Teori Fungsi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Sastra.



Dosen Pengampu



:



Alfian Setya Nugraha, S.S., M.Hum



Disusun Oleh: NAILATUL FAUZIAH



(1597184005)



UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA 2016



Kata Pengantar



Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillahi robbil alamin, dengan puji syukur kehadirat Illahi Robbi yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw beserta keluarga, sahabat dan semua umat Islam yang senantiasa berlomba fii tholabil ilmi. Dengan penuh rasa syukur kehadirat Illahi Robbi, kami dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul “Analisis Unsur Intrinsik Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis“. Makalah ini disusun berdasarkan pengetahuan yang kami peroleh dari buku-buku referensi dan pengetahuan dari dosen pengampu mata kuliah Teori Sastra. Selanjutnya kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Teori Sastra, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini.



Dengan ini kami mengharapkan semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Dan kami selalu mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi tercapainya kualitas yang lebih baik. Akhirnya kepada Allah jualah penulis kembalikan segala sesuatu, mudah-mudahan sedikit jerih payah ini dapat memberikan ilmu bagi kita semua.Amin ya Robbal alamin.



Penulis



Daftar Isi Kata Pengantar ....................................................................................... i Daftar Isi ................................................................................................ ii BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .............................................................. 2 BAB II. LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Sastra ................................................................ 3 2.2 Pengertian Cerpen .............................................................. 3 2.3 Pengertian Unsur Intrinsik ................................................. 4 2.3.1 Pengertian Tema ....................................................... 4 2.3.2 Pengertian Alur ........................................................ 5 2.3.3 Pengertian Latar ....................................................... 6 2.3.4 Pengertian Penokohan .............................................. 6



2.3.5 Pengertian Konflik ................................................... 6 2.3.6 Pengertian Sudut Pandang ....................................... 6 2.3.7 Pengertian Amanat ................................................... 7 BAB III. PEMBAHASAN 3.1 Tema dalam Cerpen Robohnya Surau Kami ...................... 8 3.2 Alur dalam Cerpen Robohnya Surau Kami ....................... 9 3.3 Latar dalam Cerpen Robohnya Surau Kami ...................... 11 3.4 Penokohan dalam Cerpen Robohnya Surau Kami ............. 12 3.5 Konflik dalam Cerpen Robohnya Surau Kami .................. 14 3.6 Sudut Pandang dalam Cerpen Robohnya Surau Kami ...... 15 3.7 Amanat dalam Cerpen Robohnya Surau Kami .................. 16 BAB IV. PENUTUP 4.1 Simpulan ............................................................................ 18 4.2 Saran .................................................................................. 19 Daftar Pustaka



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Karya sastra identik dengan fiksi, yang berarti cerita rekaan yang mengandung imajinasi atau daya khayal. Sastra bersumber dari realita-realita kehidupan di dalam masyarakat. Sebuah sastra mengungkapkan tentang manusia dan kemanusiaan. Kesusastraan merupakan pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia melalui bahasa sebagai medium dan mempunyai efek yang positif terhadap kehidupan manusia (Mursal Esten, 1978:9). Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976:875), sastra adalah karya kesenian yang diwujudkan dengan bahasa seperti gubahan-gubahan prosa dan puisi-puisi yang indah. Indah dimaksudkan bukan hanya bahasa dan irama yang menarik, akan tetapi juga mengacu pada pesan yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra merupakan hasil ekspresi dan kreasi estetik sastrawan yang ditimba dari kebudayaan masyarakat. Karya sastra berfungsi sebagai gambaran kehidupan manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu zaman ke zaman berikutnya. Seorang penulis yang baik, akan berusaha mendekati kehidupan dengan menghasilkan karya sastra yang bermakna. Dengan adanya karya sastra, pembaca akan memperoleh pemikiran dan pengalaman yang bermanfaat bagi kehidupannya. Oleh sebab itu, banyak sekali karya sastra yang mencerminkan kehidupan di masyarakat sekitar. Cerpen adalah salah satu contoh di antara sekian banyak karya sastra saat ini. “Cerpen merupakan pengungkapan suatu kesan yang hidup dari fragmen kehidupan manusia. Dari padanya tidak dituntut terjadinya suatu perubahan nasib dari pelaku-pelakunya. Hanya suatu lintasan dari secercah kehidupan manusia yang terjadi pada satu kesatuan waktu” . (Mursal Esten, 1978:12). Pernyataan di atas sejalan dengan (Sumito A. Sayuti, 1996: 6), cerpen merupakan fiksi yang dibaca selesai dalam sekali duduk dan ceritanya cukup dapat membangkitkan efek tertentu dalam diri pembacanya. Dengan kata lain, sebuah kesan tunggal dapat diperoleh dalam sebuah cerpen dalam sekali baca. Misalnya, membaca cerpen “Robohnya Surau Kami” karya Akbar Ali Navis yang memunculkan kesan mendalam tentang adanya pergeseran nilai-nilai religius dalam masyarakat.



