Tafsir Ayat Al Ahkaam Al Sayis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A. Biografi Ali Al-Sayis Muhammad Ali Al-Sayis lahir di Matubis, di distrik Kafru Al-Syaikh, salah satu dari kabupaten yang menghadap ke laut di Mesir Mesir pada tahun 1899 M. Sejak kecil belajar al-Qur’an, sehingga dalam umur 9 tahun dapat menghafal seluruh ayat-ayat al-Qur’an. Beliau adalah murid yang pandai dan melanjutkan pendidikan hingga tamat di Universitas Al Azhar dan menjadi salah satu yang alim di sana. Di usia 28 tahun beliau menjadi dosen di Fakultas Ushuluddin, kemudian diangkat menjadi dekan Fakultas Ushuluddin, dan menjadi dekan Fakultas Syariah pada tahun 1957 M Beliau menerima sertifikat internasional pada tahun 1926 dan memperoleh gelar Doktor pada tahun 1927 dengan peringkat ‘al-amtiyaz’. Beliau di anggap sebagai pelopor dalam bidang ilmu ushul dan merupakan anggota dewan tertinggi Al-Azhar sejak 1953 hingga wafat di tahun 1976, serta sebagai salah satu anggota dari ilmuwan senior. Di samping itu juga menjadi salah satu ulama pembesar Mesir pada tahun 1950 Beliau meraih penghargaan ilmiah dan finansial pada banyak kesempatan



sebagai



bukti



kemampuannya



dalam



bidang



ilmu



pengetahuan. Di antaranya, penghargaan khusus bidang syar’iy di tahun 1932. Beliau memiliki banyak buku-buku tentang ilmu hadist, fiqih dan ushul. Diantara buku beliau yang paling terkenal adalah buku ‘Fiqh alijtihady, tarikhul al-tasyri’ al-islamiy’. Sedangkan kitab Tafsir Ayat al-Ahkam sebenarnya adalah diktat yang disusun oleh Muhammad Ali al-Sayis untuk kalangan mahasiswa Fakultas Syari’ah di Universitas Kairo, Mesir. Tetapi kemudian setelah mengalami beberapa penyempurnaan dan pengeditan, diktat tersebut dibukukan dan beredar luas di seluruh Negara muslim termasuk Indonesia. Beliau adalah salah satu dosen dari Prof. Dr. Qurais Shihab (penulis tafsir al misbah) ketika belajar di al azhar.



B. Karya-karya Beliau Beliau banyak menulis buku, diantaranya adalah: 1. Tarikh Al Tasri’ Al Islamy 2. Tahdiid Awaail Al Syuhur Al Arabiyah 3. Tankiihu Wa Tashiihu Tafsir Ayat Al Ahkam C. Karakteristik Tafsir Ayat Al Ahkam Kitab Tafsir Ayat al-Ahkam karya Ali al-Sayis ini merupakan satu dari banyak sekali kitab tafsir ayat ahkam lainnya, seperti kitab Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas, Ahkam alQur’an karya Ibn al-Arabi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Qurtubi, Rawai’ al-Bayan karya Ali al-Sabuni, Tafsir al-Munir karya Wahbah al-Zuhayli, dan banyak lagi kitab tafsir ahkam lainnya. Kitab tafsir ini tidak begitu tebal dibandingkan dengan kitab tafsir yang lain, hanya sekitar kurang lebih 800 halaman, karena sejak semula kitab ini disusun dan disesuaikan dengan kurikulum fakultas Syari’ah di al-Azhar, Kairo, Mesir Dalam pendahuluan kitab Tafsir Ayat al-Ahkam, Ali al-Sayis mengatakan bahwasanya kitab ini merupakan kitab yang disusun dengan sistematis dan dikuatkan oleh beberapa produk penafsiran para mufassir lain. Diantaranya : •



Melalui tafsir bil ma’stur yang merupakan penafsiran yang berdasarkan pada riwayat hadist. Hal ini dapat dilihat pada salah satu rujukan yang digunakan Ali al-Sayis, yaitu







tafsir imam al-Suyuti dan Ibn Jarir al-Thabari. Melalui tafsir bil-ra’yi yang merupakan penafsiran berdasarkan pengambilan hukum dengan pemikiran akal. Hal ini dapat dilihat pada salah satu rujukannya, yaitu tafsir al-







