Tari Tradisional Pesisir Sibolga [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TARI TRADISIONAL PESISIR SIBOLGA ( PART I ) Menurut Prayitno (1990:36) “Tari tradisional adalah semua tarian yang telah mengalami perjalanan sejarah panjang dan selalu bertumpu pada pola-pola tradisi yang telah ada. Tari Dampeng adalah termasuk ke dalam tarian tradisional yang berfungsi sebagai tari adat. (Curt Sachs) mengatakan bahwa ” Tari adalah gerak yang ritmis”, definisi lain mengatakan ” Tari adalah keteraturan bentuk gerak tubuh yang ritmis didalam satu ruangan ” (Corrie Hartong). Seni teri merupakan salah satu cabang seni yang bersipat universal, yang artinya, seni tari dapat dilakukan dan dimiliki seluruh manusia di dunia. Seni tari adalah salah satu budaya manusia, yang diungkapkan melalui gerak-gerak yang ritmis dan indah. Materi pokok tari hanyalah gerakan-gerakan dibagian tubuh manusia yang telah dibentuk Curt Sachs, Sudarsoeno (1979 : 23) Mengatakan tari adalah gerak yang ritmis. Definisi lain mengatakan” Tari adalah keteraturan bentuk gerak tubuh yang ritmis di dalam satu ruangan, (Corrie Hartomg dalam buku Sudarsoeno 1979 : 23)  ” Tari adalah gerakan-gerakan dari seluruh bagaian tubuh manusia selaras dengan irama musik serta mempunyai maksud tertentu” (Suryodiningrat). ”Tari adalah ungkapan jiwa yang dieksperesikan dengan mengunakan gerak sebagai media dan tubuh sebagai alat ” (Jose Rizal Firgaus) ” Tari adalah gerakan-gerakan luar yang ritmis dan lama kelamaan nampak mengarah kepada bentuk-bentuk tertentu” (Komala Devi Chattopadyaya). ” Tari adalah aksperesi subjektif yang diberi bentuk objektif ” ( La Meri). ” Substansi tari adalah gerak (Jhon Martin) ”Bentuk yang diungkapkan manusia untuk menikmati dengan rasa” (Susane K. Lager). Tari merupakan kumpulan gerak tubuh yang terarah secara ritmis yang dapat dieksperesikan kepada sebuah seni yang mengandalkan tubuh selaku pelaku utama dalam mengarahkan semua gerakan. Gerak dan ritmis merupakan unsur-unsur yang sangat penting dan saling terkait antara gerakan yang satu dengan gerakan lainnya, sehingga kumpulan gerakan yang indah menciptakan sebuah tari. Gerak merupakan unsur dasar, sedangkan ritme adalah dasarnya. Dengan kata lain dapat pula disebut gerak sebagai unsur pertama dan ritme sebagai unsur kedua, menjalin makna dan rasa sebagai ukuran nilai-nilai dalam sebuah tari. Dari beberapa pengertian diatas bahwa tarian itu mempunyai ritme, ruang dan waktu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tarian itu bermedia gerak yang ditimbulkan oleh tubuh manusia yang menyatu dalam ruang dan dalam waktu.



TARI SAPUTANGAN (BUNGKUS)



Tari Sapu Tangan



Tari saputangan ini menggambarkan bagaimana kisah dan cara perkenalan sepasang muda mudi pada zaman dahulu di daerah Pesisir. Kejadiannya bermula dari perkenalan sepasang muda-mudi pada saat para nelayan pulang dari menangkap ikan di pantai Barat Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga. Pada waktu itu, tidak saja para orang tua yang datang kepantai untuk sekadar membeli ikan tetapi juga para muda-mudi ikut dengan kebiasaan ini. Dari tata cara perkenalan yang mereka lakukan yang didasari adat istiadat, terlukislah sebuah tata cara yang diperagakan dalam tarian yang bernama Tari Saputangan. Dalam bahasa tampilan dari ragam pertama sampai ragam terakhir sangat jelas terlihat bagai mana tata cara perkenalan muda mudi yang selalu menjunjung tinggi adat kesopanan dan kehormatan sehingga tidak menyalahi adat itu sendiri.



Bentuk penyajian Tari merupakan salah satu cabang kesenian yang didalamya terdapat unsur penunjang untuk mengugkapkan akspresi tubuh manusia. Seperti yang diuraikan oleh Hermin (1980 : 9) yang mengkaji perwujudan seni merupakan salah satu di antaranya dan ditopang oleh berbagai elemen yaitu : gerak, pola lantai, tata rias, tata busana dan properti serta tempat dan waktu pementasan. Pada awalnya kita ketahui cabang seni yang paling tua adalah seni tari yang sangat erat hubungannya dengan segi kehidupan manusia. Tari pada masa manusia primitif memiliki ciri khas yang merupakan media untuk pemujaan dan penyembahan pada masa nenek moyang dan sesuai dengan keyakinan mereka. Menurut Soedarsono dan Rahayu (2000 : 27) penyajian tari dapat dibagi tiga yaitu, 1 Tari tunggal, 2. Tari Berpasangan, 3. Tari kelompok. Tari tunggal adalah tari yang ditarikan seorang penari dan mempunyai gerak-gerak dasar yang sagat sulit dan komposisi yang banyak variasinya, juga gerak-gerak yang terkecilpun banyak variasinya. Tari berpasangan adalah tari yang jumlah penarinya terdiri dari dua orang penari secara bersama-sama menarikan tari tersebut. Kalau tarian ini ditarikan salah seorang saja maka makna tarian akan berkurang ataupun malah kabur sama sekali. Sedangkan tari kelompok ditarikan lebih dari dua orang penari secara bersama-sama. Umumnya tarian kelompok ini mengandalkan keserempakan walaupun desainnya sederhana. Fungsi Tari Soedarsono (1976 : 57) menyebutkan bahwa tari-tarian Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: Tari Upacara, Tari pergaulan, Tari pertunjukan Tari Upacara yaitu tari yang berfungsi sebagai sarana upacara  Agama dan adat yang banyak terdapat di daerah – daerah yang masih bertradisi kuat   Tari pergaulan (tari bergembira) yaitu tari yang berfungsi sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa gembira atau untuk pergaulan dan biasanya antara pria dan wanita. Tari pertunjukan (tari teaterial) yaitu tari yang garapanya khusus untuk dapat dipertunjukan (performing art) yang antinya setelah pertunjukan selesai diharapkan untuk memperoleh tanggapan dari penonton. Nilai Astetika Kualitas kedalam rasa sangat menentukan dalam menilai karya seni. Hal ini dapat dipahami dalam penilaian karya seni yang sifatnya sangat relatif dan hasilnya berbeda-beda pada masing-masing individu. Jakop mengemukakan masalah nilai seni (2000 : 157) bahwa : “Karya seni tetap harus mengandung keindahan dalam pengertian menyenangkan indrawi dan menggembirakan bathin, hanya saja dalam karya seni masih ditambah dengan penyampaian makna atau menyampaikan sesuatu. Dan aspek sesuatu dari isi seni dapat menyebabkan lahirnya perbedaan mengenai indah tidak indahnya karya seni ” Nilai astetika ini dapat ditemukan pada orang yang mempunyai pengalaman mengenai ujud bermakna dalam suatu benda atau hanya seni dengan getaran atau rangsangan keindahan. Kegiatan estetika dalam berbagai bidang kehidupan membentuk kebudayaan di samping kegiatan lain sebagai unsur kebudayaan dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh B. Sirait (1995 : 61): “Nilai estetka adalah hubungan logis dan kebenaran antologis (bentuk bermakna dan berharga)”. Tarian adat Pesisir bagi masyarakat pendukungnya merupakan tari yang mempuyai makna dalam upacara adat pernikahan sehingga semua tarian sangat berharga dalam mendukung suatu upacara adat yang mereka junjung tinggi. Kerangka Konsep     Konsep merupakan gejala yang paling penting dalam penelitian yang digunakan sebagai alat untuk menggambarkan fenomena dengan adanya penjabaran masalah dengan kerangka teoritisnya. Konsep diartikan sebagai generalisasi dari kelompok penomena tertentu sehingga dapat menggambarkan gejala yang sama. Tarian adat Pesisir menurut konsep masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah adalah bentuk silat yang berawal dari dasar ragam berbagai silat yang ada pada masyarakat Pesisir. Seluruh tarian adat Pesisir asalnya dibawakan oleh dua orang laki-laki, tetapi dengan perubahan waktu sekarang seluruh tarian ini dapat dibawakan oleh sepasang penari laki-laki dan perempuan. Sesuai dengan landasan teoritis yang diuraikan di atas, seluruh tarian adat Pesisir ini merupakan menyeluruh dari berbagai aspek yang melingkupinya. Salah satu aspek yang dominan adalah bahwa tarian adat etnis Pesisir merupakan



