Tahi Bonar Simatupang Dari Militer Menuju Gereja [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Peter Kasenda



Tahi Bonar Simatupang Dari Militer menuju Gereja



Semasa hidupnya Tahi Bonar Simatupang telah mengabdikan diri sebagai prajurit, penggembala umat, pendidik dan penulis. Dalam usianya yang ketiga puluh, ia diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia menggantikan Pangklima Besar Sudirman yang meninggal dunia. Saat itu pangkatnya yang semula adalah Kolonel kemudian dinaikkan menjadi Mayor Jendral. Beberapa tahun lamanya setelah itu, boleh dibilang ia satu-satunya jendral di Republik ini. Namun pada akhirnya, ia dipensiunkan sebelum menginjak 40 tahun, karena adanya pertentangan dengan Presiden Soekarno. Sesudah itu ia kemudian aktif dalam bidang keagamaan, ia pernah menjabat sebagai Ketua Dewan GerejaGereja di Indonesia (sekarang Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), Ketua Dewan Gereja –Gereja se-Asia dan menjadi salah seorang Presiden dari Dewan-Dewan Gereja-Gereja seDunia yang mewakili benua Asia. Perpindahannya dari dunia militer ke dunia kegerejaan ,sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai sesuatu yang mengejutkan. Ini mengingat semua aktivitasnya itu dilakukan demi untuk kepentingan masyarakat. Dari dunianya sana ia menjadi salah satu peletak dasar pemikiran etika untuk mengekspresikan keprihatinan gereja terhadap persoalan masyarakat Indonesia. Perhatiannya terhadap masyarakat pula yang mengantarkannya sebagai Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia dan Ketua Yayasan Institut Pembinaan dan Pendidikan Manajemen . Kegiatan ceramah di berbagai forum dan juga menulis sejumlah buku dan artikel di Harian Sinar Harapan, (sekarang Suara Pembaruan), di mana dia salah satu pendirinya, menyebabkan banyak orang menyebutkan sebagai intelektual ABRI. Tulisan-tulisan atau buah pikiran Tahi Bonar Simatupang yang pernah mendapat gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Tulsa (AS) dalam masalah Kemanusian (1969), meliputi berbagai bidang kajian seperti masalah militer, agama, manajemen serta kenegaraan. Dan kelihatannya bidang militer merupakan masalah yang paling banyak menarik perhatiannya. Tulisan ini menaruh perhatian yang khusus terhadap riwayat kehidupan TB Simatupang yang dikaitkan dengan dunia militer. Suatu dunia yang digelutinya untuk pertama kali, dan bahkan sering disebutkan sebagai cinta pertamanya. Tentu saja tidak dilupakan dunia agama yang merupakan cinta kedua



Latar belakang Sosial Kehadiran sejumlah pengusaha Onderniming yang mencari untung di daerah Sumatra Timur, yang mempunyai tanah subur itu, pada kenyataannya yang menghasilkan sejumlah penderitaan saja bagi masyarakat setempat. Kedatangan para penguasa Onderniming tersebut telah dimanfatkan oleh para penguasa setempat, yang rakus akan kekayaan, dengan memberikan konsesi-konsesi kepada mereka, kaum pendatang dengan tanpa memperdulikan kesejahteraan rakyatnya. Situasi semacam ini hanya membuat penguasa setempat mampu Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



1



Peter Kasenda membangun tempat-tempat kediaman yang luas serta mewah, dan sebaliknya uang-uang yang bertaburan dari para pendatang itu tidak menyentuh kehidupan rakyat jelata.Dan bahkan lebih jauh lagi, mereka telah diperlakukan sebagai budak di negerinya sendiri.1 Keadaan seperti itu pada gilirannya justru menyuburkan lahirnya partai-partai yang berusaha mempertahankan kepentingan anak negeri yang diperlakukan secara semena-mena. Sejak tahun 1910-an, terdapat partai-partai seperti Sarekat Islam, National Indische Partij dan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1920, terjadi pemogokan kaum buruh yang sudah tidak tahan lagi diperlakukan dengan tidak adil, dan boleh dibilang ini dilakukan dengan berhasil yang membuat perusahaan Kereta Deli lumpuh. Awal tahun 1930-an rapatrapat umum Partindo diadakan di Pematang Siantar.2 yang mana bertindak sebagai ketua pada masa itu adalah Adam Malik.3 Pada situasi seperti itu ayah Tahi Bonar Simatupang yang bernama Simon Simatupang, gelar Mangaraja Soadun yang bekerja sebagai pegawai Hindia Belanda, adalah salah seorang yang mempunyai minat besar terhadap pergerakan kebangsaan. Pada tahun 1930-an, ia ikut mendirikan Persatuan Kristen Indonesia, yang kemudian dianggap sebagai salah satu pendahulu dari Partai Kristen Indonesia yang didirikan kemudian setelah sesudah Indonesia Merdeka. Kegiatan kehidupan gereja dan persekolahan Krsiten tidak luput juga dari perhatiannya. Simon Simatupang yang mengikuti dengan seksama surat kabar dan majalah – dari Batavia yang menyebarkan cita-cita kebangsaan, adalah orang yang rajin menulis artikel tentang kebudayaan di dalam media massa yang berbahasa Batak. Indonesia dan juga Belanda.4 Dalam latar belakang sosial seperti itu, Tahi Bonar Simatupang lahir dan berkembang di Sidikalang, yang pada waktu itu terletak di Kresidenan Tapanuli. T.B. Simatupang yang lahir pada tanggal 28 Januari 1920, bersekolah di Hollands Indlanse School (setingkat SD), Pematang Siantar. Setelah berhasil menamatkan sekolahnya di HIS, ia kemudian melanjutkan sekolah selama tiga tahun di Christelijke Mear Uitgebried Lager Onderwijs Dr. Nommensen (Sekolah Zending setingkat SMP) di Taruntung, Tapanuli. Saat itu untuk pertama kalinya dia tidak tinggal serumah dengan dengan orangtuanya, tetapi menetap di asrama sekolah itu yang terletak di lereng bukit. Kehidupan murid-murid sekolah ditempat tersebut seolah-olah berada di antara dua kenangan, yakni bayangan pada sejarah Perang Batak melawan Belanda yang dilambangkan dengan makam Raja Sisingamangaraja dan sejarah perkabaran Injil yang disimbolkan oleh patung Dr. Nommensen yang terletak di atas bukit. 5 Bisa jadi adanya kenangan itu yang menyebabkan sering terjadinya perkelahian antara murid-murid itu dengan tentara yang berada di asrama militer yang berlokasi di sekitar situ T.B. Simatupang sendiri suatu hari hampir saja diusir dari sekolah, karena salah seorang gurunya, semua staf pengajarnya adalah orang Belanda, memergokinya tengah membaca buku yang memuat pembelaan Ir. Soekarno yang berjudul Indonesia Klaagt Aan (Indonesia 1



Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani – Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985). 2 Anthony Reid, Perjuangan Rakyat – Revolusi dan Hancurnya Kerejaan di Sumatra Timur, (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), hal. 110–126. 3 Adam Malik, Mengabdi Republik – Adam dari Andalas, Jilid I, (Jakarta: Gunung Agung, 1982 , hal. 17. 4 H.M. Victor Matondang (ed), Percakapan dengan Dr. T.B. Simatupang, (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Patenta Sejati, 1986), hal. 66–67. 5 Raja Si Singamangaraja yang tertembak KNIL pada tahun 1907 itu memberi ijin kepada Dr. Nomensen, nantinya disebuat Apostel (Rasul) orang Batak, untuk menyebarkan agama Kristen di daerah kekuasaannya. Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



2



Peter Kasenda Menggugat).6 Hanya saja karena kepala sekolahnya menganggap T.B. Simatupang sebagai murid yang paling cerdas itu, dan ia menginginkan agar TB Simatupang dapat meningkatkan nama sekolah melalui ujian akhir yang telah dekat, maka hukuman pengusiran itu tidak jadi dilakukan. Dr.E. Verwiebe, seorang pendeta Jerman yang memberikan pelajaran agama kepadanya, yang kemudian menjadi Eophorus (Semacam Uskup) dari Huria Kristen Batak Protestan (1936-1940), memberikan saran kepada Simon Simatupang, agar anaknya dapat melanjutkan pelajarannya pada Hoogere Theologische School (Sekolah Tinggi Theologiia) di Batavia, setelah menyelesaikan sekolahnya nanti). Tetapi bagi T.B. Simatupang sendiri kelihatannya ia kurang menaruh minat untuk menjadi pendeta. Sebaliknya ia justru mendaftarkan diri pada Christelijke Algemene Middelbare School (Sekolah Zending setingkat SMA) di Batavia. Dan salah satu teman sekelasnya adalah selama tiga tahun adalah Mohammad Dahlan Djambek yang kemudian tewas dalam peristiwa PRRI.7 (Internaat voor Indonesiche Studenren (Asrama bagi pelajar dan mahasiswa Indonesia) merupakan tempat tinggalnya di Batavia, dan suasana asrama saat itu diliputi rasa kebangsaan karena berbagai suku bangsa tinggal bersama di situ. Yang menarik bahwa setiap hari ia pergi ke sekolah selalu harus melewati Hoogere Theologische School, yakni tempat yang nyaris menjadi sekolahnya. Namun hal ini yang menyebabkan ia bersahabat dengan mahasiswa teologi, di mana nantinya di kemudian hari mereka menjadi generasi pertama pemimpin Dewan-Dewan Gereja di Indonesia (Sekarang Persekutuan Gereja di Indonesia).8 Selama di Batavia, ia mengikuti kegiatan masyarakat Kristen Protestan Batak, yang berpusat di Gereja Kernolong. Pada waktu itu, Dr. Todung Sutan Gunung Mulia dan Mr. Amir Sarufuddin merupakan tokoh terkenal dari Gereja tersebut.9 Kegiatan pemuda Krsiten Protestan Batak juga menjadi bagian dari aktivitasnya di mana sebagian kegiatannya berlangsung di Gedung Pertemuan Pemuda Kristen di Jalan Kebonsirih 44, Dan pemudapemuda yang bergabung di sana pada akhirnya nanti berpisah oleh karena memilih jalannya masing-masing. Sebagai contoh, Manggara Tambunan yang meninggal dunia sebagai Menteri Sosial dari Parkindo; Bismark Oloan Hutapea dan Josep Simanjuntak (Yusuf Ajitorop) yang memilih jalan komunis dan kemudian Lintong Mulia Sitorus yang menjadi Sekretaris Jendral Partai Sosialis Indonesia sampai partai itu dibubarkan pada tahun 1960.10



Menjadi Tentara Setelah menyelesaikan pendidikannya di Batavia, T.B. Simatupang, pada mulanya mendaftar ke Corps Opleiding Reserve Officieren (Korps Pendidikan Perwira Cadangan) Namun pada kenyataannya ia malahan lulus seleksi masuk Koinlijke Militaire Academie (Akademi Militer Belanda) di Bandung pada tahun 1940. Sebenarnya ada dua alasan yang 6



Untuk memahami pleidoi Soekarno. Lihat kata pengantar kritis dari Roger K. Paget (edited, translated, annotaed and introduced), Indonesia Accuses – Soekarno’s Defence Oration in the Political Trial of 1930, (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1975), hal. xvii - lxxx. 7 H.M. Victor Matondang, op.cit., hal.68. 8 Ibid. 9 Untuk mengetahui Kekristenan Amir Sjarifuddin. Lihat. Frderick Djara Wellem, Amir Syarifoeddin – Pergumulan Imannya dalam Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hal. 113–116. 10 H.M. Victor Matondang, op.cit., hal. 69. Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



