasa sakit. Keluhan sakit ini biasanya terjadi pada pertengahan siklus haid. Dan tingkat keluhannya pun berbeda-beda antara wanita satu dengan wanita lain, bisa ringan bahkan ada juga yang berat. Keadaan ini biasanya bersamaan dengan keluarnya darah haid yang bertambah banyak atau menjadi sedikit bahkan hanya bercak-bercak kecoklatan.



59



Ibid.



38



Rasa nyeri ini terjadi karena adanya pendarahan dalam rongga perut pada saat pecahnya indung telur sewaktu melepaskan sel telur saat ovulasi. Untuk mengatasi keluhan atas rasa sakit ini cukup diberikan dengan pemberian obat antisakit biasa. Namun untuk mengobati adanya kelainan pada selaput Rahim, perlu dilakukan kuretase untuk menghentikan perdarahan. d. Perdarahan yang Tidak Wajar Terdapat beberapa macam gangguan menstruasi yang paling sering muncul, yaitu: 1) Jangka waktu haid lebih lama dari biasanya, atau biasa disebut dengan menorrhagia atau oligomenore. 2) Jangka waktu haid lebih sering dari biasanya, atau biasa disebut dengan poly menorrhea atau polimenore. 3) Tidak mengalami menstruasi sama sekali, atau biasa disebut dengan amenore 4) Darah yang keluar saat haid berlangsung terlalu banyak, atau biasa disebut dengan hipermenore 5) Darah yang keluar saat haid berlangsung terlalu sedikit, atau biasa disebut hipomenore Maka sangat dianjurkan untuk membuat catatan siklus haid agar mengetahui pola siklus haid yang dialami. Dari catatan 39



tersebut bisa dijadikan bahan evaluasi atas perubahan siklus yang terjadi saat haid. 5. Dampak Berhubungan Seks Saat Menstruasi Berhubungan seks saat menstruasi dapat merugikan kesehatan kedua pasangan. Bahkan dapat mmengakibatkan tertularnya penyakit seksual menular, diantaranya: 60 a. Penyakit Menular Seksual Saat wanita mengalami menstruasi leher rahim akan terbuka. Terbukanya leher rahim dapat mempermudah kuman dan bakteri masuk, bahkan menyebar hingga ke rongga pinggul. Wanit ajuga berpotensi tertular virus HIV dan hepatitis jika melakukan hubungan seks saat menstruasi. b. Resiko Infeksi Saat menstruasi, dinding vagina akan mengalami inflamasi atau pembengkakan sebagai proses alami tubuh. Saat inflamasi terjadi, lapisan dinding rahim akan mengalami peluruhan bebarengan dengan keluarnya darah



haid.



Darah



tersebut



merupakan



media



yang



berpotensi



menggembangkan kuman dan bakteri yang bisa mengakibatkan infeksi saluran kencing, sperma dan prostat pada pria. c. Endometriosis



60



Rena Erlianisyah Putri, Biologicaliosopy (Asrifa, 2014), 44.



40



Endometriosis mengacu pada pertumbuhan sel-sel di luar endometrium (dinding rahim) atau di tempat lain. Dalam tingkat lanjut pertumbuhan selsel tersebut akan memicu rasa nyeri saat haid atau biasa disebut dengan dismenore. Salah satu penyebabnya adalah regurgitasi atau aliran balik darah haid dari dalam rahim ke saluran indung telur dan masuk ke dinding perut. ini dapat terjadi jika melakukan hubungan seks saat haid. Resiko infeksi juga semakin meningkat baik pada pria maupun wanita. Tingkat keasaman dan kemampuan lendir vagina untuk melawan bakteri saat berhubungan seks akan mengalami penurunan, sehingga berpotensi mengembangkan bakteri dan kuman yang membahayakan kesehatan. d. Sudden Death Gerakan penis pasa saat berhubungan seks di masa haid juga bisa menjadi pemicu terjadinya gelembung udara ke pembuluh darah yang terbuka, jika gelembung udara masuk ke dalam pembuluh darah maka akan mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah dan bisa mengakibatkan sudden death atau mati mendadak. e. Luka Trauma di Mulut Rahim Darah adalah sumber makanan bagi kuman, banyak zat-zat yang terkandung di dalamnya. Jika darah masuk ke dalam perut bisa menjadi medium yang sangat baik untuk perkembangbiakan bakteri yang ada di tubuh. Dan berhubungan seks dengan wanita haid bisa menyebabkan luka trauma di mulut rahim yang diakibatkan adanya infeksi. 41



f. Aids Aids merupakan singkatan Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah kumpulan penyakit yang diakibatkan sebagai dampak dari perkembangbiakan virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). Jenis virus ini menyerang sel darah putih sehingga mengakibatkan rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia. Apabila seorang telah terkena virus ini, maka akan mudah terjangkit berbagai penyakit, baik penyakit berat maupun ringan sekalipun. Penyakit AIDS merupakan penyakit yang menular, dan penularannya bisa melalui dua cara yaitu: 1) kontak tidak langsung, kontak tidak langsung dalam penularan penyakit AIDS bisa terjadi melalui transfusi darah yang berasal dari penderita AIDS, penggunaan jarum suntik secara bergantian dengan penderita AIDS, bayi yang dilahirkan ileh ibu yang menderita AIDS, pemberian ASI dari seorang ibu menyusui yang menderita penyakit AIDS 2) kontas langsung, yang dimaksud adalah berhubungan seks dengan penderita AIDS, baik yang dilakukan secara vaginal ataupun anal.61 g. Sifilis



61



Obi Andarto, Penyakit Menular di Sekitar Anda (Begitu Mudah Menular dan Berbahaya, Kenali, Hindari, dan Jauhi Jangan Sampai Tertular Obi Andarto Jakarta Penyakit Menular di Sekitar Anda (Begitu Mudah Menular dan Berbahaya, Kenali, Hindari, dan Jauhi Jangan Sampai Tertular (Jakarta: Pustaka Ilmu Semesta, 2015), 7.



42



Sifilis merupakan penyakit akibat dari berhubungan seks bebas dan berganti-ganti pasangan. Sifilis merupakan penyakit yang berbahaya hanya dalam waktu beberapa minggu dan penyakit ini sifatnya dapat menular. Penularannya dengan cara berhubungan seksual, sifilis juga bisa menular kepada janin oleh ibu yang menderita penyakit ini, bahkan bayi yang nanti dilahirkannya mengalami cacat atau bahkan meninggal dunia.62



62



Ibid., 10.



43



BAB III ALI ASSHOBUNI DAN PENAFSIRAN AYAT-AYAT HAID



A. Riwayat Singkat Tentang Ali Asshobuni 1. Tempat Kelahiran dan Pendidikan Ali Asshobuni Nama lengkapnya adalah Muhammad Ali bin Jamil Ash-Shabuni yang lahir di kota Halab (kini menjadi Alepo) Syiria pada tahun 1928 M/1347H. Ali Asshobuni dibesarkan di tengah-tengah keluarga terpelajar. Ayahnya bernama Syekh Jamil merupakan salah satu ulama senior di kota Aleppo. Pendidikan dasar agama Ali Assobuni didapatkan dari ayahnya sendiri, di mulai dengan belajar bahasa Arab, ilmu mawaris dan ilmu-ilmu agama lainnya.63 Sejak kanak-kanak Ali Asshobuni sudah memperlihatkan bakat dan kecerdasan dalam menyerap berbagai illmu agama, hal ini terbukti. dengan berhasilnya ia menghafal seluruh juz dalam Al-Quran di usia yang masih sangat belia.64 Untuk menambah pengetahuannya, Ali Asshobuni juga kerap mengikuti kajian-kajian para ulama lainnya yang biasa diselenggarakan di berbagai masjid. Ali Asshobuni juga berguru kepada ulama terkemuka di Aleppo, seperti Syaikh Muhammad Najib Sirajuddin, Syaikh Ahmad al-



63



Fiddian Khairudin dan Syafril, ―Paradigma Tafsir Ahkam Kontemporer Studi Kitab Rawai‘u al Bayan Karya Ali al-Shabuni Syafril, Jurnal Syahadah, Vol V, No 1, April 2017 Universitas Islam Tembilahan‖ V no 1, no. Syahadah (April 2017): 111. 64



https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/07/17/m7bb0f-hujjatul-islam-syekhaliashshabuni-1. Diakses 16 Agustus 2019



44



Shama, Syaikh Muhammad Said al-Idlibi, Syekh Muhammad Raghib alTabbakh, dan Syekh Muhammad Najib Khayatah.65 Setelah menyelesaikan studinya di bangku sekolah dasar, Ali Assabuni melanjutkan pendidikan formalnya di sekolah milik pemerintah yang bernama Madrasah Al-Tijariyya. Di sekolah tersebut Ali Assabuni hanya mengenyam pendidikan selama satu tahun, hal itu karena dia tidak setuju atas kecenderungan ilmiah sekolah tersebut dalam mengajarkan perdagangan dengan sistem ribawi yang terjadi di bank. Kemudian Ali Assabuni melanjutkan pendidikannya di Khasrawiyya yang berada di kota Alepo. Saat bersekolah di Khasrawiyya, Ali Assabuni tidak hanya mempelajari bidang ilmu-ilmu Islam, tetapi juga mata mempelajari ilmu umum. Ali Assabuni berhasil menyelesaikan pendidikan di Khasrawiyya dan lulus tahun 1949.66 Atas beasiswa yang diberikan Departemen Wakaf Suriah, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Fakultas Syari‘ah Universitas al-Azhar Mesir, hingga selesai strata satu pada tahun 1952. Dua tahun berikutnya di Universitas yang sama ia memperoleh gelar megister dengan konsentrasi peradilan syari’ah atau perundang-undangan Islam.67



65



http://pustakamuhibbin.blogspot.com/2012/12/biografi-singkat-mufassir-syaikh-ali_453.html Diakses pada Jumat, 16 Agustus 2019, 11.55 WIB 66



Andy Haryono, ―Analisis Metode Tafsir Muhammad Ash-Shabuni dalam Kitab Rawaiu‘ alBayan Wardah Vol. 18 No.1 2017‖ 18 No.1, no. Wardah (2017): 57. 67



Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: Teras, 2006), 56.



45



Setelah menempuh pendidikannya di Mesir, Ail Assabuni kembali ke kota kelahirannya mengajar diberbagai sekolah menengah atas yang berada di kota Aleppo. Pekerjaan sebagai guru sekolah menengah atas ini ia lakoni selama delapan tahun, dari tahun 1955 hingga 1962. Setelah itu, ia mendapatkan tawaran untuk mengajar di Fakultas Syariah Universitas Umm Al Qura dan Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz yang berada di Kota Makkah. Ali Assabuni mengajar didua perguruan tinggi tersebut selama 28 tahun.68 Dengan pengalaman prestasi akademik dan kemampuannya dalam menulis, saat menjadi dosen di Universitas Umm Al Qura, Ali Asshobuni pernah menyandang jabatan ketua Fakultas Syari‘ah. Ia juga dipercaya untuk mengepalai Pusat Kajian Akademik dan Pelestarian Warisan Islam. Selain kesibukannya mengajar di kedua Universitas tersebut, Ail Assabuni juga sering memberikan kuliah terbuka untuk masyarakat umum yang bertempat di Masjidil Haram. Selain Masjidil Haram, kuliah tafsir juga disampaikan pada salah satu masjid di Kota Jeddah. Kuliah ini berlangsung lebih kurang delapan tahun. Materi-materi kuliah yang disampaikan kemudian direkam dalam kaset. Bahkan, tidak sedikit hasil rekaman kuliah tersebut yang ditayangkan



68



Ibid., 57.



46



dalam program khusus di televisi. Kegiatan perekaman materi kuliah alShabuniy berhasil diselesaikan pada tahun 1998.69 2. Karya Ali Asshobuni Ali Asshobuni adalah seorang akademisi yang memiliki minat tinggi dalam kegiatan penelitian dan penulisan terlebih dalam hal kajian Al-Qur‘an. Ali Asshobuni termasuk salah satu ilmuan produktif dalam melahirkan berbagai karya. Banyak karyanya kemudian tersebar luas di dunia Islam dan menjadi rujukan di kalangan akademisi. Berikut di antara karya-karya al-Shabuniy yang di klasifikasi berdasarkan bidang keilmuan: d. Rawa’iu al-Bayan fi Tasair Ayat al-Ahkam min Al-Qur’an e. Al-Tibyan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Pengantar Studi Al-Qur’an) f. al-Nubuwah wa al-Anbiya (Para Nabi dalam Al-Qur’an) g. Qabasun min Nur Al-Qur’an (cahaya Al-Qur’an) h. Shafwah al-Tafasir i. Mausu’ah Al-Fiqh As-Syar’I al-Muyassar j. At’ Tafsir Al-Wadhih Al-Muyassar k. Ijazu’l Bayan fi Suwari’l Quran l. Mauqifu’s Syari‘ah Al-Gharra’ min’ Nikahi’l Mut’ah m. Aqidah Ahlus’s Sunnah fi Mizani’s Syar’i



69



Ibid.



47



n. Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir o. Mukhtashar Tafsir Thabari p. Fathu’r Rahman bi Kasyfi ma Yatalabbasu fi’l Qura’an.70 B. Tafsir Rawai’ Bayan 1. Deskripsi Umum Tentang Tafsir Rawai’ Bayan



Dari buah pemikiran seorang ilmuwan yang berasal dari Aleppo lahirlah sebuah karya tafsīr yang menambah khazanah keilmuan keislaman dalam bidang tafsir Al-Qur‘an, yaitu Rawāi‘ul Bayān fi tafsiri ayati‘l Ahkam mina‘l Quran atau terjemahan harfiahnya adalah ―Keterangan yang indah dalam tafsir ayat-ayat hukum dari Al-Quran‖ Kitab ini sempurna di diselesaikan Ali Asshobuni selama 10 tahun. Karena sebelum lahirnya karya ini, Ali Asshobuni menelaah terlebih dahulu terhadap apa-apa yang ditulis oleh para mufasir sebelumnya. Kitab tafsir Rawāi‘ul Bayānini masuk ke dalam dalam corak Tafsir Ahkam yang fokus pembahasan pada ayat-ayat hukum. Pembatasan ayat-ayat hukum yang terdapat di dalam Al-Quran inilah yang menjadi ciri khas dari tafsir Ahkam. Metode yang digunakan dalam kitab Rawai' al-Bayan adalah metode tematik. Uraiannya diacukan pada tema-tema ayat-ayat hukum yang menjadi



70



Haryono, ―Analisis Metode Tafsir Muhammad Ash-Shabuni dalam Kitab Rawaiu‘ al-Bayan Wardah Vol. 18 No.1 2017,‖ 59.



48



pilihan penulisnya. Seperti yang telah dipetakan, buku ini terdiri atas dua jilid besar. Pada jilid pertama terdapat 699 dan 701 halaman pada jilid kedua. Jilid pertama dimulai dari surat Al-Fatihah hingga pertemuan ke empat puluh tentang pendekatan diri kepada Allah dengan berkurban. Sedangkan jilid ke dua terdiri dari 30 pertemuan, diawali dengan Surat An Nur dan diakhiri dengan pembahasan mengenai pembacaan Al-Quran, yakni tafsir Q.S. Al-Muzammil. Kitab Rawai‘ al-Bayan ada 70 tema pembahasan ayat hukum yang menjadi objek kajian al-Shabuniy, di mana pada juz yang pertama dibahas 40 tema dan di juz kedua terdapat 30 puluh tema. Jumlah ayat hukum yang dikaji sebanyak 248 ayat yang tersebar dalam 21 surat. Dengan rincian, selain surat al-Fatihah, surat al-Baqarah 20 tema, Ali ‗Imran 2 tema, al-Nisa‘ 7 tema, alMaidah 4 tema, al-Taubah 2 tema, al-Anfal 3 tema, al-Hajj 1 tema, al-Nur 9 tema, Luqman 1 tema, al-Ahzab 7 tema, Saba‘ 1 tema, Shad 1 tema, Muhammad 2 tema, al-Hujurat 1 tema, al-Waqi‘ah 1 tema, al-Mujadalah 2 tema, al-Mumtahanah 1 tema, al-Jum‘ah 1 tema, al-Thalaq 2 tema, dan alMuzammil 1 tema.71 Dibandingkan dengan karya tafsir ahkam sebelumnya, seperti, Ahkam AlQur‘an karya al-Jassas, Ahkam Al-Qur‘an karya Ibnu al-‗Arabi, Ahkam AlQur‘an karya al-Baihaqi yang menghimpun riwayat-riwayat tafsir tafsir 71



Khairudin dan Syafril, ―Paradigma Tafsir Ahkam Kontemporer Studi Kitab Rawai‘u al Bayan Karya Ali al-Shabuni Syafril, Jurnal Syahadah, Vol V, No 1, April 2017 Universitas Islam Tembilahan,‖ 115.



49



ahkam dari Imam Syafi‘i, dan Muhammad ‗Ali al-Sayis dengan karya Tafsir Ayat al-Ahkam, maka buah tangan ‗Ali al-Shabuni ini merupakan tafsir ahkam yang komprehensif dari aspek pembahasannya. Karena di samping mengulas ayat dari segi penafsiran dan kandungan hukumnya, Ali Asshobuni juga mengkaji aspek aksiologis dari hukum Islam- yaitu hikmatu al-Tasyri‘, di mana dalam produk tafsir ahkam sebelumnya, persoalan ini tidak begitu mendapat perhatian yang serius dari penulisnya.72 Dikarenakan tafsir ini dihimpun khusus untuk mengkaji ayat-ayat hukum, maka tidak semua ayat dalam surat Al-Qur‘an ditafsirkan oleh Ali Asshobuni, namun demikian ia tetap menafsirkan ayat sesuat dengan urutan surat dalam mushaf Al-Quran. Penting untuk dikemukakan bahwa ayat hukum adalah ayat-ayat AlQur‘an yang mengandung hukum terkait dengan perbuatan manusia. Tidak seperti hukum taklifî yang dikategorisasi-kan para ulama fikih yang berupa wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Maka dalam menjelaskan hukum, Al-Qur‘an hanya menggunakan kata perintah dan larangan. Paling jauh, AlQur‘an menggunakan diksi halal dan haram untuk menjelaskan sesuatu yang boleh dan tidak boleh untuk dilakukan.73



72



Ibid., 127.



73



Lilik Ummi Kaltsum dan Abd Moqsith, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, Ciputat: UIN Press, 2015 (Ciputat: UIN Press, 2015), 111.



50



Pengkategorisasian hukum dalam fiqih sudah lebih detail. mencangkup wajib sunah haram makruh mubah. Sedangkan penjelasan hukum dalam al qur‘an hanya menggunakan kata perintah dan larangan. Paling jauh, AlQur‘an menggunakan diksi ‚halal‛ dan ‚haram‛ untuk menjelaskan sesuatu yang boleh dan tidak boleh untuk dilakukan. Kitab Rawai' al-Bayan ini termasuk dalam kategori tafsir ahkam atau tafsir fiqhi, karena tafsir ini secara khusus hanya membahas masalah hukum yang berorientasi pada hukum Islam (fiqh). Tafsir ahkam merupakan salah satu corak dari beragam corak penafsiran Al-Qur‘an. Di mana corak ini lebih memfokuskan pada penafsiran ayat-ayat Al-Qur‘an yang berpotensi menjadi dasar hukum fiqih. Sebagaimana ayatayat ahkam dimaknai sebagai ayat-ayat Al-Qur‘an yang berisikan rangkaian tentang perintah dan larangan, atau masalah-masalah fiqih lainnya.74 Dalam menetapkan hukum, Ali Ashobuni sendiri tidak berpegang pada satu madzhab tertentu namun beliau mengambil pendapat yang dianggapnya lebih kuat dan menimbang pendapat mana yang lebih dekat dengan kebenaran. 2. Metodologi Tafsir Rawai’ Bayan



Secara metodologis, tafsir Rawai’ al-Bayan menggunakan metode pemikiran atau ra’y. Dari penelitian yang dilakukan terkait dengan ―prosedur penafsiran‖



74



Isnan Ansory, Mengenal Tafsir Ayat Ahkam (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018), 5.



51



yang dibangun Ali Asshobuni, dapat diketahui bahwa yang menjadi perangkat dasar atau basis penalarannya ketika menafsirkan ayat ahkam adalah sebagai berikut:75 a) Analisa Bahasa Langkah awal Ali Asshobuni dalam menafsirkan ayat ahkam yaitu dengan menggunakan analisis bahasa. Ali Asshobuni menganalisis kosa kata-kosa kata yang dianggap penting untuk dijelaskan. Contohnya ketika Ali Asshobuni menafsirkan surat Al-Baqarah dalam ayat 228-231 yang menjelaskan masalah thalaq dalam syariat islam. b) Analisa Asbab an-Nuzul Asbabun nuzul juga tidak luput dalam kajian tafsir Rawai‘ Bayan. Karena pemahaman terhadap asbabun nuzul akan mempermudah para penafsir untuk memberikan implikasi pemaknaan sesuai dengan kondisi tempat dan saat penafsir hidup.76 Contohnya ketika Ali Asshobuni menafsirkan surat Al-Baqarah dalam ayat 222 berkenaan batasan menjauhi wanita yang sedang mengalami haid. Di situ dijelaskan bahwa orang-orang Yahudi apabila istrinya sedang haid, maka mereka tidak mengajak istri-istrinya berkumpul 75



Khairudin dan Syafril, ―Paradigma Tafsir Ahkam Kontemporer Studi Kitab Rawai‘u al Bayan Karya Ali al-Shabuni Syafril, Jurnal Syahadah, Vol V, No 1, April 2017 Universitas Islam Tembilahan,‖ 118. 76



Nurcholish Madjid, Konsep Asbabun Nuzul: Relevansi bagi Pandangan Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), 25.



52



dalam rumah, tidak diberikan kepadanya makan dan minum, serta para istri diasingkan di luar rumah. Maka atas peristiwa tersebut, ada seseorang yang bertanya hal itu kepada Nabi Muhammad. Lalu turunlah



firman



Allah



ayat



222



surat



al-Baqarah



yang



menjelaskannya. Nabi Muhammad menyampaikan ayat tersebut serta membolehkan melakukan apa saja kecuali jima‘77 c) Analisa Istinbath hukum Dalam menjelaskan kandungan hukum, Ali Asshobuni merujuk pada pandangan Fuqaha‘, khususnya pada empat imam mazhab, yakni Hanafiyyah, Malikiyah, Syafi‘iyyah dan Hanabilah. Setelah mendiskripsikan



pendapat



para



fuqaha‘,



Ali



Asshobuniy



melakukan tarjih, yaitu menguatkan salah satu dalil dari beberapa dalil, sehingga dapat diketahui dalil mana yang lebih kuat yang telah dikemukakan oleh fuqaha‘. d) Analisis Hikmah at-Tasyri‘ Tahap akhir penafsiran Ali Asshobuni dalam kitabnya Rawai‘ Bayan, beliau



menyertakan hikmah at-tasyri sebagai penutup



pembahasan. Hikmah at-tasyri adalah hikmah ditetapkannya hukum islam yang bertujuan mengungkap makna filosofi suatu



77



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 239.