bentuk pola budaya dari masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga. Sebagai pola budaya yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat, ia dapat dikaji dari bentuk penyajian dan nilai estetikanya. Dalam hal ini yang berperan tentu ilmu tari dan estetika yang pada akhirnya dapat menjelaskan secara rinci bagaimana sebenarnya bentuk penyajian seluruh tarian adat yang ada pada masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga. Hal ini akan dipaparkan berikut ini dalam seluruh tarian sejak dari tarian Sapu tangan sampai pada tarain Galombang duo baleh, yang  dimulai dari tarian sapu tangan seperti di bawah ni : Ragam pertama adalah : masing-masing penari melangkah dengan daubel steve memutar arah ke kanan dengan hitungan delapan hingga sampai ketempat semula dan terlihat menundukkan kepala yang mengesankan malu-malu. Sesudah itu masing-masing penari melangkah memutar arah ke kiri dengan hitungan yang sama tetapi saat sampai ke tempat posisinya saling membelakang. Adapun makna ragam ini tergambar bagaimana sejak tatapan pertama sudah menggambarkan betapa pada zaman dahulu muda-mudi di daerah Pesisir mengesankan malu-malu sehingga tidak ada tegur sapa yang ada hanya memancing perhatian masing masing pasangan agar bisa saling mengenal. Ragam kedua, pasangan penari masing-masing mundur setengah jagak dari masing-masing penari dengan hitungan delapan, sesampainya di tengah jarak penari dengan posisi mundur masing-masing memutar arah ke kanan dengan hitungan delapan hingga sampai ke tempat semula, Ragam ini dinamakan MUNDUR. Ragam berikutnya penari kempali memutar ke kanan dan ke kiri dengan hitungan semula tetapi kali ini saat putaran terakhir posisi masing-masing berhadapan. Dalam ragam ini juga terkesan malu-malu walau sudah saling mengenal wajah masing-masing pasangan Ragam ke tiga, penari melangkah dengan cara yang semula maju kedepan dengan bentuk zikzak setengan pal dengan hitungan delapan yang pada akhirnya posisi penari saling berhadapan sejenak kemudian dengan dengan melangkah sambil curi pandang melanjutkan langkah ketempat pasangan masing-masing penari dengan hitungan delapan hingga sampai di tempat pasangan masing-masing. Pada posisi di tempat pasangannya penari kembali memutar arah ke kanan masing-masing dengan hitungan delapan dan arah ke kiri dengan hitungan yang sama. Setelah itu pasangan penari kembali melangkah ke depan dengan hitungan delapan dengan gaya yang sama sampai pada hitungan delapan maka posisi penari dudah berada di tempat semula. Ragam ini bernama ragam tuakar tempat (BATUKKA TAMPEK) Dalam ragam ini antara pasangan terkesan sudah mulai terjadi komunikasi. Terbukti antara pasangan sudah saling mendatangi tempat (rumah) masing masing pasangan. Ragam keempat, pasangan penari tidak lagi memutar ke kiri dan ke kanan tetapi sangsung melangkah arah ke depan dengan gaya zikzak dengan hitungan yang sama sehingga sampai pada posisi berhadapan, seraya mensejajarkan saputangan pasangan penari melangkah bagi laki-laki arah ke kanan bagi perempuan arah ke kiri dengan hitungan delapan. Setelah sampai pada batasan hitungan, masingmasing penari me langkah ke arah semula dengan hitungan delapan, setelah sampai pada batas hitungan pasangan penari kembali ke tempat semula dengan arah masing-masing ke kanan. Ragam ini bernama SEIRING SEJALAN. Dalam ragam ini antara pasangan sudah terjadi komunikasi yang baik. Sehingga pasangan ini sudah bisa jalan bersama. Ragam kelima, pasangan penari kembali melangkah denganhitungan yang sama ke arah depan dengan gaya zikzak sehingga pada ujung hitungan delapan posisi penari saling berhadapan dan dengan tangan kanan  masing-masing memegang saputangan dengan gaya menyilangkan tangan kanan arah ke bawah dan tangan kiri arah ke atas masing-masing melangkah memutar dengan posisi saling bersilang badan dengan hitungan delapan. Setelah di penghujung hitungan pasangan memutar arah saling berlawanan dengan hitungan yang sama sehingga dipenghujung hitungan pasangan kembali ke tempat masingmasing, Ragam ini bernama MENYILANG SAPUTANGAN. Ragam ini mempunyai arti bahwa pasangan muda mudi sudah saling seiya sekata. Ragam ke enam, pasangan penari kembali melangkah ke depan dengan hitungan yang sama dengan gaya zikzak sehingga pada posisi berhadapan penari memegang saputangan dengan tangan kanan seraya menggantung sejajar dengan bahu masing masing, dengan hitungan delapan pasangan melangkah saling bersilang badan berputar di tengah arah kanan masing-masing, pada penghujung hitungan penari  kembali memutar dengan arah ke kiri dengan hitungan yang sama, pada penghujung hitungan penari kembali ke tempat masing-masing. Dalam ragam ini terlukis pasangan muda-mudi sudah saling mempercayai. Ragam ketujuh, pasangan penari kembali melangkah arah ke kanan masing masing dengan posisi



membuat lingkaran lonjong dengan hitungan delapan setengah lingkaran dan hitungan delapan setengah lonjongan sehingga posisi seperti orang yang saling kejar. Ragam ini bernama KEJAR-KEJARAN. Dalam ragam ini pasangan muda mudi terkesan sudah saling seia sekata seiring dan setujuan. Ragam yang ke delapan. Dalam ragam ini pasangan penari melangkah kedepan dengan gaya zikzak dengan hitungan delapan, dipenghujung hitungan pasangan penari menyilangkan saputangan masingmasing sehingga saputang terlihat saling menyilang setelah itu pasangan penari kembali memutar ditengah arah kanan masing-masing dengan hitungan delapan dan di penghujung hitungan pasangan penari memutar arah ke kiri masing masing dan di penghujung hitungan pasangan kembali ke tempat masing-masing. Ragam ini bernama ragam MENGIKAT SAPUTANGAN. Dalam ragam ini tersirat pasangan muda-mudi etnis Pesisir sudah mengikat janji untuk bersama mengharungi bahtera rumah tangga. Inilah sekelumit tata cara pelaksanaan tari saputangan dan hubungan arti dari tahapan tari ini dengan tata cara perkenalan muda-mudi Pesisir pada jaman dahulu. Yang lebih jauh dari itu nian pembaca khususnya muda-mudi dapat mempelajari tarian ini sehingga tarian ini tidak punah begitu saja



