TB Resisten Obat (EGY) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Tuberkulosis yang Resisten terhadap Obat Egy Pradana Yudhistira 102012247 / A7 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510 Telp : 021-56942061, Fax : 021-5631731 [email protected]



A. Pendahuluan Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberculosis sebagai “Global Emergency”. Saat ini yang menjadi masalah besar ialah pasien dengan TB yang mendapat koinfeksi HIV dan telah banyak berkembang menjadi resisten terhadap pengobatan yang diberikan yang disebut dengan TB multidrug-resistant (TB-MDR). Pada tahun 2008, Badan kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) memperkirakan di dunia terdapat sekitar 440.000 kasus TB yang resistan terhadap INH dan Rifampisin (TB MDR) setiap tahunnya dengan angka kematian sekitar 150.000. Dari jumlah tersebut baru sekitar 8,5% yang telah ditemukan dan diobati.1,2 Pada kasus yang saya dapatkan dimana seorang pasien laki-laki berusia 35 tahun datang untuk mengetahui kondisi penyakit TB parunya. Pasien mempunyai riwayat pengobatan TB 2x. pertama kali berobat pasien hanya minum obat selama sekitar 3 bulan kemudian tidak melanjutkan pengobatannya lagi. Saat ini pasien menjalani pengobatan TB yang ke2 kalinya, pasien mendapatkan suntik kali ini dan sudah berjalan 6 bulan.



B. Pembahasan I.



Klasifikasi TB resisten obat



TB resisten obat ialah keadaan dimana kuman sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT. Suspek TB resistan obat adalah semua orang yang mempunyai gejala TB yang memenuhi satu atau lebih kriteria suspek dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.2



1



Tabel 1. Suspek TB berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya2 Pasien yang belum pernah mendapapat pengobatan dengan OAT atau pernah di Pasien baru obati menggunakan OAT < 1 bulan Pasien yang mendapatkan pengobatan ulang karena : Pengobatan ulangan  Kasus gagal pengobatan : pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. Hal ini ditunjang dengan rekam medis dan atau riwayat pengobatan TB sebelumnya.  Kasus kambuh : pasien TB yang sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis dan biakan positif.  Pasien kembali setelah loss to follow up (lalai berobat / default) : pasien yang kembali berobat setelah loss to follow up / berhenti berobat paling sedikit 2 bulan dengan pengobatan kategori 1 atau kategori 2 serta hasil pemeriksaan dahak menunjukkan postif (+).  Tidak diketahui : pasien yang telah mendapatkan pengobatan TB > 1 bulan tetapi hasil pengobatannya tidak diketahui atau tidak tercatat/terdokumentasi Pasien TB yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak jelas atau tidak dapat Lain-lain dipastikan



Terdapat 5 kategori TB yang resistansi terhadap OAT, yaitu : a. Monoresistan: resistan terhadap salah satu OAT, misalnya resistan isoniazid (H) b. Poliresistan: resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya resistan isoniazid dan ethambutol (HE), rifampicin ethambutol (RE), isoniazid ethambutol dan streptomisin (HES), rifampicin ethambutol dan streptomisin (RES). c. Multi Drug Resistan (MDR): resistan terhadap isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya resistan HR, HRE, HRES. d. Ekstensif Drug Resistan (XDR): TB MDR disertai resistansi terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin). e. Total Drug Resistan (Total DR): Resistansi terhadap semua OAT (lini pertama dan lini kedua) yang sudah dipakai saat ini.2



II. Anamnesis - Identitas - Keluhan utama pasien yang saya dapatkan ialah ingin mengetahui kondisi penyakiit TB parunya. 2



-



-



-



III.