53



hukum secara rasional dan logis yang terdapat pada ayat yang ditafsirkan. 3. Sistematika Tafsir Rawai’ Bayan



Dalam menyajikan penafsiran-penafsirannya, Ali Asshobuni memberikan urutan sebagai berikut: a. Penjelasan teks dengan berpegang pada pendapat-pendapat ahli tafsir dan ahli bahasa Arab. b. Makna global dari ayat-ayat Al-Quran dengan bentuk yang ringkas. c. Menerangkan sebab turunnya ayat jika terdapat riwayat mengenai hal tersebut. d. Relasi antara ayat sebelum dan sesudah. e. Membahas ragam bacaan (qiraat) yang mutawatir. f. Membahas ragam i’rab dengan ringkas (ijaz). Dalam penafsirannya, Ali Asshobuni membahas i’rab dari ayat-ayat yang hendak ditafsirkan. g. Lathaif yakni Keunikan-keunikan yang terdapat dari ayat yang ditafsirkan h. Hukum syarak dan dalil para ahli fikih, dengan menguatkan salah satu dari dalil-dalil tersebut. Hukum fiqih sangat kental sekali dalam tafsir ini. Seperti pada surat Al-Baqarah ayat 182—187, Ash-Shabuni menjelaskan beberapa pendapat ulama terkait bolehnya tidak berpuasa bagi orang yang sakit, dan Ali Asshobuni pun menguatkan (tarjih) pendapat jumhur. Ujarnya, ―Aku sependapat dengan jumhur ulama, 54



dimana pendapatnya lebih rasional bahwa hikmah diperbolehkannya tidak berpuasa bagi mereka yang sakit adalah suatu kemudahan...‖ i. Menjelaskan maksud yang dikehendaki dari ayat-ayat dengan ringkas. Setelah menjelaskan hukum fikih dan menguatkan salah satu pendapat, Ali Asshobuni menjelaskan maksud ayat secara ringkas. Dapat kita sebut dengan rangkuman. j. Penutup pembahasan dengan menampilkan hikmah at-tasyri’ atau hikmah di balik penetapan suatu hukum bertujuan mengungkap makna filosofi suatu hukum secara rasional dan logis yang terdapat pada ayat yang ditafsirkan.78 C. Penafsiran Ali Asshobuni Terhadap Ayat-Ayat Haid Dalam Al-Qur’an 1. Surat al Baqarah Ayat 222 a) Redaksi Ayat



ِ ْ َ‫يض َّۖ َّقُ َّل َّ ُى َّو َّأَذًى َّف‬ ِ ‫َّع ِن َّالْ َم ِح‬ َّ‫يض َّۖ َّ َوََّل‬ َِّ ‫ف َّالْ َم ِح‬ َّ َِّ َ‫اء‬ َّ ‫ِّس‬ َ َ‫َويَ ْسأَلُون‬ َ ‫ك‬ َ ْ َ ‫اعتَزلُوا َّالن‬ ََّّ‫ث َّأ ََمَرُك َُّم َّالل َّوُ َّۖ َّإِنَّ َّالل َّوَ َّ ُُِيب‬ َُّ ‫وىنَّ َّ ِم َّْن َّ َحْي‬ َّ‫وىنَّ َّ َح ى‬ ُ ُ‫ّت َّيَطْ ُه ْر ََّن َّۖ َّفَِإذَا َّتَطَه ْر ََّن َّفَأْت‬ ُ ُ‫تَ ْقَرب‬ ََّ ‫يَّ َوُُِيبَّالْ ُمتَطَ ِّه ِر‬ ‫ين‬ ََّ ِ‫الت واب‬ Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.



78



Ibid., xviii. Dalam muqaddimah yang disampaikan Ali Asshobuni dalam kitab Rawai‘ Bayan.



55



b) Mufrodad Al-Mahid biasa juga disebut dengan al-haid. Keduanya merupakan masdar dari fi‘il (kata kerja) hada-yahidu-haidan wa mahidan yang berarti keluar darah. Sedangkan menurut istilah, al-mahid adalah darah yang keluar dari pangkal rahim wanita setelah mencapai umur baligh dan memproduksi sel telur. Jika sel telur tidak dibuahi oleh sperma laki-laki, maka sel telur tersebut akan membusuk dan rusak, dan akhirnya keluar dalam bentuk darah haid.79 c) Asbabun Nuzul Imam Muslim dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Anas bahwa orangorang Yahudi apabila istrinya sedang haid, maka mereka tidak mengajak istri-istrinya berkumpul dalam rumah, tidak diberikan kepadanya makan dan minum, serta para istri diasingkan di luar rumah. Maka ada seseorang yang bertanya hal itu kepada Nabi Muhammad. Dalam tafsir al-Baidhawi, orang yang menanyakan hal tersebut adalah Abu Dahdah.80 Lalu turunlah firman Allah QS. Al-Baqarah: 222 tersebut. Sebenarnya esensi dari pertanyaan orang-orang Yahudi bukanlah apa itu haid, melainkan bagaimana tuntunan Illahi kepada suami yang istrinya sedang mengalami haid. Meski jawaban dari ayat tersebut sangat singkat, namun sudah cukup memberikan informasi tentang keadaan wanita yang 79



Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), 329.



80



Mardani, Tafsir Ahkam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 212.



56



sedang mengalami haid dan bagaimana seharusnya menghadapi mereka pada saat itu.81 Setelah ayat itu turun, Nabi Muhammad menyampaikan ayat tersebut dengan menyatakan kepada para penanya dan seluruh umat Islam, serta memerintahkan kaum laki-laki untuk mengajak istrinya berkumpul di dalam rumah meskipun jika istrinya sedang haid, mengajaknya makan dan minum serta melakukan apa saja kecuali mengaulinya. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim: 82



Berbuatlah apa saja kecuali bersetubuh.



ِ ٍ َ ‫اصنَ عُواَّ ُكل‬ َّ‫اح‬ ْ َ ‫َّش ْيءَّإلَّالنِّ َك‬



Namun ada seorang Yahudi yang menanggapi hal tersebut, ―apa yang dikatakan Muhammad itu semata-mata agar terlihat berbeda dengan apa yang kita lakukan‖. Lalu mendengar hal itu, sahabat Abbad bin Bisyr dan Usaid bin Hudhair menghadap Nabi Muhammad serta menceritakan apa yang telah dikatakan Yahudi. Mereka juga menanyakan tentang kebolehan mengauli istri ketika sedang haid. Mendengar pertanyaan sahabat Abbad bin Bisyr dan Usaid bin Hudhair seketika raut muka Nabi Muhammad berubah. Sehingga Anas (yang meriwayatkan hadis yang pertama) mengira bahwa Nabi Muhammad marah kepada mereka berdua. Lalu Anas menghidangkan susu, lalu Nabi Muhammad menyilahkan 81



Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, 582.



82



Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turots al-‘Arobiy, t.t.), 195, nomor hadis:



303.



57



mereka berdua untuk meminumnya. Maka merekapun tahu kalau sebenarnya Nabi Muhammad tidaklah marah.83 d) Penafsiran Kaum Yahudi berlebihan atas sikap yang diberikan kepada wanita-wanita atau istri yang sedang haid. Mereka enggan untuk berinteraksi kepada wanita yang sedang haid, meskipun hanya sekedar makan dan minum saja. Dan wanita yang sedang haid dianggap sebagai penyakit atau kotoran yang menjijikkan sehingga harus di keluarkan dari rumah. Berbeda dengan kaum Yahudi, kaum Nasrani justru memandang haid bukanlah suatu masalah yang besar. Sehingga mereka tetap berinteraksi kepada istrinya selayaknya keadaan biasanya diwaktu suci, bahkan mereka tetap mengumpulinya meskipun istrinya sedang haid.84 Dan syari‘at Islam datang dengan ketentuan yang berada di tengahtengah antara keduanya. Dalam ajarannya, yang dijauhi hanya hal bersifat membahayakan dalam pandangan medis biologis, sedangkan untuk hal hal yang bersifat sosial psikologis islam tidak mempermasalahkan. Dengan sabda Nabi: 85



Berbuatlah apa saja kecuali bersetubuh.



ِ ٍ َ ‫اصنَ عُواَّ ُكل‬ َّ‫اح‬ ْ َ ‫َّش ْيءَّإلَّالنِّ َك‬



83



Kadar M. Yusuf, Tafsir ayat ahkam (Jakarta: Amzah, 2013), 239.



84



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 240.



85



Sahih Muslim, 195, nomor hadis: 303.



58



Lafald mahidh terkadang mempunyai arti haid dan terkadang juga menunjukkan arti tempat haid. Jawaban dari ayat ini, ―haid adalah kotoran‖ dalam konteks ini mempunyai arti sifatnya darah haid, bukan sifatnya tempat haid.86 Maka perintah untuk menjauhkan diri dari wanita yang sedang mengalami haid ini berarti perintah untuk menjauhkan diri dari tempat keluarnya haid, bukan secara mutlak menjauhi wanita yang sedang haid. Bahkan Nabi Muhammad memperbolehkan tidur bersama dengan istri yang sedang mengalami haid dan mencumbuinya, asalkan tidak melakukan hubungan seks antara pusar dan lutut. Dalam ayat ini penyebutan mahid diulang dua kali sebagai bentuk taukid bahwa yang benar-benar dilarang berhubungan seks itu ketika wanita mengalami haid. Karena yang keluar dari vagina wanita tidak hanya darah haid, melainkan juga istihadhoh dan nifas. Adapun dampak gangguan wanita saat mengalami haid dan istihadhoh tentu berbeda, dan dampak hukum yang dihasilkan pun juga perbeda tentunya. Makanya ditegaskan dalam ayat ini dengan menyebutkan lafald mahid sebanyak dua kali. Apabila lafald la taqrab dibaca dengan fathah ra‘nya, maka mempunyai arti ―jangan engkau pakai‖. Sedangkan jika dibaca dengan dhomah ra‘nya menjadi la taqrub, maka mempunyai arti ―jangan engkau



86



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 240.



59



dekati‖. Dalam ayat ini, ‫ن‬ ََّ ‫ّتَّيَطْ ُه ْر‬ َّ‫َّح ى‬ ُ ُ‫ َوَلَّتَ ْقرب‬, maka yang dimaksud adalah َ ‫وىن‬



َ



dilarang mengumpuli, Dalam ayat ini memerintahkan jangan dekati, bukan jangan lakukan. Bahkan untuk mendekatinya saja tidak diperbolehkan, apalagi melakukan. Dan pelarangan mendekati ini yang dimaksud adalah mendekati tempat terjadinya hubungan seks yang berbuah.87 e) Kandungan Hukum 1) Yang harus dijauhi ketika wanita dalam keadaan haid. Antara ulama berbeda pendapat mengenai apa yang wajib dijauhi terhadap wanita yang dalam keadaan haid. Diantaranya: a) Menurut Ibnu Abbas dan Ubaidh Silmi yang wajib dijauhi adalah seluruh tubuhnya. Pendapat ini berdasarkan perintah Allah untuk menjauhi wanita-wanita yang sedang haid dengan tidak mengecualikan sesuatu apapun. Maka laki-laki harus menjauhi seluruh



tubuhnya



karena



keumuman



ayat



yang



telah



difirmankanNya ―maka jauhilah wanita-wanita yang dalam keadaan haid‖. 88 Namun pendapat ini disanggah oleh Al-Qurtubi dengan mengatakan bahwa pendapat tersebut adalah pendapat yang 87



Ibid.



88



Ibid., 241.



60



janggal yang sangat berbeda dengan pandangan Ulama‘ pada umumnya. Meskipun ayat tersebut menunjukkan keumuman tanpa menyertakan apa-apa saja yang dilarang dilarang ketika wanita haid, namun masih ada banyak penjelasan dari hadis Nabi yang menjelaskan hal ini.89 b) Madzhab Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa yang wajib dijauhi adalah antara pusar dan lutut.90



Pendapat ini



berlandaskan dengan adanya riwayat dari Aisyah r.a bahwa ia berkata:



ِ ٍِ ٍ ِ ِ ِ َّ‫ ََّوَكا َن‬،‫ب‬ ُ ‫ُكْن‬ ُ ‫ت َّأَ ْغتَس ُل َّأَنَا ََّوالنِِب َّصلى َّاهلل َّعليو َّوسلم َّم ْن َّإنَاء ََّواحد َّك ََلنَا‬ ٌ ُ‫َّجن‬ ِ َ‫اشرِِن َّوأَن‬ ِ ِ َّ‫ف َّفَأَ ْغ ِسلُوُ ََّوأَنَا‬ ُ ‫َّوَكا َن‬، ٌ ‫َّم ْعتَ ِك‬ ٌ ‫اَّحائ‬ ُ ‫ِج ََّرأْ َسوُ ََّّإ ََل ََّوُى َو‬ َ َ ُ َ‫يَأْ ُم ُرِِن َّفَأَت ِزُر َّفَيُب‬ ُ ‫َِّيْر‬ َ ‫ض‬ َّ 91‫ض‬ ٌَّ ِ‫َحائ‬ Aku pernah mandi bersama Nabi Muhammad SAW dari satu bejana, sedang kami dalam keadaan junub, lalu Nabi SAW menyuruhku agar aku memakai kain, kemudian ia memelukku sedangkan aku dalam keadaan haid. (HR Bukhori, Muslim dan Tirmidzi) Dan juga pendapat dari Maimunah, bahwa ia berkata: 92



ِ ِ ِ ُ ‫َكا َنَّرس‬ َّ‫ض‬ ٌ ‫َّحي‬ ُ ‫ولَّاللوَّصلىَّاهللَّعليوَّوسلمَّيُبَاش ُرَّن َساءَهَُّفَ ْو َقَّا ِإل َزا ِر ََّوُىن‬ َُ



Adalah Rasulullah SAW biasa memeluk istri-istrinya di atas kain, sedang mereka dalam keadaan haid. HR Bukhori-Muslim



89



Ibid., 242.



90



Ibid., 241.



91



Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Sahih, 91, nomor hadis: 63:1.



92



Sahih Muslim, 192, nomor hadis: 297.



61



c) Madzhab Syafi‘i berpendapat bahwa yang wajib dijauhi adalah tempat keluarnya haid, yaitu vaginanya.93 Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi SAW: 94



Berbuatlah apa saja kecuali bersetubuh.



ِ ٍ َ ‫اصنَ عُواَّ ُكل‬ َّ‫اح‬ ْ َ ‫َّش ْيءَّإلَّالنِّ َك‬



Dan juga riwayat dari Masruq, ia berkata: 95



ِْ ‫َّشي ٍءَّإِل‬ ِِ ‫اَُّيلَّلِلرج ِل َِّمن‬ َِ ‫سأَلْتَّعائِ َشةََّم‬ َّ‫اع‬ َّْ َ‫َّصائِ ًما؟َّقَال‬ َ ‫َّاْل َم‬ َ ُ َ ْ َ ُ َ ‫َّامَرأَتو‬ َ ْ َ ‫َّ ُكل‬:‫ت‬



Aku pernah bertanya kepada Aisyah r.a. (tentang) apa yang boleh bagi laki-laki (suami) terhadap istrinya yang sedang mengalami haid? Aisyah menjawab: (boleh berbuat) apa saja kecuali bersetubuh. HR Ibnu Jarir at-Thabari dari Masruq bin Ajda‘. d) Tarjih Setelah melihat pendapat para ulama beserta dengan dalilnya,



bahwa yang lebih kuat adalah pendapat Abu Hanifah dan Malik. Dan pendapat inilah yang dipilih Ibnu Jarir at-Thabari dengan mengatakan bahwa bagi laki-laki terhadap istrinya yang sedang mengalami haid (boleh mengaulinya dalam batas-batas) apa yang di atas kain penutup kemaluan.96 Dan pelarangan bermain-main apa yang di antara pusar dan lutut merupakan bentuk kehatihatian. Karena jika berada di tempat yang dekat dengan area 93



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 241.



94



Sahih Muslim, 195, nomor hadis: 303.



95



Abu Bakar Abd al-Razzaq Al-Shan‘ani, Mushannaf Abd al-Razzaq (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1403H), bk. 4, hlm. 189, nomor hadis: 7439. 96



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 243.



62



terlarang, maka akan mudah sekali jatuh di dalamnya. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. setelah meriwayatkan hadis mubasyarah:



ِ َُّ ِ‫َوأَي ُك ْمَّّيَْل‬ ُ ‫كَّإِْربَوَُّ َك َماَّ َكا َنَّالنِِبَّصلىَّاهللَّعليوَّوسلمَّّيَْل‬ ُ‫كَّإِْربََّو‬



97



―Siapakah diantara kamu yang dapat mengekang hasratnya sebagaimana Rasulullah SAW dapat mengekangnya?‖



Menurut ulama ushul, jika terdapat dua hadis yang satu membolehkan dan yang satu melarang, maka yang didahulukan adalah hadis yang melarang. 2) Kafarat (denda) bagi orang yang menggauli istrinya yang sedang mengalami haid. Semua Ulama telah bersepakat tentang keharaman menggauli istri dalam keadaan haid. Tetapi terjadi perbedaan pendapat tentang adanya hukum kafarat bagi orang yang mengumpuli istrinya ketika keadaan haid. Imam Malik, Syafi‘i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang telah terlanjur mengumpuli istrinya yang sedang mengalami haid harus bertaubat dan beristighfar.98 Menurut mereka tidak ada kafarat apapun selain kedua hal tersebut. 97



Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Sahih, 91, nomor hadis: 302.



98



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 244.



63



Lain halnya dengan pendapat Imam Ahmad, menurutnya orang yang telah terlanjur mengumpuli istrinya yang sedang mengalami haid harus bersedekah sedinar atau setengah dinar.99 Pendapat ini mengacu pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, Ad-Darimi dan Ahmad.



:"



ِ ‫ع ِن َّالنِِب َّصلىَّاللو َّعلَي ِو َّوسلم َِّف َّال ِذيَّيأِِْت َّامرأَتَو َّوِىي‬ َّ ‫ال‬ َ َ‫َّق‬،‫ض‬ ٌ ‫َّحائ‬ َ َ ِّ َ َ َ ُ َْ َ َ ََ َْ ُ 100 ٍ ِ ِ‫ف‬ ِ ِ‫ص‬ ‫َّدينَا َّر‬ ْ ‫صد ُقَّبِدينَا ٍرَّأ َْوَّن‬ َ َ‫يَت‬



Rasulullah shallallahu ‗alaihi wasallam menyuruh orang yang mendatangi isterinya (jima') dalam keadaan haid untuk bersedekah dengan satu dinar atau setengahnya. Sebagian dari ahli hadis berpendapat bahwa jika wanita waktu disetubuhi masih ada darah yang mengalir, maka wajib bersedekah satu dinar. Namun jika waktu disetubuhi darah telah kering maka membayar dengan setengah dinar.101 Al-Qurtubi mengatakan alasan ulama yang tidak mewajibkan adanya kafarat dan hanya dengan bertaubat serta beristighfar adalah mengacu pada pendapat Ibnu Abas. Sedangkan hadis-hadis lain yang tentang itu tidak bisa dijadikan sebagai alasan. Dan tentang dzimah (tanggungan atau denda) adalah kembali kepada asal mulanya (tidak



99



Ibid.



100



Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, 69, nomor hadis: 264.



101



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 244.



64



ada).102 Karena kaidah dasarnya adalah sebuah tanggungan/ denda itu tidak ada kecuali diadakan oleh dalil-dalil yang jelas. 3) Lamanya masa haid. Para ulama berbeda pendapat mengenai penetapan masa minimal dan maksimal lamanya masa haid. Boleh jadi perbedaan ini dikarenakan hasil penelitian dan pengamatan para ulama terhadap wanita yang mengalaminya berbeda-beda antara seorang dengan yang lain. Bahwa dalam Al-Qur‘an tidak ada yang menerangkan tentang sedikit atau lamanya masa haid. Namun permasalahan seperti ini dapat dilihat dalam kitab-kitab furu‘ (fiqih). Adapun menurut Ulama Abu Hanifah dan ats-Tsauri , batas minimal masa haid adalah tiga hari tiga malam, dan batas maksimalnya sepuluh hari sepuluh malam103 Hal ini karena berlandaskan pada hadis Abi Ummah:



ٍ ِ ‫َّاْلَْي‬ َّ 104‫ام‬ ٍَّ ‫شَرةَُّأَي‬ ََّ ‫َّع‬ ْ ‫أَقَل‬ َ ُ‫َّوأَ ْكثَ َره‬، َ ‫ضَّثََلثَةَُّأَيام‬



Sedikit-dikitnya haid itu tiga hari dan selama-lamanya haid itu sepuluh hari.



As-syatr (dalam arabnya) mempunyai arti setengah. Maka dari sini menunjukkan bahwa masa haid itu terkadang bisa mencapai lima belas hari.105 102



Ibid.



103



Ibid., 245.



104



Al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 229, nomor hadis: 836.



65



Dan pendapat termasyhur dari Imam Malik berpendapat, tidak ada batas minimal masa haid, tapi yang diperhitungkan adalah darah yang keluar tersebut.106 Meskipun darah yang keluar dari kemaluan wanita hanya setetes dalam sesaat, maka darah tersebut tetap dianggap sebagai darah haid. 4) Kapankah diperbolehkannya mengumpuli wanita (yang dalam keadaan haid). ―Dan janganlah kamu mengumpuli mereka sehingga mereka suci‖. Pelarangan



tersebut



menunjukkan



ketidakhalalan



laki-laki



mengumpuli istrinya yang sedang haid sampai istrinya itu suci. Ulama fiqih masih berbeda pendapat mengenai apa yang di maksud suci dalam ayat tersebut. a) Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa yang dimaksud suci adalah berhentinya darah. Apabila darah haid telah berhenti maka boleh bagi laki-laki untuk mengumpuli istrinya sebelum mandi. Hal ini apabila berhentinya darah haid ini melebihi masa maksimal lamanya haid (sepuluh hari),



tetapi jika berhentinya darah itu



kurang dari masa maksimalnya haid, maka belum boleh mengaulinya sebelum mandi.107



105



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 245.



106



Ibid.



107



Ibid., 246.