TARI PAYUNG



Tari payung



Sejarahnya Tari Payung salah satu tarian adat yang ditarikan pada setiap perhelatan budaya dalam pelaksanaan pesta adat pernikahan pada etnis Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga. Keberadaan tari payung ini diperkirakan sudah ada sejak abat  kesepuluh. Tari yang diiringi oleh lagu Pulau Pinang ini mempunyai sejarah tersendiri bagi etnis Pesisir karena menggambarkan betapa kegetiran hidup para nelayan di pesisir pantai. Keberadaan tarian ini berangkat dari rasa tanggung jawab seorang suami kepada istri demi mencari kehidupan dalam menjalani bahtera hidup berumah tangga. Tari Payung ini sendiri mempunyai kaitan dengan tari Saputangan yang telah kita ceritakan diatas. Kalau dalam makna tarian saputangan menceritakan bagaimana tata cara perkenalan muda-mudi sehingga pasangan tadi melangsungkan pernikahan. Sekarang pasangan tadi telah resmi menikah maka dalam tarian  payung ini menggambarkan demi sebuah tanggung jawab sang suami terpaksa meninggalkan istri dalam keadaan hamil untuk pergi mencari nafkah kenegeri orang. Suatu pagi suami berpamitan kepada istri untuk pergi berlayar merantau yang belum tentu kembali dalam seminggu atau sebulan nun jauh ke seberang lautan. Sang istri mengatarkan suami sampai ke pinggir pantai, sesaat dipinggir pantai suami menasihati istri yang akan di tinggalkan dengan sebuah pantun seperti pantun di bawah ini.



Untuk lebih mengetahui makna yang tersirat dalam tarian ini kita baca dan simaklah beberapa bait pantun yang ada dalam lagu yang mengiringi tarian ini : KOK BALAI KAPULAU PINANG AMBIK ALUAN SITIMUR LAUIK KOK BALAI HATI TAK SANANG AI MATO SAPANJANG LAUIK Arti dari pantun ini adalah suami mengatakan rasa duka yang mendalam bagaimana pilunya berpisah dengan istri yang beberapa bulan baru dinikahi dalam nasihat yang diiringi deraian air mata: Aku berlayar menuju Pulau pinang biarlah kuambil arah Timur Laut, dalam berlayar ini hatiku tidaklah senang batinku akan menangis sepanjang perjalanan ini. Demi sebuah kasih sayang selaku istri yang baru dinikinya sang isri menyampaikan rasa gelisahan dan kegundahan hati atas kepergian suami membalas pantun tadi seperti pantun dibawah ini : PULAU PINANG AINYO DAREH HANYUTLAH BATANG LINTANG BULINTANG PULAU PINANG BUMINYO KAREH BANYAK NAK DAGANG PULANG BARUTANG. Dalam pantun ini terlukis sebuah arti rasa ketakutan sang istri akan keberadaan suami di rantau orang. Istri takut kalau-kalau sang suami akan melupakan istri karena tergoda oleh kecantikan wanita lain di perantauan. Sudah menjadi kebiasaan para perantau dari daerah Pesisir, apa bila sampai dirantau orang siperantau akan mencari induk semang atau orang tua angkat, seperti pepatah dibawah ini “ Ditinggalkan orang tua di kampung berusahalah mencari orang tua dirantau orang”. Sudah pula kebiasaan pada zaman dahulu apabila ada orang yang datang ke rumah kita dan menganggap kita sebagai orang tuanya kebanyakan anak tersebut lama-lama akan menjadi menantu kita, apalagi si perantau tadi tidak sanggup membanyar makan yang dimakan selama tinggal dirumah kita. Inilah yang terbayang pada istri yang ditinggal pergi oleh suaminya yang pergi merantau. Rasa takut selalu membayangi ke hidupannya sehari hari. Mengapa dalam pantun ini tertulis kalimat KAPUAU PINANG, perlu kami jelaskan bahwa satu-satunya pulau tujuan untuk perantauan adalah Pulau Pinang Malaysia karena pada zaman dahulu pulau tersebut sangat ramai didatangi oleh perantau dengan jalan berlayar dengan pera Tata Cara Menarikan Tari Payung       Sepasang penari dengan posisi duduk bersimpuh menghadap kepada ke dua pengantin. Setelah suara musik dimulai saat dentuman gendang pertama si penari memberi hormat kepada kedua pengantin (kalau dahulu kepada raja) seraya berdiri diawal pantun penari melangkah kesamping kanan dengan membuat lingkaran dengan langkah dauble steve dengan hitungan delapan. Pada akhir hitungan atau saat berada pada posisi semula, penari langsung membalas dengan membuat seperti semula tetapi arah ke kiri dengan hitungan yang sama. Diakhir hitungan atau saat berada pada posisi semula, penari melangkahlah maju membuat lingkaran tetapi arah ke depan dengan hitungan delapan. Setelah kembali keposisi semula, penari laki-laki yang memegang payung memindahkan payung dari tangan kanan ke tangan kiri sambil maju setengah pal mendekati pasangannya dengan hitungan delapan seraya tangan kanan dijulurkan ke depan dengan gaya seolah sedang memetik bunga dengan hitungan. Pada akhir hitungan delapan pasangan laki-laki memutar ke kanan kembali ke tempat semula. Sesampainya di tempat pasangan laki-laki kembali membuat lingkaran ke depan seolah mau memayungi pasangannya dengan hitungan delapan setelah itu pasangan laki-laki kembali ke tempat seraya mengambil posisi berhadapan pasangan laki-laki maju sambil memutar badan seraya memayungi pasangannya yang sedang melentikkan badannya. Ini tata cara yang dilakukan oleh pasangan laki-laki. Bagi pasangan penari perempuan tidak sama dengan tata cara yang dilakukan oleh pasangan penari laki-laki. Bagaimana tata cara yang dilakukan oleh penari perempuan? Ikuti cara berikut ini : Saat pasangan laki-laki tadi memutar arah ke kanan, pasangan perempuan melangkah dengan gaya kaki kanan menyilang dan tangan mengibaskan selendang yang dibahunya dengan hitungan empat. Tangannya mengibaskan selendang, memasuki hitungan kelima pasangan perempuan melangkahkan kaki kiri sembari memutar badan mengikuti arah kaki, dengan ditungan yang sama kembali kaki kanan dilangkahkan dengan gaya menyilang dengan hitungan empat. Pada hitungan kelima kaki tidak lagi dilangkahkan cukup dengan membalikkan badan arah ke kiri dengan



hitungan empat. Pada waktu hitungan kelima kembali kaki kanan dilangkahkan kedepan setelah pada hitungan ke lima, kembali kaki kiri dilangkahkan kedepan dengan hitungan empat. Pada hitungan kelima kaki tidak dilangkahkan tetapi cukup dengan membalikkan badan arah kekanan setelah hitungan delapan kembali kaki kiri dilangkahkan dengan hitungan empat. Tepat pada hitungan kelima, kembali kaki kanan dilangkahkan saat posisi hitungan ke delapan, kaki kanan dilangkahkan tetapi tidak agi gaya menyilang tetapi dengan gaya melangkah biasa dengan hitungan satu saat hitungan dua kaki kiri dilangkahkan seraya membalikkan badan lalu melentikkan tubuh arah ke belakang dengan hitungan tiga dan empat.    Demikianlah seterusnya sehingga posisi berada di tempat pasangannya masing-masing sampai berada pada tempatnya semula.



Tradisi  Mandi Balimou pada Etnis Pesisir Kota Sibolga Menjelang dan Menyambut Datangnya Bulan Suci Ramadhan     Tradisi adalah perilaku yang terdapat dalam suatu etnis tertentu dalam sebuah komunitas masyarakat yang terjadi turun temurun, sehingga menjadi sebuah adat istiadat yang tidak tertulis, apa lagi pelaksanaannya menyangkut norma-norma kehidupan masyarakat itu sendiri.