Riwayat penyakit sekarang : tanyakan perkembangan penyakit yang telah dideritanya apakah gejala klinisnya makin berat setelah putus obat atau tidak? (batuk, sesak nafas, hemoptisis, demam, keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan) Riwayat penyakit dahulu Riwayat penggunaan obat : Pasien mempunyai riwayat pengobatan TB 2x. pertama kali berobat pasien hanya minum obat selama sekitar 3 bulan kemudian tidak melanjutkan pengobatannya lagi. Saat ini pasien menjalani pengobatan TB yang ke2 kalinya, pasien mendapatkan suntik kali ini dan sudah berjalan 6 bulan. Riwayat keluarga : adakah di keluarga atau masyarakat di lingkungan sekitar yang mengalami penyakit TB? Riwayat sosial : apakah mengkonsumsi alkohol, rokok, penggunaan obat IV dan riwayat berpergian keluar negeri? Pemeriksaan fisik



Hasil pemeriksaan fisik yang di dapatkan ialah keadaaan umum pasien tampak sakit ringan, kesadaran compos mentis, TD 120/80, N 78x, RR 20x, suhu 37 0C.



IV. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan bakteriologik a. Bahan pemeriksaan : dahak/sputum, cairan pleura, bilasan bronkus, bilasan lambung, urin, faeces dll. b. Cara pengumpulan : Sewaktu (dahak sewaktu kunjungan), Pagi (diberi tampungan dahak untuk diambil keesokan harinya), Sewaktu (pada saat mengantarkan dahak pagi) c. Cara pemeriksaan : Mikroskopik (pewarnaan Ziehl_Nielsen & auramin_rhodamin) dan biakan. Interpretasi hasil pemeriksaan sputum dan berdasarkan skala IUATLD dapat dilihat pada tabel 2 dan 3 di bawah ini.



Tabel 2. Interpretasi Hasil Pemeriksaan sputum1 Interpretasi hasil pemeriksaan sputum SPS  3 kali (+) atau 2 kali (+), 1 kali (-) = BTA (+) 



1 kali (+), 2 kali (-) = ulang BTA 3 kali, kemudian Bila 1 kali (+), 2 kali (-) = BTA (+) Bila 3 kali (-) = BTA (-)



3



Tabel 3. Interperetasi skala IUATLD (rekomendasi WHO).1 Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD Tidak ditemukan BTA / 100 lapang pandang Negatif Ditemukan 1-9 BTA / 100 lapang pandang Tulis jumlah kuman Ditemukan 10-99 BTA / 100 lapang pandang (+1) Ditemukan 1-10 BTA / 1 lapang pandang (+2) Ditemukan > 10 BTA / 1 lapang pandang (+3) d. Pemeriksaan biakan kuman M. tuberculosis dengan metode konvensional ialah Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh) dan Agar base media (media brook). e. Pemeriksaan Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT) dapat digunakan uji nikotinamid, uji niasin, maupun campuran dengan cyanogens bromide serta melihat pigmen yang timbul. 2. Pemeriksaan radiologi standar dengan foto toraks AP, pemeriksaan indikasi lain bisa dengan foto lateral, top-lordotik, CT-scan. Pada pemeriksaan foto toraks dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform) pada lesi TB aktif seperti : - Bayangan berawan / nodular di segmen apical dan posterior lobus atau paru dan segmen superior lobus bawah. - Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular - Bayangan bercak milier - Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral. Sedangkan gambaran radiologic yang dicurigai lesi TB inaktif yaitu adanya fibrotic, kalsifikasi dan penebalan pleura (Schwarte). Luluh paru (destroyed lung) : gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologi luluh paru terdiri dari atelktasis, ektasis/multikaviti dan fibrosis parenkim paru.