Penulis mengharapkan supaya karya sastra yang ada dapat menjadi contoh dan cerminan yang baik bagi setiap pembacanya. Berdasarkan uraian tersebut maka, penulis mengambil judul “Analisis Unsur Intrinsik Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis”.



1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan rumusan masalahnya sebagai berikut : 1.



Apa tema dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis?



2.



Bagaimana alur cerita yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis?



3.



Bagaimana latar dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis?



4.



Bagaimana penokohan yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis?



5.



Apa konflik yang terjadi dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis?



6.



Bagaimana sudut pandang dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis?



7.



Apa amanat yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis?



BAB II LANDASAN TEORI



2.1 Pengertian Sastra Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya.(Semi, 1988:8). Sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapannya. (Sudjiman, 1986: 68). Menurut Ahmad Badrun (1983: 16), kesusastraan adalah kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-simbol lain sebagai alat dan bersifat imajinatif. Sedangkan menurut Sapardi (1979:1), menyatakan bahwa sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.



Sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif, sastra juga merupakan penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain. (Taum, 1997:13). Plato berpendapat bahwa sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus berupa peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Aristoteles menyatakan bahwa sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2008, sastra berarti karangan yang mengacu pada nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah.



2.2 Pengertian Cerpen Cerita adalah tuturan yang membentang bagaimana terjadinya suatu hal. Sedangkan pendek berarti kisah pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam situasi atau suatu ketika. (KBBI, 1988: 165). Cerita pendek adalah cerita atau narasi yang fiktif (tidak benar-benar terjadi tetapi dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, serta relative pendek). (Sumardjo dan Saini, 1997: 37). Cerpen adalah cerita yang pada hakekatnya merupakan salah satu wujud pernyataan seni yang menggunakan bahasa sebagai media komunikasi. (Alam dan Mien Rumini, 1996: 1). Pernyataan tersebut seirama dengan pendapat yang dikemukakan (Esten, 1978: 12) bahwa, cerpen merupakan pengungkapan suatu kesan yang hidup dari fragmen kehidupan manusia. Sedangkan menurut Edgar Allan Poe dalam Burhan Nurgiyantoro (2002) memberikan pengertian cerpen merupakan sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira selama 30 menit hingga 2 jam atau suatu hal yang sekiranya waktu membacanya tidak mungkin dilakukan untuk membaca novel. Menurut Kosasih, dkk (2004: 431), cerpen adalah karangan yang berbentuk prosa. Dalam cerpen diceritakan sepenggal kehidupan tokoh yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan, atau menyenangkan dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan.



2.3 Pengertian Unsur Intrinsik Nurgiyantoro (2009: 23) membagi unsur-unsur dalam karya sastra menjadi dua, yakni unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik.



Unsur intrinsik adalah elemen-elemen fiksional yang membangun karya fiksi itu sendiri sebagai suatu wacana. (Aminuddin, 1987: 65). Unsur intrinsik adalah unsur yang berkenaan dengan eksistensi sastra sebagai struktur verbal yang otonom. (Soedjijono, 1984: 6). Joko Sumardjo dan Saini K.M. mengungkapkan bahwa unsur intrinsik prosa fiksi meliputi: alur, tema, latar, penokohan, sudut pandang, amanat.



