Teknik Pemboran I - Rudi Rubiandini [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Bab I Systems of Units 1.1. Consistent System Unit Suatu satuan (unit) yang digunakan disebut konsisten apabila tidak ada factor konversi yang diperlukan. Sebagai contoh, momen dengan satuan foot-pounds tidak dapat ditentukan langsung dari momen lengannya yang bersatuan inches. Dalam ilustrasi ini, konversi faktor 1/12 feet/inch diperlukan, maka satuan tersebut dapat disebut tidak konsisten (inconsistent). 1.2. Klasifikasi System Unit 1.2.1. English System a. The Absolute English System Para insyinyur terbiasa dalam menggunakan pounds sebagai satuan massa. Contohnya, densitas biasanya diberikan dalam pounds per cubic foot (lb/cuft). Bisa juga disingkat pcf, yang juga memberikan kenyataan bahwa satuan sebenarnya adalah pound dari massa per cubic foot. Dalam sistem ini, satuan gaya disebut poundal (1poundal=0.03108 lbf), tetapi mulai jarang digunakan. Meskipun begitu sistem ini tetap ada, eksistensi ini berhubungan dengan masih diperlukannya suatu sistem satuan yang konsisten. b. The English Engineering System Banyak masalah dalam termodinamika dan aliran fluida memiliki kombinasi variabel yang mengandung poundmass dan pound-force. Sebagai contoh, dalam the steady-flow energy equation (SFEE) mencampur term entalphy dalam BTU/lbm dengan term tekanan lbf/ft 2. Pada sistem ini, kerja dan energi biasanya diukur dalam ft-lbf (sistem mekanikal) atau dalam British Thermal Units,BTU (1 BTU=778.26 ft-lbf).



1.2.2. International System



a. The CGS System Sistem cgs telah banyak digunakan oleh para ahli kimia dan fisika. Sistem ini dinamakan dari tiga satuan utama yang digunakan untuk membangun variabelvariabel turunannya. Centimeter, gram, dan second(detik) merupakan dasar dari sistem ini. Unit dasar satuan volume di dalam sistem ini adalah cubic centimeter (cc). Satuan milliliters (ml) juga digunakan dalam sistem cgs ini. b. The MKS System Sistem ini cocok digunakan ketika variabel yang digunakan memiliki harga yang lebih besar daripada yang biasa diakomodasikan oleh sistem cgs. Sistem ini menggunakan meter, kilogram, dan second (detik) sebagai satuan utamanya. System of Units



1



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



c. The SI System Baik sistem cgs dan mks disebut sistem metrik. Meskipun sistem metric mampu menangani masalah, keanekaragaman satuan yang ada untuk masing-masing variabel kadang membingungkan. Sistem SI (International System Units) dibakukan pada tahun 1960 oleh General Conference of Weights and Measures. Sistem SI memiliki ciri - ciri sebagai berikut : 1. Hanya ada satu unit untuk setiap variabel 2. Sistem konsisten 3. Skala satuan dilakukan dalam pengalian 1000 4. Singkatan, awalan dan simbol diperlakukan ketat







Tabel 1 Awalan Dalam SI



Tiga tipe satuan yang digunakan: 1. Satuan Dasar (base units) - (Tabel 2). 2. Satuan Pelengkap - (Tabel 3). 3. Satuan Turunan - (Tabel 4).







2



Tabel 2 Satuan Dasar SI



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB











Tabel 3 Pelengkap SI



Tabel 4 Satuan Turunan SI Dengan Nama Khusus







System of Units



2009



Tabel 5 Satuan Turunan SI



3



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



4



2009



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB







System of Units



2009



Tabel 6. Satuan Selain SI yang Dapat Diterima



5



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB







6



2009



Tabel 7 Faktor Konversi Terhadap Satuan SI



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB







System of Units



2009



Tabel 7 (lanjutan) Faktor Konversi Terhadap Satuan SI



7



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB







8



2009



Tabel 8 Consistent Electric/Magnetic Units



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



1.3.



2009



Conversion of Units



1.3.1. Satuan SI "SI" adalah singkatan dari Le Systeme International d’Unites atau Sistem Satuan Internasional. SI tidak identik dengan sistem satuan metrik sebelumnya (cgs, mks, atau mksA) tapi berhubungan erat dan merupakan perbaikan dari sistem-sistem tersebut. SI adalah suatu bentuk sistem metrik yang dianggap cocok untuk semua aplikasi. Simbol pe ngukuran SI adalah identik dalam semua bahasa. Aturan penulisan, ejaan dan sebutan adalah penting untuk menghindari kesalahan dalam pekerjaan numerik dan membuat sistem ini lebih mudah digunakan dan dipahami di seluruh dunia. SI didasarkan pada tujuh "satuan dasar" yang berdasarkan konvensi dianggap tidak bergantung pada dimensi lain. Ke-tujuh satuan dasar ini adalah meter untuk panjang, kilogram untuk massa, detik untuk waktu , ampere untuk arus listrik, kelvin untuk temperatur termodinamika, mole untuk jumlah senyawa, dan candela untuk intensitas cahaya. Disamping itu ada dua "satuan tambahan" yaitu radian untuk sudut bidang dan steradian untuk sudut solid. 1.3.2. Aturan Konversi dan Pembuatan a. Angka signifikan setiap angka (dijit) yang diperlukan untuk menyatakan harga atau kuantitas tertentu disebut bersifat signifikan. Contoh, suatu jarak yang diukur sampai satuan terkecil 1 m dinyatakan sebagai 157 m; kuantitas ini mempunyai tiga angka signifikan. Jika pengukuran dilakukan sampai satuan terkecil 0.1 m, jarak tersebut mungkin terukur sebagai 157,4 m; yaitu mempunyai empat angka signifikan. Di kedua hal tersebut angka yang paling kanan ditentukan dengan mengukur harga dijit tambahan dan kemudian membulatkannya sampai derajat akurasi yang diinginkan. Jadi 157,4 dibulatkan ke 157; dan dalam hal yang kedua, pengukuran mungkin menyatakan 157,36 tapi dibulatkan ke 157.4. b. Konversi Untuk mengkonversikan satuan suatu kuantitas dari non-satuan SI ke satuan SI dan sebaliknya diperlukan faktor konversi. Konversi suatu satuan kuantitas harus dilakukan dengan memperhatikan hubungan antara akurasi data dan jumlah dijit faktor konversi. Dalam hal ini jumlah dijit signifikan tidak mengurangi atau menambah akurasi data. Prosedur konversi yang benar dilakukan dengan mengalikan suatu kuantitas dengan faktor konversi dan kemudian membulatkan ke jumlah dijit signifikan tertentu sehingga presisinya dianggap cocok. Contoh, untuk mengkonversi 11.4 ft ke meter; 11.4 x 0.3048 = 3.47472, yang dibulatkan menjadi 3.47 m. c. Akurasi dan Pembulatan Jangan membulatkan baik faktor konversi atau kuantitas yang akan dikonversi sebelum melakukan perkalian. Hal ini akan mengurangi akurasi. Pembulatan hanya dilakukan terhadap kuantitas setelah dikonversi sampai jumlah digit signifikan menurut presisi yang diinginkan. Dengan demikian, sangatlah penting untuk menentukan presisi yang diinginkan sebelum dilakukan konversi. Secara umum, presisi ini harus memperhatikan jumlah dijit kuantitas awal walaupun hal ini belum tentu System of Units



9



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



merupakan indikator yang dapat dipercaya. Contoh, 1.1875 mungkin merupakan pendekatan yang sa ngat akurat untuk 1 3/16 dan akan lebih baik bila dinyatakan dengan 1.19. Di sisi lain, suatu nilai 2 dapat berarti "kurang lebih 2" atau harga yang sangat akurat sehingga akan lebih baik jika dinyatakan dengan 2.000. Sebagai patokan dasar perkiraan presisi yang diinginkan tidak lebih kecil dari akurasi pengukuran tapi sebaiknya lebih kecil dari sepersepuluh toleransi (jika ada). Dengan demikian, harga konversi dibulatkan sampai jumlah minimum digit signifikan tertentu sehingga tetap mempunyai akurasi yang diinginkan. d. Pentingnya angka nol dapat digunakan untuk memajukan suatu harga tertentu seperti halnya angka-angka lain atau untuk menunjukkan besarnya suatu angka. Contoh, populasi suatu negara tahun 1997, dibulatkan ke ribuan, dinyatakan sebagai 205.185.000. Ke-enam dijit paling kiri dari angka tersebut adalah signifikan, masing-masing "mengukur" suatu harga. Ke-tiga dijit paling kanan adalah nol yang hanya menunjukkan besar angka yang dibulatkan ke ribuan. Berikut ini adalah contoh harga-harga yang berbeda besarnya, tapi masing-masing mempunyai hanya satu digit angka signifikan 1.000 100 10 0,01 0,001 0,0001



1.3.3. Faktor Konversi Suatu tabel faktor konversi biasanya terdiri dari tiga unsur: (1) sistem satuan yang akan dikonversikan, (2) sistem satuan yang diinginkan, dan (3) faktor pengali (faktor konversi). Secara umum tabel seperti ini menunjukkan 2 hal : 1. Untuk menyatakan definisi dari satuan ukuran dalam pengali numerik. Faktor pengali ini bisa eksak atau tidak eksak. Faktor pengali tidak eksak bisa merupakan hasil pengukuran atau sebagai pendekatan. Dengan demikian angka faktor pengali tidak eksak merupakan pembulatan. 2. Untuk memberikan faktor pengali untuk mengkonversi suatu satuan ukuran ke satuan lain. Tabel faktor konversi yang ada sekarang biasanya sudah disesuaikan dengan kebutuhan pembacaan oleh komputer dan transmisi data. Faktor konversinya sendiri ditulis sebagai suatu bilangan yang sama dengan atau lebih besar dari satu dan lebih kecil dari 10 dengan maksimum enam desimal (yaitu maksimum tujuh total dijit). Jika faktor konversi lebih kecil dari satu dan atau lebih besar dari 10 maka digunakan lambang eksponen E.



10



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Contoh : a. 3.523 907 E - 02 adalah sama dengan 3.523 907 x 10 -2 atau 0.035 239 07 b. 3.386 389 E + 03 adalah sama dengan 3.386 389 x 10 3 atau 3.386 389



System of Units



11



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB







12



2009



Tabel 9. Conversional Factors Length (l)



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB







System of Units



2009



Tabel 10 Conversional Factors Area (l2)



13



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB







14



2009



Tabel 11 Conversional Factors Volume (l3)



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB







System of Units



2009



Tabel 12 Conversional Factors Flow Rate (l3.t-1)



15



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB







16



2009



Tabel 13 Conversion Factors Velocity (l.t-1)



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB







System of Units



2009



Tabel 14 Weight (m.l.t-2) and Mass (m)



17



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB







18



2009



Tabel 15 Conversional Factors Density, or Mass per Unit of Volume (m.l-3)



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB







System of Units



2009



Tabel 16 Conversional Factors Force (m.l.t-2)



19



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB







20



2009



Tabel 17 Conversion Factors Pressure (m.l-1.t-2)



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB







System of Units



2009



Tabel 18 Conversional Factors Power (m.l2.t-3)



21



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PUSTAKA 1. Bradley H.B., "Petroleum Engineering Handbook", Third Printing, Society of Petroleum Engineers, Richardson TX, 1987. 2. Langenkamp R.D., "Handbook of Oil Industry Terms and Phrases", Second Edition, The Petroleum Publishing Company, Tulsa, 1977.



22



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN Tidak ada



System of Units



23



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



24



2009



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Bab II Persiapan Tempat dan Lokasi Pemboran 2.1. Pendahuluan Operasi pemboran merupakan suatu kegiatan yang terdiri dari beberapa tahapan kegiatan. Sebelum operasi pemboran dapat dilaksanakan, pertama-tama yang perlu dilakukan adalah apa yang disebut dengan tahap persiapan. Tahap persiapan ini pun terdiri dari beberapa tahapan mulai dari persiapan tempat, pengiriman peralatan pada lokasi, penunjukan pekerja sampai pada persiapan akhir. Bila seandainya tempat untuk lokasi pemboran yang diperkirakan ada cadangan minyak atau gas yang cukup potensial dan tempat tersebut masih merupakan suatu tempat yang dianggap liar maka dengan sendirinya kita perlu membuat tempat tersebut menjadi tempat yang memungkinkan terlaksananya operasi pemboran. Pada operasi pemboran ini, peralatan yang dipakai terbagi menjadi beberapa sistem. Pembagian sistem-sistem yang umum dilakukan dalam industri perminyakan adalah sebagai berikut : 1. Sistem pengangkatan (Hoisting System) 2. Sistem pemutar (Rotating System) 3. Sistem sirkulasi (Circulating System) 4. Sistem daya (Power System) 5. Sistem pencegah sembur liar (BOP System) Sistem-sistem di atas mempunyai hubungan yang erat antara satu sistem dengan sistem lainnya. Jadi dapat dimengerti bahwa antar sistem-sistem tersebut bekerja pada saat bersamaan.Operasi pemboran (drilling operation) adalah suatu kegiatan yang merupakan bagian yang terintegrasi dengan kegiatan-kegiatan lain dalam industri perminyakan. Pada masa sekarang ini, operasi pemboran dilaksanakan orang baik di darat (onshore) maupun di lepas pantai (offshore). Peralatan yang digunakan untuk operasi kedua tempat tersebut pada dasarnya adalah sama yang berbeda hanyalah tempat untuk menempatkan menara (rig) beserta perlengkapannya. Untuk pemboran di darat, kebutuhan tempat biasanya tidak merupakan masalah, berbeda dengan pemboran di lepas pantai yang harus memperhitungkan luas dari anjungan yang dipakai serta mempergunakan tempat seefisien mungkin karena luasnya yang sangat terbatas. Pemboran yang dilakukan dewasa ini umumnya pemboran dengan prinsip rotary drilling. Pada rotary drilling, pembuatan lubang dilaksanakan dengan memutar bit disertai pemberian beban pada bit oleh beratnya drill collar. Bit ini diputar dari rotary table melalui drill string yang merupakan rangkaian dari drill pipe dan drill collar. Pada pelaksanaannya, sebelum operasi pemboran dapat dilaksanakan perlu dilakukan dahulu beberapa kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan persiapan-persiapan. Tahap persiapan ini meliputi : 1. Persiapan tempat 2. Pengiriman peralatan pada lokasi 3. Penunjukan pekerja 4. Persiapan rig dan pendiriannya 5. Peralatan penunjang dan pemasangannya 6. Persiapan akhir



System of Units



25



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



2.2. Persiapan Tempat Jika tempat pemboran minyak ditentukan pada tempat yang masih liar (wild area), misalnya saja pada suatu hutan yang tidak terdapat sarana transportasinya, sedangkan ditempat itu diperkirakan terdapat cadangan minyak yang potensial maka dengan sendirinya kita harus membuat tempat yang liar menjadi tempat yang memungkinkan terlaksananya operasi pemboran. Untuk melakukan operasi pemboran di darat hal yang paling penting diperhatikan adalah persiapan tempat untuk ke lokasi pemboran. Pada persiapan tempat ini meliputi beberapa tahapan, tahapan tersebut antara lain : a. Pembuatan sarana transportasi Kebutuhan yang pertama membuat jalan tembusan menuju lokasi yang telah ditentukan tentu akan memerlukan peralatan, bahan dan personal. Hal ini tidak lepas dari persiapan yang perlu dilaksanakan sebelum tahap selanjutnya dapat dilaksanakan. Selanjutnya menentukan letak geografis dari tempat tersebut, hal ini dilakukan untuk keperluan selanjutnya. Untuk daerah berpaya atau daerah kutub pada pembuatan sarana transportasi perlu dibuat jalan khusus yaitu landasannya terbuat dari balok atau kayu (Gambar 2.1). b. Pembuatan kolam cadangan (mud pit) Setelah pembuatan jalan tembus selesai, lokasi pemboran telah terbuka dari segala jenis tumbuhan/pepohonan dimana kebutuhan ruang terbuka untuk bangunan kompleks dari rotary drilling telah terpenuhi. Penyelesaian operasi perataan dan pemadatan tanah telah selesai, buldozer mulai membuat lubang/kolam berbentuk bujur sangkar tidak jauh dari lokasi pemboran yang sebenarnya. Kolam ini disebut kolam cadangan atau mud pit, sebelum kolam ini dapat digunakan untuk menampung kelebihan lumpur pemboran yang keluar dari lubang sumur selama operasi pemboran berlangsung maka terlebih dahulu perlu dilapisi dulu dengan lembaran-lembaran plastik (Gambar 2.2).



Gambar 2.1. Pembuatan sarana transportasi



26



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 2.2. Pembuatan kolam cadangan (mud pit) c. Persiapan lubang sumur Tahap berikutnya mempersiapkan pembuatan kolam lain yang bentuknya sama dengan mud pit tetapi ukurannya lebih kecil dari mud pit tadi, kolam ini biasanya disebut "cellar". Cellar ini nantinya akan berada tepat di bawah lantai rig setelah di atasnya dipasang substructure.Setelah pembuatan cellar selesai kemudian membuat lubang utama (lubang sumur), diusahakan pembuatan lubang sumur ini dilakukan di tengah-tengah cellar. Lubang sumur dengan diameter yang besar ini disebut "conductor hole" (lihat Gambar 2.3).



Gambar 2.3. Conductor Hole d. Memasang conductor pipe Setelah conductor hole disiapkan kira-kira mencapai kedalaman 20 sampai 100 ft kemudian lubang tersebut dipasang pipa dan biasanya pipa ini disebut "conductor pipe" (Gambar 2.4). Pemasangan pipa ini dilakukan untuk menghindari terjadinya gerowonggerowong dan kerusakan-kerusakan lainnya dari lubang sumur selama dilaksanakan pemboran untuk bagian surface hole. Pada umumnya area untuk surface hole keadaannya masih lunak sehingga operasi pemboran belum dibutuhkan. Pemasangan pipa ke dalam tanah biasanya menggunakan mesin System of Units



27



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



pemancang, pada saat yang sama dibuat lagi lubang yang ukurannya lebih kecil dari conductor hole. Lubang kecil ini disebut "rat hole", rat hole ini nantinya digunakan untuk menyimpan kelly selama operasi pemboran berlangsung.



Gambar 2.4. Conductor Pipe e. Persiapan sumber air. Pada suatu saat pembuatan jalan tembus telah selesai, lokasi pemboran telah siap dan rata, cellar telah disiapkan juga rat hole dan surface hole telah dibuat dan conductor pipe telah dipasang, maka persiapan selanjutnya yang perlu dilakukan pada tahap persiapan tempat ini ialah mempersiapkan sumber air yang nantinya diperlukan selama operasi pemboran berlangsung dan juga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari para personal pemboran. Pemboran sumber air mungkin dapat dilakukan, tetapi untuk beberapa lokasi pemboran sumber air di permukaan sudah tersedia dalam jumlah yang cukup. Setelah sumber air disiapkan selanjutnya pemasangan saluran-saluran air dan pompa, biasanya persediaan akan air ini disimpan dalam suatu tangki yang besar terletak tidak jauh dari lokasi pemboran. Jika sumber air di permukaan dan pemboran sumber air tidak mencukupi atau sama sekali tidak tersedia maka kebutuhan akan air ini bisa dipenuhi dengan jalan pengiriman air dengan truk yang dilengkapi tangki air (lihat Gambar 2.5).



Gambar 2.5. Persiapan sumber air 28



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



2.3. Pengiriman Peralatan Dengan selesainya tahap persiapan tempat seperti diterangkan di atas dan semua komponen rig telah disiapkan untuk dikirim ke lokasi pemboran, selanjutnya kita memikirkan tentang pengiriman komponen rig tersebut ke lokasi pemboran apakah melalui darat, air atau udara. Pengiriman peralatan ini bisa melalui darat, air atau udara tegantung dari lokasi pemborannya, untuk lebih jelasnya akan dijelaskan sebagai berikut: a. Melalui darat Pengiriman peralatan melalui darat biasanya dilakukan dengan menggunakan truk yang biasa disebut "flat bed truk". Untuk daerah tertentu misalnya pada daerah padang pasir pengiriman peralatan (rig) dapat dilakukan dengan cara "skidding". Skiding ini ialah penarikan rig secara utuh ditempatkan pada pelat baja yang datar yang di bawahnya dilengkapi dengan roda yang terbuat dari besi, kemudian rig ini ditarik dengan buldozer. Cara ini dapat dilakukan bila keadaan daerahnya relatif datar dan untuk jarak yang jauh cara ini akan lebih efisien dan ekonomis (Gambar 2.6). b. Melalui air Bila lokasi pemboran berada di daerah berpaya atau daerah yang dapat didekati dengan sarana air pengiriman rig dapat dilakukan dengan kapal khusus. Jika rig telah digunakan di daerah berpaya, biasanya rig dipasang secara utuh pada "Barge" (sejenis kapal) kemudian kapal ini ditarik dengan kapal penarik (towing ship) (lihat Gambar 2.7).



Gambar 2.6. Pengiriman Peralatan melalui Jalan Darat



System of Units



29



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 2.7. Pengiriman Peralatan melalui Air c. Melalui Udara Suatu saat apabila pengiriman melalui darat dan air tidak praktis, atau dimana kondisi geografisnya tidak memungkinkan untuk dilakukan pengiriman melalui darat atau air maka rig dan peralatan-peralatan lainnya dapat dikirim melalui udara. Pada suatu daerah yang mempunyai tempat yang cukup luas sehingga memungkinkan dibuat suatu landasan kapal terbang maka pengiriman peralatan dilaksanakan dengan kapal terbang, tetapi apabila lokasi pemborannya tidak memungkinkan untuk dibuat suatu lapangan terbang maka pengiriman peralatan dilaksanakan dengan helikopter (lihat Gambar 2.8).



Gambar 2.8. Pengiriman Peralatan melalui Udara 2.4. Penunjukan Pekerja Dalam melaksanakan suatu operasi pemboran, kebutuhan terhadap personal yang berpengalaman dan mempunyai kemampuan adalah hal yang mutlak dipenuhi. Personal-personal tersebut terdiri dari personal pemboran dan personal dari "service company". Berikut ini adalah personal-personal tersebut (Gambar 2.9 dan Gambar 2.10) dengan tugasnya masing-masing : a) Company man, wakil dari perusahaan yang ada berada di tempat operasi pemboran. Company man ini yang memutuskan segala kebijaksanaan perusahaan selama operasi pemboran berlangsung. b) Tool pusher, wakil dari kontraktor yang mahir dalam melaksanakan operasi pemboran serta menguasai perlengkapan anjungan dan permesinan. c) Driller, bertugas untuk mengawasi operasi pemboran dari meja pengontrol yang ditempatkan dekat drawwork. Pengontrol ini menolong driller untuk mengoperasikan perlengkapan yang digunakan serta memonitor operasi pemboran yang sedang berlangsung. d) Derickman, tugasnya adalah membantu driller selama operasi pemboran berlangsung. e) Rotary helper, sedikitnya harus terdiri dari dua atau tiga orang. Mereka yang bertanggung jawab untuk menangani dan menjaga perlengkapan dan alat-alat yang digunakan dalam operasi pemboran. f) Motor man, yaitu orang yang bertanggung jawab pada prime mover agar kebutuhan daya untuk setiap sistem terpenuhi.



30



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



g) Rig mechanic, bertugas memeriksa, memelihara, dan memperbaiki peralatan mekanik pada rig. h) Rig electrician, bertanggung jawab pada pemeriksaan dan pemeliharaan pada generator listrik serta sistem pendistribusian. i) Mud engineer, bertugas memeriksa sifat-sifat fluida pemboran serta menentukan jenis fluida pemboran yang sesuai untuk digunakan. j) Mud logger, bertugas untuk menilai suatu formasi yang telah dicapai dengan melakukan pemeriksaan terhadap serpih pemboran. k) Casing and cementing crew, bertugas merencanakan mengoperasikan, dan memelihara peralatan-peralatan khusus yang digunakan selama operasi pemasangan casing dan cementing.



Gambar 2.9. Personal Pemboran dan Personal Service Company



System of Units



31



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 2.10. Personal Pemboran dan Personal Service Company 2.5. Mendirikan Derrick Kedatangan rig di lokasi pemboran biasanya berupa bagian-bagian (modulmodul), kontraktor pemboran dan personal-personalnya dengan menggunakan mesin-mesin derek yang berat dengan segera memulai pemasangan dan pendirian menara bor atau rig. Tahap ini disebut "rigging up" dan umumnya terdiri dari beberapa tahap. Tahap pertama mulai memasang substructure langsung setelah pembuatan cellar selesai. Pada saat pemasangan substructure telah siap dan landasan dari rig telah dipasang, prime mover dan draw work telah dipasang pada posisinya kemudian dicoba untuk segera dapat dijalankan dan digunakan. Pada dasarnya pemasangan menara (rig) dilakukan dengan mesin derek langsung dari flat bed truck dan dipasang pada lantai rig. Tahap selanjutnya melaksanakan pemasangan over head tools pada posisinya, setelah pemasangan drilling line selesai salah satu ujung dari drilling line disambungkan pada draw work. Dengan selesainya tahap ini dapat digunakan membantu pendirian derrick pada posisi berdiri/tegak. Tahap ini biasanya memerlukan waktu satu atau beberapa hari tergantung dari ukuran dan type rig, cuaca, kecakapan personal-personalnya dan variabel-variabel lainnya. Gambar 2.11 sampai Gambar 2.14 adalah Gambar tentang cara pendirian rig.



32



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 2.11. Perangkaian Substructure



Gambar 2.12. Dasar dari Mast Diangkat ke Rig Floor



System of Units



33



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 2.13. Penegakkan Mast



Gambar 2.14. Pendirian Derrick Selesai 2.6. Peralatan Penunjang dan Pemasangannya Dengan selesainya pendirian derick, tahap berikutnya mulai memasang peralatan-peralatan penunjang. Peralatan ini biasanya dikirim dengan truk, tetapi untuk beberapa komponen yang besar seperti mud pump biasanya dikirim dengan truk yang dilengkapi dengan mesin derek atau dengan menggunakan flat bed truk. Dengan menggunakan truk yang dilengkapi dengan mesin derek ini akan memudahkan dalam menurunkan dan pemasangan kembali pada lokasi yang baru (Gambar 2.15). 34



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 2.15. Komponen Penunjang Mulai Berdatangan Mud pits, storage tank dan bulk storage mulai datang selanjutnya ditempatkan pada tempatnya dan mulai dirancang, juga power sistem dan BOP sudah mulai disiapkan (Gambar 2.16).



Gambar 2.16. Peralatan Mulai Dipindahkan ke Posisinya Dengan telah siapnya peralatan penunjang personal-personal pemboran dengan tugasnya yang berbeda- beda mulai menyambung bagian-bagian dari beberapa peralatan yang nantinya akan merupakan suatu sistem dari rotary drilling yang telah siap untuk dioperasikan. Truk yang membawa bahan-bahan untuk lumpur pemboran mulai datang dan bahan tersebut ditempatkan pada bulk storage dekat System of Units



35



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



mud house, selain itu peralatan-peralatan lainnya seperti drill pipe, drill collar dan tool-tool khusus mulai datang (Gambar 2.17).



Gambar 2.17. Peralatan Dirangkai Dan Dihubungkan Pada dasarnya persiapan tahap "rigging up" hampir dapat dikatakan mendekati penyelesaian, lokasi pemboran tadi telah berubah menjadi suatu kompleks rotary drilling yang modern (Gambar 2.18).



Gambar 2.18. Penyelesaian Akhir



36



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



2.7. Persiapan Akhir Pengecekan tiap-tiap sistem perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum operasi pemboran yang sesungguhnya dapat dilaksanakan, hal ini dilakukan untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan selama berlangsungnya operasi pemboran seperti pada power system misalnya apakah daya dari sistem tersebut dapat memenuhi kebutuhan daya yang diperlukan untuk menjalankan keseluruhan sistem dari rotary drilling, sebab dalam hal ini antara satu sistem dengan sistem lainnya saling berhubungan erat. Jadi bila salah satu sistem tidak berfungsi maka keseluruhan sistem rotary drilling juga tidak dapat untuk dioperasikan. Tahap persiapan akhir a. Persiapan lumpur pemboran Pertama-tama personal dari pemboran mempersiapkan fluida pemboran untuk Sistem Sirkulasi. Umumnya pada saat pemboran untuk surface hole baru dimulai dan selama pemboran pertama berlangsung, tekanan formasi pada kedalaman ini tidak akan menimbulkan efek terhadap lubang sumur dan memungkinkan terjadinya blowout kecil sekali. Pada saat laju penembusan mulai bertambah dan tekanan formasi di bawah permukaan mulai naik, personal pemboran mulai mempersiapkan lumpur pemboran dengan rekomendasi dari engineer. Para personel ini berada di bawah petunjuk dari derrickman, dimana derrickman yang bertanggung jawab pada pemeliharaan lumpur pemboran dan juga bila suatu saat diperlukan perubahan komposisi dari lumpur pemboran yang tergantung dari kondisi di bawah permukaan.Setelah lumpur pemboran disiapkan dan dimulai disirkulasikan, para personal pemboran ini secara aktif harus tetap memeriksa peralatan-peralatan sirkulasi, juga harus dicek secara pasti bahwa pompa lumpur dapat berfungsi dengan baik. Selain itu perlu dicek pula stand pipe, rotary hose dan saluran-saluran lainnya apakah telah tersambung dengan baik, apabila semua yang dicek telah berfungsi dengan baik maka Sistem Sirkulasi ini dapat segera beroperasi. b. Pengecekan tiap-tiap sistem Persiapan akhir untuk mulai pemboran kini sudah hampir mendekati penyelesaian, persiapan akhir ini termasuk pengecekan untuk kedua kalinya dari tiap-tiap sistem yang ada pada sistem rotary drilling. Adapun pengecekan sistemsistem tersebut, meliputi : a. Circulating system, peralatan-peralatan pada sistem sirkulasi harus dicek ulang untuk terakhir kalinya untuk memastikan bahwa semua komponen dapat berfungsi dengan baik. b. Hoisting system, semua komponen dari hoisting system harus dicek kembali untuk memastikan bahwa semua komponennya dapat berfungsi semestinya, misalnya : draw work dan semua over head tools dapat dioperasikan, juga harus dicek pula apakah dead line telah terpasang dengan kuat. c. Rotating system, pada system rotary ini harus dicek untuk memastikan rotary table dapat dioperasikan, perlengkapan-perlengkapan dari rotary system telah berada di tempat dan dalam keadaan baik (siap pakai). Bit untuk pemboran telah disiapkan di lantai rig dan drill collar pertama sudah mulai dibawa ke cat walk.



System of Units



37



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



d. Power system , power system perlu dicek juga untuk memastikan prime mover, motor-motor cadangan atau pembantu dan mesin-mesin dapat dioperasikan dengan baik. Selain itu dicek pula kabel-kabel dan sistem pendistribusiannya apakah telah tersambung dengan baik. e. BOP system, akhirnya sebelum operasi pemboran dapat dimulai kita perlu sekali mengecek sistem BOP ini, dimana bila perlu pengecekan sistem ini bisa dilakukan dua kali untuk memastikan bahwa BOP stack, accumulator dan peralatan-peralatan pelengkapnya dapat dioperasikan segera apabila diperlukan. Tahap persiapan menjelang operasi pemboran sekarang telah komplit, komplek pemboran dengan system rotary drilling telah siap untuk dioperasikan dan siap untuk mengebor sumur minyak atau gas, pemboran pertama ini biasanya disebut dengan istilah membuat lubang. Akhirnya pemboran lubang utama telah dimulai dan proses pemboran dapat dikatakan mulai berlangsung.



38



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PUSTAKA



1. Alliquander, "Das Moderne Rotarybohren", VEB Deutscher Verlag Fuer Grundstoffindustrie,Clausthal-Zellerfeld, Germany, 1986 2. Mian M.A., "Petroleum Engineering Handbook for Practicing Engineer", Vol.1, Penn Well Publishing Company, Tulsa-Oklahoma, 1992. 3. Rabia. H., "Oilwell Drilling Engineering: Principles & Practices", Graham & Trotman, Oxford, UK, 1985. 4. Azar J.J., "Drilling in Petroleum Engineering", Magcobar Drilling Fluid Manual. 5. nn., "Drilling", SPE Reprint Series no. 6a., SPE of AIME, Dallas-Texas, 1973. 6. Bourgoyne A.T. et.al., "Applied Drilling Engineering", First Printing Society of Petroleum Engineers, Richardson TX, 1986. 7. Moore P.L., "Drilling Practices Manual", Penn Well Publishing Company, Second Edition, Tulsa-Oklahoma, 1986. 8. Gorman, "The Petroleum Industry : Drilling Equipment and Operations", Third Edition, Smith International Inc. Dallas - Texas, 1982.



System of Units



39



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Bab III Peralatan Pemboran 3.1. Pendahuluan Pada operasi pemboran, biasanya peralatan yang dipakai dibagi ke dalam beberapa sistem. Pembagian sistem-sistem yang umum dilakukan oleh orangorang di industri perminyakan adalah sebagai berikut: a. Sistem pengangkat (Hoisting System) b. Sistem pemutar (Rotating System) c. Sistem sirkulasi (Circulating System) d. Sistem daya (Power System) e. Sistem pencegah sembur liar (BOP System) Sistem-sistem di atas mempunyai hubungan yang erat antara yang satu dengan lainnya. Sistem-sistem tersebut saling tergantung satu dengan lainnya. 3.2. Sistem Pengangkat (Hoisting System) Fungsi dari hoisting system adalah untuk menyediakan fasilitas dalam mengangkat, menahan dan menurunkan drillstring, casing string dan perlengkapan bawah permukaan lainnya dari dalam sumur atau ke luar sumur. Komponen-komponen utama dari hoisting system (lihat Gambar 3.1) adalah : 1. Derrick dan substructure 2. Block dan tackle 3. Drawwork



Gambar 3.1. Hoisting System Components Dua jenis kegiatan rutin yang sering menggunakan peralatan hoisting system pada saat operasi pemboran adalah: 1. Menyambung rangkaian string (making connection). Melaksanakan penyambungan berhubungan dengan proses penambahan sambungan baru pada drillpipe untuk penembusan yang makin dalam. Proses ini dapat dilihat pada (Gambar 3.2). 40



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.2. Making Connection 2. Mencabut dan menurunkan rangkaian string (tripping out dan tripping in). Kegiatan ini meliputi proses pencabutan drillstring dari lubang bor untuk mengganti kombinasi peralatan yang digunakan dibawah permukaan (Bottom Hole Assembly) dan kemudian menurunkan rangkaian string kembali ke dalam sumur pemboran. Kegiatan ini biasanya dilakukan untuk mengganti bit yang sudah mulai tumpul. Proses ini dapat dilihat pada (Gambar 3.3).



Gambar 3.3. Making Trip 3.2.1. Derrick atau Portable Mast dan Substruktur Fungsi dari derrick adalah menyediakan ruang ketinggian vertikal yang diperlukan untuk mencabut pipa dari atau menurunkan ke sumur. Semakin tinggi derrick, semakin panjang rangkaian pipa yang dapat ditangani, sehingga semakin cepat pipa yang panjang dapat dimasukkan atau dikeluarkan dari lubang bor. Panjang pipa yang umum digunakan adalah berkisar antara 27 dan 30 ft. Kemampuan derrick untuk menangani panjang rangkaian pipa sering disebut dengan stand, yang tersusun dari dua, tiga atau empat sambungan drillpipe, yang sering disebut juga dengan kemampuan menarik doubles, thribbles atau fourbles. Dalam penambahan ketinggian, kemampuan derrick ditentukan berdasarkan kemampuan menahan beban kompresif dan beban angin. Beban angin yang diijinkan ditentukan dari rangkaian drillstring di lubang bor dan rangkaian drillstring yang disandarkan pada salah satu sisi derrick. Bila drillstring disandarkan pada System of Units



41



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



salah satu sisi dari derrick, momen penggulingan (overturning moment) harus dikenakan pada titik tersebut. Beban angin harus dihitung dengan asumsi beban angin searah dengan momen penggulingan. Anchored guy wires ditarik dari masing- masing kaki derrick untuk meningkatkan ketahanan rig dari beban rig. API mengembangkan klasifikasi ukuran untuk derrick (Gambar 3.4), sedangkan spesifikasinya diringkas dalam Tabel 3.1. Data dalam Tabel 3.1 juga dapat digunakan untuk menghitung beban angin pada derrick.



Gambar 3.4 Klasifikasi Ukuran Derrick Tabel-3.1. Dimensi Ukuran Derrick Derrick Height (A) Normal Base Pipe Total Pipe Wing Load Size Square (B) Size Length, Weight Area No10 ft in ft in (in) Ft Lb/ft ft 1 10 80 0 20 0 2 7/8 9.200 6.5 264 11 87 0 20 0 2 7/8 9.2001 6.5 264 1 12 94 0 24 0 2 7/8 9.200 6.5 264 16 122 0 24 0 4½ 4.5002 18.5 353 3 18 136 0 26 0 4½ 10.800 18.5 510 4 18A 136 0 30 0 5 8.900 22.5 510 19 146 0 30 0 5 5.0005 22.5 558 5 20 147 0 30 0 5 5.000 22.5 558 25 189 0 37 6 5 20.0006 22.5 810 Dimensi-dimensi umum ukuran-ukuran derricks (Courtesy API Oppsit Drilling Engineering) 1. 132 stands 12 stands x 11 stands) 2. 48 stands (6 stands x 8 stands) 3. 110 stands (10 stands x 11 stands) 4. 90 stands (9 stands x 10 stands) 5. 160 stands 6. 148 stands 42



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Derrick dan substruktur harus mampu menahan beban yang diberikan oleh berat pipa pada block ditambah sebagian dari drilpipe yang disandarkan pada derrick. Bila rangkaian casing yang berat dipasang, maka beberapa drillpipe kemungkinan perlu untuk disingkirkan agar kapasitas pembebanan pada derrick sesuai dengan kemampuannya. Total kekuatan pada derrick tidak dibagi secara merata pada tiap kaki dari empat kaki derrick yang ada (lihat Gambar 3.5). Tegangan fast line dibagikan merata antara kaki-kaki C dan D karena drawwork diletakkan antara kaki-kaki tersebut. Tegangan dead line sering memakai 1 kaki karena dead line anchor dekat salah satu kaki.



Gambar 3.5. Distribusi Kekuatan pada Kaki-kaki Rig 3.2.1.1. Rig Floor Fungsinya menyediakan ruang kerja di bawah lantai rig untuk pressure control valve yang disebut juga blowout preventers, lantai rig biasanya lebih tinggi dari permukaan tanah dengan menempatkan substructure. Substructure harus dapat menopang beban rig dan beban dari semua peralatan yang ada di atas lantai rig. API Bull. D10 menyarankan kekuatan substructure dalam menyokong beban tergantung pada : 1. Beban pipa maksimum yang dapat diturunkan dan ditarik oleh rig. 2. Berat maksimum pipa yang dapat digantung pada rotary table (terlepas dari beban penurunan dan penarikan pipa) 3. Beban sudut (corner load), maksimum beban yang dapat didukung oleh masing-masing sudut dari substructure. Secara umum desain dari ketinggian substructure ditentukan dari ketinggian blowout preventer dan kondisi tanah di daerah tersebut.



System of Units



43



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.6. Rig Floor Istilah-istilah di Rig Floor: 1. Rotary Table: Peralatan yang berfungsi untuk memutar dan menggantung drill string (drill pipe, drill collar dsb) yang memutar bit di dasar sumur. 2. Rotary Drive: Peralatan yang berfungsi untuk meneruskan daya dari drawworks ke rotary table 3. Drawwork: mekanisme hoisting system pada rotary drilling rig 4. Driller console (Gambar 3.7): Panel Pusat instrumentasi dari rotary drilling rig. Panel ini digunakan untuk mengontrol proses yang terjadi dalam setiap sub-bagian-bagian utama. Meteran-meteran pada panel biasanya memberikan informasi tentang: a. Mud Pump d. Rotary Speed b. Pump Pressure e.Tong Torque c. Rotary Torque f. Weight Indicator



Gambar 3.7. Driller Console



44



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



5. Drillpipe tong: Peralatan berupa kunci besar yang dipakai untuk memutar bagian-bagian drill pipe, drill colar, casing dsb dan untuk menyambung dan melepas bagian-bagian drill string.



Gambar 3.8. Drillpipe Tong 6. Mouse hole: Lubang berselubung di samping rotary table di lantai rig untuk meletakan drill pipe, untuk disambungkan ke kelly dan drill steam. 7. Rat hole: Lubang berselubung di samping derick atau mast di rig floor untuk meletakkan kelly pada saat triping in maupun triping out. 8. Dog House: Ruangan kecil yang digunakan sebagai pos driller dan untuk menyipan alat-alat kecil lainnya. 9. Pipe Ramp (V ramp) : Lereng miring disisi atas substructure dimana pipa diletakkan sebelum diangkat ke rig floor 10. Catwalk: Jembatan di antara pipe rack di dasar pipe ram di samping rig dimana pipa diletakkan sebelum ke pipe ram. 11. Hydraulic Cat Head: Peralatan yang digunakan untuk menyambung atau melepas sambungan bila drill pipe atau drill collar akan ditambahkan atau dikurangkan dari drill steam sewaktu proses triping. 3.2.1.2. Rig Rig merupakan gabungan dari derrick dan substructure. Secara garis besarnya, rig dapat dikatagorikan menjadi tipe rig dengan kedudukan yang tetap (fixed) dan tipe rig yang dapat bergerak (moveable). Kategori dari rig ditunjukkan oleh Gambar 3.9.



System of Units



45



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.9. Klasifikasi Rig 3.2.1.2.1. Cable tool rig Rig ini merupakan jenis rig yang pertama kali digunakan dalam sejarah pengeboran minyak bumi. Cable tool rig pernah digunakan untuk mengebor sekitar 20 % dari sumur di Amerika Tengah sampai dengan tahun 1961. Sekarang cable tool rig sudah jarang digunakan.



46



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.10. Cable Tool Rig Pengeboran dengan menggunakan cable tool rig dilakukan dengan menggunakan special bit, seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.11. Komponen utama cable tool drilling terdiri atas drillstring, bit, drilstem jar dan rope socket, yang digantung pada line atau kabel pemboran. Dalam pemboran ini tidak ada sirkulasi lumpur, karena cutting diangkat dengan menggunakan bailer setelah bitnya dinaikkan.



System of Units



47



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.11. Bit Untuk Cable Tool Rig Cable tool rig memiliki batasan sampai ke kedalaman 5000 ft. Sekarang ini penggunaannya sudah sangat jarang, terkecuali untuk sumur-sumur completion dan pengeboran dangkal seperti pengeboran air. 3.2.1.2.2. Land rig Yang termasuk land rig antara lain standard rig, truck yang dilengkapi dengan derrick, atau komponen rig. 3.2.1.2.3. Standard derrick Tipe rotary rig yang dahulu sering digunakan adalah standard derrick. Standard derrick dipasang pada kedudukan rig (cellar) sebelum pengeboran, dan kemudian dapat dibongkar dan dipindahkan ke lokasi pemboran berikutnya. Rig standar juga dapat digunakan dalam kegiatan work over. Berbeda dengan cable tool rig, standard derrick dapat didesain kekuatan dan ketinggiannya sesuai dengan yang diperlukan operasi pemboran. Ketinggian derrick diperlukan dalam pemasangan joint-joint casing ataupun pipa-pipa panjang yang terdiri atas 2, 3, atau 4 joint drill pipe.



48



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.12. Standard Derrick 3.2.1.2.4. Portable rig Rig jenis ini biasanya dipasangkan pada satu unit truck khusus seperti yang ditunjukan pada Gambar 3.13. Spesifikasi dari rig portable ini diberikan pada standard API 4 D. Perhitungan pengaruh angin dan kapasitas beban maksimumnya sama seperti perhitungan bagi standard rig.



Gambar 3.13. Portable Truck Mounted Rig System of Units



49



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Portable rig memiliki beberapa keuntungan, seperti :  Mudah menaikkan dan menurunkan rig  Biaya operasional yang lebih murah Rig jenis ini biasanya digunakan dalam operasi work over. Apabila digunakan dalam pemboran, rig ini dapat mengebor sampai kedalaman 10,000 ft , dan dapat digunakan selama 8, 12, atau 24 jam /hari. 3.2.1.2.5. Conventional rig Rig ini memiliki komponen-komponen yang besar sehingga tidak dapat dibawa dalam satu truck.. Conventional rig memiliki variasi kedalaman 6,000 sampai 35,000 ft serta dapat dioperasikan selama 24 jam/hari (lihat Gambar 3.14).



Gambar 3.14. Rig Pemboran Konvensional 6) Rig ini mampu mengangkat sampai 3 jont pipa atau satu stand. Spesifikasi rig ini ditunjukkan dalam (Tabel 3.2). Spesifikasi rig biasanya dilengkapi dengan skema susunan dari rig, juga cara dan bagaimana melengkapi rig sebagaimana mestinya, sedangkan posisi rig dapat dipersiapkan seperti pada (Gambar 3.15).



50



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 3.2. Spesifikasi Rig Konvensional Drawworks Continental-Emsco C-1 type III, 1,500 hp Grooved for 1 3/8” drill line Baylor 6032 dynamatic brake Derrict Ideco Fullview 143 ft high 750.000 lb static hook load Substructure Modified Ideco 21 ft high 700.000-lb casing capacity simultaneous with 400.000 lb setback capacity Power Source 3 Caterpillar D398-TA (diesel) 2,592 hp Pumps 1 National 10P-130, 1,300 hp 1 Gardner-Denver KXG, 1,000 hp 1 High volume-low pressure mud mixing system Drillstring Drillpipe – 4 ½ ” OD various weights and grades High tensile strength drillpipe available Standard size collars available through 9 in Preventers (H2S Trim) 1 13 5/8-in. GL 5000 Hydril, annular 2 13 5/8 –in type V 5000 Hydril, single gate 1 Koomey closing unit, 120-gal capacity, air and electric, 6-station accumulator with remote control 1 Lynn International choke and kill manifold, 4 in. x 2 in. x 5000 psi W.P Other Equipment Crown block – Ideco seven 52-in. sheaves, 400-ton capacity Traveling block – Continental-Emsco RA526, 6-55-in. sheaves, 400-ton capacity Hook – Byron Jackson 4300 Bunk house – 12 ft x 50 ft,wheeled, air conditioned Crown-O-Matic Desander – Swaco, six 6-in. cones, 1,200 gpm Desilter – degasser, twelve 4-in.cones Drillpipe spinning wrench – Varco Drilling Recorder Kelly spinner – Fastway Light plants – two Caterpillar 135 kw, 110/220 v AC Lights – Rig-A-Lite, vaporproof Mud tanks – 3 tanks system with mud agitators Radio – Motorola, 100 watt, FM Raotary table – Continental-Emsco, 27 ½ in. System of Units



51



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Shale shaker – Brandt dual standard Swivel – National type R



Gambar 3.15. Skema Posisi Rig 3.2.1.2.6. Marine rig Rig pemboran yang digunakan di offshore disebut marine rig. Rig-rig marine dapat dikatagorikan sebagai berikut: a. Barge Pengeboran dengan menggunakan barge terbatas untuk kedalaman air 8 - 20 ft (lihat Gambar 3.16). Barge ditarik ke lokasi dan dipancangkan pada dasar air. Setelah pengeboran selesai rig dapat dipindahkan ke lokasi berikutnya. Barge pada umumnya dirancang selengkap mungkin, yang terdiri atas rig pengeboran, tempat tidur untuk pekerja dengan fasilitas sebaik mungkin. Selain itu terdapat kapal-kapal untuk mengangkut pekerja dari dan ke pelabuhan terdekat dan untuk emergency pekerjanya. Barge tidak dapat digunakan bila tinggi gelombang lebih dari 5 ft.



52



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.16. Drilling Barge b. Jack Up Rig jackup memungkinkan pemakaian yang luas di laut untuk pemboran eksplorasi. Secara prinsip komponen-komponennya sama seperti unit tipe barge, dan mempunyai 3 sampai 5 kaki-kaki yang menunjang vessel. Rig ini memiliki kapal yang stand by untuk maksud keamanan (lihat Gambar 3.17). Keistimewaan dari jackup ini adalah kaki-kakinya yang bisa dinaikturunkan . Setiap kaki bisa ditanamkan atau ditambatkan ke suatu tempat yang bisa menunjang pada dasar laut (lihat Gambar 3.18). Rig ini dirancang untuk kedalaman minimum air 13 - 25 ft dan maksimum pada kondisi khusus, yaitu antara 250 - 350 ft. Maksimum kedalaman operasi ditentukan oleh kondisi cuaca, misalnya suatu jackup yang didesain untuk kedalaman operasi maksimum 300 ft, mempunyai batasan operasi antara 203 - 210 ft. Rig-rig jackup dipisahkan berupa slot atau cantilever rig tergantung pada pemakaian dan persyaratan yang diperlukan cantilever (lihat Gambar 3.19). Jembatan-jembatan rig dapat diletakan jauh atau dekat de ngan sumur, sedangkan menara ditempatkan pada tiang cantilever (lihat Gambar 3.20), sehingga barge dapat bergerak dengan bebas dan bisa ditempatkan di luar lokasi sumur.



System of Units



53



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.17. Jack Up Rig



Gambar 3.18. Bantalan Penunjang Jack Up Rig



54



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.19. Slot Type Jackup Rig



System of Units



55



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.20. Menara Rig c. Platform rigs Platform rigs adalah platform yang digunakan untuk mengebor beberapa lubang sumur. Beberapa sumur yang dibor secara miring dari satu platform menuju reservoir yang produktif akan lebih banyak mengurangi biaya dibandingkan dengan satu sumur vertikal dalam satu sumur. Gambar dari platform rigs dapat dilihat pada (Gambar 3.21).



Gambar 3.21. Rig Flatform d. Drill ship Dalam usaha pengeboran dalam laut yang terlalu dalam, penggunaan rig yang ditunjang dari dasar tidak bisa dilakukan. Karena itu kemudian dilakukan pengeboran dengan menggunakan drill ship atau kapal 56



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



pengeboran. Rig ini tidak dibatasi oleh kedalaman air dalam pengoperasiannya. Ada dua tipe drilling ship yang memiliki perbedaan karakteristik, dan harus diperhatikan dalam pemilihan rig tersebut. Drillship yang memakai tipe vessel kapal sebagai struktur utama untuk penunjang rig (lihat Gambar 3.22).



Gambar 3.22. Drillship Kini telah dikembangkan vessel baru untuk pengeboran yang dapat digerakan sendiri, atau diperlukan kapal laut untuk transportasinya. e. Semi submersible Unit pemboran semisubmersible (lihat Gambar 3.23.) merupakan vessel yang dirancang khusus untuk dipakai hanya dalam operasi perminyakan, yang memiliki kesetimbangan maksimum agar rig tetap stabil dan lebih mampu mengatasi gelombang yang besar dibandingkan dengan kapalkapal vessel biasa.



System of Units



57



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.23. Rig Semisubmersible 3.2.2. Block dan Tackle Block dan tackle terdiri dari: 1. Crown block: katrol-katrol yang diam terletak di atas mast atau derick. 2. Traveling block: katrol-katrol yang bergerak tempat melilitkan drilling line. Hal ini memungkinkan traveling block bergerak naik dan turun sambil tergantung di bawah crown block dan di atas rig floor (Gambar 3.24).



Gambar 3.24. Traveling Block 3. Drilling line: Tali kawat baja yang berfungsi menghubungkan semua komponen dalam hoisting system. Tali ini dililitkan secara bergantian melalui katrol pada crown block dan traveling block kemudian digulung pada rotating drawwork



58



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



drum (Gambar 3.25).Drilling line menghubungkan drawwork dan dead line anchor.



Gambar 3.25. Drilling Line Salah satu jenis dari drilling line adalah wire rope. Wire rope dibuat dari carbon steel yang didinginkan dengan cepat dan mempunyai variasi ukuran dan kekuatan (lihat Tabel 3.3) API mengklasifikasikan ukuran wire rope sebagai berikut :  Extra Improved Plow Steel (EIPS)  Improved Plow Steel (IPS)  Plow Steel (PS)  Mild Plow Steel (MPS)



System of Units



59



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 3.3. Jenis-Jenis Ukuran dan Konstruksi Wire Rope Service and Well Depth



Wire Rope In Rod and tubing pull lines Shallow ½ - ¾ inci Intermediate ¾ - 7/8 inci Deep 7/8 – 1 1/8 inci Rod Hanger 1/4 lines Sand lines Shallow ¼ , ½ inci



Diameter (mm)



WireRope Description (Regular lay)



(13 to 19) 6 x 25 FW or 6 x 26 WS or 6 x 31 WS or 18 x 7 or 19 x 7 (19, 22) PF, LL, IPS or EIPS, IWRC (22 to 29) (6.5)



6 x 19, PF, RL, IPS, FC



(6.5 to 13) 6 x 7 Bright or Galv, PF, RL, PS or Intermediate ½ , 8/16 (13, 14.5) IPS, FC Deep 8/16 , 3/8 14.5, 16 Drilling lines-cable tool (drilling and cleanout) Shallow 5/8 , ¾ (16.19) 6 x 21 FW, PF or NPF, RL or LL, Intermediate ¾ , 7/8 (19. 22) PS or IPS, FC Deep 7/8 , 1 (22.26) Casing lines-cable tool Shallow 3/4 , 7/8 (19.22) 6 x 25 FW, PF, RL, IPS, FC or Intermediate 7/8 , 1 (22.26) IWRC Deep 1 , 1 1/8 (26.29) 6 x 25 FW, PF, RL, IPS, or EIPS, IWRC Drilling lines-coring and slim-hole rotary rigs Shallow 7/8 , 1 (22.26) 6 x 25 FW, PF, RL, IPS, or EIPS,IWRC Intermediate 1 , 1 1/8 (26.29) 6 x 19 S or 6 x 26 WS, PF, RL, IPS or EIPS, IWRC Drilling lines-large rotary rigs Shallow 1 , 1 1/8 (26.29) 6 x 19 S or 6 x 21 S or 6 x 25 FW, Intermediate 1 1/8 , 1 (29.32) PF, RL, IPS or EIPS, IWRC ¼ Deep 1 ¼, 1 ¾ (32.45) inci Winch lines5/8 - 7/8 (16 to 22) 6 x 26 WS or 6 x 31 WS, PF, RL, heavy duty inci IPS or EIPS, IWRC 7/8 – 1 22 to 29) 6 x 36 WS, PF, RL, IPS or EIPS, IWRC 1/8 inci Horsehead pumping-unit lines Shallow ½ - 1 1/8 (13 to 29) 6 x 19 class or 6 x 37 class or 19 x inci 7, PF, IPS, FC or IWRC Intermediate 5/8 – 1 (16 to 29) 6 x 19 class or 6 x 37 class, PF, IPS, FC or IWRC 1/8 inci Offshore 7/8 – 2 ¾ (22 to 70) 6 x 19 class, bright or galv., PF, RL, 60



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



anchorager Lines



Mast raising lines



Guideline tensioner line Riser tensioner lines



onci 1 3/8 – 4 ¾ inci 3¾-4¾ inci 1 3/8 and smaller 1 ½ and larger ¾ 1½,2



(35 to 122) (96 to 122) (thru 35) (38 and up) (19) (38,51)



2009



IPS or EIPS, IWRC 6 x 37 class, bright or galv., PF, RL, IPS or EIPS, IWRC 6 x 61 class, bright or galv., PF, RL, IPS or EIPS, IWRC 6 x 19 class PF, RL, IPS or EIPS, IWRC 6 x 37 class PF, RL, IPS or EIPS, IWRC 6 x 25 FW, PF, RL, IPS or EIPS, IWRC Wire Rope description (lang lay) 6 x 36 WS or 6 x 41 WS or 6 x 41 FW or 6 x 49 FW, S, PF, RL, IPS or EIPS, IWRC



Abbreviation: WS : Warrington Seale S : Seale FW : Filler wire PS : Plow steel IPS : Omproved plow steel EIPS: Extra improved plow steel PF : Preformed NPF : Nonpreformed RL : Right lay LL : Left lay FC : Fiber core IWRC : Independent wire rope core Pada umumnya EIPS dan IPS yang mempunyai kekuatan tinggi digunakan saat ini untuk drilling line. Elemen utama dari wire rope adalah kawat-kawat tunggal. Lembaran-lembaran kawat diuntai di sekeliling inti dari wire rope. Inti dapat dibuat dari tali fiber, plastik, baja, atau kawat tunggal. Wire rope umumnya dibagi dari bentuk inti dan jumlah dari simpul yang membungkus di sekitar inti, sedang simpul terdiri dari beberapa kawat tunggal. (Gambar 3.26) Arah dari tali dapat dibagi berdasarkan simpul yang melingkari inti dan kemiringan dari kawat simpul-simpul tersebut (lGambar 3.27). Simpul-simpul arahnya dapat ke kanan atau ke kiri. Kawat-kawat bebas arahnya dapat regular maupun lang. Panjang dari lang biasanya 7,25 - 8 kali diameter nominal.



System of Units



61



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.26. Jenis Konstruksi Wire Rope



Gambar 3.27. Arah Simpul dari Wire Rope Kekuatan nominal dari tali tergantung dari material yang digunakan untuk membuat tali tersebut, jumlah dari simpul-simpul dan kawat-kawat, ukuran dari tali. API memberikan Tabel-Tabel untuk kekuatan pecah dari bermacammacam tali kawat (lihat Tabel 3.4)



62



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 3.4. Kekuatan dari beberapa Jenis Wire Rope 1 2 Nominal Diameter



3 4 Approx Mass



5



6



7



8 Normal Strenth



Improved Plow Steel in



mm



Lb/f t



Kg/ m



lb



kN



½ 9/1 6 5/8 ¾ 7/8 1 1 1/8 1¼ 1 3/8 1½ 1 5/8 1¾ 1 7/8 2 2 1/8 2¼ 2 3/8 2½ 2 5/8 2¾ 2 7/8 3 3 1/8 3¼ 3 3/8 3½



13 14.5



0.46 0.59



0.68 0.88



23.000 29.000



16 19 22 26 29



0.72 1.04 1.42 1.85 2.34



1.07 1.55 2.11 2.75 3.48



32 35



2.89 3.50



38 42



9



10



Extra Improved Plow Steel lb



kN



Metric Tonnes



102 129



Metric Tonn es 10.4 13.2



26.600 33.600



118 149



12.1 15.2



35.800 51.200 69.200 89.800 113.000



159 228 308 399 503



16.2 23.2 31.4 40.7 51.3



41.200 58.800 79.600 103.400 130.000



183 262 354 460 578



18.7 26.7 36.1 46.9 59.0



4.30 5.21



138.800 167.000



617 743



63.0 75.7



159.800 192.000



711 854



72.5 87.1



4.16 4.88



6.19 7.26



197.800 230.000



880 1020



89.7 104



228.000 264.000



1010 1170



103 120



45 48



5.67 6.50



8.44 9.67



266.000 304.000



1180 1350



121 138



306.000 348.000



1360 1550



139 158



51 54



7.39 8.35



11.0 12.4



344.000 384.000



1530 1710



156 174



396.000 442.000



1760 1970



180 200



57 61



9.36 10.4



13.9 15.5



430.000 478.000



1910 2130



195 217



494.000 548.000



2200 2440



224 249



64 67



11.6 12.8



17.3 19.0



524.000 576.000



2330 2560



238 261



604.000 662.000



2880 2940



274 300



70 74



14.0 15.3



20.8 22.8



628.000 682.000



2790 3030



285 309



722.000 784.000



3210 3490



327 356



77 80



16.6 18.0



24.7 26.8



740.000 798.000



3290 3550



336 362



850.000 916.000



3780 4070



386 415



83 86



19.5 21.0



29.0 31.3



858.000 918.000



3820 4080



389 416



4380 4710



446 480



90



22.7



33.8



982.000



4370



445



984.000 1.058.00 0 1.128.00 0



5020



512



System of Units



63



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB







96



26.0



38.7



4



103



29.6



44.0



1.114.0 00 1.254.0 00



2009



4960



505



5580



569



1.282.00 0 1.440.00 0



5700



582



6410



653



Sebagai contoh, kekuatan nominal dari kawat ukuran 1 3/8 ", 6 x 37 untuk jenis 1 WRC adalah 192.000 lb. 4. Hook: Peralatan berbentuk kait yang besar yang terletak di bawah traveling block untuk menggantungkan swipel dan drill steam selama proses pemboran berlangsung. 5. Elevator: Suatu penjepit yang sangat kuat yang memegang drill pipe dan drill collar bagian demi bagian sehingga dapat dimasukkan dan dikeluarkan dari dan ke dalam lubang bor(Gambar 1-28 & 1-29). Elevator ini digantung oleh elevator link yang diikatkan pada bagian pinggir dari traveling block atau hook. Ada dua tipe dasar dari elevator yaitu :  Bottle - neck : digunakan untuk memegang drill pipe.  Collar lift : digunakan untuk memegang drill collar.



Gambar 3.28. Elevator



64



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.29. Posisi Elevator Rangkaian dan susunan dari block dan tackle seperti terlihat pada (Gambar 3.30). Fungsi utama dari block dan tackle adalah memberikan keuntungan mekanik, sehingga mempermudah penanganan beban-beban berat.



Gambar 3.30. Rangkaian Block dan Tackle 3.2.3. Drawwork Drawwork adalah suatu peralatan mekanik yang merupakan otak dari derrick. Fungsi dari drawwork yaitu : 1. Merupakan pusat pengontrol bagi driller yang menjalankan operasi pemboran. 2. Merupakan rumah dari gulungan drilling line. 3. Meneruskan daya dari prime mover ke drill string ke rotary drive sprocket, ke catheads. Drawwork menyediakan daya untuk mengangkat dan menurunkan beban yang berat. Bagian utama dari drawwork adalah (lihat Gambar 3.31): 1. Drum: Peralatan yang berfungsi untuk menggulung atau mengulur drilling line. 2. Brake, Terdiri dari: System of Units



65



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009







Main mechanical brake, suatu peralatan yang paling penting dari hoisting system. Alat ini mempunyai kemampuan untuk membuat seluruh beban kerja betul-betul berhenti, seperti pada saat tripping ataupun menurunkan casing. Bila beban berat diturunkan, maka main brake secara hidrolik atau elektrik akan membantu meredam sejumlah besar energi yang timbul akibat massa yang dimiliki oleh travelling block, hook, drill pipe, drill collar atau casing.  Auxiliary Brake, suatu peralatan hidrolis yang membantu meringankan tugas mechanical brake. Alat ini tidak dapat memberhentikan proses pemboran seluruhnya. 3. Transmisi 4. Cat head: Merupakan sub-bagian dari drawwork yang terdiri dari a. Drum atau make-up cat head b. Break out cat head. Cat head digunakan untuk menyambung dan melepas sambungan walaupun demikian tugas yang lebih umum adalah untuk mengangkat peralatan yang ringan dengan catline. Pada rig moderen fungsi cat head digantikan oleh automatic cat head dan air-powered hoist (Gambar 3.32).



Gambar 3.31. Drawworks dan Braking System



66



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.32. Cathead 3.3. Sistem Sirkulasi (Circulating System) Fungsi utama dari sistem sirkulasi adalah mengangkat serpihan cutting dari dasar sumur kepermukaan. Skema dari sistem sirkulasi dapat dilihat pada (Gambar 3.33). Fluida pemboran umumnya berupa suspensi dari clay dan material lainya dalam air yang sering disebut dengan lumpur pemboran.



Gambar 3.33. Circulating System



System of Units



67



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Aliran dari fluida pemboran melewati : 1. Dari steel tanks ke mud pump 2. Dari mud pump ke high-pressure surface connection dan ke drillstring 3. Dari drillstring ke bit 4. Dari nozzle bit ke atas ke annulus lubang dengan drillstring sampai ke permukaan 5. Masuk ke contaminant-removal equipment dan kembali ke suction tank Peralatan utama dari circulating system adalah : 1. Mud pumps: Berfungsi untuk memompa fluida pemboran dengan tekanan tinggi. Ada dua macam mud pump yaitu : Duplex dan triplex. Perbedaan utamanya adalah dalam jumlah torak dan cara kerjanya (Gambar 3.34).



Gambar 3.34. Mud Pump 2. Mud pits: Suatu kolam tempat lumpur sebelum disirkulasikan.Sistem pit dan susunan dari peralatan yang menangani lumpur di atas pit dirancang atas pertimbangan drilling engineer.Biasanya rig mempunyai dua atau tiga pit dengan ukuran lebar 8 - 12 ft, panjang 20 - 40 ft dan tinggi 6 - 12 ft. Volumenya berkisar antara 200 - 600 bbl.Pada operasi-operasi di offshore dapat ditambahkan 1 - 3 pit untuk penyimpanan kelebihan lumpur dan untuk lumpur yang mempunyai densitas tinggi.Salah satu bentuk susunan dari pit tanpa variasi dari macammacam peralatan pengontrol solid ditunjukkan pada Gambar 3.35.



68



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.35. Sistem Pit Pit pertama dilengkapi peralatan pengontrol solid. Dahulu pit kedua dipakai untuk tempat mengendapkan solid, walaupun ada perhitungan-perhitungan yang menunjukkan bahwa kebanyakan solid dalam lumpur tidak akan mengendap mengingat waktu yang dibutuhkan untuk mengalirkan lumpur relatif singkat. Kini pit kedua dilengkai beberapa peralatan pengontrol solid bila pit yang tersedia sejajar. Pada pit terakhir dilengkapi oleh pipa-pipa isap dan slugging pit untuk persiapan lumpur berat yang digunakan sebelum tripping dan pipa-pipa untuk memasukkan chemical treatment. Pit-pit mempunyai sistem pengaduk yang memutar lumpur untuk mengurangi barite atau mengendapkan solid. Umumnya ada dua jenis pengaduk yaitu : i. Perputaran kipas yang ditenggelamkan dan digerakkan masing-masing oleh motor listrik. ii. Pompa centrifugal dengan gerakan jet dan lumpur yang ditembakkan untuk memecah viskositas yang tinggi dari lumpur di dalam lumpur. (lihat Gambar 3.36)



System of Units



69



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.36. Pengaduk Lumpur di Pit 3. Mud mixing equipment: Suatu peralatan yang berfungsi untuk mencampurkan bahan-bahan atau material pada lumpur dengan menggunakan mixing hopper. Mixing Hopper : Peralatan berbentuk corong yang dipakai untuk menambahkan bahan-bahan padat ke dalam fluida pemboran pada saat treatment di dalam mud pit (Gambar 3.37).



Gambar 3.37. Mixing Hopper 4. Contaminant removal : Suatu perlatan yang berfungsi untuk membersihkan fluida pemboran yang keluar dari lubang sumur setelah disirkulasikan, terdiri dari (Gambar 3.38): a. Mud gas Separator, berfungsi untuk memisahkan gas-gas dari fluida pemboran



70



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



b. Shale shaker, berfungsi untuk memisahkan cutting berukuran besar dari fluida pemboran. c. Degasser, berfungsi untuk memisahkan gas-gas dari fluida pemboran secara terus menerus. d. Desander, berfungsi untuk memisahkan pasir dari fluida pemboran e. Desilter, berfungsi untuk memisahkan partikel-partikel yang ukurannya lebih kecil dari pasir.



Gambar 3.38. Drilling Fluid Conditioning Area 3.4. Rotating System Rotary system termasuk semua peralatan yang digunakan untuk mentransmisikan putaran meja putar ke bit. Diagram dan rangkaian dari rotating system dapat dilihat pada (Gambar 3.39).



System of Units



71



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.39. Rotating System Bagian utama dari rotary sistem adalah: a. Swivel : Swivel seperti terlihat pada (Gambar 3.40) berfungsi sebagai penahan beban drillstring dan bagian statis yang memberikan drillstring berputar. Swivel merupakan titik penghubung antara circulating system dan rotating system. Disamping itu juga sebagai penutup fluida dan menahan putaran selama diberikan tekanan.



72



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.40. Basic Swivel Parts b. Kelly : Kelly adalah rangkaian pipa yang pertama di bawah swivel. Bentuk potongan dari kelly dapat berupa segi empat atau persegi enam sehingga akan mempermudah rotary table untuk memutar rangkain di bawahnya. Torsi ditransmisikan ke kelly melalui kelly bushing, yang terletak di dalam master bushing dari rotary table. Kelly harus dipertahankan tetap setegak lurus mungkin (Gambar 3.41).



Gambar 3.41. Kelly System of Units



73



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 3.5. Dimensi Kelly



Siz



Conectio



e



L



LD



25



DU



DFI



LU



5



5



16



3/4



19/64



DL



DF2



LL



d



DC



3



3 1/4



20



1 1/4



3 9/32



DE



Rc



R



3



n Up



Lo



per



we



LH



r



bo



LH



x



bo x







4



2



2



½



3/8



8



Re



IF



3/8



2



5/1



1/2



6



g 2½



4



2



4



½



3/8



0



Re



IF



37



5



5



3/4



19/64



16



3



3 1/4



20



1 1/4



3 9/32



2



5/1



1/2



6



4



3



1/2



3



17/32



1/2



1/2



3



1/2



3



1/2



2



1/2



2



1/2



3



5/8



3



3/4



2



3/8



3



g 3½



4



3



4



½



½



0



Re



FH



37



5



5



3/4



19/64



16



4



4



3/4



31/64



20







g 3½



4



3



4



½



½



0



Re



IF



37



5



5



3/4



19/64



16



4



4



3/4



31/64



20







4



3



17/32



1/2



g 3½



6



3



4



5/8



½



0



Re



FH



37



7



7



3/4



21/64



16



4



4



3/4



31/64



20







4



3



17/32



1/2



g 4¼



4



4



4



½



½



0



Re



FH



37



5



5



3/4



19/64



16



6



5



20







5 9/16



17/32



4 1/4



g 4¼



4



4



4



½



½



0



Re



IF



37



5



5



6



5



3/4



19/64



16



1/8



17/32



7



7



6



5



3/4



21/64



7



7



3/4



21/64



7



7



3/4



21/64



20







5 9/16



4 1/4



g 4¼



6



4



4



5/8



½



0



Re



FH



37



20







5 9/16



17/32



4 1/4



g 5



6



5



4



1/4



5/8



½



0



Re



FH



37



16



7



6



20







23/32



6



5



29/32



1/4



7 7/8



6



g 6



74



6



6



4



5/8



5/8



0



Re



Re



g



g



37



16



8



7 21/64



20







System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Kelly mempunyai ukuran standard yaitu panjang 40 ft dengan bagian penggeraknya 37 ft. Namun ada pula kelly dengan panjang 54 ft. Ukuran dari kelly dapat dilihat pada Tabel 3.5. c. Rotary drive: Peralatan yang berfungsi meneruskan daya dari drawworks ke rotary table d. Rotary table: Peralatan yang berfungsi untuk memutar dan dipakai untuk menggantung drill string (drill pipe, drill collar dsb) yang memutar bit di dasar sumur (Gambar 3.42, 3.43).Kelly bushing dan rotary bushing berfungsi untuk memutar kelly (lihat Gambar 3.44). Rotary bushing digerakan oleh prime mover lewat tenaga gabungan atau motor elektrik sedangkan kelly bushing didudukan di dalam rotary bushing dan ditahan oleh empat penjepit. Diameter dari kelly bushing berbentuk empat persegi atau hexagonal yang sesuai dengan kelly.



Gambar 3.42. Rotary Bushing



System of Units



75



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.43. Rotary Table



Gambar 3.44. Rotary Accessories e. Drillpipe : Pipa baja yang digantung di bawah kelly. Drill pipe di pasang pada bagian atas dan tengan drill stem.Porsi utama dari drillstring terdiri dari drillpipe. Drillpipe yang umum digunakan adalah type hot-rolled, pierced dan seamless tubing. API telah mengembangkan spesifikasi drillpipe yang didasarkan atas diameter luar, berat per foot, grade material dan range panjang. Dimensi dan kekuatan drillpipe dibedakan atas grade D,E,G dan S-135 seperti terlihat pada Tab.3.6. Drillpipe yang dipasarkan berdasarkan standard API mempunyai range dan panjang, seperti terlihat pada Tabel 3.6: 76



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 3.6. Ukuran Drill Pipe Range Length (ft) 1 18 sampai 22 2 27 sampai 30 3 38 sampai 45



Range 2 yang paling sering digunakan. Karena setiap pipa mempunyai panjang yang khusus, maka type yang digunakan harus sama untuk semua rangkaian sehingga memudahkan dalam menentukan total depth pada saat pemboran (Gambar 3.45).



Gambar 3.45. Drill Pipe Beberapa ukuran dan berat drill pipe dapat dilihat pada Tabel 3.7.



System of Units



77



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 3.7. Dimensi Drill Pipe Size OD, in



Nominal Plain End Wall ID Section Weight Weight *, Thickness, in Area Body Threads & lb/ft in of Pipe ** Coupling, In2 A lb/ft 2 3/8 + 4.85 4.43 0.190 1.995 1.3042 6.65 6.26 0.280 1.815 1.8429 2 7/8 +6.85 6.16 0.217 2.441 1.8120 10.40 9.72 0.362 2.151 2.8579 3½ 9.50 8.81 0.254 2.992 2.5902 13.30 12.31 0.368 2.764 3.6209 15.50 14.63 0.449 2.602 4.3037 4 +11.85 10.46 0.262 3.476 3.0767 14.00 12.93 0.330 3.340 3.8048 +15.701 14.69 0.380 3.240 4.3216 4½ 13.75 12.24 0.271 3.958 3.6004 16.60 14.98 0.337 3.826 4.4074 20.00 18.69 0.430 3.640 5.4981 5 +16.25 14.87 0.296 4.408 4.3743 19.50 17.93 0.362 4.276 5.2746 25.60 24.03 0.500 4.000 7.0686 5 1/2 +19.20 16.87 0.304 4.892 4.9624 21.90 19.81 0.361 4.778 5.8282 6 5/8 24.70 22.54 0.415 4.670 6.6296 25.20 22.19 0.330 5.965 6.5262 * lb/ft = 3.3996 x A (col 6) ** A = 0.7854 (D2 – d2) + = These size and weight sre non API and are not included in API Apec 5A or 5AX Courtesy AmericaPetroleum Institute f. Heavy weight drill pipe Mempunyai dinding yang tebal dengan berat 2 - 3 kali lebih besar dari drill pipe standard. Gambar 4.46 memperlihatkan kekhususan dari heavy weight drill pipe. Kegunaan penggunaan heavy weight drill pipe adalah sebagai berikut:  Mengurangi kerusakan pipa dengan adanya zona transisi.  Mengurangi penggunaan drill collar.  Menghemat biaya directional drilling, mengurangi torque dan kecenderungan perubahan kemiringan.



78



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.46. Heavy Weight Drill Pipe g. Drill Collar: Pipa baja penyambung berdinding tebal yang terletak di bagian bawah drill stem di atas bit. Fungsi utamanya untuk menambah beban yang terpusat pada bit (Gambar 3.47).