Gambar 1. Gambaran radiologi TBC paru (Sumber: http://www.google.co.id/imgres?imgurl=tuberkulosis-paru-apa-dan-bagaimana-)



4



3. Pemeriksaan khusus Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberculosis secara lebih cepat seperti dibawah ini: - Pemeriksaan BACTEC dengan dasar pemeriksaannya ialah metode radiometric. M.tuberculosis memetabolisme asam lemak yang menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Bentuk lain teknik ini ialah dengan menggunakan Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT). - Polymerase chain reaction (PCR) ialah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA M. tuberculosis, bahan/specimen pemeriksaan yang digunakan dapat berasal dari paru atau ekstraparu yang terlibat. Apabila hasil pemeriksaan PCR (+) sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kea rah diagnosis TB maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan diagnosis TB. - Pemeriksaan serologi dengan berbagai metode :  Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan uji serologi yang mendeteksi respons humoral berupa proses antigen-antibodi. Beberapa masalah dalam teknik ini ialah kemungkinan antibody menetap dalam waktu yang cukup lama.  Uji immunochromatograpic tuberculosis (ICT) yaitu uji serologi mendeteksi antibody M. tuberculosis dalam serum menggunakan 5 antigen spesifik dari membrane sitoplasma M. tuberculosis diantaranya antigen M. tb 38 kDa. Ke 5 antigen diendapkan dalam bentuk garis melintang pada membrane immunokromatografik (2 diantaranya di gabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibody IgG M. tuberculosis maka antibody akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna ,erah muda. Uji positif bila setelah 15 menit terbentuk garos kontrol dan minimal satu dari 4 garis antigen pada membrane.  Uji mycodot ialah untuk mendeteksi antibody antimikrobakterial dengan menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan di suatu alat berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini dicelupkan ke dalam serum pasien, bila di dalam serum terdapat antibody spesifik anti LAM dalam jumlah memadai sesuai aktivitas penyakit maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah.  Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)  Uji serologi IgG TB ialah uji serologi baru dengan mendeteksi antibody IgG dengan antigen spesifik untuk M. tuberculosis. Uji IgG berdasarkan antigen mikobakterial rekombinan seperti 38 kDa dan 16 kDa serta kombinasi lainnya akan memberikan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang dapat diterima untuk diagnosis.1



5



Namun saat ini pemeriksaan serologi diatas belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis Mycobacterium Tuberculosis.1 4. Pemeriksaan penunjang lain - Analisis cairan pleura. Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis M. tuberculosis adalah uji Rivalta (+) dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dan glukosa darah. - Pemeriksaan histopatologi jaringan dilakukan dengan bahan yang dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi yaitu biopsi aspirasi dengan jarum halus kelenjar getah bening; biopsi pleura melalui torakoslopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman; dan biopsy jaringan paru dengan bronkoskopi, trans thoracal needle aspiration, serta dengan biopsi paru terbuka). Dimana pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histopatologi. - Pemeriksaan darah rutin hasilnya kurang menunjukkan indicator yang spesifik untuk tuberculosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indicator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap yang normal tidak menyingkirkan tuberculosis, serta Limfosit pun kurang spesifik. - Uji tuberculin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberculosis. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositivan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan HIV uji ini dapat memberikan hasil negative.1 5. Pemeriksaan uji resistensi kuman terhadap OAT dengan uji konvensional (Media padat Lowenstein-Jensen dan uji kepekaan M.tuberculosis secara cepat (rapid test). - Uji Lowenstein-Jensen bahan medianya ialah yang mengandung OAT dengan konsentrasi Isoniazid 0,2 ug/ml; Streptomycin 4 ug/ml, Rifampicin 40 ug/ml rifampicin 40 ug/ml. Perhitungan penetapan persentasi dari resistensi kuman terhadap OAT ialah jumlah koloni yang terdapat di media mengandung OAT (kuman resisten) dibagi dengan jumlah kuman di media yang bebas OAT dan dikalikan 100. Jika hasil yang didapatkan dibawah 1% maka kuman dinyatakan sensitive dan jika minimal 1% maka kuman dinyatakan resisten. - Uji kepekaan M.tuberculosis secara cepat (rapid test) meliputi :  Line probe assay (LPA) yaitu pemeriksaan molekuler yang didasarkan pada PCR dikenal sebagai Hain test/ Genotype MDRTB plus. Hasil pemeriksaan dapat diperoleh dalam waktu kurang lebih 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari M.tuberculosis yang resistan terhadap rifampisin (R) ternyata juga resistan terhadap isoniazid (H) sehingga tergolong TB-MDR.2  Gene Xpert merupakan tes molekuler berbasis PCR dan merupakan tes amplifikasi asam nukleat secara automatis sebagai sarana deteksi TB dan uji kepekaan untuk rifampisin. Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 1-2 jam.2



6



Hasil pemeriksaan penunjang pada kasus saya ialah BTA (+3), trombosit 160 uL, LED 70 mm/jam Hb 10 g/dL, Ht 30 % V.



