Teori Belajar Bruner Ialah Belajar Penemuan Atau Discovery Learning [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Teori belajar Bruner ialah belajar penemuan atau discovery learning. Belajar penemuan dari Jerome Bruner adalah model pengajaran yang dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip konstruktivis. Di dalam discovery learning siswa didorong untuk belajar sendiri secara mandiri. Siswa terlibat aktif dalam penemuan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalaui pemecahan masalah atau hasil abstraksi sebagai objek budaya. Guru mendorong dan memotivasi siswa untuk mendapatkan pengalaman dengan melakukan kegiatian yang memungkinkan mereka untuk menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika untuk mereka sendiri. Pembelajaran ini dapat membangkitkan rasa keingintahuan siswa. Di dalam proses belajar Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa dam mengenal dengan baik adalanya perbedaan kemampuan (Slameto, 2003). Untuk meningkatkan proses belajar perlu lingkungan yang dinamakan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Menurut Jerome Bruner (dalam Ratumanan, 2002: 47), belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan, yakni: 1.    Memperoleh informasi baru. Informasi baru merupakan perluasan dari informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. Atau informasi tersebut dapat bersifat sedemikian rupa sehingga berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. 2.    Transformasi informasi. Transformasi informasi/pengetahuan menyangkut cara kita memperlakukan pengetahuan. Informasi yang diperoleh, kemudian dianalisis, diubah atau ditransformasikan ke dalam yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. 3.    Evaluasi. Evaluasi merupakan proses menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Proses ini dilakukan dengan menilai apakah cara kita memperlakukan pengetahuan tersebut cocok atau sesuai dengan prosedur yang ada. Juga sejauh manakah pengetahuan tersebut dapat digunakan untuk memahami gejala-gejala lainnya. Hampir semua orang dewasa melalui penggunaan ketiga sistem ketrampilan tersebut untuk menyatakan kemampuan-kemampuannya secara sempurna. Ketiga sistem keterampilan itu ialah yang disebut tiga cara penyajian (models of presentation) oleh Bruner. Bruner (dalam Ratumanan, 2002: 48) membagi perkembangan kognitif anak menjadi 3 tahap, yaitu: 1.    Enakrif (Enactive). Tahap ini merupakan tahap representasi pengetahuan dalam melakukan tindakan. Pada tahap ini anak dalam belajarnya menggunakan atau memanipulasi



obyek-obyek secara langsung. Dengan cara ini anak mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata. 2.    Ikonik (Iconic). Tahap ini merupakan tahap perangkuman bayangan secara visual. Pada tahap ini anak melihat dunia melalui gambar-gambar atau visulisasi. Dalam belajarnya, anak tidak memanipulasi obyek-obyek secara langsung, tetapi sudah dapat memanipulasi dengan menggunakan gambaran atau obyek. Pengetahuan yang dipelajari anak disajikan dalam bentuk gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan konsep itu sepenuhnya. 3.    Simbolik (Symbolic). Tahap ini merupakan tahap memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak lagi menggunakan obyek-obyek atau gambaran obyek. Pada tahap ini anak memiliki gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika. Lesh (dalam Sinaga, 2007) memperluas ketiga tahap di atas dengan membagi enaktif menjadi dua sub kelompok, yaitu real dan manipulatif, sedangkan yang simbolik diklasifikasi lagi menjadi dua kelompok, yaitu tertulis dan lisan. Ishida (dalam Sinaga, 2007) menggambarkan hubungan tahap-tahap di atas satu sama lain secara ruang dan mempraktekkannya dalam pembelajaran matematika untuk mengembangkan pemahaman siswa tentang konsep matematika. Belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri. Menurut Dahar (dalam Ratumanan, 2002: 49), pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan mempunyai beberapa kebaikan, yakni: a.    Pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat atau lebih mudah diingat, bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara-cara lain. b.    Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik dari pada hasil belajar lainnya. Dengan perkataan lain, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dijadikan milik kognitif seseorang lebih mudah diterapkan pada situasi baru. c.    Secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas. Secara khusus belajar penemuan melatih keterampilanketerampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahakan masalah tanpa pertolongan orang lain. Berdasarkan hasil-hasil eksperimen dan obsevasi yang dilakukan oleh Bruner dan Kenney, pada tahun 1963 kedua pakar tersebut mengemukakan 4 prinsip tentang cara belajar dan mengajar matematika yang masing-masing mereka sebut sebagai ‘teorema’. Teorema tersebut terdiri dari teorema konstruksi (construction theorem), teorema notasi (notation theorem),