3



Peter Kasenda menyebabkan anak muda ini tertarik pada dunia militer. Pertama, setelah Belanda diduduki Jerman ada orang-orang Belanda di Hindia Belanda yang mengajak orang-orang Indonesia bersama-sama melawan Jepang dengan janji akan memberi keleluasaan politik.11 Kedua, ada pendapat orang Belanda (Guru Sejarah T.B. Simatupang yang bernama De Haan) yang mengatakan kalau bangsa Indonesia tidak mempunyai kemampuan untuk merdeka dan membangun angkatan bersenjatanya yang sendiri modern.12 Walaupun telah terdaftar sebagai taruna KMA, tetapi ia tetap senantiasa mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh pergerakan yang pada gilirannya ini tentu lebih menambah kesadaran nasional pada dirinya. Di Akademi Militer tersebut, ia tercatat sebagai taruna terbaik dan berhak memperoleh kedudukan sebagai taruna mahkota (Kroon Cadet).13 Pada tanggal 1 Maret 1942, lapangan terbang Kalijati yang merupakan pusat pertahanan Hindia Belanda, terletak kurang dari 50 Km dari Bandung, dapat dikuasai oleh Bala Tentara Jepang. Kejadian itu membuat serangan Jepang semakin menjadi-jadi. 14 Saat itu T.B. Simatupang ditempatkan sebagai staf Resimen Pertama di Batavia dengan pangkat perwira pembantu, setelah semua taruna KMA dinyatakan berhenti untuk memperkuat pasukan Koninklijke Nederlands Indisch Lager (Tentara Hindia Belanda) melawan Bala Tentara Jepang. Kedudukan pasukan di mana T.B. Simatupang bergabung, selama serangan Jepang, semakin hari semakin terpojok.15 Mereka terus mundur ke arah Ciranjang, Cianjur dan Bandung. Pada perkembangan selanjutnya, Jepang mengancam akan membom Bandung jika Belanda tidak melakukan kapitulasi tanpa syarat dan bersifat menyeluruh. Akhirnya Jendral Ter Porten, Panglima Tertinggi Hindia Belanda, dalam situasi seperti itu memutuskan untuk menyerah pada tuntutan Jepang tersebut. Keputusan itu diumumkan pada hari Senin, jam 07.45 tanggal 8 Maret 1942 melalui radio NIROM. 16 Adanya kapitulasi dapat diartikan bahwa eksistensi Koninlijke Nederlands Indisch Leger sudah tidak ada lagi. Ikatan T.B. Simatupang dengan KNIL dianggap telah putus. Pada saat itu ia ditawan Jepang selama beberapa bulan untuk kemudian dibebaskan bersama dengan tawanan perang orang Indonesia lainnya. Sedikitnya ada dua alasan yang menyebabkan mengapa Bala Tentara Jepang dapat menduduki dengan begitu mudah Hindia Belanda. Pertama, Jepang menjanjikan harapanharapan akan zaman yang lebih baik bagi Indonesia; 17 Kedua; karena rakyat bersikap acuh tak acuh terhadap Belanda yang sedang menghadapi tentara Jepang.18 Sebaliknya, sambutan terhadap kedatangan Jepang sangat meriah di berbagai tempat dengan diselingi teriakanteriakan “Banzai-Banzai“ dan “Hidup Nippon! Hidup Nippon”.19 Sambutan semacam itu telah membuat T.B. Simatupang bertanya-tanya dengan dirinya mengenai maksud invasi Jepang tersebut. Menurutnya kedatangan Jepang bukan untuk membebaskan Hindia Belanda 11



Memoar T.B. Simatupang, “Membina Tentara yang Profesional.“ Tempo No. 36, Tahun XIX – 4 November 1989, hal. 51–65. 12 H.M. Victor Matondang, op.cit., hal. 69. 13 Ibid. 14 Djajusman, Hancurnya Angkatan Perang Hindia Belanda, (Bandung: Angkasa, 1978). 15 Memoar T.B. Simatupang , loc. cit. 16 Onghokham, “Runtuhnya Hindia Belanda, (Jakarta: Gramedia, 1987) 17 Ibid. 18 Djajusman, op.cit. 19 Sambutan rakyat terhadap kedatangan Bala Tentara Jepang. Lihat. K.H. Saifuddin Zuhri, Guruku orangorang Pesantren, (Bandung: P.T. Alma’arif , tanpa tahun), hal. 157–167. Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



4



Peter Kasenda dari Belanda, tetapi justru ingin menancapkan kukunya sedalam mungkin sebagaimana yang dilakukan Jepang di Manchuria dan Tiongkok.20 Begitu ia bebas sebagai tawanan perang, T.B. Simatupang ingin mengetahui apa yang terjadi di dalam masyarakat. Untuk memenuhi keinginannya itu, ia berlagak sebagai penjual buku-buku pelajaran berbahasa Jepang yang banyak diminati banyak orang pada saat itu, walaupun ia sendiri tidak menaruh minat untuk belajar. Ia mengadakan perjalanan dari Jakarta, Bogor, Bandung, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan kembali ke Jakarta. Ia bertandang dan berdialog dengan mereka yang berada di kantor-kantor pemerintah dan juga rumah-rumah di kota-kota yang dikunjunginya. Dalam perjalanan tersebut, ia menemui banyak orang yang yang tidak bersedia diajak berbicara dibandingkan dengan orang-orang yang mau mengemukakan pendapat sebenarnya dengan berbisik-bisik. Mungkin orang-orang tersebut menganggap dia sebagai mata-mata musuh Jepang atau Sekutu. Maklum pada saat itu dimana-mana terdapat poster yang mengingatkan tentang perlunya berhati-hati terhadap musuh-musuh.21 Dalam perjalanannya mengelilingi pulau Jawa, ia mencatat beberapa hal. Pertama, zaman penjajahan Belanda dianggap telah berakhir untuk selama-lamanya; Kedua, Jepang yang semula dianggap sebagai, di manamana ditakuti dan dibenci; Ketiga, mengenai prospek perang, tidak atau belum ada orang yang berani membicarakannya, walaupun pada saat itu terdapat gerakan arus bawah yang mengatakan bahwa kehadiran Jepang hanya seumur jagung. Bagi T.B. Simatupang sendiri, setelah ia melihat gerak maju Bala Tentara Jepang yang mengalami kemacetan dan tidak dapat diatasinya, maka kemenangan Jepang kelihatannya sulit tercapai.22 Melihat situasi seperti itu, ia mulai memikirkan apa yang sebaiknya harus dilakukan. Pada saat itu juga kemudian ia bertemu dengan Sutan Sjahrir. Di dalam pertemuan tersebut, Sutan Sjahrir menjelaskan bahwa perang yang sedang berkecamuk pada waktu itu adalah pertarungan global untuk membela nilai-nilai kemanusiaan terhadap fasisme.23 Melalui pertemuan itu T.B. Simatupang dapat memperluas cakrawalanya yang sebelumnya tidak pernah didapat, dan ini pada gilirannya mengantarkan dirinya ikut aktif dalam studi-studi kelompok kecil yang berada di sekitar Sutan Sjahrir.24 Di sanalah ia mempelajari Revolusi Perancis, Cina, Rusia, Amerika, Kemerdekaan dan Demokrasi. Teman-temannya antara lain adalah Lintong Mulia Sitorus, Bismarck Oloan Hutapea. Mereka bertiga mempunyai latar belakang yang sama, yakni dari Kristen Protestan Batak, mengecap pendidikan tinggi sebentar dan tingal dalam satu rumah di Jakarta.25 Pada masa itu, kalau orang tidak mempunyai kedudukan yang lemah, maka ia harus memiliki posisi resmi. Pandangan semacam itu, kelihatannya juga menjadi pegangan T.B. Simatupang pula. Untuk itulah anak muda kelahiran Sidikalang ini mendaftarkan diri pada 20



Memoar T.B. Siamtupang, loc. cit. T.B. Simatupang, “Apa Arti Sutan Sjahrir bagi Kita Sekarang ?,“ dalam Rosihan Anwar (ed), Mengenang Sjahrir, (Jakarta: Gramedia, 1980), hal. 187 – 198. 22 Ibid. 23 Ibid. 24 Kelompok-kelompok yang berada disekitar Sutan Sjahrir pada masa penedudukan Jepang. Lihat. John D. Legge, Intellectual and Nationalism in Indonesia: A Study of Foolowing Recruted by Sutan Sjahrir in Occupation Jakarta, (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1988). 25 Memoar T.B. Simatupang, loc. cit. 21



Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



5



Peter Kasenda kursus Bea dan Cukai yang dibuka untuk menggantikan orang-orang Belanda. Dalam ujian sebagai calon pegawai ia dinyatakan lulus nomor satu. Adanya predikat itu membuat ia mempunyai pilihan untuk bisa ditempatkan di mana saja. Dia memilih kota Bandung yang sejuk itu, sebagai tempatnya bekerja. Di sana sedikit sekali yang bisa dikerjakan. Mengingat banyak waktu luang, maka ia mulai melibatkan diri dalam kelompok bekas taruna Bandung yang membentuk kelompok studi dengan tujuan mempelajari soal-soal perang.26 Dan pada waktu itu, TB Simatupang membaca buku – Vrom Kreige (Tentang Perang) yang ditulis oleh Carl von Clausewitz, yang merupakan tokoh yang dikaguminya dan yang dikemudian hari mempengaruhi pemikirannya tentang perang itu sendiri.27



Mempertahankan Kemerdekaan Pada tanggal 5 Oktober 1945, dibentuk Tentara Kemanan Rakyat yang dipimpin oleh bekas Mayor KNIL Oerip Soemoehardjo. Ia pernah memimpin suatu delegasi untuk menemui Soekarno dan M. Hatta dengan tujuan mengusulkan dibentuknya Tentara RI. Pada akhirnya usulan tersebut diterima dan ia sendiri kemudian diangkat sebagai Kepala Staf Umum Markas Tentara Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat Indonesia.28 Sejumlah orang Indonesia bekas KNIL yang pernah belajar di Breda dan Bandung memutuskan untuk menggabungkan diri dalam Angkatan Perang tersebut. Dan perwira-perwira didikan Belanda itu dalam waktu yang sangat singkat telah berhasil menduduki jabatan yang penting di Markas Tertinggi TKR berkat pengalaman serta pendidikan mereka yang lebih baik. Salah satunya adalah T.B. Simatupang, yang mendapat pangkat Kapten dan menjabat sebagai Kepala Biro Organisasi pada Staf Umum Markas Tertinggi TKR.29 Sumbangan pemikiran T.B. Simatupang di Markas Tertinggi tersebut, ternyata menjadikan banyak temannya menganggap dirinya sebagai teoritikus yang senantiasa diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran yang berhubungan dengan masalahmasalah yang mendasar mengenai perang dan revolusi. Harapan teman-teman yang menginginkan agar ia menjadi teoritikus yang cemerlang, ternyata tidak disia-siakan begitu saja. Dan untuk memenuhi harapan itu, ia belajar dengan semaksimal mungkin.30 Hannbuch der wehrwisenschaften adalah salah satu dari buku pintarnya yang berguna memecahkan soal-soal yang dirasakan kurang. Bersama dengan Martadinata. Hasanuddin, Sudarsono Rahardjodikromo dan lain-lain, T.B. Simatupang berhasil mendirikan sebuah kelompok studi untuk mempelajari ilmu militer di Yogyakarta dengan nama Yudha Gama (Ilmu Perang).31 26



Ibid. Carl von Clausewitz, seorang jendral Prusia, yang menjadi musuh Napoelon Bonaparte. Buku diatas ditulis pada tahun 118–130. Sewaktu ia menjabat sebagai Direktur Akademi Perang. Nuku itu diterbitkan, tidak beberapa tahun setelah ia meninggal dunia pada tahun 1831. Sebenarnya buku ini lenih menekankan filsafat perang dari taktik perang dan buku ini dianggap belum selesai dan mau ditinjau lagi. Buku ini telah terbit dalam bahasa Inggris. Lihat. Anatol Rapport (edited with an introduction), Clausewitz On War, Harmonworth, Middlex: Pegiun Books Ltd, 1971) 28 Benedict Anderson RO’G Anderson, Java in a Time Rovolution, (Ithaca: Cornell University Press, 1972), hal. 104. 29 Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945–1967 – Menuju Dwi Fungsi ABRI, (Jakarta: LP3ES, 1986), hal. 13–14. 30 H.M. Victor Mantondang, op.cit., hal. 71. 31 T.B. Simatupang, Laporan dari Banaran–pengalaman seorang prajurit selama perang kemerdekaan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1980). 27



Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



6



Peter Kasenda Lingkaran ini kemudian dikenal sebagai sarang Corps Opsir Aliran Muda, semacam kelompok pembaruan di masa modern sekarang ini.32 Mengkordinasikan antara pemikiran serta strategi Markas Tertinggi dengan Pemerintah, merupakan pekerjaan T.B. Simatupang, dan tentu saja ini bukan lah suatu hal yang mudah dilaksanakan apalagi setelah Pemerintah membuka perundingan dengan Belanda dan Inggris. Tugas ini membuat dia berada dalam posisi yang sulit, karena di satu sisi, apabila ia membela pendirian Markas Tertinggi MKT di Jakarta maka dia bisa dianggap keras, tetapi disisi yang lain, jika ia mengembangkan pengertian terhadap Kebijaksanaan Pemerintah di Yogyakarta, bisa jadi ia sering dikatakan bersikap lunak. Atas dasar tugas seperti ini menyebabkan ia terpaksa mondar-mandir antara Yogyakarta – Jakarta, dan ini ia jalankan sejak dari Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Amir Sjariffoedin dan kemudian Mohammad Hatta. Saat itu ia terlibat dalam pembicaraan mengenai persiapan-persiapan militer untuk serangan umum apabila perundingan gagal.33 Dalam soal strategi, ia juga ikut mengambil bagian dalam semua perundingan di bidang militer. Dimulai dari tahun 1945 sampai perundingan pada tahun 1949, kemudian Konperensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949, dan yang terakhir Pengakuan Kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949. Ketika kota Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia, diserang pada tanggal 19 Desember 1948 oleh Agresi Militer Belanda II, maka pasukan Angkatan Perang Republik Indonesia yang berada di kota tersebut meninggalkan untuk menghindari perang frontal. Hal ini sesuai dengan instruksi yang dikeluarkan oleh Panglima Besar Jendral Sudirman. T.B. Simatupang sendiri saat itu pergi tanpa membawa apa-apa, kecuali kemeja dan celana yang dikenakan, dan yang biasanya dipakai dalam perundingan dengan pihak Belanda atau saat pertemuan dalam Komisi Tiga Negara. Ranselnya yang berisikan pakaian, sikat gigi dan sabun telah dipersiapkan dari rumah, musnah bersama dengan mobil yang dikendarainya saat Agresi Militer Belanda II terus berlangsung. Di tepi Kali Progo, T.B. Simatupang dan rombongan tidur di rumah gardu untuk menunggu terbitnya pagi untuk dapat menyeberangi Kali Progo. Walaupun kondisi fisik sangat lelah, tetapi TB Simatupang tidak dapat segera tidur. Sebaliknya, ia mencoba merenungkan apa saja yang baru terjadi: Yogyakarta telah jatuh. Presiden, Wakil Presiden dan pemimpin-pemimpin besar kita yang lainnya telah tertawan. Akan tetapi apakah dengan itu Republik kita telah mati? Ada seorang penulis, kalau saya tidak salah Machievali, yang pernah kurang lebih berkata bahwa benteng terakhir dari negara adalah dalam hati prajurit–prajuritnya. Apakah Republik kita ini mati atau hidup sekarang memang terutama tergantung dari dalam hati perwiraperwira, Bintara-bintara, dan parjurit-prajurit TNI. Jawaban atas pertanyan ini akan diberikan oleh perkembangan pada hari-hari dan minggu yang akan datang. Dan nasib saya sendiri, Kolonel Tentara Nasional Indonesia , tergantung dari jawaban itu.34 Terlepas dari jawaban yang bisa diberikan, yang jelas T.B. Simatupang bersama rombongan harus berjalan kaki dari desa-desa yang lain untuk menghindari serbuan musuh sekali-sekali mencoba menyusun kembali kekuatan. Pada akhirnya, di dukuh Banaran, karena letaknya yang terpencil dan juga adanya hambatan-hambatan alamiah untuk dapat ke 32



A.H. Nasution,”Rekan Simatupang 70 Tahun,“ dalam Samuel Pardede (ed). Saya adalah Orang yang Berhutang - 70 Tahun Dr. T.B. Simatupang, (Jakarta: P.T. Media Interaksi Utama dan Sinar Harapan, 1990, hal. 36–43. 33 T.B. Simatupang, “Apa Arti Sutan Sjahrir …. Op. cit. 34 T.B. Simatupang, Laporan dari Banaran, op.cit, hal. 13. Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



7



Peter Kasenda sana dan diputuskan untuk dijadikan pangkalan gerilya. Dari pangkalan tersebut Kolonel T.B. Simatupang menjalankan tugasnya selaku Wakil KSAP II dalam mengkoordinasikan perlawanan melawan Belanda. Hubungan antara rombongan yang dipimpin oleh anak muda kelahiran Sidikalang itu dengan masyarakat setempat dalam mempertahankan eksistensi Republik Indonesia, dapat dikatakan berjalan sangat baik. Rakyat setempat selalu bersedia untuk mengantar atau mengambil surat ke tempat tertentu dan bahkan juga seringkali ikut jaga malam. Sementara itu Ali Budiardjo senantiasa memberikan nasehat-nasehat mengenai soal-soal yang tidak bersifat militer kepada T.B. Simatupang. Walaupun terjadi hubungan yang akrab dengan masyarakat dengan rombongannya T.B. Simatupang sendiri masih bertanya-tanya pada dirinya “Apakah kehadiran serta bantuan yang dilakukan oleh rombongannya mempunyai faedah untuk mengurangi keadaan keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat desa setempat.“ Disaat T.B. Simatupang beranjang sana kesana, 30 tahun kemudian, mengetahui bahwa pancuran tempat rombongan mandi tersebut disebut penduduk dengan nama Sendang Simatupang. Ini dapat diartikan bahwa rakyat Banaran masih merasakan adanya ikatan batin dengan tentara yang menggunakan wilayah tersebut sebagai basis perlawanan.TB Simatupang sendiri mencoba mengungkapkan ikatan batin dengan memberi judul Laporan dari Banaran, pada sebuah buku karangannya yang berisikan mengenai kisah pengalamannya sebagai prajurit selama perang kemerdekaan.35 Buku ini telah diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Belanda oleh penerbit berpengaruh di Amerika Serikat dan Belanda. Tetapi sementara itu TB Simatupang mengalamai kekcewaaan melihat dukuh Banaran saat ini, yakni dimasa yang disebut orang sebagai era Orde Baru. Ada semacam ironi dalam hidup rakyat di tempat-tempat seperti Banaran ini. Tempattempat ini dahulu telah dijadikan pangkalan gerilya oleh karena letaknya terpencil dan karena adanya hambatan-hambatan alamiah untuk mencapainya. Sekarang ini alasan-alasan itu pula yang menyebabkan bahwa tempat–tempat itu sukar untuk mengambil bagian. Oleh sebab itu, tempat–tempat yang dahulu paling banyak mengambil bagian berkorban untuk perjuangan, sering adalah tempat yang sekarang ini paling sedikit memperoleh manfaat dari pembangunan.36 Perang gerilya yang dilancarkan oleh pasukan Republik Indonesia semakin lama hanya menciptakan suasana neraka buat pasukan Belanda. Pada akhirnya kesemuanya itu memaksa Belanda untuk ikut dalam perundingan Konperensi Meja Bundar di Den Haag pada bulan Agustus l949. Lima belas hari sebelumnya peritiwa bersejarah itu terjadi, T.B. Simatupang melangsungkan pernikahan dengan gadis pilihannya yang bernama Sumiarti (adik Ali Budiardjo), yang senantiasa menemaninya dalam mengarungi kehidupan suka dan duka.Buah perkawinannya diberkati dengan lahirnya putra-putri mereka yang bernama Tagor,Toga, Aji dan Ida Apulia.37



35



Ibid., hal. 246. Ibid., hal. 249. 37 H.M. Victor Matondang, op.cit., hal. 78. 36



Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



8



Peter Kasenda



Sebagai KSAP Disaat Kepala Staf Angkatan Perang, Panglima Besar Jendral Sudirman, sedang menderita sakit yang cukup parah di Megelang, T.B. Simatupang diangkat sebagai pemangku jabatan (fungered) KSAP. Namun pada tanggal 29 Januari 1950, yakni saat Jendral Sudirman dipanggil menghadap Sang Pencipta, maka anak kedua dari delapan bersaudara itu itu diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dalam usianya yang ke 30 tahun. Sebagai KSAP, ia memimpin Gabungan Kepala Staf, yang terdiri dari KSAD Kol. A.H. Nasution, KSAL Kol. Subyakto dan Komdor Suriadhrama sebagai KSAU. Pangkatnya yang Semula adalah Kolonel dinaikkan dan kemudian menjadi Mayor Jendral.38 Pada masa permulaan sebagai KSAP, ia menghadapi masalah-masalah yang berkaitan dengan pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia. Serikat, yang merupakan salah salah satu hasil keputusan Konperensi Meja Bundar. TNI sendiri dalam proses pembentukannya telah dijadikan sebagai kekuatan inti, dan ini yang pada gilirannya telah menimbulkan masalah psikologis yang menegangkan. Di satu pihak, TNI berkeberatan bekerja sama dengan bekas musuhnya, sedangkan di pihal lain Koninklijke Nederlands Indische Leger menginginkan agar ditetapkan sebagai alat negara bagian dan sekaligus menentang masuknya TNI ke dalam negara bagian tersebut. Persoalan ini telah menyebabkan lahirnya peristiwa seperti Angkatan Perang Ratu Adil di bawah Kapten Wersterling yang menembaki setiap anggota TNI yang dijumpai ketika mereka memasuki kota Bandung .Terdapat kurang lebih dari 79 anggota TNI yang menjadi korban saat itu. Di Makasar, ada serangan terhadap TNI yang dilakukan oleh Kapten Andi Azis. Sementara itu, Maluku Selatan diproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan di bawah Dr. Soumukil bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur.39 Pada yang bersamaan, TNI juga harus berhadapan dengan Darul Islam di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Pengaruh DI ini meluas ke daerah Jawa Tengah, Sulawesi Selatan , Kalimantan Selatan dan Aceh.40 Pemberontakan DI tersebut kelihatannya menjadi dilemma buat T.B. Simatupang. Perdana Menteri pada saat itu adalah M. Natsir yang dikenal dengan tokoh Masyumi. Namun demikian, T.B. Simatupang dengan kapasitasnya sebagai KSAP mendapat penjelasan saat berbicara dengan pimpinan Masyumi, yakni bahwa sebenarnya dalam merealisasikan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat dan negara, Masyumi senantiasa mengambil jalan parlementer. Sebaliknya Darul Islam menggunakan jalur kekerasaan.41 Tahi Bonar Simatupang sebagai KSAP tidak menginginkan apa yang terjadi di negara-negara seperti Spanyol, Amerika Latin dan Kuo Min Tang di Cina menjadi kenyataan di sini. Ia melihat bahwa dari perjalanan kebanyakan negara-negara yang lahir dari perang gerilya selalu mengalami instabilitas yang berabad-abad. Atas dasar itu, ada obsesi T.B. Simatupang yang dikemukakan dalam kata-kata sebagia berikut:



38



Ibid, hal. 73. Saleh As’ad Djamhari, Ikhtisar Sejarah Perjuangan ABRI (1945 – Sekarang ), (Jakarta: Departemen Pertahanan & Keamanan – Pusat Sejarah ABRI, 1979), hal. 62–68. 40 P.van Dijk, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, (Jakarta: Grafitipers, 1983 ). 41 Panitia Buku Peringatan Mohammad Natsir/ Mohammad Roem 70 Tahun, Muhammad Natsir – 70 Tahun, Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan (Jakarta: Pustaka Antara, 1978), hal. 178–186. 39



Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



9



Peter Kasenda Janganlah ini terulang dalam sejarah di Indonesia, jangan orang-orang seperti saya ini dikatakan ikut memerdekakan Indonesia dari penjajahan, tapi meninggalkan Indonesia yang seterusnya hanya memperlihatkan rangkaian Coup dan Counter Coup yang tidak habishjabisnya. Dan saya katakan, ini berarti ada dua hal yang harus ada yakni, pimpinan politik yang stabil dan tentara di bawah payung pimpinan politik itu mereorganisir dirinya, melatih dirinya sehingga warisan dari perang gerilya itu, dapat lambat laun ditiadakan, sehingga tentu berarti tentara menjadi lebih profesional.42 Dengan alasan itulah, T.B. Simatupang sebagai KSAP kemudian mendatangkan tenaga profesional untuk melatih teknis kemiliteran tentara Indonesia. Digunakanlah Misi Militer Belanda (MMB) untuk tujuan tersebut dengan alasan-alasan antara lain: Pertama, kebanyakan diantara mereka mampu berbahasa Indonesia dan ada sejumlah tentara RI yang menguasai bahasa Belanda. Dengan demikian pekerjaan MMB dapat diselesaikan secepat mungkin, apabila tenaga terdidik tentara RI cukup; Kedua, menggunakan Misi Militer Belanda dapat diakhiri dengan tanpa menimbulkan kesulitan apa-apa. Tetapi rencana itu ternyata menimbulkan pendapat yang menentangnya dengan mengatakan, kalau pelajaran ilmu perang diberikan oleh tentara bekas musuh Republik, maka ini bisa membahayakan semangat tentara Republik. Pendapat semacam itu dianggap tidak berasalan, ia menunjuk kasus Tentara Merah yang belajar pada perwira Jerman, tetapi tidak kehilangan semangat revolusionernya.43 Masalah ini ternyata tidak berakhir sampi di situ saja. Terjadi perdebatan anatara Presiden Soekarno dengan Mayor Jendral TB Simatupang, Kol. A.H. Nasution dan juga Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Mereka berkunjung ke Istana Negara, meminta penjelasan dari Presiden Soekarno, setelah mendengar bahwa Presiden mendukung gerakan yang dilakukan oleh Bambang Supeno yang menentang profesionalisasi tentara dengan cara mendatangi sejumlah perwira yang bisa dimintai tanda tangan dan kemudian membuat suatu pernyataan yang setuju kalau Kolonel A.H. Nasution sebagai KSAD diganti.44 Perdebatan emosional tersebut diakhiri dengan perginya T.B. Simatupang tanpa bersalaman, sulitnya lagi ketika ia menutup pintu agak keras. Kejadian tersebut kelihatannya dianggap oleh Presiden Soekarno sebagai suatu penghinaan, walaupun T.B. Simatupang sendiri tidak bermaksud demikian. Sebaiknya, ia berpandangan bahwa selama ia masih menjadi KSAP tidak boleh ada kejadian semacam itu, di mana setiap tentara yang tidak menyetujui panglimannya, langsung membuat suatu pernyataan. Kejadian tersebut baginya, hanya akan mempersulit dalam membangun angkatan perang yang modern.45 Setelah meninggalkan Istana Negara, Mayor Jendral T.B. Simatupang dan Kol. A.H. Nasution berkeinginan untuk mengundurkan diri. Tetapi, berdasarkan saran dari berbagai pihak, niat itu diurungkan dengan maksud agar masalah tersebut dapat diselesaikan dengan baik. 46 Kemungkinan yang menyebabkan terjadinya perdebatan tersebut antara lain, karena adanya 42