66



b) Jumhur Ulama (Malik, Syafi‘i dan Ahmad) mengartikan suci adalah berhentinya darah haid dan telah mandi dengan air sebagaimana bersuci karena junub. Maka sang suami tidak diperbolehkan untuk menggauli istrinya meskipun darah haid telah berhenti nammun belum mandi sampai ia mandi dengan niat bersuci karena hadas besar.108 c) Dan menurut at-Thawus dan Mujahid bahwa untuk bolehnya mengauli istri itu ketika darah haid telah berhenti dan cukup dengan membasuh farjinya dengan air, dan kemudian berwudhu.109 Dan yang menjadi sebab perbedaan pendapat ini adalah dalam firman Allah: 110



Yang pernama takhfif



َّ‫َّيَطْ ُه ْر َن‬



َّ‫ّتَّيَطْ ُه ْر َنََّّۖفَِإذَاَّتَطَه ْر َن‬ َّ‫َّح ى‬ ُ ُ‫َوَلَّتَ ْقَرب‬ َ ‫وىن‬ (dengan di baca sukun ra‘ nya),



thahura-yathhuru mempunyai arti bersih atau suci tanpa upaya manusia. Dalam konteks ini maka menjadi berhentinya darah haid. Sedangkan



َّ‫تَطَه ْر َن‬



(tatahhara-yatathaharu-tathohuran)



artinya



bersuci, yaitu kata kerja yang terjadi dengan upaya manusia, yaitu



108



Ibid.



109



Ibid.



110



al-Qur’an dan Terjemahannya, a. QS. al-Baqarah: 222.



67



mandi dengan air.111 Jadi perbedaan pemilihan penekanan dalil tentang kesucian akan yang berbeda ini akan membawa konsekuensi hukum yang berbeda. Yang satu menekankan pada tataharna, yang satunya menekankan pada yathurna. Dan ulama jumhur mengartikan ayat tersebut dengan: ―Dan janganlah kamu mengumpuli mereka sehingga mereka mandi, maka apabila mereka telah mandi, maka kumpulilah‖. Di sini jumhur Ulama memperlakukan kata yathhurna dalam arti yutahhirna dan mereka berpegangan dengan bacaan hamzah dan al kisa‘i yang membaca yuthahirna. Dan di antara yang menunjukkan kebenaran pendapat ini adalah bahwa Allah mengkaitkan hukum tersebut dengan dua syarat, yaitu berhentinya darah.112 Dalam firman Allah ―sehingga mereka suci‖. Masudnya berhentinya darah haid. Kemudian dalam firman selanjutnya ―maka apabila mereka telah suci‖ yakni mandi setelah berhentinya darah haid. d) Tarjih Pendapat jumhurlah yang lebih kuat, karena dalam akhir ayat Allah berfirman ―Sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang bersuci‖.113 Bertaubat



111



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 246.



112



Ibid., 247.



113



Ibid.



68



merupakan menyucikan dirinya dari kotoran batin. Dan mandi dan berwudhu merupakan menyucikan dirinya dari kotoran lahir. f) Hikmatus Syar‘i Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi menjadikan wanita sebagai tempat



untuk



mengembangkan



keturunan



dan



menghalalkan



mengumpuli mereka dalam segala waktu kecuali pada sebagian keadaan di mana wanita sedang menjalani ibadah, seperti ketika ihram, berpuasa dan i‘tikaf, atau dalam keadaan sedang haid, yaitu situasi di mana seorang wanita disamakan ihwalnya seperti orang yang sedang sakit fisiknya, karena pada saat itu wanita sedang mengalami masa pembuahan telur-telur yang tidak berhasil dibuahi dalam rahimnya, yang pada ghalibnya, wanita yang ketika berada di situasi demikian akan mengalami rasa kurang enak dan atau menderita serta dalam kondisi tidak siap mental untuk digauli secara seksual dalam rangka bersenang-senang antara seorang suami dengan istrinya.114 Disamping itu, darah haid itu berbeda dengan darah lainnya, karena darah haid itu berbau tidak sedap, berwarna kehitam-hitaman dan sangat pekat. Darah haid sendiri adalah darah yang secalami harus dibuang, karena sudah tidak berfungsi lagi. Tentu saja melihat darah seperti itu akan tidak menyenangkan. Dan mengumpuli wanita dalam



114



Ibid., 248.



69



keadaan seperti itu akan membawa akibat negative, baik untuk wanita maupun laki-laki itu sendiri. Al-Qur‘an juga telah mengungkapkan bahwa haid itu adalah ―kotoran‖. Pengungkapan itu cukup jelas menggambarkan darah haid dengan segala hal yang menyangkutnya.115 Dalam ilmu medis juga telah menemukan adanya dampak buruk akibat berhubungan seksual dalam keadaan haid, terlebih untuk wanita. Di mana akibat percampuran antara darah haid dengan air mani laki-laki dapat menimbulkan bengkak pada mulut rahim, demikian juga dengan laki-laki dapat mengalami bahaya fisik. Oleh Karena itu para dokter menyarankan untuk tidak mencampuri wanita yang sedang haid sampai dia suci. Dan ini merupakan salah satu bukti tentang kebenaran Al-Qur‘an. 2. Surat al-Baqarah Ayat 228 a. Redaksi Ayat



ٍ ‫والْمطَلقاتَّي ت ربصنَّبِأَنْف ِس ِهنَّثَََلثَةَّقُر‬ َّ‫ف‬ َّ َُِّ‫وءََّّۖ َوََّلَّ َُِيلََّّ ََلُنََّّأَ َّْنَّيَكْتُ ْم ََّنَّ َماَّ َخلَ ََّقَّالل َّو‬ ُ َ ْ َ ََ ُ َ ُ َ ُ َ ِ ْ ‫أَرح ِام ِهن َّإِ ْن َّ ُكن َّي ْؤِمن َّبِالل ِو َّوالْي وِم‬ َّ‫ك َّإِ َّْن‬ ََّ ِ‫ف َّ ىََّذل‬ َّ َِّ َّ‫َحقَّ َّبَِرِّد ِىن‬ َ ‫َّاْلخ ِر َّۖ َّ َوبُعُولَتُ ُهنَّ َّأ‬ ُ َْ َْ َ ِ ِ ِ ِ ََّّۖ ٌ‫ال َّ َعلَْي ِهنَّ َّ َد َر َج َّة‬ َِّ ‫وف َّۖ َّ َول ِّلر َج‬ َّ ‫ص ََل ًحاَّۖ َّ َوََلُنَّ َّمثْ َُّل َّالذي َّ َعلَْي ِهنَّ َّبِالْ َم ْع ُر‬ ْ ِ‫أَََّر ُادواَّإ‬ ٌَّ ‫يزَّ َح ِك‬ ‫يم‬ ٌَّ ‫َوالل َّوَُّ َع ِز‬ Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari 115



Ibid., 249.



70



akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.116 b. Mufrodad Al-Mutallaqat adalah jamak dari kata al-mutallaqah, yaitu isim maful yang diambil dari kata talaq, yang berarti ―wanita yang dicerai oleh suaminya‖. Sedangkan arti kata dasarnya



‫طلق‬



adalah ―melepaskan,



mengkosongkan‖117 c. Asbabun Nuzul Diriwayatkan dari Umar bin Muhajir yang diterima dari Ayahnya, Asma‘ binti Yazid Al-Anshariyah berkata: ―Saya diceraikan oleh suami saya, dan belum ada bilangan iddah untuk wanita yang ditalak suaminya‖. Maka Allah menurunkan ayat tentang iddah untuk wanita yang ditalak oleh suaminya. Dan Asma‘ merupakan wanita pertama yang menerima iddah talak setelah ayat itu disampaikan oleh Nabi Muhammad.118 d. Penafsiran Redaksi ―wanita wanita yang menunggu dengan menahan diri mereka‖ merupakan kalimat berita (kalam khabar) tetapi mengandung makna 116



al-Qur’an dan Terjemahannya, a. QS. al-Baqarah: 228.



117



Al-Qur’an Dan Tafsirnya, 336.



118



Tafsir Ahkam, 274.



71



perintah. Cara seperti ini dinilai lebih keras daripada menggunakan redaksi yang menggunakan gaya bahasa perintah.119 Bentuk seperti ini berguna untuk menarik perhatian. Khususnya bagi para wanita agar benar-benar memperhatikan hal ini, supaya perintah itu segera diterima dan dilaksanakan dengan sepenuh hatinya. Kata ―menunggu‖ dalam ayat di atas diikuti dengan kata ―anfus‖ menunjukkan bahwa agar setiap wanita dalam masa menunggu dapat menahan dirinya dari hawa nafsunya.120 Karena wanita yang akan menjadi penentu keberlangsungan iddah tersebut. Dalam arti jika wanita tegas pada dirinya sendiri, maka laki-laki yang ingin meminangnya tidak akan berani mendekat sampai iddahnya selesai. ―Jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir‖ itu merupakan syarat, dan jawabnya dibuang. Hal ini tidak mengecualikan wanita ahli kitab tidak termasuk di dalamnya. Bahkan perintah untuk menunggu sampai akhir masa iddah juga tetap berlaku untuk mereka. seperti misalnya jika ada perkataan, ―jika engkau beriman, janganlah menipu orang lain‖. Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak beriman berarti boleh menipu orang lain.121



119



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 263.



120



Ibid., 264.



121



Ibid.



72



―Suami-suami mereka lebih berhak untuk merujuknya” Bahwa hikmah ditetapkan rujuk dalam pernikahan itu untuk membuktikan kosongnya rahim dari janin, selain itu untuk memberi kesempatan kepada suami untuk mempertimbangkan keputusannya, antara bercerai atau rujuk, sekaligus digunakan untuk merenung dan introspeksi untuk kedua belah pihak.122 Karena manusia terkadang baru merasa kehilangan ketika yang dimilikinya sudah tidak berada di sisinya. Manusia terkadang hanya terbawa oleh emosi sesaat ketika mengucapkan kata perpisahan. Padahal dia tidak tau apa yang dirasakan jika benar-benar sudah berpisah. Maka dari itu, Allah menetapkan hak rujuk sebanyak dua kali dalam pernikahan. Dan ini merupakan kesempurnaan rahmat Allah dan kasih sayang terhadap hambaNya. ―Dan wanita mempunyai hak sebanding dengan kewajiban mereka dengan cara yang baik‖ merupakan perkataan yang singkat (ijaz) dan indah (badi’) yang dikenal dikalangan oleh ahli ilmu balaghoh. Dengan dibuang yang pertama dengan qarinah kedua dan dibuang yang kedua dengan qarinah yang pertama, sehingga seolah-olah Allah mengatakan: Wanita-wanita mempunyai beberapa hak atas laki-laki, sebanding dengan hak laki-laki atas wanita.123 Rasulullah SAW juga pernah menjelaskan



122



Ibid.



123



Ibid.



73



tentang hak dan kewajiban timbal balik antara suami dan istri dalam haji wada‘, yaitu



ِ ِِ ‫أََل َّإِن َّلَ ُكم َّعلَىَّنِسائِ ُكم َّحق‬ َّ‫َّعلَىَّنِ َسائِ ُك ْم‬ َ ‫اَّحق ُك ْم‬ َ ‫ًّاَّولن َسائ ُك ْم‬ َ َّ‫َّفَأَم‬،‫َّحقًّا‬ َ ‫َّعلَْي ُك ْم‬ َ َ ْ َ َ ْ ِ ِ ِ َّ‫َّحق ُهن‬ َ ‫َّأََل ََّوإن‬،‫فَ ََل َّيُوطْئ َن َّفُ ُر َش ُك ْم ََّم ْن َّتَكَْرُىو َن ََّوَل َّيَأْ َذن َِّف َّبُيُوت ُك ْم ََّم ْن َّتَكَْرُىو َن‬ َّ 124َّ‫َُّت ِسنُواَّإِلَْي ِهن َِّفَّكِ ْس َوِتِِن ََّوطَ َع ِام ِهن‬ ُْ ‫َعلَْي ُك ْمَّأَ ْن‬ Ketahuilah, Sesungguhnya bagi kamu (laki-laki) mempunyai hak atas isteri-isterimu dan isteri-isterimu juga mempunyai hak atas kamu. Adapun hakmu atas isterimu yaitu: sekiranya mereka tidak mempersilahkan orang yang kamu benci untuk menginjak tempat tidurmu, dan tidak mengijinkan orang yang kamu benci untuk masuk rumahmu. Sedang hak mereka atau kamu, yaitu: hendanya kamu berbuat baik kepada mereka, dalam hal memberi pakaian dan makan. (HR Nasai, Ibnu Majah dan Tirmidzi). Derajat yang dimaksudkan dalam ayat diatas bukanlah derajat kemuliaan, karena untuk derajat kemuliaan Allah telah menetapkannya dalam firman Allah Surat al-Hujurat ayat 13 Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertaqwa‖. Sedangkan derajat yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah derajat tanggung jawab. Hal ini diperjelas dalam surat an-Nisa ayat 3 yang menjelaskan bahwa: ―Laki-laki adalah pengurus atas wanita‖. Yang dimaksudkan pengurus itu meliputi tentang penyantunan, pertanggung jawaban serta nafkah untuk istrinya dan anak-anaknya.125



124



Al-Tirmidzi, Jami’ al-Tirmidzi, 1147, nomor hadis: 3087.



125



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 266.



74



e. Kandungan Hukum 1) Iddah wanita yang ditalak Berdasarkan ayat di atas, iddahnya wanita yang ditalak adalah tiga kali quru. Adapun wanita yang dimaksud adalah wanita yang sudah pernah dicampuri dan tidak dalam keadaan hamil. Karena kedua keadaan tersebut akan membawa dampak hukum yang berbeda, seperti wanita yang belum pernah dicampuri itu tidak ada iddah baginya (QS alAhdzab 49), sedangkan iddahnya wanita hamil adalah sampai lahir anak yang dikandungnya. 126 2) Makna kata quru Quru secara bahasa berarti haid dan suci.127 Namun para ulama ahli fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan arti yang dimaksud dalam ayat tersebut. Di sini ada dua pendapat yang berbeda, yaitu: a) Imam Malik dan Imam Syafi‘i, berpendapat bahwa quru adalah suci. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ibnu Umar, Aisyah, Zaid bin Tsabit dan juga salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad.128 Adanya



ta



dalam



kata



bilangan



tsalsata



quru



yang



menunjukkan bahwa kata quru itu berarti mudzakar. Sedangkan kata quru dengan arti mudzakar itu berarti suci. Seandainya



126



Ibid., 267.



127



Ibid.



128



Ibid.



75



bermakna haid, maka ayat itu akan berbunyi tsalasa quru. Karena dengan begitu, berarti quru’ itu muannas, karena haid itu muannas. Padahal di-muannats-kannya kata tsalasa bersamaan dengan mudzakkar-nya quru itu sudah maklum.129 Aisyah juga telah meriwayatkan sebuah hadis:



َّ 130‫ار‬ َُّ ‫َّاْلَطْ َه‬ ْ ُ‫اَّاْلَقْ َراء‬ ْ َ‫اَّاْلَقْ َراءُ؟َّإَِّن‬ ْ ‫تَ ْد ُرو َن ََّم‬



Tahukah kamu, apakah aqra‘ itu? Aqra‘ adalah suci.



Dan juga Firman Allah dalam surat at-Thalaq yang mengatakan: ―Talaklah mereka itu ketika dia bisa menghadapi masa iddah mereka‖ Dari ayat tersebut memerintahkan bagi para suami jika mentalak istrinya haruslah dalam keadaan suci, tidak pada saat istri sedang mengalami haid. b) Abu Hanifah dan Ahmad (dalam satu riwayah) berpendapat bahwa yang dimaksud quru adalah haid, karena iddah itu ditetapkan untuk mengetahui kebersihan rahim.131 Sedangkan untuk mengetahui kebersihan rahim adalah dengan adanya haid. Nabi SAW telah bersabda kepada Fatimah binti Abi Hubaisy:



129



Ibid.



130



Al-Muwatta, 576, nomor hadis: 1197.



131



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 267.



76



َّ 132‫دعيَّالصَلةَّأيامَّأقرائك‬ Tinggalkanlah shalatmu pada hari-hari haidmu. (HR. AlDaruquthni)



Para ulama fiqih bersepakat bahwa iddahnya seorang budak adalah satu kali haid. Maka begitu juga seharusnya dengan wanita yang merdeka. Karena haid



merupakan satu-satunya pertanda



untuk menunjukkan bahwa kosongnya rahim.133 Dalam surat at-Thalaq ayat 4, Allah menetapkan iddah tiga bulan bagi wanita yang sudah tidak haid atau yang memang tidak pernah haid sebagai ganti iddah haid. Hal ini jelas menunjukkan bahwa iddah itu dinilai dengan haid, bukan dengan suci.134 Jika iddah itu dihitung dengan haid, maka kemungkinan besar akan terpenuhinya tiga quru secara sempurna. Karena wanita yang ditalak itu hanya bisa keluar dari iddah dengan hilangnya haid yang ketiga. Akan berbeda jika yang menjadi patokannya adalah suci, ditambah dengan sebagian suci, kalau misalnya wanita yang ditalak itu diakhir suci.135 c) Tarjih



132



Al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, 394, nomor hadis: 822.



133



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 269.



134



Ibid.



135



Ibid.



77



Ashobuni berpendapat bahwa pendapat Hanafiyah dan Ahmad inilah yang lebih kuat, karena tujuan utama diadakannya iddah adalah untuk melihat kebersihan rahim, sedangkan kebersihan rahim itu bisa dilihat dengan adanya haid.136 Ibnu Qayim juga memperkuat pendapat Hanafiyah dan Ahmad dengan berkata: Lafald quru itu tidak dipakai dalam istilah syar‘i selain untuk arti haid. Tidak ada satu kata pun yang dipakai untuk arti suci. Oleh karena itu, mengartikan dengan kata haid lebih baik untuk ayat di atas, bahkan lebih jelas. Sebab Rasulullah SAW bersabda kepada wanita mustahadhah:



َّ 137‫دعيَّالصَلةَّأيامَّأقرائك‬ Tinggalkanlah shalatmu pada hari-hari haidmu. Apabila



Allah



menyebutkan



kalamnya



dengan



kata



musytarak, maka wajib diartikan menurut arti semuanya itu, jika tidak ada satu pun keterangan yang memperkuat pada salah satu arti. Jika syar‘i sendiri sudah mempergunakan kata quru dengan arti haid, maka berarti ini adalah bahasa Al-Qur‘an dan harus diartikan demikian. Hal ini juga dapat diketahui dari konteks ayat itu sendiri, di mana sesudah menyebutkan kata quru dilanjutkan dengan kalimat ―Dan tidak boleh mereka menyembuyikan apa yang Allah jadikan dalam Rahim mereka‖. Sedangkan yang berada 136



Ibid.



137



Al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, 394, nomor hadis: 822.



78



dalam rahim adalah haid dan rahim. Dalam surat at-Thalaq, dijelaskan bahwa kepastian hukummnya disebutkan dengan tidak ada haid, bukan tidak ada kesucian.138 3) Dalam ayat ―Dan tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang ada di dalam rahim mereka‖. Dalam hal ini ulama ahli tafsir berbeda pendapat: Umar, Ibnu Abas dan Mujahir mengatakan, yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kehamilan. Sedangkan ‗Ikrimah, Nakha‘i dan az-Zuhri berpendapat itu merupakan haid. Dan Ibnu Umar berpendapat bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kehamilan dan haid.139 Pendapat ketiga ini didukung oleh Ibnu ‗Arabi dengan berkata: ―pendapat ketiga itulah yang benar, karena Allah menjadikan rahim wanita itu lengkap dengan haid dan kehamilan. Jadi apa yang dikatakan wanita tentang rahimnya haruslah diterima selama wanita itu tidak berdusta, karena tidak ada seorangpun yang mengetahui atas pemberian dariNya‖.140 Ali Asshobuni berkata: Allah hanya mengharamkan wanita merahasiakan yang ada dalam rahimnya. Karena dari situ ada hak rujuk bagi suaminya, dan supaya tidak terjadi percampuran nasab



138



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 270.



139



Ibid.



140



Ibid., 271.



79



karena mengaku telah berakhir masa iddahnya sedangkan rahimnya telah terisi dan kemudian menikah dengan lelaki lain. Dan barangkali wanita itu sudah tidak mau dirujuk oleh suaminya. Dari situlah, Allah mengharamkan wanita merahasiakan apa yang ada dalam rahimnya.141 4) Maksud dari kata muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak) Kata muthallaqat ini merupakan kata yang masih umum, karena talak sendiri ada dua macam, yaitu talak raja‘i (yang masih bisa kembali) dan ghaira raja‘i (yang tidak bisa kembali), namun kemudian ditaskhih (dikecualikan) dengan kalimat: ―Dan suami mereka berhak untuk merujuk mereka. Dengan begitu, ayat ini khusus bagi wanita yang ditalak raj‘i, bukan prempuan yang ditalak bai‘in. Karena wanita yang ditalak bain telah menguasai dirinya.142 Talak berada di tangan laki-laki, karena wanita biasanya lebih terpengaruh dengan perasaan dibandingkan laki-laki. Jika prempuan memiliki hak untuk mentalak, maka akan berkemungkinan dia menjatuhkan talak dengan alasan yang sederhana yang tidak perlu membuat kehancuran kehidupan perkawinan. Selain itu, talak diikuti dengan berbagai perkara keuangan yang terdiri dari pembayaran mahar yang ditangguhkan, nafkah iddah dan mut‘ah. Dengan beban keuangan ini dapat membuat laki-laki berhati-hati dalam menjatuhkan 141



Ibid.



142



Ibid.



80



talak. Demi mencapai kemaslahatan dan kebaikan, maka dari itu talak diberikan kepada orang yang lebih kuat dalam menjaga ikatan pernikahan. f. Hikmatus Syar‘i Islam menghalalkan adanya talak adalah sebagai jalan keluar dari kekacauan rumah tangga yang berkepanjangan, karena dirasa sudah tidak ada lagi keharmonisan antara suami dan istri. Jika diteruskan akan membawa kekhawatiran terhadap Hal ini sebagai bukti bahwa hukum agama islam itu luwes, karena Islam memberi hak kebebasan untuk memilih pada umatnya. Meskipun talak merupakan suatu pekerjaan yang sangat dibenci oleh Allah.143 Islam juga menilai akibat dari seseorang melakukan talak dapat menghancurkan kehidupan rumah tangga dan meretakkan ikatan anggota rumah tangga, khususnya terhadap anak-anak, di mana anak-anak sangat membutuhkan asuhan dan pendidikan dari ibunya dengan segala kasih sayangnya. Maka jika kasih saying ibu itu telah tiada, maka nak-anak anak berantakan. Oleh karena itu diperbolehkannya talak itu untuk menghindari bahaya yang lebih besar guna mendapatkan kemaslahatan yang lebih banyak. Maka memisahkan antara dua orang yang sedang bertengkar terus itu justru akan lebih baik. Sedang rumah tangga itu bersumber dari rasa



143



Ibid., 287.