teorema kekontrasan dan variasi (contrast and variation theorem), dan teorema konektivitas (connectivity theorem). Menurut  Bruner,  belajar adalah cara-cara bagaimana orang memilih, mempertahankan, dan mentransformasi informasi secara aktif. Bruner memusatkan perhatiannya pada masalah apa yang dilakukan manusia dengan informasi yang diterimanya, dan apa yang dilakukannya sesudah memperoleh infomasi untuk mencapai pemahaman yang memberikan kemampuan kepadanya. Bruner mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan.  Ketiga proses itu adalah: (1) memperoleh informasi baru, (2) transformasi informasi, (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Pandangannya terhadap belajar yang disebutnya sebagai konseptualisme instrumental itu, didasarkan pada dua prinsip, yaitu: (1) pengetahuan orang tentang alam didasarkan pada model-model tentang kenyataan yang dibangunnya, dan (2) model-model semacam itu mulamula diadopsi dari kebudayaan seseorang, kemudian model-model itu diadaptasikan pada kegunaan bagi orang bersangkutan. Pematangan intelektual atau pertumbuhan kognitif seseorang ditunjukkan oleh bertambahnya ketidaktergantungan respons dari sifat stimulus. Pertumbuhan itu tergantung pada bagaimana seseorang menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjadi suatu sistem simpan yang sesuai dengan lingkungan. Pertumbuhan itu menyangkut peningkatan kemampuan seseorang untuk mengemukakan pada dirinya sendiri atau pada orang lain tentang apa yang telah atau akan dilakukannya. J. Bruner mengemukakan teori belajar model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh yang dikenal dengan nama   belajar penemuan (discovery learning), yaitu belajar melalui pengalaman sendiri, berusaha untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. Siswa hendaknya berpartisipasi aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, mereka dianjurkan memperoleh pengalaman dan melakukan  eksperimen-eksperimen yang memungkinkan mereka menemukan konsep/ prinsip sendiri. Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu: 







Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan dan sebagainya. Tahap ikonik,  seseorang memahami obyek-obyek atau dunianya melalui gambargambar dan visualisasi verbal. Artinya anak belajar melalui bentuk perumpamaan dan perbandingan (komparasi).







Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yanng sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.



Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menyusun materi pelajaran dan menyajikannya  sesuai dengan tahap perkembangan orang tersebut. Penataan materi dari umum ke rinci dikemukakan dalam model kurikulum spiral, merupakan bentuk penyesuaian antara materi yang dipelajari dengan tahap perkembangan kognitif orang yang belajar. Dengan kata lain  perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya. Beberapa keunggulan Belajar Penemuan (Discovery Learning), adalah sebagai berikut.   



Pengetahuan  yang diperoleh akan bertahan lama dan lebih mudah diingat. Hasil belajar mempunyai efek transfer yang lebih baik, dengan kata lain konsep dan prinsip yang diperoleh lebih mudah diterapkan pada situasi-situasi baru.  Meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas, melatih keterampilan-keterampilan kognitif siswa utuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.



Bagaimana cara menerapkan belajar penemuan di kelas  sehingga diperoleh hasil yang maksimal, tentu  tidak lepas dari peranan guru. Jika kita mengajarkan sains berarti kita ingin membuat anak kita berpikir secara sistematis, berperan serta dalam proses perolehan pengetahuan. Peranan guru dalam Belajar Penemuan adalah sebagai berikut.     



Merencanakan pelajaran sedemikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki oleh siswa. Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan  masalah Cara penyajian disesuaikan dengan taraf perkembangan kognitif siswa Bila siswa memecahlan masalahnya di laboratorium atau secara teoritis, hendaknya guru berperan sebagai pembimbing. Penilaian hasil belajar penemuan meliputi pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar mengenai suatu  bidang studi, dan kemampuan siswa untuk menerapkan prinsip-prinsip dasar itu pada situasi baru



A. Problem Based Learning (PBL) 1. Pengertian Problem Based Learning (PBL) Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat menolong siswa untuk meningkatkan keterampilan yang dibutuhkan pada pada era globalisasi saat ini. Problem Based Learning (PBL) dikembangkan untuk pertama kali oleh Prof. Howard Barrows sekitar tahun 1970-an dalam pembelajaran ilmu medis di McMaster



University Canada (Amir, 2009). Model pembelajaran ini menyajikan suatu masalah yang nyata bagi siswa sebagai awal pembelajaran kemudian diselesaikan melalui penyelidikan dan diterapkan dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah.