Diagnosis banding Diagnosis banding saya dapat dilihat dari tabel 4 dan gambar 2 di bawah ini :



Tabel 4. Perbandingan antara TB putus obat non resisten OAT, TB resisten OAT, TB MDR dan TB XDR.1-3 Diagnosis Banding Definisi Pengobatan Pasien yang telah menjalani Fase awal 2-3 bln fase lanjutan 4 / 7 bln TB putus obat pengobatan >1 bulan dan tidak Berobat >4 bln BTA (-) : Non resisten OAT mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatan selesai



-Klinis (–) Radio (-) => OAT stop -Radio (+) => d/lebih lanjut & pertimbangkan pykt paru lain.



-Berobat dimulai dr awal dg ob kuat + jangka lama. -BTA (-) Rad (+) teruskan obat & uji resisten



TB Resisten Obat



Keadaan dimana kuman sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT. Suspek TB resisten dapat dilihat pada tabel 4.



TB MDR



Resistan terhadap isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain. (cth: resistan HR, HRE, HRES)



TB XDR



TB MDR disertai resistansi terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).



Fase pemberian obat: Fase awal 6 bulan (oral tiap hari selama 1 minggu, suntikan 5 hari selama 1 minggu) Fase lanjutan 18 bulan (oral 6 hari selama 1 minggu)



7



Gambar 2. Alur diagnosis TB resisten.2



VI.



Diagnosis kerja



Diagnosis kerja saya ialah TB resisten obat ditinjau berdasarkan dari kalisifikasi suspek TB resisten obat, riwayat pengobatan pasien (jenis pengobatan dan lama terapi) dan hasil pemeriksaan mikroskopis (+3).



VII.



Faktor yang mempengaruhi terjadinya TB resisten



TB resisten obat dapat mengenai siapa saja. Akan tetapi biasanya terjadi pada orang yang tidak menelan obat TB secara teratur atau seperti yang disarankan oleh petugas kesehatan; sakit TB berulang serta mempunyai riwayat pengobatan TB sebelumnya; pasien immunosupresif (HIV, DM); datang dari wilayah yang mempunyai beban TB Resisten obat yang tinggi; dan kontak erat dengan seseorang yang sakit TB resisten obat, TB MDR, atau TB XDR.3 Resisten terhadap obat anti TB dapat terjadi karena pemberian obat yang tidak tepat yaitu pasien tidak menyelesaikan pengobatan yang diberikan, petugas kesehatan memberikan pengobatan yang tidak tepat (baik paduan, dosis, lama pengobatan dan kualitas obat) serta adanya kendala suplai obat yang tidak selalu tersedia.3



8



VIII. Etiologi Tuberculosis ialah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex. bakteri ini berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Berukuran lebar 0,3-0,6 mm dan panjang 1-4 mm. dinding M. tuberculosis sangat komplek terdiri dari lapisan lemak (60%) penyusun utama dindingnya ialah asam mikolat, lilin kompleks, trehalosa dimikolat (cord factor) dan mycobacterial sulfolipids (virulensi). Unsure lain yang terdapat pada dinding bakteri ini ialah polisakarida (arabinogalaktan & arabinomanan). Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan M. tuberculosis bersifat tahan asam yang apabila diberi pewarnaan Ziehl-Neelsen (karbol-fukhsin) akan tetap tahan (warna merah) meski dilakukan upaya penghilangan zat warna tersebut dengan asam-alkohol.1



Gambar 3. Bakteri Mycobacterium tuberculosis (Sumber: http://www.google.co.id/imgres?bakteri-m-tb.jpg%253Fw%253DFahliparu)



IX.