Gambar 3.47. Drill Collar h. Bit Bit atau pahat merupakan ujung dari drill string yang menyentuh formasi, diputar dan diberi beban untuk menghancurkan serta menembus formasi. Bit dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu : System of Units



79



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



1. Drag bit Drag bit atau fish tail adalah jenis bit yang digunakan sejak dulu dalam proses rotary drilling dan sampai kini masih tetap digunakan terutama pada pemboran dangkal. (lihat Gambar 3.48)Drag bit mempunyai pisau pemotong yang mirip ekor ikan, karena jenis bit ini tidak memiliki bagian yang bergerak, maka pemboran dilakukan dengan cara menggeruk saja dan tergantung dari beban, putaran serta kekuatan dari pisau pemotongnya. Pisau pemotong ini bisa berjumlah dua, tiga atau empat dan terbuat dari alloy steel yang umumnya diperkuat oleh tungsten carbide.Keuntungan bit ini adalah :  ROP yang tinggi.  Umur yang panjang dalam soft formation. Kerugiannya adalah :  Memberikan torque yang tinggi.  Cenderung membuat lubang yang berbelok.  Pada formasi shale, sering terjadi balling (dilapisi padatan). 2. Diamond Bit Diamond bit memasang butir-butir intan sebagai penggeruk pada matrix besi atau carbide dan tidak memiliki bagian yang bergerak. Bit ini digunakan untuk membor formasi yang keras dan abrasive. Salah satu pabrik bit yang mengembangkan jenis bit ini memasang polycristallyne diamond pada masa dasar tungsten carbide dan cocok untuk membor formasi yang sangat keras yang tidak dapat dilakukan oleh rock bit. Namun demikian diamond bit lebih umum digunakan untuk coring, yang menghasilkan core lebih baik terutam,a pada formasi limestone, dolomite dan sandstone yang keras.Keuntungan dari diamond bit adalah memberikan footage yang lebih besar sehingga round trip lebih sedikit terutama pada formasi yang keras dan sumur yang dalam. Sedangkan kelemahannya adalah memberikan ROP yang kecil dan harganya mahal. (lihat Gambar 3.49) 3. Rolling cutter bit Rolling cutter bit adalah bit yang mempunyai kerucut-kerucut (cone) yang berputar untuk menghancurkan batuan. Bit ini pertama kali dibuat dengan 2 cone.Barulah pada permulaan tahun 1930 dibuat bit dengan 3 cone (three cone bit) yang mempunyai cutter untuk berbagai variasi formasi dari yang lunak sampai keras. (lihat Gambar 3.50) Tipe dari rolling cutter bit dibagi menjadi :  Milled tooth cutter. Gigi milled tooth bit dibuat dengan me-milling baja hingga berbentuk kerucut. Milled tooth bit didesain untuk formasi lunak, biasanya dilapisi dengan material yang kuat seperti tungsten carbide.Milled tooth bit yang digunakan untuk membor formasi keras dibuat dengan proses khusus dan pemanasan (heat treating).  Tungsten carbide insert bit. Gigi bit ini dibuat dari tungsten carbide kemudian ditekan dalam mesin yang mempunyai lubang berbentuk cone.Untuk membor formasi yang lunak digunakan tungsten carbide yang bergigi panjang dan ujungnya berbentuk pahat (chisel-shape end) Sedangkan untuk formasi yang lebih keras digunakan tungsten 80



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



carbide yang bergigi pendek dan ujungnya berbentuk hemispherical. Bit ini biasanya disebut button bits.



Gambar 3.48. Drag Bit



Gambar 3.49. Jenis-Jenis Diamond Bit



Gambar 3.49. (Lanjutan)



System of Units



81



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.50. Three Cone Bit 4. IADC (International Association of Drilling Contractor) IADC membuat kode yang terdiri dari 3 angka dalam klasifikasi mata bor rolling cutter untuk mempermudah pemilihan mata bor. Adapun kode ketiga angka tersebut adalah sebagai berikut : 1. Bilangan pertama : Menunjukan seri / penunjukan karateristik unsur pemotong, yang dapat berupa angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8.  Angka 1: Menunjukkan bit tipe milled tooth untuk formasi lunak, mempunyai kompressive strenght yang rendah sampai tinggi.  Angka 2: Menunjukkan bit itpe milled tooth untuk formasi sedang sampai agak keras dengan kompressive strength yang tinggi.  Angka 3: Menunjukkan bit tipe milled tooth untuk formasi keras, semi abrasive atau formasi abrasive.  Angka 4: Merupakan kode cadangan yang diperuntukkan bit special kategori.  Angka 5: Menunjukkan bit tipe insert tooth untuk formasi lunak sampai sedang dengan kompressive strength yang rendah.  Angka 6: Menunjukkan bit tipe insert tooth untuk formasi agak keras dengan kompressive strength yang tinggi.  Angka 7: Menunjukkan bit tipe insert tooth untuk formasi keras semi abrasive dan abrasive.  Angka 8: Menunjukkan bit tipe insert tooth untuk formasi sangat keras dan abrasive. 2. Bilangan kedua: Menunjukkan tipe dari tingkat/grade kekerasan dan keabrassivan dari formasi untuk setiap seri dimana setiap seri dibagi atas 4 tipe yaitu tipe 1, 2, 3 dan 4.  Seri 1,2, 3 dan 4 berturut - turut menunjukkan lunak, sedang, keras dan sangat keras untuk pemakaian milled tooth bit.



82



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009







Seri 1,2, 3 dan 4 berturut - turut menunjukkan lunak, sedang, keras dan sangat keras untuk pemakaian insert bit. 3. Bilangan ketiga: Merupakan penunjukkan ciri - ciri khusus bantalan dan rancangannya.  1: standard mata bor rolling cutter.  2: air  3: gauge insert  4: rolling seal bearing  5: seal bearing and gauge protection  6: friction seal bearing  7: friction bearing and gauge protection  8: directional  9: other Tabel 3.8. Korelasi Formasi untuk IADC 1



SERI Soft formastion having low compressive strength and high drillability



2



Medium to medium harg formation with high compressive strength



3



Hard semi-abrassive or abrasive formation



4



Soft formationhaving low compressive strength and high drillability



5



Soft to medium formation of high compressive strength



6



Medium harg formation high compressive strength



7



Hard semi-abrassive and anrassive formation



8



Extremely hard and abrasive formation



System of Units



TYPE 1. very soft shale 2. soft shale 3. medium soft shale/lime 4. medium lime shale 1. medium lime/shale 2. medium hard lime/sand 3. medium hard lime/sand/slate 4. dolomite/hard lime/hard slaty shale 1. hard lime 2. hard lime/dolomite 3. hard dolomite 4. hard sandstone, cherty limestone, quartzite, pyrite, granite. 1. very soft shale 2. soft shale 3. medium soft shale/lime 4. sandy shale, dolomite, medium hard shale 1. very soft shale 2. soft shale 3. medium soft shale/lime 4. sandy shale, dolomite, medium hard shale 1. medium lime/shale 2. medium hard lime/sand 3. medium hard lime/sand/slate 4. medium hard lime/dolomite/cemented sandstone 1. hard lime/dolomite 2. hard sand /dolomite 3. hard dolomite 4. hard interval of abrasive limestone, sandstone, cherty limestone, chert 1. hard chert 2. very hard chert 3. very hard granite 83



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 3.9. IADC Code Rock Bit



84



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



3.5. BOP System Blowout preventer (BOP) adalah peralatan yang diletakkan tepat di atas permukaan sumur untuk menyediakan tenaga untuk menutup sumur bila terjadi kenaikan tekanan dasar sumur yang tiba-tiba dan berbahaya selama atau sedang dalam operasi pemboran. Jumlah, ukuran dan kekuatan BOP yang digunakan tergantung dari kedalaman sumur yang akan dibor serta antisipasi maksimum terhadap tekanan reservoir yang akan dijumpai. Blowout preventer (BOP) system (lihat Gambar 1.51) digunakan untuk mencegah aliran fluida formasi yang tidak terkendali dari lubang bor. Saat bit menembus zone permeabel dengan tekanan fluida melebihi tekanan hidrostatik normal, maka fluida formasi akan menggantikan fluida pemboran. Masuknya fluida formasi ke dalam lubang bor sering disebut dengan kick.



Gambar 3.51. Blowout Preventer (BOP) Berdasarkan tempat berfungsinya alat BOP terbagai atas : 1. Anular Blowout Preventer terdiri dari :  Anular (spherical preventer)  Ram preventer  pipe  variable bore  blind  shear  Drilling spools  Casing head  Diverter bags  Rotating head  Choke dan Kill lines 2. Drillpipe Blowout Preventer terdiri dari :  Kelly dan kelly cock  Automatic valve  Manual Valve System of Units



85



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



3.5.1. Anular Blowout Preventer 3.5.1.1. Annular Preventer Annular BOP didesain untuk menutup di sekeliling lubang sumur dengan berbagai jenis ukuran dan bentuk peralatan yang sedang diturunkan ke dalam lubang bor. Sehingga annular BOP ini dapat menutup annulus disekitar drillpipe, drillcolar dan casing, juga dapat mengisolasi sumur dalam kondisi open hole. Annular preventer berupa master valve yang umumnya ditutup pertama kali bila sumur mengalami well kick, karena kefleksibelan karet penutup untuk mengisolasi lubang bor. Gambar 1.52 memperlihatkan jenis dari annular blow out preventer.



Gambar 3.52. Annular Preventer 3.5.1.2. Ram Preventer Ram preventer (Gambar 3.53) dapat dibagi menjadi empat type ram:



Gambar 3.53. Ram preventer



86



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



3.5.1.2.1. Pipe Rams Pipe rams didesain untuk menutup annulus di sekeliling peralatan-peralatan yang berupa drillpipe, tubing atau casing. Penutup ini berupa dua block ram baja yang berbentuk semi-circular, yang dilengkapi dengan dua pasang karet isolasi. Ram ini dapat menutup di sekeliling drillpipe, tubing, drillcolar, kelly atau casing tergantung dari ukuran rams yang dipilih. Jenis pipe ram dapat dilihat pada (Gambar 3.54).



Gambar 3.54. Pipe Rams 3.5.1.2.2. Variable-bore Ram (VBR) Pada operasi pemboran normal BOP ram harus diganti setiap perubahan drillpipe atau casing yang digunakan. VBR dikembangkan untuk menutup dan mengisolasi pada suatu range drillpipe tertentu. Fungsi dari VBR ini hampir sama dengan jenis pipe ram. 3.5.1.2.3. Blind Ram Blind ram seperti terlihat pada Gambar 3.55, hampir mirip dengan pipe ram, kecuali packer diganti dengan packer tanpa cutouts (lengkungan pipa). Ram ini didesain untuk menutup dan mengisolasi lubang bor yang tanpa drill string atau casing.



System of Units



87



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.55. Blind Ram 3.5.1.2.4. Shear Ram Shear ram adalah blind ram yang dapat memotong pipa dan mengisolasi lubang dalam kondisi openhole. Hampir sebagian besar shear rams memerlukan 3000 psi untuk memotong pipa. 3.5.1.3. Drilling spools Apabila elemen-elemen BOP dipasang tanpa line-line untuk jalannya lumpur, maka perlu dipasang suatu drilling spool yang ditempatkan dalam susunan BOP, dimana line-line jalannya lumpur (choke dan kill line) menjadi satu. API memberikan persyaratan bagi Drilling spool sebagai berikut : 1. Mempunyai tekanan kerja yang tinggi. 2. Mempunyai satu atau dua sisi lubang keluar yang diameter dalamnya tidak kurang dari 2 in, dengan rate tekanan yang sesuai dengan susunan BOP. 3. Mempunyai ukuran lubang vertikal paling sedikit sama dengan maksimum lubang dari bagian atas casing head atau susunan BOP. Gambar 1.56 mengGambarkan drilling spool yang dijepit dengan dua sisi lubang keluar.



Gambar 3.56. Drilling Spool



88



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



3.5.1.4. Casing Head Casing head merupakan tumpuan dari semua susunan BOP dan biasanya merupakan komponen utama yang dipasang. Casing head dapat dilengkapi dengan flens yang dilas atau susunan penahan yang hanya dibaut saja. Casing head mempunyai persyaratan minimum berdasarkan standard API, yaitu: 1. Mempunyai rate tekanan kerja yang sama atau melebihi tekanan maksimum permukaan. 2. Sama atau melebihi kekuatan pembengkokan dari arah luar casing yang ditempatkan. 3. Mempunyai sambungan dengan kekuatan mekanik dan kapasitas tekanan yang sebanding dengan flens berdasarkan API atau pipa yang ditempatkan. 4. Mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk menahan casing berikutnya serta berat tubing yang digantung di sana. Gambar 3.57 adalah satu contoh dari casing head dengan baut di bawah sambungan dan flens di atasnya.



Gambar 3.57. Casing Head 3.5.1.5. Diverter Bags Dalam kasus-kasus tertentu, prosedur untuk mengontrol sumur menghendaki agar kick tidak ditutup, tetapi dikeluarkan dan dikontrol dari jauh. Prosedur pengalihan blowout di sini tidak membutuhkan suatu susunan Blowout preventer yang lengkap, sebagai gantinya digunakan diverter bags yang relatif mengurangi tekanan kerja peralatan. Gambar diverter bags diperlihatkan pada (Gambar 3.58).



System of Units



89



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.58 Diverter Stacks 3.5.1.6. Rotating Head Fungsi utama dari suatu annular preventer adalah sebagai pelengkap pengontrol tekanan yang membolehkan pipa untuk bergerak (naik-turun, berputar). Adakalanya suatu peralatan membutuhkan sejumlah besar pipa yang bergerak secara fleksibel pada tekanan yang rendah, yaitu dengan digunakannya rotating head (Gambar 3.59).



Gambar 3.59. Rotating Head Rotating head dapat digunakan untuk: 1. Pemboran yang menggunakan udara atau gas. 2. Mengontrol tekanan pemboran. 3. Melakukan sirkulasi balik dengan tekanan sumur sampai 2000 psi dan kecepatan berputar sampai 150 rpm Jika digunakan untuk mengontrol tekanan pemboran, rotating head ditambah dengan penggunaan lumpur-lumpur ringan akan menambah penetrasi 90



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



danmengurangi swabing. Rotating head juga menjaga tekanan pada saat terjadi suatu kick dengan cara mengurangi volumenya (bleed). 3.5.1.7. Choke dan Kill Lines Dalam operasi mematikan sumur, biasanya dilakukan sirkulasi fluida yang turun lewat drillpipe kemudian naik melalui annulus dan terus naik ke permukaan. Choke line membawa lumpur dan fluida kick dari susunan BOP ke choke, sedangkan kill line membantu choke line. Choke line dan kill line dapat digunakan untuk memompakan lumpur langsung ke dalam annulus apabila diperlukan. Choke line dan kill line dapat dipasang ke beberapa bagian dari susunan BOP, seperti yang ditunjukkan pada (Gambar 1.60). Hanya dalam kondisi yang ekstrem dan tak begitu diharapkan, choke dan kill line dipasang ke casing head, casing spool, atau bagian bawah dari ram. Choke dan kill lines harus memiliki beberapa persyaratan berikut: 1. Rate tekanan dari line-line harus sesuai dengan susunan BOP. 2. Semua line yang ada minimum memenuhi persyaratan pengetesan BOP. 3. Line-line harus memiliki ID yang sesuai untuk mengurangi erosi pada titik dimana terjadi perubahan diameter. 4. Jumlah sudut defleksi dalam line-line harus dikurangi. Bila line-line harus membuat beberapa perubahan sudut antara susunan dan choke manifold atau sebaliknya dapat digunakan tes dan crosses untuk mengurangi erosi akibat arus turbulen pada titik tersebut.



Gambar 3.60. System Penunjang BOP



Gambar 3.61. Susunan Choke Manifold



System of Units



91



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



3.5.2. Drillpipe Blowout Preventer Pencegahan blowout melalui dillpipe merupakan salah satu cara pengontrolan sumur yang sangat penting. Bila suatu kick terjadi, biasanya ada fluida yang masuk ke annulus dan bercampur dengan aliran fluida pemboran selama sirkulasi pemboran yang normal. Bagaimanapun fluida kick akan masuk ke dalam drillpipe, sehingga tekanan di dalam drillpipe akan lebih rendah dibandingkan jika tidak terjadi kick. Kolom vertikal lumpur dalam drillpipe relatif akan dipisahkan oleh volume fluida yang masuk. Karena itulah pemilihan dan penggunaan peralatan drillpipe blowout preventer adalah penting untuk mengontrol kick dengan tepat. Beberapa peralatan yang dapat menanggulangi tekanan pada drillpipe selama terjadi kick yang utama diantaranya adalah kelly dan valve-valve yang berhubungan seperti kelly cocks. Apabila kelly tidak digunakan, valve-valve drillstring terpaksa harus dapat mengontrol tekanan. Valve-valve disini dapat dikontrol secara otomatis ataupun manual dan dapat dipasang sebagai bagian permanen dari drillstring atau dipasang bila terjadi kick. 3.5.2.1.Kelly dan Kelly Cock Kelly memberikan gerakan berputar pada drillstring dengan peralatan pembotan di permukaan. Valve-valve biasanya ditempatkan di atas dan di bawah kelly untuk melindungi kelly dan semua peralatan di permukaan dari tekanan. Valve-valve tersebut disebut dengan kelly cock, yang rate tekanannya sesuai dengan drillstring dan mampu menahan beban hook yang diperlukan oleh peralatan hoisting lihat Gambar 3.62.



Gambar 3.62. Kelly Cock 3.5.2.2. Automatic Valves Suatu penutup otomatis atau float valve di dalam drillstring umumnya dapat melewatkan fluida bergerak dari atas ke bawah dan tidak sebaliknya. Valve tersebut dapat berbentuk sayap, per yang dibebani bola atau berbentuk anak panah dan dapat dipasang secara permanen atau tidak. Walaupun valve tersebut berfungsi mencegah blowout melalui drillpipe, tapi alat tersebut juga sering digunakan untuk mencegah terjadinya aliran balik selama penyambungan ataupun pada saat tripping. Kerugiannya penggunaan float falve akan menyebabkan pembacaan langsung tekanan pada drillpipe pada sat terjasdi kick (Shut in drillpipe pressure



92



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



= SIDPP) tidak dapat langsung dilakukan. Karena itu prosedur pembacaan tekanan pada drillpipe akan lebih kompleks. 3.5.2.3. Valve Manual Valve manual umumnya merupakan valve pengaman yang terbuka seluruhnya. Valve ini biasanya dipasang setelah terjadi kick, apabila kelly tidak digunakan. Keuntungan valve ini adalah dapat ditusukkan pada drillpipe dalam posisi terbuka sehingga akan mengurangi efek gerakan lumpur ke atas yang akan mengangkat valve. Lumpur tersebut akan mengalir melalui valve selama penusukan, setelah itu valve dapat ditutup. Valve manual mempunyai beberapa jenis, ada yang dapat dikunci dalam posisi terbuka, ada pula yang berbentuk runcing. Penutupan dari manual valve membutuhkan sebuah kunci yang disimpan pada lantai rig dan dilakukan oleh rig crew lihat Gambar 3.63.



Gambar 3.63. Kunci Pengaman Valve Valve manual mempunyai suatu bentuk yang membuatnya lebih menguntungkan dalam penggunaannya daripada valve otomatis. Valve manual mempunyai sebuah lubang yang tak terhalangi, sedangkan valve otomatis dikunci dalam posisi terbuka yang mempunyai penutup mekanis (sayap, bola atau panah) sebagai penghalangnya. Untuk itu diperlukan wireline untuk dapat membuka menutup automatic valve. 3.6. Power System Hampir sebagian besar daya yang tersedia pada rig dikonsumsi oleh hoisting system dan circulating system. Sistem lainnya hanya sedikit mengkonsumsi daya yang tersedia. Untungnya, hoisting dan circulating system memerlukan daya tidak secara bersamaan, sehingga mesin yang sama dapat menyediakan daya untuk kedua sistem tersebut. Total daya yang umum diperlukan dalam sebuah rig dari 1000 sampai 3000 HP. Rig modern sumber penggeraknya biasanya berasal dari internal- combustion diesel-engine dan secara umum diklasifikasikan menjadi : 1. Diesel-electric type 2. Direct-drive type



System of Units



93



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Penggunaannya Tergantung dari metode yang digunakan untuk mentransmisikan daya tersebut ke berbagai sistem dalam rig. Power system dapat dilihat pada (Gambar 3.64).



Gambar 3.64. Power System Components Bagian-bagian power system: 1. Prime Mover, merupakan motor utama yang menyalurkan tenaga ke komplek pemboran (Gambar 3.65).



Gambar 3.65. Prime Mover Unit 2. System Transmisi, tenaga yang dibangkitkan dengan prime mover harus disalurkan ke bagian-bagian utama dari system pemboran rotary drilling. Sistim Utama Komponen Yang Membutuhkan Tenaga: Hoisting System Drawworks, Driller Console dsb. Rotating System Rotary Table 94



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Circulating System Mud Pump/centrifugal pump/degasser dsb Transmisi tenaga ini dilakukan melalui sistem-sistem penggerak : 



Sistem-sistem penggerak mekanik Sistem penggerak mekanik memiliki gear-gear, rantai dan belt untuk mentransmisikan tenaga dari mesin-mesin ke peralatan operasi seperti drawwork dan pompa-pompa. Putaran dari mesin akan menurun kecepatannya setelah melewati gear dan akan memberikan keuntungan mekanik bagi mesin. Efisiensi bagi sistem penggerak mekanik berkisar 0.75 sampai 0.85. Kelemahan dari sistem tenaga mekanik adalah : 1. Beban shock ke mesin 2. Tidak mampu menghasilkan putaran yang tinggi pada mesin yang mempunyai RPM yang rendah, sehingga akan mningkatkan beban kontinu mesin yang akibatnya membuat mesin cepat rusak. 3. Kesulitan dalam membuat perputaran keluar yang lambat terutama dalam pengaturan kecepatan mesin dan gear. 4. Power loss pada gear-gear dan rantai-rantai. Walaupun kelemahan-kelemahan sistem ini telah diketahui, tetapi dalam industri perminyakan sistem tenaga mekanik masih tetap digunakan, terutama pada rigrig onshore.







Sistem-Sistem Penggerak Elektrik Generator DC - Motor DC Motor jenis direct current (DC) telah digunakan sejak tahun 1950 untuk operasi pemboran. Motor yang digerakan dengan generator-generator DC dihubungkan dengan batang pada prime mover, uintuk kemudian menggerakkan. Sistem generator DC - motor DC (DC-DC) dapat dilihat pada (Gambar 1.66).Motormotor DC memberikan beberapa keuntungan yang mengungguli sistem penggerak mekanik. Bila motor DC digabung ke generator, maka safety akan lebih baik dan batas kebisingan rig akan berkurang. Efisiensi akan bertambah menjadi 0.85 sampai 0.90.



Gambar 3.66. Sistem Generator dan Motor DC



System of Units



95



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Sistem-sistem AC - SCR Sistem-sistem Alternating current (AC) dan Silicon controlled rectifier (SCR) sering digunakan pada instalasi ri-rig elektrik yang baru. Motor-motor AC lebih tahan lama, lebih ringan, mudah pemeliharaannya, dan biayanya lebih ringan dibandingkan motor DC. Kesemua peralatan dan sistem penggerak tersebut dihubungkan dengan penggerak hydraulic. Tenaga mekanik yang didapat dari mesin dapat dijadikan tenaga hydraulic dengan menggunakan pompa hydraulic. Pompa hydraulic ini digerakkan oleh power take off (PTO) yang berfungsi sebagai clutch (perseneling) dan digerakkan oleh transmission oil pressure. Gambar 1.67 menunjukkan hydraulic system.



Gambar 3.67. Sistem Hydraulic Keterangan Gambar 3.67 adalah sebagai berikut : 1. Hydraulic tank, dengan volume 400 L, berisi minyak bersih. 2. Return filter, berfungsi untuk menyaring minyak yang kembali ke tangki. 3. Suction filter, berfungsi untuk menyaring minyak yang dihisap oleh hydraulic pump. 4. Hydraulic pump atau main pump, befungsi untuk menggerakkan sistem hydraulic pada rig. 96



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



5. Relief valve, berfungsi sebagai alat pengaman apabila terjadi kemacetan dalam sistem sirkulasi minyak yang menyebabkan tekanan naik , maka releif valve akan mem-bypass minyak kembali ke tangki. 6. Regulator valve, untuk mengatur tekanan kerja pada sistem yang diinginkan. 7. Winch control valve, sebagai pengatur kerja motor winch. 8. Hydraulic motor, fungsinya untuk merubah tenaga hydraulic menjadi tenaga mekanik yang akan memutar gigi-gigi dari winch. 9. Winch , untuk mengangkat suatu barang atau peralatan-peralatan yang diperlukan. 10. Selector valve, untuk menentukan arah aliran minyak, karena outletnya ada dua buah, maka bisa diarahkan ke power tong atau ke valve section 11. End plate, adalah penutup akhir dari valve section. 12. Valve section, adalah kumpulan valve pengontrol yang berfungsi sebagai penggerak hydraulic levelling jack, raising ram dan telescoping ram pada saat pemasangan rig. 13. Telescoping Ram Control valve, berfungsi untuk menaikkan mast dan waktu menurunkan, valve berfungsi mengatur aliran fluida kembali ke tangki. 14. Hydraulic jack (levelling jack) untuk mendatarkan rig sebelum rig didirikan. 15. Accumulator control valve + BOP, berfungsi untuk mengisi tekanan hydraulic ke dalam accumulator, bila BOP dioperasikan. 16. Erection/raissing ram (double acting), ram ini digunakan untuk mendirikan mast yang ada pada rig. Alat ini dilengkapi 2 buah bleeder valve yang berfungsi untuk membuang angin sebelum ram digunakan. 17. Tong, berfungsi untuk mengunci/membuka tabular valve. 18. 19. 20. Choke, fungsinya sebagai pengaman pada telescoping dan erection ram, dengan tujuan menghindari mast terhempas, pada saat rigging up bila terjadi pipa atau slang yang pecah. Salah satu sumber tenaga lainnya adalah tenaga pneumatik atau tenaga angin yang dihasilkan oleh air compressor. Tenaga ini biasanya digunakan untuk menggerakkan peralatan yang memerlukan tekanan yang lebih kecil dibandingkan dengan sistem hydraulic. Pada kompressor terdapat klep-klep yang mengatur tekanan sistem pada harga tertentu. Bila tekanan sistem melebihi harga tersebut, maka klep-klep akan terbuka secara otomatis. Demikian pula dengan tangki/tabung udara yang dilengkapi dengan safety valve. Udara yang berada di tabung dialirkan melalui pipa ke dua arah, yaitu : 1. Menuju kabin untuk:  cabin throtle  kill engine  service brake  Emergency brake  Horn  Differential lock  Pressure gauge 2. Menuju ke operating control untuk :  Tubing drum air clutch  Sand drum air clutch  Cat head clutch  Pilot air valve untuk hydraulic pumpSebelum angin digunakan pada peralatan, terlebih dahulu disaring dan diatur bermacam valve. System of Units



97



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



3.7. Peralatan-Peralatan Khusus 3.7.1. Stabilizer Digunakan di dalam BHA untuk menjaga keseimbangan bit dan drill collar di dalam lubang bor selama oprasi pemboran (Gambar 3.68). Fungsinya adalah: a. Untuk menaikkan penetrasi b. Memperkecil kelelahan pada sambungan-sambungan drill collar-stabilizer mengurangi kelenturan drill stem sehingga mengurangi stress pada sambungan-sambungan drill collar. c. Menghindari wall sticking-stabilizer untuk menjaga agar drill collar tidak menempel ke dinding d. Mempertinggi kekakuan rangkaian drill collar-stabilizer mencegah perubahan sudut pemboran yang terjadi secara tiba-tiba. e. Untuk pelurus lubang sumur-stabilizer menjaga agar drill collar tetap ditengah lubang sumur sehingga memperkecil penyimpangan arah pemboran.



Gambar 3.68. Type-Type Stabilizer Stabilizer juga dapat digunakan untuk mengontrol kemiringan dari bit. Lubang pemboran yang lur us atau miring tergantung dari posisi stabilizer dalam BHA. Susunan yang umum digunakan adalah jenis pendulum dan packed hole. Pendulum menggunakan berat dari drill collar langsung ke bit. (lihat Gambar 3.69) Susunan packed hole menggunakan sejumlah stabilizer yang ditempatkan secara tepat untuk mencegah adanya efek pendulum (lihat Gambar3.70)



98



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.69.Susunan Packed Hole



Gambar 3.70. Penggunaan Stabilizer Pada Susunan Packed Hole 3.7.2. Rotary Reamer Peralatan yang digunakan untuk memperbesar lubang sumur yang telah di bor (Gambar 3.71).



Gambar 3.71. Rotary Reamer



System of Units



99



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



3.7.3. Shock Absorber Peralatan yang dipasang di bagian bawah drill collar untuk menyerap getaran dan setiap beban kejut yang mungkin terjadi akibat aksi pemoto-ngan bit pada saat mem-bor lapisan batuan sehingga mengurangi kemungkinan kerusakan drill stem (Gambar 3.72).



Gambar 3.72. Shock Absorber 3.7.4. Square Drill Collar Selain menambah beban pada drill stem bagian bawah, square drill collar digunakan sebagai "specialized downhole stabilizer"(Gambar 1.73).



Gambar 3.73. Square Drill Collar 3.7.5. Peralatan untuk pembelokan lubang Peralatan-peralatan yang digunakan untuk membelokkan lubang bor adalah: 3.7.5.1 Badger bit Badger bit adalah bit dengan salah satu nozzle yang lebih besar dari yang lain, dan umumnya digunakan pada formasi yang lunak. Pada saat pembelokan, drill string tidak diputar, sehingga memberikan semburan lumpur yang tidak merata dan mengakibatkan lubang membelok ke arah ukuran nozzle dengan tekanan jet yang lebih keras. Cara kerja alat ini dapat dilihat pada Gambar 3.74.



100



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.74. Cara Kerja Badger Bit 3.7.5.2. Spud bit Spud bit adalah bit yang berbentuk baji, tanpa roller dan mempunyai satu nozzle. Spud bit dioperasikan dengan memberikan tekanan yang tinggi pada lumpur sehingga menimbulkan tenaga jet ditambah dengan tenaga tumbukan. Setelah lubang dibelokkan sedalam 15 - 20 meter dari lubang awal, barulah diganti dengan bit semula. Bit ini hanya digunakan pada formasi-formasi yang lunak seperti sand dan shale yang lunak sampai medium.



Gambar 3.75. Peralatan untuk mengarahkan lubang bor System of Units



101



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



3.7.5.3. Knucle joint Knuckle joint adalah suatu rangkaian drill string yang diperpanjang dengan sendi peluru, yang memungkinkan melakukan putaran bersudut antara drill string dan bitnya. Sudutnya diset lebih dulu di permukaan, dan untuk mendapatkan sifat yang fleksibel di bawah drillstring, alat ini dipasang langsung pada drill pipe tanpa drill collar. Lubang yang dibentuk oleh alat ini mempunyai diameter yang lebih kecil sebagai pilot hole, kemudian berubah diganti dengan reamer untuk memperbesar lubang tersebut. Kerugian yang ditimbulkan oleh penggunaan alat ini adalah sulitnya mengontrol arahnya dan sudut pembelokan yang mendadak dan bisa mencapai deviasi 5 - 70 per 20 ft. Cara kerja alat ini dapat dilihat pada Gambar 3.76.



Gambar 3.76. Cara Kerja Knuckle Joint 3.7.5.4. Whipstock Whipstock adalah suatu alat yang berbentuk baji yang dibuat dari besi tuang dengan saluran melengkung sehingga bit dapat dibelokan. Whipstock juga dilengkapi peralatan jangkar dan peralatan untuk mengangkatnya dari lubang bila diinginkan. Pada saat operasinya whipstock harus ditempatkan pada dasar yang keras agar tidak ikut berputar atau melesak ke dalam formasi pada saat drillstring diputar. Untuk itu dasar lubang harus bebas dari cutting dan kalau perlu dipasang landasan semen. Cara kerja alat ini dapat dilihat pada Gambar 3.77.



Gambar 3.77. Cara kerja Whipstock 102



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



3.7.5.5. Turbodril Turbodrill adalah downhole mud turbin yang dapat memutar bit tanpa harus memutar drillstring. Kecepatan putarannya sangat tergantung pada volume lumpur dan tekanan sirkulasi mud di permukaan. Pembelokkannya disebabkan adanya bent sub pada turbodrill. (lihat Gambar 3.78 ).



Gambar 3.78. Turbo Drill 3.7.5.6. Dynadrill Dynadrill adalah motor yang ditempatkan di dasar lubang yang digerakkan oleh tenaga aliran lumpur. Prinsip kerjanya yaitu sama dengan turbodrill untuk memutar bit tanpa harus memutar drillstring. Dengan adanya bent sub pada dynadrill akan menghasilkan lengkungan yang halus dan kontinu. (lihat Gambar 3.79)



System of Units



103



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.79. Dyna Drill Penggunaan dyna drill sangat tergantung pada kecepatan sirkulasi lumpur dan beda tekanan pada pompa seperti terlihat pada Tabel 3.10. Tabel 3.10. Data Operasi Dyna Drill Ukuran Dyna drill In.OD 5 6,50 7,75



Volume Lumpur Gpm 225 325 400



Beda Tekanan psi 225 225 225



Kecepatan Putar Rpm. 400 350 350



Diameter Lubang Bor In 6 – 7,875 8,75—12,250 10,625-- 15



3.7.5.7. Jet Deflector Bit Adalah Bit yang memiliki ujung penyemprotbesar yang dapat mengarahkan fluida pemboran ke satu arah (Gambar 3.80).



104



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.80. Jet Deflector Bit 3.7.5.8. Bent Sub Sub pendek yang sedikit bengkok dengan sudut 1 - 3 derajat . Bila dipasang di atas Dowhole Hydraulic Turbin Motor akan membelokkan lubang sumur (Gambar 3.81).



Gambar 3.81. Bent Sub 3.7.5.9. Knuckle Joint atau Fleksible Joint Merupakan alat penyambung pendek yang fleksibel, bila dipasang di bagian bawah drill stem, alat tersebut memungkinkan bit bergerak ke arah yang baru (Gambar 3.75 ). 3.7.6. Peralatan Cementing 3.7.6.1. Peralatan permukaan Peralatan permukaan terdiri dari truk, barge atau kapal serta alat-alat portable yang antara lain dilengkapi oleh :



System of Units



105



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.82. Peralatan dan Prosedur Penyemenan 3.7.6.1.1 Mixer (pencampur) Umumnya mixer yang digunakan adalah jet mixer yang cara kerjanya dengan mempertemukan dua aliran antara bubuk semen dan air yang ditekan melalui suatu venturi sehingga menimbulkan aliran turbulen, agar menghasilkan campuran dengan baik. 3.7.6.1.2 Pompa semen Fungsi pompa di sini untuk mengontrol rate dan tekanan yang diperlukan. Pompa yang digunakan dapat duplex double acting piston atau single acting triplex plumer. Umumnya penyemenan menggunakan plumer pump karena slurry yang dikeluarkan mempunyai rate yang lebih seragam serta tekanannya lebih besar. 3.7.6.1.3 Casing cementing head Kegunaannya sebagai penghubung antara pipa pengaman dari pompa semen ke casing serta pipa-pipa lumpur/cairan pendorong. Disamping itu juga



106



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



untuk menempatkan wiper plug yang biasanya dual plug heads(seperti terlihat pada Gambar 3.83).



Gambar 3.83. Casing Cementing Head 3.7.6.2. Peralatan Semen di bawah permukaan Peralatan semen di bawah permukaan terdiri dari : 3.7.6.2.1 Casing Guide Shoe dan Float Collar Guide shoe dipasang di ujung casing, yang terdiri dari 2 macam yaitu: Plain guide shoe, digunakan untuk menuntun casing opada saat diturunkan agar tidak tersangkut. Float shoe, memiliki klep penahan tekanan balik (check valve) atau aliran balik dari luar casing disamping sebagai penuntun sewaktu casing diturunkan. Biasanya float shoe dikombinasikan dengan float collar yang ditempatkan satu atau dua string di atas float shoe. Float collar ini gunanya untuk menghalangi plug turun, dan memiliki check valve sehingga pompa dapat dilepaskan sebelum semen mengeras .Serta mencegah terjadinya blowout namun mengakibatkan naiknya pressure surges dan untuk mengatasi hal tersebut, dipakai fill up floating equipment yang mengizinkan sedikit cairan untuk masuk ke casing setelah mengalami tahanan di orifice yang dikontrol oleh differential valve. Kombinasi antara float shoe dan float collar ini disebut sebagai floating equipment. (lihat Gambar 3.84)



System of Units



107



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 3.84. Float Collars 3.7.6.2.2 Wiper plug Wiper plug merupakan karet berbentuk silinder untuk membersihkan lumpur di dalam casing sebelum dilewati semen. Ada dua macam wiper plug yang digunakan yaitu: a. Bottom plug, yang berongga untuk jalan semen serta klep yang akan pecah terkena desakan semen di atasnya. b. Top plug, merupakan karet yang pejal untuk mendorong semen.Top plug sendiri didorong oleh cairan pendorong (lumpur). ( Gambar 3.85)



Gambar 3.85. Wiper Plug 3.7.6.2.3 Scratcher Wall scratcher digunakan untuk melepaskan mud cake dari formasi agar semen dapat melekat langsung ke formasi. Alat ini ada yang bertipe rotating (diputar) dan yang bertipe reciprocating (digunakan dengan menaik turunkan 108



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



casing). Pada umumnya alat ini dilas pada casing yang mau dipasang dan menghadap ke zone permeabel. (lihat Gambar 3.86)



Gambar 3.86. Reciprocating Scratcher 3.7.6.2.4 Casing centralizer Berfungsi untuk menempatkan casing di tengah-tengah lubang bor sehingga didapat jarak yang sama antara casing dan dinding lubang bor. Alat ini berupa susunan plat-plat yang bertumpu pada dua cincin dengan salah satu cincinnya mempunyai kedudukan yang tetap terhadap casing. Sedang yang satunya lagi dapat bergerak sehingga plat-plat dapat mengembang dan menyempit sesuai dengan kondisi lubang. (Gambar 3.87)



Gambar 3.87. Casing Centralizer System of Units



109



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN P K







F l c A







c



n 



K W K' D ROP Cf k N r ap F i



= Pressure Drop Bit, psi = konstanta, 1.62 x 10-3 = Densitas lumpur, ppg = water way velocity, 225 ft/sec (bit secara umum) = faktor gesekan, 0.025 = effective water way length, in. = wetted perimeter, in., panjang efektif dari aliran lumpur di waterway = water area, in2 = shear stress = cohesive resistance dari material = normal stress pada bidang rekahan = sudut internal friction = konstanta drillability, = WOB, N adalah Rotary speed, = konstanta drillability fungsi keausan bit dan = Normalized Tooth wear. = laju pemboran, ft/jam = konstanta drillability formasi = eksponen yang menghubungkan pengaruh WOB pada ROP = putaran meja putar, rpm = eksponen yang mempengaruhi pengaruh ROP = efek keausan gigi mata bor terhadap ROP. = Selang hasil pemboran, ft = fungsi yang menghubungkan pengaruh RPM terhadap laju keausan gigi mata bor, dari Tabel 1.13







m z Af a



= Fungsi yang menghubungkan pengaruh RPM terhadap laju keausan gigi mata bor, dari Tabel 1.12 = parameter yang menyatakan hubungan antara ketumpulan gigi mata bor dengan umur mata bor = konstanta abrassiveness formasi = faktor ketumpulan gigi mata bor = 0,928125 D2 + 6D + 1







m S L Bf Tr Bx



110



= fungsi yang menghubungkan pengaruh WOB terhadap laju keausan gigi mata bor = parameter fluida pemboran = fungsi yang menghubungkan pengaruh WOB terhadap laju keausan bantalan mata bor, dari Tabel 1.12 = faktor keausan bantalan mata bor, dimana harganya dapat ditentukan dengan persamaan: = waktu rotasi, jam = kondisi bantalan (kerusakan bearing)



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PUSTAKA 1. Alliquander, "Das Moderne Rotarybohren", VEB Deutscher Verlag Fuer Grundstoffindustrie,Clausthal-Zellerfeld, Germany, 1986 2. nn., "The Bit", Petroleum Extension Service, Texas, 1976. 3. nn., "Drilling", SPE Reprint Series no. 6a., SPE of AIME, Dallas-Texas, 1973. 4. Moore P.L., "Drilling Practices Manual", Penn Well Publishing Company, Second Edition, Tulsa-Oklahoma, 1986. 5. Bourgoyne A.T. et.al., "Applied Drilling Engineering", First Printing Society of Petroleum Engineers, Richardson TX, 1986. 6. Stag K.G., Zienkiewicz O.C., "Rock Mevhanics in Engineering Practice", John Willey & Sons, London, 1975.



System of Units



111



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Bab IV Rotary Drilling Bit 4.1. Pendahuluan Bit pemboran biasanya diklasifikasikan atas drag bit atau rolling cutter bit. Drag bit adalah tipe bit dimana cutter blade merupakan bagian dari bodi dan ikut berputar sebagai suatu kesatuan dengan drillstring. Penggunaan tipe bit ini dimulai sejak pengenalan proses pemboran berputar pada abad ke 19. Rolling cutter bit memiliki dua atau lebih cones yang merupakan tempat cutting elemen dimana cutting elemen ini akan berputar terhadap axis dari cone sewaktu bit berputar di dasar lubang. Rolling cutter bit dengan dua cone diperkenalkan pada 1909. Gambar 1.88 menunjukkan sejarah perkembangan bit sejak diperkenalkannya rotary bit oleh Howard R. Hughes pada 1909.



Gambar 4.1. Sejarah Perkembangan Rotary Bit 4.1.1 Drag Bit Design drag bit terutama meliputi jumlah,ukuran dan material dari cutting blades. Drag bit mengebor secara fisik hampir sama seperti seorang petani mencangkul tanah. Tipe-tipe drag bit meliputi bit dengan cutter dari besi (Gambar.4.2.), diamond bits (Gambar.4.3) dan polycrystalline diamond (PCD) bits (Gambar.4.4). Keuntungan dari drag bits dibandingkan dengan rolling cutting bits adalah tidak adanya bagian yang berputar yang membutuhkan suatu permukaan bantalan yang kuat dan bersih. Hal ini sangat penting terutama dalam ukuran lubang sumur yang sangat kecil dimana tidak adanya tempat untuk mendesign bearing yang kuat pada rolling cutter bit. Selain itu karena drag bit dapat dibuat dari satu potong logam seutuhnya, hal ini mengurangi kemungkinan untuk terjadinya pecahan dari bit yang akan meninggalkan junk dalam lubang formasi. Pengangkatan junk harus dilakukan trip terlebih dahulu sehingga membuang waktu rig.



112



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 4.2. Steel Cutter Drag Bits



Gambar 4.3. Diamond Bits



Gambar 4.4. Polycrystalline Diamond Bits Drag bit dengan steel cutter cocok digunakan untuk formasi-formasi yang tidak terkonsolidasi dan lunak secara homogen. Bertambah kerasnya formasi, rate bit wear juga akan bertambah dengan cepat sehingga menurunkan laju pemboran. Hal ini dapat diatasi dengan merubah bentuk cutter elemen dan mengurangi besarnya sudut yang dibentuk oleh cutter elemen dengan dasar lubang. Namun kadang-kadang formasi lunak juga dapat bersifat seperti lem (gummy), hal ini menyebabkan cutting-cutting pemboran akan menempel pada drag bit dan mengurangi efektifitasnya. Problema ini diatasi dengan menempatkan jet sehingga fluida pemboran digunakan untuk membersihkan permukaan cutter elemen. Karena problem-problem yang dihadapi drag bit dengan steel cutter ini banyak seperti di formasi yang sangat lunak dan gummy maupun formasi yang keras, penggunaan drag bit ini sekarang mulai digantikan oleh tipe bit yang lain. Diamond bit sendiri juga termasuk ke dalam golongan drag bit. Diamond bit dipakai terutama pada formasi yang sifatnya non-brittle (tidak getas). Permukaan atau crown dari bit terdiri atas banyak intan yang di tanam pada bodi bit yang System of Units



113



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



terbuat dari tungsten carbide. Tabel 4.1 menunjukkan sifat-sifat dari intan dan perbandingannya dengan material lain. Tabel 4.1. Sifat-Sifat Intan



Pada kondisi pengoperasi yang benar, kontak antar permukaan batuan hanya terjadi dengan intan, tidak dengan bodi bit (matriks) sehingga terdapat suatu clearance kecil antara matriks dengan permukaan batuan. Aliran fluida diatur sedemikian rupa sehingga fluida dapat mengalir melalui clearance tersebut untuk membersihkan dan mendinginkan bit. Jalur aliran fluida pada permukaan bit disebut sebagai waterway. Design water way yang benar akan mempengaruhi cuttings removal dan pendinginan intan (Gambar.4.6).Gambar 4.6 memperlihatkan water way serta penurunan tekanan yang terjadi. Fluida pemboran akan mengalir sepanjang water way tersebut dalam suatu aliran yang disebut sebagai cross-pad flow yang terjadi karena penurunan tekanan dari P3 ke P5. Penurunan tekanan yang terjadi pada bit dapat dihitung dengan persamaan berikut :



114



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 4.5. Diamond Cutter Drag Bit ( Design Nomenclature )



P



K 2 Flc 8A



Dimana : P = Pressure Drop Bit, psi K = konstanta, 1.62 x 10-3  = Densitas lumpur, ppg = water way velocity, 225 ft/sec (bit secara umum) F = faktor gesekan, 0.025 l = effective water way length, in. c = wetted perimeter, in., panjang efektif dari aliran lumpur di waterway A = water area, in2



System of Units



115



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 4.6. Water Way pada Diamond Bits Dari percobaan yang telah dilakukan secara umumnya diperlukan 500 - 1000 psi pressure drop sepanjang permukaan bit untuk membersihkan dan mendinginkan intan-intan di bit. Hal lain yang penting dalam desain diamond bit adalah bentuk atau profil dari crown. Bit dengan taper yang panjang baik untuk pemboran lubang lurus vertikal dan memungkinkan untuk bit weight yang lebih besar. Sedangkan bit dengan bentuk taper yang lebih pendek akan lebih mudah untuk dibersihkan karena energi hidraulik yang tersedia akan terkonsentrasi dalam area yang lebih kecil. Permukaan bit yang lebih cekung digunakan dalam pemboran berarah untuk membantu meningkatkan build up rate sewaktu kick off. Ukuran dan jumlah intan yang digunakan dalam sebuah diamond bit tergantung pada kekerasan dari formasi yang akan dibor. Bit untuk formasi yang keras harus terdiri atas intan-intan yang kecil (0.07 - 0.125 karat) sedangkan bit untuk formasi yang lunak intan yang digunakan bisa lebih besar (0.75 - 2 karat). Contoh diamond bit untuk formasi keras dan lunak ditunjukkan dalam Gambar 1.90. Jika intan yang digunakan terlalu besar, berat tumpu pada permukaan intan akan besar sehingga menimbulkan panas yang terlokalisir dan ini akan mengauskan permukaan potong dari intan. 4.1.2. Polycrystalline Diamond (PCD) Bits Diamond bit kemudian berkembang lebih lanjut dengan digunakannya intan sintetis, polycrystalline diamond yang hanya 1/64 -in. tebalnya dan dilekatkan ke tungsten carbide melalui proses tekanan dan temperatur tinggi. Bidang patahan dari polycrystalline diamond ini memiliki orientasi yang acak sehingga jika terjadi suatu shock yang mengakibatkan patahan, patahan tidak akan menjalar ke seluruh bidan intan karena bidang patahan yang tidak tentu arahnya. Gambar 1.91menunjukkan contoh PCD bit dimana polycrystalline diamond tersebut dapat



116



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



di-bonding langsung ke tungsten carbide bodi (matriks bit ) ataupun di bonding ke suatu tungsten carbide stud yang kemudian diinsert ke bodi bit dari besi. Secara umumnya, PCD bit baik digunakan untuk formasi-formasi keras seperti formasi pasir atau formasi karbonat. Hal ini umumnya benar untuk bit-bit dengan cutting elemen dari intan karena semakin keras suatu formasi, semakin kecil cutting yang akan terjadi sehingga pembersihan bit mudah dilakukan. Selain itu karena intan memiliki kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan formasi batuan, maka permukaan potong dari intan tidak akan cepat aus seperti halnya dengan rock bit. Penggunaan PCD juga sukses untuk formasi shale atau sandy shale walaupun sring terjadi problem bit balling seperti pada formasi-formasi yang sangat lunak. Namun optimasi bit hidraulik sangat berperan dalam mengurangi bit balling. Bentuk atau profil crown dari PCD bit juga merupakan hal penting dalam desain bit (Gambar.1.94). Selain bentuk double cone profile seperti pada diamond bit, single cone profile dengan bermacam bentuk taper juga digunakan untuk PCD bit. Pembersihan bit secara hidraulik dimungkinkan dari penggunaan jet untuk steel - body PCD bits dan water way untuk matrix - body PCD bit.



Gambar 4.7. Profil-Profil Diamond/PCD bit Desain lain yang penting dalam PCD bit adalah ukuran, jumlah dan bentuk cutter yang digunakan serta sudut potong (attack angle) dari cutter dengan permukaan batuan. Orientasi cutter dinyatakan dalam back rake, side rake dan chip clearance atau cutter exposure (Gambar. 4.8)



System of Units



117



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 4.8. Cutter Orientation Sudut back-rake yang umum digunakan untuk PCD bit dewasa ini adalah 20 . Sudut back-rake yang lebih kecil biasanya lebih baik untuk formasi yang lebih lunak. Sudut Side rake membantu dalam mendorong cutting yang terbentuk ke pinggiran lubang. Cutter exposure harus menyediakan clearance yang cukurp untuk cutting yang lepas supaya tidak menghantam permukaan atau bodi dari bit. Orientasi cutter harus disesuaikan dengan kekerasan formasi yang akan dibor. Untuk formasi lunak dan tidak abrasif, pengausan dari cutter berjalan lambat, dan orientasi cutter dapat dipilih sedemikian sehingga memungkinkan pemotongan batuan yang lebih agresif. Namun untuk formasi yang lebih keras dan bertemperatur tinggi, orientasi cutter yang dipilih harus lebih tidak agresif supaya pengausan cutter tidak cepat. o



4.1.3. Rolling Cutter Bits Tricone rolling cutter bit adalah tipe bit yang paling sering digunakan dalam pemboran berputar. Tipe bit ini tersedia dalam berbagai variasi desain gigi dan bearing sehingga dapat ditemukan berbagai macam tipe sesuai dengan formasi yang akan dibor. Gambar 4.9 & 4.10 menunjukkan contoh rolling cutter bit beserta bagian-bagiannya. Kerucut yang jumlahnya tiga buah (tricone ) akan berrotasi pada sumbu mereka sendiri seiring dengan rotasi bit dalam lubang.



118



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 4.9. Tri-Cone Bits



Gambar 4.10. Penampang Tri-Cone Bits Kemampuan pengeboran dari rolling cutter bit ini tergantung pada offset dari cones. Offset ditunjukkan dalam Gambar 4.11, merupakan ukuran berapa besar sudut yang dibentuk oleh sumbu cones terhadap titik pusat dari bodi bit. Offset akan menyebabkan cone untuk berhenti berrotasi secara periodik sehingga saat bit berputar, cone akan bertindak seperti drag bit untuk menggaruk dasar lubang. Hal ini akan memperbesar kecepatan pemboran, namun tooth wear (keausan gigi) juga akan bertambah terutama pada formasi yang abrasif. Sudut offset System of Units



119



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



biasanya bervariasi dari 4o untuk bit pada formasi lunak hingga nol untuk bit pada formasi yang keras.



Gambar 4.11. Offset Angle Bentuk dan ukuran gigi bit juga berperan besar dalam kecepatan pemboran. Bentuk gigi yang panjang dan berspasi besar digunkan untuk membor formasi yang lunak. Gigi tersebut akan mudah menghancurkan batuan dan aksi scraping akibat gerakan rotasi dan offset dari cone akan memudahkan pengangkatan cutting. Spacing gigi yang besar pada cone akan memudahkan pembersihan bit. Pembersihan gigi bit dilakukan oleh jetting fluida antara tiga kerucut tersebut. Jika tipe batuan yang dibor semakin keras, panjang gigi bit serta offset dari cone harus diperkecil untuk mencegah patahnya gigi bit. Pemboran yang dilakukan oleh suatu bit dengan zero offset adalah dengan cara penghancuran/crushing dari batuan. Gigi yang kecil juga memperbesar ruang untuk pembuatan bearing yang lebih kuat.



Gambar 4.12. Bentuk-Bentuk Gigi Bit untuk berbagai Formasi Metalurgi gigi bit juga bergantung pada sifat-sifat dari formasi. Terdapat dua jenis gigi bit yang umumnya digunakan yaitu (1) milled tooth cutter dan (2) tungsten carbide insert cutter. Milled tooth cutter dibuat dengan memotong bentuk gigi dari suatu kerucut besi sedangkan tungsten carbide insert bits dibuat dengan mempress silinder tungsten carbide ke dalam lubang yang telah dibuat secara mendetail pada kerucut. Milled tooth bits yang didesain untuk formasi lunak umumnya gigi bit dilapisi dengan material untuk membantu mencegah keausan seperti tungsten carbide, namun pelapisan hanya pada satu sisi dari gigi bit. Alasannya ditunjukkan dalam menyebabkan keausan yang cepat hanya pada satu sisi sehingga gigi bit tetap tajam, terlihat pada Gambar 1.100.



120



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 4.13. Profil Keausan pada Milled Tooth Bits Milled Tooth bits yang didesain untuk mengebor formasi yang keras biasanya diproses khusus yang melibatkan pengerasan dengan temperatur tinggi. Besi yang diperlakukan khusus ini (Case Hardened Steel) akan aus dengan chipping dari bagiannya sehingga gigi bit tetap tajam. Tungsten carbide insert yang didesain untuk pemboran formasi lunak memiliki gigi yang panjang dengan bentuk chisel-shaped. Insert yang digunakan untuk formasi keras bentuknya pendek dan hemispherical. Bit ini umumnya disebut juga sebagai button bits. Contoh bentuk-bentuk insert bit ditunjukkan dalam Gambar 4.14.



Gambar 4.14. Bentuk-Bentuk Insert Bits Tipe-tipe bearing yang umum digunakan ditunjukkan dalam Gambar 1.102. Gambar (a) menunjukkan tipe bearing standar yang sering digunakan karena harganya yang tidak mahal dan terdiri atas (1) roller-type outer bearing, (2) balltype intermediate bearing dan (3) friction-type nose bearing. Roller-type outer bearing adalah bantalan dengan beban kerja yang paling besar dan paling cepat aus. Intermediate ball bearing dibebani oleh thrust load dari cones. Bantalan ini juga berfungsi untuk memegang cone pada tempatnya. Nose bearing didesain untuk menahan sebagian beban thrust load dari cone jika intermediate bearing keburu aus. Nose bearing dapat berupa friction type ataupun digantikan dengan roller bearing. Dalam desain standard bearing, semua bantalan dilumasi oleh fluida pemboran. Jika gas digunakan sebagai



System of Units



121



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



fluida pemboran, bit harus dimodifikasi dengan membuat suatu jalur yang memungkinkan gas untuk mengalir melalui bantalan (Gambar. 4.15b).



Gambar 4.15. Bentuk-Bentuk Bantalan pada Bit Tipe intermediate-bearing lain yang sering digunakan dan biasanya lebih mahal adalah sealed bearing assembly. Contohnya ditunjukkan dalam Gambar 4.15c. Dalam tipe bit ini, bantalan dibuat sehingga dalam keadaan tertutup dan pelumasan dilakukan oleh grease dan tekanan grease dapat menyesuaikan diri dengan tekanan fluida hidrostatik dalam lubang. Sealed assembly ini memiliki keuntungan dimana fluida pemboran yang kadang abrasif tidak kontak langsung dengan bola-bola bantalan sehingga mengurangi wear dari bearing. Rolling cutter bits dengan bearing assembly yang paling mutakhir adalah yang menggunakan journal bearing (Gambar. 4.15d). Dalam tipe bit ini, roller bearing diilangkan sehingga cone berotasi dengan kontak langsung terhadap journal bearing pin. Tipe bearing ini memiliki keuntungan dimana beban bit terdistribusi secara sempuran ke seluruh bagian cone karena semakin luasnya daerah kontak cone. Journal bearing bits memerlukan grease sealing yang efektif dan material khusus. Untuk membantu mengurangi friksi pada journal biasanya dilapisi dengan perak. Walaupun journal bearing bit lebih mahal daripada standar atau sealed bearing bits, waktu running bit yang lebih lama dan pengurangan rig time karena operasi trip penggantian bit.



122



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



4.1.4. Standard Klasifikasi Bit (IADC Classification Codes) Tabel 4.2 menunjukkan pembagian kategori bit. Karena terdapat berbagai macam produk bit dari perusahaan-perusahaan yang berbeda maka diperlukan suatu standard klasifikasi bit. Oleh karena itu IADC (International Association of Drilling Contractors) mengeluarkan suatu sistem klasifikasi yang didasarkan atas penamaan dengan 3 digit kode.Digit pertama dari klasifikasi disebut sebagai nomor seri bit. Huruf D selalu mendahului digit pertama jika bit adalah diamond atau PCD drag bit. Seri D1 hingga D5 dikhususkan untuk diamond bit dan PCD bit bagi formasi soft, medium-soft, medium, medium-hard dan formasi hard, secara berurutan. Seri D7 hingga D9 dikhususkan untuk diamond core bit dalam formasi soft, medium dan hard. Seri 1, 2 dan 3 digunakan untuk milled tooth bit dalam formasi soft, medium dan hard sedangkan seri 5, 6, 7 dan 8 untuk insert bit dalam formasi soft, medium, hard dan extreme-hard. Seri 4 disimpan untuk apa yang disebut sebagai 'Universal Bits'.Digit kedua disebut sebagai nomor tipe bit. Tipe 0 digunakan untuk PCD drag bit, tipe 1 hingga 4 ditujukan untuk sub klasifikasi kekerasan formasi dari paling lunak hingga paling keras. Digit ketiga disebut sebagai feature number. Feature number berbeda untuk setiap tipe bit, seperti (1) diamond dan PCD drag bit, (2) diamond dan PCD dragtype core cutting bit dan (3) rolling bits. Tabel 4.2 Categori Bit



Tabel 4.3 menunjukkan klasifikasi IADC untuk diamond dan PCD drag bits. Sedang Tabel 4.4 menunjukkan contoh produk bit dari beberapa perusahaan. Feature number untuk diamond dan PCD drag bits diwakili dari angka 1 hingga 9 dengan masing-masing tipe atau profilnya. System of Units



123



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 4.3. Klasifikasi IADC untuk Diamond dan PCD Drag Bits



Tabel 4.4. Produk Diamond dan PCD Drag Bit dari 4 Perusahaan



124



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 4.5. Produk Diamond dan PCD Drag Bit dari 4 Perusahaan(LANJUTAN)



Sedangkan untuk diamond dan PCD drag-type-core cutting bits terdapat 2 buah feature numbers. Bit ini digunakan untuk memperoleh contoh core formasi. Feature tersebut adalah (1) conventional core barrel type dan (2) face-discharge type. Feature 9 baik untuk diamond dan PCD drag bit dan drag-type core cutting bit selalu disediakan untuk bit yang akan dikembangkan kelak.



System of Units



125



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 4.6. Produk Diamond dan PCD drag-type core-cutting bits dari 4 Perusahaan



Sedangkan sistem klasifikasi untuk rolling cutter bit ditunjukkan dalam Tabel 4.6 dan 4.8 dimana Tabel 4.6 merupakan penjelasan digit code klasifikasi dan Tabel 8 menunjukkan contoh produk bit dari perusahaan. Untuk roller cutting bits terdapat digit 4 yang lebih merupakan optional karena bukan keharusan sesuai dengan sistem IADC. Digit ke 4 tersebut merupakan karakter/huruf dengan penjelasannya terdapat dalam Tabel 4.7. 126



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 4.7. Klasifikasi Roller Cutting Bits



System of Units



127



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 4.8. Kode Klasifikasi untuk Roller Cone Bits



128



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 4.9. Produk Roller Cutting Bits dari 4 Perusahaan



System of Units



129



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Desain gigi bit juga bergantung pada kelas bit, khususnya untuk roller cutting bit. Tabel 4.9 dan Gambar 4.16 menunjukkan variasi desain gigi bit untuk kelas dan tipe bit yang berbeda. Perhatikan bahwa dengan naiknya nomor kelas, offset cone, tooth height dan jumlah tooth hardfacing akan berkurang sedangkan jumlah teeth dan jumlah tooth case hardening akan bertambah. Tabel 4.9. Karakteristik Tooth Desain untuk Rolling-Cutter Bits



Gambar 4.16. Variasi Tooth Desain dengan Kelas Bit Gambar 4.17 menunjukkan kapasitas bearing untuk berbagai kelas bit. Kenaikan kapasitas bearing dimungkinkan untuk bit dengan nomor kelas yang lebih tinggi karena semakin pendeknya gigi bit dengan naiknya nomor kelas.



130



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 4.17. Kapasitas Bearing dan Offset Cone untuk berbagai Kelas Bit 4.2. Mekanisme Kegagalan Batuan 4.2.1. Mekanisme Kegagalan Batuan pada Drag Bit Desain drag bit ditujukan terutama untuk menghancurkan batuan dengan cara mencongkel seperti memahat dengan pahat. Jika pemboran dilakukan dengan cara ini, keausan pada cutter tidak akan cepat terjadi, namun karena ada saatnya drag bit menggaruk batuan maka keausan cepat terjadi. Aksi pencongkelan atau wedging batuan ditunjukkan dalam Gambar 1.105.



Gambar 4.18. Wedging Action dari Drag Bit Gaya vertikal yang diberikan pada gigi bit adalah sebagai akibat berat drill collar ke bit dan gaya horizontal pada tooth sebagai akibat dari adanya torsi untuk memutar bit. Resultan kedua gaya ini akan menentukan bidang thrust atau wedge plane dari suatu drag bit. Cutting akan terkoyak/sheared off sepanjang bidang ini yang juga bergantung pada karakteristik batuan. Dalamnya pemotongan tergantung pada bidang thrust serta kekuatan batuan yang akan dibor. Kedalaman pemotongan ini sering dinyatakan dalam sudut pemotongan,  . Dimana LP adalah dalamnya pemotongan yang diinginkan per revolusi bit dan radius r dari lubang. LP tan   2 r



System of Units



131



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Sudut clearance mencegah cutter menyeret cutting sehingga mempercepat keausan bit. Sudut rake ditujukan untuk memperbesar efisiensi mekanisme wedging namun sudut rake yang terlalu besar akan menyebabkan kekuatan gigi bit berkurang. Diamond drag bit didesain untuk membor dengan penetrasi yang sangat kecil ke dalam formasi. Mekanisme penghancuran batuan pada diamond drag bit adalah penggerusan material-material sementasi butiran batuan formasi. Penjelasan mengenai mekanisme penghancuran batuan oleh drag bit ini dapat dijelaskan melalui diagram Mohr. Kriteria Mohr menyatakan bahwa yielding atau fracturing akan terjadi jika shear stress melebihi jumlah cohesive resistance dari material, c dan frictional resistance dari bidang rekahan atau secara matematis :     C  n tan  Dimana: = shear stress  c = cohesive resistance dari material  n = normal stress pada bidang rekahan = sudut internal friction 



Gambar 4.19. Diagram Mohr (Mohr Failure Criterion) 4.2.2. Mekanisme Kegagalan Batuan pada Rolling Cutter Bit Mekanisme penghancuran batuan oleh Rolling Cutter bit yang sangat banyak tipenya dapat diwakili oleh bit yang didesain dengan offset cone yang besar untuk pemboran formasi lunak. Maurer dengan menggunakan alat yang ditunjukkan dalam Gambar 4.20 melakukan studi untuk mengetahui proses penghancuran batuan oleh rolling cutter bit ini. Peralatan Maurer ini memungkinkan untuk melakukan simulasi pada berbagai tekanan dasar sumur, tekanan pori dan tekanan overburden dari batuan.



132



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 4.20. Peralatan Uji Bit Tooth Penetration Maurer menemukan bahwa mekanisme crater sangat tergantung pada perbedaan tekanan antara lubang sumur dengan tekanan pori batuan. Pada perbedaan tekanan yang rendah, batuan yang hancur akan terlempar keluar dari crater yang terbentuk sedangkan pada perbedaan tekanan yang tinggi, batuan yang hancur tidak terlempar sepenuhnya keluar. Gambar 4.21 menunjukkan mekanisme crater tersebut. Proses terjadinya dijelaskan Maurer sebagai berikut.



Gambar 4.21. Mekanisme Crater menurut Maurer Dengan dibebankannya bit tooth (A), tekanan dibawah tooth akan bertambah hingga melebihi kekuatan hancur batuan sehingga tooth bit dapat masuk ke dalam batuan dan batuan akan hancur menjadi bubuk (B). Karena gaya tersu System of Units



133



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



membesar pada tooth bit, material di ujung tooth akan terkompres dan menekan ke batuan di samping hingga shear stress yang tejadi di sekelilingnya melebihi shear stength dari batuan sehingga batuan mengalami fracture (C). Gaya pada tooth saat mulai terjadi rekahan disebut sebagai threshold force. Dengan naiknya gaya threhold ini, maka fracture akan terus terbentuk hingga akhirnya terbentuk suatu zona dimana batuannya telah hancur (D). Pada keadaan dimana perbedaan tekanan cukup rendah, cutting yang terbentuk akan terlempar keluar secara mudah dari crater (E). Gigi bit akan kemudian bergerak ke depan dan mengulangi kembali proses A hingga E (F, G). Sedangkan pada keadaan perbedaan tekanan yang tinggi, tekanan ke bawah dan gaya gesek antar pecahan batuan akan mencegah terlemparnya fragmen batuan (E'). 4.3. Bit Selection & Evaluation Pemilihan tipe bit yang ada untuk suatu job seperti halnya dengan pemilihan fluida pemboran atau komposisi semen pemboran adalah bersifat trial and error. Kriteria yang paling tepat dan paling sering digunakan untuk membandingkan performans suatu bit adlaah drilling cost per unit interval yang telah dibor. Persamaan cost per foot ini akan diberikan kemudian. Perbandingan performans ini juga hanya bisa dilakukan untuk bit yang sama namun digunakan pada sumur yang berbeda dengan pemboran formasi yang sama. Dengan adanya data-data ini, untuk sumur berikutnya maka korelasi atau perbandingan tersebut dapat dimanfaatkan untuk pemilihan bit yang tepat. Pemilihan bit untuk sebuah area wildcat didasarkan pada karakteristik formasi dan biaya pemboran area tersebut. Karakteristik formasi dibagi menjadi dua yaitu drillability dan abrasiveness. Drillability suatu formasi adalah ukuran kemudahan formasi untuk dibor. Secara garis besar, drillability adalah fungsi inverse dari compressive strength batuan. Drillability cenderung untuk turun dengan naiknya kedalaman suatu area. Abrasiveness adalah ukuran berapa cepatnya gigi suatu milled tooth bit akan aus ketika membor suatu formasi. Walaupun tidak selalu, abrasiveness cenderung untuk naik dengan berkurangnya drillability. Tabel 4.9 menunjukkan suatu daftar tipe bit yang sering digunakan untuk membor beberapa tipe formasi. Tipe formasi disusun berdasarkan urutan menurunnya drillability dan naiknya abrasiveness.



134



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 4.9. Tipe Bit yang sering digunakan untuk Tipe Formasi tertentu



Dalam keadaan tidak adanya suatu bit record dari sumur sebelumnya, pemilihan bit lebih sering dilakukan dengan rule of thumb. Namun pada akhirnya kriteria cost per foot tetap harus dipergunakan. Adapun rule of thumb yang dapat digunakan yaitu : 1) Tabel 4.3, 4.4 dan 4.6 dapat digunakan sebagai pegangan dalam pemilihan bit 2) Tipe dan variasi bit yang dipilih harus didasarkan atas pertimbangan akan biaya bit. Premium rolling cutter bit atau diamond dan PCD drag bit yang mahal cenderung baik digunakan jika cost harian dari operasi pemboran sangat tinggi. Harga bit seharusnya tidak melebihi rig cost per hari. 3) Tri-cone bit adalah tipe bit yang paling mudah diperoleh dan paling baik sebagai pilihan awal untuk bagian sumur yang dangkal 4) Ketika menggunakan rolling cutter bit : a. Gunakan bit dengan tooth yang paling panjang (untuk formasi lunak) b. Patahan gigi bit (sedikit) lebih bisa ditolerir dibandingkan dengan jika kita menggunakan bit dengan gigi yang lebih pendek c. Jika beban di bit tidak bisa diperbesar supaya terjadi self-sharpeningtooth-wear, maka gunakan bit dengan gigi yang lebih panjang d. Jika laju keausan gigi bit lebih lama daripada laju keausan bearing, pilih gigi bit yang lebih panjang, desain bearing yang lebih baik atau tambahkan WOB e. Jika laju keausan bearing lebih lambat dibandingkan dengan laju keausan gigi bit, pilih bit dengan gigi yang lebih pendek, desain bearing yang lebih ekonomis atau kurangi WOB 5) Diamond drag bit baik digunakan untuk formasi yang tidak getas terutama pada sumur dalam dimana biaya trip bit yang tinggi atau ukuran lubang yang lebih kecil sehingga memerlukan disain bit yang lebih sederhana 6) PCD drag bit baik digunakan untuk formasi karbonat atau evaporit yang keras dan homogen



System of Units



135



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



7) PCD drag bit tidak boleh digunakan pada formasi yang sifatnya gummy sehingga memudahkan penempelan cutting ke gigi bit Karena pemilihan bit dilakukan dengan trial and error, maka catatan penggunaan suatu bit harus selalu ada supaya dapat digunakan sebagai referensi untuk pemboran selanjutnya. Klasifikasi juga harus dilakukan pada suatu bit yang telah diangkat dari suatu pemboran, dan IADC juga telah mengadopsi suatu kode numerik untuk mengklasifikasi tingkat keausan bit berdasarkan: 1. Gigi Bit 2. Bearing 3. Structur Diameter Bit (Gauge Wear) 4.3.1. Mengklasifikasi Keausan Gigi Bit Grading dari gigi bit didasarkan pada fraksi tinggi gigi bit yang telah aus dan biasanya dilaporkan dalam satuan 1/8 terdekat. Contohnya, jika setengah bagian dari tinggi gigi bit telah aus maka bit tersebut akan digrade sebagai T-4 yang artinya gigi bit telah aus sebesar 4/8. Namun mengrade suatu bit dengan gigi bit yang banyak hanya dengan satu angka sangatlah susah karena mungkin saja ada gigi bit yang ausnya lebih cepat dari yang lain atau ada yang patah. Gigi bit yang patah diindikasikan dengan 'BT' (Broken Teeth). Tabel 4.10 menunjukkan beberapa singkatan yang sering digunakan untuk klasifikasi suatu bit. Tabel 4.10. Singkatan-Singkatan Umum yang digunakan untuk Klasifikasi Bit



Karena klasifikasi bit secara keseluruhan susah, maka pengamatan secara visual dan cepat lebih sering dilakukan. Pengamatan secara visual dapat dilakukan dengan membandingkan gigi bit sebelum di-run atau sesudah running suatu bit terhadap suatu guide chart, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 136



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



1.109 berikut. Keausan gigi bit kemudian diambil secara rata-rata dari seluruh gigi bit yang ada pada suatu bit dan diberi grade seperti Gambar 1.109.



Gambar 4.22. Guide Chart untuk Keausan Gigi Bit bagi Milled-Tooth Bits Grading gigi bit untuk Insert Bits agak berbeda dibandingkan dengan MilledTooth bits. Karena struktur cutting elemen insert bit agak susah terabrasif dibandingkan dengan milled-tooth bits, maka insert bits biasanya digrade berdasarkan banyaknya tooth inserts yang hilang atau patah, bukan aus. Jadi suatu insert bit dengan setengah bagian insert telah patah atau hilang akan digradekan sebagai T-4 yang artinya 4/8 bagian insert telah hilang atau patah. 4.3.2. Mengklasifikasi Keausan Bearing Mengklasifikasikan keausan bearing suatu bit agak susah dilakukan karena bit harus dibuka terlebih dahulu kemudian dievaluasi seluruhnya. Namun biasanya kerusakan bearing dapat mengakibatkan : 1. Kerucut terkunci dan tidak dapat berputar 2. Kerucut menjadi renggang dan terlepas sehingga bearing yang didalamnya terekspos keluar Bearing failure biasanya dilaporkan dengan kode B-8 yang artinya bahwa bearing tersebut telah 8/8 rusak. Kerucut yang telah longgar dilaporkan sebagai B-7. Jika keausan bearing tidak dapat diidentifikasi dari luar, biasanya diestimasi berdasarkan jumlah waktu rotasi bit serta sisa waktu rotasi bearing yang diperkirakan oleh seorang drilling engineer. Jadi jika suatu bit dipull-out setelah 10 jam operasi dan drilling engineer memperki rakan bahwa bearing hanya dapat bertahan sekitar 10 jam lagi maka keausan bearing dilaporkan sebagai B4. Hal ini ditunjukkan dalam Gambar 4.23 berikut.



Gambar 4.23. Bearing Grading Guide untuk Rolling Cutter Bits System of Units



137



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



4.3.3. Mengklasifikasikan Keausan Gauge (Gauge Wear) Jika keausan terjadi secara berlebihan pada bit dan bodinya, bit akan membor lubang yang undersized. Hal ini akan merusak running bit berikutnya karena bit berikut akan dikorbankan untuk underreaming lubang tersebut. Untuk menentukan besarnya keausan gauge maka harus digunakan ring gauge serta penggaris seperti dalam Gambar 4.24.



Gambar 4.24. Penentuan Gauge Wear Kehilangan diameter dilaporkan dalam satuan 1/8, jadi bit yang telah kehilangan 0.5 in. diameternya digrade sebagai G-O-4. 'O' menunjukkan bahwa bit telah 'out of gauge' dan '4' menunjukkan bahwa diameter telah aus sebear 4/8 in. 'I' digunakan untuk menunjukkan jika bit dalam keadaan 'in-gauge bit'. Selain grading dalam bearing, gigi bit serta gauge, biasanya digunakan beberapa singkatan untuk menunjukkan kondisi bit. Kondisi bit ini ditentukan lebih pada pengamatan visual dan contoh kondisi tersebut ditunjukkan dalam Tabel 1.21 beserta singkatannya. SOAL 1 : Suatu bit telah 'dull'. Penggunaan ring gauge menunjukkan bahwa diameter bit telah aus sebesar 1 in. dari keadaan semula. Roller bearing telah terekspos keluar dan semua kerucut sangat longgar. Tentukan Grade Bit tersebut. 4.4 Drilling Cost Analysis 4.4.1. Metoda Cost Per Foot Penentuan suatu biaya pemboran yang umum digunakan adalah evaluasi efisiensi bit run dalam suatu sumur. Sebagian besar waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu sumur digunakan untuk pemboran atau melakukan trip penggantian bit. Total waktu yang diperlukan untuk membor suatu kedalaman, DD, dapat dinyatakan sebagai jumlah dari total waktu rotasi bit, tb, waktu karena bit tidak berrotasi, tc, dan trip time, tt. Rumus untuk menentukan biaya pemboran tersebut menjadi : CPF 



138



C b  C r t p  t c t t  D



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Dimana CPF adalah biaya pemboran per feet, Cb adalah harga bit, dan Cr adalah biaya operating rig per hari. SOAL 2: Sebuah bit program sedang disusun untuk pemboran sumur baru dengan menggunakan record performa bit dari sumur sebelumnya. Performa 3 buah bit ditunjukkan untuk formasi limestone pada kedalaman 9000 ft. Tentukan bit yang menghasilkan drilling cost terrendah jika operating cost dari rig adalah $400/jam, trip time adalah 7 jam dan connection time adalah 1 menit per connection. BIT BIT Rotating ConnectionTime ROP COST ($) Time(jam) (jam) ratarata(ft/fr) A 800 14.8 0.1 13.8 B 4900 57.7 0.4 12.6 C 4500 95.8 0.5 10.2



4.4.2. Metoda Minimum Cost Drilling Beberapa faktor mempengaruhi laju suatu pemboran yakni : a. Tipe Bit b. Weight On Bit (WOB) c. Rotary Speed d. Bottom-Hole Cleaning (Fluid Hydraulics) Kenaikan dalam WOB dan rotary speed umumnya akan menaikkan laju pemboran. Namun kenaikan ini juga akan mempercepat keausan pada bit. Gambar 4.25 menunjukkan kenaikan laju pemboran terhadap WOB sebaliknya Gambar 4.26 menunjukkan kenaikan laju pemboran terhadap rotary speed, rpm.