81



cinta, ketenangan dan kedamaian, bukan saling menohok, pertentangan dan perkelahian.144 Kalau semua jalan untuk menghimpun kembali kehidupan rumah tangga yang harmonis itu sudah tidak didapat, maka satu-satunya jalan ialah bercerai. Dan diantara keharusan yang membolehkan cerai itu adalah keragu-raguan suami atas istrinya, misalkan istrinya berlaku tidak benar. Jika dalam kondisi seperti itu tentu tidak bias jika hanya didiamkan dan akan merusak moral keturunan. Maka dengan bercerai adalah lebih baik untuk kemaslahatan. Selain itu ada sebab lain, yaitu sebab mandul sedangkan istri tidak berkenan dipoligami atau karena sakit yang tidak memungkinkan untuk mengadakan hubungan seksual.145 3. Surat an-Nisa Ayat 43 a. Redaksi



ِ َّ‫َّجنُبًا‬ َّ‫ى َّ َح ى‬ َّ‫َّس َك َار ى‬ َ ‫َّآمنُو‬ ُ ‫اَّماَّتَ ُقولُو َن ََّوَل‬ َ ‫ّت َّتَ ْعلَ ُمو‬ َ ‫ين‬ ُ ‫اَّل َّتَ ْقَربُوا َّالص ََل َة ََّوأَنْتُ ْم‬ َ ‫يَاَّأَي َهاَّالذ‬ ِ َّ ‫إِلَّعابِ ِريَّسبِ ٍيلَّح‬ َّ‫َح ٌَّدَّ ِمْن ُك َّْم‬ َّ ‫ض ىَّىَّأ ََّْوَّ َعلَ ىَّىَّ َس َف ٍَّرَّأ ََّْوَّ َج‬ َ ‫ّتَّتَ ْغتَسلُواََّّۖ َوإِ َّْنَّ ُكْنتُ َّْمَّ َم ْر‬ ‫َ َى‬ َ َ ‫اءََّأ‬ َّ‫يدا َّطَيِّبًا َّفَ ْام َس ُحوا‬ َّ ‫اءَ َّفَلَ َّْم َّ ََِت َُّدوا َّ َم‬ َّ ‫ِّس‬ َِّ ِ‫ِم ََّن َّالْغَائ‬ ً ِ‫صع‬ َ َّ ‫اءً َّفَتَ يَم ُموا‬ َ ‫ط َّأ ََّْو ََّل َم ْستُ َُّم َّالن‬ ِ ِ ‫ورا‬ َ ‫بُِو ُجوى ُك َّْمَّ َوأَيْدي ُك َّْمََّّۖإِنََّّالل َّوَََّّ َكا َن‬ ً ‫َّع ُف ًّواَّ َغ ُف‬ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang



144



Ibid.



145



Ibid.



82



air atau kamu telah menyentuh wanita, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.146 b. Mufrodad Kata lamastum berasal dari lamasa yang berarti menyentuh dengan permukaan kulit. Ada juga ulama yang berpendapat ahwa lamasa berarti sentuh-menyentuh, yaitu melakukan hubungan suami istri. Bagi pendapat ini, jika hanya bersentuhan saja dengan wanita maka tidak akan membatalkan wudhu147 c. Asbabun Nuzul Berdasarkan riwayat Tirmidzi yang bersumber dari Ali bin Abi Thalib, dia berkata: bahwa Abdurrahman bin Auf suatu ketika mengundang para sahabat dan dia menghidangkan makanan untuk kami serta memberikan kepada kami minuman yang terbuat dari arak. Lalu kami minumnya dan kami melaksanakan sholat, karena pada saat itu waktu sholat sudah datang. Kemudian mereka menyilahkan aku untuk menjadi imam sholat. Dalam sholat itu aku membaca surat al-kafirun salah, menjadi ―Qul ya ayyuhal kafirun a‘budu ma ta‘ budun, wa nahnu na‘budu ma ta‘ budun‖



146



Departemen Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, alQur’an dan Terjemahannya (Medinah Munawwarah: Mujamma‘ al-Malik Fahd Ii Thiba‘at al-Mushhaf, 1415), a. QS. an-Nisa: 43. 147



Al-Qur’an Dan Tafsirnya, bk. 2, hlm.180.



83



(Katakanlah, hai orang-orang kafir! Aku menyembah apa yang kamu sembah dan kami juga menyembah apa yang kamu sembah).148 Padahal yang sebenarnya berbunyi: ―Qul yaa ayyuhaal kaafiruun, laa a'budu maa ta'buduun, walaa antum 'aabiduuna maa a'budu‖ (Katakanlah: Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah). Setelah itu Allah menurunkan ayat di atas. d. Penafsiran Haid dalam ayat ini akan dibahas dalam tengah-tengah ayat. Ia dibahas bersama dengan pembahasan kebolehan shalat yang meskipun sebenarnya sholat itu wajib, namun dalam kondisi tertentu tidak boleh melaksanakan shalat. Bahwa shalat hanya boleh dilakukan dalam keadaan suci dan dalam keadaan sadar (tidak mabuk). Maka pada awal ayat ini, pembahasannya adalah tentang pelarangan melaksanakan shalat ketika dalam keadaan mabuk. Pelarangan dalam ayat ini mempunyai dua makna, yakni pelarangan untuk melaksanakan shalat dan pelarangan untuk mendekati tempatnya shalat (masjid). ―Janganlah kamu mendekati shalat‖ merupakan larangan yang lebih tajam ungkapannya dibandingkan dengan ―janganlah kamu melaksanakan shalat‖. Karena jika mendekati saja sudah ada larangan



148



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 418.



84



apalagi untuk melaksanakannya. Dan larangan seperti ini menurut Abu Su‘ud merupakan lilmubalaghah (larangan yang sangat keras).149 Allah melarang orang yang sedang mabuk melaksanakan shalat, karena ketika seseorang sedang mabuk akibat minum khamr dan semacamnya dia tidak akan sadar terhadap apa yang diucapkannya.150 Sama halnya ketika Ali bin Abi Thalib ketika melaksanakan shalat setelah meminum khamr yang dihidangkan oleh Abdurrahman bin Auf sehingga menyebabkan kelirunya surat yang dibaca ketika melaksanakan shalat. Metode Al-Qur‘an ketika mengharamkan minum khamr merupakan metode yang menggunakan tahapan. Meskipun Al-Qur‘an berjumlah 30 juz telah tertulis lengkap di Lauh Mahfudz, namun Al-Qur‘an diturunkan ke bumi secara berangsur-angsur sesuai dengan konteks kejadiannya sehingga akan lebih mudah dipahami serta diterima di masyarakat. Seperti misalnya proses pengharaman khamr yang berangsur-angsur, tidak serta merta langsung mengharamkan. Karena bagi orang Arab, khamr sudah seperti air minum biasa karena terlalu sering mereka meminumnya. Sehingga apabila Nabi Muhammad langsung memberikan perintah akan haramnya khamr, orang-orang Arab akan merasa berat untuk meninggalkan kebiasaannya dan tidak akan mungkin akar-akarnya itu tercabut dari hati mereka. 149



Ibid., 419.



150



Ibid., 420.



85



―Hingga kamu menyadari apa yang kamu ucapkan‖ merupakan kalimat yang menunjukkan perintah namun disampaikan dengan bahasa yang lembut. Dalam ayat ini



hendak menyatakan bahwa shalat itu



selayaknya dilakukan dengan khusyu‘, sehingga dapat mengerti dan meresapi apa yang diucapkan ketika shalat. Dan hendaknya sholat dilakukan dengan penuh kesadaran serta mengosongkan fikiran dari halhal yang bersifat duniawi, agar tidak terjadi kelupaan bilangan rakaat sholat yang telah dikerjakannya. Karena apabila terjadi semacam itu, tidak lain orang itu seperti orang yang mabuk (tidak sadarkan diri).151 Metode Al-Qur‘an dengan biasa mempergunakan kata kinayah (sindiran) dalam hal-hal yang kurang baik kalau diucapkan dengan cara terus terang adalah merupakan kehalusan Al-Qur‘an. Redaksi semacam ini mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya menggunakan katakata sopan dalam mengungkapkan hal-hal yang seharusnya dirahasiakan. Sehingga jangankan perbuatannya dirahasiakan, kata atau kalimatnya pun yang digunakan merupakan kalimat yang sepintas seperti rahasia. Di sini misalnya Allah memberi kinayah tentang orang yang sedang hadast karena buang air dengan menggunakan kata al-ghaith, sedangkan alghaith sendiri mempunyai arti tempat yang rendah yang biasa dituju seseorang ketika ia hendak buang hair agar terlindung dari pandangan



151



Ibid.



86



manusia. Kemudian kata ini popular digunakan dengan arti ―hadast‖, karena seringnya dipakai.152 Sedangkan ―menyentuh wanita‖ adalah suatu kinayah tentang bercampur. Karena kata jima merupakan kurang layak diucapkan secara terang-terangan. Maka digantilah dengan kinayah ―menyentuh wanita‖.153 Diriwayatkan, bahwa para sahabat pernah bepergian bersama Nabi SAW, lalu kalung Aisyah hilang. Kemudian Nabi SAW beserta sahabat mencari kalung Aisyah, sedangkan pada saat itu mereka tidak membawa air. Maka Abu Bakar marah kepada Aisyah sambil berkata: ―engkau merepotkan Nabi SAW dan orang-orang lain yang bersamanya‖. Lalu ayat ini diturunkan. Setelah para rombongan tadi shalat dengan tayamum dan berkemas-kemas hendak berangkat, tiba-tiba mereka mendapatkan kalung Aisyah di bawah unta. 154 e. Kandungan Hukum 1) Yang dimaksud perkataan, ―Janganlah kamu mendekati shalat padahal kamu sedang mabuk‖ Dalam hal ini Ulama berbeda pendapat. Sebagian besar ulama ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata shalat tersebut mempunyai arti shalat itu sendiri, yang demikian itu adalah pendapat



152



Ibid.



153



Ibid.



154



Ibid., 421.



87



Abu Hanifah dan yang diriwayatkan dari Ali, Mujahid dan Qatadah. Mereka beralasan bahwa kalimat: ―Sehingga kamu menyadari apa yang kamu ucapkan‖ menunjukkan bahwa yang dimaksud shalat adalah hakekatnya shalat itu sendiri, karena di dalam masjid tidak ada ucapan yang di situ seorang yang sedang mabuk dilarang mengucapkannya. Adapun dalam shalat ada beberapa bacaan yang tidak bisa diucapkan oleh orang yang sedang mabuk, seperti bacaan alQaur‘an, do‘a dan dzikir. Karena itu mengartikan kata shalat dalam arti yang sebenarnya akan lebih sesuai.155 Sebagian yang lain, seperti Imam Syafi‘i dan yang diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, Anas dan Sa‘id bin Musayyab berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah tempat-tempat shalat, seperti masjid. Karena kata dekat dan jauh itu sesuai untuk sesuatu yang bersifat fisik, maka kata shalat lebih sesuai jika diartikan dengan masjid. Akan tidak sesuai jika shalat itu diartikan dengan hakikatnya shalat, karena kata itu tidak benar dipergunakan pengecualian ―kecuali berjalan melalui…‖ tetapi kalau diartikan dengan masjid, maka pengecualian tersebut adalah betul. Padahal yang dimaksud adalah larangan masuk masjid bagi orang yang sedang junub, kecuali sekedar berjalan melaluinya.156



155



Ibid., 422.



156



Ibid.



88



Thabari memilih pendapat yang pertama. Karena kalau terdapat dua kata yang ada dua kemungkinan, yang satu berarti hakekat (menurut zahirnya) dan mungkin berarti majaz (tidak sebenarnya) maka diartikan secara hakekat itu lebih sesuai. Pendapat ini diperkuat dengan asbabun nuzul ayat tersebut.157 Sedangkan dalam tafsir al-Manar, bahwa yang dimaksud kata shalat di situ adalah shalat yang sebenarnya, bukan tempatnya seperti yang dikatakan oleh golongan syafi‘i. sedang larangan mendekati shalat tanpa disebut ―mengerjakannya‖ itu tidak berarti yang dimaksud adalah masjid. Karena larangan mendekati suatu amal itu sudah makruf dikalangan orang Arab. Dan dalam Al-Qur‘an sendriri secara jelas pun dikatakan, ―janganlah kamu mendekati zina‖. Larangan mengerjakan suatu amal dengan bentuk seperti ini mencangkup pelarangan



terhadap



mengerjakan



pendahuluan-pendahuluannya



juga.158 Perbedaan pendapat ini akan menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan hukum yang lain, yaitu apakah orang yang sedang junub itu boleh masuk masjid?



157



Ibid., 423.



158



Ibid.



89



Menurut pendapat yang pertama, bahwa pelarangan dalam ayat Al-Qur‘an tidak tegas, namun dijelaskan melalui hadis Nabi.َّ Misalnya: 159



ٍ ُ‫َّجن‬ ٍ ِ‫فَِإ ِِّن ََّلَّأ ُِحلَّالْ َم ْس ِج ََّدَّ ِْلَائ‬ َّ‫ب‬ ُ ‫ض ََّوَل‬



Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid untuk orang yang sedang junub dan yang sedang haid. Sedangkan menurut pendapat kedua, bahwa pelarangan masuk masjid bagi orang yang sedang junub diterangkan secara jelas dalam ayat



tersebut,



yaitu



kecuali



berjalan



melalui,



tanpa



duduk



diperbolehkan.160 2) Sebab-sebab yang membolehkan tayamum. Berdasarkan ayat di atas, ada beberapa hal yang diperbolehkan bertayamum, syaratnya apabila dalam kondisi sakit, bepergian, datang dari buang air dan bercampur dengan istri. Syarat



bepergian



diperbolehkan



bertayamum



jika



tidak



mendapatkan air sama sekali, begitu juga setelah junub dan buang air. Sedangkan untuk orang yang sedang sakit, diperbolehkan tayamum meskipun di situ terdapat banya air atau tidak, karena yang menjadi



159



Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, 61, nomor hadis: 232.



160



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 423.



90



perhatian adalah sakitnya itu apabila terkena air khawatir sakitnya akan bertambah parah dan lama untuk sembuh.161



ِ ِ َِّ ‫َلً ِمنا حجر فَ َشج َّو‬ َّ‫احتَ لَ َم‬ ََّ ‫َص‬ َِّ ‫ َخَر ْجنَا‬: ‫ال‬ ََّ َ‫َع َّْن َجابٍَِّر ق‬ ْ ‫ف َرأْس َّو َُّث‬ ُ َ ‫ف َس َف ٍَّر فَأ‬ َ َ َّ ‫اب َر ُج‬ ََّ ْ‫ص َّةً َوأَن‬ ‫ت‬ ََّ َ‫ َما ََِن َُّد ل‬: ‫ف الت يَمم ؟ فَ َقالُوا‬ َِّ ‫ص ًَّة‬ ََّ ‫َل ُر ْخ‬ َِّ ‫َص َحابََّوُ َى َّْل ََِت ُدو ََّن‬ ََّ ‫فَ َسأ‬ ْ ‫َل أ‬ َ ‫ك ُر ْخ‬ ‫اهللِ صلىَّاهللَّعليوَّوسلم‬ َّ ‫ول‬ َِّ ‫لى َر ُس‬ ََّ ‫ات فَلَما قَ ِد ْمنَا َع‬ ََّ ‫تَ ْق ِد َُّر َعلى املاء فَا ْغتَ َس ََّل فَ َم‬ َ ِ ِ ِ ِ َ َ ‫الع َِّّي‬ َّ ‫اء‬ ‫ف‬ ‫ش‬ ‫ا‬ ‫َّن‬ ‫إ‬ ‫ف‬ ‫؟‬ ‫ا‬ ‫و‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ي‬ َّ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ذ‬ ‫إ‬ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫أ‬ ‫س‬ َّ ‫ل‬ ‫أ‬ ‫اهلل‬ َّ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ل‬ ‫ت‬ ‫ق‬ َّ ‫وه‬ ‫ل‬ ‫ت‬ ‫ق‬ : َّ ‫ال‬ ‫ق‬ ‫ف‬ ََّ ‫َخبَ ََّر بِ َذل‬ َ ُ ْ‫أ‬ َ ُ َ َ َ ُ َْ َ َ َ َ َ ُ ُ َ ََ ُ ُ ََ َ َ ‫ك‬ ِ ‫السؤال إَِّنَا َكا ََّن يك‬ ِ ‫ْف َِّيو أَ َّْن ي تَ يم َّم وي ع‬ ‫ب َعلَى ُج ْرِح َِّو ِخ ْرقََّةً َُّث ّيَْ َس ََّح َعلَْي َها‬ ََّ ‫ص‬ َ ََْ َ َ َ َ 162ِ ِ ‫َويَ ْغ ِس ََّل َسائََِّر َج َسدَّه‬ Dari Jabir radhiyallahuanhu berkata"Kami dalam perjalanan tibatiba salah seorang dari kami tertimpa batu dan pecah kepalanya. Namun (ketika tidur) dia mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada temannya"Apakah kalian membolehkan aku bertayammum?" Teman-temannya menjawab"Kami tidak menemukan keringanan bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan air". Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati (akibat mandi). Ketika kami sampai kepada Rasulullah SAW dan menceritakan hal itu bersabdalah beliau"Mereka telah membunuhnya semoga Allah memerangi mereka. Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu ? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya.(HR. Abu Daud, Ad-Daruquthuny). 3) Maksud kata ―menyentuh‖ dalam ayat di atas. Para ulama salaf berbeda pendapat dalam mengartikan kata ―sentuh‖. Ali, Ibnu Abbas dan Hasan berpendapat bahwa yang dimaksud adalah bercampur. Dan ini juga merupakan pendapat madzhab Hanafiyah. Sedangkan Ibnu Mas‘ud, Ibnu Umar dan Sya‘bi berpendapat bahwa



161



Ibid., 424.



162



Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, 92, nomor hadis: 336.



91



yang dimaksud kata ―sentuh‖ itu adalah bersentuhan dengan tangan. Dan ini juga merupakan pendapat madzhab Syafi‘iyah.163 Terkati dengan perbedaan arti kata menyentuh, maka akan memunculkan pertanyaan baru, apakah bersentuhan dengan lawan jenis dapat membatalkan wudhu atau tidak? Di sini Imam Madzhab berpendapat: a) Abu Hanifah berpendapat bahwa menyentuh wanita itu tidak membatalkan wudhu, baik bersentuhan itu dengan syahwat ataupun tidak. Karena lafald ―lamastumun nisa‖ itu merupakan suatu kinayah dari bercampur, seperti yang diriwayatkan Ibnu Abas. Meskipun pada dasarnya bermakna menyentuh dengan tangan, namun di dalam Al-Qur‘an sendiri sering dipakai dengan arti kinayah, seperti misalnya firman Allah: ―Dan jika kamu mencerai mereka, sebelum kamu sentuh mereka itu‖ (QS alBaqarah 237).164 Selain itu Abu Hanifah beralasan dengan hadis Aisyah yang mengatakan:



َّ‫صلِّي ََّوَل‬ ُ ‫ض َّأ َْزَو ِاج ِو‬ َ ‫أَ َّّن َّالنِِب َّصلى َّاهلل َّعليو َّوسلم َّ" َّ َكا َن َّيُ َقبِّ ُل َّبَ ْع‬ َ ُ‫َّث َّي‬ َّ 165"َُّ‫يَتَ َوضأ‬ 163



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 426.



164



Ibid., 427.



165



Abu Abdi al-Rahman Ahmad Al-Nasa‘i, Sunan al-Nasa’i (Halb: Maktab al-Mathbu‘at alIslamiyah, 1986), 44, nomor hadis: 170.



92



Sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium isterinya, kemudian shalat dan tidak berwudhu lagi. Dan juga hadis Aisyah yang mengatakan:



ِ َ ‫َّطَلَبت َّرس‬:‫قَالَت‬ َّ‫َّفَلَ ْم‬،‫ات َّلَْي لَ ٍة َِّف َّفَِر ِاشي‬ َ ‫ول َّاللو َّصلىَّاهللَّعليوَّوسلم َّ َذ‬ َُ ُ ْ ْ ِ ‫اش َّفَوقََّع‬ ِ ِ ِ ِ َ‫َْخ‬ َّ‫ص َّقَ َد َمْي ِو‬ ْ ‫يَّعلَىَّأ‬ ْ َ َ ِ ‫ىَّرأْ ِس َّالْفَر‬ َ َ‫َّف‬،ُ‫أُصْبو‬ َ ‫ت َّيَد‬ َ ‫ت َّبِيَد‬ ُ ْ‫ضَرب‬ َ َ‫يَّعل‬ ِ ‫فَِإ َذا َّىو َّس‬ ِ ‫ َّ" َّأَعوذُ َّبِع ْف ِو َك َِّمن‬:‫ول‬ َّ‫اك َِّم ْن‬ ُ ‫ َّيَ ُق‬،‫اج ٌد‬ َ‫ض‬ َ ِ‫َّع َقاب‬ َ ‫َعوذُ َّبِ ِر‬ ُ ‫ ََّوأ‬،‫ك‬ َ ُ ْ َ َُ 166 "َّ‫ك‬ َ ‫ك َِّمْن‬ َ ِ‫َّوأَعُوذَُّب‬، َ ‫َس َخ ِط‬ َ ‫ك‬ Pernah suatu malam, ia mencari Nabi SAW, ia berkata: Maka tanganku menyentuh telapak kakinya sedangkan Nabi SAW pada saat itu sedang bersujud sambil membaca: a‘udzu biridhaka min sakhatika (aku berlindung diri dengan keridhoanMu dan murkaMu)



b) Sedangkan Imam Syafi‘i berpendapat bahwa menyentuh wanita itu membatalkan wudhu, baik dengan syahwat ataupun tidak. Karena lafald ―lamasa‖ pada mulanya bermakna menyentuh dengan tangan. Sedangkan ―lamasa‖ dengan arti bercampur merupakan majaz atau kinayah. Padahal asalnya, setiap perkataan itu harus diartikan menurut hakikatnya, tidak diperbolehkan pindah pada arti majaz, kecuali apabila tidak memungkinkan bila diartikan secara hakikat. Dan ini diperkuat dengan lafald ―aulamastumun nisa‖ dengan lam pendek yang berarti menyentuh yang sebenarnya.167 c) Dan Imam Malik berpendapat bahwa menyentuh wanita itu membatalkan wudhu jika menyentuhnya dengan bersyahwat, tetapi 166



Ibid., 1485, nomor hadis: 5534.