Razi, tafsir al-Zammakhsyari, dll. Dari segi hukum-hukum, kitab tafsir ini dikuatkan dengan kitab imam al-Qurtubi dan imam al-Jassas. Kitab ini berisi beberapa ayat, hadist-hadist, pendapat-pendapat para mufassir, fuqaha’



dan ahli bahasa. Penafsirannya lebih cenderung pada huhum fiqh, yang ditulis beliau untuk para mahasiswanya yang belajar pada kuliah Syariah Universitas Al Azhar selama empat tahun ajaran, oleh karenanya, tafsir tersebut terbagi atas empat jilid dalam satu kitab yang diberikan dalam empat tahap tahun ajaran sesuai dengan pengajaran kuliah Syariah Universitas Al Azhar



Kairo. Detail tafsir tersebut, halamannya berjumlah 814 halaman yang terbagi dalam empat sanah, yang pertama 176, yang kedua 238, yang ketiga 192 dan yang ke empat 208. Tafsir ayat ahkam ini menjelaskan tentang ayat-ayat hukum yang ada dalam al-Qur’an atas dasar faham ahlu sunnah wa al jama’ah atau madzhab empat, dan juga menggunakan dasar tertibnya surat dan ayat-ayatnya. tidak menggunakan bab-bab seperti dalam kitab fiqh, akan tetapi seluruh ayat-ayatnya behubungan dengan hukum. Beliau tidak memberikan kata pengantar ataupun menjelaskan metode yang beliau pakai ketika menulis tafsir ini, akan tetapi tafsir ini menyertakan seluruh pendapat ulama madzhab empat dan juga pendapat yang paling kuat dan dalam kitab tafsir ini tidak didapati pendapat beliau yang lebih condong kepada salah satu madzhab seperti halnya ulama-ulama fiqh yang kadang lebih condong kepada apa yang diyakininya ataupun yang di pelajarinya. Sebagaimana dengan kitab fiqih, kitab ini merujuk pendapat imam mazhhab, berdasarkan mazhab Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Adapun secara sususan kitab, disusun berdasarkan urutan ayat dan surat, tidak berdasarkan bab-bab fiqih. Dengan demikian dapat diketahui bahwa sesungguhnya tafsir ini tersusun secara mushafi (mushaf usmani), sedangkan isi kitab memuat ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum Pada jilid yang pertama dimulai dengan penyebutan daftar ayat dalam surat alBaqarah, pada jilid kedua dimulai dengan runtutan ayat dari surat Ali Imran, surat An-Annisa, surat Al Maidah, surat Al An’am dan juga surat Al A’raf, pada jilid yang ketiga di mulai dengan penyebutan ayat dari surat Al-Anfal, surat At-Taubah, surat An-Nahl, surat Al-Isra’, surat Al-Hajj, surat An-Nur, sedang yang terahir terbagi dalam dua bagian: bagian yang pertama ayat-ayat ahkam dari surat Lukman sampai pada surat Al-Hujurat, sedang bagian yang kedua dari surat Al-Waqi’ah sampai pada surat Al Muzammil. Kelemahan dari kitab ini adalah tidak terdapat daftar isi dan daftar kitab rujukan (foot note), yang ada hanya tema-tema dan ayat-ayat saja yang seharusnya menjadi kemudahan bagi para pembaca. Sehingga mempersulit para pembacanya dalam mengorek informasi dari penafsiranataupun pendapat ulama dan sebagainya. akan tetapi tafsir ini juga mempunyai kelebihan tersendiri, yaitu menjadi salah satu kitab tafsir ayat ahkam yang pernah ada dan kitab ini adalah yang membahas ayat-ayat hukum secara jelas dan bermanfaat sekaligus banyak mengangkat tema kontemporer.



D. Metode Penafsiran Secara umum, sistematika yang digunakan Ali al-Sayis dalam kitab tafsir ini adalah : •



Ia mengawali penafsiran dengan menyebut satu sampai tiga ayat hukum yang hendak dikaji. Beliau tidak memulai dengan tema-tema kajian dahulu (seperti Rawai’ul Bayaan karya Ali Ash Shabuni) baru kemudian mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan tema, melainkan menyebutkan sesuai urutan surat dan ayatnya lebih dahulu.