Gambar 4.25. Hubungan WOB dengan ROP



System of Units



139



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 4.26. Hubungan Rotary Speed dengan ROP Metoda Minimum Cost Drilling didasarkan atas pemilihan WOB dan rotary speed yang optimum sehingga menghasilkan harga pemboran yang paling minimum. Kenaikan laju pemboran karena kenaikan WOB atau rotary speed kemudian dikombinasikan dengan menurunnya umur bit digunakan untuk memprediksi batas operasi suatu bit. Laju pemboran untuk suatu tipe roller cutting bits dapat dituliskan sebagai: KWN a ROP  ! K ' D  Dimana K adalah konstanta drillability, W adalah WOB, N adalah Rotary speed, K' adalah konstanta drillability fungsi keausan bit dan D adalah Normalized Tooth wear. Sedangkan hubungan antara umur bit dengan umur bearing dinyatakan dalam K'' L dimana L adalah umur bit dalam jam, K" adalah konstanta tipe fluida NW b pemboran dan b adalah eksponen yang merupakan fungsi abrasif dari tipe fluida yang kontak dengan bearing. Harga b biasanya ditentukan dengan membuat suatu plot logaritmik dari umur bit dengan WOB untuk suatu bit tertentu. Contoh plot tersebut ditunjukkan dalam Gambar 4.27. Harga b biasanya bervariasi antara 1.0 hingga 3.0. Untuk drag bit seperti diamond bit, laju pemboran dapat ditentukan dengan ROP  L pe nbe N dimana Lpe adalah efektifitas kedalaman penetrasi setiap elemen cutting, nbe adalah efektifitas jumlah blade serta N adalah rotary speed. Dengan diketahuinya laju pemboran yang dapat diperoleh dari suatu bit maka dapat diperkirakan footage yang dapat dibor oleh suatu bit sehingga cost suatu pemboran yang minimum dapat diperoleh dengan melakukan seleksi suatu bit.



140



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Untuk menentukan optimum WOB yang digunakan untuk menetukan ROP optimum suatu bit dapat dilakukan dengan menggunakan rumus berikut :   Cr K ' ' WOBopt     b 1 N C B  C r t t 



Gambar 4.28. Bit Life vs Bit Weight SOAL 3 : Kedalaman Sumur = 10000 ft Bit Cost = $200 Rig Cost = $100 / jam Round Trip time = Ã jam per 1000 ft Bit Weight = 40000 lb Rotary Speed = 150 rpm Bit Wear, b = 1.5 Bit life = 10 jam Tentukan bit weight optimum (WOB optimum).



System of Units



141



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



4.4.3. Optimasi WOB dan RPM dengan Metode Galle-Woods Optimasi faktor mekanik yang akan dibahas disini menggunakan perhitungan yang dibuat berdasarkan teori Galle dan Woods. Tujuan dari perhitungannya adalah memilih kombinasi WOB dan RPM yang menghasilkan laju pemboran yang maksimal dengan biaya pemboran yang paling minimum. Dalam perhitungan disini dianggap bahwa faktor-faktor lain yang mempengaruhi laju pemboran adalah minimum. 4.4.3.1. Faktor Yang Mempengaruhi Perhitungan Optimasi Wob-RPM Beberapa faktor yang mempengaruhi perhitungan optimasi WOB-RPM disini adalah A. Faktor Laju Pemboran (ROP) Laju pemboran dapat dinyatakan secara matematis dengan persamaan sebagai berikut:  k N r Cf W ROP  ap dimana : ROP = laju pemboran, ft/jam Cf = konstanta drillability formasi k = eksponen yang menghubungkan pengaruh WOB pada ROP N = putaran meja putar, rpm r = eksponen yang mempengaruhi pengaruh ROP p = efek keausan gigi mata bor terhadap ROP. a Pada persamaan di atas terlihat bahwa laju pemboran dipengaruhi oleh kemampuan mata bor dan keausan gigi mata bor. Konstanta kemampuan batuan untuk dibor dapat ditentukan dari persamaan sebagai berikut: F .i Cf    mW k N r Z dimana: F = Selang hasil pemboran, ft i = fungsi yang menghubungkan pengaruh RPM terhadap laju keausan gigi mata bor, dari Tabel 4.12 



m z



= Fungsi yang menghubungkan pengaruh WOB terhadap laju keausan gigi mata bor, dari Tabel 4.11 =parameter yang menyatakan hubungan antara gigi mata bor dengan umur mata bor



ketumpulan



B. Faktor Laju Ketumpulan Gigi Mata Bor Laju ketumpulan gigi mata bor (D) dapat ditentukan secara matematis dengan persamaan :  1  Tr . i  D  A    f  a.m dimana : Af = konstanta abrassiveness formasi a = faktor ketumpulan gigi mata bor 142



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



= 0,928125 D2 + 6D + 1 



m



= fungsi yang menghubungkan pengaruh WOB terhadap laju keausan gigi mata bor



C. Faktor Laju Keausan Bantalan Mata Bor Laju keausan bantalan mata bor (Bx) dapat ditentukan dengan persamaan:



Bx 



Tr . N Tr . N  S .L Bf .L



dimana: S = parameter fluida pemboran L = fungsi yang menghubungkan pengaruh WOB terhadap laju keausan bantalan mata bor, dari Tabel 4.11 Bf = faktor keausan bantalan mata bor, dimana harganya dapat ditentukan dengan persamaan: Tr N Bf  Bx L dimana : Tr = waktu rotasi, jam Bx = kondisi bantalan (kerusakan bearing) Dari persamaan yang terdapat di atas, kemudian ditentukan variabel-variabel berikut sebagai pertimbangan optimasi WOB dan RPM. Variabel tersebut adalah: a. Waktu rotasi b. Selang yang dibor (footage) c. Biaya pemboran per kaki



System of Units



143



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 4.11. w versus m dan L



Tabel 4.12. N versus i



144



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 4.13. D versus U dan z



Tabel 4.14. Penentuan Harga k dan r



4.4.3.2. Langkah-Langkah Perhitungan Optimasi Faktor Mekanik Perhitungan-perhitungan faktor mekanik untuk mata bor jenis milled tooth agak berbeda dengan mata bor jenis insert. Perbedaan ini dikarenakan kondisi mata bor milled tooth ditentukan dari kondisi gigi dan bantalannya, sedangkan untuk mata bor insert hanya ditentukan oleh kondisi bantalannya saja. A. Untuk Milled Tooth Bit Langkah perhitungan untuk mata bor milled tooth adalah sebagai berikut:  W 1. Tentukan harga W  7,875 dimana: W adalah WOB dan H adalah diameter H mata bor sebelumnya 2. Berdasarkan harga , tentukan harga L dan dengan Tabel 4.11 atau dengan    1359 , 1  714 , 191 log W      persamaan : m  714,191 3. Dari harga N yang ada, tentukan i dari Tabel 4.12 atau dengan persamaan : i  N  4,348 x10 5 N 3 4. Berdasarkan pola keausan gigi yang terjadi, tentukan harga p dari Tabel 4.15, dimana jika pola keausan gigi tidak diketahui bisa diambil harga p = 0,5



System of Units



145



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



5. Berdasarkan kondsi keausan gigi mata bor (D) tentukan parameter U dari Tabel 4.13 6. Berdasarkan waktu rotasi (Tr), tentukan faktor abrassibenes formasi (Af) T i dengan persamaan: A f   r mU 7. Berdasarkan jenis batuan yang dibor, tentukan parameter k dan r dari Tabel 4.14. 8. Berdasarkan kondisi keausan gigi mata bor yang terjadi (D), tentukan z dari Tabel 4.16 9. Dari data selang kedalaman yang dibor (footage = F), tentukan faktor FI drillabillity dengan persamaan : C f  







m wk z 10. Dari harga W, tentukan parameter L dari Tabel 4.11 11. Berdasarkan kondisi keausan bantalan (Bx), Tr dan N, tentukan faktor T n bearing wear dengan persamaan: B f  r Bx . L 12. Tentukan biaya per kaki (CPF) untuk beberapa kombinasi WOB dan RPM yang diinginkan dengan cara: a. Dimulai dengan kombinasi WOB dan RPM dengan harga terendah, 







tentukan harga , W , i, m , dan L sepeti cara di atas. b. Dengan harga Af dari langkah (6) dan Bf dari langkah (11), tentukan U untuk kombinasi yang dimaksud pada langkah (12a) dengan : Tabel 4.15. Keausan Gigi Mata Bor vs p Pola Keausan Ujung gigi aus secara mendatar Mempertajam sendiri Tidak ada pengaruh keausan gigi U



p 1.0 0.5 0.0 Bx B f L i 



Af m n Jika U < 3076, berarti umur mata bor ditentukan oleh bantalan, tentuklan % D yang terjadi, dari Tabel 4.11. Jika U = 3078, berarti umur mata bor ditentukan oleh gigi dan bantalannya secara serentak. - Jika U > 3078, berarti umur mata bor ditentukan oleh umur giginya karena mata bor telah rusak terlebih dahulu. c. Berdasarkan harga Af dari langkah (6), tentukan waktu pemborabn (Tr), dengan persamaan: d. Dari harga U yang didapat dari langkah 12b, tentukan z dari Tabel 4.16. Jika U > 3078 ambil z = 1437. e. Tentukan selang kedalaman yang bisa dibor (F) dengan persamaan faktor drillabillity. f. Tentukan ongkos pemboran per kaki (CPF) dari harga yang diperoleh dari perhitungan di atas dengan persamaan faktor drillabillity.



146



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



g. Ulangi perhitungan di atas untuk kombinasi WOB dan RPM yang lain sesuai perhitungan untuk WOB dan RPM yang diijinkan. h. Dari hasil Perhitungan di atas, tentukan kombinasi WOB dan RPM yang menghasilkan ongkos pemboran perkaki yang paling rendah.Kombinasi WOB dan RPM ini merupakan parameter bor yang optimum. Tabel 4.16. U dan z vs D



B. Untuk Insert Bit Langkah perhitungan untuk mata bor insert adalah sebagai berikut: 1. Tentukan harga seperti persamaan untuk jenis mata bor milled tooth. 2. Tentukan parameter k dan r dari Tabel 4.14 berdasarkan jenis formasi yang dibor. 3. Berdasarkan harga , tentukan L dari Tabel 4.11 4. Berdasarkan waktu pemboran (Tr), RM dan F, tentukan konstanta drillabillity F formasi dengan : C f   Tr W k N r



System of Units



147



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tr N Bx L 6. Tentukan biaya perkaki )CPF) untuk beberapa kombinasi dari WOB dan RPM yang diinginkan dengan cara: a. Dimulai dengan kombinasi WOB dan RPM dengan harga terendah, 5. Tentkan faktor bearing wear (Bf) dengan persamaan: B f 







tentukan W seperti sebelumnya. Dari harga ini tentukan L dari Tabel 4.11. Bx B f L b. Tentukan waktu pemboran yang didapat dengan Tr  :Jika N Bf L diperkirakan bantalan aus 100% maka persamaan menjadi: Tr  N c. Tentukan selang kedalaman yang bisa dibor (F) dengan persamaan 



:F



Cf W



k



N r B f Bx I



N Jika diambil keausan bantalan 100% maka persamaan akan menjadi: 



F



C f W k nS r b f



N d. Tentukan ongkos pemboran per kaki (CPF) dari harga persamaan seperti pada mata bor milled tooth. e. Ulangi perhitungan di atas untuk kombinasi WOB dan RPM maksimum yang diijinkan. f. Dari hasil perhitungan di atas, tentukan kombinasi WOB dan RPM yang menghasilkan biaya pemboran yang paling minimumKombinasi ini merupakan parameter bor yang optimum.



148



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN P K



= Pressure Drop Bit, psi = konstanta, 1.62 x 10-3 = Densitas lumpur, ppg  = water way velocity, 225 ft/sec (bit secara umum) F = faktor gesekan, 0.025 l = effective water way length, in. c = wetted perimeter, in., panjang efektif dari aliran lumpur di waterway A = water area, in2 = shear stress  c = cohesive resistance dari material  n = normal stress pada bidang rekahan = sudut internal friction  K = konstanta drillability, W = WOB, N adalah Rotary speed, K' = konstanta drillability fungsi keausan bit dan D = Normalized Tooth wear. ROP = laju pemboran, ft/jam Cf = konstanta drillability formasi k = eksponen yang menghubungkan pengaruh WOB pada ROP N = putaran meja putar, rpm r = eksponen yang mempengaruhi pengaruh ROP p = efek keausan gigi mata bor terhadap ROP. a F = Selang hasil pemboran, ft i = fungsi yang menghubungkan pengaruh RPM terhadap laju keausan gigi mata bor, dari Tabel 1.13 



m z Af a



= Fungsi yang menghubungkan pengaruh RPM terhadap laju keausan gigi mata bor, dari Tabel 1.12 = parameter yang menyatakan hubungan antara ketumpulan gigi mata bor dengan umur mata bor = konstanta abrassiveness formasi = faktor ketumpulan gigi mata bor = 0,928125 D2 + 6D + 1







m S L Bf Tr Bx



= fungsi yang menghubungkan pengaruh WOB terhadap laju keausan gigi mata bor = parameter fluida pemboran = fungsi yang menghubungkan pengaruh WOB terhadap laju keausan bantalan mata bor, dari Tabel 1.12 = faktor keausan bantalan mata bor, dimana harganya dapat ditentukan dengan persamaan: = waktu rotasi, jam = kondisi bantalan (kerusakan bearing)



System of Units



149



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PUSTAKA



1. Alliquander, "Das Moderne Rotarybohren", VEB Deutscher Verlag Fuer Grundstoffindustrie,Clausthal-Zellerfeld, Germany, 1986 2. nn., "The Bit", Petroleum Extension Service, Texas, 1976. 3. nn., "Drilling", SPE Reprint Series no. 6a., SPE of AIME, Dallas-Texas, 1973. 2. 4.Moore P.L., "Drilling Practices Manual", Penn Well Publishing Company, Second Edition, Tulsa-Oklahoma, 1986. 3. 5.Bourgoyne A.T. et.al., "Applied Drilling Engineering", First Printing Society of Petroleum Engineers, Richardson TX, 1986. 4. Stag K.G., Zienkiewicz O.C., "Rock Mevhanics in Engineering Practice", John Willey & Sons, London, 1975.



150



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Bab V Mekanika Batuan 5.1. Klasifikasi Serta Sifat Fisik Dan Sifat Mekanik Batuan 5.1.1. Klasifikasi Batuan Berdasarkan cara terjadinya batuan dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: a. Batuan beku b. Batuan sedimen c. Batuan metamorf Batuan beku adalah batuan yang terjadi akibat pembekuan magma (penurunan tekanan dan temperatur). Dikenal ada 2 macam batuan beku, yaitu batuan beku dalam (membeku di bawah permukaan bumi), dan batuan beku luar (membeku di permukaan). Pada umumnya batuan beku masif, kompak dan keras. Batuan sedimen adalah batuan hasil proses penghancuran batuan lain (pelapukan, abrasi, aktivitas organik) yang ditransportasikan pada suatu cekungan pengendapan. Setelah mengendap (tersedimentasi) batuan tersebut mengalami kompresi. Pada umumnya batuan sedimen berlapis dan mempunyai porositas. Batuan metamorf adalah batuan yang terjadi dari batuan beku atau batuan sedimen yang mengalami perubahan tekanan dan temperatur, sehingga mengalami perubahan tekstur, struktur dan mineraloginya. Batuan metamorf pada umumnya lebih keras dan kompak, jika dibandingkan dengan batuan sedimen. Karena penelitian dari mekanika batuan lebih ditekankan pada perilaku batuan dibandingkan dengan cara terjadinya, maka pengklasifikasian lebih lanjut dapat dibagi menjadi Kelas dan Sub-Kelas, yaitu : Crystalline texture, Clastic texture, Very Fine Grained Rocks, dan Organic Rocks. Klasifikasi Kelas dan Sub-Kelas tersebut dapat dilihat pada (Tabel 5.1). Tabel 5.1. Klasifikasi batuan menurut kelas dan sub-kelas I.Crystalline Texture Examples A. Soluble carbonates and salts Limestone, dolomite, marble, rock salt, trona, gypsum B. Mica or other planar Mica schist, chlorite minerals with out schist, graphite schist continuous mica sheets C. Banded silicate minerals Gneiss with out continuous mica sheets D. Randomly oriented and Granite, diorite, gabbro, distributed silicate minerals syenite of uniform grain size E. Randomly oriented and Basalt, rhyolite, other distributed silicate minerals volcanic rocks in a back ground of very fine System of Units



151



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



grain and with vugs F. Highly sheared rocks II. Clastic Texture A. Stably cemented



B. With slightly soluble cement



C. With highly solube cement



D. Incompletely or weakly cemented E. Uncemented III. Very Fine-Grained Rocks



2009



Serpentinite, mylonite Examples Silica-cemented sandstone and limonite sandstones Calcite-cemented sandstone and conglomerate Gypsum-cemented sandstones and conglomerates Friable sandstones, tuff Clay-bound sandstones



Examples A. Isotropic, hard rocks Hornfels, some basalts B. Anisotropic on a macro scale Cemented shales, but microscopically isotropic flagstones hard rocks C. Microscopically anisotropic Slate, phillite hard rocks D. Soft, soil-like rocks Compaction shale, chalk, marl 5.1.2. Sifat Fisik dan Mekanik Batuan Batuan mempunyai sifat-sifat tertentu yang perlu diketahui dalam mekanika batuan, dan dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu : 1. Sifat fisik batuan, seperti: densitas, porositas, saturasi, permeabilitas, konduktivitas, absorbsi, void ratio, kecepatan rambat gelombang suara, dsb. 2. Sifat mekanik batuan, seperti: kuat tekan, kuat tarik, modulus elastisitas, dan Poisson's ratio. 5.1.2.1. Sifat Fisik Batuan a. Densitas Batuan Densitas batuan atau satuan berat batuan adalah specific weight yang dinyatakan dalam pound per cubic feet (pcf) atau kiloNewton per cubic meter. Specific gravity suatu padatan (G) adalah perbandingan densitas padatan dengan densitas air, yang diperkirakan mendekati 1 gram-force/cm3 (9.8 kN/m3 atau 0.01 MN/m3).Densitas dibedakan menjadi 2, yaitu : natural density (bobot isi asli) dan dry density (bobot isi kering), yang masing-masing dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut: Wn Bobot isi asli (Natural Density) =  nat  .................................... (5-1) Ww  Ws 152



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Wo ....................................... (5-2) Ww  Ws Ws Bobot isi jenuh (saturated density) =  sat  ............................... (5-3) Ww  Ws dimana: Bobot isi kering (Dry density) =  dry 



Wn



= Berat contoh asli (natural)



Wo



= Berat contoh kering (sesudah dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam dengan temperature kurang lebih 90oC)



Ww = Berat contoh jenuh (sesudah dijenuhkan dengan air selama 24 jam) Ws



= Berat contoh jenuh dalam air



Tabel 5.2. Densitas dari beberapa jenis batuan dalam kondisi kering Rock



Dry Dry Dry (g/cm2) (kN/m3) (lb/ft3) Nepheline syenite 2.7 26.5 169 Syenite 2.6 25.5 162 Granite 2.65 26.0 165 Diorite 2.85 27.9 178 Gabbro 5.0 29.4 187 Gypsum 2.3 22.5 144 Rock salt 2.1 20.6 131 Coal 0.7 – 2.0 (density varies with the ash content) Oil shale 1.6 – 2.7 (density varies with the kerogen content, and therefore with the oil yield in gallons per ton) 30 ggal/ton rock 2.13 21.0 133 Dense limestone 2.7 20.9 168 Marble 2.75 27.0 172 Shale, Oklahoma b



1000 ft depth 2.25 22.1 140 3000 ft depth 2.52 24.7 157 5000 ft depth 2.62 25.7 163 Quarts, mica 2.82 27.6 176 schist Amphibolite 2.99 29.3 187 Rhyolite 2.37 25.2 148 Basalt 2.77 27.1 173 a. Data from Clark (1966), Davis and De Weist (1966), and other sources System of Units



153



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



b. This is the Pennsylvanian age shale b. Saturasi Saturasi fluida batuan didefinisikan sebagai perbandingan antara volume pori batuan yang ditempati oleh fluida tertentu dengan volume pori total batuan tersebut. W  Wo  100% .................. (5-4) Kadar air asli (natural water content) = n Wo Ww  Wo Saturated water content (absorbsion) =  100% .................... (5-5) Wo c. Porositas Porositas didefinisikan sebagai perbandingan antara volume pori batuan terhadap volume batuan, dan dapat dinyatakan dengan persamaan: W  Wo  100% ................................................................. (5-6) Porositas = n Ww  Ws d. Void Ratio Diberi simbol (e) =



 ..................................................................... (5-7) 1 



dimana;  = porositas batuan e. Cepat Rambat Gelombang Suara Secara teoritis kecepatan gelombang yang ditransmisikan dalam batuan tergantung atas sifat elastisitas dan densitasnya. Cepat rambat gelombang suara dibedakan 2, yaitu : cepat rambat gelombang suara primer dan cepat rambat gelombang suara sekunder. 1. Cepat rambat gelombang primer (Vp) L V p  m / sec .................................................................................. (5-8) tp dimana; L = Panjang sampel batuan, m. tp = Waktu yang diperlukan gelombang primer merambat sepanjang sampel, second. 2. Cepat rambat gelombang sekunder (Vs) L Vs  m / sec .................................................................................. (5-9) ts dimana; ts = waktu yang diperlukan gelombang sekunder merambat sepanjang sampel (detik). 5.1.2.2. Sifat Mekanik Batuan Sifat mekanik batuan dapat ditentukan dari kurva tegangan-tegangan. Kurva tersebut diperoleh dari hasil pengujian kuat tekan di laboratorium dan hasil yang diperoleh berupa sifat mekanik batuan diantaranya adalah : kuat tekan (C), batas elastisitas (E), Modulus Young (E) dan Poisson's ratio (v) pada tegangan (1). Secara umum Modulus Young dapat ditentukan dengan persamaan : 154



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



 ................................................................................................... (5-10)  a dimana ;  = Tegangan  a = Regangan Axial E



Sedangkan harga Poissons ratio, dapat dihitung dengan persamaan :



v



 lateral  axial



.............................................................................................. (5-11)



Modulus Young (E) dan Poisson's ratio (v) juga dapat ditentukan secara tidak langsung (dinamis) dengan ultrasonic velocity test, yaitu mengukur cepat rambat gelombang “ultrasonic” pada sampel batuan. Dari hasil pengujian diperoleh nilainilai cepat rambat gelombang primer dan cepat rambat gelombang sekunder. Dari kedua nilai cepat rambat gelombang tersebut maka dapat dihitung Modulus Young dan Poisson's dari batuan yang diuji. 5.2. Strength Batuan Dan Kriteria Penghancuran Dalam mekanika batuan perlu diketahui bagaimana kriteria penghancuran dari batuan akibat adanya tegangan (stress) dan regangan (strain). Tegangan dan regangan ini terjadi jika ada suatu gaya yang dikenakan pada batuan tersebut. Dalam bab ini akan dibahas tentang model penghancuran batuan, analisa tegangan dan regangan di laboratorium, serta kriteria penghancuran batuan dari hukum Mohr-Coulomb. 5.2.1. Model Penghancuran Batuan Adanya variasi beban yang diberikan pada suatu batuan akan mengakibatkan penghancuran batuan, jika beban (gaya) yang diberikan melebihi kekuatan batuan. Ada 4 jenis kerusakan batuan yang umum, yaitu flexure failure, shear failure, crushing & tensile failure, dan direct tension failure. a. Flexure failure terjadi karena adanya beban pada potongan batuan akibat gaya berat yang ditanggungnya, karena adanya ruang pori formasi dibawahnya. Tahap awal terjadi pelengkungan kemudian timbul retakan pada daerah yang menanggung gaya tersebut. b. Shear failure, kerusakan terjadi akibat geseran pada suatu bidang perlapisan karena adanya suatu ruang pori pada formasi dibawahnya. Untuk lebih jelasnya keempat model penghancuran (failure) batuan dapat dilihat pada (Gambar 5.1). c. Crushing atau Compressive FailureKerusakan pada batuan terjadi akibat gerusan suatu benda atau tekanan, sehingga membentuk suatu bidang retakan. d. Direct Tension, kerusakan terjadi searah dengan bidang geser dari suatu perlapisan.



System of Units



155



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 5.1. Beberapa Contoh Yang Berperan di Dalam Kerusakan Batuan a. Flexure, b. Shear, c. Crushing and Tensile Cracking, d dan e Direct Tension 5.2.2. Pengujian Strain dan Stress Batuan Pengujian di laboratorium untuk sifat mekanik batuan, dapat dilakukan dengan beberapa metoda, yaitu : pengujian kuat (unconfirmed compressive strength test), pengujian kuat tarik (indirect tensile strength test), point load test (test Franklin), pengujian triaxial, pengujian geser langsung (Punch shear stress), direct box shear test, ultrasonic velocity test. Dalam hal ini hanya akan dijelaskan tentang pengujian kuat tekan, pengujian kuat tarik dan pengujian triaxial. 5.2.2.1. Pengujian Kuat Tekan Pengujian ini menggunakan mesin tekan (compression machine) untuk menekan contoh batuan yang berbentuk silinder, balok atau prisma dari satu arah (uniaxial). Penyebaran tegangan di dalam contoh batuan secara teoritis adalah searah dengan gaya yang dikenakan pada batuan tersebut karena ada pengaruh dari plat penekan mesin tekan yang menghimpit sampel batuan, sehingga bentuk pecahan tidak berbentuk bidang pecah yang searah dengan gaya melainkan berbentuk cone (Gambar 5.2).



156



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 5.2. Penyebaran Tegangan Dalam Sampel Batuan Dan Bentuk Pecahannya Pada Pengujian Kuat Tekan Perbandingan antara tinggi dan diameter sampel batuan yang di nyatakan dalam l/D akan mempengaruhi harga nilai kuat tekan batuan. Untuk perbandingan l/D = 1, maka kondisi tegangan axial saling bertemu sehingga akan memperbesar nilai kuat tekan batuan (Gambar 5.3). Untuk pengujian kuat tekan ini umumnya digunakan 2 Ke Kurva pressure build up test menetukan P skin dapat kita lihat pada (Gambar 7.8) sedangkan (Gambar 7.9) menunjukan pola aliran radial fliuda dalam reservoir.



System of Units



337



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 7.8. Kurva dari PBU test untuk menentukan harga skin



Gambar 7.9. Pola aliran radial fluida reservoir.17) Harga dari P skin dapat dihitung dengan persamaan berikut : ΔPskin = 0.87( S )( m ) ................................................................................... (7-3) Dimana m adalah kemiringan kurva build up test, ditentukan dari persamaan berikut : 162.5qo  o Bo m .......................................................................................... (7-4) ko h dimana q o = Laju produksi minyak, BPD  = Viskositas minyak, cp Bo = Formation volume factor, BPD/STB k o = Permeabiltas minyak, mD h = Ketebalan formasi produktif, ft



338



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



sedangkan P skin sendiri didefinisikan sebagai pressure drop pada zona damage, psi. Sebagai fungsi langsung dari harga skin effect tadi maka harga Pskin dapat ditentukan dengan persamaan: q ......................................................................................... (7-5) Pskin  S 2kh Dimana semua satuan dinyatakan dalam Darcy unit, dengan K adalah permeabilitas rata-rata. Dengan demikian maka distribusi tekanan dalam reservoir setelah terjadinya skin effect dapat ditunjukkan oleh Gambar 7.10.



Gambar 7.10. Distribusi tekanan dalam resevoir setelah terjadinya skin effect.17) Dengan adanya skin effect, juga akan menyebabkan turunnya productivity ratio. Productivity ratio merupakan perbandingan antara rate aliran sesudah dan sebelum adanya skin effect. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Productivity index adalah perbandingan antara rate aliran produksi dengan draw-down pressure (tekanan differensial antara tekanan statik dan tekanan alir sumur, draw-down = Ps - Pwf. Productivity indeks sebelumnya adalah: q PI actual  ........................................................................................ (7-6) Ps  Pwf Sedangkan productivity indeks setelah adanya skin effect adalah: q PI ideal  ............................................................................ (7-7) Ps  Pwf  Pskin Dengan demikian maka productivity ratio adalah : PI Ps  Pwf  Ps PR  actual  ...................................................................... (7-8) PI ideal Ps  Pwf Turunnya harga productivity indeks ini dapat pula dihitung dengan persamaan: System of Units



339



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



PI PI mulamula







2009



k o /  o Bo  ........................................................ (7-9) ln re / ra   k e / k a  ln ra / rw 



dengan demikian maka productivity ratio dapat dihitung dengan persamaan: k avg ln re / rw  ........................................................ (7-10) PR   ko ln re / ra   k e / k a  ln ra / rw  dimana k avg = Permeabilitas formasi dengan adanya skin effects.



ke ra rw



= Permeabilitas mula-mula = Jari-jari zone damage = Jari-jari sumur



7.3. Penyebab Lost Circulation Dan Cara Penanggulangannya Sebagaimana diketahui lost circulation adalah hilangnya semua atau sebagian lumpur dalam sirkulasinya dan masuk ke formasi. Berdasarkan keadaan ini lost circulation dapat dibagi dua, yaitu:  Partial Lost  Total Lost Partial Lost adalah bila lumpur yang hilang hanya sebagian saja, dan masih ada lumpur yang mengalir ke permukaan. Sedangkan total lost adalah hilangnya seluruh lumpur dan masuk kedalam formasi. Adanya lost dapat diketahui dari flow sensor, dan berkurangnya jumlah lumpur dalam mud pit. 7.3.1. Penyebab Lost Circulation Penyebab lost circulation adalah adanya celah terbuka yang cukup besar di dalam lubang bor, yang memungkinkan lumpur untuk mengalir kedalam formasi, dan tekanan didalam lubang lebih besar dari tekanan formasi. Celah tersebut dapat terjadi secara alami dalam formasi yang cavernous, fracture, fissure, unconsolidate, atau tekanan yang terlalu besar. 7.3.1.1. Formasi Natural Yang Dapat Menyebabkan Lost Walau formasi yang menyebabkan lost ciculation tidak diketahui secara nyata, namun dapat dipastikan bahwa formasi tersebut mesti berisi lubang pori yang lebih besar dari ukuran partikel lumpur. Hal ini ditunjukkan dalam banyak kasus bahwa phase solid dari lumpur tidak akan masuk ke pori dari formasi yang terdiri dari clay, shale, dan sand dengan permeabilitas normal. Formasi yang mempunyai formasi alami cukup besar untuk mengalirkan lumpur adalah: a. Coarse dan Gravel yang mempunyai variasi permeabilitas Studi menunjukkan bahwa formasi memerlukan permeabilitas yang tinggi untuk dimasuki lumpur. Permeabilitas yang tinggi ini dapat terjadi pada shallow sand dan lapisan gravel. Formasi yang tidak berkonsolidasi dengan baik, dapat menyebabkan keguguran dinding sumur yang membentuk gua-gua. Hal ini dapat terjadi karena tekanan overburden atau berat rig (Gambar 7.11).



340



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 7.11. Coarse dan Gravel Sebagai Zona Lost b. Breksiasi Breksiasi terjadi karena adanya earth stress yang menghasilkan rekahan. Rekahan yang terjadi dapat menyebabkan lost circulation. Gambar 7.12 menunjukkan rekahan yang ditimbulkan oleh breksiasi.



Gambar 7.12. Dimensi Rekahan Akibat Breksiasi c. Cavernous atau vugular formation Pada prinsipnya zone cavernous atau vugular terjadi pada formasi limestone. Pada formasi limestone, vugs dihasilkan oleh aliran yang kontinu dari air alami, yang menghancurkan bagian dari matriks batuan menjadi encer dan larut. Ketika formasi ini ditembus, lumpur akan hilang ke formasi dengan cepat. Volume lumpur yang hilang tergantung pada derajat vug yang saling berhubungan. Sedangkan cavernous dapat terjadi karena pendinginan magma (Gambar 7.13)



System of Units



341



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 7.13. Cavernous dan Vugs Sebagai Zona Lost d. Cracked dan fracture Lost Circulation dapat juga terjadi pada sumur yang tidak mengandung zona coarse yang permeabel atau formasi yang cavernous. Loss seperti ini mungkin terjadi karena adanya cracked atau fracture yang dapat terjadi secara alami, atau adanya tekanan hidrostatik lumpur yang terlalu besar (Gambar 7.14).



Gambar 7.14.Fracture Horizontal Sebagai Zona Lost Selain itu, lost circulation dapat terjadi pada depleted zone. Depleted sand sangat potensial untuk terjadinya lost. Formasi produksi dalam lapangan yang sama dapat menyebabkan tekanan subnormal akibat produksi dari fluida formasi. Dalam kasus ini, berat lumpur yang diperlukan untuk mengontrol tekanan formasi yang lebih dangkal, mungkin terlalu tinggi untuk lapisan sand dibawahnya. Akibatnya lapisan sand menjadi rekah dan akan dimasuki lumpur. Kasus seperti ini sering dijumpai pada pemboran sumur pengembangan, dimana tekanan formasi telah turun akibat sumur-sumur yang telah ada sudah lama berproduksi (Gambar 7.15).



342



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 7.15. Depleted Zones 7.3.1.2. Lost Circulation Karena Tekanan Selain karena adanya formasi natural yang dapat menyebabkan lost, lost circulation dapat juga terjadi karena kesalahan yang dilakukan pada saat opersi pemboran yang berkaitan dengan tekanan, misalnya: a. Memasang intermediate casing pada tempat yang salah Jika casing dipasang di atas zona transisi antara zona yang bertekanan normal dengan zona yang bertekanan tidak normal, maka diperlukan lumpur yang berat untuk mengimbangi tekanan yang abnormal. Lumpur yang berat ini dapat memecahkan formasi. b. Pelanggaran downhole pressure Pelanggaran downhole pressure yang sering dilakukan adalah:  Mengangkat atau menurunkan pipa yang terlalu cepat.  Pipe whipping  Sloughing shale  Peningkatan tekanan pompa yang terlalu cepat.  Lumpur yang terlalu berat. 7.3.2. Penanggulangan Lost Circulation Lost circulation dapat menimbulkan beberapa masalah dan kerugian, misalnya:  Hilangnya lumpur.  Bahaya terjepitnya pipa.  Formation demage.  Kehilangan waktu.  Tidak diperolehnya cutting untuk sample log.  Penurunan permukaan lumpur dapat menyebabkan blowout pada formasi berikutnya. Untuk menghindari masalah-masalah yang timbul akibat terjadinya lost circulation, maka lost circulation harus dicegah atau ditanggulangi bila sudah terjadi. Beberapa metode yang dapat dipergunakan untuk menanggulangi lost circulation adalah:



System of Units



343



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



7.3.2.1. Mengurangi tekanan pompa Terjadinya lost circulation dapat diketahui dari flow sensor, atau berkurangnya lumpur di mud pit. Bila berat lumpur normal dan tekanan abnormal bukanlah faktor penyebab, langkah pertama dan paling mudah dilakukan adalah mengatur tekanan pompa dan berat lumpur. Tekanan sirkulasi lumpur berkisar antara 900 psi sampai 3000 psi. Fungsi dari tekanan ini adalah untuk menanggulangi kehilangan tekanan selama pengaliran lumpur. Tekanan total pada dasar lubang adalah besarnya tekanan permukaan ditambah dengan tekanan tekanan kolom lumpur, dan dikurangi dengan kehilangan tekanan untuk mensirkulasikan lumpur dalam pipa bor dari permukaan sampai dasar. Misalnya tekanan permukaan sebesar 1500 psi. Bila 70% kehilangan tekanan untuk sirkulasi lumpur dari atas sampai dasar pipa bor termasuk pahat, dan tekanan kolom lumpur seimbang dengan tekanan formasi, maka perbedaaan tekanan antara lumpur dengan fluida formasi adalah 450 psi (30% x 1500 psi), sehingga tekanan dasar lubang adalah tekanan hidrostatik lumpur 450 psi. Pada saat lost circulation terjadi, semakin besar perbedaan tekanan, semakin banyak lumpur yang hilang. Untuk itu bila lost circulation terjadi, tekanan pompa harus dikurangi sebesar mungkin tanpa mengurangi laju sirkulasi lumpur. Karena pengurangan tekanan ini akan mengurangi differensial pressure antara lumpur dan fluida formasi. Misalnya pada contoh diatas, bila tekanan permukaan dikurangi sampai 700 psi, maka perbedaan tekanan yang terjadi antara lumpur dan fluida formasi hanya 210 psi. Penurunan ini tentunya akan mengurangi banyaknya lumpur yang hilang ke formasi. Keuntungan dari metode ini adalah dapat dilakukan dengan cepat. 7.3.2.2. Mengurangi berat lumpur Salah satu fungsi lumpur pemboran adalah untuk mengimbangi tekanan formasi. Semakin besar berat lumpur, semakin besar differensial pressure antara kolom lumpur dan formasi. Lumpur yang terlalu berat dapat menyebabkan pecahnya formasi. Jika lost circulation terjadi pada zona yang normal, laju aliran yang hilang adalah fungsi differensial pressure. Pengurangan berat lumpur akan mengurangi differensial pressure antara lumpur dan fluida formasi, sehingga aliran lumpur yang hilang akan menurun. 7.3.2.3. Menaikkan Viskositas dan Gel Strength Pada shallow depth, lost circulation umumnya disebabkan oleh formasi yang porous yang terdiri dari coarse, gravel atau cavernous. Peningkatan viskositas dan gel strength akan membantu memecahkan masalah ini. Ketika lost terjadi, pola aliran fluida pada lubang bor tidak diketahui. Jika formasi yang porous terdiri dari lapisan sand, gravel, cavernous dalam sebuah permukaan horizontal yang datar sebagai hasil pengangkatan dari tekanan overburden, pola alirannya adalah radial. Jika porositas berupa fissures atau fractures, atau formasi dipecahkan pada bidang vertikal, pola alirannya adalah numerous channels. Dalam kasus ini pola aliran adalah antara aliran radial dan tubular. Untuk aliran radial Muskat telah merumuskan: 2khPw  Pf  Q ...................................................................................... (7-11)  ln Rw / R f  344



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



dimana : Q = Laju Volume, bbl/dt h = Tinggi lapisan, ft k = Permeabilitas, md Pw = Tekanan lubang bor, psi Pf = Tekanan radius efektif, psi Rw = Radius lubang bor, pft R f = Radius efektif lubang bor



 = Viskositas fluida, cp Dari persamaan tersebut dapat dilihat bahwa peningkatan viskositas fluida pemboran akan menurunkan volume lumpur yang hilang ke formasi. 7.3.2.4. Mengurangi Tekanan Surge Lubang Bor Tekanan surge dihasilkan dari penurunan pipa kedalam lubang bor yang terlalu cepat. Kondisi ini dapat memecahkan formasi. Untuk itu drill string mesti diturunkan dengan lambat untuk mengurangi tekanan surge yang dapat memecahkan formasi. 7.3.2.5. Sealing Agent Bila beberapa metode yang diuraikan sebelumnya gagal untuk me-ngatasi lost, biasanya ditambahkan Lost Circulation Material (LCM), bahan pengurang kehilangan lumpur. Ada tiga cara additive LCM untuk mengatasi masalah lost circulation, yaitu: 1. Menjaga agar tidak terjadi rekahan akibat penyemenan. Dalam hal ini tekanan hidrostatik harus kecil. LCM jenis ini antara lain adalah extenders. 2. Mengatasi lost circulation dengan menempatkan material yang mampu menahan hilangnya semen/sumur. Material ini antara lain granular, flake dan fibrous. 3. Kombinasi dari kedua cara diatas. Menurut CHILINGARIAN, 1983, tipe granular adalah jenis LCM yang sangat baik digunakan. Namun demikian, untuk lebar rekahan yang lebih dari 0,22 inch material ini tidak berguna lagi. Penggunaan bahan plug yang dapat terhidrasi dengan cepat jika bercampur dengan air atau water base mud, seperti bentonit + diesel oil (BDO) akan memberikan efektivitas penyumbatan yang baik. Bentonit Diesel Oil (BDO) termasuk penyumbatan jenis lunak dan biasanya digunakan untuk mengatasi hilangnya lumpur yang disebabkan rusaknya formasi akibat fluida pemboran. Lumpur (water base mud) + BDO dicampur dengan perbandingan 1:3 sebelum dipompakan dalam zone hilang lumpur melalui rangkaian pipa bor. Gambar 7.16 menunjukkan pengaruh jumlah lumpur (persen volume) yang digunakan terhadap yield strength mempunyai harga yang maksimum. Polymer plug digunakan baik untuk menyumbat zona lumpur pada rekahan yang disebabkan operasi pemboran maupun rekahan alami. Campuran polymer bentonit 10:90 dapat mengembang, baik menggunakan air tawar maupun air asin, membentuk suatu jaringan yang dapat menyumbat zona hilang lumpur.



System of Units



345



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 7.16. Pengaruh persentase lumpur pada M+BDO terhadap Yield strength 7.3.2.6. Cement plug Penggunaan semen untuk mengatasi hilang lumpur terutama didaerah yang banyak mengandung gerowong (vuggy) sebagaimana terdapat pada formasi karbonat merupakan langkah terakhir dimana hilang lumpur yang terjadi sudah tidak dapat diatasi dengan lumpur. Cement plug adalah material (semen) yang dipompa ke dalam zone yang porous, dengan harapan bahwa material akan menutup pori dengan membentuk plastik yang kuat atau solid. Cement plug biasanya tidak cukup hanya dilakukan sekali, tetapi harus berkali-kali. Sebenarnya Cement plug sangat efektif untuk menutup ruang pori. Hanya saja penggunaan cement plug ini menimbulkan kendala karena semen lebih keras dari formasi, yang tentunya akan menurunkan laju penembusan. Semen yang akan digunakan pada sumur-sumur minyak biasanya ditambahkan suatu aditif untuk mendapatkan karakteristik semen yang sesuai de ngan kebutuhan. Berikut ini adalah jenis-jenis aditif yang biasanya digunakan: a. Accelerator Thickening time bubur semen (cement slurry) portland tergantung pada temperatur dan tekanan, sesuai dengan kekuatan tekanan (compressive strength) dari semen tersebut, yang juga tergantung pada temperatur dan tekanan. Suatu saat additive accelerator dapat ditambahkan untuk mempercepat tercapainya thickening time sehingga semen mempunyai kekuatan tekan yang mampu menahan beban uji sebesar 500 psi. Mekanisme acceleration didalam bubur semen sehingga saat ini belum dipahami secara seluruhnya. Akan tetapi suatu studi telah menemukan pengaruh dari CaCl2 terhadap laju hidrasi dan pengembangan kekuatan tekan yang lebih dini. Kesimpulan umum dari studi ini adalah bahwa acceleration seperti CaCl 2 tidak menyatu dengan produk hidrasi baru tetapi hanya mempengaruhi laju hidrasi dimana semen tersebut ditempatkan. Dengan kata lain CaCl2 mempercepat pembentukan Ca(OH)6. Kondo et all, telah menemukan mekanisme tersebut berdasarkan laju difusi dari Alkalikhlorida melalui selaput tipis semen portland ke dalam larutan kalsium hidroksida. Hasil studi menunjukkan bahwa laju difusi ionion Cl- adalah empat kali lebih cepat daripada kation alkali. Hal ini berarti bahwa pada dasarnya penetralan elektrik dijaga oleh difusi ion OH- dari larutan Ca(OH)6.



346



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



b. Retarder Retarder adalah zat kimia yang digunakan untuk memperlambat setting semen (kebalikan dari accelerator), yang diperlukan untuk mendapatkan waktu yang cukup dalam penempatan semen. Retarder yang tersedia dipasaran antar lain : salt (D44), lignosulfonate dan turunannya (D13, D81, D800, dan D801, turunan sellulosa (D8), dan polyhydroxy organik acid dan sugar additive (D25, D109). c. Dispersant Dispersant biasanya digunakan untuk mengontrol rheologi bubur semen agar pada pemompaan yang rendah menghasilkan aliran turbulen. Hal ini diperlukan untuk mengangkat sisa-sisa lumpur yang masih terdapat dalam kolom annulus. Selain itu dispersant juga dapat menurunkan kadar air dalam semen, sehingga akan menaikkan kekuatan semen tersebut. d. Extenders Extenders digunakan untuk menurunkan densitas bubur semen, sehingga tekanan hidrostatik dasar sumur relatif lebih kecil selama penyemenan. Selain itu, extanders dapat menaikkan yield bubur semen. Material yang termasuk extenders antara lain bentonit, D-75, silicates, litepi D-124 dan lain-lain. e. Zat Pemberat Zat pemberat digunakan untuk menjaga tekanan hidrostatik, agar tekanan pori yang tinggi dapat diimbangi. Pada kondisi demikian biasanya berat lumpur yang digunakan berkisar antara 18 - 18,5 lb/gal. Material yang termasuk zat pemberat antara lain ilmenite, hematite, dan barite. 7.3.2.6.1. Penyemenan Multi Stage Penyemenan banyak tahap diperlukan untuk menghindari hilangnya semen ke dalam formasi Karbonate yang banyak mengandung rekahan. Gambar 3.17 menunjukkan skema kedudukan semen untuk mengurangi hilangnya semen ke dalam rekahan. Tahap awal dari penyemenen dengan teknik ini biasanya dirancang sebagaimana pada penyemenan satu tahap. Semen dipompa dibawah melalui tubing dan naik melalui annulus. Tahap selanjutnya semen dipompa melalui suatu special port collar yang akan membuka jika tahap pertama telah selesai. 7.3.2.6.2. Semen Busa Semen jenis ringan ini diperlukan terutama pada zona- zona lunak untuk mengurangi kerusakan formasi lebih lanjut akibat tekanan hidrostatik semen. Selain itu, jenis semen ini juga sangat baik untuk zona yang banyak mengandung rekahan atau gerowong. Semen busa menggunakan gas N2 (Nitrogen) sebagai extender yang berfungsi menurunkan densitas. Gelombang Nitrogen di dalam bubur semen tidak akan pecah jika tekanan hidrostatik naik. Gelembung-gelembung tersebut akan menyusut, sehingga memerlukan tambahan konsentrasi nitrogen untuk menjaga tekanan hirostatik.



System of Units



347



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 7.17. Skema Kedudukan Penyemenan Multi Stage Untuk Mengatasi Lost Circulation. Ada beberapa kelebihan penggunaan semen busa ini antara lain : a). Penyemenan formasi lunak Densitas semen bisa mencapai 7 lb/gal. Gambar 7.18 menunjukkan perubahan tekanan hidrostatik semen pada semen busa. Hal ini sangat cocok untuk penyemenan casing pada formasi lunak. b). Mengatasi hilang sirkulasi Gambar 7.19 menunjukan sifat thixotropic semen busa. Sifat ini dapat mencegah hilangnya lumpur ke zona gerowong karena semen mampu membentuk gel dalam keadaan statik. Sifat thixotropic ini disebabkan adanya campuran CaSO 4 hemihydrate dan CaCl2 dengan semen portland.



Gambar 7.18. Tekanan hidrostatik semen dengan dan tanpa busa 348



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 7.19. Sifat thixotropic semen busa. 7.3.2.6.3. Quick Setting Cement Quick setting cement adalah jenis semen yang mempunyai tingkat pengerasan yang sangat cepat. Semen ini umumnya terdiri dari campuran semen portland dan gypsum dengan perbandingan 5:95 sampai 15:86. Semen gypsum ini adalah jenis semen dengan kekuatan yang tinggi dan setting semen yang sangat cepat. Hal ini sangat berguna untuk menanggulangi masalah hilang lumpur pada kedalaman yang relatif dangkal. Semen ini mempunyai waktu setting sekitar 20-40 menit. 7.3.2.6.4. High-filter-loss slurry squeeze (HFLSS) Semen HFLSS sangat efektif untuk mengatasi masalah hilang lumpur, baik partial lost atau total lost. Bahan- bahan seperti attapulgite, serbuk gamping, LCM jenis granular (coarsa, walnut), LCM fiber (kertas, nylon), dan LCM flake (cellophone) ditambahkan kedalam bubur semen untuk kemudian dipompakan ke dalam zona hilang melalui rangkaian pipa bor. 7.3.2.6.5. Down hole-mixed soft/hard pug (M+BDO2C) Lumpur + minyak diesel, bentonit, dan semen (M+BDO2C) digunakan untuk menanggulangi lost circulation total. Jenis lumpur yang digunakan adalah water base mud. Sedangkan komponen BDO2C terdiri dari 100 lb sak bentonit, 2x94 lb sak semen portland dicampur dengan 26,5 gal minyak diesel. Penambahan minyak diesel ditujukan agar bubur semen lebih mudah untuk dipompa, mengingat bubur semen terdiri dari padatan-padatan yang tersuspensi. Pemilihan perbandingan bentonit terhadap semen didasarkan pada karakteristik bubur semen yang mempunyai kemampuan untuk membentuk gel System of Units



349



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



jika bercampur dengan lumpur, yang diperlukan untuk menutup daerah hilang lumpur. Dalam keadaan statik, kekuatan tekan akan berkembang sangat cepat. Berdasarkan hal ini, ditentukan suatu komposisi bentonit dan semen yang optimum, yaitu pada perbandingan 1:6. Gambar 7.20 menunjukkan pengaruh persentase lumpur yang digunakan terhadap shear strength maksimum yang dapat dicapai akan lebih besar. Sedangkan penambahan Q-Broxin pada BDOC akan menurunkan viskositas campuran yang mengakibatkan kecilnya shear strength maksimum yang dapat dicapai.



Gambar 7.20. Pengaruh Persentase Lumpur Pada M+BDO2C Terhadap Shear Strength. 7.3.2.6.6. Drilling blind Drilling blind adalah pemboran yang dilakukan secara membabi buta, dimana sirkulasi lumpur tidak ada karena semua lumpur hilang ke formasi. Fluida umumnya membawa cutting masuk ke dalam zona loss, sehingga cutting ini dapat menutup formasi. Drilling blind sangat bahaya karena cutting yang tidak terangkat kepermukaan dapat menjepit pipa/stuck. Disamping itu , tidak diperolehnya cutting di permukaan menyebabkan log sample batuan tidak bisa dilakukan. Setelah zona lost dilalui, perlu dipasang casing untuk menghindari terjadinya lost lebih lanjut. Metode drilling blind biasanya dilakukan bila tekanan normal, dan air tersedia dalam jumlah yang banyak. 7.3.2.6.7. Aerated drilling Aerated drilling mud dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan densitas lumpur. Metoda ini sangat cocok diterapkan untuk mengatasi lost circulation yang dijumpai pada formasi yang cavernous, vug yang besar, khususnya pada bagian atas lubang bor. Bila lumpur yang digunakan mempunyai kadar solid yang rendah, dan tekanan formasi normal, mungkin tekanan formasi telah cukup untuk menempatkan fluida formasi masuk kedalam zona loss. Penanggulangan dengan semen sering kali mengalami kegagalan karena ukuran pori yang terbuka cukup besar dan adanya pengenceran dari campuran semen yang terjadi. Dalam hal ini penambahan udara ke dalam fluida pemboran biasanya dapat memecahkan masalah. 350



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Metoda ini dilakukan dengan memompa campuran air dan udara kedalam lubang. Jumlah air yang dipompa ke dalam lubang dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Setelah daerah vugular dilewati, pipa dapat diset atau aerated water drilling dapat diteruskan. 7.4 Penentuan Tekanan Formasi dan Gradien Rekah 7.4.1. Pendahuluan 7.4.1.1. Deteksi Tekanan Pori Formasi Berbagai metoda telah dikembangkan untuk mendeteksi tekanan formasi yang lebih besar daripada gradien hidrostatik formasi normal (0,465 psi/ft atau 9 ppg berat lumpur). Metoda yang paling banyak digunakan adalah metoda Drilling Rate, dimana metoda ini didasarkan pada perhitungan d-exponent. Perbedaan tekanan yang besar antara tekanan hidrostatik lumpur dengan tekanan formasi dapat menurunkan laju pemboran. Untuk meningkatkan laju pemboran, densitas lumpur harus diturunkan. Dari sisi tekanan formasi, adanya kenaikan tekanan formasi juga akan meningkatkan laju pemboran.Perlu diingat juga bahwa laju penembusan dipengaruhi oleh parameter lain seperti WOB, RPM, pembersihan lubang sumur, litologi, sifat-sifat fluida, serta jenis dan keadaan pahat. Sehingga perlu kiranya diperhitungkan parameter-parameter tersebut bersama-sama agar perubahan-perubahan yang terjadi terhadap laju penembusan benar-benar dapat menunjukkan adanya tekanan formasi abnormal. Jordan dan Shirley memberikan suatu hubungan persamaan antara beberapa parameter pemboran di atas yang di sebut dengan d'Eksponen. Dengan mengamati perubahan harga d'Eksponen ini terhadap kedalaman maka dapat diperkirakan adanya tekanan abnormal. Kenyataan ini dapat digunakan untuk mendeteksi zona over-pressured, dengan menentukan nilai d-exponent pada tiap kedalaman. Jorden dan Shirley telah membuat suatu hubungan matematis antara laju penembusan R, kecepatan putar rotary table N, berat pahat W, dan diameter pahat D untuk digunakan dalam memperkirakan tekanan pori formasi. Persamaan tersebut ialah : d



 WOB  ROP  k x RPM    ......................................................................... (7-12)  D  dimana, e = eksponen kecepatan putar meja putar terhadap laju penembusan, k = kemudahan formasi untuk dibor (drillability) RPM = kecepatan putar rotary table, rpm d = eksponen berat pada pahat dan diameter pahat terhadap laju penembusan WOB = weight on bit, lbs D = diameter bit, in ROP = laju penembusan, ft/hr e



Pengembangan persamaan di atas dalam bentuk logaritmik memberikan hubungan:



System of Units



351



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



 ROP   log  e  k x RPM   .................................................................................... (7-13) d WOB   log    D  Dalam satuan lapangan, persamaan di atas menjadi :   ROP  log  e  60 x k x RPM   d .............................................................................. (7-14)  12 x WOB   log  6  10 x D  persamaan di atas dikenal sebagai d'eksponen yang tidak berdimensi. Baik harga suku ROP/60kRPMe dan suku 12WOB/106D pada persamaan di atas selalu lebih kecil dari satu, sehingga harga logaritma dari masing-masing adalah negatif. Kemudian Jordan dan Shirley menyederhanakan pesamaan di atas dengan mengasumsikan k sama dengan 1 dan e juga sama dengan 1. Persamaan di atas kemudian dimodifikasikan, dengan memasukkan pengaruh densitas lumpur, menjadi:   mn   ......................................................................................... (7-15) d corr  d    mc  dimana: dcorr = d-exponent terkoreksi mn = densitas lumpur pada tekanan formasi normal (» 9 ppg) mc = densitas lumpur pada saat sirkulasi, ppg Jika harga dcorr diplot terhadap kedalaman, akan menunjukkan pe-ningkatan secara linier jika tekanan pori formasi normal, akan tetapi akan berkurang secara tajam jika laju pemboran meningkat akibat peningkatan tekanan pori formasi. Dalam formasi yang terkompaksi normal, bertambahnya kedalaman menyebabkan laju penembusan berkurang karena batuan semakin kompak akibat bertambahnya tekanan overburden. Dengan demikian harga d'eksponen bertambah. Pertambahan d'eksponen ini mengikuti suatu kecenderungan yang disebut trend d'eksponen normal. Tetapi jika suatu saat pemboran menembus formasi bertekanan abnormal maka laju penembusan akan naik dengan tiba-tiba, meninggalkan trend laju penembusan pada kedalaman sebelumnya. Perbedaan tekanan antara lubang sumur dengan formasi yang kecil, bahkan negatif akan mengakibatkan batuan yang sedang dibor semakin mudah terlepas, sehingga laju penembusan bertambah. Disamping itu, pada zona bertekanan tinggi batuannya memiliki porositas yang lebih tinggi, butiran batuan kurang rapat satu sama lainnya, sehingga batuannya lebih mudah dibor. Jika dikaitkan dengan persamaan d'eksponen, maka naiknya harga laju penembusan ROP akan mengakibatkan turunnya harga d'eksponen. Jika dibuat hubungan antara d'eksponen terhadap kedalaman, maka perubahan harga d'eksponen yang mengindikasikan zona bertekanan abnormal ini akan menunjukkan terjadinya penyimpangan ke kiri dari trend d'eksponen normal (d'eksponen mengecil). Sebaliknya, bila diperoleh data d'eksponen yang menunjukkan penyimpangan ke kanan (membesar) maka hal ini 352



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



mengindikasikan adanya zona bertekanan lebih rendah dari tekanan normal (subnormal) dan berpotensi pada terjadinya lost circulation. Sebagai contoh, dapat digunakan data-data yang terdapat pada Tabel1.



Gambar 7.21. Laju Pemboran vs Kedalaman Plot antara laju pemboran terhadap kedalaman dapat dilihat pada Gambar 1 di atas, dimana terdapat penurunan laju pemboran dari 100 ft/hr pada kedalaman 6000 ft menjadi kurang dari 20 ft/hr pada kedalaman 12800 ft. Tabel 7-2. Data Tekanan Formasi dan d-exponent



System of Units



Depth, feet



Drilling Rate, ft/hr



6000 6500 7000 7500 8000 8500 9000 9500 10000 10200 10400 10600 10800 11000 11200 11400 11600 11800 12000 12200 12400 12600 12800



106.0 103.0 76.9 66.0 44.5 46.0 39.4 36.0 30.8 26.3 24.7 23.2 21.8 19.1 17.9 16.8 21.9 20.6 20.6 20.0 18.0 18.0 17.0



Weight on Bit, 1000 lbs 35 35 35 35 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 35 35 35 35 35 35 35



Rotary Speed, RPM



It Size, Inch



Mud Density, lb/gal



120 120 110 110 110 110 110 110 110 100 100 100 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90



8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 7.875 7.875 7.875 7.875 7.875 7.875 7.875 7.875 7.875 7.875 7.875 7.875 7.875 7.875 7.875 7.875 7.875 7.875



90 90 90 90 94 94 94 94 10.1 10.1 10.1 10.5 11.1 11.1 11.3 11.6 11.6 11.8 13.1 13.4 13.6 14.2 14.5



353



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Dari data laju pemboran, RPM, WOB, diameter bit, dapat dihitung besarnya d-exponent pada tiap kedalaman dengan menggunakan persamaan (3). Dengan memasukkan data densitas lumpur yang digunakan, diasumsikan bahwa densitas lumpur normal (rmn) adalah 9 ppg, dilakukan perhitungan d-exponent terkoreksi menggunakan persamaan 4. Hasil perhitungan d-exponent terkoreksi kemudian diplot terhadap kedalaman, seperti yang terlihat pada Gambar 7.26. Pada Gambar 7.22 tersebut terlihat harga dcorr meningkat secara linier hingga kedalaman 10500 ft dan kemudian menurun secara tajam. Dari kenyataan tersebut, dapat ditarik suatu garis lurus yang melewati titik-titik dcorr sebelum kedalaman 10500 ft dan garis tersebut dinamakan garis d-exponent normal (dnormal) dengan kemiringan garis adalah 0,000038, sehingga garis tersebut mempunyai persamaan garis sebagai berikut: dnormal = 0.000038 x depth + 1.23 Untuk menentukan besarnya tekanan pori formasi dapat digunakan persamaan berikut: d  P  Gn  normal  .......................................................................................... (7-16)  d corr  dimana: P = tekanan pori formasi ekivalen, ppg EMW Gn = gradien hidrostatik normal, 9 ppg Plot antara tekanan pori formasi terhadap kedalaman dapat dilihat pada Gambar 23.



Gambar 7.22. D-Exponent Terkoreksi vs Kedalaman



354



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 7.23. Tekanan Pori vs Kedalaman 7.5. D-Exponen Terkoreksi Seperti telah dijelaskan di atas, d'eksponen merupakan suatu parameter yang diturunkan dari persamaan laju penembusan pemboran, di mana trend nilai d'eksponen terhadap kedalaman dapat mencerminkan perubahan tekanan formasi batuan. D'eksponen dihitung dengan menggunakan persamaan (7-14). Dengan memplot d'eksponen terkoreksi terhadap kedalaman (Gambar 7.24), dan menarik garis trend tekanan normal, maka dapat ditentukan tekanan formasi dalam satuan EMW, seperti telihat pada Gambar 7.26.



System of Units



355



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 7.24. Plot d-exponen terkoreksi terhadap kedalaman



Gambar 7.25. Plot EMW dan berat lumpur terhadap kedalaman 356



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Dari Gambar 7.24 dapat dilihat pada kedalaman 2100 m nilai d'eksponen mulai menyimpang ke arah kiri, yang menandakan adanya formasi bertekanan abnormal. Hal ini juga dapat dilihat pada plot EMW, yaitu pada kedalaman 2111 m EMW mulai bertambah. Namun kemudian terlihat bahwa tekanan ekuivalen formasi terus naik hingga mencapai puncaknya pada kedalaman 2350 m, yaitu sekitar 35 ppg. Hal ini tidak realistis, sebab seharusnya tekanan abnormal formasi tidak mencapai harga ini. Biasanya tekanan abnormal hanya berkisar antara 11 hingga 17 ppg. Selain itu dapat dilihat juga bahwa lumpur yang digunakan saat pemboran tidak pernah mencapai nilai EMW dari d'eksponen tadi. Berat lumpur maksimum hanya mencapai 16.2 ppg pada kedalaman 2500 m. Kejadian yang menarik di sini ialah pada interval kedalaman zona abnormal (kurang lebih 2200 hingga 2700 meter) pemboran menggunakan bit jenis PDC, berbeda dengan zona di atasnya, yaitu bit jenis three cone bit. Seperti kita ketahui, pemboran dengan menggunakan PDC bit akan mempunyai laju penetrasi yang sangat tinggi, bisa mencapai 6 hingga 30 kali pemboran dengan three cone bit untuk kondisi yang sama.2) Dengan demikian, perkiraan tekanan formasi dengan menggunakan d'eksponen koreksi ini akan mengalami kesalahan karena perbedaan sifat-sifat dari bit yang digunakan. Laju penetrasi yang tinggi akibat penggunaan PDC Bit ini akan mengakibatkan nilai d'eksponen koreksi bergeser lebih ke kiri (semakin kecil) (Gambar 7.24) walaupun seandainya tidak terdapat perubahan tekanan formasi, sesuai persamaan (3). Pergeseran akibat penggunaan PDC bit ini dapat dilihat dengan jelas pada plot EMW terhadap kedalaman (Gambar 7.25), yaitu pada kedalaman 2215 m terdapat pergeseran/peningkatan EMW secara drastis, dari sekitar 15 ppg menjadi sekitar 25 ppg. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pada operasi pemboran yang menggunakan dua jenis bit, yaitu three cone bit dan PDC bit, perhitungan d'eksponen pada interval kedalaman yang menggunakan PDC Bit harus dikoreksi, yaitu koreksi terhadap harga d'eksponen terkoreksi. Untuk melakukan ini penulis menggunakan data dari dua buah sumur pada reservoar yang sama, di mana pada zona abnormal masing-masing sumur menggunakan bit PDC. Penulis berusaha menyelaraskan perkiraan tekanan pori formasi (EMW) dengan berat lumpur yang dipakai pada saat itu dan juga dengan membandingkannya dengan hasil perkiraan tekanan pori batuan di lapangan, sehingga dapat ditentukan suatu koreksi terhadap harga d'eksponen terkoreksi. Hal lain yang patut dicermati ialah pada interval kedalaman di bawah zona tekanan abnormal (di bawah 2760 m), terdapat juga kesalahan perhitungan EMW formasi, di mana EMW formasi pada zona ini lebih besar dari berat lumpur yang digunakan pada kedalaman tersebut (Gambar 7.25), suatu hal yang tidak mungkin, karena pemboran pada sumur ini bukan merupakan pemboran under balanced. Kesimpulan yang dapat ditarik di sini ialah akibat perubahan ukuran bit (pada interval ini ukuran bit ialah 8.5", sedangkan ukuran bit pada interval di atas formasi bertekanan normal ialah 17.5"). Jadi pada interval kedalaman di bawah formasi tekanan abnormal tadi juga perlu dilakukan koreksi terhadap d'eksponen terkoreksi akibat perubahan ukuran bit. Setelah melakukan beberapa set perhitungan trial and error maka diperoleh dua konstanta koreksi, yaitu masing-masing konstanta koreksi terhadap penggunaan bit PDC dan koreksi terhadap perubahan ukuran bit (dari 17.5" menjadi 16.5"). Ternyata konstanta koreksi terhadap bit PDC ialah sebesar 0.226. Artinya, pada interval kedalaman yang menggunakan bit PDC, nilai d'eksponen terkoreksi perlu



System of Units



357



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



ditambahkan dengan 0.226. Angka ini ternyata berlaku juga untuk sumur kedua, walaupun keduanya menggunakan bit PDC dengan seri yang berbeda. Sehingga persamaaan Dcorr yang telah dikoreksi terhadap penggunaan PDC menjadi: 9 D' corr  x d  0.225 .................................................................................. (7-17) MW Hal yang sama juga dilakukan terhadap d'eksponen normal pada kedalaman di bawah zona bertekanan abnormal (seksi 8.5"), yaitu dengan menambahkan faktor koreksi sebesar 0.35 pada d'eksponen terkoreksi, akibat perubahan ukuran bit dari 17.5" menjadi 8.5". Selain itu, pada kedalaman bit PDC juga perlu ditambahkan faktor koreksi (sebesar 0.2) karena pada kedalaman ini juga terjadi perubahan ukuran bit (17.5" menjadi 16.5"). Angka koreksi ini ternyata juga berlaku untuk sumur kedua. Untuk penggunaan yang lebih umum dibuat persamaan yang dapat mendekati hubungan antara besarnya faktor koreksi terhadap perubahan diameter bit, dengan asumsi hubungan antara faktor koreksi dan perubahan diameter bit ialah linier. f c  0.04 x d1  d 2  ........................................................................................... .(7-18) Sehingga persamaan Dcorr pada kedalaman yang mengalami perubahan ukuran bit menjadi: 9 D' corr  x d  v0.04 x d1  d 2  .................................................................... (7-19) MW Bila terdapat suatu interval kedalaman yang mengalami perubahan ukuran bit dan juga menggunakan PDC maka kedua koreksi di atas harus dilakukan. Plot d'eksponen koreksi yang telah dikoreksi terhadap perubahan tipe dan ukuran bit dapat dilihat pada Gambar 7.26.



Gambar 7.26. Plot d-exponen terkoreksi yang telah dikoreksi terhadap type bit PDC dan ukuran Bit 358



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Hasil perhitungan-perhitungan di atas dapat dilihat pada Gambar 7.27 dan 7.27a. Dari Gambar tersebut dapat dilihat bahwa koreksi yang telah dilakukan terhadap d'eksponen normal pada interval kedalaman pemboran yang menggunakan PDC Bit dan kedalaman bit dengan ukuran 8.5" memberikan harga EMW formasi yang sesuai dengan berat lumpur yang digunakan pada saat pemboran.



Gambar 7.27. Plot EMW dan berat lumpur yang telah dikoreksi terhadap tipe Bit PDC dan ukuran bit.



System of Units



359



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 7.27a. Plot EMW dan berat lumpur yang telah dikoreksi terhadap tipe Bit PDC dan ukuran bit. Dari hasil penjelasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa koreksi sebagai berikut: D eksponen koreksi untuk PDC bit: 9 D' corr  x d  0.225 MW D eksponen koreksi untuk pergantian bit dari diameter 17.5" ke 8.5" : 9 D' corr  x d  0.36 MW D eksponen koreksi untuk pergantian bit dari diameter 17.5" ke 16.5" : 9 D' corr  x d  0.2 MW



360



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



7.5.1 Gradien Rekah 7.5.1.1. Tekanan Tekanan adalah suatu gejala alam yang terjadi pada setiap benda di permukaan bumi ini, yang merupakan besarnya gaya yang bekerja dalam setiap satuan luas. Secara empiris dapat dituliskan sbb: F P  ......................................................................................................... (7-20) A dimana : P = Tekanan, ML-1T-2 F = Gaya yang bekerja pada daerah luas ybs, MLT -2 A = Luas permukaan yang menerima gaya, L2 Di lapangan biasanya gaya memakai satuan pounds, luas dengan satuan inch2 (square inch) maka tekanan dalam pounds per square inch (psi). Sedangkan tekanan hidrostatik adalah tekanan yang diakibatkan oleh beban fluida yang ada diatasnya, secara empiris dapat dituliskan sebagai berikut : (lihat Gambar 28). P x g xh ................................................................................................ (7-21) g xh dimana : r = berat jenis, ML-3 g = percepatan gravitasi, LT-2 = gradien tekanan hidrostatis, ML-2T-2  h = ketinggian, L



Gambar 7.28. Tekanan Hidrostatik 7.5.1.2. Tekanan Overburden Tekanan overburden adalah besarnya tekanan yang diakibatkan oleh berat seluruh beban yang berada diatas suatu kedalaman tertentu tiap satuan luas. Berat material se dim en  berat cairan Pob  Luas Gradien tekanan overburden adalah menyatakan tekanan overburden tiap satuan kedalaman. P Gob  ob .................................................................................................... (7-22) D System of Units



361



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Secara praktis dalam penentuan gradien tekanan overburden ini selain dari analisa log juga dapat ditentukan sbb: (lihat Gambar 29)



Gambar 7.29. Penentuan Gradien Tekanan Overburden n



Gob 



 l i,  i  i 1



Dn



....................................................................................... (7-23)



dimana: Gob = gradien tekanan overburden, psi/ft Ii = ketebalan ke-i, ft ri = berat jenis rata-rata ke-i, gr/cc Dn = kedalaman, ft Menurut Christman gradien tekanan overburden dapat dinyatakan sebagai berikut: 0,433  w. Dwt   b . Db  .................................................................... (7-24) Gob  D dimana: D = kedalaman, ft Dwt = ketebalan cairan, ft Db = ketebalan batuan (D-Dw), ft  w = berat jenis cairan, gr/cc  b = berat jenis rata-rata batuan, gr/cc Besarnya gradien tekanan overburden yang normal biasanya dianggap sebesar 1 psi/ft, yaitu diambil dengan menganggap berat jenis batuan rata-rata sebesar 2,3 dari berat jenis air. Sedangkan besarnya gradien tekanan air adalah 0,433 psi/ft maka gradien tekanan overburden sebesar 2,3 x 0,433psi/ft = 1,0 psi/ft.



362



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



7.5.1.3. Tekanan Formasi Normal Tekanan formasi adalah besarnya tekanan yang diberikan cairan yang mengisi rongga formasi, secara hidrostatis untuk keadaan normal sama dengan tekanan kolom cairan yang ada dalam dasar formasi sampai ke permukaan. Bila isi dari kolom yang terisi berbeda cairannya, maka besarnya tekanan hidrostatiknya pun berbeda, untuk kolom air tawar diberikan gradien tekanan hidrostatik sebesar 0,433 psi/ft dan untuk kolom air asin gradien hidrostatiknya sebesar 0,465 psi/ft. Penentuan dari tekanan formasi bisa dilakukan dari analisa log atau dari data Drill Stem Test (DST). 7.5.1.4. Tekanan Rekah Tekanan Rekah adalah tekanan hidrostatik formasi maksimum yang dapat ditahan tanpa menyebabkan terjadinya pecah. Besarnya gradien tekanan rekah dipengaruhi oleh besarnya tekanan overburden, tekanan formasi dan kondisi kekuatan batuan. Mengetahui gradien tekanan rekah sangat berguna ketika meneliti kekuatan dasar selubung (casing), sedangkan bila gradien tekanan rekah tidak diketahui maka akan mendapat kesukaran dalam pekerjaan penyemenan dan penyelubungan sumur. Selain dari hasil log, gradien tekanan rekah dapat ditentukan dengan memakai prinsip leak-off test, yaitu memberikan tekanan sedikit-sedikit sedemikian rupa sampai terlihat tanda-tanda mulai pecah, yaitu ditunjukkan dengan kenaikan tekanan terus menerus kemudian tiba-tiba turun. Penentuan gradien tekanan rekah ini juga bisa dari perhitungan, antara lain : Hubbert and Willis, yang menganggap tekanan overburden berpe-ngaruh efektif terhadap tekanan rekah. Pt 1  Pob 2 P      ........................................................................................ (7-25) D 3 D D  dimana : Pf = tekanan rekah, psi Pob = Tekanan overburden, psi P = Tekanan formasi, psi D = kedalaman, ft bila dianggap gradien tekanan overburden (Pob/D) adalah 1 psi/ft, maka persamaan (10) menjadi : Pf 1  D   1  2 ........................................................................................ (7-26) D 3  D f  Mathews and Kelley, memberikan persamaan : P  P P  Fr    ob  K i  ............................................................................... (7-27) D  D  dimana, Fr = gradien tekanan rekah, psi/ft



System of Units



363



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 7.30. Matrix Stress Coefficient Kedua persamaan di atas menganggap gradien tekanan overburden tetap untuk setiap kedalaman. Karena pada kenyataanny tidak demikian maka timbul persamaan-persamaan lain yang lebih memperhitungkan masalah kondisi batuan. Pennebaker, menuliskan persamaan : P  P P  Fr    ob  K  ............................................................................... (7-28) D  D  dimana : tekanan mendatar K tekanan tegak = perbandingan tekanan efektif (lihat Gambar 10) Eaton, menulis persamaan : P  P  P     ..................................................................................... (7-29) Fr    ob  D  D   1    dimana,  = poisson's ratio (lihat Gambar 31)



364



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 7.31. Perbandingan Tekanan Efektif



Gambar 7.32. Poisson's Ratio Selanjutnya dari persamaan Eaton ini dibuat suatu nomograph untuk menentukan gradien tekanan rekah. Harga faktor-faktor perbandingan yang mengindahkan kekuatan batuan di atas bermacam-macam, maka W. L. Brister mendapatkan harga rata-ratanya (Ka) sbb : P  P  K a  3,9  ob   2,88 jika  ob  0,94  ......................................................... (7-30)  D   D 



System of Units



365



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



P  P  K a  3,2  ob   2,224 jika  ob  0,94  ....................................................... (7-31)  D   D  atau dari grafik pada Gambar 12, sehingga kita mendapatkan rumus akhir : P  P P  Fr    ob  K a  .............................................................................. (7-32) D  D  Sedangkan bila kejadiannya berada di bawah permukaan laut maka hargaharga tersebut di atas perlu dikoreksi, hal ini dapat diterangkan oleh Zamora sbb : f D  Dw   8,5 Dw  ............................................................................ (7-33) Fc  D dimana : Fc = gradien tekanan rekah yang telah dikoreksi Dw = Ketinggian air laut



Gambar 7.33. Perbandingan Tekanan Rata-Rata 7.6. Proyeksi Tekanan Formasi dan Gradien Rekah Dari informasi offset well, termasuk resistivity, sonic dan radioaktif log, informasi pemboran dan lumpur, bersamaan dengan interpretasi geologi, dapat dipersiapkan suatu evaluasi tekanan formasi terhadap kedalaman. Dengan informasi tekanan formasi terhadap kedalaman tersebut, gradien rekah dapat ditentukan. Dual plot antara tekanan formasi dan gradien rekah terhadap kedalaman dapat dibuat dalam skala linier untuk memudahkan memperoleh interpolasi yang akurat.