    Walupun sebuah tradisi yang tidak tertulis, tradisi adalah sebuah ikatan bagi masyarakat yang sifatnya mengikat, sehingga akan mendapat sanksi apa bila ada anggota masyarakat yang melanggarnya. Hal tersebut yang biasa dikenal dengan hukum adat yang tata cara pengukuhannya melalui musyawarah dalam lembaga adat.     Akan tetapi apabila jenis kegiatannya hanya merupakan kebiasaan yang tidak mengikat dapat disebut tradisi, lengkapnya tradisi dapat diartikan sebuah peraturan kegiatan yang dilakukan seseorang atau kelompok masyarakat secara sadar dan berulang-ulang, sepanjang tidak ada hukum tertentu yang dapat melarang dan membatalkan hukum tersebut. Lain halnya dengan yang dinamakan hukum adat.     `Hukum adat menurut Prof. DR. Supomo, SH hukum yang tidak tertulis di dalam peratuaran-peratuaran legislatif (unstatutory low) yang meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang wajib toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturanperaturan tersebut mempunyai kekuatan hukum dalam masyarakat     Lain halnya menurut Ter Har seorang bapak hukum adat memberikan batasan sebagai berikut ”Hukum adat berurat berakar pada kebudayaan. Jadi hukum adat adalah satu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum rakyat yang nyata”.     Bertitik tolak dari dua serjana ahli hukum adat itu, maka penulis memiliki tolak ukur tersendiri untuk berfikir menulis sisi adat atau kebiasan yang terdapat pada lingkungan masyarakat Pesisir yang tinggal di



daerah Tapanuli Tengah Sibolga yang mempunyai kebiasan dalam menyongsong bulan suci Ramadhan dengan istilah ”Mamogang dan mandi Balimou”. Apakah kebiasan ini timbul dari dasar hukum adat istiadat atau hanya sebuah seremony tradisional ?.     Kalau ditinjau pada sejarah masuknya agama Islam pertama ke Nusantara, yang dibawa oleh para pedagang dari Persia dan Gujarat yang pernah mencapai puncaknya pada pase kejayaannya di Barus sebagai bandar tertua di belahan dunia. Sedangkan tahap pase kedua sebagai pusat penyebaran agama Islam di Nusantara, seperti yang terdapat dalam disertasi seorang serjana University Monalisa Australia yang bernama Miss Jean Dekard yang menyebutkan di Barus dikenal ada dua kerajaan yaitu kerajaan Barus Hulu dan kerajan Barus Hilir. Kerajaan Barus hulu bertempat di desa Kampung Mudik, sedangkan kerajaan Barus Hilir bertempat di Sigambo-gambo.     Yang menjadi pemikiran kita, bisakah kedua kerajaan tersebut hidup berdampingan kalau tidak ada sesuatu hal yang dapat mengikat kedua masyarakat yang memiliki etnis yang sama ?. Kita harus mengakui betapa berakarnya adat dan budaya Pesisir dalam hati masyarakat di dua kerajaan tersebut sehingga dapat terhindar dari perpecahan yang bermuara pada timbulnya rasa dendam yang tidak berkesudahan. Hal ini adalah sebuah kenyataan yang dapat kita saksikan sampai sekarang.       Kegiatan mandi balimou-limou sebagai sebuah tradisi menjadi sebuah momen yang dijadikan para kaula muda untuk bisa langsung bersua pasangannya. Lebih dari sebuah perjumpaan, kegiatan yang telah berlaku berabad-abad silam menjadi sebuah kesempatan pula untuk menyampaikan isi hati setiap insan muda kepada kekasihnya.     Di Sibolga misalnya, sehari sebelum masuknya bulan suci ramadhan, ribuan masyarakat tua dan muda pergi ketempat dimana ada sungai yang mengalir yang bisa dijadikan untuk sebuah kegiatan mandimandi dengan membawa bekal seperti nasi dan lauk pauknya disertai juga oleh air Limau (Jeruk wangi) yang telah dicampur dengan tumbukan daun pandan wangi (Musang) serai Betawi dan daun-daun lainnya.     Biasanya masyarakat di Sibolga selalu memilih tempat yang biasanya dijadikan untuk tempat momen ini seperti Sungai Sarudik dan tempat pemandian lainnya yang terdapat di daerah Tapanuli Tengah. Sejak pagi pukul 9.00 sebagian masyarakat sudah mulai berangsur berjalan menuju tempat tersebut.     Pada saat menjelang mandi, air limou yang dibawa sudah dibagikan kepada pasangannya masingmasing, karena tempat untuk laki-laki harus terpisah dari tempat mandi perempuan, dan diharuskan memakai kain basahan mandi. Setelah selesai mandi, barulah diadakan makan bersama dengan duduk lesehan diatas tikar yang dibawa dari rumah. Biasanya tepat jam 3 sore, semuanya telah selesai rombongan bersiap-siap untuk kembali ke rumah.     Tradisi ini bukan saja dilakukan oleh masyarakat Sibolga, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat di banyak daerah Pesisir seperti Barus, Sorkam dan daerah lainnya. Dalam pelaksanan tradisi ini, sepertinya berlaku sebuah kebebasan dalam arti masih dalam koridor hukum, seperti orang tua seakan tidak dibenarkan melarang, apa bila melihat anak gadisnya berjalan dengan pasangannya. Orang tua hanya bisa mengawasinya dari kejauhan.     Walaupun demikian, bukan menandakan kebebasan itu tidak ada batasnya, seperti apabila sudah menjelang sore, pasangan itu harus segera kembali dan mengantarkan pasangan wanitanya ke rumah orang tuanya. Inilah sekelumit tentang tradisi mandi balimou-limou di daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga.



ACARA TURUN BATU (BATU NISAN) Budaya tradisi di Daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga, tidak saja mencakup hal – hal yang bersifat keduniaan. Tetapi juga menyangkut bagi orang yang sudah berpulang ke Rahmatullah. Bila ada seseorang yang meninggal dunia, biasanya dilakukan fardu qifayah seperti layaknya dilakukan kepada seseorang yang telah meninggal dunia di di daerah lain.  Yang membuat berbeda hanyalah setelah memasuki hari ke empat puluh setelah orang tersebut meninggal, ada sebuah tradisi yang sampai sekarang masih tetap dilaksanakan. Misalnya, seseorang yang meninggal dunia biasanya pihak keluarga yang ditinggal membuat satu acara yang bernama ’ Acara Turun Batu. Adapun tata cara melaksanakan acara ini, beberapa hari setelah meninggal, pihak