H.M. Victor Matondang, hal. 20. T.B. Simatupang, Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hal. 129– 153. 44 T.B. Simatupang, “Bagaimana Seorang Sultan bisa berperan penting dalam Republik yang dilahirkan Revolusi Kerakyatan?,” dalam Atmakusumah (ed), Tahta Untuk Rakyat – Celah-celah Kehidupan Sultan, (Hamengku Buwono IX Jakarta: Gramedia, 1987), hal. 142–152. 45 Memoar T.B. Simatupang, loc. cit. 46 T.B. Simatupang, “Bagaimana Seorang Sultan …op.cit. 43



Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



10



Peter Kasenda “perbedaan pandangan“ di antara kedua belah pihak, atau bisa juga T.B. Simatupang kurang “halus“ caranya ketika mengungkapkan permasalahannya kepada Presiden Soekarno.47 Dan yang belakang ini bisa jadi karena usia T.B. Simatupang masih terlalu mudah sehingga kurang mempunyai kemampuan untuk menjelaskan dengan baik. Soalnya ada orang lain yang mengungkapkan permasalahan versi Simatupang kepada Soekarno, dan ternyata diterima dengan baik.48 Namun satu hal yang jelas, bahwa Presiden Soekarno memang sejak lama tidak menyukainya. Pernah suatu hari T.B. Simatupang meminta kepada Presiden Soekarno untuk ada baiknya, tidak menggunakan seragam militer, dan kelihatannya Soekarno kurang berkenan dan marah atas permintaan tersebut. Sebenarnya maksud T.B. Simatupang adalah baik, yakni adanya keinginan untuk menunjukkan bahwa kekuasaan sipil berada di atas militer; Bung Karno, saya sebagai Kepala Staf Angkatan Perang memakai uniform dan memberi hormat kepada Bung Karno yang tdak memakai uniform sehingga dengan demikian masyarakat melihat bukan yang memakai uniform itu tinggi, tapi justru yang tidak pakai uniform.49



Hasil dari pertemuan yang mengakibatkan perdebatan yang menegangkan itu, Kol. A.H. Nasution, sebagai KSAD, membebastugaskan Kol. Bambang Supeno, seorang bekas Opsir PETA Jawa Timur dan masih mempunyai hubungan keluarga jauh dengan Presiden Soekarno. Kolonel Bambang Supeno ini pernah menjadi Komandan Akademi Chandradimuka di Bandung yang memiliki fungsi untuk membina indokstrinasi korps perwira tinggi. Akademi ini dikemudian hari dibubarkan dan diganti dengan mendirikan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat.50 Peristiwa ini, beberapa minggu kemudian menjadi agenda pembicaraan di Parlemen.



Bebas Tugas Kecaman-kecaman bermunculan dalam Parlemen dan ditujukan terhadap Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Kepala Staf Angkatan Perang Mayor Jendral T.B. Simatupang dan KSAD A.H. Nasution. Kecaman-kecaman tersebut antara lain menyangkut soal penanganan keadaan Perang Darurat, perlakukan atas diri Bambang Soepeno yang dilakukan atasannya, penciutan jumlah anggota militer dari 200.000 menjadi hanya 80.000 prajurit saja. Kemudian soal yang lain adalah masalah campur tangan militer dalam masalah pembentukan kabinet, Misi Militer Belanda yang dianggap pro Barat dan juga penganakemasan tentara bekas KNIL serta penyudutan personil bekas PETA dan Laskar. Puncak dari itu semua adalah, diakhirinya munculnya Mosi tidak percaya kepada Pemerintah yang berkaitan dengan masalah Angkatan Perang yang antara lain berkisar pada peninjauan kembali struktur organisasi Kementerian Pertahanan, Misi Militer Belanda dan Undang-Undang Pokok Pertahanan, mutasi pimpinan Angkatan Perang dan Kementerian Negara. Ada tiga mosi yang diajukan kepada Pemerintah ssat itu, yakni Mosi Zainul Baharuddin dan Ir. Sakirman (PKI), Mosi IJ Kasimo (Katolik) dan M. Natsir (Masyumi), dan Manai Sophian (PNI). Mosi yang disebut terakhir ini (salah satu isinya adalah mendesak kepada Pemerintah agar segera mengakhiri penggunaan Misi Militer Belanda), pada akhirnya 47



H.M. Victor Matondang, op.cit., hal.75. Memoar T.B. Simatupang, loc. cit. 49 H.M. Victor Matondang, op.cit., hal. 34. 50 Ulf Sundhaussen, op.cit., hal. 114. 48



Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



11



Peter Kasenda memenangkan pemungutan suara dengan perbandingan suara 91 lawan 54 suara.51 Keesokan harinya, 17 Otober 1952, muncul massa rakyat yang terdiri dari 30.000 orang yang untuk beberapa saat menduduki gedung Parlemen, berdemontrasi di depan Istana Presiden dan kemudian menuntut dibubarkannya Parlemen yang dianggap tidak mewakili aspirasi rakyat serta selekasnya menyelenggarakan Pemilihan Umum. Setelah diadakan pertemuan dengan sejumlah perwira yang berada di balik gerakan itu, Presiden Soekarno berbicara di hadapan massa rakyat yang berdemontrasi tersebut. Ia menjelaskan kalau setuju bahwa Pemilihan Umum harus dilaksanakan secepat mungkin dan untuk itu diperlukan persiapan menuju ke arah itu. Tetapi ia tidak sependapat kalau kekuasaan legislatif diserahkan kepada kekuasaan eksekutif, karena keinginan itu hanya akan menjadikan dirinya sebagai diktaktor dan itu juga diangap tidak sesuai dengan ideologi negara. Pada akhirnya, Sokarno lalu memerintahkan massa rakyat agar membubarkan diri.52 Peristiwa ini pada gilirannya menimbulkan berbagai penafsiran. Ada yang menyebutkan bahwa peristiwa 17 Oktober 1952 ini merupakan suatu usaha kudeta militer sebagaimana yang dikatakan oleh Herbert Feith, ahli politik berkebangsaan Australia.53 Yang berpikiran sebaliknya bahwa itu bukanlah suatu kudeta militer adalah Perdana Menteri Wilopo, KSAP, Mayor Jendral TB Simatupang dan Kol.AH Nasution.54 Tetapi yang jelas, kegagalan aksi 17 Oktober 1952 disebabkan adanya perbedaan di kalangan TNI sendiri.55 Suatu hal yang pasti, peristiwa 17 Oktober 1952 itu sendiri secara langsung telah merugikan posisi T.B Simatupang. Ada suara-suara yang menyatakan bahwa untuk menyelesaikan kejadian terseburt, Presiden Soekarno agar KSAP T.B. Simatupang dibebas tugaskan saja. Perdana Menteri Wilopo sendiri sebetulnya kurang berkenan dengan kemauan itu. Baginya, bukan KSAP yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut, melainkan pimpinan AD yang bertanggung jawab. Untuk itu ,perlu adanya tindakan adiministratif dan disiplin untuk menggantikan KSAD,WKSAD dan Kepala CPM. Akhirnya diadakan pertemuan khusus antara Presiden dengan Wilopo, yang disaksikan oleh Wakil Presiden Moh. Hatta. Dalam pertemuan itu, Wilopo menjelaskan bahwa presiden sebagai Panglima Tertinggi langsung berdiri atas Kepala Staf AP tanpa perantara.56 (56) Rancangan itu tentu saja disambut dengan baik oleh Presiden yang memang tak menyukai lagi T.B. simatupang sebagai KSAP. Tidak lama kemudian pada akhirnya kabinet Wilopo pun jatuh dan digantikan oleh kabinet Ali Sastroamidjojo I. Iwa Kusumasumantri dianggkat sebagai Menteri Pertahanan. Menurut Iwa Kusumasumantri, adanya lembaga KSAP dianggap sebagai sesuatu yang birokratis. Selanjutnya ia menganggap bahwa seharusnya setiap Kepala Staf Angkatan dapat menghubungi langsung Menteri Pertahanannya, dan untuk itu maka jabatan Kepala Staf Angkatan Perang ditiadakan dan akibatnya Mayor Jendral 51



Ibid., hal. 116–118. Ibid, hal. 123–124 dan John D. Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hal. 294. 53 Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, (Ithaca: N.Y: Cornell Univesity Press, 1962), hal. 225–302. 54 T.B. Simatupang, “Bagaimana Seorang Sultan …op.cit.; Memoar A.H. Nasution, loc. cit. dan Memoar T.B. Simatupang, loc. cit. 55 Guy J. Pauker,”The Role of The Military in Indonesia,“ dalam John J. Johnson (ed), The Role of The Military in Underdeveloped Countries, (Princenton New Jersey: Princenton University Press, 1976), hal. 208–209. 56 Soebagijo IN, Wilopo, “Negarawan yang Jatmika dan Bersahaja,“ Prisma, No. 4, April 1987, hal. 72–88. 52



Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



12



Peter Kasenda dibebastugaskan sebagai KSAP pada tanggal 4 November 1953.57 Tiga bulan kemudian Fraksi Masyumi melalui Burhanuddin Harahap mengajukan mosi minta agar keputusan itu dibatalkan saja. Mosi ini gugur karena kalah dalam pemungutsan suara di Parlemen. Setelah ia menolak tawaran menjadi Dutabesar, T.B. Simatupang dijadikan Penasehat Militer. Nasehatnya tidak pernah diminta dan kejadian itu menjadi jelas baginya, bahwa hanya soal waktu baginya harus mengakhiri pengabdiannya sebagai TNI. Sebelum kejadian itu menjadi kenyataan, ia merampungkan sumbangan dalam bidang kader dan doktrin, yang dianggapnya mempunyai arti penting bagi perkembangan TNI selanjutnya. Untuk itu selama beberapa tahun ia memberi pelajaran pada Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat serta Akademi Hukum Militer.58 Pada awalnya diperkenankan mengajar, namun kemudian diberhentikan. Ia dianggap telah melakukan kesalahan yaitu ketika mengajar di SSKAD, T.B. Simatupang mengatakan bahwa kita sekarang (ketika itu) membicarakan rezim Franco, tetapi beberapa kali terselip kata-kata – Rezim Soekarno. Kejadian itu rupanya dicatat.59 Dan akhirnya pada tanggal 21 Juli 1959, dalam usia 39 tahun, ia memperoleh keputusan secara resmi bahwa ia harus mengakhiri masa tugasnya sebagai tentara dengan pangkat Letnan Jendral. Sebenarnya T.B. Simatupang ingin menyumbangkan lebih banyak lagi kepada Tentara Nasional Indonesia, tetapi apa mau dikata kalau keadaan politik sudah tidak menginginkan lagi kehadirannya dalam lingkungan TNI. Kejadian itu membekas di dalam kalbunya, dan T.B. Simatupang menyatakan kegetirannya: Saya kira tidak ada yang lebih muda dari saya di dunia ini diantara jendral-jendral purnawirawan. Saya kira tidak ada itu. Saya menjadi purnawirawan dalam usia 39 tahun. Umumnya orang menjadi jendral sesudah 40 tahun. Nah oleh sebab itu, memang walaupun begitu, tentu saya coba memberikan sumbangan dalam tahun-tahun yang akan datang.60