366



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 7.34. Contoh Proyeksi Tekanan Formasi dan Gradien Rekah Terhadap Kedalaman



System of Units



367



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Latihan 1



No



Depth (ft)



ROP (ft/h)



1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17



5000 6000 6500 7000 7200 7400 7600 7800 8000 8200 8400 8600 9000 9500 10000 10500 11000



110.1 93.2 90.9 84 73.3 40.7 48 50.6 54.2 56.8 57.9 66.4 57.1 48 24.8 27.1 17.3



WOB (1000 lb) 25 25 30 30 30 20 20 20 19 18 20 20 21 21 20 22 22



RPM



Densitas (ppg)



Bit. Dia (in)



120 120 100 90 90 110 120 130 150 140 140 120 120 100 100 100 100



9 9 9 9 9 9 9 9 10.3 10.7 11.3 11.9 16.8 14 12 10.2 10



8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5



Fracture Grad (ppg) 13 13.5 13.8 14.5 14.8 14.9 16.3 16.6 16.7 16.9 16.4 16.5 16.7 16.9 16.5 16 16.7



Berdasarkan data tabel di atas tentukanlah : 1. Buatlah Plot EMW terhadap Kedalaman. 2. Tentukan selang kedalaman formasi bertekanan abnormal 3. Buatlah overlay untuk tekanan formasi dengan selang 1 ppg 4. Tentukan tekanan formasi maksimum 5. Tentukan pada kedalaman berapa formasi rekah



368



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN (Hole Problem) = Permeabilitas undamage reservoir ke = Permeabilitas zonal damage (altered zone) ka = Jari-jari zonal damage ra = Tekanan pada batas pengurasan Pe = Tekanan pada batas sumur Pw = Rate aliran ke lubang sumur q P1 jam = Tekanan setelah satu jam test, psi = Kemiringan kurva build up test m = Porositas, fraksi  = Permeabilitas, md k = Viscositas, Cp  = Compressibillitas batuan ,psi-1 C = Jari-jari lubang sumur, ft rw = Laju produksi minyak, BPD qo = Viskositas minyak, cp o = Formation volume factor, BPD/STB Bo = Permeabiltas minyak, md ko = Ketebalan formasi produktif, ft h k avg = Permeabilitas formasi dengan adanya skin effects.



ke ra rw



= Permeabilitas mula-mula = Jari-jari zone damage = Jari-jari sumur



System of Units



369



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN (Penentuan Tekanan Formasi Gradien Rekah) e k RPM d WOB D ROP dcorr rmn rmc P EMWGn r g g h Gob Ii ri Dn D Dwt Db rw rb Pf Pob P D Fc Dw



370



= eksponen kecepatan putar meja putar terhadap laju penembusan = kemudahan formasi untuk dibor (drillability) = kecepatan putar rotary table, rpm = eksponen berat pada pahat dan diameter pahat terhadap laju penembusan = weight on bit, lbs = diameter bit, in = laju penembusan, ft/hr = d-exponent terkoreksi = densitas lumpur pada tekanan formasi normal (» 9 ppg) = densitas lumpur pada saat sirkulasi, ppg = tekanan pori formasi ekivalen, ppg = gradien hidrostatik normal, 9 ppg = berat jenis, ML-3 = percepatan gravitasi, LT-2 = gradien tekanan hidrostatis, ML-2T-2 = ketinggian, L = gradien tekanan overburden, psi/ft = ketebalan ke-i, ft = berat jenis rata-rata ke-i, gr/cc = kedalaman, ft = kedalaman, ft = ketebalan cairan, ft = ketebalan batuan (D-Dw), ft = berat jenis cairan, gr/cc = berat jenis rata-rata batuan, gr/cc = tekanan rekah, psi = Tekanan overburden, psi = Tekanan formasi, psi = kedalaman, ft = gradien tekanan rekah yang telah dikoreksi = Ketinggian air laut



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PUSTAKA



1.



Alliquander, "Das Moderne Rotarybohren", VEB Deutscher Verlag Fuer Grundstoffindustrie,Clausthal-Zellerfeld, Germany, 1986 2. Bradley H.B., "Petroleum Engineering Handbook", Third Printing, Society of Petroleum Engineers, Richardson TX, 1987. 3. Azar J.J., "Drilling in Petroleum Engineering", Magcobar Drilling Fluid Manual. 4. Moore P.L., "Drilling Practices Manual", Penn Well Publishing Company, TulsaOklahoma, 1974. 5. McCray A.W., Cole F.W., "Oil Well Drilling Technology", The University of Oklahoma Press,1979. 6. nn., "Drilling", SPE Reprint Series no. 6a., SPE of AIME, Dallas-Texas, 1973. 7. Klozt, "Drilling Optimization", halaman 6-9. 8. Rubiandini, Rudi, "Perhitungan Berbagai Metoda Pressure Control Dalam Penanggulangan Well Kick", Kolokium, Jurusan Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung, 1984.



System of Units



371



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



BAB VIII Pressure Losses (Kehilangan Tekanan)



8.1. Pendahuluan Gambar 8.1, menunjukkan skema bagian peralatan sistem sirkulasi yang terdiri dari drill string, bit dan peralatan permukaan. Pada bagian-bagian tersebut, fluida akan mengalami gaya gesek (friksi) sehingga sistem sirkulasi akan kehilangan energi ketika fluida dipompakan mulai dari titik (1) sampai titik (2) dan kembali ke titik (3) di mud tank. Pada bab ini akan dijelaskan tentang perhitungan kehilangan tekanan (pressure loss) akibat gaya friksi di setiap bagian dari sistem sirkulasi. Perhitungan kehilangan tekanan tersebut dibagi kedalam 3 bagian yaitu: i. Surface Connection Losses (Kehilangan Tekanan pada sambungan permukaan) ii. Pipe and Annular Losses (Kehilangan Tekanan di dalam pipa dan annulus) iii. Pressure drop across bit (Kehilangan tekanan di bit)



8.2. Perhitungan Kehilangan Tekanan Secara Analitik 8.2.1. Surface Connection Losses (Kehilangan Tekanan pada sambungan permukaan) Kehilangan tekanan pada sambungan di permukaan biasa terjadi di standpipe, rotary hose, swivel dan kelly. Penentuan kehilangan tekanan di permukaan cukup sulit karena kehilangan tekanan tergantung dari dimensi dan geometri dari sambungan di permukaan. Persamaan berikut dapat digunakan untuk mengevaluasi kehilangan tekanan pada sambungan di permukaan:



P1  E p0,8 Q1,8 PV  , psi .................................................................. (8.1) 0, 2



atau



P1  E p0,8 Q1,8 PV  , bar ................................................................. (8.2) 0, 2



dimana : = Densitas lumpur (lbm/gal atau kg/l)  Q = Flow rate (gpm atau l/min) E = Konstanta, tergantung dari tipe peralatan permukaan yang digunakan PV = Plastic viscosity (cP) Terdapat empat tipe peralatan permukaan, dimana tiap tipe menunjukkan dimensi dari standpipe, kelly, rotary hose dan swivel (Tabel 8.1).Nilai konstanta E ditunjukkan pada Tabel 8.2.



372



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



Tabel 8.1. Empat Tipe Peralatan Permukaan Surface Standpipe Rotary Hose Swivel Equipment Length ID Lengt ID Length ID type (ft) (in) (ft) (in) (ft) (in) 1 40 3.0 40 2.0 4 2.0 2 40 3.5 55 2.5 5 2.5 3 45 4.0 55 3.0 5 2.5 4 45 4.0 55 3.0 6 3.0 Tabel 8.2. Nilai konstanta E Surface Equipment type 1 2 3 4



2009



Kelly Lengt ID (ft) (in) 40 2.25 40 3.25 40 3.25 40 4.00



Value of E Imperials Units Metric Units -4 2.5 x 10 8.8 x 10-6 -5 9.6 x 10 3.3 x 10-6 5.3 x 10-5 1.8 x 10-6 -5 4.2 x 10 1.4 x 10-6



8.2.2. Pipe and Annular Losses (Kehilangan Tekanan di dalam pipa dan annulus) Kehilangan tekanan sepanjang pipa dapat terjadi di drillpipe dan drillcollar yang ditunjukkan pada Gambar 1 (P2 dan P3). Kehilangan tekanan di annulus ditunjukkan oleh P4 dan P5 ada Gambar 1. Besarnya kehilangan tekanan di P2, P3, P4 dan P5 tergantung pada: a. Dimensi dari drillpipe atau drillcollar (ID, OD, dan panjang DP atau DC) b. Rheologi lumpur pemboran (densitas, plastic viscosity dan yield point) c. Jenis aliran (turbulent, laminar atau plug) Beberapa hal khusus yang menyebabkan naiknya kehilangan tekanan di annulus adalah: 1. Surge pressure ketika menurunkan kembali pipa, setelah round trip. 2. Tekanan udara yang terjebak di dalam lumpur setelah terbentuk gel strength. 3. Tekanan yang disebabkan oleh impact force ketika sirkulasi dihentikan. 4. Flokulasi lumpur yang disebabkan oleh kontaminasi kimia pada saat treatment lumpur. 5. Bertambahnya densitas lumpur karena perbandingan.



System of Units



373



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 8.1. Skema Sistem Sirkulasi Perlu diperhatikan bahwa kelakuan fluida pemboran di downhole tidak dapat dipastikan dan sifat-sifat fluida yang diukur di permukaan diasumsikan mempunyai nilai yang berbeda pada kondisi bottom hole. Beberapa model perhitungan kehilangan tekanan yang sudah ada menghasilkan nilai yang berbeda-beda pada kondisi yang sama. Dua model yang biasa digunakan adalah Bingham plastic model dan Power-law model. Tabel 8.3 dan Tabel 8.4 menunjukkan ringkasan persaman yang digunakan.



374



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 8.3. Ringkasan Persamaan



System of Units



375



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 8.4. Ringkasan Persamaan



8.2.3. Pressure drop across bit (Kehilangan tekanan di bit) Tujuan dari pemrograman hydraulic adalah pengoptimisasian pressure drop di bit agar pembersihan lubang bor berjalan dengan maksimum. Kehilangan tekanan di bit dipengaruhi oleh ukuran nozzle yang digunakan dan penentuan hydraulic horsepower. Semakin kecil ukuran nozzle maka semakin besar pressure drop yang terjadi dan kecepatan nozzle akan meningkat. 376



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



Untuk persamaan:



Pb 



menentukan



 m .Q 2 10858 . An 2



dimana: m Q An Pb



kehilangan



2009



tekanan



di



bit



maka



dipergunakan



............................................................................... (8.3)



= Densitas lumpur (ppg) = Laju alir, gpm = Luas nozzle, in2 = Kehilangan tekanan di bit, psi.



8.3. Penentuan Kehilangan Tekanan Secara Praktis Dalam menghitung besarnya kehilangan tekanan dalam sistim sirkulasi lumpur pemboran dengan menggunakan cara praktis yang biasa dipakai di lapangan, dilakukan dengan menghitung tiap segmen dahulu, baru kemudian dijumlahkan secara total. Segmen-segmen tersebut adalah : peralatan permukaan, drill collar, anulus Drillcollar, Drill-pipe dan anulusnya. a. Peralatan permukaan Peralatan permukaan ini biasanya dibagi menjadi 4 tipe rangkaian seperti yang diperlihatkan pada Tabel 8.6, tiap tipe mempunyai koefisien tersendiri yang akan dipakai dalam perhitungan sbb : m ...........................................................................................(8.4) Ploss  k l . k r 10 dimana: k1 = Koefisien loss, lihat Tabel 8.7 kr = Koefisien rate, lihat Tabel 8.5 b. Drill-collar Perhitungan untuk bagian dalam Drill-collar menggunakan rumus :



Ploss  k l . k r m



Ldc .....................................................................................(8.5) 10



dimana : Ldc = Panjang Drill-collar, ft c. Anulus Drill Collar Untuk menghitung anulus drill collar seperti halnya drill collar menggunakan 8.7 rumus yang dipakai sama dengan drillcollar. d. Drill Pipe dan Anulusnya Perhitungan drill pipe dengan anulus drill pipe dihitung bersama-sama sekaligus, tidak seperti drill collar dipisahkan. Persamaan yang dipakai adalah 8.5 dan yang dipakai untuk menentukan koefisien lossnya adalah Tabel 8.8



System of Units



377



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 8.5. Koefisien Rate



CASE



1 2 3 4 CASE



1 2 3 4



378



Tabel 8.6. Koefisien Loss Peralatan Permukaan STAND PIPE HOSE COEFFICIENT Length I.D Length I.D Feet Inches Feet Inches 40 3 45 2 19 40 3–½ 55 2–½ 7 45 4 55 3 4 45 4 55 3 3 STAND Length I.D Feet Inches 4 2 4 2–½ 5 2–½ 6 3



KELLY Length I.D Feet Inches 40 2–¼ 40 3–¼ 40 3–¼ 40 4



COEFFICIENT



19 7 4 3



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 8.7. Koefisien Loss Drill-Collar



Tabel 8.8. Koefisien Loss Drill Pipe



System of Units



379



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



8.4. Penentuan Kehilangan Tekanan Dengan Slow Pump Rate Test (SPRT) Harga kehilangan tekanan (pressure loss) dapat dicari dengan pembacaan Slow Pump Rate Test (SPRT). Pertama dari pembacaan SPRT, dapat diketahui normal rate dan slow rate dari pompa. Selain itu juga, dapat diketahui pressure pump pada saat pemompaan normal rate dan pada saat pemompaan slow rate. Dari SPRT dapat diperoleh data-data: 1. Normal rate (Q1) 2. Slow Rate (Q2) 3. Pump pressure pada normal rate (P1 @ Q1) 4. Pump pressure pada slow rate (P2 @ Q2) 5. Luas nozzle (An) 6. Kehilangan tekanan di bit (Pb) 7. Mud Weight Setelah itu, dilakukan perhitungan untuk menentukan luas nozzle, yaitu: An  0,32



Q ................................................................................................. (8.6) V



atau An  3



  ukuran nozzle 



2



x  .......................................................................... (8.7) 4  32  dimana : An = Luas nozzle, in2 Q = Laju alir, gpm V = Kecepatan lumpur di bit, ft/s



Kemudian ditentukan tekanan parasitik (Pp) pada saat normal rate dan slow rate dengan rumus:



Pp  Pm 



 Q2



An 2 .................................................................................... (8.8)



10858 dimana : Pp = Tekanan parasitik, psi Pm = Tekanan maksimum pompa, psi = Densitas lumpur, ppg  Q = Laju alir, gpm An = Luas nozzle, in2



Perhitungan selanjutnya adalah menentukan besarnya faktor pangkat (Z) dan konstanta kehilangan tekanan (Kp) dengan menggunakan persamaan (8.9) atau (8.10) dan (8.11) atau (8.12):



Z



380



log Pp1 / Pp 2  log Q1 / Q2 



......................................................................................... (8.9)



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



Z



log Pp 2 / Pp1  log Q 2 / Q1



K p  Pp1 x Q1



z



2009



..........................................................................................(8.10)



.............................................................................................(8.11)



K p  Pp 2 x Q2  z ............................................................................................(8.12) Untuk menentukan kehilangan tekanan di bit maka digunakan persamaan :



Pp 



 Q2 10858 . An 2



dimana: m Q An Pb



System of Units



..........................................................................................(8.13)



= Densitas mud = Laju alir, gpm = Luas nozzle, in2 = Kehilangan tekanan di bit, psi.



381



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Latihan 1 : Data dari suatu sistem pemboran diketahui sebagai berikut : Drillstring : 4-1/2 in OD : 3.826 in ID : 12600 ft Drillcollar : 7 in OD : 3 in ID : 900 ft Kedalaman sumur : 13500 ft Sifat-sifat lumpur : 15 ppg : 38 cp : 10 lb/100 ft2 Laju alir : 7.5 bbl/min Casing : 10500 ft : 8.755 in ID Open hole : 8.5 in Bit size : 8.5 in Kombinasi nozzle : 12-12-12 Surface loss : 52 psi Berdasarkan data tersebut di atas : Buatlah sketsa geometri lubang dan rangkaian pipa pemboran sesuai dengan kondisi tersebut di atas. Tentukanlah berapa tekanan minimum pompa yang harus disediakan di permukaan dengan menggunakan metoda Bingham dan Power Law Bandingkan hasil perhitungan antara kedua metoda tersebut di atas, bagaimana komentar saudara.



382



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



Latihan 2 : Diketahui : Kedalaman Diameter bit Drill pipe Drill colar



2009



: 15000 ft : 7-7/8 in : 4-1/2" OD ; 3.82" ID, 14500 ft : 6" OD, 500 ft 100.0  600



 300



44.0



 200



22.0



100



11.0



6



3.5



3



3.0



Dari data-data tersebut diatas: a. Berapa pressure loss seluruh annulus b. Jika untuk mengimbangi tekanan formasi tersebut diperlukan tekanan hidrostatik di dasar sumur sebesar 8000 psi, berapa densitas lumpur yang diperlukan.



System of Units



383



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN ρf V fpsd μ



= Density fluida, ppg = Kecepatan aliran, = Diameter pipa, in = Viscositas, cp = Gaya shear per unit luas (shear stress) dVr/dr = Shear rategc = Convertion constant HP = Horse power yang diterima pompa dari mesin penggerak setelah dikalikan effisiensi mekanis dan safety, hpP = Tekanan Pemompaan, phi Q = Kecepatan alir, gpmS= Panjang stroke, inchs N = Rotasi per menit, rpm d = Diameter tangkai piston, inchs D = Diameter liner, inchse = Effisiensi volumetric Vs = Kecepatan slip, ft/menit V1 = Kecepatan lumpur, ft/menit Vp = Kecepatan partikel, ft/menit dc = Diameter cutting terbesar, inchs = Berat cutting, ppg = Berat lumpur, ppg Qm = Rate minimum, gpm ROP = Kecepatan Penembusan Ca = Fraksi volum cutting di annulus dp = Diameter pipa, inchs dh = Diameter lubang, inchs A = Luas Anulus, in2 Vca = Kecepatan di annulus, ft/det v = Viskositas plastik, cp Yb = Yield point bingham, lb/100 ft2 kl = Koefisien loss kr = Panjang drill collar, ft Qopt = Laju optimum, gpm Pb = Pressure loss di bit, phi Kp = Konstanta kehilangan tekanan Pp = Tekanan parasistik, phi Pm = Tekanan maksimum, phi HPm = Horse power maksimu, hp Qmak = laju maksimum gpm Z = faktor pangkat Ps = Tekanan dipermukaan, phi HPS = Horse Power di permukaan, hp rm = Densitas lumpur (lbm/gal atau kg/l) An = Luas nozzle, in2 E = Konstanta, tergantung dari tipe peralatan permukaan yang digunakan k1 = Koefisien loss) = Koefisien rate 384



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



Ldc Pb Pm Pp PV Q



2009



= Panjang Drill-collar, ft = Kehilangan tekanan di bit, psi. = Tekanan maksimum pompa, psi = Tekanan parasitik, psi = Plastic Viscosity (cP) = Laju alir, gpm



System of Units



385



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PUSTAKA 1. Alliquander, "Das Moderne Rotarybohren", VEB Deutscher Verlag Fuer Grundstoffindustrie,Clausthal-Zellerfeld, Germany, 1986 2. nn., "Principles of Drilling Fluid Control", Twelfth Edition, Petroleum Extension Service The University of Texas of Austin, Texas, 1969. 3. Azar J.J., "Drilling in Petroleum Engineering", Magcobar Drilling Fluid Manual. 4. Moore P.L., "Drilling Practices Manual", Penn Well Publishing Company, Second Edition, Tulsa-Oklahoma, 1986. 5. Rabia. H., "Oil Well Drilling Engineering : Principles & Practice", University of Newcastle upon Tyne, Graham & Trotman, 1985. 6. Adam T. Bourgoyne Jr., Keith K. Millhelm, Martin E. Chenevert, F.S. Young Jr., SPE Textbook Series Vol. 2, "Applied Drilling Engineering", First Printing Society of Petroleum Engineers, Richardson TX, 1986. 7. Beyer, A.H., et. al, "Flow Behaviour of Foam as Well Circulating Fluid", SPE Reprint Series 6A, Drilling, SPE of AIME, Dallas, Texas, 1973. 8. Craft, B.C., et.al., "Well Design, Drilling & Production", Prentice Hall Inc., New Jersey, 1962. 9. Dodge, D.G. and Metzner, A.B. , " Turbulent Flow of Non Newtonian System ", AIChE J., 1959. 10. Gatlin, Carl., "Petroleum Engineering : Drilling and Well Completions", Prentice Hall Inc., 1960. 11. J.M. Peden, J.T. Ford, and M.B. Oyenenin, Heriot-Watt U., SPE Paper, " Comprehensive Experimental Investigation of Drilled Cuttings Transport in Inclined Wells Including the Effects of Rotation and Eccentricity", Oktober 1990, SPE No. 20925. 12. Lord, D.L., "Mathematical Analysis of Dynamic & Static Foam Behaviour", SPE Symposium on Low Gas Permeability Reservoir, Dencer, Colorado, 1979. 13. Lucky., Shindu, " Persamaan Baru Penentuan Kecepatan Minimum Lumpur Untuk Mengangkat Cutting Sumur Vertikal, Miring dan Horizontal", Tugas Akhir, Jurusan Teknik Perminyakan, FIKTM, 1999. 14. Marsden, S.S., et.al., "The flow of Foam Through Short Porous Media & Apparent Viscosity Measurements", Trans AIME, 1966.



386



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Bab 9 Dasar Dasar Pengangkatan Cutting 9.1. Pendahuluan Dalam proses pemboran langsung, bit yang dipakai selalu menggerus batuan formasi dan menghasilkan cutting, sehingga semakin dalam pemboran berlangsung semakin banyak pula cutting yang dihasilkan. Supaya tidak menumpuk di bawah lubang dan tidak menimbulkan masalah pipe sticking maka cutting tersebut perlu diangkat ke permukaan dengan baik, yaitu banyaknya cutting yang terangkat sebanyak cutting yang dihasilkan. Dalam proses rotary drilling lumpur baru masuk lewat dalam pipa dan keluar ke permukaan lewat anulus sambil mengangkat cutting, seperti terlihat pada Gambar 9.1 sehingga perhitungan kecepatan minimum yang diperlukan untuk mengangkat cutting ke permukaan dilakukan di anulus.



Gambar 9.1. Proses Pengangkatan Cutting di Anulus Cutting yang tidak dapat terangkat dengan baik akan mengendap kembali ke dasar sumur dan mengakibatkan beberapa masalah dalam pemboran, diantaranya : 1. Akan terjadi penurunan laju penetrasi dikarenakan penggerusan kembali cutting yang tidak terangkat (regrinding). 2. Meningkatnya beban drag dan torque karena daya yang diperlukan untuk memutar drill string semakin berat. 3. Kemungkinan terjadinya pipe sticking, yaitu terjepitnya pipa pemboran dikarenakan tumpukan cutting yang mengendap. Beberapa faktor yang mempengaruhi pengangkatan cutting ke permukaan diantaranya:  Kecepatan fluida di annulus sebagai fungsi dari luas area annulus dan rate pemompaan yang diberikan.  Kapasitas untuk menahan fluida yang merupakan fungsi dari rheologi lumpur pemboran seperti; densitas lumpur, jenis aliran (laminar atau turbulen), viskositas, dst. System of Units



387



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



 Laju penembusan yang dilakukan drill bit (rate of penetration).  Kecepatan pemutaran pipa pemboran (RPM).  Eksentrisitas drill pipe. Yaitu posisi relatif pipa pemboran terhadap lubang pemboran, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9.2.



Gambar 9.2 Eksentrisitas Pipa Pemboran  Ukuran rata-rata partikel cutting.  Konsentrasi cutting di dalam lumpur pemboran.  Adanya pengaruhi kemiringan pada lubang pemboran. Sedangkan parameter besaran yang sangat berpengaruh dalam mekanisme pengangkatan cutting antara lain : a. Vslip (kecepatan slip) yaitu kecepatan kritik dimana cutting mulai akan terangkat ke permukaan. b. Vcut (kecepatan cutting) yaitu kecepatan cutting untuk naik ke permukaan c. Vmin (kecepatan minimum) yaitu kecepatan slip ditambah dengan kecepatan cutting sehingga cutting dapat terangkat ke permukaan tanpa terjadi penggerusan kembali. Secara umum hubungan antara kecepatan slip, kecepatan cutting, dan kecepatan minimum adalah sebagai berikut :



388



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 9.3. Pengangkatan Cutting oleh Lumpur Pemboran Vsl = Vm - Vcut (9-11) dimana: Vsl = Kecepatan slip, ft/menit Vm = Kecepatan lumpur, ft/menit Vcut = Kecepatan cutting, ft/menit Dinding lubang yang belum tercasing mempunyai selaput tipis sebagai pelindung yang disebut mud-cake. Agar selaput yang berguna tersebut tidak terkikis oleh aliran lumpur, harus diusahakan aliran tetap laminer. Untuk mencegah terjadinya aliran turbulen, dapat diindikasikan dengan bilangan Reynold . Dengan bilangan reynold yang tidak lebih dari 2000 aliran akan tetap laminer, sehingga batas tersebut dijadikan pegangan untuk menentukan kecepatan maksimum di anulus yang disebut kecepatan kritik. 1,08 PV  1,08 PV 2  9,3 d h  d p Yb 2  m 1 / 2 .............. (9-12) Vca   m dhd







Dimana : Vca = PV = Yb = m = dp = dh =



p







Kecepatan kritik, ft/detik Plastic viscosity, cp Yield point bingham, lb/100 ft2 Densitas lumpur Diameter drillpipe, in Diameter lubang,



9.2. Sumur Vertikal 9.2.1. Kecepatan Slip Metode Moore Kecepatan slip untuk sumur vertikal dihitung dengan menggunakan persamaan:   s f   .......................................... (9-13) Vsl 1,54 d cut    f  dimana: Vsl = Slip velocity, ft/detik s = Densitas cutting, ppg = Densitas fluida (lumpur), ppg  f dcut = Diameter cutting, in



Kecepatan slip ini dihitung dengan prosedur sebagai berikut: 9.2.1.1. Penentuan Apparent Viscosity Friction factor pada korelasi ini didasarkan berdasarkan perhitungan dari apparent Newtonian viscosity dengan menggunakan persamaan:



System of Units



389



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



n



 a



K  dh  dp    144  Vmin 



dimana : a K n



1 n



1    2  n  .............................. (9-14)   0,0208     



= Apparent viscosity , cP 510  300  = Indeks konsistensi = 511n = Indeks kelakuan aliran = 3,32 log



 600  300



dh = Diameter lubang, in dp = Diameter pipa, in Vmin = Kecepatan minimum , ft/s  600 = Dial reading pada 600 rpm  300 = Dial reading pada 300 rpm 9.2.1.2. Penentuan Reynold Number Apparent viscosity tersebut digunakan untuk menentukan Reynold Number dibawah ini: 928 x  f x Vsl x d cut ........................................ (9-15) N Re  a Dimana: NRe = particle Reynold Number  f = densitas fluida, ppg Vsl = slip velocity, ft/s  a = apparent viscosity, cP dcut = diameter cutting , in Selanjutnya reynold Number ini digunakan untuk menentukan friction factor dengan menggunakan Gambar 9.4 berikut.



390



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 9.4. Grafik antara Particle Reynold Number terhadap Friction Factor Gambar 9.4 ini secara matematis memiliki persamaan:  Untuk NRe > 300 , aliran di sekitar partikel adalah fully turbulent dan friction factor nya = 1.5  Untuk NRe < 3 ,aliran laminar dan friction factor-nya : 40 f ............................................................. (9-16) N Re Untuk 3 < NRe < 300 maka aliran transisi dan friction factor-nya: 22 .......................................................... (9-17) f N Re faktor friksi ini kemudian dapat digunakan untuk menentukan Vsl pada persamaan. 9.2.2. Kecepatan Cutting Kecepatan Cuttingnya dapat ditentukan dengan persamaan (3): ROP Vcut  ........................................... (9-18)   d p 2  36 1    C conc   d h   dimana; Vcut = Kecepatan cutting, ft/s dp = Diameter pipa, in dh = Diameter lubang, in Cconc = Konsentrasi cutting, % ROP = Rate Of Penetration, ft/hr Dapat juga dinyatakan dengan persamaan lain yaitu: Jika yang diketahui luas penampang pipa dan lubang



System of Units



391



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



ROP .............................................. (9-19)  A pipe  36 1  C conc  Ahole  dimana : Apipe = Luas penampang pipa, in2 Ahole = Luas penampang lubang, in2 Vcut 



Jika V cutting dinyatakan dalam ft/menit, maka persamaan (9-18) dapat ditulis: ROP Vcut  ........................................... (9-20)   d p 2  60 1    C conc   d h   dimana: Vcut = Kecepatan cutting. ft/min Sehingga kecepatan minimum cutting adalah : Vmin = Vsl + Vcut .................................................... (9-21) Secara keseluruhan prosedur penentuan Vmin, Vcut dan Vslip pada sumur vertikal dapat dilihat pada Gambar 9.5 berikut.



392



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 9.5. Flowchart Penentuan V cut, V min, dan V slip untuk Sumur Vertikal 9.3. Sumur Directional dan Horizontal 9.3.1. Metoda Larsen 9.3.1.1. Kecepatan Cutting Kecepatan Cutting dapat untuk sumur directional dengan inklinasi 55 - 90o diperkenalkan oleh T. I. Larsen. Kecepatan cutting Larsen ini diturunkan dari persamaan yang sama seperti untuk sumur vertikal, yaitu pada persamaan 913. Akan tetapi Larsen kemudian mengembangkan suatu koreksi tambahan terhadap laju penembusan mata bor, yang ditunjukkan pada Gambar 9.6 berikut.



System of Units



393



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 9.6. Hubungan antara Konsentrasi Cutting vs ROP Hubungan pada Gambar 9.6. dapat dituliskan dengan persamaan : Cconc = 0,01778 ROP +0,505 ................................ (9-22) dimana : Cconc = Konsentrasi cutting, % ROP = Rate Of Penetration, ft/hr Dengan memasukkan faktor koreksi pada persamaan 9-18, maka didapatkan persamaan baru untuk sumur directional sebagai berikut: 1 Vcut  .............................. (9-23) 2   d pipe   18.16    0.64  1    ROP    d hole  



394



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



9.3.1.2. Kecepatan Slip (Vs) dan Faktor Koreksi Hubungan kecepatan slip untuk sumur directional diGambarkan dalam grafik pada Gambar 9.7.



Gambar 9.7. Equivalent Slip Velocity vs Apparent Viscosity Gambar 9.7 secara matematis dinyatakan dengan persamaan berikut: Vslip  0,00516  a  3,006   a  53 cp ...................... (9-24)



Vslip  0,02554  a  53  3,28   a  53 cp ................ (9-25) dimana:  a = Apparent viscosity, cp. Vslip = Kecepatan slip, ft/s



Gambar 9.7 diperlukan untuk memprediksikan hubungan antara Vmin dengan Vcut setelah mengetahui prediksi kecepatan slip-nya. Persamaan yang yang digunakan untuk menentukan apparent viscositynya berbeda dengan metoda vertikal. Persamaan yang digunakan yaitu: 5 YP d h  d p   a  PV  ............................................ (9-26) Vcrit dimana :  a = Apparent viscosity,cp PV = Viskositas plastik, cp YP = Yield point, lb/100 ft2 dh = Diameter lubang, in dp = Diameter pipa, in Vcrit = Kecepatan kritik atau kecepatan slip, ft/s Korelasi kecepatan slip pada persamaan 9-24 dan 9-26 memerlukan koreksi terhadap inklinasi, ukuran cutting dan densitas sebagai berikut: 1. Koreksi terhadap inklinasi sumur 2 C  0.0342 ang  0,000233 ang  0,213 ................. (9-27) dimana : System of Units



395



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



Cang



 ang



2009



= faktor koreksi terhadap inklinasi = sudut inklinasi, deg



Gambar 9.8. Faktor Koreksi untuk Sudut Inklinasi 2. Koreksi terhadap ukuran cutting Koreksi ukuran cutting dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut: Csize   1,04 x D50 cut 1,286 ............................... (9-28) dimana : Csize = Faktor koreksi terhadap ukuran cutting D50cut = Diameter cutting, in



Gambar 9.9. Faktor Koreksi Ukuran Cutting 3. Koreksi terhadap densitas Cmwt 1 0,0333  m  8,7  m  8,7 ................. (9-29) Cmwt 1,0   m  8,7 ............... (9-30) dimana : Cmwt = Faktor koreksi terhadap densitas mud m = Densitas lumpur, ppg



396



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 9.10. Faktor koreksi untuk densitas Lumpur Dengan demikian persamaan yang menyatakan hubungan sepenuhnya tentang kecepatan slip (Vs) metode Larsen adalah : Vslip Vslip x Cang x C size x Cmwt ..................................... (9-31) dimana: Vslip = Kecepatan slip sesudah dikoreksi, ft/s Vslip = Kecepatan slip sebelum dikoreksi, ft/s Prosedur penentuan transportasi cutting sumur directional metode Larsen dapat dilihat pada Gambar 9.11.



System of Units



397



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 9.11. Flowchart Penentuan Transportasi Cutting Metode Larsen 9.3.2. Metode Rudi Rubiandini dan Shindu L. M. Kecepatan minimum cutting metode Rudi Rubiandini dan Shindu L.M. mengkoreksi parameter inklinasi, densitas lumpur dan rotary speed (RPM). Persamaan ini merupakan pengembangan dari persamaan Moore, Larsen dan percobaan yang dilakukan Peden. Prinsip pengembangan persamaan ini adalah membuat plot suatu parameter Vs tak berdimensi. Vs tak berdimensi yaitu



398



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



perbandingan Vs directional metoda Larsen dan Peden, dengan Vs vertikal metoda Moore. 9.3.2.1. Koreksi Inklinasi Koreksi sudut (Ci) diperoleh dari plot dimensionless Vs cutting sehingga didapatkan persamaan koreksi sudut yang dikalikan dengan Vs vertikal Moore. Koreksi sudut (Ci) yang digunakan adalah: Untuk   45 o :  2  C i   1  ............................................................... (9-32) 



45 



Untuk   45 o Ci = 3 ....................................................................... (9-33) dimana: θ = Sudut inklinasi, deg Ci = Koreksi sudut. 9.3.2.2. Koreksi Densitas Lumpur Plot dimensionless Vs terhadap inklinasi metode Larsen dengan berbagai densitas lumpur dapat ditentukan koreksi densitas lumpur terhadap Vsv. Dengan mengambil nilai densitas sama dengan 12 ppg dan nilai Dimensionless Vs sama dengan 3 maka koreksi densitas (Cmw) terhadap Vsv adalah: 3  m C mw  .......................................................... (9-34) 15 dimana: m = Densitas lumpur, ppg Cmw = Koreksi terhadap densitas lumpur. 9.3.2.3 Koreksi Terhadap RPM Sedangkan koreksi terhadap rotary speed (RPM) adalah:  600  RPM  C RPM    ............................................... (9-35) 600   dimana: CRPM = Koreksi terhadap RPM RPM = Kecepatan putar / rotary Sehingga Vmin untuk sumur vertikal, directional, maupun horizontal dengan mengembangkan rumus Moore adalah: Vmin = Vcut + ( Ci x Cmw x CRPM ) Vsv maka untuk: Untuk   45 o  2  3   m  RPM  Vs  1   1  Vsv ......................... (9-36) 600   45  15  Untuk :   45 o  3   m  RPM  Vs  3  1  Vsv ................................... (9-37) 600   15  System of Units



399



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Prosedur penentuan transportasi cutting dengan metode Rudi dan Sindhu ini dijelaskan pada Gambar 9.12.



Gambar 9.12. Flowchart Penentuan Parameter Transportasi Cutting Metode RudiSindhu 9.4. CONTOH PERHITUNGAN Data :  = 61,352o m = 15 ppg 400



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



s



= 19,16 ppg PV = 40 cP YP = 17 lb/100 ft2 a = 145,7 cP dh = 6 in dp = 3,38 in Dcut = 0,7283 in ROP = 54 ft/hr RPM =0 Cconc = 1.5 % Kec. Pengangkatan Cutting: ....................................................... (9-38)



Asumsi Vslip : Asumsi Slip Velocity = 0.1 ft/s Vminiawal = 0,1 + 1,5578 = 1,6578 ft/s 5 Yp . ( Dhole D pipe ) a   p  ................................................... (9-26) Vcrit



 a  40 



5 x 17 x (6  3,38) 174,32 cP 1,6578



Karena a  53 cP maka digunakan persamaan (8-68) Vsl 2  0,02554 a  3,28 a  53 cP ....................................... (9-25) Vsl2 = (0,02554 x 174,32) + 3,28 = 7,731 ft/s | Vsl2 - Vsl1| = | 7,731 - 0,1| > [0,01], jadi Vsl1 = 7,731 ft/s Vmin = 7,731 + 1,5578 = 9,289 ft/s Vmin hasil perhitungan tadi kemudian digunakan untuk menghitung kembali apparent viscosity dengan menggunakan persamaan (8-68). 5 x 17. (6 3,38)  a  40   63,97 cP 9,289 Karena a  53 cP maka digunakan persamaan (8-68) Vsl2 = (0,02554 x 63,97) + 3,28 = 4,9137 ft/s | Vsl2 - Vsl1 | = | 4,9137 - 7,731 | > 0,01, jadi Vsl1 = 4,913 ft/s Dengan melakukan iterasi sampai | Vsl2 - Vsl1 | < 0,01, didapatkan Vsl = 3,9758 ft/s Perhitungan Koreksi Vslip # Koreksi Angle Inclination : Cang = 0,0342 (ang) - 0,000233 (ang)2 - 0,213 .................. (9-27) Cang = 0,0342 (61,3526) - 0,0002338 (61,3526 )2 - 0,213 = 1,0052 System of Units



401



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



# Koreksi terhadap Ukuran Cutting : Csize = -1,04 (D50 cutting) + 1,286 ...................................... (9-28) Csize = -1,04 x 0,7283 + 1,286 = 0,5285 # Koreksi terhadap Mud Weight : Cmwt 1 m  8,7 ......................................................... (9-29) karena m  8,7 ppg Cmwt = 1 Final Slip Velocity: Vslip = Vsl . (Cang).(Csize).(Cmwt) ............................................. (9-31) Vslip = 3,9758 x 1,0052 x 0,5285 x 1 = 2,1121 ft/s Final minimum Velocity: Vmin = Vslip + Vcut .................................................................. (9-21) Vmin = 2,1121 + 1,5578 = 3,669 ft/sec 2. Contoh perhitungan dengan menggunakan Persamaan Rudi-Shindu, Dengan data yang sama untuk perhitungan Menggunakan Metode Larsen: Data :



 m s



= 61,352 o = 15 ppg = 19,16 ppg PV = 40 cP YP = 17 lb/100 ft2 a = 145,7 cP dh = 6 in dp = 3,38 in Dcut = 0,7283 in ROP = 54 ft/hr RPM = 0 Cconc = 1,5 % Kecepatan Cutting: Dengan menggunakan konsentrasi cutting dan ROP yang sama dengan data diatas, maka Vcut dengan persamaan (8) adalah : ROP Vcut  ................................................... ................................ (9-18)   D pipe  2    C cone 36 1     Dhole   54 Vcut  1,4648 ft / s   3,38  2  36 1     1,5   6   Asumsi Vslip Vsl1 = 0.1 ft/s 402



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Iterasi Slip Velocity: Vmin = Vs + Vcut Vmin awal = 0,1 + 1,4648 = 1,5648 ft/s 5 .Yp Dhole_ D pipe  a  p  .................................................... (9-26) Vmin 5 .17 x 6  3,38 a  40  182,31cP 1,5648 928 . m x VSl1 x d cut N Re  ..................................................... (9-15) a 928 x15 x 0,1 x 0,7283 = 5.56 N Re  182,31 NRe > 3 dan NRe | 0,01 |, jadi VSl1  VSl 2 VSl1  2 0,1  4,1929 VSl1   2,1465 ft / s 2 Dengan melakukan iterasi sampai | Vsl2 - Vsl1 | < 0.01, didapatkan Vsl1 = 1,06723 ft/s Koreksi Sudut, Densitas dan RPM : Dari koreksi sudut yang didapatkan untuk sudut inklinasi lubang sumur pemboran lebih besar dari 45o, maka digunakan persamaan. (9-37).  m  RPM  Vs  3  3  1  Vsv ................................................. (8-80) 15  600   0   15  Vs  3  3  1   x1,06723 12,8067 ft / s  15  600 



System of Units



403



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN



a s m f



 600



 300



= Apparent viscosity, cP = Densitas cutting, ppg = Densitas lumpur, ppg = Densitas fluida, ppg = Dial reading pada 600 rpm



= Dial reading pada 300 rpm Apipe = luas penampang pipa, in2 Ahole = luas penampang lubang, in2 Cconc = Konsentrasi cutting, % dh = Diameter lubang, in dp = Diameter pipa, in dcut = Diameter cutting, in f = Friction factor K = Indeks konsistensi n = Indeks kelakuan aliran NRe = Particle Reynold Number PV = Plastic viscosity, cp Vsl = Kecepatan slip, ft/menit Vm = Kecepatan lumpur, ft/menit Vcut = Kecepatan cutting, ft/menit, ft/det Vca = Kecepatan kritik, ft/detik Vmin = Kecepatan minimum , ft/s Yb = Yield point bingham, lb/100 ft2 ROP = Rate Of Penetration, ft/hr



404



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



1.



2. 3. 4. 5. 6.



7.



8.



9.



2009



DAFTAR PUSTAKA Adam T. Bourgoyne Jr., Keith K. Millhelm, Martin E. Chenevert, F.S. Young Jr., SPE Textbook Series Vol. 2, "Applied Drilling Engineering", First Printing Society of Petroleum Engineers, Richardson TX, 1986. Beyer, A.H., et. al, "Flow Behaviour of Foam as Well Circulating Fluid", SPE Reprint Series 6A, Drilling, SPE of AIME, Dallas, Texas, 1973. Craft, B.C., et.al., "Well Design, Drilling & Production", Prentice Hall Inc., New Jersey, 1962. Dodge, D.G. and Metzner, A.B. , " Turbulent Flow of Non Newtonian System ", AIChE J., 1959. Gatlin, Carl., "Petroleum Engineering : Drilling and Well Completions", Prentice Hall Inc., 1960. J.M. Peden, J.T. Ford, and M.B. Oyenenin, Heriot-Watt U., SPE Paper, " Comprehensive Experimental Investigation of Drilled Cuttings Transport in Inclined Wells Including the Effects of Rotation and Eccentricity", Oktober 1990, SPE No. 20925. Lord, D.L., "Mathematical Analysis of Dynamic & Static Foam Behaviour", SPE Symposium on Low Gas Permeability Reservoir, Dencer, Colorado, 1979. Lucky., Shindu, " Persamaan Baru Penentuan Kecepatan Minimum Lumpur Untuk Mengangkat Cutting Sumur Vertikal, Miring dan Horizontal", Tugas Akhir, Jurusan Teknik Perminyakan, FIKTM, 1999. Marsden, S.S., et.al., "The flow of Foam Through Short Porous Media & Apparent Viscosity Measurements", Trans AIME, 1966.



System of Units



405



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Bab 10 Analisa Surge, Swab dan Slip 10.1. Menghitung hasil maksimum dan minimum densitas efektif lumpur Persamaan-persamaan di bawah ini digunakan untuk menghitung hasil maksimum dan minimum densitas efektif lumpur yang dihasilkan oleh tekanan surge, dan swab untuk pipa terbuka (open pipe) dan pipa tertutup (closed pipe). Kecepatan slip partikel pemboran menunjukkan laju jatuh suatu cutting yang diketahui diameter dan spesifik gravitynya dalam fluida pemboran yang diketahui kapasitas pengangkatannya. Berdasarkan Rule of Thumb yang dipercaya, menunjukkan bahwa kecepatan anular selalu paling tidak dua kali kecepatan slip partikel untuk menjaga pembersihan lubang yang baik dan mencegah penumpukan cutting di annulus. Persamaan-persamaan berikut ini untuk menghitung surge dan swab : a. Untuk plugged pipe : LT ……………………………………………………... .(10-1) P 300Dh  Dp 



 D p2   V V  k 2 ……………………………………………….(10-2) 2  p  D  D h p   Vm = 1,5 . V ……………………………………………………….(10-3) b. Untuk open pipe :  D p2  Di2  V V  K  2 2 2  p  D  D  D h p i   c. Untuk aliran laminer :



……………………………………….(10-4)



n



 2,4 Vm Ps    Dh  D p



 2 N  1    LK      3N   300 D  D  h p     d. Untuk aliran turbulen :



 



……………………….(10-5)



7,7 105 d m Q1,8 PV  L Ps  ……………………………………….(10-6) Dh  Dp 3 Dh  Dp 1,8 0 ,8



dimana : P L T Dh Dp V Vp Di PV Vm Y 406



0, 2



= tekanan gel surge, psi = kedalaman sumur, ft = gel strength lumpur, lb/100 ft2 = diameter lubang, in = diameter luar drill pipe, in = kecepatan fluida, ft/min = kecepatan pipa, ft/min = diameter dalam pipa, in = viskositas plastik, cp = kecepatan fluida maksimum, ft/min = yield point, lbf/100 ft2 System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



Q dm



2009



= laju sirkulasi, gal/min = densitas lumpur, ppg



10.2. Menghitung kecepatan slip Untuk menghitung kecepatan slip digunakan persamaan-persamaan berikut :



 D p  p   f  Vs1  113,4    Cd  f 



0,5



.................................................................. (10-7)



175 D p  p   f 



0 , 667



Vs 2 



 f 0,333  0,333 



........................................................... (10-8)



 Rh 600   ............................................................................. (10-9) N  3,32 log   Rh 300    K



Rh 300



511N



dimana : Vs Dp ρp ρf Cd μ V N K Rh 300 h 600



.......................................................................................... (10-10)



= kecepatan slip partikel, ft/det = diameter partikel,inch = densitas partikel, ppg = densitas fluida pemboran, ppg = drag koefisien, dimensionless = viskositas lumpur, cp = kecepatan annular, ft/det = indeks kelakuan aliran, dimensionless = indeks konsistensi aliran, dimensionless = pembacaan rheometer pada 300 RPM = pembacaan rheometer pada 600 RPM



Kecepatan slip aktual adalah ekivalen dengan harga yang lebih kecil antara Vs1 atau Vs2. Input datanya adalah : a. Rata-rata kecepatan pipa b. Laju sirkulasi c. Diameter rata-rata partikel pemboran d. SG rata-rata partikel pemboran e. Gel strength f. Viskositas plastik g. Yield point h. Densitas lumpur i. Kedalaman vertikal j. Diameter luar drill collar k. Diameter dalam drill collar l. Panjang drill collar System of Units



407



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



m. Diameter luar drill pipe n. Diameter dalam drill pipe o. Panjang total drill pipe p. Diameter lubang Output yang diperoleh adalah : a. Densitas ekivalen lumpur saat sirkulasi dihentikan sementara b. Densitas ekivalen lumpur maksimum karena surge dan densitas ekivalen lumpur minimum karena swab ( masing-masing untuk closed pipe dan open pipe) c. Indeks kelakuan aliran d. Indeks konsistensi aliran e. Viskositas lumpur hitungan f. Kecepatan annular aktual seputar drill pipe g. Kecepatan slip partikel padatan pemboran



408



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN P



= tekanan gel surge, psi



L T Dh Dp V Vp Di PV Vm Y Q dm Vs Dp ρp ρf Cd μ V N K



= kedalaman sumur, ft = gel strength lumpur = diameter lubang, in = diameter luar drill pipe, in = kecepatan fluida, ft/min = kecepatan pipa, ft/min = diameter dalam pipa, in = viskositas plastik, cp = kecepatan fluida maksimum, ft/min = yield point, lbf/100 ft = laju sirkulasi, gal/min = densitas lumpur, ppg = kecepatan slip partikel, ft/det = diameter partikel,inch = densitas partikel, ppg = densitas fluida pemboran, ppg = drag koefisien, dimensionless = viskositas lumpur, cp = kecepatan annular, ft/det = indeks kelakuan aliran, dimensionless = indeks konsistensi aliran, dimensionless (0.39-0.48 untuk aliran laminer dan 0.44-0.5 untuk aliran turbulent) Rh 300 = pembacaan rheometer pada 300 RPM Rh 600 = pembacaan rheometer pada 600 RPM



System of Units



409



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PUSTAKA 1. Bourgoyne, A.T.,et.all."Applied Drilling Engineering", SPE Text Book Series Vol. 2, First Printing, Texas : Society of Petroleum Engineers, 1986 2. Burkhardt,J.A." Wellbore Pressure Surges Produce by Pipe Momment", SPE Paper No. 1546. 3. Moore, Preston,."Drilling Practices Manual.", Oklahoma : The Petroleum Publishing Company, 1974.



410



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Bab 11. Hidrolika Fluida Pemboran 11.1. Rheology Fluida Pemboran 11.1.1 Sifat Aliran Jenis aliran fluida pada pipa ada dua, laminer dan turbulen. Pada aliran laminer (viscous) gerak aliran partikel-partikel fluida yang bergerak pada rate yang lambat, adalah teratur dan geraknya sejajar dengan aliran (dinding). Pada aliran turbulen, fluida bergerak dengan kecepatan yang lebih besar dan partikel-partikel fluida bergerak pada garis-garis yang tak teratur sehingga terdapat aliran berputar (pusaran, Eddie current) dan shear yang terjadi tidak teratur. Selain dari kedua aliran ada satu aliran yang disebut "plug flow", yaitu aliran khusus untuk fluida aliran plastis dimana shear (geser) terjadi di dekat dinding pipa saja, dan ditengah-tengah aliran terdapat aliran tanpa shear, seperti suatu sumbat. Untuk menentukan aliran tersebut turbulen atau laminer digunakan Reynold Number : Vd ............................................................. (11-1) N Re  928







dimana :  = Density fluida, ppg V = Kecepatan aliran, feet per second d = Diameter pipa, in  = Viscositas, cp Dari percobaan diketahui bahwa untuk NRe > 3000 adalah turbulen dan NRe < 2000 adalah laminer, diantaranya adalah transisi. 11.1.2 Jenis-jenis Fluida Pemboran Fluida pemboran dapat dibagi dua kelas: 1. Newtonian 2. Non-newtonian, yang terdiri dari: a. Bingham plastis b. Powerlaw c. Powerlaw dengan yield stress 11.1.2.1. Newtonian Fluids Adalah fluida dimana viscositasnya hanya dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur, misalnya air, gas dan minyak yang encer. Dalam hal ini perbandingan antara shear stress dan shear rate adalah konstan, dinamakan (viscositas). Secara matematis ini dapat di nyatakan dengan:   dVr ............................................................. (11-2)  g c dr dimana :  = gaya shear per unit luas (shear stress), lb/100 ft2 dVr/dr = shear rate, 1/sec System of Units



411



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



gc



2009



= convertion constant



11.1.2.2. Non-Newtonian Fluids Setiap fluida yang tidak bersifat adanya perbandingan tetap antara shear stress dan shear rate, disebut non newtonian fluids. a. Bingham Plastic Umumnya fluida pemboran dapat dianggap bingham plastic, dalam hal ini sebelum terjadi aliran harus ada minimum shear stress yang melebihi suatu harga minimum , yang disebut "yield point". Setelah yield point dilampaui, maka penambahan shear stress lebih lanjut akan menghasilkan shear rate yang sebanding, disebut juga "plastic viscosity". Bingham plastic dinyatakan sebagai:    y    p   dVr  ........................................... (11-3) g c  dr  Selain viscositas plastik ini, didefinisikan pula apparent viscosity (viskositas semu) untuk Bingham plastic fluids, yaitu perbandingan antara shear stress dan shear rate, yang tidak konstan melainkan bervariasi terhadap shear stress. Gambar 11.1 menunjukan skema dari grafik aliran fluida Newtonian dan Bingham plastic. b. Power Law Fluids Untuk pendekatan power law dilakukan dengan menganggap kurva hubungan shear stress terhadap shear rate pada kertas log-log mengikuti garis lurus yang ditarik pada shear rate 300 rpm dan 600 rpm (lihat Gambar 11.2). Untuk ini power law dinyatakan sebagai: n



 dVr   .................................................... (11-4)  dr 



  K



c. Power Law Fluids dengan Yield Stress Persamaan yang digunakan adalah:  dVr     y  K   dr 



412



n



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 11.1. Grafik Shear Stres vs Shear Rate Fluida Newtonian dan Bingham



Gambar 11.2. Power Law Fluids System of Units



413



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



11.2. Kecepatan Alir Pompa Pada pompa lumpur pemboran, yang dimaksud dengan pompa adalah bagian unit penggeraknya tidak terlalu menjadi permasalahan, karena apapun jenisnya tidak banyak bedanya terhadap unit pompa yang dipakai, misalnya memakai mesin uap, listrik, motor bensin, diesel dan lain-lain. Unit pompa dikenal dua jenis dilihat dari mekanisme pemindahan dan pendorongan lumpur pemboran, yaitu pompa sentrifugal dan pompa torak (piston). Yang sering dipakai dalam pemboran adalah tipe torak karena mempunyai beberapa kelebihan dari sentrifugal, misalnya dapat dilalui fluida pemboran yang berkadar solid tinggi dan abrasive, pemeliharaan dan sistem kerjanya tidak terlalu rumit atau keuntungan dapat dipakainya lebih dari satu macam liner sehingga dapat mengatur rate dan tekanan pompa yang diinginkan. Dilihat dari jumlah pistonnya, pompa bisa simplex (1 piston), duplex (2 piston), triplex (3 piston) dengan arah kerja dapat berupa single acting (1 arah kerja) atau double acting (2 arah kerja). Kemampuan pompa dibatasi oleh Horse Power maksimumnya, sehingga tekanan dan kecepatan alirnya dapat berubah-ubah seperti yang ditunjukkan dalam persamaan: P.Q ..................................................................... (11-5) HP  1714 dimana : HP = Horse power yang diterima pompa dari mesin penggerak setelah dikalikan efisiensi mekanis dan safety, hp P = Tekanan Pemompaan, psi Q = Kecepatan alir, gpm Bila mempunyai hp maksimum, tekanan pompa maksimum dapat dihitung bila kecepatan alir maksimum telah ditentukan dengan persamaan. 2 2 Q  0.00679 xSxNx 2d lin  d pist e ....................................... (11-6)











dimana : S = Panjang stroke, inchs N = Rotasi per menit, rpm dpist = Diameter tangkai piston, inchs dlin = Diameter liner, inchs e = Effisiensi volumetrik 11.2.1. Kecepatan Alir Anulus. Dalam proses pemboran langsung, bit yang dipakai selalu menggerus batuan formasi dan menghasilkan cutting, sehingga semakin dalam pemboran berlangsung semakin banyak pula cutting yang dihasilkan. Supaya tidak menumpuk di bawah lubang dan tidak menimbulkan masalah pipe sticking maka cutting tersebut perlu diangkat ke permukaan dengan baik, yaitu banyaknya cutting yang terangkat sebanyak cutting yang dihasilkan. Dalam proses rotary drilling, lumpur baru masuk lewat dalam pipa dan keluar ke permukaan lewat anulus sambil mengangkat cutting, seperti terlihat pada Gambar 11.3 sehingga perhitungan kecepatan minimum yang diperlukan untuk mengangkat cutting ke permukaan (slip velocity) dilakukan di anulus.



414



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 11.3. Pengangkatan Cutting 19) Kecepatan slip adalah kecepatan minimum dimana cutting dapat mulai terangkat atau dalam praktek merupakan pengurangan antara kecepatan lumpur dengan kecepatan dari cutting. Vs = VM - Vp .............................................................. (11-7) dimana : Vs = Kecepatan slip, ft/menit VM = Kecepatan lumpur, ft/menit Vp = Kecepatan partikel, ft/menit Dengan memasukkan kondisi yang biasa ditemui dalam operasi pemboran maka didapatkan kecepatan slip sebesar:  c  Vs  92.5 dc  1 .................................................. (11-8)  m 



Begitu pula rate minimum yang harus dipilih sebesar:     0.5   c    ROP Q min  92.5dc  1   A ....... (11-9) 2   dp      m   361    Ca     dh     dimana : dc = Diameter cutting terbesar, inchs c = Densitas cutting, ppg m = Densitas lumpur, ppg Vs = Kecepatan slip, ft/min System of Units



415



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



Qmin ROP Ca dp dh A



2009



= Rate minimum, ft3/min = Kecepatan Penembusan, ft/jam = Volume cutting di anulus, % = Diameter pipa, inchs = Diameter lubang, inchs = Luas anulus, ft2



Pada kondisi pemboran yang normal, aliran di anulus laminer seperti yang diperlihatkan pada Gambar 11.4.



Gambar 11.4. Tipe Aliran Fluida Selama Pemboran Pada kondisi seperti itu dinding lubang yang belum tercasing mempunyai selaput tipis sebagai pelindung yang disebut mud-cake, agar selaput yang berguna tersebut tidak terkikis oleh aliran lumpur, harus diusahakan aliran tetap laminer. Untuk mencegah terjadinya aliran turbulen, dapat diindikasikan dengan bilangan Reynold . Dengan bilangan reynold yang tidak lebih dari 2000 aliran akan tetap laminer, sehingga batas tersebut dijadikan pegangan untuk menentukan kecepatan maksimum di anulus yang disebut kecepatan kritik.







1.08PV  1.08 9.3dh  dp Yb 2 m Vca  mdh  dp 







1 2



...................... (11-10)



dimana : Vca = Kecepatan kritik, ft/detik PV = Plastic viscosity, cp Yb = Yield point Bingham, lb/100 ft2 Jadi kecepatan lumpur di anulus harus diantara kecepatan slip dan kecepatan kritik. Bentuk aliran di dalam pipa dapat dilihat pada Gambar 11.5.



Gambar 11.5. Bentuk Aliran di Dalam Pipa 416



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



11.3. Kehilangan Tekanan Pada Sistem Sirkulasi. Dalam setiap aliran suatu fluida maka kehilangan tekanan akan selalu terjadi, walaupun sangat halus pipa yang dipakai, begitu pula pada proses sirkulasi lumpur pemboran pada seluruh sistem aliran, seperti yang terlihat pada Gambar 11.6. Dalam menentukan besarnya tekanan yang hilang sepanjang sistim sirkulasi tersebut, bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu cara analitis dan cara praktis yang dipakai dilapangan.



Gambar 11. 6. Kehilangan tekanan pada sistem sirkulasi 11.3.1. Cara praktis Dalam menghitung besarnya kehilangan tekanan dalam sistem sirkulasi lumpur pemboran dengan menggunakan cara praktis yang biasa dipakai di lapangan, dilakukan dengan menghitung tiap segmen dahulu, baru kemudian dijumlahkan secara total. Segmen-segmen tersebut adalah : peralatan permukaan, drill collar, anulus Drillcollar, Drill-pipe dan anulusnya. a. Peralatan permukaan, Peralatan permukaan ini biasanya dibagi menjadi 4 tipe rangkaian seperti yang diperlihatkan pada Tabel 11.2, tiap tipe mempunyai koefisien tersendiri yang akan dipakai dalam perhitungan sbb : m ........................................................ (11-11) Ploss  kl .kr . 10 dimana : k1 = Koefisien loss, lihat Tabel (11.2) kr = Koefisien rate, lihat Tabel (11.1) b. Drill-collar Perhitungan untuk bagian dalam Drill-collar menggunakan rumus: Ldc .............................................. (11-12) Ploss  kl .kr . m. 10 dimana : L = Panjang Drill-collar, ft c. Anulus Drill Collar System of Units



417



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Untuk menghitung anulus drill collar seperti halnya drillcollar menggunakan Tabel 9.3, rumus yang dipakai sama dengan drill collar. d. Drill Pipe dan Anulusnya Perhitungan drill pipe dengan anulus drill pipe dihitung bersama-sama sekaligus, tidak seperti drill collar dipisahkan. Persamaan yang dipakai adalah (11-12) dan yang dipakai untuk menentukan koefisien lossnya adalah Tabel 11.4. Tabel 11-1. Koefisien rate FLOW GPM 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320 330 340 350 360 370



FLOW COEFF 0.53 0.63 0.74 0.86 0.98 1.12 1.26 1.41 1.57 1.73 1.91 2.09 2.28 2.47 2.67 2.89 3.10 3.33 3.56 3.80 4.05 4.31 4.57 4.84 5.11 5.40 5.69 5.98



FLOW GPM 380 390 400 410 420 430 440 450 460 470 480 490 500 510 520 530 540 550 560 570 580 590 600 610 620 630 640 650



FLOW COEFF 6.29 6.60 6.92 11.24 11.57 11.91 11.26 11.61 11.97 9.34 9.71 10.09 10.47 10.87 11.27 11.67 12.09 12.51 12.93 13.36 13.80 14.25 14.70 15.16 15.63 16.10 16.58 111.06



FLOW GPM 660 670 680 690 700 710 720 730 743 750 760 770 780 790 800 810 820 830 840 850 860 870 880 890 900 910 920 930



FLOW COEFF 111.55 111.05 111.56 19.07 19.58 20.11 20.64 21.17 21.72 22.26 22.82 23.38 23.95 24.52 25.10 25.69 26.28 26.88 211.49 211.10 211.72 29.34 29.97 30.61 31.25 31.90 32.56 33.22



FLOW GPM 940 950 960 970 980 990 1000 1010 1020 1030 1040 1050 1060 1070 1080 1090 1100 1110 1120 1130 1140 1150 1160 1170 1180 1190 1200



FLOW COEFF 33.89 34.56 35.24 35.93 36.62 311.32 311.02 311.73 39.45 40.17 40.90 41.63 42.37 43.12 43.87 44.63 45.39 46.16 46.94 411.72 411.51 49.31 50.11 50.91 51.73 52.54 53.37



Tabel 11-2. Koefisien Loss Peralatan Permukaan CASE



1 2 3 4 CASE



418



STAND PIPE Length I.D Feet Inchees 40 3 40 3–½ 45 4 45 4



HOSE Length I.D Feet Inches 45 2 55 2–½ 55 3 55 3



COEFICIENT



STAND PIPE Length I.D Feet Inchees



HOSE Length I.D Feet Inches



COEFICIENT



19 7 4 3



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



1 2 3 4



System of Units



4 5 5 6



2 2– ½ 2-1/2 3



2009



40 40 40 40



2 – 1/4 3 – 1/4 3 – 1/4 4



19 7 4 3



419



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 11.3. Koefisien Loss Drill-collar



420



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 11.4. Koefisien Loss Drill-Pipe



System of Units



421



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



11.4. Pembahasan HP Tekanan dan Rate Pompa Pompa yang dipakai dalam sirkulasi lumpur pemboran biasanya menggunakan pompa piston sehingga rate maksimum dengan suatu diameter liner tertentu adalah persamaan (11-6). Harga sebesar ini tidak pernah tercapai karena faktor-faktor efisiensi volumetrik, mekanik, dan lain-lain, sehingga effisiensi totalnya sekitar hanya 70% saja. Besarnya HP merupakan pencerminan kekuatan suatu pompa, sehingga sebagai pegangan awal harga yang dipegang tetap konstan adalah HP ini. Besarnya effisiensi sekitar 70% saja. Begitu pula tekanan maksimum dari pompa mengalami penurunan sekitar 65%. Untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan, penambahan rate atau tekanan bisa dilakukan penggantian liner yang terdapat pada piston tersebut, sehingga rate yang diinginkan dapat tercapai, tetapi konsekuensinya bila liner diganti dengan yang lebih besar untuk menambah rate maksimum, akan terjadi penurunan tekanan maksimum. Begitu pula kejadian sebaliknya, bila tekanan maksimum diperbesar, rate maksimum akan mengecil. 11.5. Bit Hydraulics Konsep hidrolika bit tidak lain mengoptimasikan aliran lumpur pada pahat pemboran, sedemikian rupa sehingga dapat membantu laju penembusan (penetration rate). Bila pada bit konvensional aliran fluida dengan sengaja menyentuh gigi bit, sehingga gigi bit terbersihkan langsung oleh fluida yang masih bersih dan fluida yang sudah mengandung cutting. Sedangkan pada jet bit, pancaran fluida diutamakan langsung menyentuh batuan formasi yang sedang ditembus, sehingga fungsi fluida ini sebagai pembantu melepaskan batuan yang masih melekat yang sudah dipecahkan oleh gigi bit, kemudian fluida yang telah mengandung cutting tersebut menyentuh gigi bit sebagai fungsi membersihkan dan mendinginkan bit. Dengan kejadian tersebut, pada jet bit diharapkan tidak akan terjadi penggilingan/pemecahan ulang (regrinding) pada cutting oleh gigi bit sehingga efektivitas bit maupun laju penembusan dapat lebih baik. Perbedaan pancaran terjadi antara bit konvensional dan jet bit dipasang nozzle, ialah sebuah lubang yang mempunyai diameter keluaran lebih kecil daripada masukan sehingga mempertinggi rate. Biasanya diameter nozzle tersebut diameternya tertentu dengan satuan 1/32 inches. Faktor-faktor yang menentukan dan mempengaruhi hidrolika dan disainnya adalah : a. Ukuran dan geometri sistem sirkulasi. Hal ini menyangkut variasi diameter sumur maupun diameter peralatan dan kemampuan peralatan pompa. b. Sifat fisik fluida pemboran. c. Pola aliran. Pola aliran ini menyangkut pola aliran laminer yang diwajibkan pada tempat-tempat tertentu serta pola aliran turbulen yang terpaksa diperbolehkan pada tempat-tempat tertentu pula. Kerja aliran/pancaran lumpur keluar dari bit menuju batuan formasi merupakan pokok pembicaraan dalam Bit Hydraulics, dengan kerja yang optimum maka diharapkan laju penembusan (Penetration Rate) dapat ditingkatkan serta 422



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



pengangkatan cutting seefektif mungkin sehingga penggilingan kembali (Regrinding) seperti dijelaskan semula dapat dikurangi sekecil mungkin. Dalam usaha mengoptimasikan hidrolika ini, ada 3 (tiga) prinsip yang satu sama lain saling berbeda dalam hal anggapan-anggapannya. Ketiga prinsip tersebut adalah : 1. Bit Hydraulic Horse Power (BHHP) Prinsip dasar dari metoda ini menganggap bahwa semakin besar daya yang disampaikan fluida terhadap batuan akan semakin besar pula efek pembersihannya, sehingga metoda ini berusaha untuk mengoptimumkan Horse Power (daya), yang dipakai di bit dari Horse Power pompa yang tersedia di permukaan. 2. Bit Hydaulic Impact (BHI) Prinsip dasar dari metoda ini, menganggap bahwa semakin besar impact (tumbukan sesaat) yang diterima batuan formasi dari lumpur yang dipancarkan dari bit semakin besar pula efek pembersihannya, sehingga metoda ini berusaha untuk mengoptimumkan impact pada bit. 3. Jet Velocity (JV) Metoda ini berprinsip, semakin besar rate yang terjadi di bit akan berarti semakin besar efektivitas pembersihan dasar lubang, maka metoda ini berusaha untuk mengoptimumkan rate pompa supaya rate di bit maksimum. Pada dasarnya kemampuan pompa memberikan tekanan pada sistem sirkulasi adalah habis untuk menanggulangi kehilangan tekanan (pressure loss) pada seluruh sistem sirkulasi seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, padahal kehilangan tekanan di bit merupakan parameter yang cukup menentukan dalam perhitungan optimasi hidrolika, untuk itu maka kehilangan tekanan dibagi dua, yaitu kehilangan tekanan seluruh sistim sirkulasi kecuali bit yang disebut sebagai Parasitic Pressure Loss (Pp) karena tidak menghasilkan apa-apa, hanya hilang energi karena gesekan fluida saja. Bit pressure loss (Pb) adalah besarnya tekanan yang dihabiskan untuk menumbuk batuan formasi oleh pancaran fluida di bit. Dalam sistem sirkulasi juga seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa akan terdapat dua jenis pola aliran yaitu laminer dan turbulen, dimana masing-masing pola menempati tempatnya sendiri-sendiri. Di dalam pipa mulai dari stand pipe, swivel, kelly, drill pipe dan drill collar akan terjadi pola aliran turbulen. sedangkan pada anulus antara drill collar dan open hole biasanya dibiarkan turbulen tapi bila terjadi laminer lebih baik lagi, anulus drill pipe dengan open hole maupun drill pipe dengan casing diwajibkan beraliran laminer akan tetapi harus lebih besar dari rate minimum. 11.5.1. Optimasi dengan Perhitungan Dalam menghitung optimasi hidrolika yang menyangkut penentuan rate optimum, telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Sedangkan penentuan ukuran nozzle yang merupakan fungsi dari densitas lumpur, rate optimum dan kehilangan tekanan di bit dijabarkan dalam bentuk persamaan sebagai berikut: 0.5



2   mQopt  A  ......................................................... (11-13) 10858Pb  dimana : m = Densitas Lumpur, ppg



System of Units



423



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



Qopt Pb



2009



= Laju optimum, gpm = Pressure Loss di bit, psi



Sebelum melakukan perhitungan terlebih dahulu harus ditentukan besarnya faktor pangkat (Z) dan konstanta kehilangan tekanan (Kp), dengan menggunakan persamaan (11-14) atau (11-15) dan (11-16) atau (11-17), yaitu: log( Pp1 / Pp 2 ) Z .......................................................... (11-14) log( Q1 / Q2 ) log( Pp 2 / Pp1 ) Z .......................................................... (11-15) log( Q2 / Q1 ) Pp 2 K p  Z ..................................................................... (11-16) Q2 Pp1 K p  Z ..................................................................... (11-17) Q1 Selain itu perlu diketahui terlebih dahulu rate minimum, rate maksimum, tekanan maksimum pompa, daya maksimum pompa dan densitas lumpur. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa perhitunganpun akan disajikan dalam 3 (tiga) konsep yang saling berbeda, yaitu : bit Hydraulic Horse Power (BHHP), bit Hydraulic Impact (BHI) dan Jet Velocity (JV). 11.5.2. Konsep BHHP Langkah - langkah untuk menentukan optimasi adalah sebagai berikut : a. Kondisi Tekanan Maksimum 1. Hitung kehilangan tekanan di bit dengan persamaan Z Pb  Pm ................................................... (11-18) Z 1 2. Hitung rate optimum dengan persamaan 1 Z



 Pm  Qopt    ......................................... (11-19)  ( Z  1) Kp 



3. Perhatikan apakah Qopt lebih kecil dari rate maksimum (Qmax). Jika tidak terpenuhi maka, Qopt = Qmax, sehingga Z Pb  Pm  Kp.Qopt ............................................. (11-21) 4. Perhatikan apakah Qopt tersebut lebih besar dari rate minimum (Qmin). Jika tidak terpenuhi, maka Qopt = Qmin, sehingga Z Pb  Pm  Kp.Qopt ............................................. (11-20) 5. Hitung daya yang diperlukan di permukaan (HPs) Pm.Qopt HPs  .................................................. (11-22) 1714



424



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



6. Perhatikan apakah daya yang diperlukan di permukaan (HPs) tersebut tidak lebih besar dari daya maksimum pompa (HPm). Jika tidak terpenuhi, bisa dicoba dengan kondisi daya maksimum. 7. Hitung luas nozzle total yang optimum dengan persamaan 1



2   m .Qopt 2 A  ............................................... (11-23) 10858.Pb 



b. Kondisi Daya Maksimum 1. Hitung kehilangan tekanan di bit dengan persamaan: HPm Pb  1714.  Kp.Q min Z ............................ (11-24) Q min 2. Hitung rate optimum (Qopt) dengan persamaan: Qopt = Qmin 3. Hitung tekanan yang diperlukan di permukaan (Ps) dengan persamaan: 1714.Hpm ................................................. (11-25) Ps  Q min 4. Perhatikan apakah Ps lebih kecil dari tekanan maksimum pompa (Pm). Jika tidak terpenuhi, bisa dicoba dengan kondisi pertengahan. 5. Hitung luas nozzle total yang optimum dengan persamaan: 1



 m.Qopt 2  2 A   10858.Pb  c. Kondisi Pertengahan 1. Hitung rate optimum (Qopt) dengan persamaan : 1714.HPm ............................................. (11-26) Qopt  Pm 2. Hitung kehilangan tekanan di bit dengan persamaan : 1714 HPm  Pb  Pm  Kp    Pm 



Z



............................... (11-27)



3. Hitung luas Nozzle total yang optimum dengan persamaan : 1



 m.Qopt 2  2 A  .............................................. (11-28)  10858.Pb  11.5.3. Konsep BHI Langkah-langkah untuk menentukan optimasi dalam konsep BHI adalah sebagai berikut: a. Kondisi Tekanan Maksimum 1. Hitung kehilangan tekanan di bit dengan persamaan : Z Pb  Pm ................................................... (11-29) Z 2



System of Units



425



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



2. Hitung rate optimum (Qopt) dengan persamaan : 1



 2 Pm  Z Qopt    ........................................ (11-30)  ( z  2) Kp 



3. Perhatikan apakah Qopt lebih kecil dari rate maksimum (Qmak).Jika tidak terpenuhi, Qopt = Qmak Pb = Pm-Kp.Qzopt ........................................... (11-31) 4. Perhatikan apakah Qopt tersebut lebih besar dari rate minimum (Qmin). Jika tidak terpenuhi, Qopt = Qmin Pb = Pm - Kp.Qzopt .......................................... (11-32) 5. Hitung daya yang diperlukan di permukaan: Pm.Qopt ................................................ (11-33) Hps  1714 6. Perhatikan apakah HPs lebih kecil dari Daya pompa maksimum (HPm). Jika tidak terpenuhi, bisa dicoba dengan kondisi yang lain. 7. Hitung luas Nozzle total yang optimum dengan persamaan: 1



  m .Qopt 2  2 A  .............................................. (11-34)  10858Pb  b. Kondisi Daya Maksimum 1. Hitung rate optimum dengan menggunakan persamaan 1



 1714 Hpm  Z 1 ...................................... (11-35) Qopt     ( Z  2) Kp 



2. Hitung tekanan yang diperlukan di permukaan (Ps). H .m.1714 ............................................... (11-36) Ps  Qopt 3. Hitung kehilangan tekanan di bit dengan persamaan Z  1 1714 Hpm  Pb  ..................................... (11-37) Z  2  Qopt  4. Periksa Qopt tidak lebih besar dari Qmaks. Jika tidak terpenuhi maka: Qopt = Qmaks Z  1 1714 Hpm  Pb  ..................................... (11-38) Z  2  Qmak  5. Periksa Qopt tidak lebih kecil dari Qmin. Jika tidak terpenuhi maka: Qopt = Qmin Z  1 1714 HPm  Pb  ..................................... (11-39) Z  2  Q min 



426



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



6. Perhatikan apakah Ps tidak lebih besar dari Pm.Jika tidak terpenuhi, coba dengan kondisi pertengahan. 7. Hitung luas Nozzle total optimum, persamaan : 1



 m.Qopt 2  2 A   10858Pb  c. Kondisi Pertengahan 1. Hitung rate optimum dengan persamaan : 1714.HPm .............................................. (11-40) Qopt  Pm 2. Hitung kehilangan tekanan di bit, dengan persamaan Z



 HPm.1714  Pb  Pm  Kp   ............................... (11-41) Pm   3. Hitung luas Nozzle total optimum, persamaan :



 m.Qopt  A   10858.Pb  2



1 2



11.5.4. Konsep JV Langkah-langkah untuk menentukan optimasi dalam konsep Jet Velocity hanya dibagi dua bagian. a. Kondisi Tekanan Maksimum 1. Tentukan rate optimum dengan persamaan: Qopt = Qmin 2. Tentukan kehilangan tekanan di bit dengan persamaan: Pb  Pm  Kp.Q min Z ......................................... (11-42) 3. Hitung daya yang diperlukan di permukaan (HPs) dengan menggunakan persamaan : Pm.Q min ............................................... (11-43) HPs  1714 4. Perbaikan apakah HPs tidak lebih besar dari daya pompa maksimum (HPm). Jika tidak terpenuhi, coba dengan kondisi daya maksimum. 5. Hitung luas Nozzle total dengan menggunakan persamaan: 1



 m.Qopt 2  2 A  .............................................. (11-44)  10858Pb  b. Kondisi Daya Maksimum 1. Tentukan rate optimum dengan menggunakan persamaan: Qopt = Qmin 2. Hitung tekanan yang diperlukan di permukaan (Ps) dengan menggunakan persamaan: System of Units



427



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



Ps 



2009



HPm.1714 ................................................ (11-45) Q min



3. Tentukan kehilangan tekanan di bit dengan menggunakan persamaan: HPm.1714 Z .................................. (11-46) Pb   Kp.Qmin Q min 4. Perhatikan apakah Ps tidak lebih besar dari tekanan maksimum pompa (Pm).Jika tidak terpenuhi, kondisi optimum dalam konsep Jet Velocity tidak tercapai. 5. Hitung luas total Nozzle dengan menggunakan persamaan 1 2



 m.Qopt  A  .............................................. (11-47)  10858.Pb  Sedangkan untuk merubah nilai luas total nozzle menjadi bentuk kombinasi ukuran nozzle dalam satuan 1/32 inch dapat digunakan Tabel 11.5. 2



428



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 11.5. Tabel Luas Total Kombinasi Nozzle



11.5.5. Evaluasi Hasil Optimasi Untuk mengetahui apakah hasil optimasi yang telah dilakukan betul-betul naik efeknya atau tidak, ditentukan dengan melihat parameter yang bisa dievaluasi untuk masing-masing konsep, yaitu sebagai berikut: a. Konsep BHHP Evaluasi dapat dilakukan melalui Horse Power per Square Inches (HSI) di bit. Pb.Qopt ....................................................... (11-48) HSI  1714. A Pb.Qopt ....................................................... (11-49) HSI  1346.d 2 b. Konsep BHI. Dalam mengevaluasi hasil optimasi pada konsep BHI, dilakukan dengan menghitung bit Impact (BIF). BIF  Ki.Q.Pb 0.5 ..................................................... (11-50) dikonversikan dengan kondisi lapangan, menjadi : 0.5 BIF  1,73.10 2 Qm.Pp  ...................................... (11-51) c. Konsep JV Dalam konsep ini evaluasi bisa dilakukan melalui kecepatan aliran di bit (Vb). Vb  Kv.Pb 0.5 .......................................................... (11-52) dikonversikan dengan kondisi lapangan, menjadi : Qopt ...................................................... (11-53) Vb  0.321 An System of Units



429



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Hasil evaluasi yang didapat hanya dapat dipakai untuk membandingkan satu kasus yang sama yang dikerjakan dengan metoda/konsep yang sama antara kondisi lapangan yang sedang dipakai dengan perhitungan optimasi yang didapat, sedangkan untuk membandingkan tiap konsep dengan konsep lainnya tidak dapat dilakukan, karena satu sama lain seperti telah dijelaskan sebelumnya mempunyai kelebihan-kelebihan pada konsep masing-masing.