167



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 427.



93



jika



menyentuhnya



tidak



dengan



bersyahwat



itu



tidak



membatalkan wudhu.168 Dalam kitab Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd berkata: Penyebab perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah kata ―lamasa‖ itu mempunyai arti ganda (musytarak). Orang-orang Arab biasa mengartikan dengan menyentuh dengan tangan, namun terkadang juga dikinayahkan untuk arti bercampur (jima‘). Namun ada asalnya kata ―lamasa‖ itu berarti menyentuh dengan tangan, sedangkan jika diartikan dengan jima‘ merupakan majaz. Dan jika terjadi dua kemungkinan antara hakikat dan majaz pada suatu lafal, maka yang lebih tepat adalah mengartikan secara hakikat sampai ada dalil yang mengalihkan pada makna majaz. Dan Ibnu Rusyd mengartikan ―lamasa‖ sebagai jima‘, meskipun dengan mengartikan jima‘ itu merupakan sebuah majaz. Karena Allah telah membuat kinayah jima dengan mubasyarah dan massa yang kedua-duanya juga berarti lamasa.169 Ibnu Rusyd juga berkata, ―saya sendiri berketeguhan hati, bahwa kata lamasa meskipun mempunyai dua arti, namun yang tepat adalah dengan mengartikan dengan kata jima, meskipun jima sendiri adalah kata majaz. Karena Allah telah membuat kinayah jima dengan 168



Ibid.



169



Ibid., 429.



94



mubasyarah



dan



masa



yang



keduanya



juga



berarti



lamasa



(menyentuh).170 d) Tarjih Barangkali pendapat inilah yang lebih kuat, karena dengan ini berarti suatu kemungkinan untuk memadukan antara ayat tersebut dengan riwayat-riwayat di atas karena sudah menjadi keumuman kata massa itu kalau dihubungkan dengan wanita berarti jima‘, sehingga arti ini sudah seperti menjadi zahir (hakekatnya).171 4) Yang dimaksud kata sha’id (tanah) dalam ayat di atas. Dalam masalah ini, para ahli bahasa berbeda pendapat, akibatnya akan timbul pula perbedaan dikalangan ahli fiqih tentang penggunaan media untuk bertayamum. Sebab sebagian ada yang mengartikan sha‘id ini sebagai turab (debu), ada juga yang mengartikan permukaan bumi baik itu berupa debu atau yang lainnya. Dan ada juga yang mengartikan tanah gundul yang tidak ada tumbuhan maupun tanaman apapun.172 Abu Hanifah berpendapat bahwa tayamum itu boleh dengan debu, batu atau sesuatu apapun yang berasal dari bumi meskipun tidak berdebu. Karena dzahirnya lafald tayamum itu berarti al-qashdu



170



Ibid.



171



Ibid.



172



Ibid., 429–30.



95



(bermaksud) dan sha‘id itu artinya semua yang berada di permukaan bumi. Dengan begitu firman Allah: ―fatayammamu sha‘idan thayiban‖ itu berarti menujulah kamu ke suatu tanah yang suci. Jadi ukuran ini sudah dipandang cukup.173 Sedangkan Syafi‘i berpendapat bahwa tanah yang dipakai untuk bertayamum itu harus tanah yang baik. Tanah yang baik adalah yang subur



yang dapat



menumbuhkan



tumbuh-tumbuhan.



Hal



ini



berdasarkan pada firman Allah pada surat al-A‘raf ayat 57: ―Dan tanah yang baik yang tumbuh-tumbuhannya itu tumbuh dengan ijin Tuhannya. Dan Syafi‘i berpendapat bahwa ayat itu mutlaq, dan diikat dengan kata minhu dalam surat al-Maidah ayat 6 yang berbunyi‖



ِ ِ ِ ُ‫فَ ْام َس ُحوا بُِو ُجوى ُك َّْم َوأَيْدي ُك َّْم مْن َّو‬



Maka usaplah muka-mukamu dan tangan-tanganmu dengannya.174



Sedangkan kata min di situ berarti littab’idh, untuk menunjukkan arti sebagian. Hal ini tidak mungkin jika terdapat pada batu halus yang tidak berdebu. Maka dipastikan bahwa tayamum itu tidak dinilai sah kecuali dengan debu.175



173



Ibid., 430.



174



al-Qur’an dan Terjemahannya, a. QS. al-Maidah: 6.



175



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 430.



96



Tarjih : Barangkali pendapat Syafi‘i inilah yang benar, terlebih karena Nabi SAW sendiri telah menegaskan dengan sabdanya:



ِ ‫ََّي ِدَّالْماءَّع ْشر‬ ِ ِ ِِ َّ 176‫ي‬ ََّ ِ‫َّسن‬ َ ِ‫إِنَّالصع‬ ُ ‫بَّطَ ُه‬ َ ِّ‫يدَّالطي‬ َ َ َ َ َ ْ‫ورَّالْ ُم ْسل َّمَّ َوإ ْنَّ َل‬



Debu adalah alat bersuci bagi orang Islam apabila ia tidak mendapatkan air.



176



Al-Tirmidzi, Jami’ al-Tirmidzi, 52, nomor hadis: 124.



97



BAB IV IMPLIKASI HUKUM ISLAM BAGI WANITA YANG SEDANG MENGALAMI HAID



A. Polemik Menyetubuhi Wanita Haid Ketika Allah memerintahkan atau melarang sesuatu pasti terdapat hikmah di dalamnya. Ketika Allah mengharamkan sesuatu



pasti terdapat keburukan di



baliknya. Ketika Allah menghalalkan sesuatu pasti ada manfaat untuk manusia di dunia maupun di akhirat. Salah satu bentuk larangan Allah yang dapat membawa manfaat lebih banyak bagi diri manusia adalah dengan tidak diperbolehkannya menggauli istri ketika mengalami haid. Larangan ini dengan jelas difirmankan Allah dalam Al-Qur‘an surat al-Baqarah ayat 222:



ِ ْ َ‫يض َّۖ َّقُ َّل َّ ُى َّو َّأَذًى َّف‬ ِ ‫َّع ِن َّالْ َم ِح‬ َّ‫يض َّۖ َّ َوََّل‬ َِّ ‫ف َّالْ َم ِح‬ َّ َِّ َ‫اء‬ َّ ‫ِّس‬ ََّ ‫ك‬ َ َ‫َويَ ْسأَلُون‬ َ ْ َ ‫اعتَزلُوا َّالن‬ ََّّ‫ث َّأ ََمَرُك َُّم َّالل َّوُ َّۖ َّإِنَّ َّالل َّوَ َّ ُُِيب‬ َُّ ‫وىنَّ َّ ِم َّْن َّ َحْي‬ َّ‫وىنَّ َّ َح ى‬ ُ ُ‫ّت َّيَطْ ُه ْر ََّن َّۖ َّفَِإذَا َّتَطَه ْر ََّن َّفَأْت‬ ُ ُ‫تَ ْقَرب‬ ََّ ‫يَّ َوُُِيبََّّالْ ُمتَطَ ِّه ِر‬ ‫ين‬ ََّ ِ‫الت واب‬ Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.177



Dalam ayat di atas menjelaskan tentang perintah untuk para suami agar tidak menggauli istrinya yang sedang haid. Semua ulama bersepakat bahwa haram 177



al-Qur’an dan Terjemahannya, a. QS. al-Baqarah: 222.



98



hukumnya berhubungan seksual ketika istrinya sedang haid adalah haram. Namun masih terjadi perbedaan antara ulama mengenai apa saja yang wajib dijauhi terhadap wanita yang sedang mengalami haid. Diantaranya: a. Ibnu Abbas dan Ubaidh Silmi yang wajib dijauhi adalah seluruh tubuhnya. Pendapat ini berdasarkan perintah Allah untuk menjauhi wanita-wanita yang sedang haid dengan tidak mengecualikan sesuatu apapun. Maka lakilaki harus menjauhi seluruh tubuhnya karena keumuman ayat yang telah difirmankanNya ―maka jauhilah wanita-wanita yang dalam keadaan haid‖. 178



Namun pendapat ini disanggah oleh Al-Qurtubi dengan mengatakan bahwa pendapat tersebut adalah pendapat yang janggal yang sangat berbeda dengan pandangan ulama pada umumnya. Meskipun ayat tersebut menunjukkan keumuman tanpa menyertakan apa-apa saja yang dilarang dilarang ketika wanita haid, namun masih ada banyak penjelasan dari hadis Nabi yang menjelaskan hal ini.179



b. Madzhab Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa yang wajib dijauhi adalah antara pusar dan lutut.180 Pendapat ini berlandaskan dengan adanya riwayat dari Aisyah r.a bahwa ia berkata:



178



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 241.



179



Ibid., 242.



180



Ibid., 241.



99



ِ ٍِ ٍ ِ ِ ِ َّ‫ ََّوَكا َن‬،‫ب‬ ُ ‫ُكْن‬ ُ ‫ت َّأَ ْغتَس ُل َّأَنَا ََّوالنِِب َّصلى َّاهلل َّعليو َّوسلم َّم ْن َّإنَاء ََّواحد َّك ََلنَا‬ ٌ ُ‫َّجن‬ ِ َ‫اشرِِن َّوأَن‬ ِ ِ َّ‫ف َّفَأَ ْغ ِسلُوُ ََّوأَنَا‬ ُ ‫َّوَكا َن‬، ٌ ‫َّم ْعتَ ِك‬ ٌ ‫اَّحائ‬ ُ ‫َِّيَِّْر ُج ََّرأْ َسوُ َّإ ََل ََّوُى َو‬ َ َ ُ َ‫يَأْ ُم ُرِِن َّفَأَت ِزُر َّفَيُب‬ َ ‫ض‬ َّ 181‫ض‬ ٌَّ ِ‫َحائ‬ Aku pernah mandi bersama Nabi Muhammad SAW dari satu bejana, sedang kami dalam keadaan junub, lalu Nabi SAW menyuruhku agar aku memakai kain, kemudian ia memelukku sedangkan aku dalam keadaan haid. (HR Bukhori, Muslim dan Tirmidzi) Dan juga pendapat dari Maimunah, bahwa ia berkata: 182



ِ ِ ِ ُ ‫َكا َنَّرس‬ َّ‫ض‬ ٌ ‫َّحي‬ ُ ‫ولَّاللوَّصلىَّاهللَّعليوَّوسلمَّيُبَاش ُرَّن َساءَهَُّفَ ْو َقَّا ِإل َزا ِرَّ َوُىن‬ َُ



Adalah Rasulullah SAW biasa memeluk istri-istrinya di atas kain, sedang mereka dalam keadaan haid. HR Bukhori-Muslim c. Madzhab Syafi‘i berpendapat bahwa yang wajib dijauhi adalah tempat keluarnya haid, yaitu vaginanya.183 Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi SAW: 184



Berbuatlah apa saja kecuali bersetubuh.



ِ ٍ َ ‫اصنَ عُواَّ ُكل‬ َّ‫اح‬ ْ َ ‫َّش ْيءَّإلَّالنِّ َك‬



Dan juga riwayat dari Masruq, ia berkata: 185



ِْ ‫َّشي ٍءَّإِل‬ ِِ ‫اَُّيلَّلِلرج ِل َِّمن‬ َِ ‫سأَلْتَّعائِ َشةََّم‬ َّ‫اع‬ َّْ َ‫َّصائِ ًما؟َّقَال‬ َ ‫َّاْل َم‬ َ ُ َ ْ َ ُ َ ‫َّامَرأَتو‬ َ ْ َ ‫َّ ُكل‬:‫ت‬



Aku pernah bertanya kepada Aisyah r.a. (tentang) apa yang boleh bagi laki-laki (suami) terhadap istrinya yang sedang mengalami haid? Aisyah menjawab: (boleh berbuat) apa saja kecuali bersetubuh. HR Ibnu Jarir at-Thabari dari Masruq bin Ajda‘.



181



Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Sahih, 91, nomor hadis: 63:1.



182



Sahih Muslim, 192, nomor hadis: 297.



183



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 241.



184



Sahih Muslim, 195, nomor hadis: 303.



185



Al-Shan‘ani, Mushannaf Abd al-Razzaq, bk. 4, hlm. 189, nomor hadis: 7439.



100



Ali Asshobuni berpendapat bahwa pendapat Abu Hanifah dan Malik inilah yang lebih kuat diantara yang lain. Dan pendapat inilah yang dipilih Ibnu Jarir atThabari dengan mengatakan bahwa bagi laki-laki terhadap istrinya yang sedang mengalami haid (boleh mengaulinya dalam batas-batas) apa yang di atas kain penutup kemaluan.186 Para suami diperbolehkan mengumpuli istrinya kembali tentu dengan syarat, sang istri telah suci. Karena aturan ini juga telah disebutkan dalam ayat yang sama. Namun ulama fiqih masih berbeda pendapat mengenai apa yang di maksud suci dalam ayat tersebut. Diantaranya: a. Dan menurut at-Thawus dan Mujahid bahwa untuk bolehnya mengauli istri itu ketika darah haid telah berhenti dan cukup dengan membasuh farjinya dengan air, dan kemudian berwudhu.187 b. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa yang dimaksud suci adalah berhentinya darah. Apabila darah haid telah berhenti maka boleh bagi lakilaki untuk mengumpuli istrinya sebelum mandi. Hal ini apabila berhentinya darah haid ini melebihi masa maksimal lamanya haid (sepuluh hari),



tetapi jika berhentinya darah itu kurang dari masa



maksimalnya haid, maka belum boleh mengaulinya sebelum mandi.188



186



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 243.



187



Ibid., 246.



188



Ibid.



101



c. Jumhur Ulama‘ (Malik, Syafi‘i dan Ahmad) mengartikan suci adalah berhentinya darah haid dan telah mandi dengan air sebagaimana bersuci karena junub. Maka sang suami tidak diperbolehkan untuk menggauli istrinya meskipun darah haid telah berhenti nammun belum mandi sampai ia mandi dengan niat bersuci karena hadas besar.189 Menurut Ali Asshobuni pendapat jumhurlah yang lebih kuat, karena dalam akhir ayat Allah berfirman:



ِ ِ‫َُّيبَّالت واب‬ ُِ ‫إِنَّاللو‬ َّ‫ين‬ َ َ َ ‫ي ََّوُُيبَّالْ ُمتَطَ ِّه ِر‬



Sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang bersuci‖.190



Bertaubat merupakan menyucikan dirinya dari kotoran batin. Dan mandi dan berwudhu merupakan menyucikan dirinya dari kotoran lahir. Dari uraian tersebut, menurut penulis ayat di atas merupakan nash yang sharih. Semua ulama telah bersepakat bahwa hukum berhubungan seksual ketika istri sedang mengalami haid adalah haram, maka para suami diperintahkan untuk menjauhi istrinya ketika sedang mengalami haid. Perlu diketahui bahwa perintah ini menunjukkan perintah untuk menjauhkan diri dari tempat keluarnya haid, bukan secara mutlak menjauhi wanita yang sedang haid sehingga membuat istri jadi terasingkan.



189



Ibid.



190



al-Qur’an dan Terjemahannya, a. QS. al-Baqarah: 222.



102



Setidaknya para imam madzhab memiliki pandangan yang sama, yaitu melarang suami menggauli istrinya yang sedang haid, meskipun tetap terjadi perbedaan mengenai sampai batas mana keboleh suami mencumbui istrinya. Adapun dalil yang dijadikan pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik sebagai berikut:



ِ ِ ِ ‫َّاْل‬ َّ‫َّع ْن‬ َ َ‫ َّق‬،ُ‫يصة‬ َ ،‫َس َود‬ َ ،‫يم‬ َ ،‫صوٍر‬ َ ،‫َّس ْفيَا ُن‬ ْ ْ ‫َّع ِن‬ ُ ‫َّع ْن ََّمْن‬ َ ِ‫َحدثَنَا َّقَب‬ َ :‫ال‬ ُ ‫َّحدثَنَا‬ َ ‫َّع ْن َّإبْ َراى‬ ِ ٍِ ٍ ِ ِ ِ ِ َّ‫ِن‬ َّ ِ‫َّوَكا َن َّيَأْ ُم ُر‬، ْ َ‫َّقَال‬،َ‫َعائ َشة‬ ُ ‫َّ"َّ ُكْن‬:‫ت‬ ُ َ‫اَّوالنِِب َّم ْن َّإنَاء ََّواحد َّك ََلن‬ ٌ ُ‫اَّجن‬ َ َ‫ت َّأَ ْغتَس ُل َّأَن‬ َ ‫ب‬ ِ ‫اشرِِن َّوأَنَا‬ ِ ِ َّ‫ف َّفَأَ ْغ ِسلُوُ ََّوأَنَا‬ ُ ‫ ََّوَكا َن‬،‫ض‬ ٌ ‫َّم ْعتَ ِك‬ ٌ ‫َّحائ‬ ُ ‫ِج ََّرأْ َسوُ َّإ ََل ََّوُى َو‬ َ َ ُ َ‫فَأَت ِزُر َّفَيُب‬ ُ ‫َِّيْر‬ َّ َّ191‫ض‬ ٌَّ ِ‫َحائ‬ Telah menceritakan kepada kami Qabishah berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Manshur dari Ibrahim dari Al Aswad dari Aisyah berkata, "Aku dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah mandi bersama dari satu bejana. Saat itu kami berdua sedang junub. Beliau juga pernah memerintahkan aku mengenakan kain, lalu beliau mencumbuiku sementara aku sedang haid. Beliau juga pernah mendekatkan kepalanya kepadaku saat beliau i'tikaf, aku lalu basuh kepalanya padahal saat itu aku sedang haid."



Hadis di atas diriwayatkan oleh sangat banyak Imam Hadis. Di antaranya adalah al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Nasa‘i, al-Darimi, dan Ahmad dengan sanad sahih dari Aisyah, al-Tirmidzi dari Maimunah binti al-Haris juga dengan sanad sahih. Maka hadis ini termasuk hadis yang sangat kuat. Dan juga hadis:



191



Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Sahih, 91, nomor hadis: 63:1.



103



‫َُّيَي‪َّ ،‬أَخب رنَا َّخالِ ُد َّبن ِ ِ‬ ‫َّعْب ِد َّالل ِو َّبْ ِنَّ‬ ‫َّع ْن َ‬ ‫َّع ِن َّالشْيبَ ِاِنِّ‪َ ،‬‬ ‫َّعْبد َّاللو‪َ ،‬‬ ‫َُّي ََي َّبْ ُن َْ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ‬ ‫َحدثَنَا َْ‬ ‫ٍ‬ ‫ول َّالل ِو َّصلىَّاهلل َّعليوَّوسلم َّي ب ِ‬ ‫اش ُر َّنِ َساءَهَُّ‬ ‫ت‪َ َّ"َّ:‬كا َن ََّر ُس ُ‬ ‫‪َّ،‬ع ْن ََّمْي ُمونَةَ‪َّ،‬قَالَ ْ‬ ‫َشداد َ‬ ‫َُ‬ ‫ضَّ"‪َّ 192‬‬ ‫َّحي ٌ‬ ‫فَ ْو َقَّا ِإل َزا ِر ََّوُىن ُ‬ ‫‪Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya telah‬‬ ‫‪mengabarkan kepada kami Khalid bin Abdullah dari asy-Syaibani‬‬ ‫‪dari Abdullah bin Syaddad dari Maimunah dia berkata, "Rasulullah‬‬ ‫‪shallallahu 'alaihi wasallam mencumbu isteri-isterinya di atas‬‬ ‫"‪(berlapiskan) sarung, sedangkan mereka dalam keadaan haid.‬‬



‫‪Hadis di atas diriwayatkan oleh Muslim dan al-Darimi dari Maimunah binti‬‬ ‫‪al-Haris dengan sanad sahih. Diriwayatkan oleh Ahmad dari A‘isyah dengan‬‬ ‫‪sanad hasan. Dan diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abdullah bin Khalid dengan‬‬ ‫‪sanad hasan. Maka hadis ini kuat.‬‬ ‫‪Adapun yang dijadikan dalil atas pendapatnya Imam Syafi‘i adalah:‬‬



‫وحدثَِن َُّزَىْي ر َّبْن ٍ‬ ‫َّسلَ َمةَ‪َّ،‬‬ ‫َّعْب ُد َّالر ْْحَ ِن َّبْ ُن ََّم ْه ِد ٍّ‬ ‫ي‪َ َّ ،‬حدثَنَا َ‬ ‫َّْح ُ‬ ‫َّحدثَنَا َ‬ ‫َّح ْرب‪َ ،‬‬ ‫ُ ُ َ‬ ‫َ‬ ‫اد َّبْ ُن َ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫‪َّ،‬ع ْن َّأَنَ ٍ‬ ‫وىا‪َّ،‬‬ ‫اَّح َ‬ ‫َحدثَنَاَّثَابِ ٌ‬ ‫س‪َّ"َّ،‬أَن َّالْيَ ُه َ‬ ‫ت َ‬ ‫اضت َّالْ َم ْرأَةُ َّفي ِه ْم‪َ َّ،‬لَّْيُ َؤاكلُ َ‬ ‫ود‪َ َّ،‬كانُواَّإ َذ َ‬ ‫ِ‬ ‫وَل ُ ِ‬ ‫ِبَّالنِِبَّصلىَّاهللَّعليوَّوسلمَّفَأَنََّْزَلَّاللوَُّ‬ ‫ابَّالنِ ِّ‬ ‫وىن َِّفَّالْبُيُوت‪َّ،‬فَ َسأ ََلَّأ ْ‬ ‫ََّيَامعُ ُ‬ ‫َْ‬ ‫َص َح ُ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫َّىوَّأَ ًذىَّفَ ْ ِ‬ ‫َّع ِنَّالْ َمح ِ‬ ‫ِّساءَ َِّفَّالْ َمحيضقَّإِ َلَّآخ ِرَّ‬ ‫ىفَّويَ ْسأَلُونَ َ‬ ‫ك َ‬ ‫تَ َعالَ َ‬ ‫يضَّقُ ْل ُ َ‬ ‫اعتَزلُواَّالن َ‬ ‫ِ‬ ‫الَّرس ُ ِ‬ ‫ِ‬ ‫‪َّ:‬اصنَ عُواَّ ُكل َ ٍ ِ‬ ‫ا‪َّ:‬ماَّ‬ ‫اح‪َّ،‬فَبَ لَ َغَّ َذل َ‬ ‫كَّالْيَ ُه َ‬ ‫ولَّاللو ْ‬ ‫ود‪َّ،‬فَ َقالُو َ‬ ‫اْليَة‪َّ،‬فَ َق َ َ ُ‬ ‫َّش ْيء‪َّ،‬إلَّالنِّ َك َ‬ ‫ِِ‬ ‫ض ٍْْي‪َّ،‬‬ ‫يُِر ُ‬ ‫ع َِّم ْن َّأ َْم ِرنَ َ‬ ‫َّح َ‬ ‫َّى ََّذاَّالر ُج ُل‪َّ،‬أَ ْن َّيَ َد َ‬ ‫يد َ‬ ‫اَّشْيئًا‪َّ،‬إِل َ‬ ‫ُسْي ُد َّبْ ُن ُ‬ ‫َّخالََفنَاَّفيو‪َّ،‬فَ َجاءَ َّأ َ‬ ‫وعباد َّبن َّبِ ْش ٍر‪َّ،‬فَ َق َال‪َّ:‬ياَّرس َ ِ‬ ‫ََّنَ ِامعُ ُهن‪َّ،‬‬ ‫اَّوَك َذا‪َّ،‬فَ ََل ُ‬ ‫ود‪َّ،‬تَ ُق ُ‬ ‫ول َّاللو‪َّ،‬إِن َّالْيَ ُه َ‬ ‫َ َُ‬ ‫ََ ُ ُْ‬ ‫ول‪َ َّ:‬ك َذ َ‬ ‫ِ ِ‬ ‫اَّى ِديةٌ َِّم ْنَّ‬ ‫َّحّتَّظَنَ ناَّأَ ْنَّقَ ْد ََّو َج َد َ‬ ‫استَ ْقبَ لَ ُه َم َ‬ ‫َّعلَْي ِه َما‪َّ،‬فَ َخَر َجا‪َّ،‬فَ ْ‬ ‫فَتَ غَي َر ََّو ْجوُ ََّر ُسولَّاللَّو َ‬ ‫ِ ِِ‬ ‫اِهَا َّفَعرفَا َّأَ ْن َّ َل َِ‬ ‫لََ ٍ‬ ‫ََّي ْدَّ‬ ‫َب َّإِ َل َّالنِ ِّ‬ ‫ْ‬ ‫ِب َّصلى َّاهلل َّعليو َّوسلم َّفَأ َْر َس َل َّف َّآثَارِهَا‪َّ ،‬فَ َس َق ُ َ َ‬ ‫َعلَْي ِه َما‪َّ َّ193‬‬