keluarga yang ditinggal menempahkan sepasang batu nisan kepada orang yang ahli dalam membuat batu nisan. Pada waktu menempah, pihak keluarga biasanya meminta agar nama, tanggal tahun kelahiran bahkan tanggal  dan tahun meninggal diukirkan di batu nisan tersebut. Setelah selesai, batu nisan yang ditempah di bawa kerumah ahlil bait, dan di letakkan di atas tempat tidur dalam kamar lalu di selimuti dengan kain berwarna. Menjelang hari ke empat puluh malamnya, batu nisan tersebut dimandikan dengan air jeruk purut dan yang dicampur dengan berbagai bunga. Setelah selesai, batu nisan tersebut kembali di letakkan di atas tempat tidur lalu di selimuti kembali. Setelah selesai, para undangan yang terdiri dari anggota pengajian atau perwiritan membacakan do’a do’a kepada arwah orang yang baru meninggal tersebut. Setelah selesai, para undangan pulang ke rumahnya masing – masing. Ke esokan harinya, disaat mata hari mulai terbit, para undangan kembali datang ke rumah ahlil bait. Biasanya ahlil bait memberi makan para undangan dengan makanan tradisi seperti Nasi Tuei. Setelah selesai acara jamuan makan, kembali di bacakan do’a do’a seperti semula. Setelah selesai, barulah batu nisan tadi di keluarkan dari dalam kamar lalu di pikul dengan tetap dalam balutan selimutnya dan dibawa ke makam dimana orang tersebut di kubur, dengan iringan dupa dengan bara api yang dinyalakan. Setelah sampai di kuburan dupa tersebut ditaburi dengan bijan sebangsa biji-bijian.   Setelah asap mengepul, barulan batu nisan dipacakak sesuai dengan tempatnya. Bagi nisan yang ujungnya menyerupai bulatan, berarti nisan itu di pacakkan di arah kepala. Bila nisan itu yang ujungnya meruncing, berarti nisan itu di pacakan arah kaki. Setelah batu selesai di pacakkan, para undangan kembali membaca do’a do’a ke pada arwah orang yang meninggal tersebut, Setelah selesai para undangan kembali pulang kerumahnya masing masing. Demikianlah sekelumit tentang acara turun batu bagi Etnis Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga, yang sampai saat ini masih selalu dilakukan di beberapa kecamatan di Tapanuli Tengah dan Sibolga.



Tradisi Sunat Rasul Dalam Adat Sumando yang telah terlupakan di daerah Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga Agama Islam adalah salah satu agama resmi di Negara Kesatuan Republik Indonesaia, dan agama yang dipercaya dan dinyakini oleh masyarakat Pesisir, yang tinggal di daerah Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga. Maka sudah bisa dipastikan bahwa, masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga memeluk agama Islam, dimanapun etni ini berada. Seperti diketuhui bahwa, dalam tuntunan agama Islam, diwajipkan melakukan khitan (sunat rasul) bagi seluruh penganudnya. Karena ada sebuah ancaman dosa besar, bila mana seseorang pemeluk agama Islam bila tidak melakukan syariat ini (khitan atau sunat rasul). Seperti kita ketahui, dalam melaksanakan khitanan ini, ada beberapa ragam dan cara tradisi adat budaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat di setiap daerah di Sumatera Utara dan daerah lainnya di negara kesatuan Republik Indonesia ini, baik pada zaman



dahulu dan zaman sekarang ini. Di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga juga memiliki sebuah tradisi adat budaya, dalam melakukan perhelatan khitanan atau sunat rasul oleh masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga. Namun oleh perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, tradisi yang dahulu selalu dilakukan oleh masyarakat Pesisir, sudah tidak dilakukan lagi. Pada hal, bila di runut hikmah yang terdapat pada tradisi tersebut, sangat menentukan watak dari anak yang disunat tersebut. Lebih dari sekedar penentuan watak, tradisi itu sangat mengesankan bagi si anak yang di khitan. Dalam pelaksanaan khitan (Sunat Rasul) terdapat beberapa tatacara atau tahapan yang harus dilakukan sejak dari awal pelaksanaan sampai selesainya acara. Dalam tahapan yang sebenarnya, hampir tidak ada perbedaannya dengan acara sunatan yang diadakan oleh kebanyakan etnis lainnya. Namun dalam pelaksanaan acara sunatan yang melakukan cara-cara terdahulu, belakangan ini sudah tidak dilakukan lagi.  Menjelang



pesta



sunatan



dilaksanakan



Seminggu sebelum acara sunatan dilaksanakan, kedua orang tua si anak harus mengunjungi para kerabat, tetangga dan handai tolan satu persatu untuk mengundang. Dengan membawa Kampi Sirih (Sumpit kecil yang terbuat dari ayaman pandan berisi daun Sirih selengkapnya. Setelah masuk kedalam rumah orang yang mau di undang, kedua orang tua si anak memberikan Kampi Sirih kepada tuan rumah. Kemudian sesaat si tuan rumah memakan sirih yang di suguhkan, salah seorang dari orang tua si anak mengulurkan tangan sebagai isarat untuk bersalaman. Dalam aksi bersalaman itu, barulah orang tua si anak menyampaikan kata-kata mengundang kepada tuan rumah yang di kunjungi: ”Saruponyokko anyo da, kadatangan kami karumah Ogek, uningko mambari tau bahaso hari Rabuko datang la munak karumah kami, karano anak kami nan banamo si anu tu nandak kami sunatkan, jadi samo-samo kito liekla anak kami nanandak kami sunatkan tu”. Kira-kira inilah kata-kata yang selalu di ucapkan setiap datang kerumah orang yang akan di undang yang artinya : Beginilah, kedatangan kami ke rumah ini untuk memberitahukan abang dan kakak bahwa, hari Rabu ini agar datang ke ruma kami, karena kami akan menyunatkan anak kami yang bernama si Anu, jadi sama-sama kita saksikanlah anak kami yang akan kami sunatkan itu. Mejelang



pelaksanaan



pesta



Disini kami jelaskan bahwa, tiga hari sebelum pelaksanaan acara pesta sunatan, kerabat terdekat sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang bertugas mengganti tiang peyangga rumah yang telah lapuk dan atap rumah yang bocor, ada yang sibuk mengerjakan pondok tempat memasak di belakang rumah, ada yang sibuk mengupas kelapa, ada yang sibuk mengumpulkan kayu bakar dan bermacam-macam keperluan lainnya. Induk Inang (Bidan Pengantin) sibuk dengan memasang perangkat pelaminan. Semakin dekat hari pelaksanaan pesta, semakin banyak tugas yang harus dikerjakan.



Bahkan kedua orang tua si anak yang akan disunat harus memporsir tenaga untuk memikirkan jangan ada sesuatu hal yang kurang dalam pelaksanaan pesta tersebut.   Tata Cara Pelaksanaannya     Seperti biasa sejak pagi para pekerja baik perempuan juga laki-laki, sudah sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ada yang sibuk memasak, ada yang sibuk dengan mempersiapkan makanan dan minuman.     Tepat jam sembilan pagi, anak yang akan disunat didudukan di atas kasu basuji yang biasa disebut dalam bahasa Pesisir, sebuah tilam yang telah dihiasi dengan sulaman benang emas sebagai hiasan tradisi di daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga. Dengan berpakaian seperti pakaian pengantin pria dalam pakaian adat Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga, anak yang mau di sunat duduk persis membelakangan pelaminan. Setelah sianak duduk, para kerabat si anak secara bergantian memberikan upa-upa dengan menyuapkan nasi putih seraya mencium kening si anak lalu berucap ”Sehatsehat awak da, panjang umu murah razaki awak, kok ala gadang awak bantu umak samo ayah da” lalu memberikan uang alakadarnya. Adapun maksud kata nasehat tadi adalah ”Sehat sehatlah kau nak, panjang umur dan murah rezekimu, kalau sudah dewasa bantu ibu dan ayahmu”. Setelah para kerabat selesai mengupa-upa, barula para undangan menyusul menyalami si anak seraya memberikan sumbangan uang alakadarnya. Setelah para undangan bersalaman dengan si anak, kemudian dipersilahkan duduk di atas tikar dengan posisi saling berhadapan, lalu dihidangi dengan makan bersama, sebagai penghormatan kepada para tamu yang telah datang memenhi undangan. Tepat pada jam sebelas menjelang siang, si anak digiring mandi ke sungai terdekat, lalu si anak disuruh berlama-lama berendam dalam air. Biasanya petugas untuk menyunat si anak disebut Modim datang pada jam 14 siang. Sebelum tukang sunat datang, si anak tidak diperbolehkan keluar dari air. Adapun maksud anak ini harus lama berada di dalam air agar kulit jakar si anak tidak keras saat di potong. Karena pada zaman dahulu alat pemotong kulit jakar biasanya terbuat dari sembilu (Kulit pelepah rumbia atau kulit bambu), tidak seperti sekarang yang memakai peralatan yang serba canggih. Jadi bila si anak lama berendam dalam air maka kulit jakarnya akan terlihat lembut saat di potong. Sementara si anak lagi sibuk mandi sambil berendam di sungai, atau ditempat lain yang dapat membantu proses melembutkan kulit jakar, beberapa orang kerabat si anak mempersiapkan Dulang (Talam) yang terbuat dari tembaga yang ditaburi dengan habu bekas pembakaran kayu, setelah itu habu tersebut dilengkapi dengan ujung pucuk daun pisang, Setelah Modim atau orang yang akan menyunat si anak datang, maka si anak dijemput ke sungai tampat si anak berendam, lalu dibawa pulang. Setelah sampai di rumah, si anak disuruh makan sirih yang telah disediakan, Setelah itu si anak disuruh membuka seluruh pakaiannya lalu di dudukkan di atas korsi dengan posisi mengangkang, sementara Dulang atau talam terletak di bawah antara selangkangan si anak. Dengan posisi yang demikian beberapa orang yang berdiri dibelakang korsi si anak memegang kepala si anak agar muka si anak menghadap ke atas, dan beberapa orang lainnya mengelus dada dan tangan si anak. Sesaat si anak menghadap ke atas orang