Gambar 11.7. Diagram Alir Konsep BHHP



430



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 11.11. Diagram Alir Konsep BHI



System of Units



431



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 11.9. Diagram Alir Konsep JV



Gambar 11.10. Contoh Pemakaian Nomograph Pada Konsep JV



432



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 11.11. Contoh Pemakaian Nomograph Pada Konsep JV



11.6. Contoh Soal Contoh 1. Kedalaman = 6000 ft Rate minimum = 444 gpm Rate maksimum = 762 gpm Daya maksimum = 1388 Tekanan permukaan maksimum = 2145 psi Densitas lumpur = 9.2 ppg Dari Slow Pump Rate Test diperoleh: Pp1 = 560 psi Q1 = 432 gpm Pp2 = 155 psi Q2 = 211 gpm Berdasarkan optimasi dengan konsep BHHP, BHI, dan JV dari data-data di atas, tentukan: 1. Rate optimum 2. Tekanan permukaan yang digunakan 3. Kehilangan tekanan di bit 4. Kombinasi ukuran nozzle optimum 2. Desain Hidrolika Hole Geometry: Kedalaman sumur = 10000 feet Intermediate Casing = 9,625 inch OD, 9,0 inch ID, 7000 feet Depth System of Units



433



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



String Configuration: Drill Pipe = 4,0 inch OD, 3,25 inch IDDrill Collar = 4,0 inch OD, 2,75 ID, 400 feet DepthBit Size = 8,5 inch, with Nozzle 15-15-15 Lumpur : Densitas = 8,9 ppg Viskositas Plastik = 50 cp Yield Point = 25 lb/100 ft2 Pump Data : Maximum HP = 1500 Maximum Pressure = 3500 psia Maximum Rate = 900 gpm Minimum Rate = 230 gpm Low Pump Rate Test: Normal Rate = 500 gpm, Pressure = 1100 psia Slow Rate = 250 gpm, Pressure = 310 psia Drilling Parameter : Weight on Bit = 30000 lbs Rate of Penetration = 150 fph Cutting Diameter = 0,65 inch Cutting SG = 2.635 Pertanyaan : Dalam Optimisasi hidrolika, dimana diameter nozzle tidak mungkin diubah (tetap), berapa rate pemompaan optimum yang harus dilakukan? 3. Hidrolika Bit Sebelum mengganti bit pada lubang 12 1/4 in, diketahui tekanan standpipe sbb: Laju alir (gpm)



Tekanan Stamdpipe (psi) 500 850 1200 1700 1900



300 400 500 600 650 Kedalaman lubang adalah 6528 ft Bit diharapkan membor sampai kedalaman 8000 ft Data-data lain: Ukuran nozzle = tiga buah (16/32) in Berat lumpur = 11.7 ppg Laju alir sekarang = 650 gpm Max. alowable surface pressure =2500 psi Tentukanlah parameter hidrolika optimum untuk bit berikutnya menggunakan kriteria BHHP dan IF.



434



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN ρf V d μ



= Density fluida, ppg = Kecepatan aliran, = Diameter pipa, in = Viscositas, cp  = Gaya shear per unit luas (shear stress) dVr/dr = Shear rategc gc = Convertion constant HP = Horse power yang diterima pompa dari mesin penggerak setelah dikalikan effisiensi mekanis dan safety, hp P = Tekanan Pemompaan, psi Q = Kecepatan alir, gpm S = Panjang stroke, inchs N = Rotasi per menit, rpm d = Diameter tangkai piston, inchs D = Diameter liner, inchse se = Effisiensi volumetric Vs = Kecepatan slip, ft/menit V1 = Kecepatan lumpur, ft/menit Vp = Kecepatan partikel, ft/menit dc = Diameter cutting terbesar, inchs = Berat cutting, ppg c = Berat lumpur, ppg m Qm = Rate minimum, gpm ROP = Kecepatan Penembusan, Ca = Fraksi volum cutting di annulus dp = Diameter pipa, inchs dh = Diameter lubang, inchs A = Luas Anulus, in2 Vca = Kecepatan di annulus, ft/det v = Viskositas plastik, cp Yb = Yield point bingham, lb/100 ft2 kl = Koefisien loss kr = Panjang drill collar, ft Qopt = Laju optimum, gpm Pb = Pressure loss di bit, psi Kp = Konstanta kehilangan tekanan Pp = Tekanan parasistik, psi Pm = Tekanan maksimum, psi HPm = Horse power maksimum, hp Qmak = laju maksimum gpm Z = faktor pangkat Ps = Tekanan dipermukaan, psi HPS = Horse Power di permukaan, hp An = Luas nozzle, in2



System of Units



435



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5.



436



Alliquander, "Das Moderne Rotarybohren", VEB Deutscher Verlag Fuer Grundstoffindustrie,Clausthal-Zellerfeld, Germany, 1986 nn., "Principles of Drilling Fluid Control", Twelfth Edition, Petroleum Extension Service The University of Texas of Austin, Texas, 1969. Azar J.J., "Drilling in Petroleum Engineering", Magcobar Drilling Fluid Manual. Moore P.L., "Drilling Practices Manual", Penn Well Publishing Company, Second Edition, Tulsa-Oklahoma, 1986. Rabia. H., "Oil Well Drilling Engineering : Principles & Practice", University of Newcastle upon Tyne, Graham & Trotman, 1985.



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Bab 12 Teori Umum Semen dan Penyemenan 12.1. Alasan Dilakukan Penyemenan Pada umumnya operasi penyemenan bertujuan untuk melekatkan casing pada dinding lubang sumur, melindungi casing dari masalah-masalah mekanis sewaktu operasi pemboran (seperti getaran), melindungi casing dari fluida formasi yang bersifat korosi dan untuk memisahkan zona yang satu terhadap zona yang lain di belakang casing. Menurut alasan dan tujuannya, penyemenan dapat dibagi dua, yaitu Primary Cementing (Penyemenan Utama) dan Secondary atau Remedial Cementing (Penyemenan Kedua atau Penyemenan perbaikan). Primary Cementing adalah penyemenan pertama kali yang dilakukan setelah casing diturunkan ke dalam sumur. Sedangkan secondary cementing adalah penyemenan ulang untuk menyempurnakan primary cementing atau memperbaiki penyemenan yang rusak. 12.1.1. Primary Cementing Pada primary cementing, penyemenan casing pada dinding lubang sumur dipengaruhi oleh jenis casing yang akan disemen. Penyemenan conductor casing bertujuan untuk mencegah terjadinya kontaminasi fluida pemboran (lumpur pemboran) terhadap lapisan tanah permukaan. Penyemenan surface casing bertujuan untuk melindungi air tanah agar tidak tercemar dari fluida pemboran, memperkuat kedudukan surface casing sebagai tempat dipasangnya alat BOP (Blow Out Preventer), untuk menahan beban casing yang terdapat di bawahnya dan untuk mencegah terjadinya aliran fluida pemboran atau fluida formasi yang akan melalui surface casing. Penyemenan intermediate casing bertujuan untuk menutup tekanan formasi abnormal atau untuk mengisolasi daerah lost circulation. Penyemenan production casing bertujuan untuk mencegah terjadinya aliran antar formasi ataupun aliran fluida formasi yang tidak diinginkan, yang akan memasuki sumur. Selain itu untuk mengisolasi zona produktif yang akan diproduksikan fluida formasi (perforated completion), dan juga untuk mencegah terjadinya korosi pada casing yang disebabkan oleh material-material korosif. 12.1.2. Secondary Cementing atau Remedial Cementing Setelah operasi khusus semen dilakukan, seperti Cement Bond Logging (CBL) dan Variable Density Logging (VDL), kemudian didapati kurang sempurnanya atau ada kerusakan pada primary cementing, maka dilakukanlah secondary cementing. Secondary cementing dilakukan juga apabila pengeboran gagal mendapatkan minyak dan menutup kembali zona produksi yang diperforasi. Secondary cementing dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Squeeze cementing, Re-cementing dan Plug-back cementing. 12.1.2.1. Squeeze Cementing Squeeze Cementing bertujuan untuk :  Mengurangi water-oil ratio, water gas ratio atau gas-oil ratio.  Menutup formasi yang sudah tidak lagi produktif. System of Units



437



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



   



2009



Menutup zona lost circulation. Memperbaiki kebocoran yang terjadi di casing Memperbaiki primary cementing yang kurang memuaskan. Operasi squeeze dilakukan selama operasi pemboran berlangsung, komplesi maupun pada saat workover.



12.1.2.2. Re-cementing Dilakukan untuk menyempurnakan primary cementing yang gagal dan untuk memperluas perlindungan casing di atas top semen. 12.1.2.3. Plug-Back Cementing Plug-back cementing dilakukan untuk:  Menutup atau meninggalkan sumur (abandonment well)  Melakukan directional drilling sebagai landasan whipstock, yang dikarenakan adanya perbedaan compressive stregth antara semen dan formasi maka akan mengakibatkan bit berubah arahnya.  Menutup zona air di bawah zona minyak agar water-oil ratio berkurang pada open hole completion. 12.2. Komposisi Dan Pembuatan Semen Semen yang biasa digunakan dalam industri perminyakan adalah Semen Portland, dikembangkan oleh JOSEPH ASPDIN12 Tahun 1824. Disebut Portland karena mula-mula bahannya didapat dari pulau Portland Inggris. Semen Portland ini termasuk semen hidrolis dalam arti akan mengeras bila bertemu atau bercampur dengan air. Semen Portland mempunyai 4 komponen (Gambar 12.1) mineral utama, yaitu : a. TRICALCIUM SILICATE Tricalcium silicate (3CaO.SiO2) dinotasikan sebagai C3S, yang dihasilkan dari kombinasi CaO dan SiO2. Komponen ini merupakan yang terbanyak dalam semen Portland, sekitar 40-45% untuk semen yang lambat proses pengerasannya dan sekitar 60-65% untuk semen yang cepat proses pengerasannya (high-early strength cement). Komponen C3S pada semen memberikan strength yang terbesar pada awal pengerasan.



Gambar 12.1. Empat Komponen Semen Portland b. DICALCIUM SILICATE Dicalcium silicate (2CaO.SiO2) dinotasikan sebagai C2S, yang juga dihasilkan dari kombinasi CaO dan SiO2. Komponen ini sangat penting dalam memberikan final strength semen. Karena C2S ini menghidrasinya lambat maka tidak 438



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



berpengaruh dalam setting time semen, akan tetapi sangat menentukan dalam kekuatan semen lanjut. Kadar C2S dalam semen tidak lebih dari 20%. c. TRICALCIUM ALUMINATE Tricalcium aluminate (3CaO.Al2O3) dinotasikan sebagai C3A, yang terbentuk dari reaksi antara CaO dengan Al2O3.Walaupun kadarnya lebih kecil dari komponen silikat (sekitar 15% untuk high-early strength cement dan sekitar 3% untuk semen yang tahan terhadap sulfat), namun berpengaruh pada rheologi suspensi semen dan membantu proses pengerasan awal pada semen. d. TETRACALCIUM ALUMINOFERRITE Tetracalcium aluminoferrite (12CaO.Al2O3.Fe2O3) dinotasikan sebagai C4AF, yang terbentuk dari reaksi CaO, Al2O3, dan Fe2O3. Komponen ini hanya sedikit pengaruhnya pada strength semen. API menjelaskan bahwa kadar C 4AF ditambah dengan dua kali kadar C3A tidak boleh lebih dari 24% untuk semen yang tahan terhadap kandungan sulfat yang tinggi. Penambahan oksida besi yang berlebihan akan menaikan kadar C4AF dan menurunkan kadar C3A, dan berfungsi menurunkan panas hasil reaksi/hidrasi C3S dan C2S. Semen Portland terbuat dari bahan-bahan mentah tertentu, pemilihan bahanbahan mentah tersebut sangat berpengaruh terhadap komposisi bubuk semen yang diinginkan. Ada dua macam bahan mentah yang dibutuhkan dalam menghasilkan semen Portland, yaitu : a. Material CALCAREOUS Material ini berisi kalsium karbonat dan kalsium oksida yang terdiri dari limestone dan batuan semen.  Limestone adalah batuan terbentuk dari sebagian besar zat- zat organik sisa (seperti kerang laut atau koral) yang terakumulasi. Limestone ini merupakan komponen dasar dari kalsium karbonat.  Batu semen adalah batuan yang komposisinya serupa dengan semen batuan  Kapur adalah Limestone kekuning-kuningan atau abu-abu dan halus yang sebagian besar berasal dari kerang-kerang laut.  Marl atau tanah kapur adalah tanah yang rapuh dan mengandung bahanbahan pokok kalsium karbonat.  Alkali di sini berasal dari pembuangan zat-zat kimia pabrik yang mengandung kalsium oksida atau kalsium karbonat. b. Material ARGILLACEOUS Material ini berisi clay atau mineral clay  Clay adalah bahan yang bersifat plastis bila basah dan keras bila dipanaskan. Terdiri dari sebagian besar aluminium silikat dan mineral lainnya.  Shale adalah batuan fosil yang terbentuk dari gabungan clay, lumpur dan silt (endapan lumpur).  Slate adalah batu tulis adalah batuan yang padat dan berbutir baik, yang dihasilkan dari pemampatan clay, shale dan batuan lainnya.  Ash adalah abu merupakan produk pembakaran batu bara. 12.2.1. Pembuatan Semen Pembuatan Semen Portland melalui beberapa tahap berikut : a. Proses Peleburan System of Units



439



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



b. Proses Pembakaran c. Proses Pendinginan d. Proses Penggilingan



12.2.2. Proses Peleburan Dalam bagian ini ada dua cara yang umum digunakan, yaitu : a. Dry Process Pada awal proses ini, mineral clay dan limestone sama-sama dihancurkan, lalu dikeringkan di rotary dries. Hasilnya dibawa ke tempat penggilingan untuk dileburkan. Kemudian hasil leburan ini masuk ke tempat penyaringan, dan partikelpartikel yang kasar dibuang dengan sistem sentrifugal. Hasil saringan ini ditempatkan di beberapa silo (tempat berbentuk tabung yang tertutup) dan setelah didapat komposisi kimia yang diinginkan, kemudian akan melalui proses pembakaran di Kiln. Susunan peralatannya dapat dilihat pada (gambar 12.2).



Gambar 12.2. Dry Process b. Wet Process Material-material mentah dicampur dengan air, lalu dimasukkan ke tempat penggilingan (Grinding Mill). Campuran ini kemudian dipompa melalui 'vibrating screen'. Material-material yang kasar dikembalikan ke penggilingan, sementara campuran yang lolos yang berupa suspensi ini ditampung pada suatu tempat berbentuk kolom-kolom. Di tempat ini, suspensi mengalami proses rotasi dan pemampatan sehingga didapat campuran yang homogen. Di tempat ini pula, komposisi kimia suspensi diubah-ubah untuk didapatkan komposisi yang diinginkan sebelum dibawa ke Kiln. Susunan peralatannya dapat dilihat pada (gambar 12.3).



Gambar 12.3. Wet Process 12.2.3. Proses Pembakaran Setelah melalui salah satu proses peleburan di atas, campuran tersebut dimasukkan ke tempat pembakaran (Kiln). Di Kiln, campuran ini berputar-putar 440



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



kemudian berubah menjadi clinker (Gambar 12.4). Ada 6 tahap temperatur yang harus dilalui campuran di Kiln, yaitu :



Gambar 12.4. Proses Pembakaran Tahap 1 (sampai 200oC) Pada tahap ini mengalami proses penguapan air bebas. Tahap 2 (200 – 800oC) Pada tahap ini mengalami proses pra-pemanasan, dimana partikelpartikel clay mengalami dehidroksidasi (pembebasan unsur-unsur hidroksida). Tahap 3 (800 – 1100oC) dan Tahap 4 (1100 – 1300oC) Pada tahap ini mengalami proses pembebasan unsur karbon (dekarbonisasi). Dehidroksidasi mineral-mineral clay disempurnakan dan didapat hasil yang berbentuk kristal. Kalsium karbonat membebaskan sejumlah besar karbondioksida. Produk bermacam-macam kalsium aluminat dan ferit mulai terjadi. Tahap 5 (1300 - 1500 – 1300oC).Pada tahap ini, sebagian campuran reaksi mencair. Dan suhu 1500oC (Clinkering temperature), C2S dan C3S terbentuk. Sementara itu lime, alumina dan oksida besi tetap dalam fasa cair. Tahap 6 (1300 – 1000oC)Pada tahap ini, C3A dan C4AF berubah dari fasa liquid menjadi padat dan berbentuk kristal.



12.2.4. Proses Pendinginan Proses pendinginan sebenarnya telah dimulai dari sebagian tahap 5, ketika temperatur mulai menurun dari 'clinkering temperature'. Kualitas clinker dan selesainya pembuatan semen sangat tergantung dari laju pendinginan perlahan-lahan sekitar 4 – 5oC (7 – 8oF) sampai suhu 1250oC, kemudian pendinginan cepat sekitar 18 – 20oC (32 – 36oF) per menit. System of Units



441



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Saat laju pendinginan lambat 4 – 5oC, C3A dan C4AF dengan cepat meng-kristal, kristal C3S dan C2S menjadi lebih teratur dan MgO bebas juga meng-kristal (Mineral ini disebut Periclase). Pada kondisi ini, aktivitas hidrolik kecil. Compressive Strength awal tinggi, namun strength lanjutnya rendah. Saat laju pendinginan cepat, fasa liquid (yang terjadi pada tahap 5) memadat seperti gelas. C3A dan C2S menurun. MgO bebas tetap dalam fasa gelas, sehingga menjadi kurang aktif dan dapat menyebabkan semen menjadi kurang kokoh. Pada kondisi ini, compressive strength awal rendah, namun strength lanjutnya tinggi. 12.2.5. Proses Penggilingan Pada tabung penggiling ada bola – bola baja, yang dapat mengakibatkan sekitar 97 - 99% energi yang masuk diubah menjadi panas. Oleh karena itu diperlukan pendinginan karena bila terlalu panas akan banyak gipsum yang menghidrasi menjadi kalsium sulfat hemihidrat (CSH1/2) atau larutan anhidrit (CS). Akhirnya dari proses penggilingan (Gambar 12.5) didapat bubuk semen yang diinginkan, yang dihasilkan dari penggilingan clinker dengan gipsum (CSH2).



Gambar 12.5. Proses Penggilingan 12.3. Klasifikasi Semen API telah melakukan pengklasifikasian semen ke dalam beberapa kelas guna mempermudah pemilihan dan penggolongan semen yang akan digunakan. Pengklasifikasian ini didasari atas kondisi sumur dan sifat-sifat semen yang disesuaikan dengan kondisi sumur tersebut. Kondisi sumur tersebut meliputi kedalaman sumur, temperatur, tekanan dan kandungan yang terdapat pada fluida formasi ( seperti sulfat dan sebagainya). Tabel 12.1, Tabel 12.2 dan Tabel 12.3.



442



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 12.1. Klasifikasi Semen



System of Units



443



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 12.2. Klasifikasi Semen A Ordinary Type (O) Magnesium Oxide (MgO), maxximum, % Sulfur Trioxide (SO3) maximum, % Loss on ignition, maximum, % Insolube residue, maximum, % Tricalcium aluminate (3CaO.Al2O3), maximum, % Moderate Sulfate-Resistant Type (MSR) Magnesium Oxide (MgO), Maximum, % Sulfur trioxide (SO3),maximum, % Loss on ignition, maximum, % Insolube residue, maximum, % Tricalcium Silicate (3CaO.SiO2), maximum, % Tricalcium aluminate (3CaO.Al2O3), maximum, % Total Alkali content expressed as sodiyum oxide (Na2O) equivalent, maximum, % High Sulfate-Resistant Type (HSR) Magnesium Oxide (MgO), maxximum, % Sulfur Trioxide (SO3) maximum, % Loss on ignition, maximum, % Insolube residue, maximum, % Tricalcium Silicate (3CaO.SiO2), maximum, % Tricalcium Silicate (3CaO.SiO2), minimum, % Tricalcium aluminate (3CaO.Al2O3), maximum, % Tricalcium Aluminoferrite (12CaO.Al2.O3.Fe2O3) plus twice the Tricalcium aluminate (3CaO.Al2O3), maximum Total Alkali content expressed as sodiyum oxide (Na2O) equivalent, maximum, %



444



B



Cement Class C D,E, G F



6.0



6.0



3.5 3.0 0.75



4.5 3.0 0.75 15



H



6.0



6.0



6.0



6.0



6.0



3.0 3.0 0.75 .



3.5 3.0 0.75



3.0 3.0 0.75



3.0 3.0 0.75



3.0 3.0 0.75



58



58



48



48



8



8



0.75



0.75



8



8



8



6.0



6.0



6.0



6.0



6.0



3.0 3.0 0.75 .



3.5 3.0 0.75 .



3.0 3.0 0.75



3.0 3.0 0.75



3.0 3.0 0.75



65



65



48



48



3



3



3



3



3



24



24



24



24



24



0.75



0.75



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 12.3. Klasifikasi Semen API Class



ASTM Type



A B C D E G H



I II III



(II) (II)



Typical Potential Phase Composition (%) C3S C3A C4AF C2S 45 27 11 8 44 31 5 13 53 19 11 9 28 49 4 12 38 43 4 9 50 30 5 12 50 30 5 12



Typical Fineness (Cm2/g) 1600 1600 2200 1500 1500 1800 1600



Klasifikasi semen yang dibuat API terdiri dari : Kelas A. Semen kelas A ini digunakan dari kedalaman 0 (permukaan) sampai 6.000 ft. Semen ini terdapat dalam tipe biasa (ordinary type) saja, dan mirip dengan semen ASTM C-150 tipe I. Kelas B. Semen kelas B digunakan dari kedalaman 0 sampai 6.000 ft,dan tersedia dalam jenis yang tahan terhadap kandungan sulfat menengah dan tinggi (moderate dan high sulfate resistant). Kelas C. Semen kelas C digunakan dari kedalaman 0 sampai 6.000 ft, dan mempunyai sifat high-early strength (proses pengerasannya cepat). Semen ini tersedia dalam jenis moderate dan high sulfate resistant. Kelas D. Semen kelas D digunakan untuk kedalaman dari 6.000 ft sampai 12.000 ft, dan untuk kondisi sumur yang mempunyai tekanan dan temperatur tinggi. Semen ini tersedia juga dalam jenis moderate dan high sulfate resistant. Kelas E. Semen kelas E digunakan untuk kedalaman dari 6.000 ft sampai 14.000 ft, dan untuk kondisi sumur yang mempunyai tekanan dan temperatur tinggi. Semen ini tersedia juga dalam jenis moderate dan high sulfate resistant. Kelas F. Semen kelas F digunakan dari kedalaman 10.000 ft sampai 16.000 ft, dan untuk kondisi sumur yang mempunyai tekanan dan temperatur sangat tinggi. Semen ini tersedia dalam jenis high sulfate resistant. Kelas G. Semen kelas G digunakan dari kedalaman 0 sampai 4.000 ft, dan merupakan semen dasar. Bila ditambahkan retarder semen ini dapat dipakai untuksumur yang dalam dan range temperatur yang cukup besar. Semen ini tersedia dalam jenis moderate dan high sulfat resistant. Kelas H. Semen kelas H digunakan dari kedalaman 0 sampai kedalaman 4.000 ft, dan merupakan pula semen dasar. Dengan penambahan accelerator dan retarder, semen ini dapat digunakan pada range kedalaman dan temperatur yang besar. Semen ini hanya tersedia dalam jenis moderate sulfate resistant.



System of Units



445



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



12.4. Proses Hidrasi Semen Hidrasi Semen Portland adalah suatu reaksi kimia yang berurutan antara clinker, kalsium sulfat dan air, sampai akhirnya suspensi semen mengeras. Hidrasi semen Portland ini hampir sama dengan hidrasi C3S sendiri, namun ada beberapa parameter yang harus ditambahkan. Hidrasi semen Portland ini dapat dibedakan menurut kondisi temperatur lingkungan yang dialami, yakni hidrasi pada temperatur rendah dan hidrasi pada temperatur tinggi. 12.4.1. Hidrasi Pada Temperatur Rendah Komponen-komponen pada semen Portland merupakan komponen yang 'anhydrous', yakni bila bertemu air maka komponen- komponen tersebut akan pecah dan membentuk komponen hidrat (seperti suspensi). Larutan yang tidak stabil dan kelewat jenuh terbentuk, dan secara perlahan-lahan mengeras. Peristiwa mengenai hidrasi semen (Gambar 12.6) berhubungan dengan kelakuan masing-masing komponen semen dalam lingkungan liquid dan kelakuan sistem semua komponen (semen Portland). Keempat komponen utama semen Portland mempunyai perbedaan dalam hidrasi kinetik dan bentuk produk hidrasinya. a. Hidrasi Fasa Silikat Fasa silikat dalam semen Portland merupakan komponen yang paling banyak, sering lebih dari 80% dari total material. C3S adalah unsur utamanya, dengan konsentrasi sampai 70% sedangkan kadar C2S tidak lebih dari 20%.Hasil reaksi kimia C3S dan C2S dengan air menghasilkan kalsium silikat hidrat (C-S-H) dan kalsium Hidroksida (Ca(OH)2), yang umum dikenal dengan nama Portlandite. Reaksinya adalah sebagai berikut : 2C3S + 6H  C3S2H3 + 3CH 2C2S + 4H  C3S2H3 + CH Kalsium silikat hidrat sebenarnya tidak selalu berkomposisi C3S2H3, karena tergantung dari rasio C:S dan H:S. Hal ini tergantung dari konsentrasi kalsium dalam air, temperatur, adanya aditif dan umur reaksi. Kalsium silikat hidrat umumnya disebut dengan Gel C-S-H.



446



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.6. Hidrasi Semen Portland Gel C-S-H ini terdapat sekitar 70% dalam hidrat semen Portland keseluruhannya dan merupakan bahan pengikat pada semen yang mengeras. Sedang kalsium hidroksida dalam bentuk kristal yang berbentuk heksagonal, konsentrasinya dalam semen sekitar 15-20 %. Pada awal proses hidrasi berlangsung singkat, fasa silikat mengalami perioda reaktivitas yang lambat yang disebut 'Induction Period'. Namun perioda ini tidak terlalu mempengaruhi rheologi suspensi semen. Hidrasi yang besar terjadi (lihat gambar 12.7 dan gambar 12.8) saat laju hidrasi C3S melalui laju hidrasi C2S. Karena kelebihan laju hidrasi C3S ini dan banyaknya gel C-S-H , hidrasi C3S sangat berpengaruh pada saat proses pengerasan semen dan pengembangan awal strength semen. Sedangkan hidrasi C2S berpengaruh pada final strength semen. Pada hidrasi C3S terdapat 5 periode hidrasi (lihat gambar 12.9), yaitu :



Gambar 12.7. Hidrasi C2S Vs Waktu



System of Units



447



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.8. Hidrasi C3S Vs Waktu



Gambar 12.9. Skema Perubahan Sistem C3S - Air I. II. III. IV. V.



Pre-induction period Induction Period Acceleration Period Decceleration Period Diffusion Period



1. Preinduction Period Lamanya periode ini hanya beberapa menit saja. Reaksi eksotermal yang besar pada periode ini diakibatkan oleh pembasahan bubuk semen dan kecepatan hidrasi awal. lapisan awal gel C-S-H terbentuk di sekeliling permukaan C3S yang anhydrous. Saat komponen C3S kontak dengan air, ion-ion O2- dan SiO4- berubah menjadi ion-ion OH- dan H3 SiO4-. Reaksi ini berlangsung cepat dan diikuti dengan terputusnya permukaan berproton, yang sesuai dengan reaksi berikut : 2Ca3SiO5 + 8H2O  6Ca2+ + 10OH- + 2H3SiO4Kemudian larutan yang terjadi menjadi supersaturated (lewat jenuh) dan terjadi endapan gel C-S-H. 2Ca2+ + 2OH- + 2H3SiO4-  Ca2 (OH)2H4Si2O7 + H2O



448



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Reaksi diatas mengumpamakan bahwa rasio antara C:S sama dengan 1 pada gel C-S-H awal. Dan jumlah anion silikat dalam gel C-S-H banyak pada waktu hidrasi yang berlangsung singkat. Terjadinya endapan gel C-S-H mengambil tempat dipermukaan C3S, dimana mempunyai konsentrasi ionik yang besar, karenanya lapisan tipis terjadi di permukaan C 3S. Kedua reaksi di atas dapat ditulis menjadi : 2Ca3SiO5 + 7H2O  Ca2(OH)2H4Si2O7 + 4Ca2+ + 8OHSelama periode ini, konsentrasi lewat jenuh kalsium hidroksida tidak tercapai, karena itu pada persamaan diatas ini konsentrasi kapur bertambah selama proses hidrasi berlangsung. 2. Induction Period Pada periode ini, laju pembebasan panas turun. Penambahan gel C-S-H lambat, konsentrasi Ca2+ dan OH- terus bertambah. Ketika kondisi supersaturated tercapai, pengkristalan kalsium hidroksida mulai terjadi. Pada temperatur lingkungan, lamanya periode ini berlangsung beberapa jam. 3. Acceleration Period dan Deceleration Period Pada akhir periode induksi, hanya sedikit dari C3S yang menghidrasi. Pada acceleration period, padatan Ca(OH)2 mengkristal dan gel C-S-H terjebak kedalam ruangan- ruangan kosong dalam air membentuk jaringan yang menyatu, dengan proses ini mulai terbentuk kekuatan (strength) semen. Porositas sistem menurun karena kandungan hidrat. Akhirnya perpindahan ion-ion pada jaringan gel C-S-H terhalangi, dan kecepatan hidrasi menurun. Periode ini berlangsung beberapa hari. Acceleration period dan deceleration period biasanya disebut dengan 'Setting Period'. 4. Diffusion Period Pada periode ini, hidrasi berlangsung dalam keadaan lambat dan porositas sistem berkurang. Jaringan produk hidrat menjadi lebih tebal dan strength bertambah besar. Kristal portlandite terus berkembang dan memakan butiran C3S yang berakibat hidrasi total tidak pernah tercapai. b. Hidrasi fasa aluminat Fasa aluminat, terutama, C3S sangat reaktif pada hidrasi yang berlangsung singkat. Walaupun kadar aluminat lebih kecil daripada kadar silikat, namun aluminat ini berpengaruh terhadap rheologi suspensi semen dan pembentukan strength semen pada awal periode. Seperti pada C3S, maka langkah hidrasi awal C3A adalah reaksi antara permukaan solid dengan air. Reaksi irreversible menuntunhidroksidasi anion AlO2- dan O2- kedalam [Al(OH)4]- dan OH-, dan mengakibatkan terputusnya permukaan yang berproton. Ca3Al2O6 + 6H2O  3Ca2++2[Al(OH)4]- + 4OHlarutan dengan cepat menjadi supersaturated sehingga timbul kalsium aluminat hidrat. 6Ca2++ 4[Al(OH)4]- + 8OH-+ 15H2O  Ca2[Al(OH)5]2.3H2O + 2[Ca2Al(OH)7.6H2O] kedua reaksi diatas digabungkan menjadi : System of Units



449



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



2C3A + 27H  C2AH8 + C4AH19 Kalsium aluminat hidrat pada persamaan ini hampir stabil kondisinya dan terjadi dalam bentuk kristal heksagonal. Kemudian berubah menjadi lebih stabil dalam bentuk kubik sebagai C3AH6, menurut reaksi dibawah ini : C2AH8 + C4AH19  2 C3AH6 + 15H Tidak seperti kalsium silikat hidrat, kalsium aluminat hidrat tidak amorphous dan tidak mempunyai lapisan pelindung. Karenanya pada hidrasi fasa aluminat tidak ada periode induksi dan hidrasinya berlangsung cepat : Hidrasi C3A dikontrol dengan penambahan 3 - 5% gipsum pada clinker sebelum digiling. Ketika kontak dengan air, sebagian gipsum pecah. Ion-ion kalsium dan sulfat bereaksi dengan ion aluminat dan ion hidroksil membentuk Kalsium Trisulfoaluminat Hidrat yang biasa dikenal sebagai mineral Ettringite, seperti terlihat pada reaksi dibawah ini : 6Ca2++2[Al(OH)4]-+ 3SO42-+ 4OH-+ 26H2O  Ca6[Al(OH)6] (SO4)3 .26H2O Ettringite terjadi dalam bentuk kristal jarum yang timbul pada permukaan C3A, yang menghindari hidrasi berikutnya. Jadi periode induksi seolah-olah dibuat. Selama periode ini, gipsum secara perlahan-lahan habis dan ettringite terus timbul. Kemudian hidrasi C3A menjadi lebih cepat, saat gipsum mulai habis. Konsentrasi ion sulfat berkurang dengan tajam. Ettringite menjadi tidak stabil dan berubah menjadi kalsium monosulfoaluminat hidrat. C3A.3CS.32H+2C3A+4H  3C3A.CS.12H Sedang C3A sisa yang tidak menghidrat membentuk kalsium aluminat hidrat.



12.4.2. Hidrasi Pada Temperatur Tinggi Seperti telah diterangkan sebelumnya, bahwa semen Portland terdiri paling banyak dari material kalsium silikat, yang terdiri dari komponen trikalsium silikat dan dikalsium silikat. Penambahan air pada material tersebut akan membentuk gel kalsium silikat hidrat yang disebut gel C-S-H. Gel ini akan mempengaruhi strength dan kestabilan semen pada temperatur biasa, selain itu sejumlah kalsium hidroksida dibebaskan. Gel C-S-H merupakan produk awal pada temperatur tinggi, dan sebagai material pengikat pada temperatur kurang dari 110oC (230oF). Pada temperatur yang lebih tinggi, gel C-S-H mengalami metamorfosis yang selalu menyebabkan turunnya compressive strength dan menaikkan permeabilitas semen. Kejadian ini umum disebut dengan istilah Strength Retrogression, yang pertama kali dikemukakan oleh SWAYZE pada tahun 1954. Gel C-S-H sering berubah fasa menjadi Alpha Dicalcium Silicate Hydrate ( C2SH), yang berbentuk kristal dan lebih padat bentuknya dibandingkan gel C-S-H. 450



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Akibatnya mempengaruhi kelakuan compressive strength dan permeabilitas semen pada temperatur 230oC (1246oF). Compresive strength akan hilang dalam waktu satu bulan dan permeabilitas akan naik. Masalah strength retrogression dapat dicegah dengan menambahkan bubuk kapur silika dalam bubuk semen. Pada Gambar 12.10 dibawah ini melukiskan kondisi bermacam-macam komponen kalsium silika. Rasio C:S diplot terhadap temperatur. Gel C-S-H mempunyai rasio rata-rata sekitar 1,5. Terjadinya C2SH pada 110oC (230oF) dapat dicegah dengan penambahan 35 - 40% silika, sehingga mengurangi rasio C:S menjadi sekitar 1. Pada kondisi ini, sebuah mineral yang diketahui sebagai Tobermorite (C5S6H5) terbentuk yang memberikan sifat strength tinggi dan permeabilitas rendah dapat dipertahankan. Kenaikan temperatur sampai 149 oC (300oF) menyebabkan tobermorite berubah menjadi Xonotlite (C6S6H) dan sebagian kecil Gyrolite (C6S3H2). Namun kadang-kadang tobermorite bertahan hingga temperatur 250oC (1282oF), karena adanya penggantian aluminium dalam struktur atom semen Portland.



Gambar 12.10. Kondisi Komponen Kalsium Silika Bertambah baiknya kelakuan 'kestabilan silika' semen Portland pada temperatur tinggi dapat dilihat pada (Gambar 12.11). Pada temperatur 249oC (1280oF), Truscottite (C7S12H3) mulai terbentuk. Dan mendekati temperatur 400oC (750oF) baik Xonotlite dan Truscottite mencapai keadaan yang stabil, dan bila melebihi temperatur stabil ini, maka keduanya dapat merusak semen.



System of Units



451



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.11. Kelakuan Compressive Strength dan Permeabiltas Sistem 16 ppg Kelas G Distabilkan dengan 35 % silika Disamping mineral-mineral di atas, terbentuk pula mineral lainnya seperti Pectolite (NC4S6H), Scawtite (C7S6CH2), Reyelite (KC14S24H5), Kilchoanite (serupa dengan C3S2H), dan Calcio-chondrodite (serupa dengan C5S2H). Namun mineralmineral ini tidak begitu mempengaruhi sifat-sifat semen. Semen yang mengandung pectolite selalu memberikan sifat permeabilitas yang rendah. Bentuk pectolite, sodium kalsium silikat hidrat, dalam pengembangan semen memuat semen lebih tahan terhadap korosi yang disebabkan adanya air asin. Sementara scawtite berpengaruh dalam peningkatan compressive strength semen walaupun hanya sedikit. Umumnya semen yang mengandung kalsium silikat hidrat dengan rasio kurang dari 1 cenderung mempunyai compressive strength yang tinggi dan permeabilitas yang rendah. 12.5. Sifat - Sifat Semen. 12.5.1. Densitas Densitas suspensi semen didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah berat bubuk semen, air pencampur dan aditif terhadap jumlah volume bubuk semen, air pencampur dan aditif. Dirumuskan sebagai berikut :



Dbs 



Gbk  Gw  Ga .................................................................................. (12-1) Vvk  Vw  Va



dimana :



452



Dbs



= Densitas suspensi semen, ppg



Gbk



= Berat bubuk semen, lbs



Gw



= Berat air, lbs



Ga



= Berat aditif, lbs



Vbk



= Volume bubuk semen, gallon



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



Vw



= Volume air, gallon



Va



= Volume aditif, gallon



2009



Densitas suspensi semen sangat berpengaruh terhadap tekanan hidrostatis suspensi semen di dalam lubang sumur. Bila formasi tidak sanggup menahan tekanan suspensi semen, maka akan menyebabkan formasi pecah, sehingga terjadi lost circulation. Densitas suspensi semen yang rendah sering digunakan dalam operasi primary cementing dan remedial cementing, guna menghindari terjadinya fracture pada formasi yang lemah. Untuk menurunkan densitas dapat dilakukan dengan hal-hal berikut:  Menambahkan clay atau zat-zat kimia silikat jenis extender.  Menambahkan bahan-bahan yang dapat memperbesar volume suspensi semen, seperti pozzolan. Sedangkan densitas suspensi semen yang tinggi digunakan bila tekanan formasi cukup besar. Untuk memperbesar densitas dapat ditambahkan pasir atau material-material pemberat ke dalam suspensi semen, seperti barite. Pengukuran densitas di laboratorium berdasarkan dari data berat dan volume tiap komponen yang ada dalam suspensi semen, sedangkan di lapangan dengan menggunakan alat 'pressurized mud balance'.



12.5.2. Thickening Time Dan Viskositas Thickening time didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan suspensi semen untuk mencapai konsistensi sebesar 100 UC (Unit of Consistency). Konsistensi sebesar 100 UC merupakan batasan bagi suspensi semen masih dapat dipompa lagi. Dalam penyemenan, sebenarnya yang dimaksud dengan konsistensi adalah viskositas, cuma dalam pengukurannya ada sedikit perbedaan prinsip. Sehingga penggunaan konsistensi ini dapat dipakai untuk membedakan viskositas pada operasi penyemenan dengan viskositas pada operasi pemboran (lumpur pemboran). Thickening time suspensi semen ini sangatlah penting. Waktu pemompaan harus lebih kecil dari thickening time, karena bila tidak, akan menyebabkan suspensi semen akan mengeras lebih dahulu sebelum seluruh suspensi semen mencapai target yang diinginkan. Dan bila mengeras di dalam casing merupakan kejadian yang sangat fatal dalam operasi pemboran selanjutnya. Untuk sumur-sumur yang dalam dan untuk kolom penyemenan yang panjang, diperlukan waktu pemompaan yang lama, sehingga thickening time harus diperpanjang. Untuk memperpanjang atau memperlambat thickening time perlu ditambahkan retarder ke dalam suspensi semen, seperti kalsium lignosulfonat, carboxymethyl hydroxyethyl cellulose dan senyawa-senyawa asam organik. Pada sumur-sumur yang dangkal maka diperlukan thickening time yang tidak lama, karena selain target yang akan dicapai tidak terlalu panjang, juga untuk mempersingkat waktu. Untuk mempersingkat thickening time, dapat ditambahkan accelerator kedalam suspensi semen. Yang termasuk accelerator adalah kalsium System of Units



453



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



klorida, sodium klorida, gipsum, sodium silikat, air laut dan aditif yang tergolong dalam dispersant. Gambar 12.12 adalah hubungan antara pumpability time dan temperature. Perencanaan besarnya thickening time bergantung kepada kedalaman sumur dan waktu untuk mencapai daerah target yang akan disemen. Di laboratorium, pengukuran thickening time menggunakan alat High Pressure High Temperature Consistometer (HPHT), disimulasikan pada kondisi temperatur dan tekanan sirkulasi. Thickening time suspensi semen dibaca bila pada alat diatas telah menunjukkan 100 Bc untuk standar API, namun ada perusahaan lain yang menggunakan angka 70 Bc (seperti pada Hudbay) dengan pertimbangan faktor keselamatan, kemudian diekstrapolasi ke 100 UC.



Gambar 12.12. Pumpability Time Vs Temperatur Perhitungan konsistensi suspensi semen di laboratorium ini dilakukan dengan mengisi sampel kedalam silinder, lalu diputar konstan pada 150 rpm kemudian dibaca harga torsinya. Dan harga konsistensi suspensi semen dapat dihitung dengan menggunakan rumus : T  78.2 Bc  .............................................................................................. (12-2) 20.02 dimana :



Bc



= Konsistensi suspensi semen



T



= Pembacaan harga torsi, g-cm



12.5.3. Filtration Loss Filtration loss adalah peristiwa hilangnya cairan dari suspensi semen ke dalam formasi permeabel yang dilaluinya. Cairan ini sering disebut dengan filtrat. Filtrat yang hilang tidak boleh terlalu banyak, karena akan menyebabkan suspensi semen kekurangan air. Kejadian ini disebut dengan flash set. Bila suspensi semen mengalami flash set maka akan mengakibatkan friksi di annulus dan juga dapat mengakibatkan pecahnya formasi. Pengujian filtration loss di laboratorium menggunakan alat filter press pada kondisi temperatur sirkulasi dengan tekanan 1.000 psi. Namun filter loss 454



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



mempunyai kelemahan yaitu temperatur maksimum yang bisa digunakan hanya sampai 82oC (180oF). Filtration loss diketahui dari volume filtrat yang ditampung dalam sebuah tabung atau gelas ukur Selama 30 menit masa pengujian. Bila waktu pengujian tidak sampai 30 menit, maka besarnya filtration loss dapat diketahui dengan rumus : 5.477 ...................................................................................(12-3) F30  Ft 30  Ft t t dimana :



F30



= Filtrat pada 30 menit, ml



Ft



= Filtrat pada t menit, ml



t



= Waktu pengukur, menit



Pada primary cementing, filtration loss yang diijinkan sekitar 150-250 cc yang diukur selama 30 menit dengan menggunakan saringan berukuran 325 mesh dan pada tekanan 1.000 psi. Sedangkan pada squeeze cementing, filtration loss diijinkan sekitar 55 - 65 cc selama 30 menit. 12.5.4. Water Cement Ratio (WCR) Water cement ratio adalah perbandingan air yang dicampur terhadap bubuk semen sewaktu suspensi semen dibuat. Jumlah air yang dicampur tidak boleh lebih atau kurang, karena akan mempengaruhi baik-buruknya ikatan semen nantinya. Batasan jumlah air dalam suspensi semen didefinisikan sebagai kadar minimum dan kadar maksimum air. Kadar Minimum Air Kadar minimum air adalah jumlah air yang dicampurkan tanpa menyebabkan konsistensi suspensi semen lebih dari 30 UC. Bila air yang ditambahkan lebih kecil dari kadar minimumnya, maka akan terjadi gesekan gesekan (friksi) yang cukup besar di annulus sewaktu suspensi semen dipompakan dan juga akan menaikan tekanan di annulus.



Kadar Maksimum Air Kadar maksimum air dicari sebagai berikut : Diambil sebuah tabung yang berisi suspensi semen sebanyak 250 ml, kemudian didiamkan selama 2 jam sehingga terjadi air bebas pada bagian atas tabung. Air bebas yang terjadi tidak boleh lebih dari 3,5 ml. Bila air bebas yang terjadi melebihi 3,5 ml maka akan terjadi pori-pori pada semen. Dan ini mengakibatkan semen mempunyai permeabilitas yang besar.Kandungan air normal dalam suspensi semen yang direkomendasikan oleh API diberikan dalam Tabel 12.4. Kadar air yang terdapat dalam suspensi semen harus berada antara kadar



System of Units



455



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



minimum dan kadar maksimumnya. Gambar 12.13 adalah hubungan antara water cement ratio (WCR) dengan densitas cement slurry . Tabel 12.4. Kandungan Air Normal Dalam Suspensi Semen API Class Cement A and B C D, E, F and H G J (tentative)



Water (%) by weight of cement 46 56 38 44 -



Water Gal L per-sack per Sack 5.19 19.6 6.32 23.9 4.29 16.2 4.97 14.8 -



Gambar 12.13. Water Cement Ratio (WCR) Vs Densitas Cement Slurry



456



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



12.5.5. Waiting On Cement (WOC) Waiting on cement atau waktu menunggu pengerasan suspensi semen adalah waktu yang dihitung saat wiper plug diturunkan sampai kemudian plug dibor kembali untuk operasi selanjutnya. WOC ditentukan oleh faktor-faktor seperti tekanan dan temperatur sumur, WCR, compressive strength dan aditif-aditif yang dicampur ke dalam suspensi semen (seperti accelerator atau retarder), pada umumnya diambil angka sekitar 24 jam. 12.5.6. Permeabilitas Permeabilitas diukur pada semen yang mengeras, dan bermakna sama dengan permeabilitas pada batuan formasi yang berarti kemampuan untuk mengalirkan fluida. Semakin besar permeabilitas semen maka semakin banyak fluida yang dapat melalui semen tersebut, dan begitu pula untuk keadaan yang sebaliknya. Dalam hasil penyemenan, permeabilitas semen yang diinginkan adalah tidak ada atau sekecil mungkin. Karena bila permeabilitas semen besar akan menyebabkan terjadinya kontak fluida antara formasi dengan annulus dan strength semen berkurang, sehingga fungsi semen tidak akan seperti yang diinginkan, yaitu menyekat casing dengan fluida formasi yang korosif. Bertambahnya permeabilitas semen dapat disebabkan karena air pencampur terlalu banyak, karena kelebihan aditif atau temperatur formasi yang terlalu tinggi. Perhitungan permeabilitas semen di laboratorium dapat dilakukan dengan menggunakan 'Cement Permeameter'. Dengan menggunakan sampel semen, permeabilitas diukur dengan mengukur laju alir air yang melalui luas permukaan sampel yang diberi perbedaan tekanan sepanjang sampel tersebut. Perhitungan permeabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan rumus Darcy berikut : QL ..........................................................................................................(12-4) k AP dimana :



k



= Permeabilitas, D



q



= Laju alir, ml/s







= Viscositas air, cp



L



= Panjang sampel, cm



A



= Luas permukaan sampel, cm2



P = Perbedaan tekanan, atm



12.5.7. Compressive Strength Dan Shear Strength Strength pada semen terbagi dua, yakni compressive strength dan shear strength. Compressive strength didefinisikan sebagai kekuatan semen dalam menahan tekanan-tekanan yang berasal dari formasi maupun dari casing, sedangkan shear strength didefinisikan sebagai kekuatan semen dalam menahan berat casing. Jadi compressive strength menahan tekanan-tekanan dalam arah horizontal dan shear strength semen menahan tekanan- tekanan dari arah vertikal. Dalam mengukur strength semen, seringkali yang diukur adalah compressive strength dari pada shear strength. Umumnya compressive strength mempunyai System of Units



457



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



harga 8 - 10 kali lebih dari harga shear strength. Pengujian compressive strength di laboratorium dilakukan dengan menggunakan alat Curing Chamber dan Hydraulic Mortar. Curing Chamber dapat mensimulasikan kondisi lingkungan semen untuk temperatur dan tekanan tinggi sesuai dengan temperatur dan tekanan formasi. Hydraulic Mortar merupakan mesin pemecah semen yang sudah mengeras dalam Curing Chamber. Strength minimum yang direkomendasikan oleh API untuk dapat melanjutkan operasi pemboran adalah 6, 7 MPa (1.000 psi) Untuk mencapai hasil penyemenan yang diinginkan, maka strength semen harus:  Melindungi dan menyokong casing  Menahan tekanan hidrolik yang tinggi tanpa terjadinya perekahan.  Menahan goncangan selama operasi pemboran dan perforasi.  Menyekat lubang dari fluida formasi yang korosif.  Menyekat antar lapisan yang permeabel. Gambar 12.14 dan 4.15 memperlihatkan hubungan antara temperatur dan compressive strength serta hubungan tekanan dan compressive strength. Gambar 12.16 memperlihatkan CBL chart yang digunakan untuk menentukan besarnya compressive strength semen.



Gambar 12.14. Temperatur Vs Compressive Strength



458



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.15. Tekanan Vs Compressive Strength.



System of Units



459



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.15a. CBL Interpreation Chart 12.5.8. Pengendapan Partikel dan Air Bebas (Particle Settling & Free Water) Efek sampingan dari penambahan dispersant adalah akan terjadinya sedimentasi dan terjadi degradasi densitas suspensi semen dari bagian atas dan bagian bawahnya serta adanya air bebas dibagian atas suspensi semen. Pengendapan partikel (sedimentasi) akan menyebabkan terbentuknya semen yang mempunyai pori-pori yang cukup besar sehingga akan terbentuk semen yang memiliki permeabilitas yang cukup besar pula. Dengan adanya free water di permukaan semen, akan memperburuk hasil penyemenan, terutama untuk penyemenan sumur-sumur miring atau horizontal 460



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



sehingga akan menimbulkan chaneling yang cukup panjang terutama dibagian atas dari suspensi semen. Gambar 12.16 memperlihatkan tiga tipe proses pengendapan dari suspensi semen. Gambar 12.17 memperlihatkan harga yield dan free water dari semen klas G dengan dan tanpa menggunakan anti-settling agent. Sedangkan gambar 12.18 memperlihatkan perbandingan degradasi densitas semen pada set column cement



Gambar 12.16. Kondisi Bubur Semen Yang Mempunyai Berbagai Kandungan Air (WCR)



Gambar 12.17.Perubahan Yield dan Free Water Akibat Penambahan Dispersant



System of Units



461



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.18. Distribusi Densitas Pada Bubur Semen Dalam Gelas Ukur Dengan dan Tanpa MgCl2 12.5.9. Sulfat Resistance Air asin bawah permukaan biasanya banyak mengandung sodium sulfat dan kerusakan dapat terjadi ketika larutan tersebut bereaksi dengan hasil hidrasi semen tertentu. Magnesium dan sodium sulfat bereaksi dengan endapan kalsium hidroksida membentuk magnesium dan sodium hidroksida serta kalsium sulfat. Kalsium sulfat dapat bereaksi kembali dengan aluminat membentuk mineral ettringite (bentuk hidrat dari calcium trisulfoaluminate yang dihasilkan dari pencampuran antara CA3 dan gipsum yang terdapat dalam semen Portland dengan air) 12.6. Aditif Yang Digunakan Dalam Suspensi Semen. Sistem semen Portland ada yang di desain sampai temperatur 371oC (700oF), misalnya untuk sumur-sumur geothermal. Juga ada yang didesain untuk tekanan 30.000 psi, misalnya untuk sumur-sumur yang dalam. Kondisi sumur ini memang mempengaruhi dalam pemilihan jenis semen namun sangat jarang memilih bubuk semen hanya tergantung dari kondisi sumur saja (seperti temperatur, tekanan dan kedalaman ). Ada faktor-faktor lainnya yang turut mempengaruhi dalam pembuatan suspensi semen, seperti waktu dan harga. Selain itu pembuatan suspensi semen harus memperhatikan juga sifat dari suspensi semen tersebut. Oleh karena itu perlu ditambah ke dalam 'net semen' (suspensi semen yang hanya terdiri dari bubuk semen dan air) suatu zat-zat kimia agar dicapai hasil penyemenan yang diinginkan. Zat-zat kimia tersebut dikenal sebagai aditif. Hingga saat ini lebih dari 100 aditif telah dikenal. Namun umumnya aditif-aditif itu dapat dikelompokkan dalam 8 kategori, yaitu :  Accelerator  Retarder  Extender  Weighting Agent  Dispersant 462



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



  



2009



Fluid-loss Control Agent Lost Circulation Agent Specially Additives



12.6.1. Accelerator. Accelerator adalah aditif yang dapat mempercepat proses pengerasan suspensi semen. Selain itu dapat juga mempercepat naiknya strength semen dan mengimbangi aditif lain (seperti dispersant dan fluida loss control agent), agar tidak tertunda proses pengerasan suspensi semennya. Sumur-sumur yang dangkal seringkali menggunakan accelerator, karena selain temperatur dan tekanan yang umumnya rendah, juga karena jarak untuk mencapai target tidak terlalu panjang. Contoh-contoh aditif yang berlaku sebagai accelerator adalah kalsium klorida , sodium klorida, gipsum, sodium silikat dan air laut. Kalsium Klorida Umumnya penambahan kalsium klorida antara 2 - 4% saja kedalam suspensi semen. Pengaruhnya dapat mempercepat thickening time dan menaikkan compressive strength . Sodium Klorida Sodium klorida atau Narium klorida dengan kadar sampai 10% BWOMW (by weight on mix water) berlaku sebagai accelarator. Pengaruhnya terhadap thickening time dan compressive strength semen dapat dilihat pada gambar 12.19.



Gambar 12.19. Efek Sodium Klorida pada Thickening Time dan Compressive Strength 12.6.2. Retarder Retarder adalah aditif yang dapat memperlambat proses pengerasan suspensi semen, sehingga suspensi semen mempunyai waktu yang cukup untuk mencapai kedalaman target yang diinginkan. Retarder sering digunakan dalam menyemen casing pada sumur-sumur yang dalam, sumur-sumur yang bertemperatur tinggi atau untuk kolom penyemenan yang panjang. Aditif yang berlaku sebagai retarder antara lain lignosulfonat, senyawasenyawa asam organik dan CMHEC. Lignosulfonat



System of Units



463



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Lignosufonat merupakan polymer yang terbuat dari pulp. Umumnya dengan kadar 0,1 - 1,5% BWOC (by weight on cement) efektif dicampur ke dalam suspensi semen untuk berfungsi sebagai retarder. Pada gambar 12.20 dapat dilihat fungsi lignosulfonat hingga temperatur 62oC (144oF), namun tetap efektif sampai temperatur 121oC (250oF). Dan bila ditambah dengan sodium borate dapat bertahan sebagai retarder hingga temperatur 315oC (600oF).



Gambar 12.20. Efek Retardasi Lignosulfonat24) CMHEC CMHEC atau Carboxymethyl Hydroxyetyl Cellulose merupakan polisakarid yang terbentuk dari kayu, dan tetap stabilbila terdapat alkalin pada suspensi semen. CMHEC tetap efektif sebagai retarder hingga temperatur 121oC (250oF).



12.6.3. Extender Extender adalah aditif yang berfungsi untuk menaikkan volume suspensi semen, yang berhubungan dengan mengurangi densitas suspensi semen tersebut. Pada umumnya penambahan extender ke dalam suspensi semen diikuti dengan penambahan air. Adapun yang termasuk extender antara lain bentonite, attapulgite, sodium silikat, pozzolan, perlite dan gilsonite. Bentonite Bentonite bersifat banyak mengisap air, sehingga volume suspensi semen bisa menjadi 10 kalinya. API merekomendasikan bahwa setiap penambahan 1% bentonite ditambahkan pula 5,3 % air (BWOC), yang berlaku untuk seluruh kelas semen. Pengaruh lain dari penambahan bentonite adalah yield semen naik, kualitas perforasi lebih baik, compressive strength menurun, permeabilitas naik, viskositas naik dan 464



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



biaya lebih murah. Untuk temperatur di atas 110oC (230oF), penambahan bentonite akan menyebabkan turunnya compressive strength secara drastis. Sodium Silikat Sodium silikat dengan kadar 0,2 - 3% BWOC dapat menurunkan densitas suspensi semen dari 14,5 ppg menjadi 11 ppg. Dan umumnya dengan bertambahnya kadar sodium silikat tersebut, maka compressive strength semen menurun. Pozzolan Pozzolan terbentuk dari material-material seperti aluminium dan silika yang bereaksi dengan kalsium hidroksida. Ada dua jenis pozzolan, yaitu pozzolan alam seperti diatomaceous earth dan pozzolan buatan seperti fly ashes. Diatomaceous earth sebagai extender tidak memperbesar viscositas suspensi semen dan harganya cukup mahal. Sedangkan fly ashes dapat mempercepat naiknya compressive strength serta harganya sangat murah. Expanded Perlite Perlite merupakan extender yang berasal dari batuan vulkanik. Penambahan Perlite biasanya diikuti dengan penambahan bentonite sekitar 2 - 4% untuk mencegah terjadinya pemisahan dengan slurry. Gilsonite Gilsonite terjadi pada mineral aspal, yang mula-mula ditemukan di Colorado dan Utah. Dengan spesific gravity 1,07 dan cukup dengan jumlah air yang sedikit (sekitar 2 gal/ft3) akan didapat densitas suspensi semen yang rendah. Kadar gilsonite sampai 50 lb yang dicampur dengan 1 sak semen Portland dapat menghasilkan densitas suspensi semen sekitar 12 ppg.



Tabel 12.5. Berbagai Extender Sebagai Penurunan Tekanan



System of Units



465



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



12.6.4. Weighting Agents Weighting agents adalah aditif-aditif yang berfungsi menaikkan densitas suspensi semen. Umumnya weighting agents digunakan pada sumur-sumur yang mempunyai tekanan formasi yang tinggi. Aditif-aditif yang termasuk ke dalam weighting agents adalah hematite, ilmenite, barite dan pasir. Hematite. Hematite adalah material berbentuk kristal yang berwarna merah. Dengan mempunyai spesific gravity sebesar 4,95, maka hematite termasuk paling efisien sebagai weighting agent. Densitas suspensi semen bisa mencapai 19 - 22 ppg bila ditambah hematite. Ilmenite Ilmenite merupakan aditif yang terbaik sebagai weighting agent. Material ini merupakan inert solid dan tidak berpengaruh terhadap thickening time. Dengan mempunyai spesific gravity sekitar 4,45, maka supensi semen bila ditambahkan ilmenite bisa mencapai densitas lebih dari 20 ppg.



Barite Barite merupakan aditif yang paling umum digunakan sebagai weighting agent, baik itu untuk suspensi semen maupun dalam lumpur pemboran. Penambahan barite harus disertai pula dengan penambahan air untuk membasahi permukaan partikel barite yang besar. Dengan spesific gravity 4,23, maka barite dapat menaikkan densitas suspensi semen sampai sekitar 19 ppg. 466



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Pasir Pasir yang digunakan sebagai weighting agent adalah pasir Ottawa. Dengan spesific gravity 2,63, maka densitas suspensi semen yang mengandung pasir Ottawa ini dapat mencapai 18 ppg. Penggunaan pasir Ottawa ini biasanya digunakan untuk menyemen lubang sebagai tempat pemasangan whipstock dan untuk plug job.



12.6.5. Dispersant Dispersant adalah aditif yang dapat mengurangi viskositas suspensi semen. Pengurangan vikositas atau friksi terjadi karena dispersant mempunyai kelakuan sebagai thinner (pengencer). Hal ini menyebabkan suspensi semen menjadi encer, sehingga dapat mengalir dengan aliran turbulen walaupun dipompa dengan rate yang rendah. Aditif-aditif yang tergolong dispersant adalah senyawa-senyawa sulfonat. Polymelamine Sulfonate. Polymelamine sulfonate (PMS) dengan kandungan 0,4% BWOC sering dicampur dengan suspensi semen sebagai dispersant. Sampai temperatur 85oC (185oF), PMS tetap efektif karena unsur-unsur kimianya masih stabil.



Gambar 12.21. Efek Dispersant Pada Rheologi Suspensi Semen Polynaphtalena Sulfonate. Polynaphtalena sulfonate (PNS) merupakan dispersant yang umum digunakan. Dan bila pada suspensi semen berisi NaCl, maka ditambahkan PNS sebanyak 4% BWOC. 12.6.6. Fluid-Loss Control Agents Fluid-loss control agent adalah aditif-aditif yang berfungsi mencegah hilangnya fasa liquid semen ke dalam formasi, sehingga terjaga kandungan cairan pada suspensi semen. Pada primary cementing, fluid-loss yang diijinkan sekitar 150 - 250 cc yang diukur selama 30 menit dengan menggunakan saringan berukuran 325 mesh dan System of Units



467



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



pada tekanan 1.000 psi. Sedang pada squeeze cementing, fluid- loss yang diijinkan sekitar 55-65 cc selama 30 menit dengan menggunakan saringan ukuran 325 mesh dan pada tekanan 1.000 psi. Aditif-aditif yang termasuk ke dalam fluid-loss control agents diantaranya polymer, CMHEC dan latex. 12.6.7. Lost Circulation Control Agents Lost circulation control agents merupakan aditif-aditif yang mengontrol hilangnya suspensi semen ke dalam formasi yang lemah atau bergoa. Biasanya material lost circulation yang dipakai pada lumpur pemboran digunakan pula dalam suspensi semen. Aditif-aditif yang termasuk dalam lost circulation control agents diantaranya gilsonite, cellophane flakes, gipsum, bentonite dan nut shell. 12.6.8. Special Additives Ada bermacam-macam aditif lainnya yang dikelompokkan sebagai special additives, diantaranya silika, mud kill, radioactive tracers, fibers, antifoam agents dan lainnya. Silika Bubuk silika atau tepung silika umumnya digunakan sebagai aditif dalam operasi penyemenan supaya strength semen tidak hilang pada temperatur tinggi. Dari test difraksi sinar-X menghasilkan bahwa penambahan silika sebanyak 20 - 40% menunjukkan naiknya strength semen bila temperatur diatas 110oC (230oF), dan pada temperatur yang sama bila suspensi semen tidak mengandung silika bila semen telah mengeras akan kehilangan strengthnya sampai setengah kalinya setelah 14 jam. Test difraksi sinar-X ini menerangkan bahwa strength retrogression terjadi karena munculnya produk kalsium hidroksida dan alpha dicalcium silicate hydrate dalam semen. Produk ini munculnya dapat sekaligus berdua atau sendiri-sendiri, tergantung pada temperatur saat penyemenan terjadi. Ketika silika telah ditambahkan, sebagian silika tersebut bereaksi dengan kalsium hidroksida membentuk dicalcium silicate hidrate, dan sebagian silika lagi bereaksi dengan alpha dicalcium silicate hydrate membentuk mineral yang dikenal sebagai tobermorite ini yang memberikan strength semen tetap kuat. Silika dapat ditambahkan kedalam semua kelas semen yang ada. Penambahan silika yang baik sekitar 30 - 40%. Tepung silika yang berukuran kurang dari 200 mesh dapat ditambahkan air seba-nyak 40% dari berat silika. Gambar 12.22 adalah gambaran mengenai pengaruh penambahan silika



468



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.22. Efek Silika Terhadap Perubahan Compressive Strength Pada Berbagai Temperatur Mud Kill Mud Kill berfungsi sebagai aditif yang menetralisir bubur semen terhadap zat-zat kimia dalam lumpur pemboran. Contoh mud kil adalah 'paraformaldehyde'. Mud kill juga memberi keuntungan, seperti memperkuat ikatan semen dan memperbesar strength semen. Radioactive Tracers Radioactive tracers ditambahkan ke dalam suspensi semen supaya memudahkan operasi logging dalam menentukan posisi semen dan mengetahui kualitas ikatan semen. Antifoam Agents. Adanya foam dalam suspensi semen sering menyebabkan hilangnya tekanan pemompaan, maka untuk mencegahnya ditambahkan antifoam agent. Polypropylene Glycol adalah contoh antifoam agent yang sering digunakan, karena selain efektif juga harganya murah.



12.7. Perhitungan Pada Penyemenan API Spec. 10 (1988) secara khusus membahas jumlah air yang harus ditambahkan ke dalam bubuk semen. API Spec. ini berhubungan dengan densitas suspensi semen (umumnya SG = 3.14 gr/cc untuk semen Portland), tergantung pada kelas semen (Tabel 12.5) dan umumnya merupakan fungsi dari luas permukaan semen. Dan bila additive hadir dalam suspensi, jumlah air yang sudah ditambahkan dengan tepat untuk mencapai densitas yang diinginkan akan berubah. System of Units



469



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



12.7.1. Specific Gravity Specific Gravity (SG) semen Portland berkisar antara 3.10 sampai 3.25 tergantung kepada material dasar yang digunakan dalam pembuatannya. Untuk perhitungan selanjutnya asumsi SG digunakan harga 3.14 gr/cc.



Tabel 12.6. Sifat-Sifat Slurry Neat Semen Cla ss A B C D G H



PROPERTIES OF NEAT CEMENT SLURRIES Slurry Gallons Cut.ft Percent Weight Mixing Slurry/sk Mixing /b/gal Water/sk Cement Water 15.6 5.20 1.18 46 15.6 5.20 1.18 46 14.8 6.32 1.32 56 16.46 4.29 1.05 38 15.8 4.97 1.15 44 16.48 4.29 1.05 38



12.7.2. Volume absolute dan Volume Bulk Volume absolute suatu material adalah volume yang mencakup hanya volume material itu sendiri (tidak termasuk volume udara yang terdapat di sekeliling partikel). Sedangkan volume yang mencakup volume material ditambah volume udara disekitarnya disebut dengan volume bulk. Semen Portland umumnya mempunyai volume bulk 1 cuft untuk 94 lb, yang sering disebut dengan "sack". Volume absolute untuk 94 lb semen adalah 0.48 cuft (3.59 US Gallon). Untuk semen semen lain akan memiliki volume absolute dan bulk yang berbeda. Tabel 12.6 memperlihatkan beberapa data volume absolute dan bulk dari berbagai semen (dalam SI dan English Unit). Tabel 12.7. Volume Absolute Dan Bulk



API Classes A through H Class J Trinity Lite Wate TXI Lightweight Ciment Fondu Luinnite



470



Sack Weight (lb) 94



Bulk Volume (ft3/sk) 1.0



Absolute Volume (gal, lb) (m3/T) 0.0382



0.317



94 75



1.0 1.0



0.0409 0.0409



0.341 0.375



75



1.0



0.0425



0.355



87.5 94



1.0 1.0



0.0373 0.0380



0.312 0.317



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Sedangkan volume absolute dan bulk untuk berbagai material additive semen biasanya diberikan oleh masing-masing pabrik pembuatnya. Tabel 12.7 memperlihatkan informasi berbagai volume absolute dan SG beberapa jenis aditif.



System of Units



471



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 12.8. Volume Absolute Dan SG Beberapa Jenis Aditif Material



Barite Bentonite Coal (ground) Gilsonite Hematite Llmenite Silica Sand NaCl (above saturation) Fresh Water



Absolute Volume (gal/lb) (m3/T 0.0278 0.231 0.0454 0.377 0.0925 0.769



Specific Gravity 4.33 2.65 1.30



0.1123 0.0244 0.0270 0.0454 0.0556



0.935 0.202 0.225 0.377 0.463



1.06 4.95 4.44 2.65 2.15



0.1202



1.000



1.00



12.7.3. Konsentrasi Aditif Konsentrasi dari sebagian besar aditif yang ditambahkan ke dalam semen dinyatakan dalam persen berat semen (BWOC, by weight of cement). Metoda ini juga digunakan dalam proses penambahan air. Contoh : Jika 35 % (BWOC) pasir silika digunakan dalam pembuatan semen, maka jumlah silika untuk tiap sack semen adalah 94 lb x 0.35 = 32.9 lb silika. Jumlah ini sama dengan 94 + 32.9 = 126.9 lb untuk total campuran keseluruhan. Jadi prosentase silika sebenarnya dalam campuran adalah 32.9 : 126.9 = 25.9 %. Sedangkan untuk aditif dalam bentuk cair umumnya menggunakan istilah gallon per sack semen. Contoh : Sodium silicate cair (volume absolute 0.0859 gal/lb). Jika ditambahkan 0.4 gal/sk sodium silicate, maka berat material tersebut adalah (0.4 gal/sk) / (0.0859 gal/lb) = 4.66 lb/sk.



12.7.4. Densitas Semen dan Yield Semen Densitas semen dihitung dengan menambahkan massa dari komponen suspensi semen dan dibagi dengan total absolute volume atau untuk menentukan densitas (lb/gal), total berat (pounds) dibagi dengan total volume (gallons). Hampir semua perhitungan densitas berdasarkan harga satu sack semen adalah 94 lb. Yield semen adalah volume yang mencakup satu unit semen ditambah semua additive dan air pencampur. Untuk satuan semen sering disebut dengan sack, dan yield semen dinyatakan dalam cuft/sk. Yield semen digunakan untuk menghitung jumlah sack semen yang diperlukan untuk mencapai keperluan volume di annulus. 472



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



CATATAN :Untuk aditif yang jumlahnya kurang dari 1 % biasanya dalam perhitungan diabaikan.



Contoh : Semen kelas G (abs vol. = 0.0382) + 35 % Silica Flour (abs. vol. = 0.0454) + 1 % solid cellulosic fluid loss additive ( abs. vol. = 0.0932) + 0.2 gal/sk cairan PNS Disepersant (abs. vol. = 0.1014) + 44 % air (abs. vol. = 0.1202). Tentukan : Densitas dan Yield Suspensi



12.7.5. Volume Annulus Volume Annulus dihitung untuk menentukan jumlah semen yang diperlukan untuk melakukan operasi penyemenan. Perhitungan ini biasanya berdasarkan ukuran bit ditambah volume tambahan yang biasanya berdasarkan pengalaman lapangan (umumnya 10 % - 15 %) . Perhitungan ini memungkinkan service company menentukan total waktu yang diperlukan untuk mencampur dan memompakan semen serta mendorongnya ke dalam annulus. Contoh: Bila volume semen = 43.34 cuft, faktor volume tambahan = 1.10, sehingga volume total = 47.7 cuft. Bila diketahui yield semen 1.18 cuft/sk, maka semen yang dibutuhkan sekitar 47.7 / 1.18 = 40.4 sk.



12.8. Contoh Perhitungan 1. Lihat gambar 12.23 berikut data tambahan sebagai berikut :



System of Units



473



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.23. Data Tambahan Surface casing



= 13 3/8 " (54.50 lb/ft) sampai 1700 ft



Openhole



= 12 1/4" sampai 4950 ft Intermediate



Casing



= 9 5/8 " (36.00 lb/ft)



Tambahan volume = 25 % Shoe joint



= 42 ft



Top of cement



= 300 ft (dalam 13 3/8 " casing)



Top of Tail



= 4450 ft



Lead cement



= 13.0 lb/gal (yield = 1.50 cuft/sk)



Tail cement



= 16.4 lb/gal (yield = 1.05 cuft/sk)



Displacement fluid



= 11.5 lb/gal (lumpur)



Formasi lemah



= 3125 psi (di 4320 ft)



Tekanan tertinggi = 3150 psi (di 4800 ft) Tentukan : a. Volume semen b. Volume displacement c. Tekanan pompa untuk mendudukkan plug d. Hidrostatik pressure pada formasi



2.



474



Penyemenan Intermediate Casing (tanpa Surface Casing) a. Data System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



Casing Setting Depth



= 3000 ft



Hole Size



= 17,5 inch



Casing



= 13,375 inch OD; 12,615 inch ID



2009



Float Collar (diatas Shoe) = 44 feet Pump (Duplex)



= 0,112 bbl/stroke



Pump Rate



= 25 SPM, psi,



Weak fracture gradien



= 0,8 psi/ft at 3000 ft Depth



Mud Density



= 100 ppg



b. Cement Program LEAD cement



= 2000 ft



Class G (0,0382 gal/lb ) + 50% water (0,12 gal/lb) + 4% bentonite (0,0454 gal/lb) TAIL cement



= 1000 feet



Class G (0,0382 gal/lb) + 35 % silika (0,0454 gal/lb) + 45% water (0,12 gal/lb) Excess Volume



= 50%



c. Tentukan : 1. Density dan Yield dari LEAD Cement 2. Density dan Yield dari TAIL Cement 3. Jumlah Sak semen yang diperlukan untuk LEAD Cement 4. Jumlah Sak semen yang diperlukan untuk TAIL Cement 5. Barrel lumpur yang diperlukan untuk mendorong top plug ke bottom plug 6. Stroke dan waktu (menit) pompa untuk mendorong top plug ke bottom plug 7. Tekanan hidrostatis di dasar annulus (psi) 8. Tekanan hidrostatis di dasar dalam casing (psi) 9. Tekanan maksimum pompa yang diperlukan 10. Apakah terjadi loss circulation di bagian formasi yang terlemah



12.9. Semen-Semen Khusus 12.9.1. Semen Menggumpal (Thixotropic Cement) Thixotropy adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sifat-sifat suatu sistem, yang berupa fluida bila mendapat shear, tetapi membuat struktur gel dan dapat menyangga beratnya sendiri atau self-supporting. Dalam pengertian praktis, suspensi semen thixotrapic berupa fluida yang encer selama pencampuran dan pemindahan (displacement) tetapi dengan cepat membentuk struktur gel yang tegar bila pemompaan dihentikan. Bila dilakukan reagitasi, struktur gel itu rusak dan suspensi kembali menjadi fluida dan dapat dipompa. Kemudian, selama System of Units



475



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



penghentian shear, struktur gel terbentuk kembali dan suspensi kembali menjadi self-supporting (lihat gambar 12.24). Jenis kelakuan reologi ini bersifat reversibel (dapat dibalik).



Gambar 12.24. Kebutuhan Tekanan Awal Untuk Mengalirkan Suspensi Semen Sistem semen thixotropic mempunyai beberapa penerapan penting. Biasanya digunakan pada sumur yang sering mengalami fallback yang besar pada kolom semen. Sumur-sumur seperti itu memiliki zona-zona lemah yang merekah pada tekanan hidrostatis rendah. Semen yang bersifat self-supporting mengurangi tekanan hidrostatis pada formasi bila gel strength meningkat, sehingga fallback dapat dicegah. Penerapan penting lainnya yaitu untuk treatment terhadap hilang sirkulasi selama pemboran. Bila suspensi thixotropic memasuki thief zone, kecepatan leading edge menurun dan struktur gel mulai terbentuk. Zone itu menjadi tersumbat karena terjadi kenaikan tahanan aliran. Sekali semen telah diset, zone itu terkonsolidasi dengan efektif. Pengunaan-penggunaan lain sistem semen thixotropic yaitu : untuk memperbaiki casing yang split atau berkarat, sebagai suspensi lead untuk remendial cementing dimana sulit untuk mencapai tekanan squeeze, sebagai grout pada keadaan dimana suspensi diinginkan menjadi immobile dengan cepat, dan untuk mencegah migrasi gas pada keadaan tertentu. Suspensi semen thixotropic mempunyai karakteristik lain. Setelah satu siklus dinamis-statis, gel strength dan yield point cenderung meningkat. Selama oprerasi penyemenan hal ini dapat menjadi masalah karena setelah penghentian hal ini dapat menjadi masalah karena stelah pengertian beberapa kali, diperlukan tekanan pompa yang besar untuk memulai gerakan. Karena alasan ini, kebanyakan operator mencoba menghindari shutdown yang lama ketika memompa sistem ini.