Beberapa definisi tentang Problem Based Learning (PBL) : 1. Menurut Duch (1995), Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah ini digunakan untuk mengikat siswa pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud. 2. Menurut Arends (Trianto, 2007), Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa dihadapkan pada masalah autentik (nyata) sehingga diharapkan mereka dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan tingkat tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan dirinya. 3. Menurut Glazer (2001), mengemukakan Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu strategi pengajaran dimana siswa secara aktif dihadapkan pada masalah kompleks dalam situasi yang nyata. Dari beberapa uraian mengenai pengertian Problem Based Learning (PBL) dapat disimpulkan bahwa PBL merupakan model pembelajaran yang menghadapkan siswa pada masalah dunia nyata (real world) untuk memulai pembelajaran dan merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. Problem Based Learning (PBL) adalah pengembangan kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut siswa mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau tantangan yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari (Amir, 2009). Model Problem Based Learning (PBL) bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai suatu yang harus dipelajari siswa. Dengan model PBL diharapkan siswa mendapatkan lebih banyak kecakapan daripada pengetahuan yang dihafal. Mulai dari kecakapan memecahkan masalah, kecakapan berpikir kritis, kecakapan bekerja dalam kelompok, kecakapan interpersonal dan komunikasi, serta kecakapan pencarian dan pengolahan informasi (Amir, 2007). Savery, Duffy, dan Thomas (1995) mengemukakan dua hal yang harus dijadikan pedoman dalam menyajikan permasalahan. Pertama, permasalahan harus sesuai dengan konsep dan prinsip yang akan dipelajari. Kedua, permasalahan yang disajikan adalah permasalahan riil, artinya masalah itu nyata ada dalam kehidupan sehari-hari siswa. Dalam PBL pembelajarannya lebih mengutamakan proses belajar, di mana tugas guru



harus memfokuskan diri untuk membantu siswa, mencapai keterampilan mengarahkan diri. Guru dalam model ini berperan sebagai penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog, membantu menemukan masalah, dan pemberi fasilitas pembelajaran. Selain itu, guru memberikan dukungan yang dapat meningkatkan pertumbuhan inkuiri dan intelektual siswa. Model ini hanya dapat terjadi jika guru dapat menciptakan lingkungan kelas yang terbuka dan membimbing pertukaran gagasan. 2. Karakteristik Model Problem Based Learning (PBL) Ciri yang paling utama dari model pembelajaran PBL yaitu dimunculkannnya masalah pada awal pembelajarannya.. Menurut Arends (Trianto, 2007), berbagai pengembangan pengajaran berdasarkan masalah telah memberikan model pengajaran itu memiliki karakteristik sebagai berikut : a. Pengajuan pertanyaan atau masalah 1. Autentik, yaitu masalah harus berakar pada kehidupan dunia nyata siswa daripada berakar pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu. 2. Jelas, yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa. 3. Mudah dipahami, yaitu masalah yang diberikan harusnya mudah dipahami siswa dan disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. 4. Luas dan sesuai tujuan pembelajaran. Luas artinya masalah tersebut harus mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang, dan sumber yang tersedia. 5. Bermanfaat, yaitu masalah tersebut bermanfaat bagi siswa sebagai pemecah masalah dan guru sebagai pembuat masalah. b. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin ilmu Masalah yang diajukan hendaknya melibatkan berbagai disiplin ilmu. c.Penyelidikan autentik (nyata) Dalam penyelidikan siswa menganalisis dan merumuskan masalah, mengembangkan dan meramalkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen, membuat kesimpulan, dan menggambarkan hasil akhir. d.Menghasilkan produk dan memamerkannya Siswa bertugas menyusun hasil belajarnya dalam bentuk karya dan memamerkan hasil karyanya. e.Kolaboratif Pada model pembelajaran ini, tugas-tugas belajar berupa masalah diselesaikan bersama-sama antar siswa. Adapun beberapa karakteristik prosel PBL menurut Tan (Amir, 2007) diantaranya : a. Masalah digunakan sebagai awal pembelajaran. b. Biasanya, masalah yang digunakan merupakan masalah dunia nyata yang disajikan secara mengambang. c. Masalah biasanya menuntut perspektif majemuk. Solusinya menuntut siswa menggunakan dan mendapatkan konsep dari beberapa ilmu yang sebelumnya telah diajarkan atau lintas ilmu ke bidang lainnya .d. Masalah membuat siswa tertantang untuk mendapatkan pembelajaran di ranah pembelajaran yang baru. e. Sangat mengutamakan belajar mandiri (self directed learning).