Epidemiologi



Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2009, Indonesia merupakan negara dengan kasus TB terbesar ketiga di dunia, setelah Cina dan India. WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 539.000 kasus baru TB (semua tipe), sedangkan TB paru sebesar 236.029, kasus dengan kematian karena TB sekitar 250 orang perhari. Terdapat 6 provinsi dengan TB paru tertinggi di Indonesia dapat dilihat pada tabel 5 dibawah ini.4,5 Tabel 5. Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru di Indonesia tahun 2013.4 Provinsi



Diagnosis TB



Jawa Barat Papua DKI Jakarta Gorontalo Papua Barat Banten



0,7 % 0,6 % 0,6 % 0,5 % 0,4 % 0,4 %



Gejala TB paru Batuk > 2minggu Batuk darah 3,3 % 5,1 % 4,2 % 4,6 % 3,5 % 2,7 %



2,8 % 4,5 % 1,9 % 4,8 % 2,7 % 3,2 %



9



X.



Patofisiologi



Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara (inhalasi droplet). TB ialah penyakit yang dikendalikan oleh respons imunitas diperantarai sel. Sel efektornya ialah makrofag dan limfosit sel T merupakan imunosupresif. Tipe ini biasanya local, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas seluler.6 a. Tuberculosis primer kuman yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga terbentuk suatu sarang pneumoni yang disebut sarang primer (afek primer). Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer ini akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis local). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut: - Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum), - Sembuh dengan meninggalkan bekas sedikit (sarang Ghon, garis fibrotic, sarang perkapuran di hilus) - Menyebar dengan cara :  (perkontinutatum) menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis yaitu suatu kejadian penekanan brongkus, biasanya bronkus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi saluran napas dengan akibat atelektasis. Kuman akan menjalar sepanjang brongkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus atelektasis tersebut.  Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya.  Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulksn keadaan cukup gawat seperti tuberculosis milier, meningitis tuberculosis,\. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberculosis pada alat tubuh lainnya misalnya tulang, ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan sembuh meninggalkan sekuale (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkulom) atau meninggal.1



10



b. Tuberculosis post primer Akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberculosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberculosis postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam seperti tuberculosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberculosis menahun, dan sebagainya. Bentuk inilah yang menjadi masalah kesehatan dimasyarakat karena merupakan sumber penularan. Tuberculosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apical lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut: - Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat - Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar. - Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi :  Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang ini akan mengikuti pola perjalanan seperti di atas.  Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi) dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.  Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).1



11



.



Gambar 4. Patogenesis tuberculosis paru.1



XI.



Gejala klinis



Pasien tersangka TB paru yang menunjukkan gejala utama berupa batuk berdahak selama 2 sampai 3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan keluhan penyerta lain seperti dahak bercampur dengan darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari 1 bulan.3



Gambar 5. Tanda dan gejala TBC. (sumber: http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http%3A%2F%2F3.bp.Firawiastuti7)



12



XII.



Penatalaksanaan a. Medikamentosa



Pemberian obat pada TB resisten obat dapat diberikan dengan 2 fase yaitu fase awal (4–6 bulan) dan fase lanjutan (18-24 bulan). Fase awal ialah obat peroral ditelan setiap hari (7hari dalam seminggu), suntikan diberikan 5 hari dalam seminggu (senin-jumat). Adapun pengelompokan OAT, perhitungan dosis OAT untuk TB Resisten obat, paduan pemberian OAT untuk TB Resisten Obat serta efek samping OAT dapat dilihat pada tabel 6, 7, 8 dan 9.2 Tabel 6. Pengelompokan OAT.2 Golongan Jenis Golongan 1 Obat lini Pertama



Golongan 2



Obat suntik lini kedua



Golongan 3



Golongan florokuinolon



Golongan 4



Obat bakteriostatik lini kedua



Golongan 5



Obat yang belum terbukti efikasinya dan tidak direkomendasikan WHO untuk rutin TB MDR