yang akan menyunat si anak mulai mengelus elus paha si anak lalu membuka cerita agar si anak dapat terlena mendengar cerita tersebut. Sambil melanjutkan cerita setelah mengelus paha si anak, si tukang sunat mengoleskan kapur sirih pada kulit ujung jakar si anak sebatas satu senti dari ujung jakar si anak. Adapun maksut di oleskannya kapur tersebut, akan dapat berpungsi agar kulit sedikit terasa kebas (Obat bius). Setelah situasi mengizinkan terlihat mulut tukang sunat komat kamit membaca mantra sesaat itu pula situkang sunat mencabut sembilu yang terselip di kantong bajunya lalu memotongkan ke ujung jakar si anak sebatas olesan kapur sirih yang telah di oleskan, biasanya dengan sekali potong, kulit ujung jakar akan terputus dari ujung jakar. Setelah kulit ujung jakar terputus, kulit ujung jakar yang tersisa di lempitkan keluar lalu di ikat kain perban. Setelah selesai jakar di perban, kulit ujung jakar yang terpotong diletakkan di atas ujung pucuk pisang lalu di lilit lalu di tanam ketanah bersama habu yang ada dalam Dulang (Talam)       Sedangkan si anak dibopong ke tempat tidur yaitu sebuah tilam basuji yang telah di persiapkan yang terletak biasanya di ruangan tamu rumah. Setelah itu, si anak diselimuti dengan posisi selimut yang sebelah tengah diikat ke atas, agar jakar si anak tidak tersintuh saat bergerak oleh selimutnya. Pada sore harinya, diadakanlah musyawarah keluarga yang mana dalam musyawah tersebut untuk menentukan siapa yang akan menjaga si anak pada malam hari pertama ini. Karena biasanya anak yang baru di sunat harus di jaga, agar tidak merapatkan kedua pahanya pada saat tidur. Demikianlah seterusnya sampai pada malam ke dua. Setelah hari ke tiga, si anak yang baru di sunat biasanya digiring kembali ke sungai, untuk dapat merendamkan seluruh tubuhnya ke daslam air, agar perban pembalut bekas sayatan pada jakar si anak yang semula mengeras dapat lembut dan akirnya terlepas dari jakar si anak. Setelah perban pembalut terlepas, si anak dibawa naik kembali kedarat, agar bekas sayatan dikeringkan. Biasanya untuk mengeringkan dan menghilangkan kulit jakar yang meradang dengan menempelkan batu-batu kecil yang panas oleh terpaan sinar matahari, yang banyak terdapat di pinggir sungai. Setelah kering, bekas sayatan diolesi dengan cairan hitam yang biasa di sebut minyak Bajo. Minyak ini terbuat dari hasil uapan tempurung kelapa yang dibakar, agar bekas sayatan segera sembuh. Demikianlah seterusnya dilakukan oleh si anak, sampai luka bekas sayatan dapat menyatu kembali. Perlu kami jelaskan bahwa, tatacara khitanan seperti yang kami jelaskan di atas adalah tatacara khitanan yang dilakukan dahulu oleh masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga. Cara khitanan ini sungguh sangat tradisional. Tidak mengherankan bila si anak yang di khitan biasanya sampai satu bulan baru bisa sembuh. Tidak seperti sekarang cara khitanan didukung dengan peralatan yang serba canggih. Adapun orang-orang yang merasakan tatacara khitanan ini, masih dapat kita jumpai diantaranya seperti Bapak Prof. Dr. Azhar Tanjung, ketua HIMSIMAS, yang dahulu tinggal di Pasa Balakkang Kota Sibolga, Bapak Mas'ut si Mamora di Barus, Bapak Ibrahim Pohan yang tinggal disekitar Jalan Aso-aso Sambas Kota Sibolga.



Adat



yang



diadatkan



MANGALUA



(Kawin



Lari)



      Mangalua adalah asal kata ”Mangapo Kalua” maksudnya mengapa keluar, berarti sebelumnya dilarang keluar. Ada paktor yang menunjukkan arti dari kalimat 'mengapa keluar' yang berarti sebelumnya ada didalam tetapi karena sesuatu hal yang memakksa harus keluar. Dalam arti yang lebih luas, dapat kita pahami bahwa sesuatu yang ada di dalam sedang menghadapi suatu masalah, yang mungkin tidak mendapatkan solusi, sehingga sesuatu itu harus keluar, walau dengan cara bagaimanapun. Hal inilah yang dirasakan oleh sebagian gadis-gadis Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga pada tahun 60han sampai  akhir 80han, sehingga memilih jalan kalua atau mangalua untuk melangsungkan pernikahan dengan pria idaman hatinya. Masalah-masalah yang membuat seorang Gadis harus mangalua untuk melangsungkan pernikahan Dalam kehidupan keseharian, masyarakat selalu dibayangi oleh beberapa hal seperti uang, kedudukan, status dan asal keturunan, sehingga setiap orang selalu berusaha untuk meraihnya walau dengan cara dan bagaimanapun. Bila beberapa hal tadi menemui kegagalan dalam meraihnya, maka seseorang itu biasanya akan dihinggapi penyakit rasa rendah diri. Hal ini terjadi pada masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga pada dekade 60han sampai dekade 80hal. Seperti kita ketahui bahwa, kehidupan sebagian besar masyarakat Pesisir yang tinggal di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga, menggantungkan kehidupan dengan mencari ikan di laut dan mengolah tanah pertanian. Sehingga pada waktu itu kehidupan masyarakat serba paspasan, tidak seperti sekarang ini semua serba berkecukupan. Dalam masa ekonomi yang serba kekurangan, membuat para remaja harus hidup apa adanya. Banyak para remaja harus rela membantu orang tua turun ke sawah bagi masyarakat yang tinggal jauh dari pinggir pantai, dan bekerja sebagai nelayan bagi masyarakat yang tinggal di pinggir pantai. Dari penghasilan yang didapat hanya bisa digunakan untuk biaya kehidupan se harihari. Kalau sudah demikian, sudah bisa dipastikan para remaja tidak akan pernah dapat menyisihkan sebagian penghasilannya, yang kelak akan digunakan untuk keperluanlainnya, termasuk untuk biaya pesta bagi para pria yang akan melangsungkan pernikahannya. Di sisilain, kehidupan remaja di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga tidak jauh berbeda dengan kehidupan remaja di daerah lain. Setiap remaja yang telah memasuki usia perkawinan, sudah tentu akan berhasrat untuk menikah demi melanjutkan keturunan. Sementara untuk melaksanakan hal demikian, bukanlah sesuatu hal yang mudah, karena harus membutuhkan dana yang tidak sedikit bagi ukuran isi kantong para remaja yang memasuki usia pernikahan pada waktu itu. Hal inilah yang biasanya membuat miris hati sebagian orang tua yang memiliki anak memasuki usia pernikahan, apalagi pihak wanita yang menjadi pacar si pria terus mendesak agar segera menikahinya.