12.9.2. Semen Mengembang (Expanding Cement). Ikatan yang baik antara semen dan pipa dan antara semen dan formasi penting untuk mengisolasi zone secara efektif. Ikatan yang buruk akan membatasi produksi yang diinginkan dan mengurangi keefektifan stimulasi. Komunikasi antara zone-zone dapat disebabkan oleh pemindahan lumpur yang tidak mencukupi, ikatan semen/formasi yang buruk karena terbentuknya mud cake yang tebal, pengembangan dan kontraksi casing karena tekanan internal atau thermal stress, dan kontaminasi semen oleh fluida pemboran atau fluida formasi. Pada keadaan476



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



keadaan tersebut, celah yang kecil atau mikro annulus sering terdapat pada antar muka semen/casing pada anatarmuka semen/formasi. Sistem semen yang sedikit mengembang setelah setting dapat menyumbat mikroanuli dan memperbaiki hasil primary cementing. Ikatan yang lebih baik berasal dari tahanan mekanik atau pengetatan semen terhadap pipa dan formasi. Ikatan yang lebih baik dapat diperoleh bahkan bila lumpur tertinggal di casing atau permukaan formasi. Pembuat semen Portland membatasi jumlah pengotoran alkalin tertentu untuk mencegah pengembangan semen. Pada suatu lingkungan yang tidak terbatasi, seperti jalan atau bangunan, pengembangan semen dapat menyebabkan keretakan dan kegagalan. Pada lingkungan lubang sumur, semen dibatasi oleh casing dan formasi, karena itu bila semen telah mengembang dengan mengurangi ruang kosong, pengembangan yang terjadi kemudian merupakan pengurangan porositas internal semen. Gambar 12.25 memperlihatkan perbandingan pengembangan antara semen standard dengan expansion cement.



Gambar 12.25. Efek Expansive Cement System Terhadap Pengembangan Semen



12.9.3. Semen Untuk Daerah Dingin (Freeze Protected Cement) Operasi perminyakan di lingkaran kutub Utara atau Arktik sangat meningkat sejak dibukanya lapangan Prudhoe Bay di Alaska dan pemboran eksplorasi yang ekstensif di Delta Mackenzie di Kanada dan daerah Pulau Arctic. Di Siberia Barat juga telah dikembangkan lapangan gas yang sangat besar. Pada kebanyakan lokasi di Arktik, para operator harus mempertimbangkan zone yang disebut permafrost pada waktu pemboran, penyemenan dan operasioperasi produksi. Pengalaman menunjukkan bahwa operator di lingkungan Arktik mengalami masalah-masalah unik yang disebabkan udara yang sangat dingin, tanah yang membeku, logistik yang sulit, dan semua itu ditambah dengan lokasi di offshore. Kondisi alamiah lain yang memerlukan praktek pemboran dan komplesi yang unik yaitu : suhu permukaan yang sangat dingin yang mempengaruhi peralatan dan tenaga kerja, dekat dengan magnet Kutub Utara yang berpengaruh pada pemboran berarah, dan tundra (di onshore) atau System of Units



477



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



lapisan es tebal (di offshore) yang memerlukan desain khusus, mobilitas, dan pertimbangan lingkungan. Semen - semen arktik harus dijaga dari beku sampai reaksi setting sempurna. Untuk mencegah pembekuan sebelum setting dapat dilakukan:  mempertahankan lingkungan yang hangat  menurunkan titik beku  menggunakan semen fast-setting (yang menset dalam waktu singkat) dan memiliki panas hidrasi tinggi untuk menopang reaksi. Semen-semen biasa, yaitu API kelas A, B, C atau G, menggunakan cara kedua, sedangkan cara ketiga digunakan oleh semen kalsium - aluminat. 12.9.4. Semen Bergaram (Salt Cement) Sistem semen yang mengandung NaCl atau KCl dalam jumlah cukup besar disebut semen bergaram atau salt cement. Garam banyak digunakan dalam penyemenan sumur karena tiga alasan dasar :  Pada daerah tertentu, terdapat garam dalam campuran air, misalnya di offshore.  Garam adalah bahan yang murah dan utama, bila dipakai sebagai aditif dapat mengubah kelakuan sistem semen.  Penambahan garam dalam jumlah besar telah terbukti baik pada saat menempatkan semen melalui formasi garam masif atau zone yang sensitif terhadap air.  Walaupun yang paling banyak digunakan adalah NaCl, pemakaian KCl dapat melindungi formasi clay yang sensitif. Efek KCl dan NaCl terhadap unjuk kerja sistem semen sama, tetapi menurut Smith (1987), KCl menyebabkan viskositas suspensi tinggi pada konsentrasi tinggi. 12.9.5. Semen Berlatex ( Latex Modified Cemment) Latex adalah istilah umum untuk suatu emulsi polimer, berupa suspensi seperti susu yang mempunyai partikel polimer yang sangat kecil, berdiameter 200 - 500 nm, dan distabilkan oleh surfaktan untuk meningkatkan ketahanan terhadap pencairan atau pembekuan dan mencegah koagulasi pada saat ditambahkan kepada semen Portland. Kebanyakan dispersi latex mengandung kira-kira 50 % padatan. Banyak jenis monomer, termasuk vinil asetat, vinil klorida, akrilik, akrilonitril, etilen, stiren, dan butadiena dipolimerkan untuk membuat latice. Pertama latice digunakan pada semen Portland pada 1920-an, yaitu latex karet alam ditambahkan kepada adukan semen. Latex banyak dipakai karena dapat memperbaiki untuk kerja sebagai berikut :  meningkatkan kemampuan bekerja  menurunkan permeabilitas  meningkatkan tensile strenght  menurunkan penyusutan  meningkatkan elastisitas  meningkatkan ikatan antara semen/baja dan semen/antar muka semen. Volume penyusutan yang diamati adalah akibat hidrasi semen. Selama setting, terjadi stess pada matriks semen yang menghasilkan microcraks atau rekahan kecil. Perambatan rekahan itu menurunkan kapasitas tensile semen dan meningkatkan permeabilitasnya. Pada sistem latex yang telah dimodifikasi, 478



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



partikel-partikel latex akan bergabung untuk membentuk suatu film plastik yang akan mengelilingi dan menyelimuti gel C-S-H itu. Karena elastisitas dan ikatan strength yang kuat, latex akan mengisi rekahan-rekahan dan menahan perambatannya, akibatnya kekuatan tensile semen meningkat dan permeabilitasnya menurun. 12.9.6. Semen Untuk Lingkungan Korosif Pada lingkungan sumur, semen Portland mengalami serangan kimia dari formasi tertentu dan dari bahan-bahan yang diinjeksikan dari permukaan. Air bergaram dari sumur panas bumi yang mengandung CO2 adalah yang terutama merusak keutuhan semen. Pada penyemenan sumur panas bumi, harus diperhatikan pula daya tahan semen pada sumur-sumur untuk bahan kimia buangan dan untuk enhanced oil recovery (EOR) dengan CO2 flooding. Korosi oleh karbon dioksida pada semen Portland terjadi secara termodinamika, dan tidak dapat dicegah. Suatu pemecahan mudah untuk masalah ini adalah semen sintesis, tetapi sistem tersebut tidak ekonomis untuk kebanyakan proyek CO2 flooding. Permeabilitas matriks semen dapat dikurangi dengan memperkecil perbandingan air - semen dan/atau menambahkan bahan pozzolan. Seperti diketahui, Suspensi semen Portland yang dapat dipompa dan memiliki densitas sampai 18 lb/gal (2,16 g/cm3) dapat dibuat dengan penambahan dispersant. Setelah setting, permeabilitas air sistem-sistem tersebut biasanya kurang dari 0,001 md, sehingga invasi karbon dioksida yang berada dalam air dihambat, dan laju korosi diperkecil. Panambahan bahan- bahan pozzolan (seperti fly ash) juga menghasilkan penurunan permeabilitas. Pada saat pengukuran tersebut dilakukan, laju korosi dapat dikurangi sampai sebesar 50 %. 12.9.7. Fluida Pemboran Bersifat Semen Banyak masalah komplesi sumur, seperti hilang sirkulasi, fluid loss besar, dan migrasi fluida annular dapat dicegah, bila fluida pemboran yang digunakan bersifat semen. Isolasi zone yang baik juga dapat diperoleh, karena pemindahan lumpur dengan suspensi semen yang tidak cocok tidak lagi menjadi soal. Pada tahun 1971, Harrison dan Goodwin mengembangkan sistem Portland dengan bentonite-extended, yang bila ditambahkan retarder D-gluco-Dglucoceptolactone, dapat digunakan sebagai fluida pemboran. Selama komplesi pemboran, suatu logam polivalen seperti CaCl ditambahkan ke dalam fluida, dan kemudian proses setting diaktifkan. Teknik lain menggunakan sistem lumpur dengan polimer yang diaktifkan dengan radiasi, dan semen base - mud yang diaktifkan dengan panas. 12.9.8. Semen Ringan (Lighweight Cement). Pada penyemenan sumur minyak, biasanya tekanan hidrostatik yang berasal dari kolom semen tidak boleh melebihi tekanan rekah formasi pada semua titik pada bagian open hole. Bila tekanan kolom semen lebih besar, akan terjadi suatu rekahan, yang dapat menyebabkan semen hilang ke dalam formasi. Hal ini akan mengakibatkan adanya kolom semen yang kosong dan tidak dapat mendukung casing dengan sepenuhnya. Prosedur remedial dapat dilakukan untuk menanggulangi hal ini, tetapi proses ini selain makan banyak waktu, mahal,



System of Units



479



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



kemungkinan berhasil kecil dan secara kontinu akan melemahkan casing. Untuk formasi lemah seperti itu, perlu digunakan suspensi semen ringan. Bila menggunakan suspensi semen ringan, dapat dilakukan penyemenan pada zone-zone lemah dengan kemungkinan terjadi perekahan kecil. Pemakaian suspensi semen ringan juga mengurangi jumlah tingkat penyemenan yang terlibat. Bila hilang sirkulasi terjadi karena rekahan vertikal alami atau formasi bergua, suspensi semen ringan digunakan untuk menghindari hilangnya suspensi ke dalam formasi yang kosong atau menambah rekahan-rekahan yang telah ada. Extender yang normal cocok untuk suspensi dengan densitas 11,5 - 12 lb/gal, bila kurang dari itu air yang terpisah tidak akan hanya mempengaruhi sifat-sifat suspensi, tetapi juga kontinuitas kolom semen. Semen Berbusa (Foamed Cement). Semen berbusa adalah suatu sistem semen dimana nitrogen, sebagai medium yang menurunkan densitas, ditambahkan langsung kedalam suspensi untuk memperoleh semen ringan. Sistem ini memerlukan suspensi semen dengan formulasi khusus dan gas nitrogen untuk membuat suspensi semen ringan homogen.Gelembung-gelembung nitrogen yang masuk kedalam suspensi tidak akan hancur pada saat berfungsi menaikan tekanan hidrostatik, hanya ukurannya mengecil dan menempati volume yang lebih sedikit. Konsentrasi nitrogen di dalam suspensi semen berbusa dapat ditambah untuk mengkompensasi penurunan volume pada suatu tekanan. Satusatunya batasan kedalaman di mana semen berbusa digunakan adalah tekanan yang terjadi di kepala semen. Penggunaan semen berbuisa di lapangan memerlukan sumber gas (dapat berupa kompresor udara atau unit penguapan nitrogen cair) dan suatu surfactan untuk menstabilkan busa. Semen berbusa dapat digunakan untuk : 















480



Primary Cementing Zone Lemah Penggunaan ini merupakan penggunaan utama. Dalam hal ini, densitas semen berbusa dapat mencapai 6 lb/gal untuk mengurangi atau mengatasi loses selama penyemenan satu tingkat.Di Offshore, dimana dasar laut mengandung pasir mudah lepas dengan gradien rekah relatif rendah, merupakan keadaan lain dimana semen berbusa dapat digunakan. Mengatasi Hilang Sirkulasi Usaha-usaha untuk menyumbat rongga-rongga pada formasi seringkali gagal karena gravitasi menyebabkan suspensi dengan densitas lebih besar jatuh ke dasar rongga. Semen berbusa mempunyai sifat thixotropy, densitasnya cocok dengan densitas fluida di dalam rongga, dan hal ini dapat membantu mencegah pemisahan karena gravitasi dan memastikan semen telah diset. Squeeze Cementing Zone Kosong pada sumur-sumur kosong yang tidak dapat menahan sedikit kolom semen, squeezing dengan suspensi biasa hampir selalu sulit dan boros waktu, dan hasil yang memuaskan diperoleh setelah berusaha berkali-kali dan mahal. Isolasi Zone Suspensi semen, selama hidrasi dan setting, melalui suatu masa transisi dimana terjadi hilangnya tekanan hidrostatik, ketika volume air interstisial berkurang karena hidrasi kimia. Penurunan volume itu menyebabkan tekanan menurun secara drastis, karena air interestial pada suspensi semen tidak lagi mudah berpindah, pada saat suspensi semen System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB







2009



berada pada kondisi transisi.Hal ini dapat menyebabkan masuknya gas formasi dan aliran gas pada kolom semen yang menghidrat. Sifat mengembang semen berbusa memberikan jalan keluar dengan melawan penurunan volume air interstisial, sehingga membatasi masuknya gas atau fluida formasi lain. Insulasi PanasInsulasi panas penting pada injeksi uap, panas bumi dan sumursumur. Semen berbusa dapat menurunkan konduktivitas panas karena gelembung nitrogen tetah memasuki matriks.



12.9.9. Semen Untuk Suhu Tinggi (Thermal Cement) Thermal cement atau semen untuk suhu tinggi yaitu sistem semen Portland yang distabilkan dengan silika dan sistim semen khusus lain yang dapat mempertahankan retrograsi pada suhui tinggi. Semen Portland murni yang mengalami suhu di atas mempengaruhi sifat-sifat fisiknya. Hilangnya Compressive strength dan kenaikan permeabilitas terjadi pada setting awal, dan penurunan (deterioration) itu berlangsung terus selama eksposure sehingga disintegrasi keseluruhan dapat terjadi. Laju penurunan semen Portland dipengaruhi oleh suhu dan jumlah air pencampur dan aditif yang terdapat di dalam suspensi. Penurunan keseluruhan atau nol compressive strength telah ditemukan pada sistem-sistem semen yang diekspose pada suhu antara 450 - 600oF (232 - 316oC). Komponen utama semen Portland unheated adalah gel CSH. Pada suhu di atas 230oF (110oC), gel CSH akan berubah menjadi alpha dikalsium silikat hidrat, suatu fasa yang lemah dan porous. Reaksi ini makin cepat dengan naiknya suhu. Penambahan 30 sampai 40% silika kepada semen Portland akan mencegah terjadinya alpha-dikalsium silika hidrat. Pada suhu antara 230 sampai 300oF (110 dan 149oC) akan terbentuk mineral tobermorite, yang menyebabkan strength dan sifat-sifat permeabilitas gel CSH. Pada suhu yang lebih tinggi, akan terbentuk fasa lain yang bermanfaat yaitu Xonotlite. Retrograsi strength dapat dicegah dengan mengurangi perbandingan bulk line terhadap silika (C/S ratio) pada semen. Untuk itu, semen Portland sebagian diganti dengan kuarsa, biasanya sehalus pasir silika atau bubuk silika. Gambar 12.47 menunjukkan kondisi pembentukan berbagai senyawa kalsium silikat, yang banyak terjadi secara geologi. Perubahan terjadi a-C2SH pada 230oF (110oC) dapat dicegah dengan penambahan 35 sampai 40% silika (BWOC), menurunkan perbandingan C/S menjadi sekitar 1,0. Pada tingkat ini, mineral tobermorite (C5S6H5) terbentuk yang menyebabkan strength tinggi dan permeabilitas rendah. Bila suhu curing naik menjadi sekitar 300 oF (150oC), tobermorite akan berubah menjado xonotlite (C6S3H2) dengan penurunan minimal. Tobermorite kadang tahan sampai 482oF (250oC) pada semen Portland karena substitusi aluminium pada struktur latticenya.



System of Units



481



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.26. Pembentukan Mineral Pada Semen Bertemperatur Tinggi Untuk Berbagai Rasio CaO/SiO2 12.9.10. Semen Pencegah Migrasi Gas Fenomena aliran gas melalui kolom semen segera setelah penempatan adalah fenomena yang berbahaya, mahal dan sukar untuk dicegah. Laboratorium riset Dowell Schlumberger telah merekayasa suatu solusi dalam masalah gas channeling. Gas chanelling terjadi selama setting awal suspensi semen, pada saat penyemenan melalui zone gas bertekanan. Pada saat suspensi semen sedang disirkulasikan, sebagaimana fluida, suspensi semen menyebarkan tekanan hidrostatik yang sebanding dengan densitasnya dan densitas fluida yang terdapat diatasnya. Selama tekanan ini lebih besar dari pada tekanan gas formasi, gas tidak akan memasuki kolom semen (gambar 12.27). Tetapi, pada saat mulai menghidrat, suspensi itu tidak lagi berkelakuan seperti fluida. Pada keadaan transisi ini, suspensi akan mempunyai sifat seperti gel yang membuatnya sedikit self-suporting. Semen membentuk struktur yang menyatu dan partikel-partikel semen tidak lagi menyebabkan tekanan hidrostatik. Pada titik ini, tekanan hidrostatik awal yang berasal dari kolom fluida (lumpur dan semen), terperangkap di dalam ruang pori matriks semen.



Gambar 12.27. Tidak terjadi Masukan Gas 482



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Sampai saat itu belum terjadi gas channeling karena seluruh tekanan hidrostatik terperangkap di pori semen yang terisi air (gambar 12.28). Gas tidak dapat memasuki matrik selama tekanan pori semen tetap lebih besar dari pada tekanan formasi gas. Bila terjadi sedikit penurunan volume air pori (air mempunyai kompresibilitas sangat rendah), akan terjadi penurunan tekanan pori semen yang besar. Sebenarnya, selalu terjadi penurunan volume air pori karena adanya dua mekanisme yang terjadi selama hidrasi semen, yaitu : 1. Pengurangan volume air karena hidrasi semen 2. Pengurangan volume air karena hilangnya air kedalam formasi yang porous.



Gambar 12.28. Proses Keseimbangan Penurunan volume air selama hidrasi berasal dari air yang digunakan pada reaksi kimia yang diperlukan semen. Penurunan ini, ditambah dengan penurunan volume karena hilangnya air ke dalam formasi, sangat menurunkan tekanan pori semen. Pada saat tekanan pori menurun, semen masih sangat permeabel untuk gas karena strukturnya masih lemah. Hal tersebut merupakan saat di mana matriks semen mudah mengalami gas channeling. Tekanan pori semen telah turun menjadi di bawah tekanan formasi, tetapi semen belum memiliki compressive strength yang cukup untuk menghambat gas channeling (gambar 12.29). Bila gas memasuki matriks semen dan channel yang dibuat bertambah dan membesar, makin membesar pula biaya remedial. Masalah itu diperburuk oleh penyusutan kimia yang disebabkan oleh hidrasi, yang menyebabkan ikatan yang lemah antara semen dan formasi dan antara semen dengan casing. Masalah yang disebabkan gas channeling dapat menyebabkan perlu dilakukannya remedial atau squeeze cementing yang mahal, sampai sembur liar dan sumur harus ditinggalkan.



System of Units



483



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.29. Terjadi Masukan Gas Dari Formasi Yang Bertekanan Tinggi 12.9.11. Retarded Cement. Pada tahun 1969, masih terdapat banyak kesulitan untuk memperlambat (retard) semen kelas H untuk sumur-sumur dengan kedalaman lebih dari 14.000 ft. Api Committe 10 untuk Standardisasi semen pada tahun 1972 menetapkan spesifikasi sementara semen suhu tinggi khusus. Semen tersebut dikenal dengan kelas J. Selain itu dikenal pula semen yang disebut semen Hydrotermal setting atau semen HTS. 1. Komposisi Kimia.Semen hidrothermal setting dapat terdiri dari beberapa senyawa, - misalnya semen Portland, semen Portland dan bubuk silika, atau silika, lime dan air - yang bereaksi untuk membentuk kristalin silikat hidrat pada kondisi hidrotermal.Komposisi semen hidrothermal setting yang dijelaskan disini pada dasarnya terdiri dari bahan pengikat, pasir kuarsa dan kalsium hidroksida. Bahan pengikat tersebut adalah dikalsium silikat (b-2CaO.SiO2), salah satu mineral utama semen Portland.Tabel 12.13 menunjukkan analisis kimia, kehalusan dan spesifik gravity semen hidrotermal setting (atau HTS cement) dibandingkan dengan semen kelas H yang ditambah 60% bubuk silika.Dari hasil analisis kimia terlihat bahwa semen HTS sebenarnya sama dengan semen kelas H yang ditambahkan 60 % bubuk silika (SiO2). Tetapi, harus disadari bahwa semen HTS Mengandung senyawa-senyawa yang berbeda. Faktor utama adalah sejarah termal bahan pengikat dan kehalusan semen.Pada data tabel 12.14 menunjukkan bahwa semen HTS mempunyai thickening time dan compresive strength yang lebih baik dari pada semen kelas H plus 60% bubuk silika. Pada suhu biasa, semen HTS relatif tidak reaktif. Hasil Test ASTM C109 menunjukkan kubus semen HTS yang di cured pada 73oF (23oC) tidak menset dalam 9 hari. Walaupun curing diperpanjang hingga 28 dan 180 hari, strength spesimen mengembang sangat lambat, yaitu berturut-turut 200 dan 1.000 psi. Dilain pihak, pada kondisi hidrotermal, semen HTS yang dicampur dengan 43,5% air mempunyai 1.090 dan 4.290 psi pada waktu dites dengan API Schedule 7S (pada 260o/127oC dan 3.000 psi) selama 8 jam dan 7 hari. Pada kondisi test yang terakhir, strength yang besar pada semen HTS dihubungkan dengan pembentukan Tobermorite 11 A, suatu kalsium silikat hidrat (C5S6H5).



484



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 12.13. Analisa Kimia Untuk Semen Kelas-H Yang Dicampur Silika, dan Hydrothermal Cement



Tabel 12.14. Sifat Semen Kelas-H Yang Dicampur Silika dan Hydrothermal Cement



2. Spesifikasi Sementara Semen Kelas J Tahun 1972.Karena semen HTS dirancang sebagai formulasi yang tergantung pada suhu, sangat penting untuk diketahui bahwa semen tersebut hanya digunakan pada sumur-sumur dengan suhu statik dasar sumur sebesar 260oF (127oC) atau lebih. Pada sumur-sumur minyak, gas atau panas bumi, suhu tinggi dari bumi membuat terjadinya reaksi lime-silika pada semen HTS. Karena itu tidak diajurkan menggunakan semen HTS pada suhu dibawah 260oF (127oC), walaupun strength yang cukup (640 psi) terjadi pada 2309oF (110oC) setelah 24 jam, dan 2.650 psi setelah 3 System of Units



485



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



hari. Semen HTS dibuat tanpa retarder atau kalsium sulfat, tetapi memerlukan air dan kondisi batas hidrotermal untuk mengembangkan strength. Semen HTS dapat digunakan sebagai semen dasar untuk kedalaman 12,000 sampai 16.000 ft, dimana suhu pada kedalaman tersebut berkisar antara 260o sampai 320oF (127 sampai 160oC).Tabel 12.15 menunjukkan data perbandingan semen HTS dengan spesifikasi sementara kelas J. Terlihat bahwa semen HTS mempunyai thickening time dan compressive strength yang diperlukan lebih baik dengan batas keamanan yang memadai bila suspensi semen memiliki air 43,5% dari berat semen (12,91 gal/sak). Tabel 12.15. Sifat Semen Kelas-J, dan Hydrothermal Cement



3. Karakteristik Fisika Telah diketahui bahwa gipsum anhydrous pada semen Portland dapat mempunyai efek yang menurunkan unjuk kerja suspensi semen Portland. Keadaan anhydrous biasanya berwujud gel semen. Bila sifat gel tersebut terjadi diawal, hal itu akan menyebabkan masalah pada saat semen dicampur dengan air dipermukaan. Pembentukan Gel semen juga dapat terjadi di bawah, selama pemompaan, karena shoutdown atau break down.Dengan semen HTS, akan diperoleh pencampuran dan pemompaan suspensi dengan baik, karena tidak diperlukan gipsum pada formulasinya.Pada tabel 12.16 dan 12.16, dapat dilihat bahwa semen HTS dapat digunakan pada sumur dengan kedalaman 12.000 sampai 16.000 ft, bila dicampur dengan 43,5 air. Tabel 12.165. API-Schedule Untuk Berbagai Kondisi Siumur Dalam Pengujian Thickening Time



486



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 12.17. API-Schedule Untuk Berbagai Kondisi Sumur Dalam Pengujian Compressive Strength



12.9.12. Semen Khusus Lain-lain. Semen Khusus Untuk Sumur Bahan Kimia Buangan Isolasi zone merupakan yang terpenting pada sumur bahan kimia buangan. Bila tidak diisolasi dengan baik, fluida buangan akan mengkontaminasi lapisan air System of Units



487



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



tawar dan mengkorosi bagian luar casing. Untuk memastikan perawatan zone isolasi selama sumur digunakan, semen dan peralatan tubular yang digunakan didalam sumur harus tahan secara kimia terhadap fluida buangan. Casing yang tahan bahan kimia yang digunakan pada sumur itu termasuk poliester modifikasi, dan epoxy fibercast, atau campuran logam seperti Carpenter 20, incoly 825, dan Hastalloy G. Sistem semen dipilih menurut bahan buangan yang diinjeksikan. Semen Portland modifikasi biasanya tepat digunakan untuk sumur buangan dengan asam organik lemah, air kotor atau larutan yang mempunyai pH 6 atau lebih. Daya tahan semen ditingkatkan dengan menambahkan pozzolan, menaikan `densitas dengan menambahkan dispersant, atau menambahkan latices cair pada susppensi. Metoda-metoda itu banyak sekali menurunkan permeabilitas semen. Sistem semen Portland tidak cocok dengan asam organik kuat seperti sulfur, hidroklorik, dan nitrit. Untuk lingkungan itu, harus digunakan semen polimer organik, biasanya epoxy-base, untuk menghasilkan ketahanan yang cukup terhadap bahan kimia. Sistem itu disebut sebagai semen sintetis. Semen epoxy dibuat dengan mencampur resin epoxy seperti bisphenol-A dengan bahan pengeras. Tergantung pada sifat yang diinginkan, bahan pengeras yang digunakan bisa anhidrit, aliphatic amine atau polyamide. Suatu filler atau pengisi padat seperti bubuk silika sering digunakan untuk menambah densitas, dan sebagai heat sink untuk eksoterm yang terjadi selama cure. Tergantung pada suhu sumur statik dan sirkulasi, berbagai katalis dan akselerator dapat ditambahkan untuk mengontrol penempatan dan waktu setting. Sistem semen epoxy resin mempunyai ketahanan terhadap korosi, compressive strength dan shear bond strength tinggi. Sistem itu cocok dengan asam kuat dan basa (sampai 37% HCl, 60% H2SO4 dan 50% NaOH) pada suhu sampai 200oF (93oC) selama periode eksposure. Epoxy juga tahan terhadap hidrokarbon dan alkohol, tapi tidak tahan terhadap chlorinated organik atau aseton. Compressive strength antara 4.000 - 10.000 psi (56 - 70 MPa), dan shear bond strengthnya dapat mencapai sembilan kali lebih tinggi daripada semen Portland. Spacer non-aqueous digunakan untuk semua pekerjaan semen epoxy. Oil bergel, diesel atau alkohol menyingkirkan lumpur dan air dari pipa dan formasi, seperti juga pada semua permukaan oil-wet. 12.10. Teknik Penyemenan 12.10.1. Pendahuluan Keberhasilah suatu pekerjaan penyemenan merupakan fungsi dari kemampuan suatu team dalam pendesaian peralatan penyemenan, persiapanpersiapan yang harus dilakukan sebelum penyemenan. Selain masalah di atas teknik penyemenan (primary cementing) harus dilaksanakan secara tepat dan teknik penyemenan tersebut gagal maka penyemenan perbaikan (squeeze cementing) harus dilaksanakan, sehingga tercapai tujuan dari penyemenan tersebut. 12.10.2. Peralatan Penyemenan 12.10.2.1. Material Semen Material yang digunakan dalam kegiatan penyemenan terdiri dari :  Semen 488



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB











2009



Portland semen digunakan selama kegiatan sementing berlangsung. Bahan tersebut halus dan merupakan bubuk yang sangat reaktif. Portland semen biasanya disimpan dalam silo pada lokasi dimana akan dilakukan kegiatan penyemenan. Air Fresh water dipakai untuk menyemen sumur di darat, sedangkan sea water untuk sumur di lepas pantai. Kadang- kadang fresh water sering tidak berada dalam kondisi yang benar-benar fresh/murni, yang hal ini bisa juga mempengaruhi kemampuan dari sistem semen. Dry cement additives Jenis serta sifat-sifatnya ada pada tabel 12.18.



Tabel 12.18. Sifat Fisik Dari Berbagai Material



Liquid additive di lepas pantai liquid additive biasanya digunakan. Materialmaterial akan lebih kompatibel, karena peralatan pencampurnya memerlukan ruang yang lebih kecil. 12.10.2.2. Peralatan Permukaan Peralatan di permukaan terdiri dari : Mixer



System of Units



489



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Alat ini pada prinsipnya adalah mempertemukan cement slurry dan air dengan kecepatan yang sangat tinggi (sistem jet) melalui suatu venturi sehingga timbul aliran turbulensi yang menjadikan proses pencampuran menjadi sempurna.(gambar 12.30)



Gambar 12.30. Jet-Mixer Untuk Mencampur Semen dan Air Menjadi Suspensi Semen Pompa Semen Pompa semen dipakai untuk pemompaan bubur semen ke dalam sumur. Pompa yang biasa dipakai adalah pompa duplex double acting piston atau single acting triplex pluner pump. Plunger pump adalah biasa dipakai karena rate slurry yang keluar lebih seragam dengan tekanan yang cukup besar. Kadang-kadang pumping dengan recirculating mixer dijadikan satu dalam satu kesatuan tempat yang mudah dipindah-pindahkan. Ini disebut sebagai mobile cementing equipment. (gambar 12.31)



490



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.31. Pompa Plunger Yang Bisa Didapati Pada Penyemenan Plug Containers Plug container sebagai tempat top dan bottom cementing plug yang diletakkan di atas dan di bawah cement slurry. (gambar 12.32)



Gambar 12.32. Cementing Head Untuk Menyimpan Cement Waper Plug Sebelum Dilepas Casing Cementing Head Alat ini berfungsi sebagai media penghubung antara pipa penyemenan dari pompa semen ke casing dan sebagai tempat untuk menempatkan plug (top dan bottom plug). Dengan adanya casing cementing head ini maka lumpur dapat disirkulasikan oleh desakan bottom plug sampai ke dasar casing lalu diisikan bubur semen di atasnya sebelum pendesakan oleh top plug dimulai. (gambar 12.33)



System of Units



491



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.33. Cementing Head/Head Plug Conditioner Untuk Menyimpan Cement Wiper Plug Sebelum Dilepas 12.10.2.3. Peralatan Bawah Permukaan Peralatan penyemenan di bawah permukaan terdiri dari : Floating Equipment Alat ini terdiri dari guide shoe dan float collar. Guide shoe adalah peralatan yang dipasang pada ujung casing agar casing tidak tersangkut selama diturunkan. Guide shoe yang dilengkapi dengan penahan tekanan balik disebut float shoe.(gambar 12.34)



Gambar 12.34. Berbagai Float-Shod dan Float Collar Untuk Mencegah Aliran Balik Wiper Plug Wiper plug adalah plug yang dipakai untuk membersihkan dinding dalam casing dari lumpur pemboran. Plug ini dibagi menjadi dua yaitu top plug dan bottom plug. (gambar 12.35) 492



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Bottom plug berfungsi mendorong lumpur dalam casing sedangkan top plug dipakai untuk mendesak kolom semen dalam casing agar semen dapat ke tempat lokasi penyemenan.



Gambar 12.35. Wiper Plug Untuk Menyekat Tercampurnya Semen dan Lumpur Scratchers Adalah peralatan pembersih dinding lubang sumur dari mud cake sehingga semen dapat melekat langsung pada dinding formasi dan dapat menghindarkan channeling (lubang saluran diantara semen dan formasi). Cara pemakaian alat ini ada beberapa macam yaitu dengan cara diputar (rotating) atau dengan menarik turunkan (reciprocating). (gambar 12.36)



Gambar 12.36. Scratcher Untuk Membersihkan Dinding Lubang Sumur Centralizer Centralizer adalah alat untuk menempatkan casing tepat di tengah-tengah lubang sumur agar diperoleh jarak yang sama antara dinding casing dengan dinding lubang sumur. Pemasangan alat ini pada casing biasanya dengan cara dilas (welding).(gambar 12.37) Penempatan casing dalam lubang sumur sedapat mungkin terletak di tengah-tengah untuk menghindari terjadinya channeling.



System of Units



493



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.37. Centralizer Untuk Membuat Casing di Tengah-Tengah Landing collar. Berfungsi untuk menyekat dan menangkap liner wiper plug, mencegahnya naik kembali ke atas lubang, menyekat tekanan dari bawah dan mencegahnya berputar sewaktu pemboran keluar (drill-out). (gambar 12.38)



Gambar 12.38. Landing Collar Cementing Basket Cementing basket digunakan bersama-sama dengan casing atau lier pada titik dimana terdapat formasi yang porous atau lemah. Guna alat ini adalah agar cement slurry tidak bercampur dengan batuan formasi yang gugur. (gambar 12.39)



Liner Hanger 494



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Digunakan untuk menggantung liner dan dipasang pada bagian atas liner. (gambar 12.40)



Liner Packer Dipasang pada bagian atas liner sebagai penyekat antara liner dan selubung selama atau setelah penempatan semen.(gambar 12.41)



Gambar 12.39. Cement Basket Untuk Mencegah Suspensi Semen Melorot Jatuh Kebawah



Gambar 12.40. Liner Hanger System of Units



495



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.41. Liner Packer Packer Bore Receptacle Biasa disebut polished bore receptacle yang merupakan tabung yang berdinding tebal dengan gerigi dan diameter dalam yang licin dimana bagiandalamnya bisanya dilapisi dengan TFE untuk mencegah menempelnya semen ataupun material lainnya, sehingga mengurangi friksi dan korosi. (gambar 12.42)



Gambar 12.42. Packer Bore Receptackle Pack-off Bushing Biasa dimasukkan diantara setting tool dan bagian atas liner hanger sebagai penyekat antara setting tool dengan liner. Pack-off bushing ada yang drillable dan yang retrievable. Jenis drillable harus dibor kembali dengan bit atau mill. Retrievable biasa dipakai pada pemboran dalam, dapat merupakan bagian dari setting tool dan diambli kembali pada



496



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



waktu setting tool dipindahkan dari liner, sehingga dapat menghemat waktu pemboran ke luar. (gambar 12.43)



Gambar 12.43. Pack-off Bushing Pump Down Plug Dropping Head Dan Cementing Manifold Dihubungkan pada bagian atas pipa bor. Manifold digunakan untuk membantu pada waktu pemompaan lumpur dan semen ke dalam pipa bor dan menahan pump down plug sampai pump down plug dilepaskan di belakang semen. (gambar 12.44)



Gambar 12.44. Pump Down Plug Dropping Head Liner Wiper Plug



System of Units



497



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Ditempatkan pada bagian bawah setting tool. Pump down plug akan mengikuti semen sambil membersihkan semen pada liner wiper plug yang kemudian lepas dari setting tool karena tekanan pompa. Kedua pug ini lalu turun mengikuti semen smbil membersihkan liner sampai akhirnya tersangkut dan menempel pada landing collar. (gambar 12.45)



Gambar 4.45. Liner Wiper Plug



Liner Setting Tool Berfungsi untuk menghubungkan pipa bor dengan liner. Setting collar dan tie-back receptacle atau sleeve Biasa digabungkan menjadi satu alat.(gambar 12.46)



Gambar 12.46. Liner Setting Tool Liner Swivel Merupakan alat yang digunakan untuk liner yang tersangkut dalam lubang terbuka atau dalam lubang yang tidak lurus dimana hanger barrel sukar berputar. Dengan memakai alat 498



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



ini liner tidak akan ikut berputar, hanya liner hanger dan setting tool saja yang berputar. (gambar 12.47)



Gambar 12.47. Liner Swivel 12.10.3. Persiapan Penyemenan 12.10.3.1 Analisa Masalah Faktor-faktor yang perlu diperhatikan sebelum dilakukannya cementing adalah :  Data kedalaman/konfigurasi  Keadaan lubang sumur  Data temperature  Data Kedalaman/konfigurasi Data yang diperlukan adalah kedalaman vertikal, measured depth, ukuran casing (dan berat), ukuran open hole, jenisa string (liner dsb). Data kedalaman sangat penting karena berhubungan dengan temperatur, volume fluida, tekanan hidrostatik dan tekanan gesekan.



Keadaan Lubang Sumur Keadaan lubang seperti formasi yang over pressure, atau dengan gradien rekah yang rendah, gas, zone garam yang massive perlu diketahui.



Data Temperatur Peralatan bottom hole circulating temperatur (BHCT) dan Bottom hole static temperature (BHST) diperlukan untuk memperkirakan perbedaan serta distribusi temperatur di sepanjang lubang bor.



12.10.3.2 Seleksi Suspensi Semen Dalam mendesain suspensi semen perlu dipertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik semen tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain : System of Units



499



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Kedalaman, Temperatur Dan Tekanan Kolom Semen Dua hal yang sangat mempengaruhi karakteristik dari cement slurry pada dasar sumur adalah tekanan dan temperatur. Keduanya mempengaruhi penempatan dan thickening time bubur semen. Makin besar tekanan dan temperatur akan mengakibatkan tickening timenya semakin turun atau semen lebih cepat mengeras, juga akan menaikkan compressive strength dari semen. Tetapi pada 230°C atau lebih, compressive strength akan menurun. Penurunan compressive strength ini disebut dengan strength retrogression. Penyebabnya selain temperatur adalah WCR (water cement ratio) yang tinggi. (gambar 12.48)



Gambar 12.48. Perubahan Compressive Strength Akibat Penambahann Air Viskositas Dan Kandungan Air Semen Pada primary cementing slurry harus mempunyai viskositas atau konsistensi yang cukup agar pendesakan lumpur oleh semen lebih efisien sehingga menjadikan ikatan antara casing dengan formasi lebih baik. Pengaturan jumlah air yang akan dicampurkan tergantung dari ukuran partikel, luas permukaan partikel dan zat additive yang dipakai.



Thickening Time Tickening time adalah waktu yang diperlukan agar slurry mempunyai konsistensi 100 poise. Seratus poise ini adalah batas dimana slurry masih bisa dipompakan oleh sebab itu disebut pumpability. Dengan mengetahui pump ability suatu cement slurry maka kemungkinan terjadinya pengerasan semen dalam perjalanan dapat dihindari. Penambahan tekanan menyebabkan penurunan tichening time lebih cepat. (tabel 12.19)



Tabel 12.19. Efek tekanan Terhadap Thickening Time Tekanan (psi) 500



Penurunan thickening time System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2850 7100 11500



2009



5 – 20% 25 – 40% . – 50%



Compressive strength     



Strength semen harus memenuhi syarat-syarat teknis antara lain : mampu menahan casing di lubang sumur/ mengisolasi zona permeabel tidak pecah karena perforasi tidak berubah karena terkontaminasi dengan lumpur pemboran. Bila kandungan air kurang dari 37%, maka semen dalam keadaan tidak dapat



dipompakan (not pumpable) tetapi akan memberikan strength yang maksimum. Bila kandungan air lebih dari 37% maka semen akan berubah sifat dari not pumpable menjadi pumpable tetapi dengan compressive strength yang menurun. (gambar 12.49)



Gambar 12.49. Perubahan Thickening Time Akibat Temperatur dan Tekanan Densitas Semen Densitas semen dipengaruhi oleh kandungan air dan jumlah additive yang dipakai. Densitas semen selalu dibuat lebih besar dari densitas lumpur pemboran agar semen dapat mendorong lumpur dan juga mencegah terjadinya kontaminasinya semen oleh lumpur. System of Units



501



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Permeabilitas Semen Permeabilitas semen harus dibuat sekecil mungkin sebab semen dipakai juga sebagai penyekat (isolasi) zona-zona dibelakang casing agar tidak terjadi hubungan langsung antar zona. Air yang berlebihan pada campuran semen akan menyebabkan kantong-kantong air dalam campuran sehingga permeabilitas meningkat. Filtration Control Pada sumur dalam kemungkinan dijumpainya zone permeable lebih besar daripada sumur dangkal sehingga kemungkinan kehilangan filtratnya adalah lebih besar. Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya filtration loss antara lain: tekanan, waktu dan permeabilitas.



12.10.3.3. Cara Penempatan Suspensi Semen Pergerakan yang baik dari lumpur sangat penting agar cementing bisa berjalan dengan baik. Ada beberapa bagian dari semen yang tidak kompatibel dengan fluida pemboran, sehingga menyebabkan terbentuknya gel pada lumpur/permukaan semen dan mengurangi effisiensi dari pergerakan. Untuk itu fluida spacer dipompakan diantara lumpur dan semen. Pada beberapa kondisi, dimungkinkan menggunakan air. Untuk kondisi lain, dimana diperlukan keamanan sumur maka fluida spacer yang berat digunakan untuk memperbaiki tekanan hidrostatic ketika menembus suatu formasi. Spacers normalnya mempunyai densitas diantara densitas lumpur dan semen, karena gaya apung (buoyancy) memungkinkan masuknya lumpur pada proses pergerakan. Jenis dari spacer tergantung dari jenis lumpur, karakteristik aliran (plug, laminer atau turbulen), jenis formasi dan juga sifat dari cement slurry yang akan dialirkan. Fresh water base muds spacers digunakan untuk memindahkan fresh water base mud, juga salt tolerant spacers dipersiapkan untuk jenis salt saturated muds. Oil base mud dipindahkan dengan spacer yang mengandung surfactan dan atau larutan organik. 12.10.3.4. Kontrol dan Keamanan Sumur Untuk keamanan sumur dan perlengkapan yangberada di dalamnya maka kondisi-kondisi di lubang sumur seperti tekanan formasi harus diperhatikan karena hal ini berhubungan dengan perkiraan tekanan burst dan collapse yang akan diterima oleh tubular product seperti casing atai liner. 12.10.3.5. Simulator Algoritma telah dikembangkan untuk membuat simulasi secara akurat dari kegiatan sementing seperti kecepatan fluida di annular, tekanan yang aman dan kondisi lainnya. Manipulasi numerik diperlukan agar dimulasi secara akurat dari 502



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



fisik sumur selama pergerakan semen dapat diperoleh. Diperlukan komputer dengan kemampuan yang tinggi sehingga bisa diperoleh peningkatan efisiensi dari disain sementing.



12.10.4. Teknik Penyemenan Awal 12.10.4.1. Klasifikasi Casing Setelah suatu operasi pemboran minyak/gas mencapai kedalaman tertentu, maka segera dipasang casing guna memberi dinding yang kuat pada lubang bor, mengisolasi suatu zona dengan zona lain, menghindari terkontaminasinya air tanah oleh lumpur pemboran, mencegah keguguran dinding, membuat diameter lubang pemboran konstan serta menutup zona lost dan abnormal pressure. Berdasarkan fungsinya, maka casing dibagi menjadi empat jenis, yaitu : (gambar 12.50)



Gambar 12.50. Berbagai Jenis Casing Conductor Casing Conductor casing adalah casing yang pertama kali dipasang pada operasi pemboran. Ukuran casing berkisar antara 16" sampai 30" dengan letak kedalaman maksimum sekitar 150 ft. Fungsi conductor casing antara lain: a. Untuk melindungi lubang dari gugurnya formasi yang lunak di dekat permukaan karena akan tererosi oleh lumpur, jika tanah disekitar cukup kuat dan keras maka tidak perlu dipasang. b. Untuk melindungi drill pipe dari air laut yang korosive dan sebagai tempat sirkulasi lumpur bor pada pemboran di lepas pantai. Surface Casing System of Units



503



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Surface casing adalah casing yang dipasang setelah conductor casing dan disemen hingga ke permukaan. Fungsi dari surface casing adalah : a. Mencegah kontaminasi air tanah oleh lumpur pemboran. b. Sebagai tempat pegangan (fondasi) bagi BOP. c. Menahan berat casing string yang berikutnya. Intermediate Casing Suatu sumur bisa mempunyai lebih dari satu intermediate casing tergantung dari kondisi geologis dan kedalamnnya. Pemasangan intermediate casing bertujuan untuk menutupi zona-zona yang mengganggu selama berlangsungnya operasi pemboran, seperti sloughing shale, lost circulation, abnormal pressure, kontaminasi dan sebagainya.



504



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Production Casing Production casing adalah casing terakhir yang dipasang pada formasi produktif. Kadang-kadang production casing tidak dipasang sampai ke permukaan karena alasan biaya agar lebih murah. Hal ini menggunakan liner production casing. Fungsi dari production casing adalah : a. Memisahkan zona gas, zona minyak dan zona air, pada formasi produktif. b. Memelihara agar lubang tetap bersih. c. Melindungi alat-alat produksi di bawah permukaan misalnya pompa, packer dan lain-lain. 12.10.4.2. Prosedur Penempatan Semen Prinsip operasi penyemenan ini adalah menempatkan adonan semen (cement slurry) ke dalam annulus antara selubung dan lubang sumur, dengan cara mensirkulasikan adonan semen tersebut melalui selubung kemudian melalui casing shoe dengan menggunakan dua buah plug (top dan bottom plug). Oleh karena itu primary cementing ini disebut juga casing cementing.(gambar 12.51) Agar diperoleh hasil yang maksimal dalam primary cementing maka beberapa prosedur dibawah ini sebaiknya dilakukan yaitu : 1. Mengkondisikan lubang sumur, antara lain dengan reaming yaitu pemboran kecil pada lubang yang telah ada untuk memperlebar sedikit lubang atau meratakan dinding lubang pemboran. 2. Mengkondisikan lumpur dengan cara mengalirkan lumpur pada saringan agar terlepas semua cuttingnya. Selain itu viskositas dan gel strength dijaga supaya rendah, juga water lossnya harus rendah. 3. Memasang guide shoe dan float collar. loat collar sebaiknya dipasang 30 ft diatas guide shoe untuk mencegah pendorongan yang berlebihan (over displacement) pada cement slurry dan agar diperoleh cement slurry yang baik disekitar casing shoe. 4. Memasang scratcher terutama untuk zona-zona permeabel guna menghilangkan mud cake.



Gambar 12.51. Teknik Primary Cementing



System of Units



505



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



5. Memasang centralizer agar casing terletak di tengah- tengah lubang. Lokasi pemasangan ditentukan dengan log dan spacingnya diatur sekitar 60 - 90 ft. 6. Memakai adonan semen dengan densitas sedikit lebih besar dari densitas lumpur mula-mula. Hal ini untuk mencegah blow out, lost circulation dan over displacement. Semen yang dipilih harus sesuai dengan tekanan dan temperatur formasi. 7. Memakai caliper log untuk mengukur diameter lubang pemboran agar volume cement slurry bisa dihitung dengan tepat, lalu ditambahkan sekitar 15-25% volume untuk keamanan (safety). Bila dalam penentuan diameter lubang tidak dipakai caliper log, maka untuk safety biasanya lebih besar yaitu sekitar 50100%. 8. Menggunakan top plug dan bottom plug. 9. Memutar dan menggerak-gerakkan casing selama pendesakan adonan berlangsung, lanjutkan sampai top plug menyentuh float collar yaitu selesai pendesakan bubur semen. 10. Setelah penempatan semen selesai, periksa permukaan fluida di annulus. Annulus harus selalu penuh dengan fluida. 11. Casing dijaga dalam keadaan tension pada saat penyemenan. Setting time dapat diatur sesuai dengan kondisi yang ada. 12. Melakukan pressure test pada penyemenan tersebut sebelum pemboran dilanjutkan kembali.



Ada beberapa macam teknik penempatan adonan semen ke dalam annulus di belakang casing pada primary cementing, antara lain :  Cementing Through Casing  Stage Cementing  Inner String Cementing  Outside or Annulus Cementing  Multiple String Cementing Cementing Through Casing Cementing through casing disebut juga penyemenan normal, yang biasa dilakukan pada conductor, surface, intermediate dan production casing. Penyemenan ini dilakukan dengan metode satu tingkat (single stage method) yang dilakukan dengan memompakan adonan semen melalui casing shoe dan memakai top dan bottom plugs (gambar 12.52). Ketika top plug mencapai bottom plug terlihat kenaikan tekanan pompa yang tiba-tiba di permukaan. Kenaikan tekanan yang tiba-tiba ini bisa dipakai sebagai indikator bahwa pendesakan adonan semen telah selesai.



506



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.52. Proses Top-Plug Sampai Pada Bottom Plug Stage Cementing Stage cementing atau penyemenan bertingkat adalah penyemenan yang dilakukan dalam dua atau tiga bagian. Teknik ini terutama dilakukan pada production casing dari sumur-sumur yang dalam atau dilakukan bila formasinya lemah sehingga dikhawatirkan tidak mampu menahan tekanan kolom semen, sehingga terjadinya lost circulation dapat dihindari. Pada stage cementing ini dipakai peralatan tambahan yang disebut "float collar" (gambar 12.53), yaitu alat yang bisa membuka pada saat semen slurry pertama ditempatkan di dalam sumur dan menutup pada saat semen slurry kedua akan ditempatkan di atas slurry pertama. Mekanisme pendesakan dapat dilihat pada gambar 12.54.



Gambar 12.53. Float Collar



System of Units



507



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.54. Proses Stage Cementing Inner String Cementing Bila diameter casing yang akan disemen berukuran besar, maka penyemenan dapat dilakukan dengan memakai tubing atau drill pipe. Prosedur ini dapat memperkecil waktu penyemenan dan volume adonan semen yang dibutuhkan. Cara penyemenannya adalah dengan menggantung selubung beberapa feet dari dasar sumur kemudian adonan semen dimasukkan melalui tubing yang ujungnya sampai ke level casing shoe dengan fluida pendorong air. Annulus antara tubing dan selubung dipasang packer. (gambar 12.55) Ada dua metode dalam pemasangan packer ini yaitu bottom packer method bila packer dipasang pada annulus tubing- casing pada bagian bawah dan top packer method bila packer dipasang pada annulus tubing casing bagian atas dan diisi air.



Gambar 12.55. Inner String Cementing Outside or Annulus Cementing Outside atau Annulus Cementing adalah metode penyemenan dengan menggunakan pipa ukuran kecil (tubing) melalui ruang annulus antara casing 508



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



dan lubang sumur. Cara ini biasa dilakukan pada conductor casing atau surface casing. Kadang-kadang annulus cementing ini dipakai juga untuk pekerjaan perbaikan casing yang rusak. Casing akan mengalami kerusakan bila gas tekanan tinggi bersama-sama pasir dari lingkungan di sekitarnya bersentuhan langsung dengan selubung sehingga selubung harus diperbaiki dengan penyem,enan melalui annulus. Metode ini bisa juga dipakai untuk mencegah lost circulation (kehilangan semen) lebih lanjut ke dalam formasi yang lemah. Metode ini dilakukan bila penyemenan pada zona lemah telah selesai dan ditunggu sampai mengeras setelah itu baru melakukan operasi penyemenan melalui annulus di atasnya.(gambar 12.56).



Gambar 12.56. Outside Cementing Cementing Multiple String Cementing Multiple String adalah penyemenan banyak string pada formasi produktif dimana masing-masing string dilubangi (perforation) untuk mengalirkan fluida produktif ke permukaan. Hal ini dilakukan karena metode single atau konvensional komplesi secara ekonomis tidak bisa dilakukan. Proses penyemenan masing-masing string biasanya dilakukan satu demi satu dimana string yang pertama kali dipasang adalah yang paling panjang. (gambar 12.57)



Gambar 12.57. Multiple String Cementing



System of Units



509



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan multiple string cementing adalah :  Mengkondisikan lubang sumur dan mengkondisikan lumpur pemboran.  Merancang semen slurry seperti pada pekerjaan primary cementing. String atau pipa yang akan disemen harus dapat dipakai untuk komplesi dimasa yang akan datang. Selama penyemenan string harus digerak-gerakkan naik turun (reciprocating). Semen slurry harus mampu melewati ruang terkecil diantara string-string yang ada dalam lubang sumur. Tiap-tiap string dipasang plug-landing collar pada 15 sampai 25 ft di bawah interval zona produksi. 12.10.4.3. Liner Untuk mengurangi biaya pada oprasi pemboran dalam, maka dipakai liner untuk mengganti rangkaian selubung penuh. Liner ini sendiri sama seperti selubung akan tetapi pendek dan digantung pada selubung atau liner diatasnya. Sebagaimana selubung, liner ini juga harus disemen. Kesulitan pada penyemenan ini terutama karena kecilnya annulus disekitar liner, sehingga perpindahan lumpur pemboran menjadi kurang baik. Untuk memperbaikinya digunakan beberapa metode menggerakkan liner, seperti menggerakkan naik turun (reciprocating) dan memutar (rotation) liner pada waktu menyemen.(gambar 12.58) Prosedur penurunan dan penyemenan liner secara umum adalah sebagai berikut : 1. Sebelum diturunkan ke dalam sumur, batang-batang liner terlebih dahulu disambung di meja putar. 2. Liner hanger dipasang di atas liner. 3. Liner diturunkan ke dalam sumur dengan memakai pipa bor yang diikat dengan liner. 4. Batang-batang pipa bor ditambah di permukaan dan liner yang lengkap diturunkan ke dalam sumur. Kecepatan penurunan liner bila berada di dalam selubung dapat dilakukan sekitar 1 - 2 menit per batang dan 2 - 3 menit per batang bila berada di dalam lubang terbuka. 5. Kalau liner sudah berada pada kedalaman yang diinginkan, tetapi sebelum penggantung diset, terlebih dahulu lumpur pemboran disirkulasikan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya sirkulasi sebelum liner digantung. 6. Penggantung diset kalau operasi penyemenan telah memungkinkan. 7. Semen dipompakan ke dalam sumur. 8. Penurunan pada indikator berat permukaan akan menunjukkan bahwa operasi penyemenan telah selesai. 9. Pipa bor dicabut 4-10 batang atau di atas semen, dan untuk mencegah migrasi gas maka tekanan di atas semen ditahan sampai semen mengeras. 10. Pipa bor dikeluarkan dari sumur. 11. Setelah waiting on Cement telah tercapai kemudian semen yang berlebih dibor keluar.



510



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.58. Liner Cementing 12.10.4.4 Teknik Penyemenan di Offshore Prinsip penyemenan di offshore sama pada penyemenan sumur di darat hanya saja diperlukan modifikasi dari peralatan yang dipakai untuk penyesuaian dengan pekerjaan yang harus dilakukan pada tempat yang terbatas di tengah laut. Misalnya Pneumatic Bulk Handling System yang merupakan satu unit peralatan terdiri dari bulk material, alat pencampur (mixer) dan pompa yang bisa dipindah-pindahkan dengan mudah (gambar 12.59)



Gambar 12.59. Penyemenan di Laut System of Units



511



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



12.10.4.5. Batasan Operasional Perencanaan adalah dasar dari kesuksesan suatu penyemenan awal. Mula-mula harus harus diketahui secara akurat kondisi lubang sumur sebelum dilakukan cementing. Perhitungan Volume dari lubang bor harus diketahui dengan pasti, yang hal ini bisa diketahui dengan menggunakan caliper log. Jika tidak tersedia data caliper log maka volume semen yang dipersiapkan adalah leih besar dari 50-100% dari volume lubang sumur yang telah diketahui sebelumnya. Jika data volume didapatkan dari caliper log maka volume semen yang disiapkan lebih kecil daripada jika tnpa menggunakan caliper log (15-25% lebih besar dari volume lubang sumur). Kondisi Lubang Keadaan dari lubang sumur seperti lost circulation, hole washouts harus diketahui agar bisa didesain semen yang sesuai dengan kondisi lubang tersebut. Lumpur pembortan harus didesain agar kegiatan sementing bisa berjalan dengan baik. Temperatur Mengetahui Bottomhole Circulating Temperature (BHCT) adalah sangat vital. Waktu pemompaan cement slurry adalah fungsi dari temperatur lubang sumur.Temperatur juga bisa merubah sifat rheology semen dan lumpur, seperti rejim aliran, efek tabung U, dan juga tekanan gesekannya. Temperatur bisa diketahui dengan logging, circulating temperature probes atau dengan simulasi matematika dari sirkulasi temperatur. Tekanan Perlu diketahuinya tekanan dasar sumur adalah untuk kontrol sumur dan juga suksesnya kegiatan penyemenan awal. Densitas dari slurry ditentukan untuk mengontrol sumur dan juga menset kekuatan semen. Densitas yang terlalu tinggi akan mengakibatkan formasi menjadi retak dan juga akan terjadi lost circulation. Quality Control Program quality control dilakukan dengan cara melakukan pengetasan material-material yang akan digunakan dalam kegiatan sementing. Kegiatan ini bisa dilakukan di laboratorium dengan kondisi-kondisi yang sama dengan sumur yang akan disemen. Pergerakan Casing Pergerakan casing seperti reciprocating (naik turun), rotation (memutar), atau keduanya akan meningkatkan kualitas dari proses sementing. Pergerakan casing akan memecahkan daerah kosong di lumpur yang akan mengakibatkan timbulnya cement channeling. Cement Job Monitoring Merekam parameter-parameter kritik selama sementing adalah sangat penting. Mengetahui secara tepat tekanan, rate slurry, dan juga densitas selama



512



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



kegiatan sementing akan berguna untuk evaluasi ataupun mengoptimalkan disain sementing untuk waktu yang akan datang. 12.10.5. Teknik Penyemenan Perbaikan 12.10.5.1. Teori Squeeze Cementing Squeeze cementing secara umum dapat dikatakan sebagai suatu proses dimana bubur semen (cement slurry) didorong dibawah tekanan sampai pada titik tertentu di dalam sumur untuk maksud-maksud perbaikan. Salah satu persoalan yang paling utama pada sumur minyak adalah mengisolasi air dibawah lubang sumur. Persoalan diselesaikan dengan mempergunakan bubur semen dan tekanan squeeze. Sekarang yang paling umum pemakaian dari pada squeeze cementing adalah memisahkan zone penghasil hidrokarbon dari zone yang menghasilkan fluida lainnya. 12.10.5.2. Teknik Penempatan Squeeze Cementing Untuk menyelesaikan tujuan dilakukannya squeeze cementing diatas hanya dibutuhkan volume semen yang relatif kecil, tetapi harus ditempatkan pada titik yang tepat didalam sumur. Kadang-kadang kesulitan utama adalah membatasi semen terhadap lubang bor. Untuk itu diperlukan perencanaan yang baik terutama perencanaan bubur semen (cement slurry) dan pemilihan tekanan dan penggunaan metode/teknik yang digunakan untuk berhasilnya pekerjaan. Dua cara yang umum dikenal untuk penyelesaian penyemenan untuk perbaikan yaitu : 1. Teknik tekanan tinggi. Teknik ini mencakup perekahan formasi dan pemompaan bubur semen kedalam rekahan hingga tekanan tertentu tercapai dan terlaksana tanpa kebocoran (bleed off). Biasanya digunakan semen bersih (dengan fluid loss yang sangat tinggi). Teknik ini mempunyai beberapa kerugian, hal mana diatasi dengan teknik tekanan rendah. 2. Teknik tekanan rendah atau lebih dikenal dengan nama teknik "semen fluid loss rendah". Teknik ini mencakup penempatan semen diatas interval perforasi dan memberikan tekanan yang cukup membentuk filter cake dari semen yang didehidrasi didalam perforasi dan didalam saluran-saluran atau rekahan- rekahan yang mungkin terbuka pada perforasi tersebut. Semen dengan fluid loss rendah (50 - 200 cc API) dan fluida 'clean work over" harus digunakan. Tingginya tekanan squeeze pada teknik tekanan tinggi menyebabkan rekahnya formasi, ini perlu diperhitungkan terutama pada saat mana rekahnya formasi tidak diinginkan. Oleh karena itu teknik tekanan tinggi kurang menguntungkan dan sering digunakan teknik tekanan rendah, dengan mengontrol kehilangan filtrasi sangat rendah.Tekanan squueze yang tingi, yang mula-mula dianggap perlu untuk squeeze, sekarang ini tidak dilakukan lagi karena telah digunakan semen dengan pengontrolan laju filtrasi (controlled filtration rate cement). 3. Bradenhead Placement Technique (No Packer). Dalam metode ini semen dipompakan ke dalam casing melalui tubing atau drillpipe dengan tidak memakai packer, mendesak fluida sumur masuk ke annulus. (gambar 12.60)



System of Units



513



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.60. Penempatan Semen Langsung (Bradenhead Method) Metode ini dipakai secara luas pada squeezing sumur- sumur dangkal, untuk penyumbatan sumur dan kadang-kadang dipakai pula dalam menutup zona lost circulation selama operasi pemboran. 4. Squeeze Tool Placement Technique. Teknik ini dibagi dalam dua bagian yaitu metode retriaveble squeeze packer dan drillable cement retainer. Pada metode retriaveble squeeze packer, digunakan packer yang bisa diangkat kembali, sedangkan pada driiable cement retainer digunakan packer yang tetap. Packer ini dipasang pada tubing sedikit diatas puncak zone yang akan disqueeze. Metode ini lebih baik daripada metode bradenhead karena metode ini membatasi tekanan pada suatu titik tertentu dari sumur. 5. Running Squeeze Pumping Methods. Selama dilakukannya running squeeze, cement slurry dipompakan secara kontinyu sampai tercapai tekanan squeeze yang diinginkan (bisa dibawah atau diatas tekanan rekah) tercapai. Sesudah pemopaan dihentikan, tekanan dimonitor, jika tekanan masih dibawah yang dikehendaki maka perlu dipompakan lagi cement slurry untuk menaikkan tekanan. 6. Hesitation Methods. Metode ini mencakup penempatan semen dalam tahapan tunggal, tetapi membagi-bagi penempatan semen alternatif pemompaan/periode menunggu bergantian. Keuntungan memakai metode hesitasi adalah bahwa cara ini cenderung meningkatkan pengontrolan pengumpulan padatan semen terhadap formasi. Kecepatan pengumpulan ini diperoleh sebagai aturan umum untuk segera menyelesaikan pekerjaan squeeze secara menyeluruh dengan berhasil.(gambar 12.61)



514



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.61 12.10.5.3. Test Injeksi Tes injeksi dilakukan dengan alasan :  Untuk memastikan bahwa perforasi telah terbuka dan siap untuk dimasuki fluida.  Untuk mendapatkan perkiraan rate injeksi cement slurry.  Untuk memperkirakan tekanan ketika dilakukannya squeeze.  Memperkirakan banyaknya slurry yang digunakan. Tes injeksi dilakukan dengan cara memompakan fluida (air atau mud flush) ke dalam sumur. Asam harus diinjeksikan jika terdapat matriks. 12.10.5.4. Disain dan Persiapan Suspensi Semen Compressive Strength (kekuatan tekan). Compressive strength dari semen tidak selalu merupakan faktor penting pada perencanaan bubur semen. Semen dengan kekuatan tekan 24 jam dari 500 sampai 1000 psi akan menyumbat perforasi dengan baik. Dari segi teknis, strength semen harus memenuhi syarat-syarat : menahan pipa di lubang, mengisolasi zone permeabel, menahan rekahan-rekahan permukaan pada zone yang diinginkan. WOC time (waiting on cement). Waktu menunggu pengerasan semen (WOC) ditentukan oleh faktor temperatur sumur, tekanan, ratio air-semen (WCR), compressive strength, retarder dan lainnya. Dalam pengalaman di lapangan, waktu yang dibutuhkan adalah 4 - 12 jam umumnya terlaksana antara perawatan (treatment) squeeze atau setelah tekanan squeeze akhir dicapai. Water Cement Ratio (WCR). Jika air yang diberikan kurang dari minimum maka friksi diantara annulus bertambah dan ini jika ditambah dengan tekanan hidrostatik semen akan dapat menyebabkan formasi rekah. Juga dengan sedikitnya air, maka kehilangan air walaupun sedikit di tubing collar sewaktu squeeze dapat menyebabkan semen terhenti pada formasi permeabel yang lebih dekat ke sumur. Tetapi pekerjaan plug back diperlukan WCR minimum



System of Units



515



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



agar strength maksimal atau dalam menutup formasi-formasi bertekanan tinggi, dimana SG dengan WCR rendah akan dapat meningkat. Densitas. Umumnya densitas semen dibuat hampir sama dengan densitas lumpur. Fluid Loss Control. Fluid loss pada semen murni sangat besar, jika semen slurry murni bertemu dengan zone permeabel dimana mud cake telah hilang. Umumnya fluid loss menurut API adalah :  200 ml/30 min untuk formasi yang sangat permeabel  100 - 200 ml/30 min untuk formasi low permeable  35 - 100 ml/30 min untuk formasi high permeability Volume Slurry. Volume dari cement slurry tergantung dari panjang interval yang akan disemen dan juga teknik penyemenan yang akan digunakan.Pada low pressure squeeze hanya diperlukan slurry untuk membentuk filter cake semen pada setiap saluran perforasi. Untuk high pressure squeeze, yang dilakukan pada formasi yang rekah diperlukan volume slurry yang lebih besar. Smith menyebutkan beberapa rule of thumb :  Volume tidak boleh melebihi kapasitas running string  Dua sacks semen digunakan untuk interval perforasi sepanjang satu feet.  Minimum volume adalah 100 sacks jika rate injeksi adalah 2 bbl/min yang dapat dicapai sesudah break down, sebaliknya harus 50 sacks. Viskositas Slurry. Slurry dengan viskositas yang rendah akan bisa menembus lubang/rekahan yang kecil. Spacers dan Washes. Ada dua faktor yang akan membuat berhasilnya proses cementing yaitu :  Pembersihan dari perforasi dan ruang disekitarnya dari padatan yang dibawa oleh fluida atau lumpur pemboran.  Menghindari kontaminasi pada cement slurry, yang akan mengakibatkan berubahnya sifat slurry seperti fluid loss, tickening time dan juga viskositasnya. Biasanya kontaminasi cement slurry dihindari dengan cara memompakan spacer air diatas dan dibawah semen. Bisa juga dengan menggunakan chemical wash atau larutan asam lemah yang diletakkan diatas slurry, dimana dipisahkan oleh fluida yang kompatibel. 12.10.5.5. Prosedur Pelaksanaan Squeeze Prosedur pelaksanaan squeeze yang umum dilakukan adalah : 1. Zone yang akan disemen diisolasi dengan menggunakan retrievable packer atau dengan drillable bridge plug. 2. Perforasi dibersihkan dengan menggunakan perlengkapan pencuci perforasi, atau dibuka kembali dengan teknik "back surging". 3. Peralatan pencuci perforasi diangkat dan jika metode drillable squeeze packer dipilih maka dipasang peralatan circulating valve. 4. Menempatkan peralatan ke dalam sumur sampai pada kedalaman yang diinginkan. 5. Semua pipa atau casing ditest dan formation breakdown ditentukan.



516



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



6. Dengan membiarkan circulating valve terbuka di atas retainer, fluida spacer dimasukkan ke dalam pipa yang diikuti oleh slurry kemudian spacer yang kedua, dan akhirnya oleh lumpur yang cukup untuk memasukkan setengah dari fluida spacer yang pertama ke dalam annulus. 7. Circulating valve ditutup dan formasi disqueeze. 8. Bila tekanan squeeze telah dicapai, maka tekanan tetap ditahan beberapa menit. Bila formasi tidak pecah atau valve tidak bocor, tekanan dapat dihentikan, circulating valve dibuka dan kelebihan slurry dikeluarkan. 9. Jika kelebihan slurry tidak dapat dikeluarkan, maka semua peralatan sebaiknya dicabut keluar. Operasi dengan retrievable packer hampir sama dengan drillable packer hanya alat yang dipasang dapat dilepas kembali untuk digunakan pada operasi lainnya. 12.10.5.6. Aplikasi Squeeze Cementing Proses squeeze cementing telah digunakan secara luas untuk maksud-maksud : 1. Mengisi saluran perforasi atau saluran dibelakang casing dengan semen untuk memperolwh kerapatan antara casing dan formasi. 2. Untuk mengontrol GOR yang tinggi. 3. Untuk mengontrol air atau gas yang berlebihan. 4. Untuk memperbaiki kerusakan casing. 5. Menutup zona lost circulation. 6. Untuk melindungi zone produksi dari migrasi fluida. 7. Mengisolasi zone produksi secara menyeluruh dan permanen. 8. Memperbaiki pekerjaan primary cementing yang rusak. 9. Mencegah migrasi fluida dari zone-zone atau sumur- sumur yang ditinggalkan (abandoned). 12.10.5.7. Evaluasi Squeeze Cementing Dua gejala yang sering menyebabkan hasil penyemenan menjadi tidak sempurna adalah timbulnya "channeling" dan "micro annulus". Channeling adalah gejala yang timbul bila semen berhasil menempati ruang annulus tetapi tidak seluruhnya mengelilingi selubung dan mengisi penuh ruang annulus. Sedangkan micro annulus merupakan rongga kecil yang terbentuk antara selubung dengan semen atau antara semen dengan dinding formasi. Gejala tersebut menyebabkan kualitas ikatan (bounding) semen menjadi jelek. Jenis-jenis tes yang dilakukan untuk mengevaluasi squeeze cementing adalah : Acoustic Log Jika tujuan squeeze untuk memperbaiki primary cementing maka normal cement log dirun untuk mengevaluasi hasil dengan cara membandingkan hasil log sebelum dan sesudah dilakukan squeeze. Radioactive Tracers Material radioaktif ditambahkan ke dalam cement slurry dan dengan survey tracer (penjejak) bisa diindikasikan apakah semen berada di tempat yang diinginkan.



System of Units



517



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Kekerasan Semen Suman dan Ellis(1977) menyatakan bahwa didalam kegiatan squeeze dimana semen dibor, merupakan indikasi berhasil atau tidaknya penyemenan dengan mengamati cutting semen tersebut. Jika cutting semen tersebut keras maka menandakan bahwa hasil squeeze baik, jika tidak keras atau ada ruangan maka mengindikasikan bahwa squeeze gagal. Profile Temperatur Goolsby(1969) mengevaluasi hasil squeeze pada sumur injektor air dengan cara membandingkan antara profile temperatur sebelum dan sesudah dilakukannya squeeze. 12.10.5.8. Penyebab Kegagalan Cement Slurry Menembus Pori Batuan Hanya campuran air dan substansi yang terlarut menembus pori, ketika padatan terakumulasi di permukaan formasi dan membentuk filter cake. Dibutuhkan permeabilitas yang lebih besar dari 100 Darsi agar butiran semen bisa menembus matrik batuan pasir. Hanya ada satu jalan slurry menmbus formasi yaitu melalui rekahan atau melalui lubang yang besar. Tekanan tinggi yang diperlukan untuk mendapatkan squeeze yang baik. Jika tekanan rekah formasi diperbesar, akan terjadi kehilangan kontrol dari penempatan slurry, dan slurry akan memasuki daerah yang tidak diinginkan. Tekanan tidak akan menolong menempatkan slurry pada semua lokasi yang diinginkan.



Plugged Perforations Adanya mud cake, debris, scale paraffin, pasir formasi dan lain sebagainya dapat terakumulasi di lubang perforasi sehingga menyebabkan lubang perforasi tertutup. Goodwin (1984) menyatakan bahwa pada sumur produksi, perforasi pada bagian atas selalu terbuka sedangkan pada bagian bawah tertutup. Squeezing dengan kondisi seperti itu akan mengakibatkan kegagalan, karena fluida formasi masih tetap mengalir melalui formasi yang tertutup tadi (plugged perforations). Lokasi Packer Yang Tidak Tepat Packer diset terlalu tinggi diatas perforasi, cement slurry menjadi terkontaminasi seperti fluida komplesi. Sifat slurry seperti fluid loss, thickening time dan viskositas akan berubah oleh kontaminasi tersebut dan penempatan slurry akan berubah. Shryock dan Slagle (1968) merekomendasi bahwa squeeze packer diset tidak lebih dari 75 ft (23 m) diatas perforasi. Suman dan Ellis (1977) merekomendasi bahwa packer diset diantara 30 dan 60 ft dari perforasi.



High Final Squeeze Pressure 518



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tekanan akhir yang tinggi tidak akan menaikkan tingkat keberhasilan; akan tetapi sebaliknya akan meningkatkan kemungkinan merekahnya formasi, dan hal ini akan menghilangkan kontrol pada waktu penempatan semen. 12.10.5.9. Teknik Penempatan Penyekat (plug) Cement Plug adalah menempatkan cement slurry dengan volume yang relatif kecil di dalam lubang sumur yang bertujuan untuk :  Menutup sumur  Mencegah lost circulation selama operasi pemboran  Untuk sidetrack (tempat pembelokan) pada permulaan dilakukannya pemboran berarah.  Menyediakan tempat untuk tes openhole  Ada tiga teknik untuk penempatan cement plugs :  Balanced plug  Dump bailer  Two-plug method Balanced PlugUmumnya teknik penempatan plug menggunakan metode ini. Tubing atau drillpipe diturunkan ke dalam lubang sumur pada kedalaman yang telah ditentukan untuk dilakukannya penyekatan. Spacer atau bahan kimia dipompakan didepan dan dibelakang dari semen untuk melakukan pembersihan lubang agar tidak terjadi kontaminasi semen oleh lumpur. Cement slurry tadi dipompakan sampai ketinggiannya sama antara diluar dan didalam string. Kemudian tubing atau string tadi ditarik dengan pelan ke atas, meninggalkan cement slurry pada lokasi yang ditentukan. Metode ini sangat sederhana denagn tidak membutuhkan peralatan yang khusus, hanya menggunakan unit cementing services. (gambar 12.62)



Gambar 12.62. Metoda Penempatan Semen Dengan Cara Balanced Plug



System of Units



519



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Dump Bailer MethodMetode ini biasanya digunakan untuk kedalaman yang dangkal; tetapi jika komposisi semen ditambah dengan retarder maka bisa digunakan sampai kedalaman 12000 ft. Dump bailer memuat sejumlah semen, yang diturunkan dengan menggunakan wire line. Limit plug, cement basket, permanent bridge plug atau gravel pack biasanya ditempatkan dibawah lokasi plugging yang ditentukan.Bailer dibuka oleh sentuhan dari bridge plug, kemudian semen dialirkan. Metode ini mempunyai keuntungan dimana perlengkapan dijalankan de ngan wireline dan kedalaman dari cement plug dengan mudah bisa dikontrol. Biaya dengan metode ini juga relatif lebih murah karena hanya menggunakan satu peralatan pumping yang konvensional. Kerugiannya adalah jumlah semen yang terbatas karena volume daump bailer yang tertentu.(gambar 12.63)



Gamabr 4.63. Penempatan Semen Dengan Bantuan Dump Driver Two Plug Method pada metode ini top dan bottom tubing plugs dirun untuk mengisolasi cement slurry dari fluida sumur dan juga fluida pendorong. Bridge plug biasanya di run pada kedalaman cement plugging. Sebuah baffle tool di run diatas dasar string dan ditempatkan pada kedalaman tertentu untuk dasar dari cement plug. Peralatan ini memungkinkan bottom tubing plug masuk dan keluar dari tubing atau drillpipe. Semen kemudian dipompakan keluar dari string pada kedalaman plugginbg dan mulai mengisi annulus. (gambar 12.64)



520



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.64. Penempatan Semen Dengan Metoda Two-Plug Keuntungan dari metode two plug adalah :  Meminimalkan kemungkinan pergerakan yang berlebihan.  Bentuknya yang ketat, dengan struktur semen yang keras.  Memungkinkan ditentukannya top dari plug. 12.11. Penilaian Kualitas Penyemenan 12.11.1. Pendahuluan Evaluasi penyemenan adalah pengujian tujuan dari penyemenan telah tercapai setelah operasi penyemenan dilaksanakan. Evaluasi penyemenan tidak akan efisien bila tujuan dari penyemenan tidak jelas, apakah primary cementing, remedial cementing atau plugging cementing. Untuk pengetesan ada beberapa macam metode yaitu : 12.11.2. Hydraulic Testing Test ini umumnya untuk menguji isolasi yang terjadi di lubang bor. Hal ini dilakukan setelah dilakukan operasi primary cementing, bila zone air terletak dekat dengan zone minyak atau gas yang akan diproduksi, atau dapat dilakukan setelah remedial cementing. Berbagai type pengujian dapat dilakukan, umumnya menggunakan uji tekanan (pressure testing) dan Dry testing. 12.11.2.1. Pressure Testing Umumnya test ini dilakukan setelah penyemenan surface atau intermediate casing telah dilakukan, dimana casing shoe telah dibor. Tekanan di dalam casing ditingkatkan menjadi lebih tinggi dari tekanan yang akan diderita pada titik ini selama operasi pemboran berikutnya. Casing shoe bila tidak tahan menahan tekanan menunjukkan operasi penyemenan yang buruk dan remedial cementing harus dilaksanakan.