‫‪104‬‬



‫‪Sahih Muslim, 192, nomor hadis: 297.‬‬



‫‪192‬‬



‫‪Ibid., 195, nomor hadis: 303.‬‬



‫‪193‬‬



Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah telah menceritakan kepada kami Tsabit dari Anas bahwa kaum Yahudi dahulu apabila kaum wanita mereka, mereka tidak memberinya makan dan tidak mempergaulinya di rumah. Maka para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam. Lalu Allah menurunkan, "Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, 'Haidh itu adalah suatu kotoran'. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (al-Baqarah: 222) maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Perbuatlah segala sesuatu kecuali nikah". Maka hal tersebut sampai kepada kaum Yahudi, maka mereka berkata, "Laki-laki ini tidak ingin meninggalkan sesuatu dari perkara kita melainkan dia menyelisihi kita padanya." Lalu Usaid bin Hudhair dan Abbad bin Bisyr berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaum Yahudi berkata demikian dan demikian, maka kami tidak menyenggamai kaum wanita." Raut wajah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam spontan berubah hingga kami mengira bahwa beliau telah marah pada keduanya, lalu keduanya keluar, keduanya pergi bertepatan ada hadiah susu yang diperuntukkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Maka beliau kirim utusan untuk menyusul kepergian keduanya, dan beliau suguhkan minuman untuk keduanya. Keduanya pun sadar bahwa beliau tidak marah atas keduanya."



Hadis di atas diriwayatkan oleh Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa‘i, Ibnu Majah, Ahmad, al-Darimi, semuanya dengan sanad yang sahih dari Anas bin Malik – Tsabit bin Aslam – Hammad bin Salamah. Sehingga hadis ini meskipun sahih namun gharib.194



194



Gawami al-Kalim, versi 4.5, Windows (ISlam Web, al-Idaroh al-‘Ammah li al-Auqaf, t.t.).



105



ٍ ‫َّعن َّمسر‬،َ‫ َّعن َّأَِِب َّقِ ََلبة‬،‫َّعن َّأَيوب‬،‫َّعن َّمعم ٍر‬،‫ َّعب ُد َّالرز ِاق‬-َّ ٕٔٙٓ َّ:‫ال‬ َ َ‫وق َّق‬ َْ ْ َ َ ْ َ ََْ ْ َ ُْ َ ْ َ َ ِ ‫اَُّيلَّلِلرج ِل َِّم ِنَّامرأَتِِو‬ َِ ‫َّياَّأُمَّالْم ْؤِمنِيَّم‬:‫َّفَ ُق ْلت‬،َ‫دخ ْلتَّعلَىَّعائِ َشة‬ َّ:‫ت‬ ْ َ‫ضا؟َّقَال‬ ً ‫َّحائ‬ َ َ ُ ََ َ َْ ُ ََ ُ َ ُ َّ‫َّفَ َما‬:‫ت‬ َِّ‫اَّدو َنَّالْ َف ْر‬ َ َ‫َّاْسَ ْعَّق‬ َ َ‫ََّّق‬.»‫ج‬ ٌ ‫َّفَغَ َمَز ََّم ْس ُر‬:‫ال‬ ْ ‫وقَّبِيَ ِدهِ ََّر ُج ًَلَّ َكا َن ََّم َعوَُّأَ ِي‬ ُ ‫« َم‬ ُ ‫َّقُ ْل‬:‫ال‬ ِ ‫َُِيل ََِّل َِّمْن ه‬ َّ 195.»‫اع‬ ََّ ‫َّاْلِ َم‬ ْ ‫َّش ْي ٍءَّإِل‬ َ ‫َّ« ُكل‬:‫ت‬ ْ َ‫اَّصائ ًما؟َّقَال‬ َ َ



Hadis di atas diriwayatkan oleh Abdur Rozzaq dari Aisyah dengan sanad sahih. Diriwayatkan pula dengan lafadh yang sedikit berbeda oleh Ibnu Majah, Abu Naim al-Ashbahani, al-Baihaqi, dari Anas dengan sanad sahih gharib melalui Tsabit bin Aslam – Hammad bin Salamah.196



Setelah melihat dalil-dalil yang telah ditampilkan, hadis-hadis di atas merupakan hadis yang sama-sama shohih meskipun berbeda kekuatan, maka dengan begitu tidak bisa dilakukan pemenangan hadis satu mengalahkan hadis yang lain. Maka harus dilakukan kompromi terhadap hadis tersebut. Peluang yang mungkin dilakukan adalah ketika hadis-hadis Imam Syafi‘i ini menyampaikan bahwa pembolehannya adalah bersifat menyeluruh kecuali farji saja, sedangkan hadis-hadis yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah ini batasannya lebih sempit, yaitu hanya bagian antara pusar dan lutut dan ditutupi kain sarung, maka potensi kehati-hatiannya lebih aman jika menggunakan hadis-hadis yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah, yaitu pembolehan berhubungan yang dilakukan ketika wanita sedang haid adalah berhubungan kecuali yang ada di antara pusar dan lutut.



195



Al-Shan‘ani, Mushannaf Abd al-Razzaq, 327, nomor hadis: 1260.



196



Gawami al-Kalim.



106



Pelarangan bermain-main apa yang ada di antara pusar dan lutut merupakan bentuk kehati-hatian. Karena jika berada di tempat yang dekat dengan area terlarang, maka akan mudah sekali jatuh ke dalamnya Sikap di atas juga mengantisipasi apabila seorang suami tidak yakin dan khawatir tidak akan mampu mengekang syahwatnya apabila terjadi jima‘, maka menghindarinya akan membuat dirinya lebih selamat dan tidak terjerumus dalam perbuatan dosa. B. Polemik Iddah Wanita Haid Setiap wanita tidak bisa dipukul rata dalam menjalani masa iddahnya, karena masing-masing wanita memiliki perbedaan masa iddah sesuai dengan kondisi dan situasinya yang dialaminya. Seperti misalnya iddah yang terdapat dalam surat alBaqarah ayat 228:



ٍ ‫والْمطَلقاتَّي ت ربصنَّبِأَنْف ِس ِهنَّثَََلثَةَّقُر‬ َّ‫ف‬ َّ َُِّ‫وءََّّۖ َوََّلَّ َُِيلََّّ ََلُنََّّأَ َّْنَّيَكْتُ ْم ََّنَّ َماَّ َخلَ ََّقَّالل َّو‬ ُ َ ْ َ ََ ُ َ ُ َ ُ َ ِ ْ ‫أَرح ِام ِهن َّإِ ْن َّ ُكن َّي ْؤِمن َّبِالل ِو َّوالْي وِم‬ َّ‫ك َّإِ َّْن‬ ََّ ِ‫ف َّ ىَّذَل‬ َّ َِّ َّ‫َحقَّ َّبَِرِّد ِىن‬ َ ‫َّاْلخ ِر َّۖ َّ َوبُعُولَتُ ُهنَّ َّأ‬ ُ َْ َْ َ ِ ِ ِ ََّّۖ ٌ‫ال َّ َعلَْي ِهنَّ َّ َد َر َج َّة‬ َِّ ‫وف َّۖ َّ َول ِّلر َج‬ َّ ‫ص ََل ًحاَّۖ َّ َوََلُنَّ َّ ِمثْ َُّل َّالذي َّ َعلَْي ِهنَّ َّبِالْ َم ْع ُر‬ ْ ِ‫َّأََر ُادواَّإ‬ ٌَّ ‫يزَّ َح ِك‬ ‫يم‬ ٌَّ ‫َوالل َّوَُّ َع ِز‬ Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.197



197



al-Qur’an dan Terjemahannya, QS. al-Baqarah: 228.



107



Adapun wanita yang dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 228 adalah wanita yang pernah dicampuri oleh suaminya kemudian ditalak, pada saat itu dia tidak dalam keadaan hamil dan masih haid. Berdasarkan ayat di atas, iddahnya wanita yang ditalak adalah tiga kali quru. Para ulama ahli fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan arti kata quru. Di sini ada dua pendapat yang berbeda, yaitu: a. Abu Hanifah dan Ahmad (dalam satu riwayah) berpendapat bahwa yang dimaksud quru adalah haid. Karena iddah itu ditetapkan untuk mengetahui kebersihan rahim. Sedangkan untuk mengetahui kebersihan rahim adalah dengan adanya haid198 b. Imam Malik dan Imam Syafi‘i, berpendapat bahwa quru adalah suci. Karena adanya ta dalam kata bilangan tsalsata quru yang menunjukkan bahwa kata quru itu berarti mudzakar. Sedangkan kata quru dengan arti mudzakar itu berarti suci. Seandainya bermakna haid, maka ayat itu akan berbunyi tsalasa quru. Karena dengan begitu, berarti quru itu muannas, karena haid itu muannas. Padahal dimuannatskannya kata tsalasa bersamaan dengan mudzakkarnya quru itu sudah maklum.199



198



Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 539.



199



Ibid., 267.



108



Ali Ashobuni berpendapat bahwa pendapat Hanafiyah dan Ahmad lebih kuat, karena tujuan utama diadakannya iddah adalah untuk melihat kebersihan rahim, sedangkan kebersihan rahim itu bisa dilihat dengan adanya haid.200 Tidak jauh berbeda dengan alasan yang dikemukakan oleh Ali Asshobuni, Wahbah az-Zuhaili juga memilih pendapat yang pertama sebagai pendapat yang rajih. Wahbah az-Zuhaili beranggapan bahwa pendapat Abu Hanifah dan Ahmad inilah yang sesuai dengan tujuan dari iddah. Biasanya wanita menunggu datangnya haid sebanyak tiga kali, setelah itu diputuskan telah selesainya masa iddah. Dan kebersihan Rahim hanya bisa dilihat dengan adanya haid. Jika seorang wanita mengalami haid, bisa dipastikan bahwa dia tidak hamil. Namun jika dia terus suci, biasanya dipastikan dia mengalami kehamilan.201 Yang dimaksud dengan ―wanita-wanita yang ditalak‖ adalah wanita yang pernah dicampuri oleh suaminya kemudian ditalak dan pada saat itu dia tidak dalam keadaan hamil, karena dijelaskan dalam ayat lain bahwa masa tunggu wanita yang sedang hamil adalah sampai dengan melahirkan anaknya (QS. atThalaq [65]:4, wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, masa tunggunya empat bulan sepuluh hari (QS. al-Baqarah [2]:234), wanita tua yang sudah tidak haid lagi dan wanita yang belum haid, masa tunggu mereka adalah tiga bulan (QA. At-



200



Ibid., 269.



201



Ibid., 541.



109



‫‪Thalaq [65]:4) dan yang dinikahi tanpa dijima‘ oleh suaminya tidak ada‬‬ ‫‪kewajiban atasnya masa tunggu (QS. al-Ahzab [33]:49).202‬‬ ‫‪Dalil yang dijadikan atas pendapatnya Imam Syafi‘i adalah hadis:‬‬



‫َْحَ ُد َّبْ ُن َّعُبَ ْي ٍد َّالصف ُار‪َّ،‬أناَّإِبْ َر ِاىيَ ُمَّ‬ ‫َخبَ َرنَاَّأَبُ ْ‬ ‫َّعْب َدا َن‪َّ،‬أناَّأ ْ‬ ‫َّعلِي َّبْ َُّن َّأ ْ‬ ‫أْ‬ ‫َْحَ َد َّبْ ِن َ‬ ‫وَّاْلَ َس ِن َ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫َّشه ٍ‬ ‫‪َّ،‬ع ْنَّ‬ ‫‪َّ،‬حدثَِنَّاللْي ُ‬ ‫‪َّ،‬ع ْنَّعُ ْرَوةَ َ‬ ‫اب َ‬ ‫ث َ‬ ‫بْ ُنَّم ْل َحا َن َْ‬ ‫‪َّ،‬ع ِنَّابْ ِن َ‬ ‫‪َّ،‬ثناَُّي ََيَّيَ ْع ِنَّابْ َنَّبُ َك ٍْْي َ‬ ‫ش َّرس َ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ت‪َّ"َّ:‬‬ ‫ول َّاللو َّفَ َقالَ ْ‬ ‫‪َّ:‬استَ ْفتَ ْ‬ ‫َعائ َشةَ ََّزْو ِج َّالنِ ِّ‬ ‫َّحبِيبَةَ َّبِْن ُ‬ ‫ِب َّأَن َهاَّقَالَت ْ‬ ‫ت َ‬ ‫ت َّأُم َ‬ ‫َّج ْح ٍ َ ُ‬ ‫ِ‬ ‫ك ِ‬ ‫تَّ‬ ‫َّع ْر ٌق‪َّ،‬فَا ْغتَ ِسلِ ُ‬ ‫اض َّفََلَّأَطْ ُه ُر‪َّ،‬فَ َق َ‬ ‫ال‪َّ"َّ:‬إَِّنَاَّ َذل َ‬ ‫َّصلِّيَّ"‪َّ،‬فَ َكانَ ْ‬ ‫ُستَ َح ُ‬ ‫إِ ِِّن َّأ ْ‬ ‫يَّث َ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ ٍ‬ ‫تَّ‬ ‫َّصَلةٍ‪.‬قَ َ‬ ‫الَّاللْي ُ‬ ‫َّحبِيبَةََّبِْن َ‬ ‫تَ ْغتَس ُلَّعْن َدَّ ُك ِّل َ‬ ‫ث‪َّ:‬فَلَ ْمَّيَ ْذ ُك ِرَّابْ ُنَّش َهابَّأَنَّالنَِِّبَّأ ََمَرَّأُم َ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫َج ْح ٍ‬ ‫َّم ْسلِ ٌم َِّفَّ‬ ‫َّصَلةٍ‪ََّ ،‬ولَ ِكنوُ َ‬ ‫ش َّأَ ْن َّتَ ْغتَس َل َّيَ ْع ِن َّعْن َد َّ ُك ِّل َ‬ ‫َّش ْيءٌ َّفَ َعلَْتوُ ََّرَواهُ ُ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫َّس ْع ٍد ََّوِِبَْعنَاهُ‪َّ،‬‬ ‫الص ِح ِ‬ ‫‪َّ،‬وُُمَمدَّبْ ِن َُّرْم ٍح َ‬ ‫يح َ‬ ‫‪َّ،‬ع ِنَّاللْيث ََّوذَ َكَرَّ َك َ‬ ‫َلم َّاللْيثَّبْ ِن َ‬ ‫‪.‬ع ْنَّقُتَ ْيبَةَ َ‬ ‫قَالَو َّابن َّعي ي نَةَ‪َّ،‬أَيضاَّوفِيماَّأَجاز ََِّل َّأَب ِ ِ‬ ‫‪.‬ع ْن َّأَِِب َّالْ َعب ِ‬ ‫‪َّ،‬ع ِنَّ‬ ‫اس َ‬ ‫َّعْنوُ َ‬ ‫وَّعْبد َّاللو َّ ِرَوايَتَوُ َ‬ ‫ُ ْ ُ َُ ْ ْ ً َ َ َ َ ُ َ‬ ‫ِ‬ ‫ال‪َّ:‬إَِّنَاَّأَمرىاَّرس ُ ِ‬ ‫سَّفِ َِّيوََّّأَنوَُّ‬ ‫‪َّ،‬ع ِنَّالشافِعِ ِّي‪َّ،‬أَنوَُّقَ َ‬ ‫الربِي ِع َ‬ ‫ولَّاللوَّأَ ْنَّتَ ْغتَس َل ََّوتُ َ‬ ‫َََ َ ُ‬ ‫صلِّ َي َ‬ ‫‪َّ،‬ولَْي َ‬ ‫أَمرىاَّأَ ْن َّتَ ْغت ِسل َّلِ ُك ِّل ٍ‬ ‫َّشاءَ َّاللوُ َّتَ َع َال َّأَن َّغُ ْسلَ َهاَّ َكا َن َّتَطَو ًعاَّ‬ ‫َشك َّإِ ْن َ‬ ‫‪َّ،‬ولَّأ ُ‬ ‫َََ‬ ‫َ‬ ‫َّصَلة َ‬ ‫َ َ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫َّعلَْيو‪َّ،‬ثناَّأَبُوَّ‬ ‫وَّعْبد َّاللو ْ‬ ‫َّاْلَاف ُ‬ ‫ت َّبِو ََّو َذل َ‬ ‫ك ََّواس ٌع َّ ََلَا‪.‬أ ْ‬ ‫ظ َّقَراءَ ًة َ‬ ‫َخبَ َرنَاهُ َّأَبُ َ‬ ‫َغْي َر ََّماَّأُم ْر َ‬ ‫يَّى َذ ْ ِ‬ ‫ال‪َّ:‬قَ َ ِ ِ‬ ‫يثَّأَنَّالنِِبَّ‬ ‫الْ َعب َِّ‬ ‫يع‪َّ،‬قَ َ‬ ‫اَّاْلَد َ‬ ‫‪َّ:‬وقَ ْد ََّرَوىَّ َغْي ُرََّّالزْى ِر ِّ َ‬ ‫اس‪َّ،‬أَنَاَّالربِ ُ‬ ‫الَّالشافعي َ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫أَمرىاَّأَ ْن َّتَ ْغتَ ِسل َّلِ ُك ِّل َّصَلةٍ ِ‬ ‫السي ِ‬ ‫اق ََّوالزْى ِريَّ‬ ‫‪َّ،‬ع ْن َ‬ ‫‪َّ،‬ولَك ْن ََّرَواهُ َ‬ ‫َََ‬ ‫َّع ْمَرَة َِّبَ َذاَّا ِإل ْسنَاد ََّو ِّ َ‬ ‫َ َ‬ ‫َ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ال‪َّ:‬تَْت ُرُكَّالصَل َةَّقَ ْد َرَّ‬ ‫يثَّ َغلَ ٌ‬ ‫َّعلَىَّأَن ْ‬ ‫ط‪َّ،‬قَ َ‬ ‫َح َف ُ‬ ‫ظَّمْنوُ‪َ َّ،‬وقَ ْد ََّرَوىَّفيو َ‬ ‫َّاْلَد َ‬ ‫َّشْيئًاَّيَ ُدل َ‬ ‫أْ‬ ‫‪203‬‬ ‫ِ‬ ‫‪َّ،‬وإَِّنَاَّأ ََر َاد ََّوالل َوَّأ َْعلَ َُّم‬ ‫ا‪َّ،‬و َعائِ َشةَُّتَ ُق ُ‬ ‫ول‪َّ:‬اْلَقْ َراءَُّاْلَطْ َه ُار َ‬ ‫أَقْ َرائ َه َ‬ ‫‪Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Aisyah dengan sanad yang‬‬ ‫‪shohih. Selain itu hadis ini diriwayatkan oleh Al-Syafi‘i dari Aisyah dengan sanad‬‬



‫‪Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, 592.‬‬



‫‪202‬‬ ‫‪203‬‬



‫‪Al-Baihaqi, Al-Sunan al-Kubro li al-Baihaqi (Makkah: Maktabah Dar al-Bazz, 1994), 575,‬‬ ‫‪nomor hadis: 349:1.‬‬



‫‪110‬‬



yang shohih. Dan juga hadis ini diriwayatkan oleh Abu Na‘im al-Ashbahani dari Umar bin Khattab namun dengan sanad yang daif, karena ada banyak perowi yang dhoif.