2.3.1



Pengertian Tema



Tema merupakan dasar cerita atau gagasan umum dari sebuah novel. (Nurgiyantoro, 2009: 70). Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita hingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. (Aminuddin, 1985: 25). Harjito (2007: 4) mengatakan bahwa tema ada dua macam, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor yaitu tema yang menguasai seluruh cerita. Tema minor merupakan tema-tema tambahan atau sampingan dari tema mayor. Untuk dapat menemukan tema, langkah-langkah yang perlu dilakukan menurut Saad dalam Harjito (2007: 3) adalah : a.



Melihat persoalan mana yang paling menonjol.



b. Secara kuantitatif, persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik, yaitu konflik yang melahirkan peristiwa-peristiwa. c. Menentukan (menghitung) waktu penceritaan, yakni waktu yang diperlukan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa atau tokoh-tokoh di dalam sebuah karya sastra sehubungan dengan persoalan yang bersangkutan.



2.3.2



Pengertian Alur



Alur dalam karya fiksi adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Istilah alur sama dengan plot maupun struktur cerita. (Aminuddin, 2002: 83). Alur merupakan hubungan antar peristiwa yang bersifat sebab akibat, tidak hanya jalinan peristiwa secara kronologis. (Nurgiyantoro, 2009: 112). Menurut Sayuti (2000: 57), alur atau plot dibagi menjadi alur maju atau progresif dan alur mundur/regresif/flashback. Alur maju atau progresif yaitu cerita benar-benar dimulai dari eksposisi,



melampaui komplikasi dan klimaks yang berawal dari konflik tertentu dan berakhir pada pemecahan atau denoument. Sebaliknya, dalam alur regresif, cerita dimulai dengan konflik tertentu, kemudian diikuti eksposisi lalu diteruskan komplikasi tertentu, mencapai klimaks dan menuju pemecahan, dan dapat pula dimulai dengan bagian-bagian lain yang divariasikan. Menurut suharianto dalam Meiga (2007: 20), apabila dalam sebuah karya fiksi terdapat dua macam alur, yaitu progresif-regresif maka, kedua alur tersebut digunakan secara bergantian. Kedua alur yang digunakan dijalin dalam kesatuan yang padu sehingga tidak menimbulkan kesan adanya sebuah cerita atau peristiwa yang terpisah baik waktu maupun kejadiannya. Menurut Montage dan Henshaw tahapan alur suatu peristiwa dapat dibagi dalam: a. Tahap exposition, yakni tahapan awal yang berisi penjelasan tentang tempat terjadinya peristiwa serta pengenalan dari setiap pelaku yang mendukung cerita. b. Tahap inciting force, yakni tahapan ketika timbul kekuatan, kehendak maupun perilaku yang bertentangan dari pelaku. c.



Tahap rising action, yakni situasi panas karena pelaku-pelaku dalam cerita mulai ada konflik.



d. Tahap crisis, yakni situasi semakin panas dan para pelaku sudah diberi gambaran nasib oleh pengarang. e. Tahap climax, yakni situasi puncak ketika konflik berada dalam kadar yang paling tinggi hingga para pelaku itu mendapat kadar nasibnya sendiri-sendiri. f. Tahap falling action, yakni tahapan dimana konflik yang terjadi sudah menurun sehingga ketegangan dalam cerita sudah mulai mereda. g. Tahap conclusion, yakni tahapan penyelesaian dimana sudah adanya jalan keluar dari konflik yang terjadi.



2.3.3



Pengertian Latar



Latar menurut Abrams (1981: 175) dalam Nurgiyantoro (2009: 216) adalah landasan atau tumpuan yang memiliki pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan. Menurut Nadjid (2003: 25), latar ialah penempatan waktu dan tempat beserta lingkungannya dalam prosa fiksi. Menurut Nurgiyantoro, 2004: 227-233) unsur latar dibedakan dalam tiga unsur pokok, yakni: a.



Latar tempat



Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. b.



Latar waktu



Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. c.



Latar sosial



Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.



2.3.4



Pengertian Penokohan



Penokohan adalah teknik bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam cerita sehingga dapat diketahui karakter atau sifat para tokoh. (Siswandarti, 2009: 44). Priatni (2003: 38) mengutip pendapat Soedjijono mengatakan bahwa tokoh adalah para pelaku subjek lirik dalam karya fiksi. Sedangkan perwatakan adalah cara pengarang menampilkan watak para tokoh dan bertugas menyiapkan atau menyediakan alasan bagi tindakan-tindakan tertentu. Nurgiyantoro (2007: 176) mengatakan bahwa tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam karya fiksi yang bersangkutan. Tokoh utama mencakup tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiyantoro (2007: 178) mengungkapkan, tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang menjadi penyebab terjadinya konflik. Adapula yang disebut tokoh sampingan atau pembantu yaitu merupakan tokoh yang berperan membantu atau menemani tokoh utama dalam cerita.