Bila si pria tidak mampu memenuhi permiintaan si wanita, maka biasanya timbulah berbagai gosip di tengah-tengah masyarakat. Bila gosip itu bernada miring, alamat si pria akan mendapat malu, bila gosip itu bersifat positif, akan ada orang-orang yang mengusulkan agar si pria melarikan wanita itu ke rumah Tuan Khadi. Terkadang usulan itu datang dari orang tua si pria itu sendiri, karena merasa tidak mampu membiayainya.  Kalau sudah demikian, timbullah niat si pria menempuh jalan pintas dengan membawa si wanita lari kerumah tuan khadi Nikah, agar mereka dapat dengan mudah melangsungkan pernikahannya. Inilah yang dinamakan ”Mangalua”. Bilamana antara pria dan wanita sepakat untuk mangalua, apa lagi waktunya sudah ditentukan biasanya, beberapa hari lagi akan Mangalua, si wanita tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, memindahkan sebagian pakaiannya ke rumah orang yang tinggal dekat dengan rumah Tuan Khadi. Pada hari yang telah ditentukan tiba, si wanita keluar dari rumah biasanya pada jam 7 malam, sementara si pria menunggu tidak jauh dari rumah si wanita. Dengan jalan mengendap endap agar tidak ketahuan oleh tetanggga si wanita. Setelah aman dari pantauan masyarakat, barulah mereka bergerak menuju ke rumah Tuan khadi. Setelah sampai di rumah Tuan khadi, sang pria mengutarakan maksud mereka kepada Khadi nikah. Biasanya Khadi nikah, langsung merespon apa yang dimaksud oleh pasanan tersebut lalu memerintahkan sang Pria agar segera meninggalkan tempat dan pulang ke rumahnya. Keesokan harinya, berita ini segera meluas ke pelosok kampung. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan biasanya Bapak Tuan khadi pagi itu juga langsung memberitahukan hal ini kepada ke dua orang tua pihak perempan yang di luakan pria tersebut, lalu meminta saran atau pendapat ke dua orang tua perempuan. Bila kedua orang tua perempuan tidak merasa keberatan maka kedua pasangan ini akan segera dinikahkan dengan terlebih dahulu memberitahukan Kepala Desa sebagai saksi mewakili pemerintahan desa. Setelah akat nikah selesai, barulah segala persyaratan administerasi di urus agar pernikahan syah menurut hukum negara. Namun tidak semua orang tua si gadis rela diperlakukan dengan cara melarikan anak gadisnya kerumah Khadi, atau yang biasa di sebut mangalua. Kalau sudah demikian, biasanya para tokoh masyarakat atau tokoh adat, akan segera turun tangan untuk menyelesaikan masaalah ini. Faktor



Penyebab



Terjadinya



Mangalua



Ada beberapa Faktor yang menyebabkan terjadinya mangalua, di kalangan remaja di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga, yang sekarang ini sudah jarang terjadi. Paktor pertama biasanya adalah masaalah ekonomi bagi keduabelah pihak, seperti yang telah diuraikan di awal tulisan ini. Kedua adalah paktor kedudukan. Yang dimaksud dengan paktor ini adalah, apabila keluarga perempuan memiliki perekonomian yang serba berkecukupan, yang banyak memiliki harta yang banyak, biasanya tidak akan pernah merestui gadisnya menikah dengan pria yang hidup paspasan. Kalau sudah demikian maka, kedua insan yang berlainan status ekonomi ini, akan memilih untuk kawin lari alias mangalua. Ketiga adalah paktor keturunan. Adapun maksud dari paktor ini adalah, bila si



perempuan berasal dari keluarga ternama sejak dari kakeknya, tidak akan pernah merestui anak gadisnya menikah dengan pria yang hidup paspasan. Kalau sudah demikian, maka kedua insan yang berlainan status keturunan ini, akan memilih untuk kawin lari alias mangalua. Demikianlah sekilas tradisi dalam adat yang diadatkan pernah terjadi dahulu di tengahtengah masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga.    



TRADISI TURUN KARAI PADA MASYARAKAT PESISIR TAPANULI TENGAH dan KOTA SIBOLGA                         Setiap Etnis selalu memiliki tradisi tersendiri dalam mengaktualisasikan setiap kegiatan, baik yang bersifat kekeluargaan atau yang bersifat umum. Tradisi yang ada disetiap etnis sangat beraneka ragam. Ada tradisi turun kesawah, tradisi tolak bala, dan tradisi lainnya.     Di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga, ada sebuah tradisi yang biasa disebut tradisi turun karai. Tradisi ini selalu dilakukan oleh masyarakat yang tinggal disetiap kecamatan yang ada di daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga, walau dalam pelaksanaannya selalu perbedaan antara satu kecamatan dengan Kecamatan lainnya, namun perbedaan tersebut bukan jadi penghalang dalam melaksakannya.     Tradisi turun karai ini adalah sebuah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga secara berkala dan pada waktu tertentu dalam ruang lingkup kehidupan berkeluarga. Tradisi turun karai tersebut sampai sekarang masih terus dilakukan karena memiliki nilai yang sangat pundamental di tengah tengah kehidupan masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga.     Tradisi ini diperkirakan telah ada dan dilakukan sejak abat ke sepuluh masehi sampai sekarang. Tradisiyang sangat kental dengan unsur keagamaan ini, memiliki arti penting dalam membina mentalspirtual, sehingga dalam setiap tahapan pelaksanaannya tidak terlepas dari tuntunan agama Islam.     Bagi kebanyakan masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga merasa bangga apabila dapat melakukan acara ini terhadap anaknya yang baru lahir, namun bukan berarti kegiatan ini menggambarkan sitrata tingkat ekonomi masyarakat. Kegiatan ini dapat dilakukan siapa saja karena tidak memerlukan biaya banyak.                     Namun entah apa penyebabnya akir akir ini, tradisi kegiatan turun ka rai sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Pesisir yang mendiami Pantai Barat Sumatera Utara. Mesjit Raya Kecamatan Barus, Mesjit Raya Pasar Sorkam, Mesjit Agung kota Sibolga yang mewakili seluruh mesjit yang ada di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga menjadi saksi bisu dalam pelasanaan acara ini.     Perlengkapan acara     1-    Ayunan yang terbuat dari rotan atau sebangsanya lalu dihiasi     2-    Payung kuning.     3-    Kain panjang.     4-    Air limau untuk mandi.     5-    Selendang putih.     6-    Kue Itak. (Tepung beras dicampur dengan gula dan minyak pisang lalu dicampur dengan Durian (Kalu ada) lalu diaduk hingga merata, masukkan air sedikit lalu di bulatkan dengan cara mengepalnya. Setelah berbentuk bulatan bekas kepalan lalu dikukus.     7-    Beras kunyit dicampur dengan bunga-bungaan yang telah di buka dari kelopaknya. Cara pelaksanaannya Setelah bayi berumur empat puluh hari, dan si ibunya uda bersih dari Nipas (Menurut tuntunan agama Islam) lalu di hari pelaksanaannya, biasanya hari yang dipilih hari Jum'at. Pada hari Jum'at pagi sekitar jam tujuh si bayi dan si Ibu sudah keadaan bersih dari hadas, baik hadas kecil maupun hadas besar. Lalu si Bayi di gendong oleh oncunya dan si Ibu memakai kerudung putih dan salah seorang dari