Obat Isoniazid (H) Pirazinamid (Z) Rifampisin (R) Streptomisin (S) Etambutol (E) Kanamisin (Km) Kapreomisin (Cm) Amikasin (Am) Levofloksasin (Lfx) Ofloksasin (Ofx) Moksifloksasin (Mfx) Etionamid (Eto) Terizidon (Trd) Protionamid (Pto) Para amino salisilat (PAS) Sikloserin (Cs) Clofazimin (Cfz) Klaritromisin (Clr) Linezolid (Lzd) Imipinem (Ipm) Amoksilin/Asam Klavulanat (Amx/Clv)



Tabel 7. Perhitungan dosis OAT untuk TB Resisten Obat.2 OAT



Kanamisin Etambutol Kapreomisin Pirazinamid Levofloksasin (dosis standar) Levofloksasin (dosis tinggi) Moksifloksasin Sikloserin Etionamid PAS



70 kg 1000 mg 1600-2000 mg 1000 mg mg 1750-2000 mg 750-1000 mg



1000 mg



1000 mg



1000 mg



1000 mg



7,5-10 mg/kg 15-20 mg/kg/hari 15-20 mg/kg/hari 150 mg/kg/hari



400 mg 500 mg 500 mg 8000 mg



400 mg 750 mg 750 mg 8000 mg



400 mg 750-1000 mg 750-1000 mg 8000 mg



Tabel 8. Paduan pemberian OAT untuk TB Resisten Obat.2 13



Kegunaan Paduan standar (TB MDR)



Paduan OAT Km–Eto–Lfx–Cs –Z– (E) / Eto–Lfx–Cs–Z–(E)



Jika resistensi kanamisin



Cm–Eto–Lfx–Cs–Z–(E) / Eto–Lx–Cs–Z–(E)



Jika resistensi kuinolon Paduan standar TB XDR Keterangan : -



Km–Mfx–Eto–Cs–PAS–Z–(E) / Mfx–Eto–Cs –PAS–Z–(E) Cm–Mfc–Eto–Cs-PAS–Z–(E) / Mfx–Eto–Cs–PAS–Z– (E)



Tahap awal diberikan dengan suntikan selama 6 bulan. Tahap lanjutan pemberian dengan OAT tanpa suntikan setelah menyelesaikan tahap awal. Etambutol tidak diberikan jika terbukti sudah resisten atau riwayat pengobatan sebelumnya terbukti resistensi terhadap etambutol. Jika moksifloksasin (Mfx) tidak tersedia dapat digunakan levofloksasin dengan dosis tinggi.



Tabel 9. Efek samping OAT.2 Obat Km, Cm, Z, E, Eto, PAS Km, Cs, Eto, Lfx Eto, PAS, Z, E, Lfx Z, Eto, Lfx PAS Eto, Cs Km, Cm, Eto Z, Lfx Lfx Km, Cm Cs, Lfx, Eto PAS, Eto PAS, Eto, Z E Cs Cs, Lfx Lfx dosis tinggi PAS, Eto



Efek samping



Rx kulit alergi ringan – sedang Neuropati perifer Mual muntah ringan – berat, kelainan fungsi hati Anoreksia Diare Nyeri kepala Vertigo Artalgia Gangguan tidur Hipokalemia, nyeri tempat suntikan, kelainan fungsi ginjal, gangguan elektrolit berat, gangguan pendengaran, syok anafilaktik Depresi Gastritis Perdarahan lambung Gangguan penglihatan Gangguan psikotik Kejang Tendinitis Hipotiroid



b. Non medikamentosa Pasien dianjurkan untuk istirahat yang cukup, makan-makanan bergizi seimbang dan meningkatkan higienitas diri maupun lingkungan.2-3