Ketika T.B. Simatupang dipensiunkan sebagai tentara, terdapat sejumlah pemberontakan daerah yang terjadi pada saat ini belum dapat diselesaikan secara tuntas. Adanya perjuangan daerah, T.B. Simatupang bisa memahaminya. Walaupun dia sendiri kurang berkenan dengan kejadian diatas. Alasannya kejadian diatas hanya membuat Indonesia menjadi terpecah –pecah saja. Dan sebaliknya apabila pemberontakan itu gagal , dianggap hanya mengakibatkan kekuatan pusat dan pengaruh komunis justru semakin kuat saja. Di mata T.B. Simatupang ikut bagian dalam usaha Jakarta mematahkan perjuangan daerah, sama saja dengan kemunafikan. Keberadaannya dalam situasi antara pemberontakan dan kemunafikan membuat T.B. Simatupang memilih untuk menerima tawaran bekerja buat. Dewan-Dewan Gereja di Indonesia guna memberikan sumbangan pikiran yang berhubungan dengan kehadiran Gereja di tengah revolusi.61 Masalah teologi menjadi perhatiannya, selain masalah perang dan revolusi yang dipelajari semenjak penduduk Jepang, setelah dia tergusur dari jabatannya sebagai KSAP, yang memberi begitu banyak waktu untuk mempelajari apa 57



Roel Sonre, “Iwa Kusumasumantri: Upaya Menertibkan Tentara,“ Prisma, No. 5, 1987, hal. 72–88. Dan yang dimaksudkan dengan bebas tugas pada waktu itu adalah jabatan KSAP dibekukan melalui peraturan pemerintahan (PP 35) dan sesudah itu menghapuskannya melalui UU Pertahanan Negara (UU No. 29 Tahun 1954). Kesemuanya itu terjadi dibawah Kabinet Ali Sastroamidjojo I. 58 Presiden Soeharto adalah lulusan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat dan Wakil Presiden Soedharmono adalah lulusan Akademi Hukum Militer. 59 H.M. Victor Matondang, op.cit ., hal. 36. 60 Ibid., hal. 3–4. 61 Ibid, hal. 79–80. Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



13



Peter Kasenda yang disukainya. Teologi menarik perhatian T.B. Simatupang, karena dia bisa melihat masalah-masalah lama yang mana dia terlibat sejak tahun 1945, seperti kemerdekaan, ketertiban, keamanan, kebebasan, keadilan dan seterusnya, dalam dimensi teologi. Masalah yang menjadi perhatiannya T.B. Simatupang bisa dipahami secara.lebih mendasar, realistis dan berpengharapan yang lebih besar. Bagi T.B. Simatupang studi teologi itu sangat luas dan hampir tdak ada batasnya, sehingga dapat terus mempelajari teologi itu seumur hidup. T.B. Simatupang yang mengagumi Karl Barth mengakui bahwa Reinhold Niebuhr, teolog Amerika yang dianggap telah banyak membantu melihat masalah masalah yang selama ini telah menjadi perhatiannya secara lebih realisti dan berpengharapan dalam perspektif Iman Kristen.62 Di tengah-tengah suasana yang menuntut kesedian tanpa reserve kepada Revolusi dan Pemimpin Besar Revolusi, kehadiran Gereja sangat diharapkan untuk memberi kesaksian agar kehidupan bisa terjaga. Masalah memahami tugas panggilan Gereja di tengah Revolusi, merupakan tugas T.B. Simatupang, setelah dia ambil bagian dalam pekerjaan Dewan GerejaGeraja di Indonesia. Peranan apa yang harus dilakukan dinyatakan secara dalam sebuah ceramah di depan Sidang Raya V DGI pada tahun 1964 dengan judul “Tugas Kristen dalam Revolusi. T.B. Simatupang menyatakan ada baiknya kalau Gereja-gereja berpartisipasi dalam Revolusi dalam terang Injil secara kreatif, positif dan dan realistis dan partisipasinya dalam kehidupan Gereja-gereja di Indonesia dalam keyakinan bahwa masa depan Indonesia akan jauh lebih baik kalau ada partisipasi dari lembaga agama manapun dibandingkan tanpa ada partisipasi.63 Di kalangan Protestan di Indonesia, T.B. Simatupang di kenal sebagai orang yang memulai tradisi baru yang bertolak dari perhatian yang besar terhadap relasi antara Gereja dengan Masyarakat di Indonesia.Sebenarnya T.B. Simatupang hanya melanjutkan suatu tradisi “teologi kritis“ yang telah dirintis oleh Karl Barth. Pada akhir tahun 1950-an, T.B. Simatupang, Verkuyl, Latuihamallo, Yap Thiam Hien dan lain-lain, sebenarnya bisa disebut sebagai orang-orang yang telah berusaha meletakkan dasar pemikiran etika untuk mengekspresikan keprihatinan geraja kepada persoalan masyarakat yang mana masalah tersebut selama itu dianggap seakan-akan sudah ada dan jelas. Kenyataan sebenarnya adalah suatu “kevakuman“.64 Dan berangkat dari situlah nantinya T.B. Simatupang menyadarkan tentang betapa pentingnya perlunya dialog antar umat beragama. Percakapan dan kerjasama mengenai tugas bersama dalam mensukseskan pembangunan agaknya merupakan tempat bertemu yang lebih baik. Yang pada suatu ketika dapat membawa pada percakapan mengenai keyakinan untuk memperjuangkan keadilan dan membela martabat serta hak-hak manusia.65



62



T.B. Simatupang,, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos – Menelusuri Makna Pengamalan Seorang Prajurit Geneasi Pembebas Bagi Masa Depan Masyarakat, Bangsa dan Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), hal. 187–188. 63 HM Victor Matondang, hal. 79–80. 64 Th Sumartana , “Tragedi “ Hanacaraka “ dan Kebutuhan Berdialog“ (Renungan Menyambut Ulang Tahun Ke-70 Pak Sim), dalam Samuel Pardede (ed), Saya Adalah orang yang Berhutang - 70 Tahun Dr. TB Simatupang), (Jakarta: Media Interkasi Utama dan Sinar Harapan, 1990), hal. 305–318. 65 T.B. Simatupang, Dari Revolusi Ke Pembangunan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Patenta Sejati, 1987), hal. 152. Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



14



Peter Kasenda Berkat ketekunan dalam bekerja dan dedikasinya serta kecemerlangan otak mengantarkan T.B. Simatupang kepada jabatan sebagai Ketua Dewan-Dewan Gereja di Indonesia, Ketua Dewan-Dewan Gereja Se-Asia dan menjadi salah satu Presiden mewakili benua Asia dari Dewan-Dewan Gereja Se-Duni. Di tengah pergumulan Imannya, T.B. Simatupang menyaksikan sejumlah gereja mengalami inflitrasi dari unsur-unsur PKI. Orangorang Kristen yang menerima paham Komunisme dan mencoba merebut kedudukan dalam gereja-gereja yang bersangkutan sehingga menyebabkan sejumlah gereja mengeluarkan pernyataan mengenai komunisme dilihat dari Iman Kristen. Setelah Peristiwa G-30-S/PKI T.B. Simatupang melalui gereja merasa terpanggil untuk memberi sumbangan pikiran agar secepatnya hukum dan ketertiban umum dapat dipulihkan kembali dengan menghentikan bunuh-membunuh yang tidak mengenal hukum, yang telah terjadi selama meluasnya emosiemosi. Gereja pun kemudian menjalankan tugas panggilannya dengan berusaha supaya orang-orang yang tersangkut Peristiwa G-30-S/PKI diperlakukan sebaik-baiknya dan memperoleh kesempatan untuk hidup baru.66 Dalam pemerintahan Soeharto, Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) telah mengadakan empat kali Konperensi Gereja dan Masyrakat sebagai sumbangan pikiran untuk ikut mengusahakan agar Orde Baru tidak mengalami kegagalan seperti dahulu Orde Lama. Konperensi Gereja dan Masyarakat pertama dalam Orde Baru diadakan di Salatiga dalam tahun 1967 dengan judul “Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masyarakat“. Tujuan judul itu pada dasarnya ialah upaya untuk mengembangkan sumbangan pikiran untuk ikut memahami hakikat Orde Baru agar pembaharuan masyarakat yang menjadi tujuan dari Orde Baru itu menjadi pembaharuan yang sangat kreatif, yang membuka era yang baru bagi Indonesia. Konperesi Gereja dan Masyarakat kedua berlangsung di Klender tahun 1976 dengan judul “Melihat tanda-tanda zaman“. Konperensi Gereja dan Masyarakat yang kedua mempunyai dampak yang cukup langsung dalam kehidupan masyarakat. bangsa dan negara oleh karena pada Konperensi Gereja dan Masyarakat itulah dicetuskan gagasan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila Menuju Tinggal Landas. Pemikiran itu didorong atas kenyataan jatuhnya Saigon ke tangan Komunis dan tergulingnya Syah Reza Pahlevi oleh suatu revolusi. Kenyataan itu memperlihatkan sebuah ideologi yang kuat diperlukan dalam pembangunan. Pemerintahan Saigon dan Syah Iran tidak didasarkan pada ideologi yang kuat sehingga gampang ditumbangkan oleh pihak yang mempunyai ideologi yang kuat. Konperensi Gereja dan Masyarakat ketiga diadakan di Kuta (Bali) dengan judul ”Harapan dan Keprihatinan, Panggilan Gereja Memasuki Akhir Abad ke-20“. Judul ini dipilih oleh karena dilihat adanya permulaan gejala-gejala prihatin yang makin meluas mengenai pembangunan yang kita jalankan, sedangkan pada satu pihak mulai terdapat gelaja-gejala yang hendak mensakralisasikan Pancasila dan pada pihak lain gejala-gejala yang bersikap sinis terhadap Pancasila. Melalui konperensi ini diharapkan bisa menyusun gagasan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila menuju tinggal landas secara lengkap, menyeluruh dan sistimatis sehingga dua kecenderungan yang negatif tersebut bisa diatasi Konperensi itupun mempersiapkan pasal-pasal yang akan dimasukan dalam Sidang Raya DGI 1984 (yang kemudian berganti nama Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), mengenai penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menurut T.B. Simatupang, Penerimaan Pancasila ternyata menimbulkan kesan 66



T.B. Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, op.cit., hal. 295–309.



Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



15



Peter Kasenda alot dalam sikap DGI hanya disebabkan kesalahan pahaman belaka Sejak Sidang Raya DGI/PGI 1984 upaya pemikiran di bidang gereja dan masyarakat itu telah dilembagakan dalam bentuk Akademi Kristen Johanes Leimena. Konperensi Gereja dan Masyarakat yanng terakhir diikuti oleh T.B. Simatupang dilangsungkan di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor pada tahun 1989, yang bertujuan untuk menempatkan kesuluruhan pemikiran mengenai pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila menuju tinggal landas itu dalam konteks tugas bersama umat manusia di waktu yang akan datang menjelang akhir abad ke 21 untuk mencapai keadaan baru di dunia berdasarkan keutuhan ciptaan, keadilan dan perdamaian. Sebagai penggembala umat, T.B. Simatupang dihadapkan pada persoalan-persoalan. Untuk mengatasi ketegangan antar umat beragama (yang diawali dengan jumlah umat Kristen yang bertambah dengan pesat) diselenggarakan Musyawarah Antar Umat Beragama di Jakarta pada tahun 1967. Musyawarah yang diwarnai dengan pembicaraan-pembicaraan penuh emosi yang mendalam dan luas, ternyata menemukan titik terang dengan mengakui adanya unsur-unsur yang hakiki dari agama Islam dan Kristen yang tidak dapat dihilangkan atau ditunda, tetapi yang dapat dijalankan ialah membicarakan cara-cara yang wajar bagi pelaksanaan Dakwah dan Misi itu sesuai dengan kemanusian yang adil dan beradab. Ketika dikeluarkan SK Menteri Agama No. 70 Tahun 1978 Tentang Pedoman Penyiaran Agama dan SK Menteri Agama No. 77 Tahun 1978 Tentang Bantuan Luar Negeri Kepada lembaga Keagamaan Di Indonesia, DGI dan MAWI merasa keberatan dengan SK Menteri Agama tersebut karena dikeluarkan tanpa melalui musyawarah dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Menurut T.B.Simatupang SK-SK Menteri Agama sebagai akibat ada kelemahan secara stuktural yang mendasar pada Departemen Agama dan belum adanya Undang-Undang Pokok Kebebasan Beragama. Ketika Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang sedang dipersiapkan yang akan menentukan bahwa tiap perkawinan sah apabila dilaksanakan sesuai hukum perkawinan menurut agama yang bersangkutan. DGI menganggap rancangan tersebut akan menimbulkan kevakuman hukum bagi golongan Kristen Protestan di Indonesia. Jalan pasti ada ujung. DGI menemukan jalan keluar dengan menentukan bahwa yang dimaksud hukum agama bagi Kristen Prostestan bukan hukum agama yang mengatur perkawinan, tetapi hukum yang berlaku dalam pengaturan perkawinan bagi golongan Kristen Protestan di Indonesia. T.B. Simatupang turut serta dalam membawa Sidang Raya Dewan Gereja-Gereja Sedunia V pada tahun 1975 di Jakarta agar bisa memperoleh kesempatan berkenalan dengan dunia Islam. Sidang Raya ini mendapat restu dari Presiden Soeharto dan dalam masa persiapan terdapat sejumlah kendala yang menghadang. Golongan Progresif di Eropah Barat dan dunia Barat umumnya menyatakan bahwa penyelenggaraan Sidang Raya di Jakarta hanya akan memperkuat kedudukan pemerintahan Soeharto, yang dianggap telah menjalankan tekanan pada rakyat dan penindasan terhadap golongan progresif. Ketika itu terdengar kabar akan adanya demontrasi-demonstrasi yang berpusat di Medjid-mesjid dan akan menemuhi perserta Sidang Raya di tempat sidang atau penginapan mereka. Kenyataan itu menyebabkan T.B. Simatupang mengambil inisiatip untuk mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Islam di kediaman Mohammad Roem. Dalam pertemuan yang berlangsung penuh dengan suasana keakraban. KH Masykur mengibaratkan apa yang terjadi adalah kemarahan seorang anak terhadap ayahnya tetapi dilampiaskan pada adiknya. T.B. Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



16



Peter Kasenda Simatupang menafsirkan bahwa gerakan itu sebenarnya ditujukan kepada pemerintah Soeharto tetapi yang memperoleh getah pihak DGI. Dr. Rasyidi menyatakan bahwa tulisantulisan T.B. Simatupang yang dimaksudkan untuk menjelaskan kepada masyarakat Indonesia pada umumnya dan khusus kepada masyarakat Kristen apa artinya Sidang Raya Dewan Gereja-gereja Sedunia telah menimbulkan reaksi yang luas di kalangan dunia Islam yang menimbulkan bayangan-bayangan mengenai kristenisasi. Dan oleh sebab itu Dr. Rasyidi merasa terpanggil untuk mengeluarkan juga brosur. Situasi semacam ini tentu jauh dari harapan Presiden Soeharto yang menginginkan agar para peserta Sidang Raya akan menikmati kegotongroyongan dan jiwa Pancasila dari rakyat Indonesia dan dari semua agama Jalan yang panjang menuju Sidang Raya V akhirnya tiba kepada kegagalan.T.B. Simatupang memandang mencegah gerakan menentang datangnya Sidang Raya V di Jakarta berada di luar kemampuan gereja. Dengan kejadian ini T.B. Simatupang menjadi terhibur dengan kata-kata yang dipelajari dari Irish Republican Army “It is better to have fought and lost than never to have fought at all.“67



Tulisan-tulisan Awal Sebenarnya pada saat dia menjabat sebagai KSAP RI, kendati jabatannya dibekukan. T.B. Simatupang menulis buku dengan judul “Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai (1954). Beberapa di antara bahan kuliah yang diajarkan oleh T.B. Simatupang pada Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat serta Akademi Hukum Militer yang berisikan perkembangan ilmu militer di Indonesia dijadikan buku dengan judul, “Soal-soal Politik Militer di Indonesia, Pengantar Perang di Indonesia dan Pengantar Militer Umum, yang diterbitkan semasa aktif dalam tentara. T.B. Simatupang juga menerbitkan sebuah buku dengan judul “Pemerintah – Masyarakat dan Angkatan Perang (1960), yang merupakan kumpulan pidato dan maupun karangannya yang telah dimuat dalam majalah resmi Kementerian Pertahanan Yudhagama dan disiarkan oleh Indonesian Press Service. Pengalamannya dalam mempertahankan kemerdekaan Republik sejak ibukota RI Yogyakarta jatuh hingga pengakuan kedaulatan di tulis dalam sebuah buku dengan judul Laporan dari Banaran, sebuah tempat di mana T.B. Simatupang bermarkas selama perang gerilya. T.B. Simatupang menyatakan maksud dari penulisan persoalan-persoalam milter tersebut dengan kata-kata: Saya menulis buku-buku dan karangan-karangan tesebut, sedikit banyak sebagai usaha untuk membulatkan (afronden) sumbangan kepada pemikiran politik militer di Indonesia. Itu berarti merenungkan pengalaman di waktu yang lalu dan sekaligus mencoba menggariskan pokok-pokok pikiran menghadapi masa depan. Buku-buku dan karangan tadi, saya tulis semacam surat wasiat seorang bekas Kepala Staf Angkatan Perang untuk generasi TNI yang akan melanjutkan perjuangan generasi pelopor di mana saya temasuk.68



T.B. Simatupang menjelaskan bahwa Angkatan Perang diperlukan hadir di tengahtengah negara selama perdamaian yang abadi di dunia belum tercapai dan selama terdapat ancaman dari luar negeri.69 Angkatan Perang adalah alat teknis di dalam tangan negara untuk membela kepentingan-kepentingan negara terhadap bahaya-bahaya dari luar dan pada tingkat 67



Ibid., hal 230 – 238 . Dari Revolusi Ke Pembangunan T.B. Simatupang,op.cit., hal. 382–394. 69 T.B. Simatupang, Pemerintah – Masyarakat – Angkatan Perang, (Jakarta, PT Indita, 1960), hal. 37. 68



Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



17



Peter Kasenda terakhir menghadapi bahaya-bahaya dari dalam.70 Sebagai konsekwensinya, masalah pembanguan dan pemeliharan Angkatan Perang harus menjadi perhatian. Memelihara Angkatan Perang dalam negara demokratis ternyata menimbulkan kekuatiran bahwa suatu ketika dapat membuka bagi timbulnya suatu kediktaktoran militer. Kekuatiran ttu bisa berkurang kalau dasar-dasar demokrasi tertanam semakin kuat di dalam suatu negara. Kendati pun demikian, T.B. Simatupang menganggap munculnya kekuatiran itu bisa terjadi bagaimana pun lamanya tradisi demokrasi itu berakar dalam suatu negara. Dalam meredam kekuatiran itu diperlukan Undang-undang yang menjelaskan bahwa kekuasaan politik lebih tinggi ketimbang kekuasaan militer.71 Sejarah Pemerintahan militer, sebagaimana yang terjadi di Amerika Latin dan Kuo Min Tang, tidak menimbulkan rasa optimis mengenai kemampuan pemerintahan militer untuk membawa suatu negara terbelakang menjadi lebih maju. T.B. Simatupang menjelaskan hal itu terjadi karena tidak mampu menghindari ekses-ekses seperti terjadinya korupsi. Pemerintahan militer belum mampu memperlihatkan bukti membawa kemajuan-kemajuan dalam bidang ekonomis, sosial dan kebudayaan.72 Karena Angkatan Perang harus mengeluarkan biaya yang tidak seimbang guna mempertahankan dan melindungi kedudukannya. Meskipun demikian T.B. Simatupang mengakui bahwa kejadian diatas itu bukan berarti pemerintahan militer ditakdirkan menjadi gagal. Bisa saja terdapat pemerintahan militer yang membawa kemajuan tetapi sampai saat ini belum ada bukti-bukti yang mendukung. Seandainya Kemal Attarturk dianggap sebagai contoh. Sebenarnya kekuasaan Kemal Attarturk itu belum dianggap T.B.Simatupang sebagai pemerintahan militer pada umumnya.73 Menurut T.B. Simatupang, ada tiga hal yang menyebabkan munculnya kediktaktoran militer. (1) terdapat simpati di kalangan perwira terhadap pemerintahan yang otokratis, sehingga mereka akan mempergunakan setiap kelemahan dari pemerintahan yang demokratis untuk mengadakan kekuasaan yang otokratis; (2) situasi yang menyebabkan selama bertahun-tahun harus memelihara AP yang kuat, sebenarnya dapat saja menyebabkan pergeseran kekuasaan sipil ke arah militer dan (3) situasi yang menyebabkan kemunduran dan mengarah pada disintegrasi.74 T.B. Simatupang juga menawarkan cara-cara menghindari kediktaktoran militer. (1) ada tradisi yang mengutamakan perkembangan militer yang sehat dalam suatu tatanan negara demokratis pada Angkatan Perang umumnya dan khususnya para perwira-perwira; (2) Ada suatu cara untuk memberikan kesempatan kepada AP untuk mencapai kesempurnaan dan kekuataan semaksimal mungkin sesuai dengan aturan dalam tatanan negara yang demokratis dan (3) perlunya bukti kalau demokrasi mampu memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh negara dan masyarakat pada tahun-tahun mendatang.75 70



T.B. Simatupang, Pelopor dalam Damai, Pelopor dalam Perang, op.cit., hal. 173. Ibid, hal. 161. 72 Ada studi yang memperlihatkan bahwa pemerintahan militerlebih berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomo ketimbang sipil. Lihat. R. Neal Tannahil, “Pemerintah Sipil dan Militer di Amerika Latin, antara tahun 1848–1967,“ dalam Yahya A. Muhaimin dan Colin MacAndrews (ed), Masalah-masalah Pembangunan Politik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981), hal. 199–212. 73 T.B. Simatupang, Pengantar Ilmu Perang di Indonesia, (Jakarta: PT Kinta, 1968), hal. 7. 74 T.B. Simatupang, Pelopor …., ibid. 75 Ibid, hal. 165. 71



Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



18



Peter Kasenda



Untuk membangun Angkatan Perang yang modern diperlukan dua prasyarat (1) tergantung dari keahlian tenaga-tenaga kita. Untuk itu diperlukan banyak belajar dan sedalam mungkin dari siapapun juga. Belajar dari pengalaman-pengalaman kita dan pengalaman umat manusia sepanjang sejarah dalam dunia milter, yang mana telah menghasilkan ilmu militer dan (2) tergantung pada perkembangan ilmu pengetahuan, perekonomian serta industri. Tanpa ada kemajuan, membangun Angkatan Perang yang modern hanya merupakan impian belaka.TB.Simatupang menganggap bahwa membangun Angkatan Perang yang modern itu tidak bisa dipaksakan dan kalau terjadi T.B. Simatupang mengibaratkan tentara terapungapung di udara. Modernisasi tentara tidak bersamaan dengan modernisasi yang tejadi di masyarakat berarti tentara tidak mempunyai akar di dalam masyarakat. Modernisasi masyarakat merupakan suatu prasyarat yang mutlak menuju ke arah tentara yang modern. dan kuat.76 Mengenai hubungan antara tentara, masyarakat dan modernisasi, ada yang mengganjal dalam hati TB. Simatupang. Dia mempertanyakan, Apakah tentara menjadi faktor aktif atau pasif dalam modernisasi masyarakat? Menurut T.B. Simatupang bahwa pertanyaan itu seharusnya masyarakat sendiri yang bisa memberikan jawabannya. Seandainya masyarakat menyetujui bahwa tentara sebaiknya berperan aktif dalam memodernisasikan masyarakat.77 T.B.Simatupang menganggap perlunya pembekalan dengan pendidikan yang berguna, agar sesudah pensiun bisa menjadi warga negara yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Pelajaran yang perlu diberikan berhubungan dengan kepentingan bagi pembangunan desa serta memberikan kesadaran generasi muda desa agar bertingkah laku sebagai warga negara yang baik. Hal ini pun berlaku terhadap sejumlah tenaga-tenaga yang terdapat dalam Angkatan Perang yang (mengabdikan diri pada Republik untuk mengeyahkan Belanda dari bumi pertiwi tanpa melalui seleksi ) dan belum mencapai usia pensiun tetapi harus kembali kepada masyarakat setiap tahunnya dalam rangka profesionalisme tentara.78 Peranan aktif tentara dalam memodernisasikan masyarakat berarti sumbangan tentara pada pembangunan yang terutama diarahkan kepada masyarakat desa, baik itu tentara yang mencapai masa pensiun ataupun yang harus menerima pensiun. Selain itu Wajib Militer dianggapnya merupakan alat yang ampuh untuk mencapai tujuan diatas dengan jalan memberi kesadaran kepada pemuda-pemuda yang mengikuti wajib militer akan tugasnya sebagai warga negara.79 Angkatan Perang masuk desa dianggap sebagai suatu usaha utuk mendekatkan diri tenaga dengan masyarakat sehingga rakyat merasa memiliki Angkatan Perang. Pemikiran T.B. Simatupang ini bertolak dari pengalaman ketika RI menghadapi Belanda dalam Perang Kemerdekaan dan menjalankan tugas keamanan dalam negeri setelah pengakuan kedaulatan, telah terbukti bahwa hasil yang dicapai tentara selama itu tergantung dari kemampuannya untuk memperoleh bantuan dari rakyat yang berada di desa. Selama Perang Kemerdekaan terdapat kerjasama yang akrab antara tentara dengan rakyat. Pada saat itu terdapat sejumlah kesatuan-kesatuan yang mendirikan sekolah-sekolah untuk rakyat di pedesaan. Di mana perwira, bintara dan prajurit yang menjadi guru, sebaliknya rakyat ikut memikirkan dan 76