204



Maka hadis ini termasuk shohih ghorib karena dirwayatkan



melalui 3 jalur tapi pada generasi tabi‘ tabi‘in hanya satu orang, yaitu Ibnu Shihab. Sedangkan dalil yang dijadikan landasan atas pendapatnya Imam Abu Hanifah adalah:



ٍ ِ ‫َّناَُّممدَّبن‬، ِ ِ ِ َّ‫ي‬ ْ َ‫َّحَّو َحدثَن‬. ْ َ‫َحدثَن‬ ُ ْ ‫اَّاْلُ َس‬ ُ ْ ‫اَّاْلُ َس‬ ٌ ‫َّأناَّوك‬، َ ُ ْ ُ َُ ‫يل‬ َ ‫يع‬ َ ‫َّسعيدَّالْ َعط ُار‬ َ ‫يَّبْ ُنَّإ ْْسَاع‬ ِ ِ َِ ‫َّثناَّعب ُد َّالل ِو َّبن َّداود‬،‫ضل َّبن َّسه ٍل‬ ِ ‫اَّع ِن َّاْل َْع َم‬ َّ‫َّع ْن‬، َُ َ ُ ْ َ ‫ش‬ َ ‫ََّج ًيع‬، ْ َ ُ ْ ُ ْ ‫َّناَّالْ َف‬،‫يل‬ َْ َ ‫بْ ُن َّإ ْْسَاع‬ ِ ِ ‫َّعن‬،‫َّعن َّعروَة َّب ِن َّالزب ِْي‬،‫ت‬ ٍ ِ ِ‫َحب‬ َّ‫ت‬ ْ َ‫َّجاء‬: ْ َ‫َّقَال‬،َ‫َّعائ َشة‬ َ ْ َ ْ َ ْ َ ْ ُ ْ َ ِ‫يب َّبْ ِن َّأَِِب َّثَاب‬ ُ ‫ت َّفَاط َمةُ َّبِْن‬ َ ‫ت‬ ِ َ ‫ َّيا َّر َّس‬:‫ش َّإِ َل َّالنِِب َّقَالَت‬ ٍ ‫َّحبَ ْي‬ َّ‫ع‬ ُ ‫اض َّفََل َّأَطْ ُه ُر َّأَفَأ ََد‬ ُ ‫ُستَ َح‬ ْ ‫ َّإِ ِِّن‬،‫ول َّاللو‬ ْ ‫َّامَرأَةٌ َّأ‬ ُ ‫أَِِب‬ ُ َ َ ْ ِّ ِِ ُ ‫ك‬ ِ ِ‫َّ"َّد ِعيَّالصَل َةَّأَيامَّإِقْ رائ‬: َّ‫َّعلَى‬ َ ‫َّفَ َق‬،‫الصَل َة‬ َ ‫ال‬ َ ‫َّوإِ ْنَّقَطََرَّالد ُم‬،‫ي‬ َ ‫يَّو‬ َ ِّ‫صل‬ َ ‫َّثَّا ْغتَسل‬، َ َ ٍَّ ‫َّ"َّوتَوضئِيَّلِ ُك ِّل َّص‬:‫َّعن َّوكِي ٍع‬،‫ال َّ َغي ره‬ ِِ ْ َّ‫َُّمَم ٍد‬ ُ ‫يد َّبْ ُن‬ ُ ِ‫اَّسع‬ َ َ َّ ‫َلة‬ َ َ‫َّحدثَن‬." َ ‫اْلَصْي‬ ََ َ ْ َ ُُ ْ َ َ‫َّوق‬،"َّ ِ ِ ُ ‫ال‬ ِ ِ ِ‫َّناَّوك‬،‫َّناَّيوسف َّبن َّموسى‬،‫ط‬ َّ‫يَّوتَ َوضئِي‬ ْ َ َ‫َّوق‬، ٌ َ َ ُ ُ ْ ُ ُ ُ ُ ‫اْلَنا‬ َ ‫َّ"َّث َّا ْغتَسل‬: َ ‫يع َِّبَ َذاَّا ِإل ْسنَاد‬ 205 ِ ِ ٍ ‫لِ ُك ِّل‬ "َّ‫ىَّاْلَصْي‬ ْ َ‫َّعل‬ َ ‫َّوإِ ْنَّقَطََرَّالد ُم‬،‫ي‬ َ ‫َّصَلة ََّو‬ َ َ ِّ‫صل‬ Telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad dan Abu Bakr bin Abu Syaibah keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Waki' dari Al A'masy dari Habib bin Abu Tsabit dari Urwah bin Az Zubair dari Aisyah ia berkata; Fatimah binti Hubaisy datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya; "Sesungguhnya aku adalah wanita yang keluar darah istihadlah hingga tidak suci, maka apakah aku boleh meninggalkan shalat?" beliau menjawab: "Tidak, itu hanyalah penyakit dan bukan haidl. Jauhilah shalat di hari-hari haidlmu kemudian shalatlah, dan wudlulah pada setiap shalat meskipun darah menetes di atas tikar."



204



Gawami al-Kalim.



205



Ibnu Majah, Sunan Ibni Majah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 162, nomor hadis: 624.



111



Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Al-Daruquthni dari Aisyah, dengan sanad yang shohih. Dan juga hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Aisyah, namun dengan sanad yang matruk. Maka hadis ini termasuk hadis shohih gharib, karena hanya diriwayatkan hanya satu dari jalur utama, yaitu AisyahUrwah bin Zubair-Habib bin Abi Sabit.



َّ‫س‬ َ ‫َّع ْنَّأَِِبَّإِ ْس َح‬، َ ‫اَُّي ََيَّبْ ُنَّإِ ْس َح‬ ٌ ‫اَّش ِر‬ َ َ‫َّأَن‬:‫َّقَ َال‬،‫َّع ِام ٍر‬ َ ‫يك‬ َ ‫َس َو ُدَّبْ ُن‬ َْ َ‫َحدثَن‬ ْ ‫َّوأ‬، َ ‫اق‬ َ ‫اق‬ ُ ‫َّوقَ ْي‬، ٍ ِ‫َّعن َّأَِِب َّسع‬،‫اك‬ ِ ٍ ‫بْن َّوْى‬ َّ‫ول َّالل ِو َّصلىَّاهللَّعليو‬ ْ ‫يد‬ َ ‫َّأَ ّن ََّر ُس‬،‫ي‬ ِّ ‫َّاْلُ ْد ِر‬ َ ‫ب‬ ْ َ ‫َّع ْن َّأَِِب َّالْ َود‬، َ َ ُ ِ ٍ َ‫ِب َّأ َْوط‬ َّ‫َّوَل َّ َغْي ُر‬، َِّْ ‫َّس‬ َ َ‫َّق‬،"َّ ‫َُّحام ٌل‬ َ َ‫وسلم َّق‬ َ ‫اس‬ َ َ‫َّ"َّحّت َّت‬: ْ ‫ال َّأ‬ َ ‫َس َو ُد‬ َ ‫َّ"َّل َّتُوطَأ‬: َ ‫ال َِّف‬ َ ‫ض َع‬ َِ ‫ح ِام ٍلَّحّت‬ ِ َّ 206َّ‫ض ٍة‬ َ َ‫َّق‬،"َّ‫ض ًة‬ َ ‫َّ"َّأ َْوَّتُ ْستَ ِْْبأََِّبَْي‬:‫َُّي ََي‬ َ ‫َّحْي‬ َْ ‫ال‬ َ ‫َُّت‬ َ ‫يض‬ َ َ Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ishaq dan Aswad bin 'Amir mereka berkata; telah memberitakan kepada kami Syarik dari Abu Ishaq dan Qais bin Wahb dari Abu Al Waddak dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda tentang tawanan perang Authas: "Wanita yang hamil tidak boleh digauli, " dan Aswad menyebutkan; "sehingga ia melahirkan, dan wanita yang tidak hamil hingga ia haid dengan satu kali haid, " sedangkan Yahya menyebutkan, "sehingga ia bersih (rahimnya) dengan satu kali haid."



Ahmad, Abu Dawud, Al-Darimi, Al-Hakim, al-Baihaqi, al-Thahawi, Ibn alJauzi, al-Jashshosh dengan sanad hasan dan semuanya dari Abu Sa‘id al-Khudri – Abu al-Waddak – Qais bin Wahb. Al-Rabi meriwayatkan dengan sanad mursal, dan Al-Baghawi dengan sanad daif. Meskipun ada banyak periwayat, namun seluruhnya berasal dari satu sanad utama saja. Sehingga hadis ini termasuk hadis hasan gharib. 206



Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal (Beirut: Dar Ihya al-Turots al-‘Arobiy, t.t.), 2798, nomor hadis: 11202.



112



Dari uraian tersebut di atas, menurut penulis faktanya memang bahwa quru mempunyai dua makna, yaitu suci dan haid. Hadis yang dijadikan dasar oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal ini hendak menunjukkan bahwa dalam hadis tersebut ada makna haid dalam lafald aqra. Tetapi untuk mengetahui makna quru pada surat al-Baqarah 228 ini, Imam Syafi‘i membawa hadis yang lebih tepat. Karena ayat tersebut menjatuhkan pilihan pada makna suci, bukan makna haid. Sehingga dalam hal ini penulis memilih pada pendapatnya Imam Syafi‘i, karena dalil yang digunakan Imam Syafi‘i lebih khusus sedangkan hadis yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah masih umum. Maka apa yang dimaksud dengan tiga kali quru dalam surat al-Baqarah 228 ini adalah bermakna tiga kali suci. C. Polemik Wanita Haid Masuk Masjid Aturan tentang ketidakbolehan wanita yang sedang mengalami haid memasuki masjid ini telah diatur dalam Al-Qur‘an surat An-Nisa ayat 43:



ِ َّ‫َّجنُبًا‬ َّ‫ى َّ َح ى‬ َّ‫َّس َك َار ى‬ ََّ ‫َّآمنُو‬ ُ ‫اَّماَّتَ ُقولُو َن ََّوَل‬ َ ‫ّت َّتَ ْعلَ ُمو‬ َ ‫ين‬ ُ ‫اَّل َّتَ ْقَربُواَّالص ََل َة ََّوأَنْتُ ْم‬ َ ‫يَاَّأَي َهاَّالذ‬ ِ َّ ‫إِلَّعابِ ِريَّسبِ ٍيلَّح‬ َّ‫َح ٌَّدَّ ِمْن ُك َّْم‬ َّ ‫ض ىَّىَّأ ََّْوَّ َعلَ ىَّىَّ َس َف ٍَّرَّأ ََّْوَّ َج‬ َ ‫ّتَّتَ ْغتَسلُواََّّۖ َوإِ َّْنَّ ُكْنتُ َّْمَّ َم ْر‬ ‫َ َى‬ َ َ ‫اءََّأ‬ َّ‫يدا َّطَيِّبًا َّفَ ْام َس ُحوا‬ َّ ‫اءَ َّفََّلَ َّْم َّ ََِت ُدوا َّ َم‬ َّ ‫ِّس‬ َِّ ِ‫ِم ََّن َّالْغَائ‬ ً ِ‫صع‬ َ َّ ‫اءً َّفَتَ يَم ُموا‬ َ ‫ط َّأ ََّْو ََّل َم ْستُ َُّم َّالن‬ ِ ِ ‫ورا‬ َ ‫بُِو ُجوى ُك َّْمَّ َوأَيْدي ُك َّْمََّّۖإِنََّّالل َّوََّ ََّكا َن‬ ً ‫َّع ُف ًّواَّ َغ ُف‬ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh wanita, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik



113



(suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.207 Memang harus diakui, meskipun tidak disebutkan secara exsplisit mengenai pelarangan wanita yang sedang mengalami haid dalam ayat tersebut. Namun ulama menqiyaskan wanita yang sedang mengalami haid dengan seseorang yang junub. Meskipun hukumnya sudah sangat jelas, tidak diperbolehkan berdasarkan AlQur‘an, namun di era sekarang ini banyak ditemukan fenomena wanita yang sedang mengalami haid cenderung berani masuk ke dalam masjid, Bahkan tidak jarang, seminar-seminar kajian agama atau perkuliahan di kampus yang berbasis kampus islam pun juga diselenggarakan di dalam masjid. Padahal akan sangat mungkin jika partisipan wanita yang mengikuti kajian tersebut mengalami haid. Ada dua pendapat ulama madzhab terkait dengan aturan wanita yang sedang mengalami haid masuk masjid, yaitu a. Madzhab Imam Abu Hanifah melarang wanita yang sedang haid masuk masjid secara muthlak.208 Hal ini berdasarkan pada hadis Nabi: 209



‫إِنَّلَّأحلَّاملسجدَّْلائضَّولَّجنب‬



Saya tidak menghalalkan (melarang keras) orang yang haidh dan junub (masuk/berdiam) dalam masjid. (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah)



207



al-Qur’an dan Terjemahannya, QS. al-Nisa: 43.



208



Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 521.



209



Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, 61, nomor hadis: 232.



114



b. Sedangkan pendapat Imam Syafi‘i dan Imam Hanbali membolehkan wanita yang sedang haid jika sekedar melewati masjid jika ia yakin tidak akan mengotori masjid dengan najis atau kotoran lainnya, namun tetap melarang wanita haid memasuki masjid dan berdiam diri di dalamnya. 210 Hal ini berdasarkan pada Al-Qur‘an surat An-Nisa ayat 43:



ِ َّ‫َّجنُبًا‬ َّ‫ى َّ َح ى‬ َّ‫َّس َك َار ى‬ َ ‫َّآمنُو‬ ُ ‫اَّماَّتَ ُقولُو َن ََّوَل‬ َ ‫ّت َّتَ ْعلَ ُمو‬ َ ‫ين‬ ُ ‫اَّل َّتَ ْقَربُواَّالص ََل َة ََّوأَنْتُ ْم‬ َ ‫يَاَّأَي َهاَّالذ‬ ِ َّ ‫إِلَّعابِ ِريَّسبِ ٍيلَّح‬ َّ‫َح ٌد َِّمْن ُك ْم‬ َ ‫ّتَّتَ ْغتَسلُواََّّۖ َوإِ َّْنَّ ُكْنتُ َّْمَّ َم ْر‬ ‫َ َى‬ َ ‫ض ىَّىَّأ َْو‬ َ َ ‫َّجاءََّأ‬ َ ‫َّعلَ ىَّىَّ َس َف ٍرَّأ َْو‬ َِ ‫ِمن َّالْغَائِ ِط َّأَو ََّلمستُم َّالنِّساء َّفَلَم‬ َّ‫يدا َّطَيِّبًا َّفَ ْام َس ُحوا‬ ً ِ‫َّصع‬ َ ‫ََّت ُدوا ََّماءً َّفَتَ يَم ُموا‬ ْ ََ ُ َْ ْ َ ِ ِ ِ ِ ‫ورا‬ ً ‫ب ُو ُجوى ُك ْم ََّوأَيْدي ُك ْمََّّۖإنََّّالل َّوََّ َكا ََّنَّ َع ُف ًّواَّ َغ ُف‬ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh wanita, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.211 Ali Asshobuni juga lebih cenderung pada pendapatnya Madzhab Abu Hanifah, yaitu melarang wanita yang sedang haid masuk masjid dan shalat sampai dia mandi terlebih dahulu. Sebelum mendalami lebih jauh lagi, ada baiknya untuk memahami fungsi dari masjid. Masjid merupakan tempat suci yang biasa digunakan untuk beribadah



210



Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 521.



211



al-Qur’an dan Terjemahannya, a. QS. al-Nisa: 43.



115



bagi orang yang beragama Islam, maka kesucian masjid harus selalu dijaga. Akibatnya orang yang berhadas besar tidak diperbolehkan masuk kedalamnya. Kategori yang termasuk hadas besar meliputi orang yang junub, wanita yang mengeluarkan darah haid serta nifas. Dalam sejarahnya, bahkan sejak pada masa Nabi Muhammad fungsi masjid tidak hanya sebagai tempat sujud, namun masjid juga berfungsi sebagai sentra kegiatan-kegiatan pendidikan, yakni tempat pembinaan dan pembentukan karakter umat, selain itu masjid menjadi sentra kegiatan politik, ekonomi, sosial dan budaya umat. Hal ini karena disetiap harinya umat Islam berjumpa dan mendengar arahan-arahan Rasulullah SAW, tentang hal ini.212 Sebenarnya ulama yang berpandangan bahwa kebolehan melewati masjid itu jika wanitag yang sedang haid merasa dapat menjamin darahnya tidak menetes. Jika tidak bisa menjamin, maka ia tidak boleh melewatinya.213 Dewasa ini telah ada cara yang praktis dan efisien agar wanita tidak merasa khawatir darahnya akan tercecer mengotori tempat-tempat yang di laluinya, yaitu dengan adanya pembalut. Pembalut sendiri berfungsi untuk menyerap darah yang keluar dari vagina, sehingga darah tidak akan tercecer ke mana-mana. Maka tentu saja dengan adanya pembalut ini bisa dijadikan pertimbangan kembali mengenai hukum kebolehan wanita yang sedang haid masuk masjid. Karena pada jaman 212



Syamsul Kurniawan, ―Masjid dalam Lintasan Sejarah Umat Islam,‖ Jurnal Katulistiwa, vol 4 Nomor 2 (September 2014): 169. 213



Muhammad Nasib Ar-Rifa‘i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisar Tafsir Ibnu Katsir (Riyadh: Maktabah Ma‘arif, 1410), 717.



116



‫‪dahulu belum ditemukannya alat yang dapat menyerap darah haid sehingga tidak‬‬ ‫‪diperbolehkan wanita yang sedang haid masuk masjid karena dikhawatirkan darah‬‬ ‫‪akan tercecer mengotori masjid.‬‬ ‫‪Ditemukan juga hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah, bahwa ada seorang‬‬ ‫‪wanita yang berkulit hitam tinggal di dalam masjid. Dan tidak ditemukan‬‬ ‫‪keterangan bahwa Nabi SAW memerintahkan meninggalkan masjid tersebut pada‬‬ ‫‪wanita berkulit hitam ketika masa haidnya tiba.‬‬



‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫َّع ْنَّ‬ ‫يل َّقَ َ‬ ‫َّع ْن َّأَبِيو َ‬ ‫َّع ْن َّى َش ِام َّبْ ِن َّعُ ْرَوَة َ‬ ‫ُس َامةَ َ‬ ‫ال َ‬ ‫َّحدثَنَا َّأَبُو َّأ َ‬ ‫ََّحدثَنَا َّعُبَ ْي ُد َّبْ ُن َّإ ْْسَاع َ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫تَّ‬ ‫َعائِ َشةَ َّأَن ََّول َ‬ ‫ت ََّم َع ُه ْم َّقَالَ ْ‬ ‫وىا َّفَ َكانَ ْ‬ ‫يد ًة َّ َكانَ ْ‬ ‫َّس ْوَداءَ َّْلَ ٍّي َّم ْن َّالْ َعَر ِب َّفَأ َْعتَ ُق َ‬ ‫ت َ‬ ‫ِ‬ ‫فَخَّرجت َّصبِيةٌَّ ََلم َّعلَي هاَّ ِو َشاح َّأ ْ ِ‬ ‫تَّ‬ ‫ض َعْتوَُّأ َْو ََّوقَ َع َّمْن َهاَّفَ َمر ْ‬ ‫ت َّفَ َو َ‬ ‫َّسيُوٍر َّقَالَ ْ‬ ‫َ َ َ ْ َ ُْ َ ْ َ‬ ‫ٌ‬ ‫َْحَُر َّم ْن ُ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِِ‬ ‫ت َّفَالْتَمسوه َّفَلَم َِ‬ ‫تَّ‬ ‫ََّي ُدوهُ َّقَالَ ْ‬ ‫َّح َدياةٌ ََّوُى َو ُ‬ ‫بو ُ‬ ‫َّم ْل ًقى َّفَ َحسبَْتوُ َّ َْلْ ًما َّفَ َخط َفْتوُ َّقَالَ ْ َ ُ ُ ْ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ت ََّوالل ِوَّإِ ِِّنَّلََقائِ َمةٌ ََّم َع ُه ْمَّإِ ْذَّ‬ ‫تََّّفَطَف ُقواَّيُ َفت ُ‬ ‫َّحّتَّفَت ُشواَّقُبُلَ َهاَّقَالَ ْ‬ ‫فَات َه ُم ِوِنَّبِوَّقَالَ ْ‬ ‫ِّشو َن َ‬ ‫َّى َذاَّال ِذيَّات َه ْمتُ ُم ِوِن َّبِِو ََّز َع ْمتُ َّْمَّ‬ ‫ت ْ‬ ‫َمر ْ‬ ‫ت َّفَ َوقَ َع َّبَْي نَ ُه ْم َّقَالَ ْ‬ ‫َّاْلُ َدياةَُّفَأَلْ َقْتوَُّقَالَ ْ‬ ‫ت َّفَ ُق ْل ُ‬ ‫تَ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ‬ ‫َّعلَْي ِو ََّو َسل َمَّ‬ ‫ت َّفَ َجاءَ ْ‬ ‫َّى َو َّقَالَ ْ‬ ‫َّصلى َّاللوُ َ‬ ‫َوأَنَا َّمْنوُ َّبَِريئَةٌ ََّوَُّى َو َّ َذا ُ‬ ‫ت َّإِ َل ََّر ُسول َّاللو َ‬ ‫ِِ ِ‬ ‫ِ‬ ‫فَأَسلَمت َّقَالَت ِ‬ ‫ت َّتَأْتِ ِينَّ‬ ‫ت َّفَ َكانَ ْ‬ ‫ش َّقَالَ ْ‬ ‫ْ َ ْ ْ َ‬ ‫َّعائ َشةُ َّفَ َكا َن َّ ََلَاَّخبَاءٌ َِّف َّالْ َم ْسجد َّأ َْو َّح ْف ٌ‬ ‫ََّتلِس ِ ِ‬ ‫فَتحد ِ ِ‬ ‫ت َّ‬ ‫ساَّإِلَّقَالَ َّْ‬ ‫يََّملِ ًَّ‬ ‫َّعْند َْ‬ ‫ََ ُ‬ ‫ثَّعْنديَّقَالَ ْ‬ ‫تَّفَ ََل َْ ُ‬ ‫اح َِّمنَّأَع ِ‬ ‫اج ِ‬ ‫يب ََّربِّنَا‬ ‫َويَ ْوَمَّالْ ِو َش ِ ْ َ‬ ‫اِن َّ‬ ‫أََلَّإِنوُ َِّم ْنَّبَْل َد ِةَّالْ ُك ْف ِرَّأ ََْنَ ِ َّ‬ ‫ك ََّل َّتَ ْقع ِد ِ‬ ‫قَالَت ِ‬ ‫ِ‬ ‫َّشأْنُ ِ‬ ‫تَّ‬ ‫ت َّ ََلَا ََّما َ‬ ‫َّى َذا َّقَالَ ْ‬ ‫ْ َ‬ ‫َّعائ َشةُ َّفَ ُق ْل ُ‬ ‫ين ََّمعي ََّم ْق َع ًدا َّإِل َّقُ ْلت َ‬ ‫ُ َ‬ ‫يث‪َّ 214‬‬ ‫اَّاْلَ ِد َِّ‬ ‫فَ َحدثَْت ِن َِِّبَ َذ ْ‬ ‫‪Telah menceritakan kepada kami Ubaid bin Isma'il berkata, telah‬‬ ‫‪menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Hisyam bin 'Urwah dari‬‬ ‫‪Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Sahih, 132, nomor hadis: 439.‬‬



‫‪117‬‬



‫‪214‬‬



Bapaknya dari Aisyah, bahwa ada seorang budak wanita hitam milik suatu kaum orang 'Arab telah mereka merdekakan." Aisyah mengatakan, "Pada suatu hari sahaya ini keluar bersama seorang bayi wanita dengan membawa kain tikar tenunan berwarna merah terbuat dari kulit yang dihiasi dengan permata. Berkata, Aisyah radliallahu 'anhu: Maka sahaya itu meletakkan tikar tersebut atau duduk diatasnya. Lalu tiba-tiba ada burung terluka yang jatuh. Sahaya itu menganggapnya sebagai daging maka diambilnya. Lalu orang-orang itu mencari burung tersebut tapi tidak menemukannya. Berkata, Aisyah radliallahu 'anhu: "Lalu orang-orang itu menanyakannya kepadaku. Be Aisyah radliallahu 'anhu: "lalu orang-orng iru menggeledah sampai pada bagian depan sahaya tersebut. Aisyah radliallahu 'anhu berkata,: "Demi Allah, aku ada bersama mereka saat butung itu jatuh lalu dia mengambilnya. Maka terjadilah apa yang terjadi diantara mereka. Aisyah radliallahu 'anhu berkata,: "Aku katakan: Inilah yang kalian duga aku berada di balik ini semua padahal orang ini lah yang berbuat dan aku berlepas diri darinya". Aisyah radliallahu 'anhu berkata,: "Lalu sahaya ini menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. dan masuk Islam. Berkata, Aisyah radliallahu 'anhu: hamba sahaya ini memiliki rumah kecil di dalam masjid. Aisyah radliallahu 'anhu berkata,: "Dan setiap dia menemui aku dia menceritakan disampingku. Aisyah radliallahu 'anhu berkata,: " Tidaklah dia duduk disisiku melainkan selalu bersya'ir: ―Dan hari selendang itu di antara keajaiban Tuhan kami, Ketahuilah! Dari negeri kafir Dia menyelamatkann aku.‖ Berkata, Aisyah radliallahu 'anhu: aku katakana kepadanya: "Apa alasanmmu setiap kali bermajelis denganku kamu bersya'ir seperti itu?" Aisyah radliallahu 'anhu berkata,: Maka dia ceritakan seperti kejadian dalam hadits ini".