Seperti pada surat al-Baqoroh, ayat 102-103, yang merupakan ayat tentang sihir. Kemudian ia mengurai kata-kata teknis yang harus dipahami terlebih dahulu. Tahap ini







dapat disebut pula dengan tafsir al-mufradat. Langkah berikutnya, ia mulai menafsirkan frase-frase ayat yang memiliki kandungan hukum. Dalam hal ini, Ali al-Sayis mengolaborasi kajian dengan mengungkapkan







pendapat para mufasssir baik dari kalangan mufassir klasik maupun kontemporer. Pada bagian akhir, Ali al-Sayis melakukan istinbath hukum yang disederhanakan dari ulasan ayat-ayat tersebut. Telah di jelaskan bahwa tidak ada informasi tentang metode yang dipakai, akan tetapi



melihat dari isi kitab tersebut dapat diketahui bahwa Ali al-Sayis mmenggunakan metode tahlili (analisis), hal ini dilihat dari penyebutan suatu ayat dalam al-Qur’an, kemudian ayat tersebut ditafsirkan sesuai dengan permasalahan yang terkait. Meskipun Al-Sayis belum menyebutkan metode penafsiran seperti apa yang digunakan, namun diperoleh beberapa langkah yang digunakan dalam penafsiran tersebut; 1. Disebutkan ayat tertentu dalam surat tertentu. Apabila ayat tersebut terdapat asbabunnuzul, hal itu diutamakan dalam penafsiran. 2. Terkait dengan gramatika bahasa, suatu ayat yang disebutkan dan dijelaskan berdasarkan kata perkata yang merupakan kalimat inti secara rinci. 3. Terdapat pemaparan aspek balaghiyah (bahasa), sehingga mampu memperindah dalam pemaknaan. 4. Disebutkan munasabah dengan ayat dan surat lain baik yang sebelum atau yang sesudahnya. 5. Untuk memperkuat argumen yang muncul dalam penafsiran disebutkan hadis-hadis shahih terkait dengan ayat yang ditafsirkan. 6. Terdapat pendapat ulama yang disebutkan, terkait dengan pembahasan suatu hukum yang terdapat dalam ayat yang menjadi pokok bahasan. 7. Terdapat syair-syair yang digubah dari penyair.



8. Disebutkan istinbath hukum (kesimpulan) yang terdapat dari ayat yang ditafsirkan. E. Contoh Penafsiran Ali al-Sayis



                                                                   Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka berwudhuklah. Secara dhahir ayat ini menjelaskan bahwa diwajibkan berwudhuk kepada siapa saja yang hendak mengerjakan shalat, tidak sibutkan kepada orang-orang yang berhadats, akan tetapi ijma’ para ulama adalah sebaliknya yaitu diwajibkan kepada orang-orang yang berhadats dan tidak diwajibkan kecuali kepada mereka yang berhadats. Dan tidak menimbulkan masalah apabila dimaksud “‫صححال ة وأنتححم محححدثون‬ ‫( ” إذا قمتححم إلححى ال ص‬apabila hendak mengerjakan shalat dan kamu dalam keadaan berhadats). Adapaun Rasulullah SAW dan para sahabat berwudhuk setiap hendak melakukan shalat bukan berarti hukumnya wajib, akan tetapi itu didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW “barangsiapa berwudhuk dalam keadaan suci maka dicatat baginya sepuluh kebaikan.” Dan diriwayatkan dalam shahih muslim “Sesungguhnya Rasulullah SAW pada hari penaklukan kota Mekkah mengerjakan shalat lima waktu dengan sekali wudhuk, maka Umar



bin Khattab bertanya kepada Rasullullah, “engkau telah mengerjakan apa yang sebulnya engkau tidak pernah kerjakan”. Rasulullah menjawab “Aku sengaja mengerjakannya wahai Umar.” Hal ini menjelaskan bahwa berwudhu dalam keadaan suci hukumnya adalah sunat tidak berarti wajib. ‫م‬ ‫حاوا ب سكرؤ ك س‬ ‫سسسس ك‬ ‫م س‬ ‫سسسسك ك م‬ ‫ وس ا م‬Para