System of Units



521



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



12.11.2.2. Dry Testing Dry testing semacam DST yang khusus untuk menguji penyekatan semen. Dry testing umumnya digunakan untuk menguji keefektifan dari squeeze cementing, atau penyekatan semen di atas liner. Sementara tujuan utama dari DST adalah untuk mengevaluasi kandungan lapisan berdasarkan rate dan tekanan. Pengujian dry test dikatakan berhasil bila tidak terjadi perubahan tekanan selama penutupan sumur. Gambaran test ini dapat dilihat pada gambar 12.65.



Gambar 12.65. Chart Hasil Dry-Test 12.11.3. Temperatur dan Nuklir Log 12.11.3.1. Temperatur Log Temperatur log juga kadang-kadang dipakai untuk mengevaluasi hasil penyemenan, biasanya digunakan untuk pengujian primary cementing, yaitu untuk mendeteksi kedudukan puncak semen (lihat gambar 12.66). Temperatur log juga digunakan untuk mendeteksi bagian semen yang bocor dan channeling.



522



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.66 Hasil Temperatur Survey 12.11.3.2. Nuclear Logging Dalam industri perminyakan, sangat praktis bila dilakukan penambahan radioaktif sebagai tracer, sehingga dengan menggunakan detector kita dapat men-trace posisi dan kedudukan semen dalam annulus casing-lubang bor, (lihat gambar 12.67).



Gambar 12.67. Hasil Test Intensitas Radiasi 12.11.4. Gelombang Acoustic 12.11.4.1. Karakteristik Gelombang Acoustic Acoustic berkaitan erat dengan karakteristik perambatan gelombang suara (sound wave). Pada hakekatnya perambatan gelombang suara ini merupakan proses compression (penekanan) dan refraction (pengembangan) molekulmolekul gas atau cairan atau sebagai proses squeezing (pemerasan) dan stretching (perentangan) struktur butiran padatan. System of Units



523



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Ada dua jenis gelombang acoustic, compressional wave dan shear wave. Apabila proses perambatan gelombang terjadi searah dengan arah perambatan gelombang, gelombang tersebut disebut dengan gelombang kompressional (compressional wave). Dan apabila gerakan di atas tegak lurus dengan arah perambatan gelombang disebut gelombang shear (shear wave). Ditinjau dari jumlah frekuensi yang dipancarkan, gelombang acoustic dibagi menjadi 3, infrasonic (frekuensi kurang dari 20 kHz), gelombang suara (frekuensi antara 20 sampai 20.000 kHz) serta utrasonic (frekuensi di atas 20 kHz). 12.11.4.2. Karakteristik Acoustic Formasi Sifat-sifat dasar formasi memiliki pengaruh pada acosutic log. Untuk maksud-maksud evaluasi semen dikenal istilah fast formation dan slow formation. Kedua istilah ini berkenaan dengan kecepatan suara. Suatu formasi dikatakan sebagai fast formation apabila kecepatan perambatan gelombang suara yang melaluinya lebih cepat dari pada yang melalui casing, yakni memiliki perambatan (T) kurang dari 57 mu s/ft. Sedangkan suatu formasi disebut sebagai slow formation apabila kecepatan perambatan gelombang suara yang melaluinya lebih rendah dari pada yang melalui casing T 57 mu s/ft. Karakteristik acoustic untuk berbagai jenis formasi dan fluida yang umum dapat kita lihat pada Tabel 12.20. Tabel yang sama tidak dapat dibuat untuk karakteristik atenuasinya karena karakteristik tersebut bergantung pada frekuensi namun secara umum dikatakan bahwa harga attenuasi besar bila perlambatannya besar. Atenuasi akan sangat besar pada material non consolidated seperti shale pada tempat yang dangkal attenuasi diabaikan pada batuan yang memiliki ikatan yang kuat. Tabel 12.20 Sifat Akustik Berbagai Batuan



524



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



12.11.4.3. Karakteristik Acoustic Semen Response acoustic logging sangat tergantung pada sifat- sifat acoustic dari semen keras. Sifat-sifat acoustic beberapa batuan dapat diketahui, namun akan lebih sulit untuk mengetahui karakteristik acoustic dari semen, karena fisik semen akan berubah terhadap waktu. Akibat perbedaan yang mendasar ini, membuat analisis logging menjadi krisis untuk beberapa kasus. Response logging akan berubah terhadap waktu, karena sifat-sifat fisik semen juga berubah. Dengan terjadinya semen yang tidak berada pada keadaan fisik yang sama di sepanjang string casing, akan mengakibatkan perbedaan yang menyolok pada response logging untuk string yang panjang, dimana terjadi perbedaan temperatur antara bottom dan top semen. Karakteristik acoustic untuk berbagai jenis formulasi semen pada kondisi abient di perlihatkan pada tabel 12.21, dari hasil tersebut, terlihat bahwa bubur semen dengan densitas rendah, memiliki impedansi acoustic yang rendah yang akan berubahsetelah beberapa hari. Impedansi acoustic dari bubur semen yang lebih padat berubah kurang dari 20 % antara satu sampai tujuh hari. Hal ini akan menjadi semakin kritis untuk bubur semen dengan hollow silika microsphere dimana memiliki impedansi acoustic rendah. Foamed cement (semen buih) juga memiliki impedansi acoustic rendah. Bila kualitas (porositas) foam tinggi maka sulit untuk membedakan antara semen dan air. Meskipun sifat-sifat acoustic semen tidak dapat ditentukan secara pasti, namun harga yang dilaporkan pada tabel 12.21 dapat digunakan sebagai pendekatan awal. Tabel 12.21 Sifat Akustik Berbagai Aditive



System of Units



525



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



12.11.5. Metode Acoustic Logging Ada dua metode acoustic logging yang dipakai dan memiliki prinsip pengukuran yang berbeda, yakni Cement Bond Log (CBL) dan Cemen Evaluation Tool (CET). Jenis ketiga yakni Cement Bond Tool (CBT) pada dasarnya merupakan borehole-compensated CBL. 12.11.5.1. Cement Bond Logging A. Peralatan dan Prinsip Pengukuran Cement Bond Logging atau CBL merupakan metode yang sudah dikembangkan sejak 30 tahun yang lalu dan merupakan metode yang masih sering digunakan untuk



mengevaluasi



pekerjaan



penyemenan.



Gambar



12.68



berikut



menggambarkan konfigurasi peralatan CBL dengan satu transmitter dan dua receiver yang keduanya dibuat dari piezoelectric ceramic.



Gambar 12.68 Konsep CBL/VDL pada Pengukuran Kualitas Semen Kedua receiver ditempatkan pada jarak 3 ft dan 5 ft dari transmitter. Peralatan CBL tersebut juga dilengkapi dengan sejumlah centralizer yang berfungsi agar transmitter dan receiver tetap terpusat di dalam pipa. Menurut BIGELOW, sedikitnya dipasang dua atau tiga centralizer pada CBL untuk mempertahankan peralatan berada pada pusat casing. Prinsip



pengukuran



CBL



adalah



merekam



harga



transit



time



dan



amplitudo/attenuation dari gelombang acoustic 20 kHz yang dipancarkan oleh transmitter setelah merambat melalui dinding casing dan fluida lubang bor. Gambar 12.69 berikut melukiskan jalur beberapa gelombang tersebut.



526



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.69 Gelombang yang Ditengkap CBL Gambar 12.70 melukiskan beberapa siklus gelombang yang diterima pertama kali pada receiver.



Gambar 12.70 Siklus Gelombang yang Diterima CBL B. Interpretasi CBL Dua informasi utama yang diperoleh dari CBL adalah amplitudo yang datang dari sinyal pipa dan penampilan rangkaian gelombang akustik secara lengkap. Sebagai tambahan ditampilkan pula transit time gelombang pipa yang datang pertama kali. Amplitudo log adalah ukuran amplitudo acoustic pipa yang datang pertama kali dan diukur dengan detector/receiver yang lebih dekat terhadap transmitter (3 ft dari transmitter). Harga ini merupakan ukuran keras suara sinyal acoustic yang diterima. Pipa yang tidak terikat semen bebas bergetar, mengirimkan banyak energi acoustik dari sinyal yang diterima dari transmitter. Sedang dalam pipa yang terikat semen, sinyal acoustic dilemahkan dengan sangat. Dengan demikian amplitudo suara yang dikirimkan melalui casing merupakan ukuran ikatan semen terhadap pipa. Gambar 12.71 melukiskan karakteristik kualitatif amplitudo log.



System of Units



527



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.71 Karakteristik Kualitas Amplitudo Log Harga Bond Index digunakan untuk menggambarkan fraksi ikatan lingkaran pipa. Berdasarkan data empirik, zone isolation dapat dicapai bila semen mengikat casing sekurang-kurangnya 80 % atau BI = 0.4. BROWN menyatakan bahwa dengan Bond Index = 0.8 atau lebih, interval minimum casing yang harus disemen untuk memnuhi isolasi hidrolik dapat ditentukan menurut grafik yang tertera pada gambar 6.9 melukiskan contoh rekaman CBL-VDL pada casing 7 inch yang disemen pada rangkaian sand/shale. Zone A merupakan bagian yang terikat baik karena BI menunjukkan bahwa isolasi hidrolik dapat diharapkan. Meskipun zone B, C dan D memiliki BI lebih besar dari 0.8 namun interval yang disemen terlalu pendek untuk menjamin ikatan hidrolis. Menurut MORRIS, evaluasi Bond Index akan benar bila : peralatan dipasang benar-benar central, tidak terjadi microannulus, tidak ada perubahan compressive strength, amplitudo E1 diukur dengan baik dan tidak dipengaruhi fast formation dan cycel skipping serta koreksi atas impedansi dan atenuasi fluida lubang bor dilakukan dengan baik. Pada free pipe, sinyal amplitudo yang tinggi dimulai pada saat sinyal pipa yang datang diukur (gambar 12.72a). Gambar 12.72b, mengilustrasikan rangkaian gelombang suara yang diterima dengan ikatan yang baik terhadap formasi yang memiliki kecepatan suara rendah. Amplitudo sinyal sangat rendah pada saat sinyal pipa datang yang mengindikasikan shear contact yang baik antara pipa dan semen. Amplitudo sinyal formasi yang tinggi yang datang setelah sinyal pipa memberikan petunjuk formasi memiliki kecepatan suara rendah dan ikatan yang baik antara semen dan formasi. Ikatan yang baik juga diasumsikan terjadi pada gambar 12.72c, namun sinyal tersebut menunjukkan fast formation. Pada kasus ini, sinyal formasi datang bersamaan atau bahkan lebih awal dari sinyal pipa. Pada gambar 12.72d, ikatan yang baik terjadi antara casing dan semen, namun ikatan antara semen dan formasi jelek. Amplitudo yang diukur pada saat sinyal pipa muncul kecil disebabkan oleh ikatan yang baik dan demikian juga pada



528



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



saat munculnya sinyal formasi karena rangkaian acoustic terbatas antara semen dan pipa.



Gambar 12.72 Contoh Amplitudo pada Berbagai Kondisi Ikatan Semen Variable Density Log dibuat dengan memberikan bayangan gelap untuk sinyal positif yang kuat dan bayangan putih terang untuk sinyal negatif. Intensitas gelap atau terang pada log tergantung pada harga amplitudonya. Interpretasi gelombang ini selanjutnya direkam secara kontinyu terhadap kedalaman. Sebagaimana terlukis pada gambar 12.73 VDL menampikan rangkaian seluruh gelombang sinyal acoustic dimana amplitudonya diidentifikasikan pada perbandingan antara pita gelap dan terang. Semakin tinggi perbedaannya semakin tinggi pula amplitudonya. VDL dapat ditampilkan secara kontinyu terhadap kedalaman sumur dan menyoroti perubahan rangkaian gelombang terhadap kedalaman. Karena harga transit time bervariasi tergantung perubahan litologi, penampilan VDL akan berombak selama menerima respon sinyal formasi. Transit time, CBL juga menampilkan waktu yang dicapai sinyal gelombang yang pertama kali muncul pada receiver. Penentuan transit time digunakan untuk mengecek tool centering dan untuk menguatkan interpretasi amplitudo log. Apabila CBL dipasang di tengahtengah pipa, transit time sama dengan waktu yang dicapi sinyal pipa pada saat pertama kali muncul. Pada free pipa (memiliki amplitudo tinggi), transit time berharga konstan terhadap kedalaman, kecuali sedikit variasi karena pengaruh ukuran pipe joint. Pada pipa yang disemen, transit time dipengaruhi oleh fast formation, cycle skipping dan stretching.



System of Units



529



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.73 Contoh Rekaman CBL – VDL Dengan membandingkan transit time yang diukur dengan transit time yang diperkirakan, dapat digambarkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Transit time lebih pendek, merupakan indikasi terjadinya sentralisasi yang jelek dari peralatan tersebut atau indikasi adanya fast formation di dalam lapisan. Disamping transit time lebih pendek, jeleknya sentralisasi alat ditandai juga dengan rendahnya harga amplitudo dan bergelombangnya sinyal casing. Hal ini disebabkan oleh terjadinya interferensi sinyal akibat perbedaan jarak yang ditempuhnya, seperti terlihat pada gambar 12.74. Sedangkan bila terjadi fast formation, disamping transit time berkurang, namun harga amplitudo bisa sangat tinggi. Munculnya fast formation merupakan indikasi terjadinya Cement Bond yang baik akibat shear coupling yang baik antara casing, semen dan formasi.



Gambar 12.74 Efek Posisi Alat Terhadap Amplitudo Suara 2. Transit time sedikit lebih panjang, merupakan indikasi terjadinya stretching turunnya amplitudo E1. Terjadinya stretching merupakan indikasi adanya Cement Bond yang baik. Perhatikan gambar 12.75.



530



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.75 Amplitudo Cement-Bond yang Baik 3. Transit time lebih panjang, merupakan indikasi terjadinya cycle skipping. Pada kasus ini harga E1 terlalu kecil untuk dideteksi (di bawah detection level) sehingga ukuran transit time meloncat dan menggerakkan E3 (gambar 12.76). Kasus ini juga merupakan indikasi terjadinya ikatan semen casing yang baik.



Gambar 12.76 Amplitudo Ikatan Semen - Casing yang Baik Bond Log dipresentasikan dengan format log standar yang terdiri dari tiga track dengan track kedalaman berada diantara track 1 dan 2. Track 1 menggambarkan ukuran transit time dan kurva koreksi seperti GR atau neutron. Skala yang dipakai untuk transit time 3 ft adalah 200 400 mS. Track 2 menggambarkan kurva amplitudo dan atau attenuation rate. Kurva rate atenuasi dipresentasikan dalam skala 20 - 0 dB/ft. Sedangkan kurva amplitudo umumnya dalam skala 0 - 100 atau 0 - 50 mV dengan kurva penguat antara 0 - 20 atau 0 - 10 mV. Skala ganda sangat penting karena pembacaan pada free pipe dapat mencapai 100 mV bahkan lebih, sedangkan ikatan yang baik bisa mencapai 1 mV atau kurang.



System of Units



531



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Track 3 menggambarkan display seluruh rangkaian gelombang baik dalam bentuk x-y presentation maupun VDL. Skala yang digunakan antara 200 - 1200 mS. Berikut ini adalah contoh format CBL - VDL - x - y presentation. Beberapa contoh berikut merupakan ilustrasi tentang response CBL untuk berbagai kondisi penyemenan sumur. 1. Free Pipe. Suatu hal yang penting untuk melakukan logging pada daerah free pipe pada saat CBL dijalankan. Logging pada free pipe memberi kalibrasi alat untuk lingkungan tertentu di bawah kondisi logging. Pada casing yang tidak disemen, aplitudo log memperlihatkan nilai amplitudo yang tinggi dan transit time dapat disamakan dengan waktu munculnya sinyal casing. VDL menampilkan adanya perbedaan yang jelas pada garis-garis vertikal yang sejajar tanpa indikasi adanya sinyal formasi. Casing collar memberi tampilan khusus pada kondisi free pipe ini. Pantulan casing collar, seperti terlihat pada gambar 12.77 akan mengakibatkan penurunan harga amplitudo dan kenaikkan transit time.



Gambar 12.77 Amplitudo Free-Pipe 2. Formasi dan Casing Terikat Baik. Apabila formasi dan casing terikat baik, harga amplitudo rendah. CBL - VDL (gambar 12. 78) akan menampilkan sinyal casing yang lemah atau bahkan tidak ada dan menampilkan sinyal fornasi kuat kecuali bila atenuasi formasi tinggi, seperti formasi gas-sand, shale yang lunak atau formasi lain yang memiliki kecepatan rendah.



532



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.78 Amplitudo Formasi dan Casing Baik 3. Ikatan Casing Baik, Ikatan Formasi Jelek. Kondisi ini dapat diakibatkan karena pembentukan mud cake yang tidak dapat dipindahkan oleh bubur semen. Situasi ini ditandai oleh lemahnya sinyal casing yang datang yang diindikasikan oleh lemahnya amplitudo dan kurang jelasnya perbedaan waktu datangnya sinyal casing pada VDL serta lemahnya sinyal formasi yang ditunjukkan pada tampilan rangkaian gelombang seluruhnya (gambar 12.79). Namun kondisi seperti di atas dapat diakibatkan oleh faktor-faktor lain, seperti karena besarnya atenuasi acoustic formasi dan karena pengaruh tool eccentricity.



Gambar 12.79. Amplitudo Ikatan Casing Baik Ikatan Formasi Jelek



System of Units



533



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



4. Microannulus. Pada CBL, mocroannulus memperlihatkan ikatan dengan kualitas sedang hingga jelek. Keadaan ini diindikasikan dengan harga amplitudo sedang hingga tinggi dan tampilan seluruh rangkaian gelombang akan memperlihatkan sinyal casing yang lemah hingga agak kuat dan sinyal formasi yang datang lemah. Salah satu cara untuk membedakan antara microannulus dari kondisi ikatan sebnarnya adalah dengan mengurangi CBL pada tekanan tertentu yang ditambahkan (1000 - 1500 psi) yang akan menurunkan ukuran microannulus. Bila tekanan tersebut sanggup menutup microannulus, maka CBL yang dijalankan pada tekanan tersebut akan menampilkan amplitudo yang lebih kecil, sinyal casing lebih lemah dan sinyal formasi lebih kuat dibandinglkan pada CBL yang dijalankan tanpa penambahan tekanan permukaan. Gambar 12.80 memperlihatkan pengaruh microannulus sebelum dan setelah penambahan tekanan.



Gambar 12.80. Amplitudo Micro Annulus 5. Channeling. Channeling di dalam semen sulit diidentifikasikan dalam CBL. Channeling akan menghasilkan harga amplitudo dari sedang hingga kuat, harga sinyal casing sedang hingga kuat dan sinyal formasi sedang. Gambar 12.81 melukiskan response CBL sebelum dan sesudah squeeze cementing pada daerah Channeling. Sebelum squeeze VDL memperlihatkan sinyal pipa kuat, namun sinyal formasi juga jelas dan menunjukkan terjadi sedikit ikatan pada formasi. Harga amplitudonya sedang hingga kuat. Setelah squeeze, karakteristik ikatan yang baik terlihat jelas (amplitudo rendah dan sinyal formasi kuat).



534



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.81. Amplitudo Channeling 6. Eccentric Tool. Suatu hal yang sangat penting untuk menempatkan peralatan CBL di tengah pipa casing. Bila tidak, jarak jalur perjalanan gelombang acoustic berbeda dan amplitudo yang dihasilkan kecil. Peralatan yang kurang terpusat menyebabkan penampilan VDL bergelombang pada daerah munculnya sinyal pipa, menyebabkan amplitudo rendah dan transit time lebih kecil dari waktu munculnya sinyal casing yang telah diperkirakan. Gambar 12.82 melukiskan response Eccentric Tool pada CBL.



Gambar 12.82. Amplitudo Akibat Eccentric Tool



System of Units



535



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



7. Eccentric Casing Atau Semen Tipis. Menurut MORRIS, bila tebal selubung semen kurang dari 3/4 in (1.9 cm), atenuasi sinyal pipa menjadi sangat berkurang, dan mengakibatkan amplitudo tinggi. bila casing tidak terpusat, lapisan semen tipis diluar casing tidak terlalu melemahkan sinyal casing. Hal yang sama bila pipa diletakkan terpusat namun lubang sumur terlalu kecil, maka harga amplitudo menjadi tinggi. Gambar 12.83 memperlihatkan kasus tersebut.



Gambar 12.83. Amplitudo Eccentric Casing atau Semen Tipis 8. Fast Formation. Gambar 12.84 melukiskan interval yang mengandung fast formation ( B, D dan E ). Seperti terlihat pada VDL, pada interval tersebut sinyal formasi datang lebih awal dari sinyal pipa. Bandingkan data VDL dengan kurva gamma ray. Hal ini menunjukan pipa secara acoustic bergabung pada batuan dan semen terikat pada pipa dan formasi. Pada interval fast formation, harga amplitudo sangat tinggi yaitu antara 60-80 mV. Sedangkan pada interval C dan D harga amplitudo sangat rendah ( sekitar 1 mV ). Besarnya harga amplitudo disini disebabkan karena adanya fast formation.



536



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.84. Amplitudo Fast Formation 9. Cycle Skipping. Pada log cycle ditandai dengan rendahnya harga amplitudo dan membesarnya harga transit time dari yang telah diperkirakan. 10. Transit Time StretchTransit Time Stretch adalah kenaikkan harga transit time akibat penurunan harga amplitudo E1. Stretch sring terjadi pada bagian awal sumur yang disemen. Stretch dapat dikenali pada log dengan rendahnya amplitudo dan meningkatnya harga transit time. 12.11.5.2. Cement Bond Tool A. Peralatan dan Prinsip Pengukuran Cement Bond Tool (CBT) merupakan metode evaluasi kualitas semen yang merupakan pengembangan dari CBL. CBT dikenal juga sebagai Ratio Bond Tool (RBT) atau attenuation - ratio log. Peralatan CBT didisain dengan 3 receiver yang dipasang di antara dua transmitter atas dan di bawah. Selain itu juga dilengkapi dengan centralizer. Prinsip pengukuran CBT hampir sama dengan prinsip pengukuran CBL, yakni merekam harga transit time dan gelombang/attenuation dari gelombang acoustic 20 kHz yang dipancarkan oleh transmitter setelah merambat melalui dinding casing dan fluida lubang bor. Namun karena CBT memiliki 2 receiver utama R2 dan R3 di antara transmitter T1 dan T2, terdapat perbedaan dalam perhitungan respon yang diterima CBT. B. Interpretasi CBT Seperti juga pada CBL, Bond Log pada CBT dipresentasikan dalam 3 track. Track 1 berisi informasi tentang transit time yang diukur baik oleh receiver 2.4 ft (TT1), maupun oleh receiver 3.4 ft (TT2). Ditambah dengan informasi GR dan CCLU. Track 2 berisi kurva amplitudo SA2N (mV) sebagai output dari receiver 2.4 ft dan kurva attenuation rate dalam dB/ft (CATT dan BATT). Dan track 3 berisi display rangkaian gelombang baik dengan x - y presentation maupun VDL. Gambar 12.85 melukiskan satu contoh CBT.



System of Units



537



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.85. Prinsip Peralatan CBT 12.11.5.3. Cement Evaluation Tool A. Peralatan dan Prinsip PengukuranCement Evaluation Tool atau CET merupakan metoda yang telah dikembangkan dalam upaya memperbaiki kekurangan yang terdapat pada metode sebelumnya. Metode ini dikenal pula sebagai UltrasonicPulse-Echo Log atau Pulse Echo Tool. Alat ini terdiri atas rangkaian delapan tranducer ultrasonic yang dipasang disekeliling alat secara helik dengan spasi antar tranducer 4500 (gambar 12.86). Selain itu ditempatkan transducer kesembilan yang digabungkan secara aksial dan diarahkan pada cermin acoustic yang ditempatkan pada jarak tertentu didepan transducer sehingga dapat digunakan sebagai referensi ukuran kecepatan suara pada setiap waktu di dalam fluida pemboran. Seperti pada metode yang lain, pada alat ini juga dilengkapi centralizer.



Gambar 12.86. Prinsip Peralatan CET 538



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Respon impulse yang diukur oleh transducer berupa rangkaian impulse yang dipisahkan oleh dua travel time pada casing. masing-masing amplitudo impulse merupakan fungsi impedansi acoustic fluida sumur bor, casing dan material yang berhubungan dengan bagian luar casing. Tinggi puncak pertama kurang lebih sepuluh kali lebih besar dari yang lainnya. Impulse yang mengikutinya hilang secara eksponensial, dengan rate kehilangannya tergantung pada material yang berhubungan dengan bagian luar casing. Casing yang dikelilingi air (tidak ada semen) akan bebas bergetar secara radial dan impulse hilang dengan lambat. Sedangkan pada casing yang terikat impulse semen hilang dengan cepat karena terjadi coupling acoustic yang baik terhadap media disekelilingnya. Respon yang diterima transducer dilukiskan oleh gambar 12.87.



Gambar 12.87. Amplitudo CET B. Interpretasi CET Respon tool yang telah dinormalkan akan dipengaruhi oleh perubahan impedansi akustik di belakang casing. Pada free pipe, dengan impedansi akustik rendah (fresh water = 1.5) menghasilkan koefisien refleksi yang cukup tinggi. Kehilangan resonansinya berlangsung secara eksponensial dengan nilai W2 dan W3 sama dengan satu. Sedangkan bila casing disemen, dengan impedansi akustik semen yang tinggi menghasilkan koefisien refleksi yang rendah. Dan jika kehilangan resonansi (resonance decay) akan berlangsung secara eksponensial dan nilai W2 dan W3 relatif kecil. Hal ini dapat dilihat pada gambar 12.88.



System of Units



539



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.88. Interpretasi Hasil CET Beberapa contoh berikut merupakan interpretasi CET pada beberapa kondisi penyemenan sumur. 1. Kualitas semen baik dan jelek. Kualitas semen yang baik diindikasikan dengan bayangan hitam pekat oleh seluruh transducer dan dengan tingginya harga minimum compressive strenght (diatas 1000 psi). Sedangkan kualitas semen diinterpretasikan jelek bila bayangan yang dihasilkan oleh sebagian atau seluruh transducer terang (putih). Gambar 12.89 melukiskan hasil log CET yang menampilkan ikatan semen yang baik yang dipisahkan oleh beberapa ikatan semen yang jelek.



540



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.89. Contoh Semen yang Baik dan Jelek Hasil CET 2. Channeling. CET mampu menampilkan pengaruh channeling dalam semen disekeliling pipa casing yang diperoleh dari kedelapan transducer yang diarahkan secara radial ke sekeliling pipa. Gambar 12.90 melukiskan pengaruh channeling yang seolah-olah membentuk spiral mengelilingi pipa casing. Namun bila melihat rotasi Relatif Bearing (RB), maka sesungguhnya channel tersebut terdapat dalam satu lajur.



System of Units



541



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.90. Contoh Chanelling Hasil CET 3. Microannulus. CET log kurang sensitif terhadap pengaruh microannulus terutama bila lebar microannulus kecil dan terisi fluida. Bila panjang gelombang pulsa lebih besar dibanding ukuran microannulus dan perbedaan antara impedansi fluida di dalam celah dengan impedansi padatan disekitarnya terlalu tinggi maka microannulus tidak mempengaruhi respon peralatan. Teori dan aksperimen (Schlumberger) menunjukkan bahwa untuk microannulus yang terisi air, gap microannulus kecil pengaruhnya terhadap respon hingga 0.005 in ( 0.1 mm ). Dengan demikian untuk gap dibawah 0.1 mm akan tetap menampilkan adanya semen. Gambar 12.91 memperlihatkan pengaruh tersebut. Sedangkan gambar 12.92 memperlihatkan pengaruh microannulus pada interfal 2060 sampai 2110 ft. Penambahan tekanan pada 1500 psi pada sumur tersebut menjadikan VDL-CET memperlihatkan ikatan semen yang sangat baik (bayangan hitam penuh). Bila microannulus terisi gas, maka koefisien refleksi casing/gas menjadi besar dan CET akan menampilkan bayangan putih abu-abu seperti pada pengaruh free pipe dengan bendera dikibarkan pada track kanan, sedangkan nilai WWM berada pada interval gas (1.2). LEIGH menyatakan bahwa microannulus yang terisi gas akan mulai mempengaruhi sinyal CET pada gap sebesar 0.5 um. Gambar 12.93 memperlihatkan pengaruh microannulus yang terisi gas pada respon CET.



542



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.91. Respon Micro Annulus Hasil Teori dan Eksperimen



Gambar 12.92. Contoh Micro Annulus pada CET



System of Units



543



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.93. Micro Annulus yang Terisi Gas Hasil CET 4. Fast Formation. CET log tidak dipengaruhi oleh fast formation, kecuali bila lapisan semen sangat tipis. Pada gambar 12.94 berikut CET menampilkan pengaruh fast formation pada daerah interval perforasi (50 ft) dengan munculnya pengaruh ikatan semen yang baik disertai bayangan putih seperti pada channel dan diiringi dengan bendera pada track kanan.



544



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.94. Fast Formation pada CET



System of Units



545



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.95. Chart CBL Untuk Penentuan Kualiatas Semen 12.12. Perhitungan Pada Penyemenan 12.12.1. Pendahuluan Performansi dari perhitungan merupakan bagian yang integral dari perhitungan pada penyemenan (cement job design). Perhitungan-perhitungan ini perlu dilaksanakan untuk menentukan karakteristik dari sistem sluri semen (seperti densitas, yield, volume air pencampur serta jumlah additive yang harus ditambahkan). Selain itu perhitungan juga tergantung pada tipe penyemenan yang akan dilakukan, juga untuk menenetukan volume slurry, tekanan dan lain-



546



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



lain. Dalam bab ini akan dijelaskan lima macam dari perhitungan yang biasa dilakukan, yaitu :  Cement Slurry Properties  Primary Cement Job Design  Squeeze Cement Job Design  Cement Plug Design 12.12.2. Karakteristik Suspensi Semen API Spec. 10 (1988) secara khusus membahas jumlah air yang harus ditambahkan kedalam bubuk semen. API Spec. ini berhubungan dengan densitas suspensi semen (umumnya spesific gravity 3.14 gr/cc untuk semen Portland), tergantung pada klas semen (lihat tabel 12.22) dan umumnya merupakan fungsi dari luas permukaan semen. Dan bila additive hadir dalam suspensi, jumlah air yang sudah ditambahkan dengan tepat (untuk mencapai densitas yang diinginkan) akan berubah. Tabel 12.22. Densitas Suspensi Semen terhadap Kelas Semen Class A B C D E F G H



Mix Water (% BWOC) 46 46 56 38 38 38 44 38



Slurry Density (lb/gal) (g/cm3) 15.6 1.87 15.6 1.87 14.8 1.77 16.45 1.97 16.45 1.97 16.45 1.97 15.8 1.89 16.45 1.97



Yield (ft3/sk) 1.18 1.18 1.32 1.05 1.05 1.05 1.15 1.05



12.12.2.1. Specific Gravity Semen Spesific semen Portland berkisar antara 3.10 dan 3.25, tergantung kepada material dasar yang digunakan dalam pembuatannya. Untuk perhitungan selanjutnya asumsi spesific gravity digunakan harga 4.13 gr/cc. 12.12.2.2. Volume Absolut dan Volumen Bulk Volume absolut suatu material adalah volume yang mencakup hanya volume material itu sendiri (tidak termasuk volume udara yang terdapat di sekeliling partikel). Volume yang mencakup volume material kering ditambah udara disekitarnya disebut dengan volume bulk. Semen Portland umumnya mempunyai volume bulk 1 cuft untuk 94 lb, yang sering disebut dengan "sack". Volume absolut untuk semen 94 lb semen adalah 3.59 US gal. atau 0.48 cuft. Untuk semen-semen yang lain akan memiliki absolute dan bulk volume yang berbeda. Tabel 12.23 memperlihatkan beberapa absolute dan bulk volume dari berbagai semen, yang disajikan dalam English unit dan SI unit.



System of Units



547



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 12.23. Absolute Volume dan Bulk Volume dari Berbagai Semen Material API Classes A through H Class J Trinity Lite Wate TXI Lightweight Ciment fondu Lumnite



Sack Weght (lb)



Bulk Volume (ft3/sk)



94 94 75 75 87.5 94



1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0



Absolute Volume Gal/lb) (m3/T) 0.0382 0.0409 0.0409 0.0425 0.0373 0.0380



0.317 0.341 0.375 0.355 0.312 0.317



Volume absolute dan bulk untuk berbagai material untuk semen additive, biasanya diberikan oleh masing pabrik pembuatnya. Tabel 12.24 memperlihatkan informasi mengenai volume absolute dan spesific gravity beberapa jenis additive yang sering digunakan. Tabel 12.24. Volume Absolute dan Spesific Gravity Beberapa Jenis Additive Material Barite Bentonite Coal (ground) Gilsonite Hermatite Ilmenite Silica Sand NaCl (above saturation) Fresh Water



Absolute Volume (gal/lb) (m3/T) 0.0278 0.231 0.0454 0.377 0.0925 0.769 0.1123 0.202 0.0244 0.935 0.0270 0.225 0.0454 0.377 0.0556 0.463 0.1202



1.000



Specific Gravity 4.33 2.65 1.30 1.06 4.95 4.44 2.65 2.15 1.00



12.12.2.3. Konsentrasi Additive Konsentrasi dari sebagian besar additive yang ditambahkan ke dalam semen dinyatakan dalam persen berat semen (BWOC). Metoda ini juga digunakan dalam penambahan air. Contoh,Jika 35% (BWOC) pasir silika digunakan dalam pembuatan semen, jumlah silika untuk tiap sack semen adalah 94 lb x 0.35 = 032.9 lb silika. Jumlah ini sama dengan 94 + 32.9 = 126.9 lb untuk total campuran keseluruhan. Jadi persentase silika sebenarnya dalam campuran adalah 32.9 : 126.9 = 25.9%. Konsentrasi additive cair umumnya menggunakan istilah gallon per sack semen. Sebagai contoh, berdasarkan Tabel 3, cairan sodium silicate mempunyai volume absolute 0.00859 gal/lb. Jika ditambahkan 0.4 gal/sk sodium silicate tentukan berat material tersebut adalah (0.4 gal/sk) / (0.0859 gal/lb) = 4.66 lb/sk.



548



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



12.12.2.4. Densitas Suspensi Semen dan Yield Densitas suspensi dihitung dengan menambahkan massa dari komponen suspensi semen dan dibagi dengan total absolute volume. Dengan kata lain untuk menentukan densitas (lb/gal), total pounds dibagi dengan total gallon. lbcement  lbwater  lbadditives  slurry (lb / gal)  gal cement  gal water  gal additives Yield semen adalah volume yang mencakup satu unit semen ditambah semua additive dan air pencampur. Untuk semen sering dinyatakan dalam sack, yield dinyatakan dalam cuft/sk. Kemudian harga ini untuk menghitung jumlah sack semen yang diperlukan untuk mencapai keperluan di annulus. Hampir semua perhitungan densitas berdasarkan harga satu sack semen (94 lb). Untuk additive yang jumlahnya kurang dari 1 % biasanya dalam perhitungan diabaikan. Contoh 1 : Semen klas G (volume absolute = 0.0382) + 35 % sillica flour (volume absolute = 0.0454) + 1 % solid cellulosic fluid-loss additive (volume absolute = 0.0932) + 0.2 gal/sk cairan PNS dispersant (volume absolute = 0.1014) + 44 % air (volume absolute = 0.1202). Tentukan : a. Densitas suspensi b. Yield suspensi



12.12.3. Perhitungan Pada Operasi Penyemenan 12.12.3.1. Penentuan Densitas dan Yield Suspensi Semen Densitas semen didefinisikan sebagai perbandingan antara berat suspensi semen terhadap volume suspensi semen yang dirumuskan sebagai berikut: G bk  Gw  Ga  Dbs  ...................................................................................(12-5) Vbk  Vw  Va  Dimana : Dbs = densitas suspensi semen, ppg Gbk = Berat bubuk semen, lbs Gw = berat air, lbs Ga Ga = berat additive, lbs Vbk = volume bubuk semen, gallon Vw = volume air, gallon Va = volume additive, gallon



System of Units



549



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.96. Menunjukkan Diagram Alir Perhitungan Densitas dan Yield Suspensi Semen



Vs ................................................................................................ (12-5) 7.48 Dimana: Yield 



Yield



= volume yang mencakup satu unit semen ditambah semua additive dan air pencampur, ft3/sak



Vs



= volume suspensi semen, gallon



Vs (ft3)



= yield x sak semen



Vs  yield x sak semen ................................................................................ (12-7) 12.12.4. Primary Cementing Pada primary cementing perhitungan yang dilakukan antara lain: 12.12.4.1. Volume annulus Perhitungan volume annulus digunakan untuk menentukan jumlah semen yang diperlukan untuk melakukan operasi penyemenan. Perhitungan ini biasanya berdasarkan ukuran bit ditambah volume tambahan yang besarnya berdasarkan pengalaman di lapangan tersebut. Perhitungan ini memungkinkan service company menentukan total waktu yang diperlukan mencampur dan 550



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



memompakan semen serta mendorongnya ke dalam sumur. Volume annulus dapat dihitung sebagai berikut







Van 



144 x 4 Dimana:



dh



2







 odc 2 x H ........................................................................(12-8)



Van = volume annulus , ft3 dh



= diameter lubang bor, in



odc = diameter luar casing, in H



= tinggi annulus yang akan disemen, ft



12.12.4.2. Volume pendorong plug Volume pendorong plug dapat dihitung dengan mudah, yaitu berdasarkan kapasitas dari pipa atau casing. Umumnya dilakukan dengan mengalikan panjang pipa (atau segmen pipa bila string yang digunakan tidak memiliki ukuran dan berat) dengan kapasitas dari pipa atau casing. Volume ini biasanya digunakan pompa dan landing collar.







Vd 



144 x 4 x 5.615 Dimana:



idc x H .........................................................................(12-9)



Vd



= volume pendorong plug, bbl



idc



= diameter dalam casing, in



H



= tinggi casing, ft



12.12.4.3. Tekanan pompa untuk mendorong plug Tekanan pompa yang diperlukan untuk mendorong plug dihitung dengan perberdaan tekanan antara hidrostatik fluida dalam annulus dan pipa/casing. Berdasarkan laju pemompaan, tambahan tekanan diperlukan untuk mengatasi beban gesekan yang terjadi. Tekanan ini dihitung untuk menentukan type (jenis) pompa yang diperlukan untuk menyakinkan cementing head cukup mendapat daya dorong dan tidak terjadi bahaya bursting pada casing. Plp = Pho - Phi .......................................................................................... (12-10) Dimana: Plp = tekanan untuk mendorong plug, psi Pho = tekanan hidrostatik fluida di annulus, psi Phi = tekanan hidrostatik fluida di dalam casing, psi



12.12.4.4.Tekanan hidrostatik formasi (Tekanan pori dan rekahan) Untuk menyakinkan keamanan operasi penyemenan, maka perlu diketahui tekanan formasi, dan tekanan rekah batuan formasi pada titik terlemahnya. Untuk menentukan tekanan hidrostatik dapat menggunakan persamaan berikut: System of Units



551



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Ph = 0.052 x  x H .................................................................................. (1211) Dimana; Ph



= tekanan hidrostatik, psi



r



= densitas fluida, ppg



H



= tinggi kolom fluida, ft



Bila terdapat berbagai macam fluida dalam lubang bor, maka perhitungan dilakukan untuk masing-masing jenis dan ketinggian fluida tersebut. Maka tekanan total hidrostatik adalah jumlah dari tekanan masing-masing fluida.



Gambar 12.97 diagram alir pada primary cementing Contoh Bila volume semen = 43,34 cuft, faktor volume tambahan = 1.10, sehingga volume total = 47,7 cuft. Bila diketahui yield semen 1.18 cuft/sk, maka semen yang dibutuhkan sekitar 47.7 / 1.18 = 40.4 sk.



12.12.4.5. Contoh Soal Lihat gambar Gambar 12.98 serta data tambahan sebagai berikut :



552



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.98. Data Tambahan Surface Casing



= 13 3/8 " (54.50 lb/ft) sampai 1700 ft



Openhole



= 12 1/4 " sampai 4950 ft



Intermediate



= 9 5/8" (36.00 lb/ft)



Tambahan volume = 25 % Shoe Joint



= 42 ft



Top of Cement Top of Tail



= 1400 ft = 4450 ft



Lead Cement



= 13.0 lb/gal (yield = 1.50 cuft/sk)



Tail Cement



= 16.4 lb/gal (yield = 1.05 cuft/sk)



Displacement fluid = 11.5 lb/gal (lumpur) Formasi lemah



= 3125 psi (di 4320 ft)



Tekanan tertinggi = 3150 psi (di 4800 ft) Volume Spacer



= 40 bbl (r = 12.5 lb/gal)



Tentukan : a. Volume semen b. Volume displacement c. Tekanan pompa untuk mendudukan plug d. Tekanan hidrostatik pada formasi



12.12.5. Plug Balancing Untuk dapat melaksanakan plug balancing, tekanan hidrostatik di dalam pipa atau casing dan annulus seimbang. Untuk mencapai kondisi ini fluida pendorong System of Units



553



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



semen harus sama dengan semen, dan ketinggian masing-masing fluida juga harus sama. Untuk menyakinkan top dari semen berada pada posisi yang telah diset atau ditentukan, volume yang diinjeksikan harus tepat dengan volume yang diperlukan ditambah faktor keamanan. Bila terjadi kelebihan semen, maka semen yang berlebihan tersebut disedot secara reserved sampai mencapai ketinggian yang diinginkan. Perhitungan yang dilakukan pada plug balancing ini antara lain: Volume suspensi Semen, didefinisikan : Vcmt = L x Ch ............................................................................................... (1212) Dimana: Vcmt = volume suspensi semen, ft3 L



= panjang kolom semen di open hole, ft



Ch



= kapasitas open hole, ft3/ft



12.12.5.1. Volume spacer di belakang semen Vsp2 = Vspl x Ctbg / Can ......................................................................... (1213) Dimana : Vsp2



= volume spacer di belakang semen, bbl



Ctbg = kapasitas tubing atau drillpipe, bbl/ft Can



=



kapasitas



annulus



diantara



tubing



atau



drillpipe



dan



open hole, bbl/ft Vspl



554



= volume spacer di depan semen, bbl



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



12.12.5.2. Panjang dari Plug Balancing ketika workstring bekerja Vcmt Lcmt  Can  Ctbg  ........................................................................................(10) Dimana: Lcmt = panjang dari plug balancing, ft Vcmt = volume suspensi semen, ft3 Can = kapasitas annulus diantara tubing atau drillpipe dan open hole, ft3/ft Ctbg = kapasitas tubing atau drillpipe, ft3/ft



12.12.5.3. Volume displacement (volume penempatan) Vd = Ctbg x [D-(Lcmt + Lsp2)] ..................................................................(1215) Dimana: Vd



= volume displacement, bbl



D



=kedalaman dari work string atau bagian bawah cement plug, ft



Lcmt = panjang dari plug balancing, ft Lsp2 = panjang spacer di belakang (ft), (Lsp2=Vsp2 / Ctbg)



System of Units



555



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 4.99. Diagram Alir Pada Plug Balancing



12.12.6. Squeeze Cementing Perhitungan squeeze cementing mencakup dua bagian perhitungan, yaitu: perhitungan volume selama pelaksanaan operasi dan tekanan pada beberapa titik di lubang bor di berbagai tingkat operasi. Perhitungan squeeze cementing meliputi: Kapasitas tubing  idt 2 Ct  ................................................................................................. (124 x 144 16) Dimana: Ct = kapasitas tubing, ft3 idt = diameter dalam tubing, in Tinggi kolom semen G H  SF   0.052 H  c  ..................................................................... (12L r 0.052    c  17) Dimana:



556



L



= tinggi kolom semen, ft



Gr



= gradien rekah formasi, psi/ft



H



= kedalaman perforasi, ft System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



SF



= safety factor, psi



rs



= densitas semen, ppg



rc



= densitas fluida pendorong, ppg



2009



Volume semen Vs = Ct xL ...............................................................................................(1218) Dimana: Vs



= volume semen, ft3



Ct



= kapasitas tubing, ft3/ft



L



= tinggi kolom semen, ft



Semen yang dibutuhkan S = Vs / yield ........................................................................................(1219) Dimana: S



= jumlah semen yang diperlukan, sak



Vs



= volume semen, ft3



Tekanan eksternal Pe = Psq + (0.052 x D1 x rs) - (0.052 x D2 x rc) ....................................(1220) Dimana: Pe



= tekanan eksternal, psi



Psq



= tekanan squeeze, psi



D1



= kedalaman packer, ft



D2



= selisih kedalaman perforasi dengan kedalaman packer ft



rs



= densitas semen, ppg



rc



= densitas fluida pendorong, ppg



Tekanan hidrostatik fluida Ph = 0.052 x D1 x rc ..............................................................................(1221) Dimana: Ph



= tekanan hidrostatik fluida, psi



D1



= kedalaman packer, ft



rc



= densitas fluida pendorong, ppg



System of Units



557



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.100. diagram alir pada squeeze cementing 12.12.7. Perhitungan Aliran Fluida (Semen dan Water flush) 12.12.7.1. Aliran semen Untuk perhitungan aliran semen ini menggunakan metode Bingham plastic terdiri dari tiga jenis aliran yaitu : plug, laminar, dan turbulen. 12.12.7.1.1. Aliran semen di dalam casing Aliran plug  Kecepatan rata-rata 24.5 Q V ......................................................................................... (12idc 2 22) Dimana:







558



V



= kecepatan rata-rata, ft/min



Q



= laju alir pompa, gpm



idc



= diameter dalam casing, in



Reynold Number 3000 15.46  v idc ........................................................................... (12-33) N re  a Dimana: NRe = Reynold number ρ = densitas semen, ppg idc = diameter dalam casing, in v = kecepatan rata-rata, ft/min μa = viskositas apparent (=mp + 400 ty (idc/v)), cp







Kecepatan kritik Dengan reynold number 3000 maka dapat mencari kecepatan kritiknya yang merupakan batas aliran laminer. Apabila kecepatan rata-rata lebih besar dari kecepatan kritik turbulen ( Vc (3000) ) maka aliran yang terjadi aliran turbulen.







97 p  97 p 2  8.2  idc 2  y Vc 3000   idc Dimana:







0.5



......................................... (12-35)



Vc(3000) = kecepatan kritik turbulen, ft/min μp



= viskositas plastik, cp



ρ



= densitas semen, ppg



idc



= diameter dalam casing, in



y



= yield point, lb/100 ft2







Fanning friction factor f = 0.05 NRe-0.2 .............................................................................. (12-36) Dimana: f = fanning friction factor NRe = Reynold number







Kehilangan tekanan friksi  L v2 f Pf  ............................................................................. (12-37) 9.3 x 10 4 idc Dimana: Pf = Kehilangan tekanan akibat friksi, psi r = densitas semen (ppg) L = panjang kolom fluida (ft)



System of Units



561



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



v



= kecepatan rata-rata (ft/min)



f



= fanning friction factor



idc



= diameter dalam casing (in)



2009



12.12.7.1.2. Aliran semen di luar casing Aliran plug  Kecepatan rata-rata 24.5 Q .............................................................................. (12-38) V dh 2  odc 2 Dimana: V = kecepatan rata-rata, ft/min Q = laju alir pompa, gpm dh = diameter open hole, in odc = diameter luar casing, in















Reynold Number 3000 15.46  V dh  odc  ................................................................. (12-49) N re  a Dimana: NRe = Reynold number ρ = densitas semen, ppg v = kecepatan rata-rata, ft/min dh = diameter open hole, in odc = diameter luar casing, in μa = viskositas apparent (=μp + 300 y ((dh-odc)/v)), cp







Kecepatan kritik







97 p  97 p 2  6.2  dh  odc   y Vc 3000   dh  odc  564



2







2



..................................... (12-50)



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Dimana: Vc(3000) = kecepatan kritik plug, ft/min mp



= viskositas plastik, cp



dh



= diameter open hole, ino



dc



= diameter luar casing, in



r



= densitas semen, ppg



ty



= yield point, lb/100 ft2







Fanning friction factor f = 0.05 NRe-0.2 .................................................................... (12-51) Dimana: f = Fanning friction factor NRe = Reynold number







Kehilangan tekanan akibat friksi  L v2 f Pf  .................................................................... (12-42) 9.3 x 10 4 dh  odc  Dimana: Pf = kehilangan tekanan akibat friksi, psi r = densitas semen (ppg) L = panjang kolom fluida (ft) v = kecepatan rata-rata (ft/sec) f = Fanning friction factor dh = diameter open hole (in) odc = diameter luar casing, in



System of Units



565



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.101. diagram alir pada perhitungan aliran semen 12.12.7.2. Aliran water flush Untuk aliran ini menggunakan model newtonian yang hanya terdiri dari dua jenis aliran yaitu: aliran laminer dan turbulen. Aliran laminer jika Nre < 2100 dan aliran turbulen jika Nre > 2100. 12.14.7.2.1. Aliran water flush di dalam casing Aliran laminer  Kecepatan rata-rata 24.5 Q V ...................................................................................... (12-53) idc 2 Dimana:



566



v



= kecepatan rata-rata, ft/min



Q



= pump rate, gpm



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



idc







2009



= diameter dalam casing (in)



Reynold number < 2100 15.46  V idc .......................................................................... (12-54) N re 







Dimana:











Nre



= reynold number



μ



= viskositas, cp



ρ



= densitas water flushes (ppg)



idc



= diameter dalam casing (in)



Fanning friction factor f =16/Nre ............................................................................... (12-55) Dimana: f



= Fanning friction factor



Nre



= reynold number



Kehilangan tekanan friksi  L v2 f Pf  ............................................................................. (12-56) 9.3 x 10 4 idc Dimana: ρ = densitas water flushes (ppg) L = panjang kolom fluida (ft) v = kecepatan rata-rata (ft/min) f = Fanning friction factor idc = diameter dalam casing (in)



Aliran turbulen  Kecepatan rata-rata 24.5 Q V ....................................................................................... (12-57) idc 2 Dimana: v = kecepatan rata-rata, ft/min Q = pump rate, gpm idc = diameter dalam casing (in)  Reynold Number > 2100 15.46  V idc .......................................................................... (12-58) N re 







Dimana: Nre



= reynold number



V



= kecepatan rata-rata, ft/min



System of Units



567



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB











μ



= viskositas, cp



ρ



= densitas (ppg)



idc



= diameter dalam casing (in)



2009



Fanning friction factor f = 0.057 (Nre)-0.2 .......................................................................... (12-59) Dimana: f



= Fanning friction factor



Nre



= reynold number



Kehilangan tekanan akibat friksi  L v2 f Pf  ............................................................................. (12-60) 9.3 x 10 4 idc Dimana: ρ



= densitas water flushes, ppg



L



= panjang kolom fluida, ft



v



= kecepatan rata-rata, ft/min



f



= Fanning friction factor



idc



= diameter dalam casing (in)



12.12.7.2.2. Aliran water flush di luar casing Aliran laminer  Kecepatan rata-rata 24.5 Q V 2 ................................................................................ (12-61) dh  odc 2 Dimana: v = kecepatan rata-rata, ft/min Q = pump rate, gpm dh = diameter open hole, in odc = diameter luar casing, in 



Reynold number < 2100 15.46  V dh  odc  N re  ................................................................. (12-62)







Dimana: Nre = reynold number μ = viskositas, cp ρ = densitas (ppg) v = viskositas rata-rata (ft/sec) 568



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



dh odc



2009



= diameter open hole (in) = diameter luar casing (in)







Fanning friction factor f =16/Nre ........................................................................................ (12-63) Dimana: f = Fanning friction factor Nre = reynold number







Kehilangan tekanan akibat friksi  L v2 f Pf  .................................................................... (12-64) 9.3 x 10 4 dh  odc  Dimana: ρ = densitas, ppg L = panjang kolom fluida, ft v = kecepatan rata-rata, ft/min f = Fanning friction factor dh = diameter open hole, in odc = diameter dalam casing, in



Aliran turbulen  Kecepatan rata-rata 24.5 Q ............................................................................... (12-65) V dh 2  odc 2 Dimana: v = kecepatan rata-rata, ft/min Q = pump rate, gpm dh = diameter open hole, in odc = diameter luar casing, in















Reynold Number > 2100 15.46  V dh  odc  ................................................................. (12-66) N re 







Dimana: Nre = reynold number ρ = densitas (ppg) v = viskositas rata-rata (ft/sec) μ = viskositas, cp odc = diameter dalam casing (in) dh = diameter open hole (in) 



Fanning friction factor f = 0.057 (Nre)-0.2 ......................................................................... (12-67) Dimana: f



= Fanning friction factor



Nre



= reynold number



System of Units



569



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB







2009



Kehilangan tekanan friksi  L v2 f Pf  ................................................................... (12-68) 9.3 x 10 4 dh  odc  Dimana: ρ L v f dh odc



= densitas semen, ppg = panjang kolom fluida, ft = kecepatan rata-rata, ft/min = Fanning friction factor = diameter open hole, in = diameter dalam casing, in



Gambar 12.102. diagram alir untuk perhitungan aliran water flush 12.8. Foamed Cementing Tekanan rekah minimum PFmin = ( GF x DGF ) - SF ...................................................................... (12-69) Dimana: 570



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



PFmin = tekanan rekah minimun, psi GF = gradien fracture (rekah), psi/ft DGF = kedalaman formasi rekah, ft Tekanan hidrostatik fluida di atas foamed semen (Pha) Pha = 0.052 x [(Lm x  m)+(Lsx  s)] ...................................................... (12-70) Dimana: Lm = ketinggian lumpur, ft  m = densitas lumpur, ppg Ls = ketinggian spacer, ft  s = densitas fluida di spacer, ppg Densitas rata-rata dari foamed semen (rFC)  FC = (PFmin - Pha) / (0.052 x LFC) ...................................................... (12-71) Dimana: PFmin = tekanan rekah minimun, psi Pha



= tekanan hidrostatik di atas foamed semen, psi



LFC



= ketinggian foamed semen di atas formasi terlemah



Penentuan tekanan hidrostatik dan temperatur di tengah interval kedalaman. Tekanan hidrostatik untuk tiap interval atau stage dianggap sama, yaitu tekanan yang dihitung pada titik tengah untuk setiap interval. Ph = Pha + ( 0.052 x Dtgh x  FC ) ......................................................... (12-72) Dimana: Pha = tekanan hidrostatik di atas foamed semen, psi Dtgh



= ketinggian foamed semen di tengah interval, ft



 FC = densitas foamed semen, ppg



Sedangkan temperatur untuk tiap interval ditentukan dengan data-data yang sudah ada sebelumnya. Penentuan densitas nitrogen Densitas nitrogen dapat ditentukan sebagai berikut:  N2 = 1.724 103 x Vf .............................................................................. (12-73) Dimana:



 N2 = densitas nitrogen, ppg Vf



= volume factor nitrogen, scf/bbl



Volume factor nitrogen dapat diketahui dari Field Data Handbook Dowell Schlumberger untuk tiap tekanan dan temperatur.



System of Units



571



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Menentukan kualitas foamed cement   Fc   N 2  Q 1    ............................................................................... (12-74)  rhoBS  N 2 Dimana: Q rFC rN2 rBS



= kualitas foamed semen = densitas foamed cement, ppg = densitas nitrogen, ppg = densitas slurry semen, ppg



Menentukan yield foamed cement Bs yield Fc yield  ........................................................................................... (12-75) 1 Q Dimana: Fcyield = yield foamed semen, cu-ft/sak Bsyield = yield semen dasar, cu-ft/sak Q = kualitas Menentukan volume annulus Volume annulus untuk tiap interval (stage) dapat ditentukan sebagai berikut: V = L x Can .............................................................................................. (12-76) Dimana: V = volume annulus, cu –ft L = panjang interval, ft Can = kapasitas annulus, ft3/ft Menentukan jumlah semen yang diperlukan V Vs  ................................................................................................ (12-77) Fc yield Dimana: Vs



= volume semen, sak



V



= volume annulus, cu-ft



Fcyield = yield foamed semen, cu-ft/sak



Menentukan volume N2 yang diperlukan VN2 = V x Q ............................................................................................. (12-78) Dimana: VN2 = volume nitrogen, cu-ft/sak Q



= kualitas



Menentukan volume N2 keadaan standar VN2 = V x Vf x 0.17 ................................................................................. (12-79) Dimana: VN2 572



= volume nitrogen, cu-ft System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



Vf



2009



= volume factor N2, scf/bbl



Menentukan waktu pemompaan Vs ......................................................................................................... (12-80) t vp Dimana t = waktu pemompaan, menit Vs = volume semen, bbl vp = laju pemompaan, bpm Menentukan laju nitrogen VN 2 ........................................................................................... (12-81) Laju N 2  t Dimana: VN2 = volume nitrogen, scf t = waktu, menit Menentukan volume foamer Vfm = t x vfmd .......................................................................................... (12-82) Dimana: Vfm = volume foamer, gallon t = waktu pemompaan, menit vfmd = laju pemompaan foamed, gallon/menit



System of Units



573



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 12.103. diagram alir pada foamed cementing



574



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN



Dbs Gbs



Gw Ga Vbk Vw Va Bc T Ft t k Q



= Densitas suspensi semen, ppg = Berat bubuk semen = Berat air, lbs = Berat additive, lbs = Volume bubuk semen, gallon = Volume air, gallon = Volume additive, gallon



= Konsistensi suspensi semen = Harga torsi yang terbaca, gr-Cm = Volume filtrat pada t menit, cc = Waktu pengukuran, menitk = Permeabilitas, D = Laju alir, cc/sec = Viskositas, cp  = Panjang sampel, Cm L = Luas permukaan sampel, Cm2 A = Perbedaan tekanan, atm P Dbs = densitas suspensi semen Gbk = berat bubuk semen Gw = berat airGa = berat additive Vbk = volume bubuk semen Vw = volume air Va = volume additive BC = konsistensi suspensi semen, UcT = pembacaan harga torsi, g-cm Dbs = densitas suspensi semen, ppg Gbk = Berat bubuk semen, lbs Gw = berat air, lbs Ga = berat additive, lbs Vbk = volume bubuk semen, gallon Vw = volume air, gallon Va = volume additive, gallon Yield = volume yang mencakup satu unit semen ditambah semua additive dan air pencampur, ft3/sak Vs = volume suspensi semen ,gallon Van = volume annulus , ft3 dh = diameter lubang bor, in odc = diameter luar casing, in H = tinggi annulus yang akan disemen, ft Vd = volume pendorong plug, bbl idc = diameter dalam casing, in H = tinggi casing, ft Plp = tekanan untuk mendorong plug, psi Pho = tekanan hidrostatik fluida di annulus, psi Phi = tekanan hidrostatik fluida di dalam casing, psi System of Units



575



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Ph r Vcmt L Ch Vsp2 Ctbg Can



= tekanan hidrostatik, psi = densitas fluida, ppg = volume suspensi semen, ft3 = panjang kolom semen di open hole, ft = kapasitas open hole, ft3/ft = volume spacer di belakang semen, bbl = kapasitas tubing atau drillpipe, bbl/ft = kapasitas annulus diantara tubing atau drillpipe dan open hole, bbl/ft Vspl = volume spacer di depan semen, bbl Lcmt = panjang dari plug balancing, ft Vcmt = volume suspensi semen, ft3 Can = kapasitas annulus diantara tubing atau drillpipe dan open hole, ft3/ft D = kedalaman dari work string atau bagian bawah cement plug, ft Lsp2 = panjang spacer di belakang (ft), (Lsp2=Vsp2 / Ctbg) Ct = kapasitas tubing, ft3 idt = diameter dalam tubing, in Gr = gradien rekah formasi, psi/ft SF = safety factor, psi rs = densitas semen, ppg rc = densitas fluida pendorong, ppg Ph = tekanan hidrostatik fluida, psi Q = laju alir pompa, gpm idc = diameter dalam casing, in Nre = reynold number mp = viskositas plastik, cpi dc = diameter dalam casing, in Pf = Kehilangan tekanan akibat friksi, psi r = densitas semen, ppg v = kecepatan rata-rata (ft/min)



576



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PUSTAKA 1. Wischers, G., "Zement Taschenbuch", 44. Ausgabe, Verein Deutscher Zementwerke e.V. (VDZ), Bauverlag Gmbh., Duellesdorf, Germany, 1984 2. Nelson E.B., "Well Cementing", Schlumberger Educational Series, Houston-Texas, 1990. 3. Smith D.K., "Worldwide Cementing Practices", First Edition, American Petroleum Institute (API), Johston Printing Company, 1991. 4. nn., "Cementing Tables", Halliburton Servives, 1981. 5. Paxson J., "Casing and cementing", Second Edition, Petroleum Extension Service, Texas, 1982. 6. Smith D.K., "Cementing", SPE of AIME, New York, 1976. 7. nn., "Cementing Technology", Dowel Schlumberger, London, 1984. 8. Wischers, G., "Zement Taschenbuch", 44. Ausgabe, Verein Deutscher Zementwerke e.V. (VDZ), Bauverlag Gmbh., Duellesdorf, Germany, 1984 9. Nelson E.B., "Well Cementing", Schlumberger Educational Series, Houston-Texas, 1990. 10. Smith D.K., "Worldwide Cementing Practices", First Edition, American Petroleum Institute (API), Johston Printing Company, 1991. 11. nn., "Cementing Tables", Halliburton Servives, 1981. 12. Paxson J., "Casing and cementing", Second Edition, Petroleum Extension Service, Texas, 1982. 13. Smith D.K., "Cementing", SPE of AIME, New York, 1976. 14. nn., "Cementing Technology", Dowel Schlumberger, London, 1984. 15. Wischers, G., "Zement Taschenbuch", 44. Ausgabe, Verein Deutscher Zementwerke e.V. (VDZ), Bauverlag Gmbh., Duellesdorf, Germany, 1984 16. Nelson E.B., "Well Cementing", Schlumberger Educational Series, Houston-Texas, 1990. 17. Smith D.K., "Worldwide Cementing Practices", First Edition, American Petroleum Institute (API), Johston Printing Company, 1991. 18. nn., "Cementing Tables", Halliburton Servives, 1981. 19. Paxson J., "Casing and cementing", Second Edition, Petroleum Extension Service, Texas, 1982. 20. Smith D.K., "Cementing", SPE of AIME, New York, 1976. 21. nn., "Cementing Technology", Dowel Schlumberger, London, 1984. 22. Wischers, G., "Zement Taschenbuch", 44. Ausgabe, Verein Deutscher Zementwerke e.V. (VDZ), Bauverlag Gmbh., Duellesdorf, Germany, 1984 23. Nelson E.B., "Well Cementing", Schlumberger Educational Series, Houston-Texas, 1990. 24. Smith D.K., "Worldwide Cementing Practices", First Edition, American Petroleum Institute (API), Johston Printing Company, 1991. 25. nn., "Cementing Tables", Halliburton Servives, 1981. 26. Paxson J., "Casing and cementing", Second Edition, Petroleum Extension Service, Texas, 1982. 27. Smith D.K., "Cementing", SPE of AIME, New York, 1976. 28. nn., "Cementing Technology", Dowel Schlumberger, London, 1984. 29. Wischers, G., "Zement Taschenbuch", 44. Ausgabe, Verein Deutscher Zementwerke e.V. (VDZ), Bauverlag Gmbh., Duellesdorf, Germany, 1984 30. Nelson E.B., "Well Cementing", Schlumberger Educational Series, Houston-Texas, 1990. System of Units



577



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



31. Smith D.K., "Worldwide Cementing Practices", First Edition, American Petroleum Institute (API), Johston Printing Company, 1991. 32. nn., "Cementing Tables", Halliburton Servives, 1981. 33. Paxson J., "Casing and cementing", Second Edition, Petroleum Extension Service, Texas, 1982. 34. Smith D.K., "Cementing", SPE of AIME, New York, 1976. 35. nn., "Cementing Technology", Dowel Schlumberger, London, 1984. 36. Wischers, G., "Zement Taschenbuch", 44. Ausgabe, Verein Deutscher Zementwerke e.V. (VDZ), Bauverlag Gmbh., Duellesdorf, Germany, 1984 37. Nelson E.B., "Well Cementing", Schlumberger Educational Series, Houston-Texas, 1990. 38. Smith D.K., "Worldwide Cementing Practices", First Edition, American Petroleum Institute (API), Johston Printing Company, 1991. 39. nn., "Cementing Tables", Halliburton Servives, 1981. 40. Paxson J., "Casing and cementing", Second Edition, Petroleum Extension Service, Texas, 1982. 41. Smith D.K., "Cementing", SPE of AIME, New York, 1976. 42. nn., "Cementing Technology", Dowel Schlumberger, London, 1984.



578



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Bab 13 Vertical Well Drill String Design 13.1. Pendahuluan Drill string memberikan suatu hubungan antara rig dan pahat. Masalah-masalah yang berhubungan dengan desain drill string yang tidak tepat diantaranya adalah wash out, twist off, dan collapse failure. Komponen-komponen utama suatu drill string ialah : 1. Kelly 2. Drillpipe 3. Drill collar 4. Bit Juga termasuk dalam rangkaian adalah aksesoris seperti heavy-weight drill pipe, jar, stabilizer, reamer, shock sub, dan bit sub. Suatu contoh dari rangkaian drill string adalah terlihat pada Gambar 13.1. Drill string memiliki beberapa fungsi, diantaranya : 1. Sebagai saluran fluida dari rig ke pahat 2. Mentransmisikan gerakan rotasi ke pahat 3. Memberikan beban yang dibutuhkan ke pahat 4. Menurunkan dan menaikkan pahat di dalam sumur Di samping itu drill string juga mempunyai beberapa fungsi tambahan yang khusus, yaitu : 1. Memberikan kestabilan rangkaian di dalam lubang sumur dengan tujuan untuk meminimumkan vibrasi dan bit jumping 2. Memungkinkan diadakan tes tekanan dan fluida formasi melalui drill string 3. Memungkinkan diadakan evaluasi formasi melalui pipa ketika peralatan logging tidak dapat dijalankan pada open hole.



Gambar 13.1. Rangkaian drill string



System of Units



579



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



13.2. Perhitungan Titik Netral Pengetahuan tentang letak titik netral pada suatu pipa yang tergantung secara bebas adalah sangat penting dalam desain drill string, casing dan pipa. Klinkenberg menjelaskan bahwa titik netral adalah suatu titik dimana distribusi stress adalah isotropik, merupakan suatu titik dimana tiga jenis stress utama (aksial, radial, tangensial) adalah bernilai sama ( a   r   t ) Lubinski menyatakan bahwa titik netral merupakan suatu titik yang membagi rangkaian ke dalam dua bagian yaitu berat dari bagian yang lebih atas, yang tergantung pada elevator, serta berat dari bagian yang lebih bawah yang besarnya adalah sama dengan gaya yang bekerja pada ujung bawah drill string. Jika tidak terdapat fluida, titik netral adalah titik dengan stress aksial nol, sedangkan pada pipa yang tergantung bebas adalah terletak pada dasar dimana tiga stress utama berharga sama. Rumus untuk menghitung titik netral tanpa adanya fluida : F n ........................................................................................................ (13-1) Wa Titik netral dengan adanya fluida F n .............................................................................................. (13-2) Wa  As Titik netral dengan adanya differential pressure F n ................................................................................. (13-3) Wa   i Ai   e Ae Titik netral tubing yang terkunci packer serta adanya differential pressure terhadap packer. A p  i   e  n ................................................................................. (13-4) Wa   i Ai   e Ae dimana F = Gaya eksternal, lbf = Berat rata-rata di udara dari pipa per satuan pan jang, lbm/in = Densitas fluida di dalam tubing, lbm/in3 = Densitas fluida di annulus, lbm/in3 = Luar area dinding tubing (in3) = Luas bidang yang sesuai dengan ID tubing, in2 = Luas bidang yang sesuai dengan OD tubing, in2 = Luas bidang yang sesuai dengan ID packer, in2 = Tekanan di dalam pipa pada ujung bawah, psi = Tekanan di luar pipa pada ujung bawah, psi Distribusi stress pada berbagai variasi kasus dihitung dengan bentuk persamaanpersamaan berikut : Pipa tergantung bebas tanpa adanya fluida



580



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



a 



2009



 xWa .................................................................................................(13-5) As



 pi ' ri 2 2  pe ' re 2   pi ' pe '   re 2  ri 2   2  ........................................(13-6) 2 2 2  2 re  ri    re  ri   rd 



 r  



 pi ' ri 2 2  pe ' re 2   pi ' pe '   re 2  ri 2   2  ........................................(13-7) 2 2 2  2 re  ri    re  ri   rd 



 t  



Pipa tergantung bebas dengan adanya fluida F  Fb  xWs .....................................................................................(13-8) a  a As Pipa terkunci oleh packer dan tergantung bebas F  xWs ............................................................................................(13-9) a  a As dimana Fb  LAs  gaya apung



Fa  Ap  Ai Pi  Ap  Ae Pe



Pe = Tekanan di luar pipa pada kedalaman yang diinginkan, psi, = Tekanan di dalam pipa pada kedalaman yang diinginkan,psi, = Jarak radius yang menjadi pengamatan, in, = Diameter dalam pipa, in, = diameter luar pipa, in, = Jarak dari ujung bawah pipa, in, serta



berturut-turut adalah stress aksial, radial, dan tangensial (psi).