14



XIII. Pencegahan Pencegahan penyakit tuberkulosis dilakukan dengan perilaku hidup bersih dan sehat seperti makan makanan yang bergizi seimbang sehingga daya tahan tubuh meningkat untuk membunuh kuman TB; tidur dan istirahat yang cukup; menghindari rokok, alkohol dan narkoba; serta menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal.2-3 Pencegahan lainnya ialah dengan Vaksin BCG (Beku Kering) dengan kemasan 5 dan 10 ampul. Tiap ampul mengandung Bacilus Calmette Guerin hidup 1,5 mg dan pelarut natrium klorida 0,9 % diberikan secara intradermal untuk bayi dibawah usia 1 tahun, untuk pproteksi maksimum diberikan rutin kepada semua bayi segera setelah lahir.7



Gambar 6. Pencegahan TBC (Sumber: http://www.google.co.id/pencegahan-TBC4)



XIV. Komplikasi Pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi baik sebelum pengobatan, dalam masa pengobatan ataupun setelah pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungkin timbul adalah batuk darah, pneumotoraks, luluh paru, gagal napas, gagal jantung dan efusi pleura.1-3 XV.



Evaluasi



Evaluasi klinis yaitu evaluasi terhadap respons pengobatan (ada tidaknya efek samping obat / komplikasi penyakit), evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik Evaluasi bakteriologi dan radiologi (0-2-6/8 bulan pengobatan) tujuannya ialah untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak dan hasil foto toraks. Evaluasi ini dilakukan pada sebelum pengobatan, setelah 2 bulan pengobatan intensif dan pada akhir pengobatan lanjutan. Pada pasien yang dinyatakan sembuh tetap dilakukan evaluasi minimal 2 tahun pertama setelah sembuh. Hal ini untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks.1-3



15



XVI. Prognosis Prognosisnya buruk, karena pengobatan TB resisten obat lebih sulit dibandingkan dengan pengobatan kuman TB yang masih sensitive. Dimana memerlukan waktu penyembuhan lebih lama (pasca pengobatan) yaitu sekitar 18-24 bulan.3



C. Penutup Kesimpulan Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2009, Indonesia merupakan negara dengan kasus TB terbesar ketiga di dunia, setelah Cina dan India. Saat ini yang menjadi masalah besar ialah pasien dengan TB yang resisten terhadap pengobatan yang diberikan, keadaan dimana kuman sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT. Salah satu faktor terjadinya resistensi ialah pada orang yang tidak menelan obat TB secara teratur atau seperti yang disarankan oleh petugas kesehatan. Pengobatan TB resisten obat lebih sulit dibandingkan dengan pengobatan kuman TB yang masih sensitive dikarenakan waktu penyembuhan lebih lama sekitar 18-24 bulan dan harga obatnya juga jauh lebih mahal dibandingkan dengan pengobatan TB biasa karena memakai pengobatan lini kedua. Penyembuhan dapat tercapai dengan tingginya kedisiplinan dalam proses pengobatan (baik pasien maupun petugas kesehatan) serta distribusi obat yang memadai. Jadi pasien pada skenario yang saya bahas diduga menderita TB Resisten obat.



16



Daftar pustaka



1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006.h.2-30. 2. Kementerian kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Petunjuk teknis manajemen terpadu pengendalian tuberkulosis resistensi obat. Jakarta: Bakti Husada; 2013.h.11-37. 3. Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. Buku saku PPTI. Jakarta: PPTI; 2010.h.17-33. 4. Wijaya IMK, Murti B, Suriyasa P. Hubungan pengetahuan, sikap dan motivasi kader kesehatan dengan aktivitasnya dalam pengendalian kasus tuberkulosis di Kabupaten Buleleng. Vol 1 No 1. Jurnal Magister Kedokteran Keluarga; 2013.h.38-48. 5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar: RISKESDAS 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2013.h.69. 6. Price SA, Standrige P. Teuberkulosis paru. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologis: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi keenam. Jakarta: EGC; 2005.h.852-3. 7. Vaksin BCG beku kering. Dikutip dari www.biofarma.co.id/?dt_portfolio=bcg-vaccinefreeze-dried diunduh pada tanggal 7 Juli 2014



17