ulama



sepakat bahwa



menyapu



kepala



merupakan salah satu fardhu wudhuk, akan tetapi terdapat khilaf terhadap kadar menyapunya. Menurut pendapat Malikiyah bahwa fardhu menyapu seluruh bagian kepala. Menurut Imam Syafi’i cukup sebagian dari pada kepala dengan yakin. Mazhab Hanafiah berpendapat fardhu menyapu seperempat bagian kepala, hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW. Dari al-Mughirah bin Syu’bah bahwasanya Nabi SAW. dalam perjalanan, lalu berhenti untuk buang hajat kemudian beliau datang dan berwudlu dan (dalam wudhuknya) beliau mengusap ubun-ubunya”. (H.R. Muslim). Lafaz ‫ لوألمركجلكمم‬di athafkan kepada lafaz ‫وجححوهكم‬. Diwajibkan membasuh kaki sampai dengan mata kaki. Hai ini sesuai dengan perbuatan Rasulullah SAW dan para sahabat semasa Rasulullah masih hidup bahkan sesudah Rasulullah wafat, dan ini menjadi ijma’ para ulama. ‫ الكعبان‬merupakan isim tasniah dari kata ‫الكعب‬. Yang berarti tulang yang menonjol antara tumit dan tungkai. Dan setiap kaki mempunyai dua mata kaki yang wajib membasuhnya ketika berwudhuk. ‫ لو إإمن ك منكتمم كجكنبا لفاهطهكروا‬Janabah menurut istilah syar’i yaitu keadaan seseorang tidak boleh melakukan shalat, membaca al-Quran, menyentuh mushaf, dan masuk sampai melakukan mandi junub. Rasulullah menjelaskan penyebab janabah ada dua perkara: Pertama, Keluar mani. Rasulullah mengatakan bahwa mani adalah air dari air. Yakni wajib menggunakan air untuk mandi yang di sebabkan oleh air. Kedua, Bertemunya dua khitan. Rasulullah SAW bersabda apabila bertemunya dua khitan maka diwajibkan mandi. Dan sebagaimana diwajibkan mandi ketika janabah juga diwajibkan mandi ketika berhentinya haid dan nifas. Firman Allah tentang haid, ‫ لوال لتمقلركبححوكههن لحهتححى ليمطكهححمرلن‬dan hadits dari Fathimah binti Hubaisy Rasulullah bersabda : apabila datang haid maka tinggallah shalat dan apabila sudah berhenti maka mandilah dan shalatlah. Dan ijma’ para ulama bahwa hukum nifas sama dengan hukum haid.



Terdapat perbedaan para ulama tentang berkumur-kumur dan istinsyaq ketika mandi, menurut pendapat Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan tidak wajib akan tetapi wajib hukumnya menurut Hanafiah dan Hanabilah. Setelah menjelaskan akan wajibnya menggunakan air ketika berwudhuk ketika ingin mengerjakan shalat, ayat tersebut dilanjutkan dengan penjelasan keadaan wajib menggunakan air terbatas dalam dua perkara, pertama adanya air, kedua tidak ada uzur untuk menggunakan air. Dan apabila terbatas air atau airnya ada akan tetapi orang tersebut dalam keadaan sakit yang tidak boleh menggunakan air, maka wajib baginya untuk mengganti berwudhuk dengan tayamum untuk menghilangkan hadas besar dan hadas kecil. ‫ ألمو اللممءاسحكتكم الننءاسحالء‬terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini, ada yang mengatakan maknanya adalah jima’ sebagaimana pendapat Ali, Ibnu Abbas dan yang lainnya, sehingga tidak diwajibkan wudhuk barangsiapa yang menyentuh perempuan dengan tangannya. Ada juga yang mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah menyentuk dengan tangan, sebagaimana pendapat Umar bin Khattab, Ibnu Mas’ud dan yang lainnya, sehingga wajib berwudhuk apabila menyentuh perempuan dengan tangan. F. Penutup Kitab Tafsir Ayat al-Ahkam karya Ali al-Sayis merupakan salah satu dari beberapa kitab tafsir ahkam lainnya. Kitab ini merupakan diktat yang disusun oleh Muhammad Ali alSayis untuk kalangan mahasiswa fakultas Syari’ah di Universitas Kairo, Mesir. Tetapi kemudian setelah mengalami beberapa penyempurnaan dan pengeditan, diktat tersebut dibukukan dan beredar luas di seluruh negara muslim termasuk Indonesia. Kitab ini merupakan kitab yang disusun dengan sistematis dan dikuatkan oleh beberapa produk penafsiran para mufassir lain. Kitab ini juga berisi beberapa ayat, hadisthadist, pendapat-pendapat para mufassir, fuqaha’ dan ahli bahasa. Pada bagian akhir, Ali al-Sayis melakukan istinbath hukum yang disederhanakan dari ulasan ayat-ayat tersebut.