13.3. Perhitungan Desain Drill String Untuk menghindari buckling atau buckling pada drill pipe, maka titik netral bending harus terletak pada drill collar. Dalam praktek penggunaan drill string dan kondisi pemboran yang normal, titik netral akan terletak pada drill collar dan bukan pada drill pipe. Desain drill string tergantung pada ukuran dan kedalaman, berat lumpur, safety factor tension dan/atau margin of overpull yang diinginkan, panjang dan berat drill collar, serta ukuran dan kelas drill pipe yang diinginkan. Seleksi dari suatu drill string yang tersedia adalah berdasarkan pada (1) tension, (2) collapse, (3) shock loading, dan (4) torsi yang dibutuhkan. 13.3.1 Tension Berat total yang ditanggung top joint drill pipe adalah : P  Ldp  Wdp  Ldc  Wdc BF ...................................................................(13-10)











dimana : BF  1  System of Units



m 65.5 581



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



dimana BF adalah bouyancy factor (faktor penyangga). API telah menabelkan kekuatan dan sifat-sifat fisik drill pipe seperti pada Tabel 13.1 sampai 13.13. Untuk memberikan safety factor tambahan, maka biasanya hanya digunakan 90% yield strength dari tabel. Tabel 13.1. Data torsional dan tensile drill pipe baru



582



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB 1 Siz e OD



In 2 3/8



2 Non Wei ght Thd s& Cou pling lb 4.85



3



4 5 6 Torsional Data* Torsional Yield Strength, ft-lg



2009 7 8 10 Tensile Data Based on Minimum Values** Load at the Minimum Yield Strength,lb



E 95 105 135 E 95 105 135 476 6033 666 857 9781 1239 1369 1760 3 8 4 7 02 55 71 6.65 625 7917 875 112 1382 1750 1935 2487 0 1 51 14 72 00 86 2 6.85 808 1023 113 145 1359 1721 1902 2446 7/8 3 8 16 49 02 43 63 24 10.4 115 1463 161 207 2143 2715 3000 3858 0 54 5 76 98 44 03 82 20 3 13.5 141 1791 198 254 1942 2460 2719 3496 ½ 0 46 8 05 63 64 68 70 76 13.3 185 2349 259 333 2715 3439 3801 4888 0 51 8 72 92 69 88 97 25 15.5 210 2670 295 379 3227 4088 4516 5809 0 86 8 20 54 75 48 85 95 4 11.8 194 2466 272 350 2307 2922 3230 4153 5 74 8 64 54 55 90 57 60 14.0 232 2949 326 419 2853 3614 3995 5136 0 88 8 03 18 59 54 02 46 15.7 258 3269 361 464 3241 4105 4537 5834 0 10 2 34 58 18 50 65 13 4 13.7 259 3281 362 466 2700 3420 3780 4860 ½ 5 07 6 70 33 34 43 47 61 16.6 308 3902 431 554 3305 4187 4627 5950 0 07 2 30 53 58 07 81 04 20.0 369 4674 516 664 4123 5223 5773 7422 0 01 1 61 21 58 20 01 44 22.8 409 5182 572 736 4712 5969 6597 9482 2 12 1 76 41 39 03 35 30 5 16.2 350 4438 490 630 3280 4155 4593 5905 5 44 9 62 79 73 59 02 31 113. 411 5214 576 741 3955 5010 5538 7120 50 67 4 33 00 95 87 33 70 25.6 522 6619 731 940 5301 6715 7422 9542 0 57 2 59 62 44 15 01 49 5 113. 440 5582 617 793 3721 4714 5210 6699 ½ 20 74 6 03 32 81 29 53 25 21.9 507 6423 709 912 4371 5536 6119 7868 0 10 3 94 78 16 81 63 09 24.7 565 7166 792 101 4972 6298 6961 8949 0 74 0 04 833 22 14 11 99 6 25.2 705 8940 988 127 4894 6199 6852 8810 5/8 0 80 2 12 044 64 88 50 35 * Based on the shear strength equal to 57.7% of minimum yield System of Units strength and nominal wall thickness Minimum torsional yield strength calculated from Equation (8.54) ** Minimum tensile strength = (minimum unit tensile yield strength) (cross section area, in2)



583



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 13.2. Data collapse dan tekanan internal drill pipe baru 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Size Non Collapse Pressure Based on Internal Pressure at Minimum OD Weight Minimum Values, psi Yield Strength, psi. Thds & Coupling In lb E 95 105 135 E 95 105 135 2 4.85 11040 13984 15456 19035 10500 13300 14700 18900 3/8 6.65 15599 19759 21839 28079 15474 19600 21663 27853 2 6.85 10467 12940 14020 17034 9907 12548 13869 17832 7/8 10.40 16509 20911 23112 29716 16526 20933 23137 29747 3½ 13.50 10001 12077 13055 15748 9525 12065 13335 17145 13.30 14113 17877 19758 25404 13800 17480 19320 24840 15.50 16774 21247 23484 30194 16838 21328 23573 30308 4 11.85 8381 9978 10708 12618 8597 10889 12036 15474 14.00 11354 14382 15896 20141 10828 13716 15159 19491 15.70 12896 16335 18055 23213 12469 15794 17456 22444 4½ 13.75 7173 8412 8956 10283 7904 10012 11066 14228 16.60 10392 12765 13825 16773 9829 12450 13761 17693 20.00 12964 16421 18149 23335 12542 15886 17558 22575 22.82 14815 18765 20741 26667 14583 18472 20417 26250 5 16.25 6938 8108 8616 9831 7770 9842 10878 13986 113.50 9962 12026 12999 15672 9503 12037 13304 17105 25.60 13500 17100 18900 24300 13125 16625 18375 23625 5½ 113.20 6039 6942 7313 8093 7255 9189 10156 13058 21.90 8413 10019 10753 12679 8615 10912 12061 15507 24.70 10464 12933 14013 17023 9903 12544 13865 17826 6 25.20 4788 5321 5500 6036 6538 8281 9153 11768 5/8 NOTE: Calculations are based on formulas in API Bul 5C3



584



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 13.3. Data torsional dan tensile drill pipe lama - API Premium Class 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1,2 2 Size Non Torsional Yield Strength Tensile Data Based on Uniform OD Weight Based on Uniform Wear, ft-lb Wear Thds & Load at the Minimum Yield Coupling Strength,lb In lb E 95 105 135 E 95 105 135 2 4.85 3725 4719 5215 6705 76893 97398 107650 138407 3/8 6.65 4811 6093 6735 8659 107616 136313 150662 193709 2 6.85 6332 8020 8865 11397 106946 135465 149725 192503 7/8 10.40 8858 11220 12401 15945 166535 210945 233149 299764 3½ 13.50 11094 14052 15531 19968 152979 193774 214171 275363 13.30 14361 18191 20106 25850 212150 268723 297010 381870 15.50 16146 20452 22605 29063 250620 317452 350868 451115 4 11.85 15310 19392 21433 27557 182016 230554 254823 327630 14.00 18196 23048 25474 32752 224182 283963 313854 403527 15.70 20067 25418 28094 36120 253851 321544 355391 456931 4½ 13.75 20403 25844 28564 36725 213258 270127 298561 383864 16.60 24139 30576 33795 43450 260165 329542 364231 468297 20.00 28683 36332 40157 51630 322916 409026 452082 581248 22.82 31587 40010 44222 56856 367566 465584 514593 661620 5 16.25 27607 34969 38650 49693 259155 328263 362817 466479 113.50 32285 40895 45199 58113 311535 394612 436150 560764 25.60 40544 51356 56762 72979 414690 525274 580566 746443 5 ½ 113.20 34764 44035 48670 62575 294260 372730 411965 620604 21.90 39863 50494 55809 71754 344780 436721 482692 529669 24.70 44320 56139 62048 79776 391285 495627 547799 704313 6 25.20 55766 70637 78072 100379 387466 490790 542452 697438 5/8 1 Based on the shear strength equal to 57.7% of minimum yield strength 2 Torsional data based on 20% uniform wear on outside diameter and tensile data based on 20% uniform wear on outside diameter



System of Units



585



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 13.4. Data collapse dan tekanan internal drill pipe lama - API Premium Class 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 1 Size Non Collapse Pressure Based on Minimum Internal Yield OD Weight Minimum Values,psi Pressure At minimum Yield Thds & Strength, psi. Coupling In lb E 95 105 135 E 95 105 135 2 4.85 8522 10161 10912 12891 9600 12160 13440 17280 3/8 6.65 13378 16945 18729 24080 14147 17920 19806 25465 2 6.85 7640 9017 9633 11186 9057 11473 12680 16303 7/8 10.40 14223 18016 19912 25602 15110 19139 21153 27197 3½ 13.50 7074 8284 8813 10093 8709 11031 12192 15675 13.30 12015 15218 16820 21626 12617 15982 17664 22711 15.50 14472 18331 20260 26049 15394 19499 21552 27710 4 11.85 5704 6508 6827 7445 7860 9956 11004 14148 14.00 9012 10795 11622 13836 9900 12540 13860 17820 15.70 10914 13825 15190 18593 11400 14440 15960 20520 4½ 13.75 4686 5190 5352 5908 7227 9154 10117 13008 16.60 7525 8868 9467 10964 8987 11383 12581 16176 20.00 10975 13901 15350 18806 11467 14524 16053 20640 22.82 12655 16030 17718 22780 13333 16889 18667 24000 5 16.25 4490 4935 5067 5661 7104 8998 9946 12787 113.50 7041 8241 8765 10029 8688 11005 12163 15638 25.60 11458 14514 16042 20510 12000 15200 16800 21600 5½ 113.20 3736 4130 4336 4714 6633 8401 9286 11939 21.90 5730 6542 6865 7496 7876 9977 11027 14177 24.70 7635 9011 9626 11177 9055 11469 12676 16298 6 25.20 2931 3252 3353 3429 5977 7571 8368 10759 5/8 1 Data are Based on minimum wall of 80% nominal wall. Collapse pressure are based based on uniform OD wear. Internal pressures are based on uniform wear and nominal OD Note : Calculation for Premium Class drill pipe are based of formulas in API Bul 5C3



586



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 13.5. Data torsional dan tensile drill pipe lama - API Class 2 1 Size OD



In 2 3/8 2 7/8 3½



4







5







6 5/8



2 Non Weight Thds & Coupling lb 4.85



3



4 5 6 Torsional Yield Strength Based on Uniform Wear, ft-lb



E 3224



95 4083



105 4513



135 5802



7 8 9 10 Tensile Data Based on Uniform Wear Load at the Minimum Yield Strength,lb E 95 105 135 66686 84469 93360 120035



6.65 6.85



4130 5484



5232 6946



5782 7677



7434 9871



92871 92801



117636 130019 167167 117549 129922 167043



10.40 13.50 13.30 15.50 11.85 14.00 15.70 13.75 16.60 20.00 22.82 16.25 113.50 25.60 113.20 21.90 24.70 25.20



7591 9612 12365 13828 13281 15738 17315 177715 20908 24747 27161 23974 27976 34947 30208 34582 38383 48497



9615 12176 15663 17515 16823 19935 21932 22439 26483 31346 34404 30368 35436 44267 38263 43804 48619 61430



10627 13457 17312 19359 18594 22034 24241 24801 29271 34645 38026 33564 39166 48926 42291 48414 53737 67896



13663 17302 22258 24890 23907 28329 31166 31887 37634 44544 48890 43154 50356 62905 54374 62247 69090 87295



143557 132793 183398 215967 158132 194363 219738 185389 225771 279502 317497 225316 270432 358731 255954 299533 339533 337236



181839 168204 232304 273558 200301 246193 278335 234827 285977 354035 402163 285400 342548 454392 324208 379409 430076 427166



1,2



2



200980 185910 256757 302354 221385 272108 307633 259545 316080 391302 444496 315442 387605 502223 358335 419346 475347 472131



258403 239027 330116 388741 284638 349852 395528 333701 406388 503103 571495 405568 486778 645715 460717 539160 611160 607026



1 Based on the shear strength equal 57.7% of minimum yield strength 2 Tensional data based on 30 % uniform wear on outside diameter and tensile data based on 30% uniform wear on outside diameter



System of Units



587



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 13.6. Data collapse dan tekanan internal drill pipe lama - API Class 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 Size Non Collapse Pressure Based on Minimum Internal Yield OD Weight Minimum Values, psi Pressure At Minimum Yield Thds & Strength, psi. Coupling In lb E 95 105 135 E 95 105 135 2 4.85 6852 7996 8491 9664 8400 10640 11760 15120 3/8 6.65 12138 15375 16993 21849 12379 15680 17331 22282 2 6.85 6055 6963 7335 8123 7925 10039 11095 14365 7/8 10.40 12938 16388 18113 23288 13221 16746 18059 23798 3½ 13.50 5544 6301 6596 7137 7620 9652 10668 13716 13.30 10858 13753 15042 18396 11040 13984 15456 19872 15.50 13174 16686 18443 23712 13470 17062 18858 24246 4 11.85 4311 4702 4876 5436 6878 8712 9629 12380 14.00 7295 8570 9134 10520 8663 10973 12128 15593 15.70 9531 11468 12374 14840 9975 12635 13965 17955 4½ 13.75 3397 3845 4016 4287 6323 8010 8853 11382 16.60 5951 6828 7185 7923 7863 9960 11009 14154 20.00 9631 11598 12520 15033 10033 12709 14047 18060 22.82 11458 14514 16042 20510 11667 14779 16333 21000 5 16.25 3275 3696 3850 4065 6216 7874 8702 11189 113.50 5514 6262 6552 7079 7602 9629 10643 13684 25.60 10338 12640 13685 16587 10500 13300 14700 18900 5½ 113.20 2835 3128 3215 3265 5804 7351 8125 10447 21.90 4334 4733 4899 5465 6892 8730 9649 12405 24.70 6050 6957 7329 8115 7923 10035 11092 14261 6 25.20 2227 2343 2346 2346 5230 6625 7322 9414 5/8 1 Data are Based on minimum wall of 70% nominal wall. Collapse pressure are based based on uniform OD wear. Internal pressures are based on uniform wear and nominal OD Note : Calculation for Premium Class drill pipe are based of formulas in API Bul 5C3



588



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 13.7. Data torsional dan tensile drill pipe lama - API Class 3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1,2 Siz Non Torsional Yield Strength 2 Tensile data Based on e Weigh Based on Ecentic Wear, ft-lb Uniform Wear Load At Minimu OD t Thds Yield Strength, lb & Coupli ng In lb D E 95 105 135 D E 95 105 135 2 4.85 1970 269 340 376 483 591 749 828 1064 3/8 0 0 0 0 40 10 00 60 6.65 2600 354 448 496 637 601 820 103 114 1476 0 0 0 0 70 50 930 870 90 2 6.85 3340 455 577 638 820 825 104 115 1486 7/8 0 0 0 0 80 600 610 40 10.40 4800 655 829 917 117 928 126 160 177 2278 0 0 0 80 40 600 360 240 80 3 ½ 13.50 5840 797 100 111 143 118 149 165 2124 0 90 50 40 050 530 270 90 13.30 7700 104 132 146 188 118 165 205 227 2920 90 90 90 90 965 270 480 120 00 15.50 8760 119 151 167 215 139 190 241 266 3429 50 40 30 10 700 500 300 700 00 4 11.85 8030 109 138 153 197 140 178 196 2531 50 80 40 20 630 130 880 30 14.00 9630 131 166 183 236 126 172 218 241 3106 40 40 90 50 555 580 600 600 40 15.70 1069 145 184 204 262 143 195 247 273 3451 0 80 70 20 50 000 000 000 000 000 4 ½ 13.75 1068 145 184 203 262 164 208 230 2957 0 60 40 80 10 330 150 060 90 16.60 1273 173 219 243 312 146 200 253 280 3603 0 60 90 00 40 800 180 560 240 20 20.00 1529 208 264 291 375 181 247 313 346 4459 0 5 10 90 30 665 720 780 820 00 16.25 1444 196 249 275 354 200 253 280 3603 0 90 40 70 40 180 560 250 20 5 113.5 1700 231 293 324 417 176 240 304 336 4325 0 0 80 70 60 30 220 300 380 420 40 25.60 2167 295 374 413 531 232 317 402 444 5715 0 50 20 60 80 870 550 230 570 90 5 ½ 21.90 2092 285 361 399 513 266 337 373 4796 0 30 30 40 50 480 540 070 60 24.70 2338 318 403 446 573 221 301 381 422 5425 0 80 80 30 80 050 420 800 000 60 1 The torsional yield strength is based on a shear strength of 57.7% of the minimum yield strength. (following the maximum shear strain evergy theory of yielding. 2. Torsional data based on 45% eccentric wear on outside diameter. System of Units



589



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tensile data based on 37 ½ % uniform wear on outside diameter



590



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 13.8. Data collapse dan tekanan internal drill pipe lama - API Class 3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 Siz Non 1 Collapse Pressure Based on Internal Pressure At e Weig Minimum Values, psi Minimum Yield Strength, psi. O ht D Thds & Coup ling In lb D E 95 105 135 D E 95 105 135 2 4.85 362 426 459 481 535 660 836 924 118 3/8 0 0 0 0 0 0 0 0 80 6.65 740 100 120 130 157 713 973 123 136 175 0 30 50 40 60 0 0 20 20 10 2 6.85 314 360 401 419 453 623 789 872 112 7/8 0 0 0 0 0 0 0 0 10 10.40 792 108 136 148 182 762 103 131 145 187 0 00 80 80 30 0 90 60 40 00 3 13.50 284 323 365 379 400 599 758 838 107 ½ 0 0 0 0 0 0 0 0 80 13.30 632 804 948 101 110 636 867 109 121 156 0 0 0 60 30 0 0 90 40 10 15.50 807 110 139 154 189 776 105 134 148 190 0 10 50 10 60 0 80 10 20 50 4 11.85 221 257 289 284 285 540 684 756 972 0 0 0 0 0 0 0 0 0 14.00 388 463 507 523 581 499 681 862 953 122 0 0 0 0 0 0 0 0 0 50 15.70 522 649 748 792 894 575 784 993 109 141 0 0 0 0 0 0 0 0 70 10 4 13.75 185 209 217 217 217 497 629 696 894 ½ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 16.60 308 352 293 411 442 452 618 783 865 111 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20 20.00 528 658 759 804 910 578 788 999 110 141 0 0 0 0 0 0 0 0 40 90 5 16.25 178 199 205 205 205 488 619 684 879 0 0 0 0 0 0 0 0 0 113.5 282 321 363 377 396 438 597 757 836 107 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 50 25.60 576 725 846 902 104 605 825 104 115 148 0 0 0 0 10 0 0 50 50 50 5 113.2 152 164 164 164 164 510 646 714 918 ½ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 21.90 222 258 281 286 287 397 542 686 758 975 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 24.70 314 360 400 419 452 457 623 789 872 112 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 6 25.20 116 117 117 117 117 301 411 521 575 740 System of Units



591



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



5/8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 Data area based on minimum wall of 55% nominal wall. Collapse pressures are based on uniform OD wear. Internal Pressures are based on uniform wear and nominal OD



592



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



1 Drill Collar OD in 2 7/8 3 3 1/8 3¼ 3½ 3¾ 4 4 1/8 4¼ 4½ 4¾ 5 5¼ 5½ 5¾ 6 6¼ 6½ 6¾ 7 7¼ 7½ 7¾ 8 8¼ 8½ 9 9½ 9¾ 10 11 12



2



3



2009



Tabel 13.13. Drill Collar weight (lb/ft) Drill Collar weight (lb/ft) (courtesy of API) 4 5 6 7 8 9 10 11



12



13



14



3¼ 3½ 3¾



4



Drill Collar ID (in) 1 19 21 22 26 30 35 40 43 46 51



1 ¼ 18 20 22 24 29 33 39 41 44 50











2



2¼ 2½



2



3



13 /16



16 18 20 22 27 32 37 39 42 48 54 61 68 75 82 90 98 107 116 125 134 144 154 165 176 187 210 234 248 261 317 379



35 37 40 46 52 59 65 73 80 88 96 105 114 123 132 142 152 163 174 185 208 232 245 259 315 377



32 35 38 43 50 56 63 70 78 85 94 102 111 120 130 139 150 160 171 182 206 230 243 257 313 374



29 32 35 41 47 53 60 67 75 83 91 99 108 117 127 137 147 157 168 179 203 227 240 254 310 371



44 50 57 64 72 79 88 96 105 114 124 133 144 154 165 176 200 224 237 251 307 368



60 67 75 83 91 100 110 119 129 139 150 160 172 195 220 232 246 302 364



64 72 80 89 98 107 116 126 136 147 158 169 192 216 229 243 299 361



60 68 76 85 93 103 112 122 132 143 154 165 188 212 225 239 295 357



72 80 89 98 108 117 128 138 149 160 184 209 221 235 291 352



93 103 113 123 133 144 155 179 206 216 230 286 347



84 93 102 112 122 133 150 174 198 211 225 281 342



Pa  0.9  Pt ...............................................................................................(13-11) dimana: Pa = Yield strength teoritik, lbft Pt = Yield strength drill pipe, lbft.



System of Units



593



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Perbedaan antara Pa dan P merupakan margin of overpull (MOP). Nilai MOP bervariasi antara 50000 sampai 100000 lb. MOP  Pa  P .......................................................................................... (13-12)



Perbandingan dari persamaan (13-10) dan persamaan (13-11) memberikan : P Pt  0.9 SF  a  ...................................................... (13-13) P Ldp  Wdp  Ldc  Wdc BF Maka panjang dari drill pipe adalah Ldp 



Pt  0.9 W  dc Ldc .................................................................. (13-14) SF  Wdp  BF Wdp



atau



Ldp 



Pt  0.9  MOP Wdc  Ldc ............................................................... (8-15) Wdp  BF Wdp



Suatu tapered string pertama kali didesain dengan menggunakan drill pipe dengan grade paling kecil yang tersedia dan selanjutnya menentukan panjang maksimumnya yang dapat digunakan pada bagian terbawah. Kemudian digunakan drill pipe dengan grade lebih besar dan ditentukan panjang maksimumnya yang dapat digunakan. 13.3.2 Collapse Collapse pressure didefinisikan sebagai tekanan eksternal yang diperlukan untuk menyebabkan yielding pada drill pipe atau casing. Collapse pressure terjadi karena adanya perbedaan tekanan di dalam dan luar drill pipe. Suatu contoh khusus adalah ketika drill pipe tidak penuh berisi fluida selama dilakukan drill stem testing (DST) dengan tujuan untuk mengurangi tekanan hidrostatik terhadap formasi. Berbagai macam differential pressure yang dapat menyebabkan collapse pada berbagai kondisi. Pada drill pipe ketika membuka DST tool : P 



L  Y  2 ......................................................................... (13-16) L1  19.251 19.251



Ketika drill pipe tidak berisi fluida, Y = 0,  2 = 0 : P 



L 1 ............................................................................................. (13-17) 19.251



Ketika densitas fluida di dalam dan luar casing sama, yaitu r1 = r2 = r, maka : Y P P  ............................................................................................. (13-18) 19.251 dimana Y = Tinggi kolom fluida di dalam drill pipe, ft L = Kedalam total sumur, ft 594



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



1



2 DP



2009



= Densitas fluida di luar drill pipe, ppg = Densitas fluida di dalam drill pipe, ppg = Colapse Pressure (psi)



Suatu safety factor untuk collapse dapat ditentukan dengan Collapse ...........................................................................(13-19) SF  Collapse Pr essure Secara normal drill pipe mengalami beban biaksial oleh adanya kombinasi beban tension dan collapse. Ketika dikenakan beban biaksial, drill pipe mengalami peregangan yang mengakibatkan berkurangnya ketahanan terhadap collapse. Koreksi ketahanan drill pipe terhadap collapse dapat dilakukan dengan langkah berikut : 1. Hitung tension atau compression pada dril pipe dimana tekanan collapse atau burst bekerja  T  Ym  100 2. Hitung nilai dari  A   p 3. Masukkan nilai di atas pada sumbu horizontal dari (gambar 13.2) 4. Buat garis vertikal sampai ke kurva ellips 5. Buat garis horisontal sampai ke sumbu vertikal  Pca     100 Pco   6. Lihat dan catat nilai 7. Hitung ketahanan pipa terhadap tekanan yang sudah terkoreksi tersebut dengan rumus P  Pca  Pco   ca   Pco  Persamaan berikut dapat juga digunakan untuk menghitung tekanan collapse terkoreksi.Telah terbukti bahwa prosedur berikut memberikan hasil yang memuaskan. 1   2  2 T T     Ap   Ap    Pca  Pco 1  0.75    0.5  ............................................(13-20) Ym   Ym           



13.3.3. Shock loading Ketika suatu drill pipe yang sedang bergerak tiba-tiba dihentikan dengan pemasangan slip, maka terjadilah shock loading. Gaya tensile tambahan yang dihasilkan oleh shock loading ini adalah Fs  3200  Wdp .........................................................................................(13-21) dimana Wdp = Berat drill pipe per satuan panjang, lb/ft



System of Units



595



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 13.2. Kurva ellips yield stress biaksial atau diagram maksimum shearstrain energy 13.3.4 Torsi Dua persamaan berikut dapat digunakan untuk menghitung maksimum torsi yang dapat diberikan sebelum yield strength torsional minimum dari drill pipe terlampaui. Yield strength torsional jika hanya terdapat torsi:



Q



0.096167  J  Yn ............................................................................. (13-22) do



dimana: =Yield Strength torsional minimum(lb-ft) Q Y =Satuan yield strength minimum(lb-ft) do =Diameter luar drill pipe (in)



J di







=Momen inersia polar =  / 32 d o  d i =Diameter dalam drill pipe(in) 4



4







Selama operasi pemboran yang normal, drill pipe dikenai baik oleh torsi dan tension. Maka Persamaan (13-22) menjadi:



Q



0.096167 P2 J Ym 2  2 .................................................................... (13-23) do A



dimana : Q = Yield strength torsional minimum dalam kondisi tension (lb-ft), P = Total beban tension (lb), A = Luas penampang dinding casing (in2)



596



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



13.3.5. Pemilihan Berat Drill Collar Persamaan untuk menentukan berat maksimum yang diijinkan pada pahat oleh drill collar, pada sumur miring dan vertikal, tanpa terjadinya buckling pada drill pipe adalah DBW  1 F K b cos Wdc Ldc ..................................................................(13-24) dimana DBW = berat maksimum yang diijinkan pada pahat tanpa terjadinya buckling pada drill pipe (lb), F = konstanta friksi longitudinal antara drill string dengan dinding sumur,  = inklinasi dari arah vertikal sumur, dan Ldc = panjang drill collar. 13.3.6. Peregangan Drill Pipe Peregangan atau perpanjangan drill pipe yang timbul dari suatu gaya tarik umumnya dihitung untuk digunakan sebagai salah satu parameter desain. Besarnya peregangan tersebut terjadi ketika suatu gaya tarik yang besarnya bergantung pada besarnya tarikan tersebut, panjang drill pipe, elastisitas material, dan luas penampang dinding drill pipe. Peregangan drill pipe terjadi oleh beban yang ditanggungnya dan dari berat drill pipe itu sendiri. Persamaan-persamaan berikut dapat digunakan untuk menghitung perpanjangan drill pipe dalam satuan in. Peregangan oleh berat yang ditanggung: e1 



PL ....................................................................................(13-25) 735444  Wdp



Peregangan oleh berat drill pipe itu sendiri: L2 65.44  1.44 m  ............................................................(13-26) e2  9.625  10 7 dimana L = Panjang (ft), P = Beban (lb), Wdp = Berat drill pipe (lb/ft),



m



= Densitas lumpur (ppg)



13.3.7 Kecepatan Putar Kritik Kecepatan putar kritik drill string mengakibatkan melengkungnya drill pipe, keausan yang berlebihan, fatigue failure, dan lain-lain. Kecepatan kritik bervariasi terhadap panjang dan ukuran drill string, drill collar , dan ukuran lubang. Persamaan untuk menentukan kecepatan putar kritik sampai terjadinya vibrasi longitudinal: 258000 N ..............................................................................................(13-27) L dimana L = Panjang total drill string (ft) System of Units



597



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Vibrasi sekunder dan vibrasi harmonik yang lebih tinggi terjadi pada kecepatan putar yang besarnya 4, 9, 16, 25, 36, ..... kali lipat dari persamaan di atas 1 4760000 2 2 2 N d  d ....................................................................................... (13-28) o i I2











dimana l = Panjang satu joint drill pipe (in), d o = Diameter luar drill pipe (in), d i = Diameter dalam drill pipe (in) 13.4. Analisa Vertikal Drillstring Desain 13.4.1. Analisa Vertikal Drillstring Desain Pada bagian ini akan diberikan lima macam analisa : 13.4.1.1. Weight On Bit Kritis Persamaan LUBINSKI yang dimodifikasi oleh MITCHELL digunakan untuk menghitung berat bit yang akan menyebabkan buckling pada drill collar tahap pertama dan kedua.Persamaannya adalah sebagai berikut :



  3.7570476B



 )( D  d ) ( D  d ) 



C w1  1.94 70476B f ( D 2  d 2 )( D  d ) 3 ( D  d ) 3 C w2



2



2 f



(D 2  d 2



3



3



1 3



1



3



............................................ (13-29) ............................................ (13-30)



Dimana: C w1 = WOB yang diperlukan untuk membuat buckling tahap pertama C w 2 = WOB yang diperlukan untuk membuat bucklingtahap kedua



B f = Bouyancy factor, dimensionless D = Diameter luar drill collar, in d = Diameter dalam drill collar, in 13.4.1.2. Kecepatan Putar Kritis Persamaan DAREING untuk kecepatan putar kritis tanpa shock-sub di lubang adalah sebagai berikut :



N cr 



84240 i  ...................................................................................... (13-31) L



dimana : N cr = Kecepatan putar, rpm L = Panjang total BHA termasuk HWDP, ft i = Mode vibrasi alam (pertama, kedua dan seterusnya) 13.4.1.3. Faktor Stickiness Drill String Persamaan LOVE untuk menentukan faktor stickiness drill string adalah sebagai berikut :



598



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



A  10  OH  5000M  2  FL BHA  800 ..............................(13-32) SF  2



0.5



w



1  1011



dimana : SF = Faktor stickiness drill string, dimensionless = Kemiringan maksimum lubang, derajat A OH = Panjang lubang sumur, ft = Densitas lumpur, ppg Mw = API fluid loss, cc/30 min FL BHA = Panjang BHA, ft 13.4.1.4. Diameter Lubang Efektif Minimum Persamaan LUBINSKI dan WOODS untuk menghitung diameter lubang efektif minimum (MHED), adalah sebagai berikut : MEHD 



ukuranbit  ODmin 2



(13-33)



13.4.1.5. Berat di Udara dan Berat Apung BHA Berat drill string, berat apung drill string dan berat drill string dengan inklinasi dihitung dengan persamaan-persamaan berikut ini :











Dw  2.67 Do  Di .............................................................................(13-34) 2



2



 M  ....................................................................(13-35) Bw  Dw 1   w  65450    I w  Bw  cos A .......................................................................................(13-36) dimana : = Diameter luar anggota drill string, in Do



Di



Mw A Dw Bw Iw



= Diameter dalam anggota drill string, in = Densitas lumpur, ppg = Kemiringan rata-rata lubang, derajat = Berat drill string, lb = Berat apung drill string, lb = Berat drill string dengan inklinasi, lb



Input data untuk analisa drill string adalah : a. Kedalaman terukur total b. Densitas lumpur c. API fluid loss d. Safety Factor e. Diameter bit f. Inklinasi lubang maksimum



System of Units



599



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



g. Kedalaman terukur casing shoe terdalam h. ID, OD, dan panjang total drill pipe i. ID, OD, dan panjang total HWDP j. ID, OD, dan panjang total drill collar Output yang diperoleh yaitu : a. Factor Stickiness drill string b. Diameter lubang efektif minimum c. WOB kritis tingkat pertama d. WOB kritis tingkat kedua e. Kecepatan putar tanpa shock sub mode pertama f. Kecepatan putar tanpa shock sub mode kedua g. Kecepatan putar tanpa shock sub mode ketiga h. Berat BHA di udara i. Berat apung BHA j. Berat apung BHA dengan inklinasi diperhitungkan. 13.5. Contoh Soal 1. Lubang 13500 feet akan dibor menggunakan rig yang menggunakan drill pipe baru 5 inch Grade E dan X95, dimana beratnya 113.5 lb/ft dan diameter dalam 4.276 inch. Berat lumpur pada kedalaman tersebut adalah 12.5 ppg.Bila panjang drill collar 984 feet dengan berat 157374 lbs, Margin of Overpull (MOP) dipakai 5000 lbs dan Safety Factor 90 %, tentukan: a. Panjang maksimum drill pipe Grade E yang dapat digunakan? b. Berat total drill collar dan drill pipe Grade E? c. Panjang maksimum drill pipe Grade X95 yang dapat digunakan? d. Panjang drill pipe Grade X95 yang dipakai dalam kasus ini? e. Berat total pipa di Permukaan (DC + DP-E + DP - X95)? f. MOP yang masih tersedia pada drill pipe X95? g. Torsional strength maksimum pada drill pipe Grade E yang digunakan? h. Torsional strength maksimum pada drill pipe Grade X95 yang digunakan? (Keterangan : drill pipe dengan Grade yang lebih tinggi dipasang pada bagian atas dan Grade yang lebih rendah dipasang di bagian bawah, persis diatas drill collar). 2. Lubang 13500 ft akan dibor dengan menggunakan rig yang menggunakan pipa premium 4 inch Grade E (14 lb/ft), pipa baru X95 (14 lb/ft), pipa X105 (15,7 lb/ft).Berat lumpur pada kedalaman tersebut adalah 10 ppg.Bila panjang Drill Collar 900 ft dengan berat diudara 56 lb/ft, Margin of Overpull (MOP) dipakai 75000 lb dan safety factor 80%.Keterangan: 1. Pipa dengan grade yang lebih tinggi dipasang pada bagian atas dan yang lebih rendah Grade-nya dipasang di bagian bawah, persis di atas drill collar. 2. MOP tidak boleh terlampaui Berapakah panjang masing-masing drill pipe yang dapat dipakai dan paling ekonomis.



600



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



System of Units



2009



601



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN



Pe Pi re ri re



x  a , r , t F W i e Ai Ae Ap



= Tekanan di luar pipa pada kedalaman yang diinginkan (psi), = Tekanan di dalam pipa pada kedalaman yang diinginkan (psi), = Jarak radius yang menjadi pengamatan (in), = Diameter dalam pipa (in), =Diameter luar pipa (in), = Jarak dari ujung bawah pipa (in), = Berturut-turut adalah stress aksial, radial, dan tangensial. = Gaya eksternal, lbf = Berat rata-rata di udara dari pipa per satuan panjang, lbm/in = Densitas fluida di dalam tubing, lbm/in3 = Densitas fluida di annulus, lbm/in3 = Luas bidang yang sesuai dengan ID tubing, in2 = Luas bidang yang sesuai dengan OD tubing, in2 = Luas bidang yang sesuai dengan ID packer, in2



pi pe P Ldp



= Tekanan di dalam pipa pada ujung bawah, psi



Ldc



= Panjang drillcolar, ft



Wdp



= Berat drillpipe, lb/ft



Wdc Pa Pt



= Berat drill colar, lb/ft = Yield strength teoritik, lb = Yield strength drill pipe, lb = Margin of Overpull, lb = Safety factor = Bouyancy factor = Densitas lumpur, ppg



MOP SF BF m 1 2 Y L P Pco Pca



FS Ym Q



A 602



= Tekanan di luar pipa pada ujung bawah, psi = Berat beban = Panjang drill pipe, ft



= Densitas fluida di luar drill pipe, ppg = Densitas fluida di dalam drill pipe, ft = Tinggi kolom fluida di dalam drill pipe, ft = Kedalaman total sumur, feet = Perbedaan tekanan, psi = Tekanan colapse, psi = Tekanan collapse terkoreksi, psi = Gaya tensile tambahan akibat shock loading, lb/ft = Yield strength minimum = Yield strength torsional minimum, lb/ft = Luas penampang, in2 System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



do



di



J DBW N l







C w1 C w2



Bf D d N cr L i SF A OH Mw FL BHA Do Di Mw A Dw Bw Iw



2009



= Diameter luar drill pipe, in = Diameter dalam drill pipe, in = Momen inersia, in4 = Berat maximum tanpa buckling, lb = Kecepatan putar, RPM = Panjang 1 joint, in = Inklinasi dari arah vertikal, derajat = WOB yang diperlukan untuk membuat buckling tahap pertama = WOB yang diperlukan untuk membuat buckling tahap kedua = Bouyancy factor, dimensionless = Diameter luar drill collar, in = Diameter dalam drill collar, in = Kecepatan putar, rpm = Panjang total BHA termasuk HWDP, ft = Mode vibrasi alam (pertama, kedua dan seterusnya) = Faktor stickiness drill string, dimensionless = Kemiringan maksimum lubang, derajat = Panjang lubang sumur, ft = Densitas lumpur, ppg = API fluid loss, cc/30 min = Panjang BHA, ft = Diameter luar anggota drill string, in = Diameter dalam anggota drill string, in = Densitas lumpur, ppg = Kemiringan rata-rata lubang, derajat = Berat drill string, lb = Berat apung drill string, lb = Berat drill string dengan inklinasi, lb



System of Units



603



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PUSTAKA 1. McAllister E.W., "Pipe Line Rules of Thumb Handbook: A Manual of Quick, accurate solutions to to everyday pipe line problems", Third Edition, Gulf Publishing Company, Houston, 1993. 2. nn., "Pipe Characteristics Handbook", Williams Natural Gas Company Engineering Group, PennWell Publishing Company, Tulsa-Oklahoma, 1996. 3. nn., "Drilling", SPE Reprint Series no. 6a., SPE of AIME, Dallas-Texas, 1973. 4. Moore P.L., "Drilling Practices Manual", Penn Well Publishing Company, Second Edition, Tulsa-Oklahoma, 1986. 5. nn, "Drill Stem Design and Inspection", First Edition, T.H. Hill Asociates, 1992.



604



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Bab 14 Metode Inspeksi Drillstring 14.1 Metode Inspeksi Ada berbagai macam metode yang dilakukan dalam dunia perminyakan untuk menginspeksi / memeriksa drill string yang tujuan utamanya mengurangi kegagalan (failure) pada drill string. Pada bab ini akan diperlihatkan secara singkat jenis-jenis metode inspeksi yang paling sering di industri migas saat ini. 14.1.1. Visual Tube Prosedur pemeriksaan yang dilakukan secara visual terhadap permukaan bagian luar dan bagian dalam dari drill pipe tube untuk menentukan kondisinya secara umum. Sebelum dilakukan pemeriksaan maka permukaan tube harus bersih sehingga permukaan logam dapat dilihat langsung dan tidak ada partikel di permukaan tersebut yang lebih besar dari 1/8 inch sehingga dapat dilepaskan dengan jari tangan. Standar penerimaan (acceptance) pada pemeriksaaan ini adalah permukaan pipa yang diperiksa harus benar-benar mulus, tidak ada pitting, lekukan ataupun cacat lainnya. 14.1.2. OD Gage Tube Merupakan pemeriksaan menggunakan peralatan mekanis.



terhadap



diameter



luar



(OD)



pipa



dengan



Alat ukur yang digunakan dapat merupakan alat ukur langsung atau go/no-go gauge type yang mampu mengukur diameter terkecil dan terbesar yang diperbolehkan untuk diameter luar tube. Pengukuran dilakukan secara mekanis dari upset ke upset dengan menyeret pengukur sepanjang panjang pipa ketika pipa berputar. Pipa tersebut sedikitnya harus berputar satu kali untuk setiap 5 feet pemeriksaaan. Pipa yang ternyata OD-nya tidak sesuai dari standar yang ada harus ditolak. 14.1.3. Ultrasonic Wall Thickness Pengukuran dengan menggunakan gelombang ultrasonic terhadap drill pipe untuk mengukur ketebalan dinding pipa pada bagian didekat titik tengah pipa dan pada bagian dimana keausan kemungkinan besar dapat terjadi. Instrumen ultrasonic harus memiliki tipe pulsa echo dengan display digital atau analog. Transducer harus memiliki elemen transmisi dan penerima yang terpisah. Pengukuran harus diambil dalam 1 foot pada setiap bagian tengah pipa. Pengukuran tambahan dapat dilakukan dengan cara yang sama pada area yang dipilih oleh inspektor. Pengukuran ketebalan harus dilakukan disekeliling lingkar pipa dengan peningkatan maksimum 1 inch.



14.1.4. mpi Slip/upset System of Units



605



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Pemeriksaaan terhadap permukaan bagian luar slip dan upset dari drill pipe yang telah terpakai untuk mengetahui ketidaksempurnaan secara transverse dan 3-D, dengan menggunakan teknik dry magnetic dengan medan AC aktif. Pemeriksaan ini meliputi 36 inch pertama dari pin tool joint shoulder dan 48 inch pertama dari box shoulder. Bagian tersebut harus diperiksa menggunakan medan longitudinal AC-aktif dan bubuk besi kering. Medan listrik tersebut harus dialirkan secara kontinu pada saat melakukan pemeriksaan. Daerah yang memberikan indikasi meragukan harus dibersihkan dan diperiksa ulang. Ketidaksempurnaan pada drill pipe ( seperti: retak ) harus tidak melebihi batasan spesifikasi yang diberikan pada Tabel 14.1 dan Tabel 14.2. Tabel 14.1.Klasifikasi Drill Pipe Tubes Dan Tool Joint Yang Telah Terpakai



Tabel 14.2.Kriteria Dimensi Yang Dapat Diterima Untuk Drill Pipe Yang Telah Terpakai 606



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



14.1.5. Ut Slip/upset Penggunaan shear wave ultrasonic untuk memeriksa daerah slip dan upset pada drill pipe dan HWDP yang telah digunakan. Metode ini digunakan untuk mendeteksi ketidaksempurnaan secara transverse dan 3 dimensi pada bagian dalam dan luar pipa. Pemeriksaan ini meliputi tool joint tapers ke 36 inch dari pin tool joint shoulder dan 48 in dari box shoulder. 14.1.6. Visual Connection Pemeriksaan secara visual terhadap sambungan, shoulders dan tool joint untuk pemeriksaan profil dari thread dan pengukuran box swell. Hal yang dievaluasi pada pemeriksaan dengan metode ini adalah penanganan kerusakan, indikasi kerusakan torsional, galling, washout, korosi, penandaan berat/grade pada tool joint dan pin flat. 14.1.7. Dimensional 1 Pemeriksaan dengan metode ini meliputi pengukuran OD, ID tool joint, lebar box shoulder, tong space dan box swell. Peralatan yang digunakan adalah sejenis mistar baja 12-inch yang dilengkapi dengan metal straightedge serta ID dan OD caliper. Hal yang dievaluasi pada pemeriksaan metode ini adalah kapasitas torsional pin dan box, torsional matching tool joint dan tube, shoulder yang sesuai untuk mendukung make-up stresses. 14.1.8. Dimensional 2 Pemeriksaan dengan metode ini meliputi bagian yang sama dengan 'dimensional 1' , dan ditambah dengan pengukuran kedalaman counterbore, pin lead, diameter bevel, lebar box seal dan kedataran shoulder. Bagian-bagian tersebut digambarkan pada Gambar 14.1.



System of Units



607



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 14.1. Tool Joint Dimensions. Hal-hal yang akan dievaluasi dalam pemeriksaan ini adalah sama dengan 'dimensional 1' ditambah bukti kerusakan torsioanl, ikatan potensial box thread dengan pin flat, lebar shoulder yang berlebihan, daerah seal yang cukup untuk menghindari galling, dan shoulder yang tidak datar. 14.1.9. Dimensional 3 Merupakan pemeriksaan dimensi yang meliputi, rotary shouldered connections yang telah digunakan pada drill collars, komponen BHA dan HWDP. Juga termasuk pengukuran sambungan OD dan ID, pin lead, box counterbore, diameter bevel, tong space, bentuk relief stress, dan diameter tengah upset pada HWDP, pemeriksaan profil thread (ulir), kondisi shoulder, dan pemeriksaan visual crakcks dan box swell. Dimensidimensi tersebut digambarkan pada Gambar 14.1, 14.2, dan 14.3. Hal yang akan dievaluasi pada pemeriksaan dengan metode ini adalah kapasitas torsional HWDP pin dan box, bukti kerusakan torsional, lebar shoulder yang berlebihan, dimensi yang sesuai untuk bentuk profil stress untuk mengurangi tekanan lekuk pada sambungan, keausan pada HWDP center upset.



608



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 14.2. Dimensi Sambungan BHA



Gambar 14.3. HWDP Center Upset 14.1.10. Blacklight Connection Pemeriksaan sambungan ferromagnetic HWDP dan BHA untuk mengetahui ketidaksempurnaan permukaan melintang (transverse surface flaws) dengan menggunakan partikel magnetik yang berpendar dan basah (blacklight technique).



System of Units



609



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Peralatan yang digunakan menggunakan: particle bath mediums, medium dasar minyak tidak dapat digunakan apabila menghasilkan cahaya berpendar bila terkena sinar hitam (black light), medium dasar air dapat digunakan jika membasahi permukaan tanpa menimbulkan kesalahan penglihatan. Blacklight equipment: blacklight intensity meter dan blacklight dengan mercury vapor bulb dengan laju 100 watts. DC Coil Indikator partikel medan magnet digunakan untuk memperjelas besarnya medan dan orientasi Hal-hal yang akan dievaluasi dalam pemeriksaan ini adalah eksistensi keretakan akibat fatigue. 14.1.11. Ut Connection Pemeriksaan terhadap rotary shouldered connections untuk ketidaksempurnaan melintang (transverse) dengan menggunakan teknik gelombang kompresi ultrasonic. Pemeriksaan ini dilakukan pada HWDP tool joints dan sambungan BHA, sedangkan hal yang akan dievaluasi adalah keberadaan retak akibat fatigue. 14.1.12. Liquid Penetrant Connections Pemeriksaan terhadap rotary shouldered connections dan permukaan yang berdekatan pada peralatan non-magnetik BHA. Penggunaan air dan solven yang visible dan berpendar serta mudah dibersihkan dan memiliki penetrasi yang bagus, digunakan pada metode pemeriksaan jenis ini. Hal yang dievaluasi dengan menggunakan metode ini adalah keberadaan retak fatigue dengan menggunakan zat penetrant yang sesuai maka diharapkan pemeriksaan terhadap crack yang terjadi dapat lebih teliti. 14.1.13. Elevator Groove Pemeriksaan yang dilakukan untuk meverfikasi dimensi OD Drill Collar, sisi kedalaman dan panjang elevator dan slip groove. Ilustrasi diperlihatkan pada Gambar 14.4.



Gambar 14.4. Drill Collar grooves untuk Elevators dan Slips



610



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



14.2. Program Inspeksi Tabel 14.3, Tabel 14.4, dan Tabel 14.5 menjelaskan tentang rekomendasi program pemeriksaan terhadap drill pipe, heavy-weight drill pipe dan drill collar serta rekomendasi awal frekuensi pemeriksaan serta gambar 14.5. Tentang rekomendasi praktis pemeriksaan drill pipe. Kriteria tool joint dan sambungan BHA diperlihatkan pada Tabel 14.6 dan tabel 14.7.



Gambar 14.5. Rekomendasi Pemeriksaan Praktis Drill Pipe



Tabel 14.3.Rekomendasi Program Inspeksi Untuk Drill Pipe



System of Units



611



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 14.4. Rekomendasi Program Inspeksi Untuk Drill Collar dan HWDP



Tabel 14.5. Rekomendasi Permulaan Frekuensi Inspeksi



612



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



System of Units



2009



613



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 14.6. Kriteria Dimensi Tool Joint yang Digunakan



614



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 14.6. Sambungan



System of Units



615



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 14.6. Sambungan



616



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel.14. 6. Sambungan



System of Units



617



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 14.6. Sambungan



618



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 14.6. Sambungan



System of Units



619



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 14.6. Sambungan



620



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 14.7. Kriteria Dimensi Sambungan BHA



System of Units



621



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 14.7. Sambungan



622



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 14.7. Sambungan



System of Units



623



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 14.7. Sambungan



624



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 14.7. Sambungan



System of Units



625



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 14.7. Sambungan



626



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 14.7. Sambungan



System of Units



627



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 14.7.Sambungan



628



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 14.7. Sambungan



System of Units



629



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Tabel 14.7. Sambungan



630



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PUSTAKA 1. McAllister E.W., "Pipe Line Rules of Thumb Handbook: A Manual of Quick, accurate solutions to to everyday pipe line problems", Third Edition, Gulf Publishing Company, Houston, 1993. 2. nn., "Pipe Characteristics Handbook", Williams Natural Gas Company Engineering Group, PennWell Publishing Company, Tulsa-Oklahoma, 1996. 3. nn., "Drilling", SPE Reprint Series no. 6a., SPE of AIME, Dallas-Texas, 1973. 4. Moore P.L., "Drilling Practices Manual", Penn Well Publishing Company, Second Edition, Tulsa-Oklahoma, 1986. 5. nn, "Drill Stem Design and Inspection", First Edition, T.H. Hill Asociates, 1992.



System of Units



631



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



BAB 15 Komplesi, Workover dan Stimulasi 15.1. Komplesi Sesudah sumur dibor maka langkah selanjutnya adalah melakukan penyempurnaan sumur (komplesi) agar fluida dari dasar sumur dapat mengalir ke permukaan. Jenis komplesi sumur ini bermacam-macam pilihannya tergantung pada beberapa faktor, diantaranya adalah : □ biaya □ diperlukannya well stimulation □ beberapa masalah produksi khusus, seperti sand control atau artificial lift □ jenis pendorong reservoir □ Lokasi batas gas-minyak dan air-minyak □ kemungkinan dilaksanakannya secondary recovery dimasa yang akan datang Metoda well completion terbagi atas dua bagian utama yaitu bottom hole completion dan tubing completion. Bottom hole completion dapat dilakukan secara uncased hole completion (tanpa penahan) atau secara cased hole completion (dengan penahan) yang diperforasi. Pada tubing completion diusahakan agar mampu mengangkat fluida yang telah berada dalam lubang sumur ke permukaan dengan semaksimal mungkin. 15.1.1. Bottom Hole Completion Pada metoda ini terbagi atas dua macam yaitu open hole completion dan perforated casing completion. Open hole completion merupakan metoda yang paling sederhana, dimana casing hanya dipasang sampai puncak formasi produktif, sehingga formasi produktif tidak tertutup secara mekanis. Metoda ini hanya cocok untuk formasi yang kompak (tidak mudah gugur). Pada metoda perforated casing completion, casing produksi dipasang menembus formasi produktif dan disemen yang selanjutnya diperforasi pada interval-interval yang diinginkan. Dengan adanya casing produksi tersebut maka formasi yang mudah gugur dapat ditahan, Gambar 15.1.



632



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 15.1 Openhole Completion 15.1.2. Tubing Completion Tubing completion berdasarkan jumlah production string yang digunakan dalam satu sumur, dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : □ Single completion □ Commingle completion □ Multiple completion 1. Single Completion Dalam metoda single completion digunakan satu production string, dimana sumur hanya memiliki satu lapisan/zone produktif atau banyak lapisan tetapi diproduksi secara bergantian masing-masing zona. Single completion dapat dilakukan secara open hole bila formasinya cukup kompak, dan dilakukan secara perforated jika formasinya kurang kompak dan diselingi lapisanlapisan tipis dari air atau gas, Gambar 15.2.



System of Units



633



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 15.2 Single Layer Single Tubing Completion 2. Commingle Completion Dengan menggunakan metoda commingle (gambar 15.3) maka sumur yang mempunyai lebih dari satu lapisan/zone produktif dapat diproduksikan melalui satu production string. Metoda commingle ini terdiri dari beberapa jenis yaitu : a. Tanpa menggunakan production tubing, jenis ini biasanya digunakan untuk sumur dengan productivitas yang sangat besar dan fluida produksi tidak korosif. b. Menggunakan tubing tanpa packer, jenis ini biasanya digunakan untuk sumur dengan fluida produksi bersifat korosif atau mengandung bahanbahan pembentuk scale. Tubing yang dipasang tersebut digunakan untuk menginjeksi corrosion inhibitor atau paraffin solvent. c. Single tubing single packer d. Single tubing, single packer dengan ekstra tubing, ekstra tubing tersebut digunakan untuk menginjeksi zat kimia e. Single tubing single (dual) packer



634



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 15.3 Double Layer Single Tubing 3. Multiple Completion Dilakukan untuk sumur yang memiliki lebih dari satu lapisan/zone produktif. Tiap-tiap zone produktif diproduksikan sendiri-sendiri secara terpisah sesuai dengan produktivitasnya masing-masing, sehingga dapat memaksimalkan recoverable oil. Pada metoda ini pengontrolan masingmasing zone produksi dan kerusakan alat atau formasinya dapat dilakukan secara mudah tetapi biaya yang harus dikeluarkan lebih besar dibandingkan dengan metoda lainnya. Jenis multiple completion adalah, Gambar 15.4.



Gambar 15.4 Double Layer Dual Tubing Completion a. Multiple-packer completion, packer pada jenis completion ini digunakan sebagai pemisah fluida antar zone produktif. Multiple packer yang biasa digunakan ada dua macam yaitu : □ paralel tubing string □ paralel concentric tubing string



System of Units



635



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



b. Multiple-tubingless completion, dalam metoda ini tidak digunakan production tubing tetapi digunakan casing yang berukuran kecil (biasanya 2 7/8 inch). Jenis ini cocok untuk sumur-sumur yang berumur panjang dan mempunyai banyak masalah seperti sand control, pada saat fracturing, saat acidizing dan masalah-masalah lain yang memerlukan stimulasi/treatment. Metoda ini kurang cocok untuk sumur dengan fluida produksi yang bersifat korosif karena casing dipasang dan disemen secara permanen. 15.1.3. Liner Completion Metoda ini biasanya digunakan untuk formasi produktif yang faktor sementasinya berharga 1.4 - 1.7. Liner completion terdiri dari dua jenis, Gambar 15.5 yaitu : □ Screen Liner Completion □ Perforated Liner Completion



Gambar 15.5 Wire Screen and Liner Completions 1. Screen Liner Completion Dalam metoda ini menggunakan cara casing produksi dipasang sampai puncak dari formasi/zone produktif kemudian liner dipasang pada zone produktif yang dikombinasikan dengan screen sehingga pasir yang terproduksi tertahan oleh screen. Pada penggunaan screen liner ada beberapa macam type yang biasa digunakan, terdiri dari : a. Slotted screen liner, yaitu screen liner dengan lubang berupa celah vertikal atau horizontal b. Wire wrapped screen liner, yaitu merupakan pipa saringan berbentuk anyaman c. Prepacked sand screen liner, yaitu berupa saringan dengan dua pipa yang diantaranya diisi gravel pack Keuntungan : □ formation damage selama pemboran yang melewati zone produktif dapat dikurangi karena tidak dilakukan penyemenan □ intepretasi log tidak kritis



636



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



□ pembersihan lubang dapat dihindari □ pengurangan biaya karena tidak dilakukan perforasi Kelemahan : □ sukar mengontrol terproduksinya air dan gas □ fluida mengalir ke lubang bor tidak dengan diameter penuh □ stimulasi/treatment tidak dapat dilakukan secara efektif □ rig time bertambah dengan digunakannya cable tools □ tidak mudah menambah kedalaman 2. Perforated liner completion Casing dipasang sampai diatas zone produktif, kemudian disambung dengan casing liner yang disemen dan diperforasi. Keuntungan : □ produksi gas atau air dapat dikontrol □ stimulasi dapat dilakukan secara selektif Kelemahan : □ fluida mengalir ke lubang tidak dengan diameter penuh □ intepretasi log kritis □ penyemenan sulit dilakukan □ ada tambahan biaya perforasi, penyemenan dan rig time 15.1.4. Gravel Pack Completion Metoda ini dilakukan bila screen liner masih tidak mampu menahan terproduksinya pasir. Caranya adalah dengan menginjeksikan sejumlah gravel pada formasi produktif di sekeliling casing, sehingga fluida akan tertahan oleh pasir yang membentuk barrier di belakang gravel, dan gravel ditahan oleh screen. adapun pemasangan gravel pack adalah sebagai berikut: □ Formasi produktif yang akan dipasang gravel diperforasi terlebih dahulu, kemudian lubang sumur dibersihkan dari kotoran pasir formasi □ Rangkaian pipa diturunkan dan selanjutnya gravel diinjeksikan dengan tekanan tertentu □ Screen liner dengan packer diturunkan dengan disertai pipa pembersih (wash pipe) untuk membersihkan pasir yang ada di dalam lubang sumur. □ Setelah selesai penempatan screen liner pada kedalaman yang diinginkan, wash pipe diangkat dari lubang sumur. 15.1.5. Sand Consolidation Metoda ini dilakukan pada lapisan yang tipis dengan butiran pasir relatif besar, permeabilitas seragam (uniform) dan pasirnya bersih (clean sand). Prinsip metoda ini adalah injeksi bahan kimia ke dalam lapisan pasir sehingga pasir



System of Units



637



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



yang terlepas menjadi tersemen. Bahan kimia yang sering digunakan adalah epoxy resin, phenolic resin atau furan resin. Metoda lain merupakan kombinasi antara gravel packing dengan konsolidasi adalah gravel packing tersemen. Dalam hal ini gravel dicampur dengan material plastik kemudian diinjeksi ke dalam lubang perforasi di depan formasi. 15.2. Workover Well service operation adalah pekerjaan rutin yang harus dilakukan selama sumur berproduksi, yang berfungsi untuk memperbaiki atau meningkatkan produktivitas sumur, sedangkan workover adalah pekerjaan perbaikan yang dikatagorikan cukup berat. 15.2.1. Perawatan Perbaikan Produksi Sumur Terdapat beberapa perbaikan sumur yang mendasar, yang biasanya dilakukan oleh service company, yang bertujuan untuk memperbaiki atau memperbaharui serta memperpanjang umur sumur berproduksi, dapat dibedakan menjadi : □ Operasi Swabbing □ Sand Control dan Sand Clean Out □ Corrosion, Scale dan Paraffin Removal □ Penggantian Zone Produktif □ Pendeteksian Kebocoran dan Isolasi 15.2.2. Swabbing Swabbing adalah proses pengeluaran fluida yang terakumulasi di dasar sumur yang disebabkan oleh sumur berhenti mengalir secara alami. Kejadian ini terjadi disebabkan bila tekanan formasi tidak cukup untuk mengangkat kolom fluida yang terakumulasi di dasar sumur ke permukaan. Swabbing dilaksanakan dengan menurunkan peralatan khusus ke lubang sumur menggunakan wireline. Peralatan swabbing dilengkapi dengan “swabbing cup” yang berfungsi untuk mengangkat fluida ke permukaan, yang selanjutnya dialirkan melalui flowline yang berhubungan dengan wellhead ke tanki atau kolam penampung. Pada saat fluida dikeluarkan, tekanan hidrostatik di lubang bor menjadi rendah. Pada saat tekanan turun dibawah tekanan formasi, sumur akan mengalir secara alami kembali. Ada beberapa sumur di-swab melalui casing, tetapi sebagian besar sumur diswab melalui tubing. Operasi swabbing dapat dikerjakan dengan menggunakan unit peralatan seperti berikut ini. □ Truck Mounted Swabbing Unit Sejumlah sumur di-swabbing dengan menggunakan “pole mast production rig. Telescopic pole mast dapat diperpanjang di atas well head sehingga tersedia ruang yang cukup untuk mengatur dan mempersiapkan peralatan. □ Well Service Unit Swabbing juga dapat dikerjakan dengan regular production rig. Pada kasus ini wireline unit sering disebut dengan “sand line” dihubungkan dengan peralatan pengangkat (hoisting drum). Pemilihan penggunaan unit peralatan ini disebabkan sumur yang akan diswabbing biasanya cukup dalam.



638



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



□ Peralatan Swabbing Telescopic Portable Mast, dapat diangkat dengan posisi vertikal dengan bantuan wireline, tetapi umumnya dengan hidrolik ram, serta dapat dipertinggi sampai batas maksimum dalam beberapa menit. Biasanya, operasi swabbing tidak menggunakan unit yang didukung wireline untuk menegakkannya, tetapi dengan jenis screwtype atau hydraulicjack untuk memperoleh kestabilan diatas wellhead. □ Swabbing Line, terbuat dari fiber core dan anyaman kawat baja berkwalitas. Kekuatannya bervariasi tergantung dari diameternya. Jenis yang digunakan tergantung dari type fluida yang akan diswab serta beban gesekan yang akan diderita oleh line tersebut. □ Hoisting Drum, tempat penyimpanan, penarikan serta menahan beban yang diderita oleh wireline. Hoisting drum mempunyai kapasitas dari 10.000 sampai 000 wireline. □ Oil Saver, adalah peralatan hidrolik yang terletak di atas lubricator. Oil saver memperkecil bocornya fluida di sekitar wireline, memperkecil kemungkinan tersemburnya fluida ke sekitar lingkungan sumur. □ Lubricator, tabung kontainer yang ditempatkan di atas master valve, atau shut-off valve pada wellhead. Peralatan ini juga berfungsi sebagai pengatur tekanan pada saat operasi swabbing berlangsung. □ Level Winder, alat untuk mengatur gulungan kawat (wireline), guna mencegah kemungkinan gulungan kawat menjadi kusut. □ Swabbing Assembly, peralatan swabbing yang diturunkan ke dasar sumur terdiri dari empat komponen, yaitu : □ Wire Rope Socket, alat yang digunakan untuk menyambung antara peralatan swabbing dengan wireline □ Sinker Bar, biasanya 1 1/2" diameter heavy metal bar dengan panjang sekitar 20’. Peralatan ini diletakkan di atas unit swabbing sebagai pemberat, sehingga wireline mudah diturunkan dan tidak akan kusut selama berada di dalam sumur □ Set of Jar, tabung kosong yang bekerja secara hidrolis guna menghadapi bahaya stuck □ Swabbing Unit, piston-like object yang terdiri dari cup dan valve yang tersusun dalam mandrel. Pada saat diturunkan ke dalam fluid valve akan terbuka, sehingga swabbing unit dapat mencapai dasar sumur. Pada saat



System of Units



639



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



ditarik valve akan tertutup, sehingga fluida yang terdapat pada cup akan terperangkap dan terangkat ke permukaan. 15.2.3. Sand Control Penurunan produktivitas sumur dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu : □ kondisi reservoir □ kondisi produksi □ proses penyumbatan pada tubing □ lubang bor dan perforasinya □ kerusakan mekanis Plugging/penyumbatan pada tubing, lubang bor dan perforasinya dapat disebabkan oleh : □ pasir □ partikel-partikel formasi termasuk batuannya □ partikel-partikel lumpur □ endapan parafin □ aspalt scale □ collapse pada tubing/casing. Terproduksinya pasir dalam sumur dapat menimbulkan bermacam-macam masalah, diantaranya yaitu : □ Kerusakan peralatan dan fasilitas produksi □ Peyumbatan aliran fluida produksi dalam pipa alir □ Masalah-masalah lain yang sangat mengganggu produktivitas sumur Hal-hal yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan kerja ulang (workover) karena adanya masalah pasir, adalah : 1. Gravel Pack Gravel pack merupakan workover yang terbaik untuk single completion dengan zone produksi yang panjang. Pelaksanaanya adalah sebagai berikut : a. Pembersihan perforasi dengan clean fluid sebelum gravel pack dipasang. b. Penentuan ukuran gravel pack sesuai dengan ukuran butiran pasir formasi. c. Squeeze gravel pack ke dalam lubang perforasi, digunakan water wet gravel jika digunakan oil placement fluid. d. Produksikan sumur dengan segera setelah packing, aliran produksi dimulai dengan laju produksi rendah kemudian dilanjutkan dengan kenaikan laju produksi sedikit demi sedikit. e. Metoda ini merupakan metoda pengontrolan pasir yang paling sederhana dan paling tua umurnya. Pada prinsipnya, adalah gravel yang ditempatkan



640



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



pada annulus antara screen/sloted dengan casing/lubang bor, dimaksudkan agar dapat menahan pasir formasi. 2. Sand Consolidation Sand consolidation dengan menggunakan material plastik. Pemilihan metoda ini cocok untuk zone produksi yang pendek. Cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut : a. Clean fluid secara uniform b. Menginjeksikan material plastik ke zone produktif c. Membersihkan pasir yang kotor dengan HF acid-mutual solvent Merupakan teknik dengan menginjeksikan resin ke dalam formasi, dimana resin tersebut diharapkan mengikat butir pasir, sehingga berfungsi sebagai material penyemen. 3. Resin Coated Gravelpack Injeksi dengan menggunakan plastic coated sand dan viscous placement fluid, biasanya metoda ini dipakai pada zone yang panjangnya medium, dimana pasir telah diproduksikan dan memperlihatkan gejala caving. Metoda yang digunakan adalah “sand lock”, yaitu dengan memasukkan resin pembungkus gravel ke dalam formasi. Resin disini akan membentuk jaringan batu pasir sintetis yang sangat permeabel. 15.2.4. Corrosion, Scale dan Paraffin Removal 15.2.4.1. Corrosion Removal Material yang terbuat dari logam karena kondisi lingkungan yang tidak sesuai akan mengalami suatu proses yang disebut dengan korosi. Bijih logam pada umumnya merupakan senyawa oxida yang lebih stabil dari logamnya sendiri. Logam mempunyai kecenderungan untuk bereaksi dengan oksigen, sulfat dan elemen-elemen lain membentuk persenyawaan yang lebih stabil, sehingga terbentuklah korosi. Hadirnya air dalam proses korosi merupakan elektrolit, karena mengandung garam-garam seperti chlorida, sulfida, atau gas terlarut seperti H2S, CO2, oksigen atau SO2, sehingga arus listrik dari anoda ke katoda dapat mengalir. Untuk mencegah korosi maka arus listrik ini harus dihentikan atau logam dalam keadaan netral. Untuk meng-hentikan arus ini dapat dilakukan dengan melawan arus tersebut (chatodic protection) atau dengan menggunakan inhibitor atau coating, kedua material ini tahan terhadap arus listrik. 15.2.4.2. Scale Removal Air formasi mengandung bermacam-macam bahan kimia dalam bentuk ionion yang larut. Ion-ion tersebut bergabung satu sama lainnya membentuk senyawa yang tidak dapat larut dalam air. Apabila jumlah senyawa tersebut cukup banyak sehingga melampaui batas kelarutannya pada suatu kondisi, maka senyawa tersebut mengendap dalam bentuk padatan yang sering disebut scale. Batas kelarutan suatu senyawa dalam air tergantung pada beberapa faktor yaitu : System of Units



641



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



a. Tekanan b. Temperatur c. Tekanan Parsial CO2 d. TDS (Total Dissoleved Salt) Perubahan keempat faktor tersebut dapat terjadi di dalam sumur, mulai dari dasar sumur sampai ke permukaan, ataupun sepanjang pipa salur. Dengan demikian endapan atau scale sering sekali diketemukan di lubang perforasi sumur, sepanjang tubing ataupun sepanjang pipa salur yang dapat menyumbat aliran fluida sehingga akan menurunkan produktivitas sumur. Jenis scale yang sering ditemui adalah : kalsium karbonat, kalsium sulfat, barium sulfat, stronsium sulfat, dan senyawa-senyawa besi. Pencegahan scale dapat dilakukan dengan memasukkan bahan kimia tertentu (scale inhibitor) ke dalam sistem aliran. Pencegahan scale tersebut adalah sebagai berikut : □ Pada awal pembentukkan scale, yaitu merupakan kristal yang sangat kecil. Scale inhibitor tersebut akan melapisi kristal dan mencegah pertumbuhan kristal lebih lanjut. □ Scale inhibitor mencegah kristal scale mengendap di dinding tubing, pipa salur, perforasi dan sebagainya. Berdasarkan mekanisme pencegahan scale tersebut, maka dua hal pokok yang harus dilakukan, yaitu : 1. Scale inhibitor harus ditempatkan di daerah “up-stream” dari sistem aliran 2. Scale inhibitor harus berada di dalam fluida sumur secara terus menerus. Hal ini dapat dilakukan dengan menginjeksikan secara kontinyu atau ditempatkan di dalam fluida produksi sumur. 15.2.4.3. Paraffin Removal Secara umum metoda untuk membersihkan endapan paraffin dapat dikategorikan sebagai berikut, : a. Secara Mekanik b. Secara Kimia (Pelarutan Paraffin) c. Secara Panas (Pelelehan Paraffin) Secara Mekanik Metoda mekanik seperti scrapper, pisau, hook: yang dikombinasikan dengan peralatan lain yang digunakan untuk membersihkan endapan paraffin, menunjukkan hasil yang cukup memuaskan dalam pembersihan paraffin disekitar lubang bor. Secara Kimia Penggunaan larutan kimia untuk membersihkan paraffin mejadi sangat terkenal. Tetapi beberapa larutan tidak dapat digunakan di Indonesia. Carbon Disulfides (CS2), adalah pelarut paraffin yang baik, akan tetapi mempunyai titik nyala yang sangat rendah dan uapnya sangat beracun, sehingga sangat berbahaya dilakukan di lapangan. 642



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Carbon Tetraclorida (CCl4), adalah salah satu pelarut parafin yang baik, namun adanya organik-klorida dalam larutan dalam ppm (part permillion) sangat merusak refinery catalist. Biasanya minyak mentah akan ditolak jika terdeteksi mengandung organic klorida.



Secara Pemanasan Salah satu teknik pembersihan endapan paraffin yang terkenal adalah dengan melelehkan parafin dengan minyak panas (hot oil). Metoda ini sangat sederhana yaitu dengan mengalirkan minyak mentah melalui alat penukar panas dan memompakannya ke dalam sumur dengan temperatur lebih dari 150oC (300oF). Biasanya sudah cukup untuk melelehkan paraffin di dalam tubing, yang kemudian diproduksikan kembali bersama dengan minyak. Kelemahannya adalah selama minyak panas disirkulasikan, fluida tersebut mengandung kandungan paraffin dengan konsentrasi yang tinggi, mungkin ada yang bocor dan masuk ke zone produktif dan mendingin membentuk endapan paraffin di formasi. Apabila kejadian tersebut terjadi, hal ini memerlukan proses perendaman menggunakan pelarut paraffin yang baik untuk membersihakn paraffin dan mendorong keluar dari batuan formasi. Penggunaan uap sangat sukses dalam menghadapi masalah paraffin disejumlah lapangan. Berbagai metoda telah dikembangkan untuk menghadapi beberapa kondisi yang ditemui di lapangan. Semua metoda pada dasarnya mentransmisikan panas ke minyak dan paraffin di dalam tubing sehingga melelehkan paraffin yang kemudian dialirkan bersama minyak. Pemanasan dengan uap digunakan untuk memanaskan formasi dan membersihkan paraffin dari muka formasi (sand face). Tetapi kegagalannya, dapat menutup zone produksi sama seperti yang dialami jika menggunakan minyak panas. 15.2.5. Perubahan Zone Produksi Dengan berjalannya waktu produksi sumur maka formasi/reservoir akan mengalami penurunan produksi. Penurunan produksi ini dapat disebabkan oleh karena tidak tepatnya desain peralatan atau formasi tersebut cadangannya sudah habis. Apabila cadangan suatu formasi sudah berkurang, maka perlu melakukan perubahan zone produksi. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metoda,



System of Units



643



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



1. Plugging Back Plugging back adalah prosedur umum yang dilakukan untuk menutup zone produksi yang paling terbawah, sehingga tidak terjadi proses aliran antar zone atau merupakan persiapan untuk melakukan side tracking, Gambar 15.6. 2. Drilling Deeper Drilling deeper adalah prosedur workover yang biasa dilakukan untuk membor formasi yang mungkin mengandung minyak yang berada dibawah zone produksi terbawah sumur tersebut. Prosedurnya biasa memerlukan operasi squeezing dari lubang perforasi yang ada. Operasi pemboran dilakukan untuk mencapai zone berikutnya dan selanjutnya pemasangan peralatan komplesi yang baru, Gambar 15.7.



Gambar 15.6 Plugging Back



644



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 15.7 Drilling Deeper 3. Sidetracking Sidetracking adalah operasi workover dengan menggunakan prinsipprinsip pemboran berarah. Sidetracking dilakukan untuk mengganti zone produksi atau relokasi zone produksi, gambar 8. Tujuan dilakukan sidetracking adalah sebagai berikut : a. Adanya peralatan yang tidak terambil selama pemboran b. Untuk menghindari zone-zone yang dapat membahayakan pemboran c. Relokasi lubang bor untuk mencapai daerah pengurasan yang lebih baik. Drilling deeper dan sidetracking memerlukan peralatan-peralatan berat untuk mendukung pelaksanaan operasi tersebut seperti : □ Heavy duty production rig □ Circulating equipment □ Additional power Untuk sumur dengan tekan tinggi, harus didukung dengan BOP



System of Units



645



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 15.8 Sidetrack Drilling 15.2.6. Deteksi Kebocoran Dan Isolasi Untuk memonitor produksi dengan tepat pada phase dinamik (flowing), sejumlah alat khusus telah dikembangkan untuk mengetahui/mendeteksi zone kebocoran. Peralatan tersebut adalah : 1. Continous Flowmeter Continous flowmeter (Gambar 15.9) adalah centralized spinner-type velocimeter. Pada peralatan ini fluida melewati metering sehingga diperoleh persentase total laju alir. Peralatan ini digunakan untuk mengukur fluida dengan kecepatan tinggi dalam tubing dan casing, menghasilkan rekaman profil laju produksi atau laju injeksi. Kegunaan mendasar dari peralatan ini adalah :



646



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 15.9 Continous Flowmeter a. Menghasilkan catatan profil produksi atau injeksi b. Menentukan posisi bocornya tubing atau casing c. Menganalisa fracturing dan acidizing d. Menentukan Productivity Index (PI) 2. Packer Flowmeter Packer flowmeter (Gambar 15.10) adalah centralized spinner-type velocimeter yang digunakan untuk menyekat lubang bor, sehingga mengalihkan semua aliran ke arah pencatat (metering). pengukuran dapat dilakukan di atas atau di bawah zone produktif (interest). Alat ukur ini merupakan alat ukur dengan ketelitian yang baik yang hanya dapat digunakan untuk mengukur laju alir volume yang rendah (dibawah 700 bbl). Kegunaan dasar dari peralatan ini adalah : a. Menghasilkan data profil laju alir total untuk sumur produksi b. Menentukan lokasi kebocoran casing atau tubing c. Analisa fracturing dan acidizing d. Menentuka Productivity Index (PI)



System of Units



647



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 15.10 Packer Flowmeter 15.2.7. Isolasi Penutupan (plugging back) sumur merupakan prosedur yang umum dilakukan untuk menyekat atau mengisolasi zone produksi terbawah Gambar 15.11. Mengapa dilakukan plugging back ?.



648



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Gambar 15.11 Abondonment Beberapa alasan menyangkut masalah pengaturan (repositioning) atau pembatalan (abandoning) secara permanen zone/bagian dari formasi yang telah diproduksi. Hal ini disebabkan air telah menembus (break trough) zone bagian bawah, yang disebabkan oleh berbedanya permeabilitas reservoir atau tekanan reservoir telah turun sehingga air menerobos dari bawah zone minyak. Hal ini sering terjadi bila zone produksi berupa formasi yang berlapis-lapis, zone terbawah akan tertembus air terlebih dahulu. Apabila air sudah sebagian besar menerobos ke zone minyak maka sumur bagian bawah ditutup yang biasanya dengan menggunakan semen atau disumbat dengan multiple plugs menggunakan beberapa metoda atau kombinasi beberapa metoda. Alasan lainnya adalah penutupan sementara zone tersebut karena sedang operasi perbaikan sumur. Hal ini biasa dilakukan untuk testing atau selama stimulasi (fracturing, acidizing).



System of Units



649



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



15.2.8. Metoda Dasar Plugging Back Terdapat tiga basic metoda plugging back adalah sebagai berikut : 1. Cementation Cementation adalah prosedur plugging back yang biasa digunakan untuk menutup sumur openhole atau abandoning well. Penutupan sumur biasa dilakukan dengan memompakan semen yang kuat dan cepat mengeras (strengthened and fast setting cement) ke zone yang akan ditutup. 2. Mechanical Metoda mechanical ini biasanya menggunakan penyekat yang terbuat dari besi cor (cast iron) dan karet sitetik. Penyekat ini dimasukkan ke dalam dalam sumur sampai mencapai tubing string yang paling bawah. Penyekat ini di set menggunakan tekanan, sehingga penyekatnya mengembang dan memnutup zone secara permanen. 3. Retrievable Bridge Plug Retrievable Bridge Plug terbuat dari besi cor dan karet sintetis yang dapat diturunkan dengan wireline serta dapat di set secara sementara dalam casing string artinya dapat diambil kembali. 15.2.9. Perbaikan dan Pemasangan Peralatan Terdapat tiga type pemasangan dan perbaikan peralatan yang biasa dilakukan oleh well service. Perbaikan ini dilakukan selama produksi sedang berlangsung, yang terdiri dari : □ Penyelesaian Sumur serta Perbaikan dan Perawatan Peralatan Utama □ Pemasangan, Perawatan dan Perbaikan Peralatan Artificial Lift □ Pemasangan, Perawatan dan Perbaikan Peralatan Pengolahan dan Fasilitas Penyimpanan



650



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



15.3. Stimulasi Stimulasi adalah proses perbaikan formasi disekitar lubang sumur untuk meningkatkan kemampuan produksi suatu sumur. Stimulasi dapat berupa : 1. Acidizing 2. Acidizing-Fracturing 3. Hydraulic Fracturing Tujuan dari stimulasi adalah untuk meningkatkan productivity dengan meningkatkan permeabilitas sumur, baik dengan menghilangkan scale disekitar rekah-rekahan atau memperpanjang rekahan disekitar lubang bor. 15.3.1. Acidizing Asam yang sering digunakan dalam proses acidizing adalah : 1. HCl Terutama untuk formasi karbonat, konsentrasi asam yang digunakan biasanya adalah 15 % berat larutan HCl dalam air. Keburukan HCl adalah sangat korosif. Korosi yang tinggi dan sulit untuk dikontrol pada temperatur 250oF. Juga lempengan aluminium atau chromium sering ditemukan dan merusak pompa. 2. HCl - HF Campuran asam ini digunakan untuk formasi sand stone. Dalam industri kimia, HF merupakan bahan murni dalam bentuk anhydrat dengan konsentrasi 40-70 % larutan. Karakteristik korosi dari campuran asam ini dapat dibandingkan dengan asam yang hanya terdiri dari asam HCl, tetapi pada campuran asam ditemukan penghambat korosi yang lebih baik. 3. Asam Acetic Kebaikan dari asam organik secara umum adalah korosi yang lebih rendah dan lebih sedikit hambatan pada temperatur tinggi. Umumnya asam acetic digunakan pada konsentrasi 10 % berat larutan dalam air. 4. Asam Formic Asam formic lebih kecil berat melekulnya, lebih mudah daya larut batuannya dan lebih kuat asamnya dibandingkan dengan asam acetic. Dapat digunakan pada temperatur tinggi sekitar 400oF. Keburukan dari asam ini yaitu sulit mencegah korosinya. Walaupun lebih korosif dari asam acetic, tetapi lebih rendah derajat korosinya dibandingkan dengan HCl. 5. Acetic-HCl dan Formic-HCl Digunakan untuk formasi karbonat, dirancang untuk menghasilkan “dissolving power” yang ekonomis dari HCl pada saat mencapai korosi yang paling rendah (terutama pada temperatur tinggi) dari asam organik. Oleh karena itu, aplikasinya pada temperatur formasi yang tinggi, dimana biaya pencegahan korosi cenderung melebihi biaya seluruh treatment. 15.3.2. Acidizing Fracturing Acidizing fracturing hampir sama dengan acidizing tetapi diinjeksikan di bawah kondisi bertekanan sehingga dapat meretakkan formasi yang akan diacidizing. 15.3.3. Hydraulic Fracturing Proses peretakan formasi dengan menginjeksikan fluida (cair) ke formasi dibawah kondisi bertekanan sehingga dapat meretakan formasi disekitar lubang bor.



System of Units



651



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



Biasanya dalam fluida dicampur dengan material pengganjal, sehingga pada saat tekanan peretakan diturunkan maka formasi yang sudah retak tidak tertutup lagi. Merupakan fluida peretak yang dapat membawa pengganjal masuk ke rekahan, tetapi tidak membawanya lagi ke luar, disebut breaker.



652



System of Units



Copyright by Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S., ITB



2009



DAFTAR PUSTAKA 1. Schechter R.S., "Oil Well Stimulation", Englewood Cliffs, 1992. 2. nn., "Stimulation Technology Review", Vol.1, Halliburton Energy Services Publication, Houston, 1994. 3. Soliman. M.Y., "Stimulation & Reservoir Engineering Aspects of Horizontal Wells", Halliburton, 1996. 4. Skinner D.R., "Introduction to Petroleum Production, Volume 1: Reservoir Engineering, Drilling, Well Completions", Gulf Publishing Company, Houston, 1981. 5. Economides M.J. et.al., "Petroleum Production Systems", Prentice Hall Petroleum Engineering Series, Englewood Cliffs, New Jersey, 1994. 6. nn., "A Primer of Oilwell Service and Workover", Third Edition, Petroleum Extension Service, Texas, 1979. 7. Pearson R.M., "Well Completion Design and Practices", IHRDC, USA, 1987. 8. nn., "Wireline Courses", Flopetrol-Schlumberger. 9. King G.E., "An Introduction to the Basics of Well Completions, Stimulations and Workovers", 2nd Edition, Tulsa-Oklahoma, 1996. 10. Gatlin C., "Petroleum Engineering: Drilling and Well Completions", Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, 1960.



System of Units



653