2.3.5



Pengertian Konflik



Konflik merupakan ketegangan yang terjadi dalam cerita rekaan (cerpen, novel) dan cerita lakuan (drama). (Eddy, 1991: 116). Sayuti (2000: 42-43) mengatakan bahwa konflik dalam karya fiksi dibagi menjadi tiga, yaitu: a.



Konflik batin (psychological conflict)



Konflik ini biasanya terjadi berupa perjuangan seorang tokoh dalam dirinya sendiri sehingga dapat mengatasi dan menentukan apa yang akan dilakukannya. b.



Konflik seseorang dengan masyarakat (social conflict)



Terjadi antara tokoh dengan lingkungan sekitarnya yang timbul dari sikap individu terhadap lingkungan sosial mengenai berbagai masalah yang terjadi pada masyarakat. c.



Konflik antara manusia dengan alam (physical or element conflict)



Terjadi ketika tokoh tidak dapat menguasai atau memanfaatkan alam sekitar sebagaimana mestinya. Ketiga jenis konflik di atas dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: a.



Konflik Internal adalah konflik yang terjadi dalam hati seorang tokoh cerita.



b. Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang di luar dirinya.



2.3.6



Pengertian Sudut Pandang



Menurut Abrams (1981:142) dalam Nurgiyantoro (2005: 248) mengatakan bahwa, Sudut pandang (point of view) merupakan posisi pengarang terhadap peristiwa-peristiwa dalam cerita. Sudut pandang adalah cara penyajian cerita, peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan pada karya fiksi berdasarkan posisi pengarang di dalam cerita. (Nurgiyantoro, 2009: 246). Jenis-jenis sudut pandang dibagi menjadi empat, antara lain sebagai berikut: a.



Sudut pandang yang berpusat pada orang pertama.



Menurut Nurgiyantoro (2007: 262) sudut pandang orang pertama adalah pengarang menggunakan kata “aku”, ia mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain. b.



Sudut pandang yang berkisar sekeliling orang pertama.



Persona menceritakan suatu cerita dengan mempergunakan kata “aku” atau “saya” tetapi cerita itu bukan ceritanya sendiri. (Tarigan, 2008: 138). c.



Sudut pandang orang ketiga terbatas



Menurut Stanton dalam Nurgiyantoro, 2007: 259 sudut pandang orang ketiga terbatas menggunakan kata “dia” terbatas, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikirkan, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja. d.



Sudut pandang orang ketiga serba tahu



Nurgiyantoro (2007: 257) mengatakan bahwa orang ketiga serba tahu dikisahkan dari sudut “dia” namun pengarang atau narrator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh dia



tersebut. Narrator mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya.



2.3.7



Pengertian Amanat



Amanat merupakan endapan renungan yang disajikan kembali kepada pembaca. (Yus Rusyana, 1988: 74). Menurut Kenny, Amanat atau moral value merupakan unsur isi dalam karya fiksi yang mengacu pada nilai-nilai, sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan yang dihadirkan pengarang melalui tokohtokoh di dalamnya. (Nurgiyantoro, 2009: 321).



BAB III PEMBAHASAN



3.1 Tema dalam Cerpen Robohnya Surau Kami



Tema dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis terletak pada konflik batin yang dirasakan kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi. Hal tersebut dapat diverifikasi dalam kutipan cerpen berikut: “Sedari mudaku aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orangorang lain, tahu?. Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu?. Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya?. Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. ‘Alhamdulillah’ kataku bila aku menerima karunia-Nya. ‘Astagfirullah’ kataku bila aku terkejut. ‘Masya Allah’ kataku bila aku kagum. Apakah salahnya pekerjaanku itu?. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.” (A.A. Navis, 1986: 5). Kemudian ditegaskan pula pada kutipan dialog Haji Saleh dan Tuhan seperti berikut: “Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sdikitpun.” (A.A. Navis, 1986: 12). Dari kutipan cerpen tersebut didapat tema cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis yaitu seorang kepala keluarga yang hanya mementingkan akhirat saja hingga lalai akan kewajibannya di dunia.