rombongan membawa Itak Itak dengan berjalan kaki menuju Mesjid yang terdekat, diiringi para tetangga baik laki laki dan perempuaan yang membawa mukenanya (Telekung) masing masing. Sejak dari turun kebawah atau keluar rumah, si Bayi dipayungi dengan payung kuning beserta ibunya.  Lima puluh meter menjelang sampai ke Mesjid, salah seorang muazzin Mesjid melakukan azan (Bukan Azan untuk Sholat) sebagai sambutan kepada bayi yang baru lahir kedunia ini. Sesampainya di Mesjid, Payung kuning di dirikan di sebelah kanan pintu Mesjid lalu si bayi lalu dimadikan dengan air yang terdapat dalam kulah Mesjid. Setelah air merata mengenai badan si bayi, lalu kepalanya disiram dengan air limau, seiring dengan itu pula para rombongan mengambil air udluk bagi yang belum berudluk dari rumah. Setelah selesai Azan berkumandang, Bayi yang sudah di bedung dengan kain panjang lalu ditidurkan di tengah Mesjid dengan dijaga oleh salah seorang kerabatnya. Para rombongan lalu masing masing mendirikan sholat Dhuha. Setelah selesai Sholat Dhuha, rombongan keluar dari dalam Mesjid yang pertama keluar adalah salah seorang yang membawa Itak Itak lalu si Bayi dan Si ibu lalu dipayungi kembali seperti semula, sebelum melangkah sianak didirikan sampai kakinya menyentuh tanah. Setelah itu si anak kembali di gendong lalu berjalandengan  diiringi rambongan. Biasanya disepanjang jalan sudah menanti anak anak kecil berdiri di sepanjang jalan menuju rumah si bayi, lalu sambil berjalan, Itak Itak yang dibawa dibagikan satu persatu kepada anak anak tersebut. Adapun maksud membagikan Itak Itak tersebut adalah untuk menyambangi semangat (Sumangek) si Anak agar tumbung menjadi orang yang baik dan rela menolong sesama. Setelah sampai di rumah, kakek dan nenek sianak dari kedua belah pihak nyambutnya dengan siraman beras kunyit, lalu berkata ”Selamat datang munak ale!.......Salamat datang munak ale!..........Salamat datang munak ale. Demikialah yang diucapkan oleh sang kakek dan nenek si anak dengan bergantian. Setelah sampai di pintu lalu sianak dimasukkan kedalam ayunan yang telah dihias lalu diayun dengan berpantun seperti pantun di bawah ini : Ayunkan tajak ayunkan tajak Tajak sarimbang dari jao Ayunkan anak ayunkan anak Anak satimbang samo nyao



Tradisi Manjanguk (Tukam) Bagi Masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga     Kematian adalah sesuatu yang pasti. Dan itu telah menjadi bagian dari kehidupan manusia tanpa kecuali di permukaan bumi ini. Tiada satupun yang hidup kekal dalam kehidupan ini, semua akan masuk kedalam kematian sesuai dengan petunjuk berbagai kitap suci, termasuk kitap suci Al Qur'an selaku kitap suci umat Islam yang kita yakini sampai saat ini. Setiap kematian yang menimpa warga masyarakat, selalu mendapat perhatian dari warga dimana kematian itu terjadi. Lalu wargapun datang untuk melayat untuk menyampaikan rasa perihatin dan belasungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan. Dan hal ini lumrah dilakukan disetiap ada warga yang ditimpa kemalangan di daerah manapun berada. Namun tata cara melayat ini selalu sama dan hampir tidak ada perbedaannya dari daerah satu dengan daerah lainnya di nusantara ini. Tidak demikian halnya dahulu di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga. Di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga dahulu mempunyai tradisi tersendiri dalam melayat bila ada salah seorang warga yang ditimpa kemalangan. Namun tradisi tersebut hampir tidak ada bedanya dari daerah lain. Yang membedakaannya hanya letak kain yang tergantung di bahu para pelayat laki laki. Bila dilihat dari krakter tradisi ini tidak begitu mempunyai nilai historis secara menyeluruh, tetapi hanya



sebagai sebuah simbul penyampaian berita bagi warga setempat. Dari itulah mungkin membuat masyarakat akir akir ini tidak melakukannya lagi. Untuk itu penulis ingin memaparkan dalam buku ini agar generasi sekarang dan yang akan datang dapat mengetahui bahwa tradisi ini pernah ada di daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga. Ini adalah sebuah tugas pewarisan yang harus disampaikan, mengingat perkembangan budaya luar yang begitu dahsyat menyerang budaya kehidupan generasi muda di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga. Sudah menjadi tradisi di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga, apabila ada yang ditimpa musibah kematian. Para pelayat laki laki selalu memakai baju teluk belanga, lalu menyandang kain yang sudah dilipat sedemian rupa di atas bahunya. Dari bentuk dan cara meletakkan kain yang terlipat inilah masyarakat umum dapat mengetahui jenis kelamin, orang tua atau anak anak yang meninggal dunia tersebut.Cara ini dahulunya menjadi sebuah tradisi di setiap desa di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga. Inilah sebuah tradisi yang unik dan tidak dimiliki oleh etnis lain. Tradisi ini sudah berlaku turun temurun di kalangan masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan kota  Sibolga. Namun belakangan ini tradisi tersebut sudah tidak dilakukan lagi, bahkan generasi sekarang tidak mengetahui tradisi ini pernah ada di daerahnya.



Bila yang meninggal dunia adalah laki laki dewasa yang telah berkeluarga, maka letak kain yang dilipat biasanya di atas bahu sebelah kanan, lalu ujung kain yang mengarah kebelakang.



                    Bila yang meninggal laki laki dewasa yang belum berumahtangga, maka letak kainnya tetap di atas bahu kaman tetapi ujung kain arah ke depan.



            Bila yang meninggal dunia laki laki yang baru lahir atau yang masih dibawah umur maka kain digantungkan di tangan sebelah kanan, ujungnya mengarah ke belakang.



Bila yang meninggal dunia perempuan dewasa yang sudah berumah tangga, maka letak kainnya biasanya di atas bahu kiri, ujung kain mengarah kebelakang.



   



            Bila yang meninggal perempuan yang belum berumahtangga ujung kain mengarah ke depan.



Bila perempuan yang meninggal perempuan yang baru lahir atau masih di bawah umur, maka letak kain digantungkan di tangan sebelah kiri ujung kain mengarah ke depan.



Cara melipat kain Pertama kain sarung dibentangkan, lalu dilipat dua dengan mempertemukan ujung dan pangkal kain. Setelah itu kain dilipat lagi dengan mempertemukan kedua sisi kain, lalu dilipat lagi dengan mempertemukan ke dua sisi kain, lalu dilipat lagi dengan mempertemukan ke dua sisi kain. (Lihat gambar)



Lirik Lagu Sibolga Negri Berbilang Kaum November 11, 2017 Music Video 



Banyak nagari yg ambo jalani indak salamak nagari siboga kota yg ketek panduduk nyo padek urang ramah dari na gadang nan ketek wisata alam ado dimano mano dari bukik lawik sampe kapulonyo baitu taikek hati ambo disiko terus bancana pun baitu juo simarbarimbing tampek mammandang dimalam hari lawik hijo biru baitu indah manghiasi urang lamak kalo di pulo poncan gadang indak kito singgahiii……….. reff : sibolga negeri berbilang kaum alam nyo indah mambuek namonyo jadi harum samboyan saiyo sakato tarus mangalun…… indak siyo siyo rajo tuan kudoro mambangun… nagari kito kota siboga



My Blog Ridwansyah Putra Youtube Chanel : Ridwansyah Putra