T.B. Simatupang, Pemerintah ….op.cit., hal. 122-124. Ibid. 78 T.B. Simatupang , Soal-soal Politik Militer di Indonesia, (Jakarta: Gaya Raya Limited, 1956), hal. 59–63. 79 Ibid. 77



Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



19



Peter Kasenda membicarakan cara yang terbaik untuk menghadapi patroli Belanda. Mereka mengenal mortir, mitraliyur dan mengenal bapak kompi.80 Oleh karena itu, T.B. Simatupang menganjurkan perlunya Angkatan Perang mempertahankan hubungan akrab dengan rakyat di pedesaan yang merupakan pertahanan RI yang akan datang. Dia menyatakan ada dua cara agar hubungan baik itu tetap berjalan. (1) Betapa pentingnya hubungan baik dengan masyarakat pada umumnya dan khususnya rakyat di desa-desa perlu mendapat perhatian utama dalam pendidikan Angkatan Perang; (2) Tempat pendidikan serta asrama AP sebisa mungkin berada di luar kota, yang mana suasana masyarakat pertanian mewarnainya dan (3) AP harus turut serta dalam kegiatan-kegiatan yang dapat memperbaiki hidup rakyat di desadesa, seperti dalam pembuatan jalan-jalan, jembatan-jembatan, saluran-saluran, pengairan, waduk-waduk, pekerjaan pendidikan, hiburan dan seterusnya.81 T.B. Simatupang menyatakan bahwa generasi TNI 45 akan memberi warisan kepada generasi yang akan datang berupa pribadi kembar TNI . Di satu pihak disebut sebagai militer, tetapi di lain pihak menganggap dirinya sebagai pejuang. Generasi TNI 45 tidak bisa dipersalahkan dengan terjadinya hal tersebut. Keadaan itu merupakan hasil dan akibat sejarah kelahiran serta pertumbuhan TNI. Hanya saja pribadi kembar itu menimbulkan sejumlah persoalan, yang sampai saat ini tidak memperoleh jawaban yang memuaskan. Persoalannya adalah: Apakah untuk menjadi militer yang baik – TNI itu harus mematikan sifat-sifat pejuang dalam dirinya? Apakah untuk memenuhi panggilannya sebagai pejuang, dia dapat meninggalkan dasar-dasar kemiliteran? Atau apakah dapat dicapai perpaduan yang harmonis antara panggilan sebagai pejuang dan pada satu pihak dengan tugas-tugas dan dasar-dasar sebagai militer yang baik – di lain pihak.82



Ketika masa perang kemerdekaan, pribadi kembar TNI tidak menimbulkan kesulitan dirasakan sebagai masalah. Sebab sasaran TNI sebagai militer dan sebagai pejuang ketika itu adalah mempertahankan kemerdekaan. Tetapi setelah kemerdekaan itu ternyata pribadi kembar itu tidak selalu sejalan dan sesasaran. Menurut T.B. Simatupang, hal itu disebabkan karena segi militer dari pribadi kembar TNI diarahkan pada usaha-usaha meningkatkan kemampuan teknis kemiliteran, sedangkan segi pejuang dalam pribadi TNI itu menghendaki terjadinya masyarakat adil dan makmur. Disitulah konflik terjadi dalam pribadi kembar TNI, yang disebabkan ketidakmampuan untuk mencapai perpaduan yang harmonis dalam pribadi TNI antara sisi militer dan pejuang. Ketidakmampuan memberi saluran yang membangun hasrat sebagai pejuang dalam pribadi TNI di samping keinginan menjadi milite yang baik . Konflik tersebut menyebabkan TNI menjadi lemah dan malahan kadang-kadang mengguncang Negara dan Masyarakat.83 Sifat pejuang dari pribadi TNI tidak mungkin dimatikan, sebab kekuatan-kekuatan itu akan mencari salurannya sendiri. Kalau hal itu terjadi bisa menimbulkan perpecahan di kalangan TNI sendiri. Lagi pula, hasrat pejuang dalam pribadi TNI masih merupakan suatu kekuatan yang sangat diperlukan untuk membangun bangsa dan negara, asalkan tersedia saluran yang membangun buat kekuatan hasrat pejuang itu. Di lain pihak meninggalkan 80



T.B. Simatupang, Pelopor …..op.cit. hal. 175-176. Ibid. 82 T.B. Simatupang, Pemerintah …..op.cit., hal. 71-73. 83 Ibid. 81



Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



20



Peter Kasenda dasar-dasar kemiliteran untuk memenuhi panggilan sebagai pejuang merupakan sesuatu yang berbahaya. Kalau dasar-dasar kemiliteran diabaikan apa lagi yang menjadi dasar menyempurnakan TNI. Persoalan yang dihadapi adalah mencari saluran segi pejuang tanpa ada usaha merintangi perkembangan TNI ke arah militer yang baik serta menggunakan hasrat sebagai pejuang dengan jalan tidak membuka pintu perpecahan dan pertentangan di dalam TNI sendiri. T.B. Simatupang menyatakan.”Inilah soal yang pokok yang harus dipecahkan bersama-sama oleh TNI kita, justru pada saat-saat yang kritis dalam sejarah bangsa kita. Seperti yang kita alami pada waktu ini.“84 Siasat Perang pun menjadi perhatian T.B. Simatupang, yang ketika itu Indonesia sedang mencoba menggantikan bendera tiga warna Belanda dengan bendera merah putih di Irian Barat. Seandainya terjadi perang, T.B. Simatupang menyatakan pikirannya bahwa selama RI belum mampu untuk mendasarkan pertahanan melalui perang frontal atau melancarkan serangan langsung terhadap suatu negara yang menyerang Indonesia, maka selama itu pula harus tetap diadakan persiapan-persiapan untuk menghadapi kemungkinan terpaksa dijalankan perang rakyat dalam bentuk modern melalui perang teritorial. Meskipun demikian T.B. Simatupang mengingatkan bahwa perang rakyat selalu meninggalkan benihbenih bagi munculnya ketidakstabilan politik dengan kebiasaan berpikir secara ilegal.85



Peran ABRI Kalau diatas telah dibicarakan pandangan-pandangan T.B. Simatupang tentang militer yang ditulis ketika masih aktif dinas militer. Masalah yang menjadi perhatiannya mengarah pada dunia militer, seperti Pemerintahan Militer, Kediktaktoran Militer, Membangun Angkatan Perang yang modern, Tentara sebagai Agen Pembangunan, Kekaryaan, Wajib Militer, Angkatan Perang Masuk Desa dan Siasat Perang. Dan tulisan yang dibicarakan di sini adalah tulisan T.B. Simatupang setelah pensiun dari dinas militer. Semenjak pensiun dunia militer bukan satu-satunya menjadi perhatiannya, dia menaruh perhatian pada dunia gerejani dan pendidikan. Tetapi dalam tulisan ini hanya masalah dunia militer saja yang akan dibicarakan. Di tengah kesibukannya dalam kegiatan kegerejaan dan pendidikan, T.B. Simatupang masih mempunyai waktu untuk menuangkan buah pikirannya ke dalam sejumlah tulisan. Ada beberapa tulidan yang dihasilkan melalui buah tangannya. Diantaranya, Dari Revolusi ke Pembangunan (1987), Percakapan dengan Dr. T.B. Simatupang (1986), Harapan, Keprihatinan dan Tekad (1985) dan Peranan Angkatan Perang dalam Negara Pncasila yang Membangun (1980). Dalam suatu ceramahnya T.B. Simatupang menjelaskan secara gamblang apa yang yang menjadi pergumulan pemikirannya selama tahun 1960 keatas ini. Yang hendak disampaikan pada pokoknya ialah suatu pandangan atau interprestasi mengenai pekembangan dalam kedudukan dan peranan AB di Indonesia di waktu yang lalu dan selanjutnya suatu penglihatan, suiatu visi, yang seperti dikatakan tadi memuatkan unsur-unsur kekuatiran dan harapan, mengenai perkembangan dalam kedudukan dan peranan itu di waktu yang akan datang.86 84



Ibid. T.B. Simatupang, Pelopor …..op.cit., hal. 64. 86 T.B. Simatupang, Peranan Angkatan Perang Dalam Negara Pancasila Yang Membangun, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1980), hal. 9. 85



Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



21



Peter Kasenda Kalau T.B. Simatupang hanya mengarah perhatiannya pada peranan ABRI adalah suatu kewajaran saja karena ketika dia meninggalkan dunia ketentaraan, peranan kaum militer dalam politik sangat menonjol di pelbagai negara. Kenyataan menunjukkan terdapat lebih dari tiga puluh negara yang memperoleh kemerdekaan setelah perang dunia kedua, sekurang-kurangnya ada sepuluh negara yang memainkan peranan penting dalam politik. Misalnya, Indonesia, Burma, Laos, Pakistan, Republik Persatuan Arab, Sudan, Libanon, Jordania dan Republik Korea.87 Bersamaan dengan itu dibarengi dengan beredarnya sejumlah literatur yang mencoba membahas mengenai fenomena diatas melalui teori komperatif politik. Ada sejumlah sarjana yang mendukung peranan yang dimainkan oleh militer dalam politik dengan menyebutkan militer sebagai agen modernisasi.88 Tetapi ada pula yang menolak hasil penelitian sejumlah sarjana itu.89 Sebagai orang yang pernah menduduki jabatan nomor satu dalam Angkatan Perang. T.B. Simatupang mencoba menjelaskan apa yang menjadi penyebab Angkatan Perang menjadi semakin meluas secara berangsur-angsur itu. (1) adanya proses pertumbuhan dalam organisasi, disiplin serta mutu Angkatan Perang yang berangsur-angsur semakin baik; (2) Adanya pertentangan dan perpecahan di kalangan lembaga politik; (3) adanya ancaman terhadap dasar negara dan persatuan bangsa dan (4) penyelesaian damai atas konflik RI dengan Belanda yang tak dapat dicapai, sehingga mengakibatkan RI harus menjalankan perang kemerdekaan dalam bentuk perang rakyat. Kalau bisa dirumuskan secara sederhana bahwa dominasi militer dalam politik sebagai akibat proses sejarah.90 Kenyataan peranan militer Indonesia dalam poltik ternyata menimbulkan sejumlah krtitik yang diungkapkan lewat aksi-aksi protes yang dilakukan mahasiswa sepanjang tahun 1977 dan 1978 awal. Bahkan terdapat pleidoi seorang mahasiswa ITB yang berjudul “Indonesia Dibawah Sepatu Lars“, secara gamblang menyatakan bahwa kebobrokan yang terjadi, disebabkan militer terlalu dominan dalam pemerintahan.91 Peranan militer dalam politik itu sendiri sebenarnya merupakan implementasi dari Dwi Fungsi ABRI. Hanya saja penjabaran mengambil bentuk yang berbeda dari masa Panglima Sudirman, Jendral A.H. Nasution dan Presiden Soeharto, bahkan sampai saat ini telah terjadi penafsiran yang berbeda di kalangan masyarakat maupun ABRI. Sendiri.92 Dan T.B. Simatupang menafsirkan Dwi Fungsi ABRI adalah: 87