f.Memanfaatkan sumber pengetahuan yang bervariasi, tidak dari satu sumber saja. g. Pembelajarannya kolaboraif, komunikatif, dan kooperatif. Siswa bekerja dalam kelompok, berinteraksi, saling mengajarkan (peer teaching), dan melakukan presentasi. Dari beberapa penjelasan mengenai karakteristik proses PBL dapat disimpulkan bahwa tiga unsur yang esensial dalam proses PBL yaitu adanya suatu permasalahan, pembelajaran berpusat pada siswa, dan belajar dalam kelompok kecil. Beberapa Teori yang Melandasi Problem Based Learning (PBL) Dalam perkembangannya, pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dilandasi oleh teori belajar konstruktivisme, teori perkembangan kognitif, dan teori belajar penemuan Jerome Burner. a. Teori Belajar Konstruktivisme Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pembelajaran konstruktivisme. Teori konstruktivisme ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama, dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai (Trianto ,2007). Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesutunya sendiri, dan berusaha dengan susah payah dengan ide-idenya sendiri (Trianto, 2007). Menurut teori konstruktivisme ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekadar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini dengan memberi kesempatan siswa menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. b.Teori Perkembangan Kognitif Teori belajar kognitif pertama kali dikenalkan oleh Piaget. Menurutnya, perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Piaget yakin bahwa pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Sementara itu, Nur (Trianto, 2007) berpendapat bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya beragumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang akhirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih logis. Menuru teori Piaget, setiap individu pada saat mulai dari bayi yang baru lahir sampai menginjak usia dewasa mengalami empat tingkat perkembangan kognitif. Empat tingkat perkembangan kognitif tersebut diantaranya (Dahar, 1989) : 1) Sensori-motor (mulai lahir-2 tahun) 2) Pra-operasional (2-7 tahun) 3) Operasional konkret (7-11 tahun) 4) Operai formal (11 tahun- dewasa) Teori Perkembangan Piaget, memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun sistem makna dan memahami realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka. c. Teori Penemuan Jerome Bruner Teori belajar yang paling melandasi pembelajaran PBL adalah teori belajar penemuan (discovery learning) yang dikembangkan oleh Jerome Bruner pada tahun 1966. Bruner menganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling



baik. Berusaha sendiri mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Dahar, 1989). Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melaui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan prisip-prinsip itu sendiri. 4. Tahap-Tahap dalam Problem Based Learning (PBL) Pelaksanaan model Problem Based Learning (PBL) terdiri dari 5 tahap proses, yaitu : Tahap pertama, adalah proses orientasi peserta didik pada masalah. Pada tahap ini guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang diperlukan, memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah, dan mengajukan masalah. Tahap kedua, mengorganisasi peserta didik. Pada tahap ini guru membagi peserta didik kedalam kelompok, membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah. Tahap ketiga, membimbing penyelidikan individu maupun kelompok. Pada tahap ini guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan, melaksanakan eksperimen dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Tahap keempat, mengembangkan dan menyajikan hasil. Pada tahap ini guru membantu peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan laporan, dokumentasi, atau model, dan membantu mereka berbagi tugas dengan sesama temannya. Tahap kelima, menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah. Pada tahap ini guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap proses dan hasil penyelidikan yang mereka lakukan. Kelima tahap yang dilakukan dalam pelaksanaan model PBL ini selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Tahap-Tahap Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Tahapan Pembelajaran Kegiatan Guru Tahap 1 Orientasi peserta didik pada masalah Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang diperlukan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah. Tahap 2 Mengorganisasi peserta didik Guru membagi siswa ke dalam kelompok, membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah.



Tahap 3 Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok



Guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan, melaksanakan eksperimen dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Tahap 4 Mengembangkan dan menyajikan hasil Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan laporan, dokumentasi, atau model, dan membantu mereka berbagi tugas dengan sesama temannya. Tahap 5 Menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap proses dan hasil penyelidikan yang mereka lakukan. (Trianto, 2007) 5. Kelebihan dan Kelemahan Model Problem Based Learning (PBL) a. Kelebihan Sebagai suatu model pembelajaran, Problem Based Learning (PBL) memiliki beberapa kelebihan, diantaranya : 1. Menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa. 2. Meningkatakan motivasi dan aktivitas pembelajaran siswa. 3. Membantu siswa dalam mentransfer pengetahuan siswa untuk memahami masalah dunia nyata. 4. Membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Disamping itu, PBM dapat mendorong siswa untuk melakukan evaluasi sendiri baikterhadap hasil maupun proses belajarnya. 5. Mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru. 6. Memberikan kesemnpatan bagi siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata. 7. Mengembangkan minat siswa untuk secaraterus menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir. 8. Memudahkan siswa dalam menguasai konsep-konsep yang dipelajari guna memecahkan mkasalah dunia nyata. (Sanjaya, 2007) b. Kelemahan Disamping kebihan di atas, PBL juga memiliki kelemahan, diantaranya: 1. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencobanya. 2. Untuk sebagian siswa beranggapan bahwa tanpa pemahaman mengenai materi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah mengapa mereka harus berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.(Sanjaya, 2007)