Bahwa hadis di atas telah diriwayatkan dalam tujuh sanad, lima diantaranya shohih dan dua diantaranya hasan. Meskipun yang shohih ada lima jalur, namun jalur utamanya hanya satu, yaitu melalui Aisyah binti Abi Bakar, Urwah bin Zubair, Hisam bin Urwah. Sehingga hadis ini termasuk hadis shohih ghorib.



118



Sedangkan hadis yang dijadikan dalil atas pendapat imam malik tentang keharaman orang junub masuk masjid diriwayatkan dalam 37 sanad, 11 diantaranya hasan yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori, Abu Daud, Ishaq bin Rahawaih, Al-Baihaqi, Ibnu Khuzaimah, dan diantaranya 26 dhoif. Kesebelas hadis hasan tersebut berpangkal dari tiga sahabat yang berbeda, yaitu: Aisyah binti Abu Bakar, Juwairiyah bintu al-Haris, dan Ummu Salamah bintu Khudzaifah. Ini berarti kesebelas sanad tersebut saling menguatkan satu sama lain membentuk hadis shohih li ghoirihi, sehingga sudah memiliki kekuatan hujah.215 Membandingkan kedua hadis di atas, dapat diketahui bahwa hadis tersebut lebih kuat hadis yang shohih lidzatihi meskipun ghorib daripada hadis shohih lighoirihi. Maka penulis memilih pendapat yang memperbolehkan wanita yang masuk masjid meskipun dalam keadaaan haid. Hal ini tentu dengan catatan, wanita yang sedang haid tidak akan mengotori masjid. D. Polemik Wanita Haid Membaca dan Memegang Al-Qur’an Ulama madzhab mengakui kemu‘jizatan Al-Qur‘an, sehingga tidak menjadi hal yang diperselisihkan, apabila menyentuh dan membaca Al-Qur‘an dalam keadaan suci adalah hal yang utama. Hal ini adalah sebagai bentuk penghormatan kepada Al-Quran sebagai kitab suci agama Islam. Lalu apakah suci menjadi syarat bagi orang yang menyentuh Al-Qur‘an? Bagaimana dengan wanita yang sedang mengalami haid atau nifas? Karena



215



Gawami al-Kalim.



119



selama wanita mengalami haid akan memakan waktu 7 hari (umumnya) dan bagi orang yang mengalami nifas bahkan bisa mencapai 60 hari lamanya. Apakah selama itu wanita yang sedang mengalami haid atau nifas tidak boleh memegang Al-Qur‘an sama sekali? Padahal Al-Qur‘an adalah pegangan hidup manusia yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Terkait dengan menyentuh mushaf Al-Qur‘an, jumhur ulama meliputi madzhab Hanafiyah, madzhab Malikiyah dan madzhab Syafiiyah sepakat bahwa tidak boleh menyentuh Al-Qur‘an bagi wanita yang sedang mengalami haid. Imam Syafi‘i memberikan pengecualian apabila ada kekhawatiran pada peristiwa ketika Al-Qur‘an akan tengelam, terbakar, akan terkena najis atau akan direbut oleh orang kafir.216 Sedangkan Imam Hanafi memberikan rukhsoh (keringanan) bagi para pengkaji kitab syari‘at, baik yang mengkaji hadis, fiqih atau tafsir, dan juga berlaku anak-anak untuk keperluan belajar.217 Pelarangan wanita haid menyentuh Al-Qur‘an ini berdasarkan pada firman Allah pada surat al-Waqi‘ah ayat 79:



َّ‫َلََّّيَس َّوَُّإِلَّالْ َُّمطَه ُرو َن‬



Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.218



Juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Kitab alMuwato‘:



216 217 218



Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 521. Gawami al-Kalim. al-Qur’an dan Terjemahannya, a. QS. al-Waqi‘ah: 79.



120



َّ 219‫أنَّلَّّيسَّالقرآنَّإلَّطاىر‬ Tidak boleh menyentuh Al-Qur‘an kecuali orang yang suci. Selain itu, hadis serupa juga diriwayatkan oleh al-Daruquthni : 220



‫لَّّيسَّالقرآنَّإلَّطاىر‬



Dan tidaklah menyentuh Al-Qur‘an kecuali orang-orang yang suci. Terkait dengan dalil yang dijadikan dasar hukum wanita yang sedang mengalami haid menyentuh Al-Qur‘an pada surat al-Waqi‘ah ayat 78 yang berbunyi ―Di dalam kitab yang dijaga‖, dalam tafsir Ibnu Katsir memberikan pengertian bahwa kitab yang dijaga tersebut berada di lauhul mahfudz.221 Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Hakim ibnu Jubair, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya pada surat alWaqi‘ah ayat 79, ―Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan‖ yakni memberikan pengertian bahwa isim isyaroh (lafald hu) tersebut merujuk pada makna kitab yang ada di langit.222 Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya yang terdapat pada surat al-Waqi‘ah ayat 79, ―Tidak menyentuhnya



219



Al-Muwatta, 101, nomor hadis: 468.



220



Al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, 120, nomor hadis: 431.



221



Ismail Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim (Dar Thayyibah, 1999), 545



222



Ibid.



121



kecuali hamba-hamba yang disucikan‖ yaitu memberikan pengertian bahwa hamba yang disucikan tersebut adalah para malaikat.223 Hal di atas disetujui oleh para ahli hadis sekaligus ahli tafsir, diantaranya: Anas, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Ad-Dahhak, Abusy Sya'sa, Jabir ibnu Zaid. Abu Nuhaik, As-Saddi, Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dan lainlainnya.224 Maka tidaklah mengapa bagi orang yang memilih ketentuan bahwa wanita yang sedang mengalami haid diperbolehkan menyentuh mushaf Al-Qur‘an, karena hal tersebut juga ada dalilnya. Begitu juga bagi orang yang memilih pendapat bahwa wanita yang sedang mengalami haid tidak boleh menyentuh mushaf Al-Qur‘an,



karena hal tersebut juga telah ada dalil yang



menerangkannya. Yang tidak diperbolehkan adalah saling menyalahkan atas pendapat yang lain. Dan yang harus dikedepankan adalah sikap menghargai terhadap perbedaan pendapat satu dengan yang lain. Adapun aturan tentang wanita yang sedang mengalami haid membaca AlQur‘an ini, Ali Asshobuni sependapat dengan mayoritas ulama madzhab, bahwa wanita yang sedang mengalami haid diharamkan membaca Al-Qur‘an.225 Dalil yang dijadikan dasar atas pelarangan tersebut berdasarkan pada hadis nabi SAW:



223



Ibid.



224



Ibid.



225



Hamidy dan A. Manan, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, 239.



122



ِ ‫َّحدثَنا‬ ِ ٍ ‫َّعي‬ َّ‫َّع ْن‬ ْ ‫ ََّو‬،‫َّح ْج ٍر‬ َ ،‫اش‬ َ ‫َّحدثَنَا َّإِ ْْسَاعيل َّبْ ُن‬ َ ‫اْلَ َس ُن َّبْ ُن‬ َ َ َ َ :‫ َّقَ َال‬،َ‫َّعَرفَة‬ ُ ‫َّعلي َّبْ ُن‬ ِ َّ‫َّ"َّل‬: َ َ‫ِبَّصلىَّاهللَّعليوَّوسلمَّق‬ َ ‫ال‬ ِّ ِ‫َّع ِنَّالن‬، َ ‫َّع ْنَّابْ ِنَّعُ َمَر‬، َ ‫َّع ْنَّنَاف ٍع‬، َ َ‫وسىَّبْ ِنَّعُ ْقبَة‬ َ ‫ُم‬ ِ َ ‫َّاْلنُب‬ ِ َّْ ْ‫تَ ْقرأ‬ ِ ‫اَّمنَّالْ ُقر‬ َّ 226."َّ‫آن‬ ُ ‫َّاْلَائ‬ ْ َ ً‫َّشْيئ‬ ُ ُْ ‫ض ََّوَل‬ َ Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr dan Al Hasan bin Arafah keduanya berkata; telah bercerita kepada kami bahwa Isma'il bin Ayyasy dari Musa bin Uqbah dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Wanita haid dan orang yang junub tidak boleh membaca sesuatu pun dari Al Qur'an." Setelah mentakhrij hadis di atas, maka hadis tersebut di riwayatkan oleh alTirmidzi, Ibnu Majah, al-Baihaqi dan al-Daruquthni dengan sanad lemah dari Ibnu ‗Umar. Seluruh sanadnya bersumber dari jalur Ibnu Umar – Nafi‘ – Musa bin Uqbah – Isma‘il bin ‗Ayyas. Sehingga hadis ini gharib.227 Ibnu Hajar al-‗Asqalani memberikan catatan terhadap Isma‘il bin ‗Ayyas, yang notabene adalah titik kunci penyebaran hadis ini, bahwa ia dapat didudukkan dalam derajat saduq jika meriwayatkan hadis dari rekan senegaranya. Jika meriwayatkan hadis hadi luar, maka ia sering melakukan kesalahan. Sedangkan dalam hadis ini yang ia riwayatkan adalah hadis dari Musa yang berdomisili di Madinah. Ia sendiri berdomisili di Syam. Maka sanad hadis ini sangat lemah.228 Dapat disimpulkan bahwa hadis ini tidak bisa dijadikan hujjah pengharaman membaca Al-Qur‘an bagi orang yang sedang junub, maupun haid dan nifas,



226



Al-Tirmidzi, Jami’ al-Tirmidzi, 56, nomor hadis: 131.



227



Gawami al-Kalim.



228



Ibid.



123



karena hadis ini sangat lemah. Maka wanita yang sedang mengalami haid boleh membaca Al-Qur‘an.



124



BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Uraian dari pembahasan yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya dapat penulis simpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Haid adalah suatu proses biologis yang terkait dengan pelepasan lapisan dalam dinding rahim akibat pengaruh hormon yang terjadi secara berkala pada wanita yang sudah mencapai usia subur. Dan keluarnya darah haid ini pada saat kondisi wanita dalam keadaan sehat, bukan karena faktor melahirkan, sakit ataupun pecahnya selaput keperawanan. Semua ulama madzhab bersepakat bahwa usia terendah bagi seorang wanita untuk menjalani masa haid adalah sembilan tahun. Oleh karena itu, apabila ada seorang wanita yang mengeluarkan darah melalui kemaluannya sebelum usia tersebut, maka itu bukanlah darah haid. Dan adanya haid sebagai indikasi bahwa ia telah mencapai usia baligh serta sebagai tanda ia telah dibebani dengan beban taklif. 2. Ali Asshobuni mengartikan lafald mahid sebagai hakikatnya haid itu sendiri, karena terkadang mahid juga diartikan sebagai tempatnya haid. Hal ini sebagai jawaban dari Allah untuk menunjukkan bahwa yang kotor itu adalah sifatnya haid, bukan tempatnya haid. Wanita yang masih haid, jika ditalak suaminya harus menjalani iddah selama tiga kali quru. Ali Asshobuni mengartikan quru sebagai haid. Karena menurutnya, tujuan diadakannya iddah adalah untuk mengetahui kebersihan rahim. Sedangkan kebersihan



125



rahim biasanya ditandai dengan adanya haid. Dan Ali Asshobuni mengqiyaskan wanita yang sedang haid dan nifas itu hukumnya sama seperti orang yang sedang berhadas besar. Sehingga beberapa ketentuan hukum orang yang junub itu berlaku juga untuk wanita yang sedang mengalami haid dan nifas. Seperti misalnya permpuan yang sedang mengalami haid tidak diperbolehkan memasuki masjid. 3. Adapun dampak hukum yang dihasilkan dari wanita yang sedang mengalami haid adalah para suami boleh mendekati istrinya meskipun dalam keadaan haid, kecuali yang ada di antara pusar dan lutut, selain itu suami bebas melakukan apa saja. Adapun iddah yang harus dijalani wanita yang telah ditalak suaminya adalah selama tiga kali haid. Maka selama masa iddah berlangsung, wanita tersebut tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki lain. Dan wanita yang sedang mengalami haid tidak diperbolehkan masuk ke dalam masjid dan tidak diperbolehkan juga menyentuh atau memegang mushaf Al-Qur‘an. B. SARAN Pengetahuan tentang haid dan permasalahan-permasalahannya sangat menarik untuk dikaji, karena haid merupakan sisi yang akan terus dialami oleh wanita.Tentu saja kajian mengenai haid tidak hanya mencangkup pada persoalan yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya, karena dalam penelitian skripsi ini penulis hanya memfokuskan pada penafsiyan ayat-ayat haid dan



126



implikasinya terhadap hukum dengan menggunakan kitab tafsir Rawai‘ Bayan karangan Ali Asshobuni. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari harapan untuk bisa memberikan kontribusi secara maksimal, maka penulis berharap dikemudian hari ada peneliti-peneliti yang bisa menambah kekurangan pada penelitian ini. Oleh karena itu penulis merekomendasikan kepada peneliti berikutnya untuk mengkaji lebih dalam, karena masih ada banyak aspek lain yang belum diuraikan. Ketika penulis mulai mencurahkan segenap konsentrasi untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis menyadari akan kedangkalan ilmu yang penulis miliki. Dengan jujur, penulis mengatakan bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.



127



DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan. ―Mitos Menstruasi: Konstruksi Budaya Atas Realitas Gender‖ 14, no. Humaniora (1 Februari 2002). Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad bin Hanbal. Beirut: Dar Ihya al-Turots al‘Arobiy, t.t. Andarto, Obi. Penyakit Menular di Sekitar Anda (Begitu Mudah Menular dan Berbahaya, Kenali, Hindari, dan Jauhi Jangan Sampai Tertular Obi Andarto Jakarta Penyakit Menular di Sekitar Anda (Begitu Mudah Menular dan Berbahaya, Kenali, Hindari, dan Jauhi Jangan Sampai Tertular. Jakarta: Pustaka Ilmu Semesta, 2015. Ansory, Isnan. Mengenal Tafsir Ayat Ahkam. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018. Al-Baihaqi. Al-Sunan al-Kubro li al-Baihaqi. Makkah: Maktabah Dar al-Bazz, 1994. Bohme, Caroline J., Jannette C. Gosch-Weisbrodt, dan Rona B. Warton. Yang Perlu Anda Ketahui Kesehatan Wanita di Atas Usia 40 Tahun. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, t.t. Al-Bukhari, Muhammad bin Isma‘il. Al-Jami’ Al-Sahih. Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987. Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Al-Daruquthni. Sunan al-Daruquthni. Beirut: Dar al-Fikr, 1998. Departemen Agama RI. Al-Qur’an Dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI, 2009.



128



Departemen Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia. al-Qur’an dan Terjemahannya. Medinah Munawwarah: Mujamma‘ al-Malik Fahd Ii Thiba‘at al-Mush-haf, 1415. DTM, Faisal Yatim. Haid Tidak Wajar Dan Menopause. Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2001. Erlianisyah Putri, Rena. Biologicaliosopy. Asrifa, 2014. Faris, Ahmad. Mu’jam Maqoyisul Lughoh Jilid 2. Beirut: Darul Fik, 1979. Fitra Lestari, Nada. ―Hukum Mencampuri Istri yang Sedang Haid Menurut Islam dan Kesehatan.‖ Skripsi, Universitas Islam Negri Alauddin Makasar, 2015. Gawami al-Kalim (versi 4.5). Windows. ISlam Web, al-Idaroh al-‘Ammah li alAuqaf, t.t. Hamidy, Mu‘amal, dan Imron A. Manan. Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983. Haryono, Andy. ―Analisis Metode Tafsir Muhammad Ash-Shabuni dalam Kitab Rawaiu‘ al-Bayan Wardah Vol. 18 No.1 2017‖ 18 No.1, no. Wardah (2017). Hendrik, H. Problema Haid Tinjauan Syariat dan Medis. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2006. Ibnu Majah. Sunan Ibni Majah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Jad, Khalid. Hanya Untuk Perempuan. Solo: Era Intermedia, 2006. Jawad Mughniyah, Muhammad. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera, 2007. Khairudin, Fiddian, dan Syafril. ―Paradigma Tafsir Ahkam Kontemporer Studi Kitab Rawai‘u al Bayan Karya Ali al-Shabuni Syafril, Jurnal Syahadah, Vol V, No 129



1, April 2017 Universitas Islam Tembilahan‖ V no 1, no. Syahadah (April 2017). Khoir, M. Masykur. Haidl & Thoharoh. Kediri, 2002. Kurniawan, Syamsul. ―Masjid dalam Lintasan Sejarah Umat Islam,‖ Jurnal Katulistiwa, vol 4 Nomor 2 (September 2014). Madjid, Nurcholish. Konsep Asbabun Nuzul: Relevansi bagi Pandangan Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995. Malik bin Anas. Al-Muwatta. Mesir: Dar al-Syu‘bi, t.t. Malik Kamal, Abu. fiqih sunnah lin nisaa’ ENSIKLOPEDI FIQIH WANITA. Depok: Pustaka Khazanah Fawa‘id, 2016. Mardalis. Metode Penelitian (Suatu Pendekatan Proposal). Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006. Mardani. Tafsir Ahkam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014. Muhammad Uwaidah, Kamil. Fiqih Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008. Munawir, Ahmad Warson. Kamus AL-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap. Jakarta: Pustaka Progressif, 1984. Muslim bin Hajjaj. Sahih Muslim. Beirut: Dar Ihya al-Turots al-‘Arobiy, t.t. Al-Nasa‘i, Abu Abdi al-Rahman Ahmad. Sunan al-Nasa’i. Halb: Maktab alMathbu‘at al-Islamiyah, 1986. Nasib Ar-Rifa‘i, Muhammad. Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisar Tafsir Ibnu Katsir. Riyadh: Maktabah Ma‘arif, 1410.



130



Prastowo, Andi. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2014. Ratna Sulistina, Dewi. ―Hubungan Pengetahuan Menstruasi dengan Prilaku Kesehatan Remaja Putri Tentang Menstruasi Di SMPN 1 Trenggalek.‖ Skripsi, Universitas Sebelas Maret, 2009. Roes, Ahmat. ―Kajian Terhadap Kitab-Kitab Tafsir.‖ Universitas Islam Negri Walisongo, 2014. Al-Shan‘ani, Abu Bakar Abd al-Razzaq. Mushannaf Abd al-Razzaq. Beirut: AlMaktab al-Islami, 1403H. Shihab, Quraish. Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah AlQur’an. Tangerang: Lentera Hati, 2012. ———. M Quraish Shihab menjawab 101 Soal Perempuan Yang Patut Anda Ketahui. Tangerang: Lentera Hati, 2010. ———. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati, 2012. Al-Sijistani, Abu Dawud. Sunan Abi Dawud. Siria: Dar al-Fikr, t.t. Sinaga, Erna, Nonon Saribanon, dan Nailus Sa‘adah. Manajemen Kesehatan Menstruasi. Universitas Nasional: IWWASH Hlobal One, 2017. Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsmani. Darah Kebiasaan Wanita, t.t. Syamhartis. ―Larangan Bagi Perempuan Haid Menurut Ibn Hazm Dalam Tinjauan Maqasidh



Al-Syari‘ah



dan



Relevansinya



dengan



Kemajuan



Pengetahuan.‖ Universitas Islam Sultan Syarif Kasim, 2011.



131



Ilmu



Al-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Isa. Jami’ al-Tirmidzi. Beirut: Dar Ihya al-Turots al‘Arobiy, t.t. Trisyani, Mira. ―Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Keluhan Tentang Menstruasi Di Antara Remaja Putri,‖ Jurnal Keperawatan Komprehensif, Vol. 4 No. 2 (Juli 2018). Ummi Kaltsum, Lilik, dan Abd Moqsith. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, Ciputat: UIN Press, 2015. Ciputat: UIN Press, 2015. Utsman Al-Khasyt, Muhammad. Fikih Wanita Empat Madzhab. Bandung: Ahsan Publishing, 2010. Wahhab Khallaf, Abdul. Fikih Empat Mazhab Praktis. Jakarta: Umul Qura‘, 2018. Yusuf, Kadar M. Tafsir ayat ahkam. Jakarta: Amzah, 2013. Yusuf, Muhammad. Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Teras, 2006. Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. 1 vol. Damaskus: Darul Fikr, 2007.



132



DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama



: Rizqi Fi‘ismatillah



Tanggal Lahir



: 08 November 1996



Agama



: Islam



Bangsa



: Indonesia



Alamat



: Jl. Ki Suropati No 11 Rt 01 Rw 05 Tingkir Lor, Tingkir, Salatiga RIWAYAT PENDIDIKAN



Tamatan:  Taman kanak-kanak (TK) Tarbiyatul Banin 22 Salatiga Tahun 2003  Sekolah Dasar Negri (SDB) Tibgkir Lor 02 Salatiga Tahun 2009  Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah 2015 PENGALAMAN ORGANISASI  Anggota LSD SPPQT (Lembaga Pemuda Serikat Tani) periode 2015Sekarang  Anggota Dewan Perwakilan LSD SPPQT 2016-Sekarang  Anggota Dewan Perwakilan Serikat Tani 2016-Sekarang



133