Edward Shils,”The Military in The Political Development of The New States,“ dalam John J. Johnson (ed), The Role of The Military in Underdevelopment Countries, (Princenton, Princenton University Press, 1962), hal. 7-67. 88 Lihat. John J. Johnson (ed), The Role of The Military in Underdevelop Countries, (Princenton: Princenton University Press, 1962) dan Morris Janowitz, The Military in the Political Development of New States, (Chicago: University of Chicago Press, 1966). 89 Lihat. Samuel Huntington, Political Order in Changing Societes, (Cambrigde, Massachuattes: Harvard University Press, 1968) dan S.E. Finer, The Man on Horseback: The Role of the Military in Politic, (New York: Frederivk A. Praeger, 1962). 90 T.B. Simatupang, Peranan …..op.cit., hal. 15. 91 Sukmadji Indro Tjahyono, Indonesia Dibawah Sepatu Lars, (Bandung: Komite Pembelaan Mahasiswa D ITB, 1979). Untuk mengetahui militer dominan dalam pemerintah. Lihat. John A. Mac Dougaal, Patterns pf Military Control in The Indonesia Higher Control Bureauceracy,“ Indonesia, No. 33, April 1982, hal. 89-117. Dharmawan Ronodipuro, Militerisasi dalam Kabinet dan Eselon I (Kabinet Ampera yang disempurnakan sampai kabinet Kabinet Pembangunan III, “Ilmu dan Budaya, No. 5, Februari 1986, hal. 372-384. 92 “Dwi Fungsi ABRI Dibahas DPR,” Sinar Pagi, 7 Februari 1990 dan “Heboh Surat Djojok“, Tempo, No. 51, 14 Februari 1990. Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



22



Peter Kasenda



Setelah kita memasuki era pembangunan maka mulailah ditonjolkan istilah Dwifungsi. Istilah tersebut tidak menciptakaan keadaan baru. Dia hanya memberi nama kepada kenyataan yang telah berkembang dalam sejarah kita. Yaitu kenyataan bahwa disamping tugasnya sebagai aparat militer teknis, Angkatan Perang tidak dapat melepaskan diri dan tanggung jawab moralnya, menfaatkan keadaannya yang relatif lebih stabil dan dinamis itu sebagai salah satu faktor positif dalam upaya menstabilkan dan mendinamisasikan kehidupan masyarakat dalam rangka pembangunan. 93



T.B. Simatupang menyadari bahwa pedoman pokok yang menjadi sentral kehidupan telah bergeser dari Dwi Tunggal menjadi Dwi Fungsi ABRI . Ia menganggap perubahan yang telah terjadi itu kalau dilihat dari kaca mata Max Weber, Sosiolog Jerman, sebagai peralihan dari kharismatik ke arah birokraktik militer (birokratik militer).94 Maksud birokratik militer ini adalah persekutuan antara birokrasi dan militer di dalam menjalankan roda pemerintahan.95 Melihat kenyataan dominannya militer dalam politik itu, T.B. Simatupang menganggap fenomena tersebut bisa mengh ambat proses demokratisasi. Menurut T.B. Simatupang yang perlu dipikirkan pada saat ini adalah: Persoalan kita adalah bagaimana secara sadar di tahun-tahun yang akan datang mengusahakan supaya peranan militer itu tetap ada tetapi kalau dapat volumenya berkurang sehingga tanggung jawab dari masyarakat secara lebih langsung bertambah besar. Dam itu suatu formula yang baru.96



Mengurangi jumlah militer yang berperan dalam dunia politik dianggap T.B. Simatupang merupakan suatu realisasi dari antusiasme yang besar dari rakyat untuk ikut serta dalam pembangunan. T.B. Simatupang kurang begitu suka terhadap formula yang kontroversial yang mengatakan mempertahankan atau menentang. Hal semacam itu dianggap tidak perlu dipertentangkan. Dia lebih suka membiarkan perrgeseran itu terjadi secara alamiah, seperti terjadinya pergeseran Dwi Tunggal menuju Dwi Fungsi. Menurut T.B. Simatupang Dwi Fungsi ABRI ini tidak dapat dikembangkan dari segi profesionalisme, tetapi sebenarnya tergantung dari perkembanan masyarakat. Peranan ABRI yang bertambah besar pada saat itu, bukan karena ABRI ingin mengembangkan kekuasaan, tetapi lebih didasarkan kepada kurang mampunya masyarakat menjalankan fungsi itu. Kalau masyarakat mempunyai kemampuan menjalankan fungsi itu sebaiknya, berarti tidak ada ruang bagi ABRI untuk menjalankan fungsi sosial politik. Kesemuanya itu diserahkan pada hukum sejarah yang mengaturnya.97 Dalam banyak negara yang membangun seringkali peranan militer yang menonjol dipertentangkan dengan perkembangan demokrasi dalam negara itu. Skenario Jackson yang 93



T.B. Simatupang, Dari Revoplusi ….op.cit., hal. 471. H.M. Victor Matondang, op.cit., hal. 10. 95 Untuk mengetahui persekutuan antara birokrasi dengan militer dalam menjalankan pemerintahan di Indonesia . Lihat. Heri Akhamadi, ”Mekanisme Politik Rejim Birokrasi Militer di Indonesia, Politika, No. 6, Tahun IV/1988, hal. 21-24. Harlod Crouch, Regularisasi Rejim-Rejim Biorakratik Militer: Kasus di Indonesia, (Jakarta: Pancasila Sakti, tanpa tahun serta Richard Robinson, “Towards A Class Analysis of the Indonesia Military Bureaucratic State,“ Indonesia, 25 April 1978, hal. 17-40. 96 H.M. Victor Matondang, op.cit., hal. 15. 97 Ibid dan J. Mackie dihadapan peserta Konperensi – Orde Baru, Masa Lalu, Sekarang dan Mendatang di Universitas Nasional Australia beberapa waktu yang lalu, menjelaskan bahwa peranan ABRI semakin surut. Lihat, “Kesadaran setelah di ANU,“ Tempo, No. 42, Tahun XIX – 16 Desember 1989. 94



Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



23



Peter Kasenda menjelaskan bahwa dalam proyeksinya Indonesia semakin tidak demokratis di tahun-tahun mendatang. Menurut T.B. Simatupang, pernyataan itu harus dibuktikan ketidakbenarannya dan Indonesia arus membuktikan diri bahwa perkembangan di kemudian hari mendorong ke arah yang demokratis lagi.98 T.B. Simatupang menginginkan adanya kerangka teoritis yang mendasar pada nilai bangsa Indonesia, yang mampu menjelaskan bahwa adanya Dwi Fungsi ABRI dalam sistim politik Indonesia justru mampu mendorong pertumbuan demokrasi yang ditulis oleh ilmuwan Indonesia. Hanya saja dia belum melihat kalau ada ilmuwan Indonesia yang mempunyai kemampuan itu.99 Ada tiga kemungkinan yang terjadi pada masa depan Indonesia. (1) Indonesia gagal dalam pembangunan seperti apa yang terjadi di Amerika Latin, Kuo Min Tang dahulu serta Iran pada zaman Syah Iran; (2) meraih sukses dalam pembangunan ekonomi dan industri tetapi gagal dalam pembangunan kehidupan politik yang demokratis, yang mengantarkan menjadi negara negara maju yang fasistis dan militeristis seperti apa yang terjadi pada Jepang sebelum sebelum perang dunia kedua; dan (3) Indonesia maju dalam pembangunan dengan mengawinkan stabilitas serta pertumbuhan dengan mengawinkan pengamalan sila dari Pancasila. Kemungkinan yang ketiga inilah yang ingin direalisasikan oleh T.B. Simatupang. Dalam kenyataan sehari-hari.100 Obsesi T.B. Simatupang adalah bagaimana agar ABRI tidak terjerumus pada sesuatu hal yang dapat merusak kehidupan bangsa dan negara. Itu merupakan salah satu bentuk kecintaannya terhadap ABRI, yang dianggap sebagai cinta pertama di Republik ini.101 Oleh karena itu bisa dimengerti kalau mantan Menhankam Jendral (Purn) L.B. Moerdani, Intelektual ABRI saat ini menyatakan bahwa pengabdian T.B. Simatupang tidak pernah surut: Pak Sim tidak pernah merasa berhenti menjadi prajurit dan oleh karenanya jiwa dan pikirannya tidak pernah lepas dari ABRI. Perhatian yang sangat dalam atas kemajuan dan perkembangan ABRI selalu dituangkan dalam bentuk tulisan yang mengandung saran, kritik-kritik tajam pada setiap memperingati hari ulang tahun ABRI. Itu tidak lain dari cerminan dari sikap prajuritnya yang tidak luntur , dan itu pulalah yang mencerminkan pancaran dari Ke-Saptamargaan-nya“102



Tahi Bonar Simatupang, yang nama kecilnya berarti tujuan atau persetujuan yang benar, senantiasa berusaha ke arah tujuan yang benar dengan berbakti kepada tanah air dan berguna bagi sesamanya. Dalam usia lanjut, ia tidak bertindak sebagai begawan hanya berdiam diri atas kejadian sekitarnya. Sebaliknya ia justru menampilkan dirinya sebagai begawan yang mencoba memberikan tenaga dan pikiran untuk menuju masyarakat adil dan makmur serta lestari berdasarkan Pancasila. Kehidupan tidak selalu abadi. Dan Letnan Jendral (purn ) Dr. T.B. Simatupang tidak pernah menyaksikan sinar matahari setelah hari pertama tahun 1990. Ia tiba pada titik keabadian hidup. Tuhan segala pemilik kehidupan



98



T.B. Simatupang, “Demokrasi Pancasila, “Suara Pembaruan, 6-7 Juli 1988. Tulisan ini merupakan orasi ilmiah yang disampaikan pada Dies Natalies Lembaga Pertahanan Nasional dalam rangka peringatan ulang tahun ke-23. 99 T.B. Simatupang, “Dapakah Ilmu-ilmu Sosial Memberi Sumbangan dalam Mission Imposible Kita,“ dalam Harsya W. Bachtiar dkk (ed), Masyarakat dan Kebudayaan – Kumpulan Karangan untuk menghormati Prof. Selo Soemadjan, (Jakarta; Djambatan , 1988), hal. 25-51. 101 Wawancara saya dengan T.B. Simatupang pada tahun 1985. 102 L.B. Moerdani, “Sosok Prajurit Saptamarga Teladan,“ dalam Samuel Pardede (ed), Saya orang yang Berhutang, op.cit., hal. 51-55. Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



24



Peter Kasenda memanggilnya, sebelum ia sempat merayakan ulang tahun yang ke-70 pada tanggal 28 Januari 1990. Awan mendung diatas Kalibata, sepertinya ikut berduka cita atas kepergiannya Letnan Jendral (Purn). Peti jenasah almarhum T.B. Simatupang yang ditutupi Sang Saka Merah Putih diangkat enam orang prajurit ABRI dan didampingi oleh empat perwira tinggi berbintang dua dari masing-masing Angkatan dan Polri, diusung dengan langkah perlahan memasuki Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan diiringi ratusan orang yang mengantarnya, diantaranya terdapat sejumlah purnawirawan tinggi dan belasan jendral. Penghormatan militer dengan salvo satu kali tembakan dari senapan M-16 Jaya Sakti Yonif diberikan. Ketika iringan berada di didepan pintu gerbang.103 Dalam kata sambutan yang mewakili pemerintah, Ketua Dewan Pertimbangan Agung Jendral (Purn) Maraden Panggabean menjelaskan bahwa T.B. Simatupang adalah salah seorang pemikir yang tidak kenal lelah dan semasa hidupnya turun mengembangkan masalah kenegaraan, keagamaan dan pendidikan.104 Awan di atas pun tak kuasa menahan kesedian, turut pula mengucurkan hujan rintik-rintik sebelum peti jenazah di turunkan ke liang lahat. Di bawah batu nisan salib makam yang bertuliskan: Dr. Tahi Bonar Simatupang, Letjen (Purn) Pati Mabes TNI-AD, Lahir 28 Januari 1928, Wafat 1 Januari 1990. Almarhum T.B. Simatupang beristirahat dengan tenang di tempat peristirahatan yang terakhir.105 T.B. Simatupang yang berhutang kepada Tuhan, Negara dan Masyarakat, TNI dan Gereja, telah melunasi hutangnya dan tingggallah ia menerima anugerah. Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik,aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan. II Timotius 4: 7, 8



103 104



105



“Belasan Jendral Mengantar Jenazah T.B. Simatupang,” Kompas, 4 Januari 1990. “Simatupang, Pemikir Yang Tidak Mengenal Lelah,” Suara Pembaruan, 3 Januari 1990. Kompas, loc. cit.



Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



25



Peter Kasenda



Web: www.peterkasenda.wordpress.com Email: [email protected]



26