3.2 Alur dalam Cerpen Robohnya Surau Kami Pada bagian awal cerita Robohnya Surau Kami terdapat dalam dua bagian, yaitu bagian eksposisi yang menjelaskan atau memaparkan informasi yang diperlukan dalam memahami cerita. Eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa penjelasan tentang keberadaan kakek Garin di sebuah surau beberapa tahun yang lalu. Hal tersebut dapat diverifikasi dalam kutipan berikut: “Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku…. Akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahuntahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek. Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali sejumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun



orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terimakasih dan sedikit senyum.” (A.A. Navis, 1986: 1-2).



Selanjutnya adalah bagian dimana adanya keterbukaan dan ketidakstabilan cerita, yaitu cerita mulai bergerak dan terbuka dengan permasalahannya. “tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya…. jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya….” (A.A. N avis, 1986: 2). Dari kutipan tersebut terlihat bahwa ceritanya mulai terbuka namun belum sepenuhnya tuntas, sehingga memunculkan pengembangan cerita. Pada bagian tengah mulai menggambarkan suatu konflik, bahwa kakek meninggal karena bualan Ajo Sidi yang tak dapat disangkal kebenarannya oleh kakek. “Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya.” (A.A. Navis, 1986: 2).



Konflik ini berkembang menjadi komplikasi ketika tokoh “aku” menanyakan sesuatu yang berupa pisau kepada si kakek. Penyebab munculnya komplikasi ini bukan karena pisau itu, melainkan karena siapa pemilik pisau itu. Hal ini dapat diverifikasi pada kutipan berikut: “Kurang ajar dia,” kakek menjawab. “Kenapa?” “Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggoroknya.” (A.A. Navis, 1986: 4).



Kemarahannya demikian hebat, sehingga dia mau saja melepaskan kekesalannya dengan menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi terhadapnya kepada tokoh “aku”. Segala apa yang diungkapnya di depan tokoh “aku” tidaklah membuatnya merasa lebih ringan. Bahkan semakin berat dan menekan batinnya. Akibatnya, klimaks kekecewaan kakek berakhir dengan cara tragis. Dia bahkan membunuh dirinya sendiri dengan menggorok lehernya.



Pada bagian akhir cerita terdapat surprise. Hal tersebut terdapat pada pemecahan masalah, yaitu saat orang-orang terkejut ketika menemukan kakek garin meninggal dengan mengenaskan, yang justru Ajo Sidi menganggap hal itu biasa saja. Hal tersebut digambarkan dari kutipan berikut: Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa istrinya saja. Lalu aku Tanya dia. “Ia sudah pergi,”jawab istri Ajo Sidi. Tidak ia tahu kakek meninggal? Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat kakek tujuh lapis. “dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab,”dan sekarang kemana dia?” “kerja.” “kerja?”tanyaku mengulang hampa. “ya, dia pergi kerja.” (A.A. Navis, 1986: 13).



Penyelesaian yang penuh kejutan, mungkin masih menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo Sidi orang yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha menyuruh istrinya membeli kain kafan merupakan bentuk tanggung jawabnya? Maka struktur alur pada cerpen Robohnya Surau Kami termasuk jenis alur sorot balik atau flashback, karena ceritanya benar-benar bertumpu pada cerita yang sebelumnya. Buktinya dapat kita lihat pada kutipan berikut: “ kalau beberapa tahun yang lalu tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis…dan di ujung jalan nanti akan tuan temui sebuah surau tua…dan di pelataran kiri surau itu akan tuan temui seorang tua...orang-orang memanggilnya kakek…” (A.A. Navis, 1986: 1). “tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal… dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya…” (A.A. Navis, 1986: 2).



3.3 Latar dalam Cerpen Robohnya Surau Kami



Latar tempat pada cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis, sudah dipaparkan, seperti di perkampungan, dekat pasar, di surau. Seperti dalam kutipan berikut: “kalau beberapa tahun yang lalu tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.” (A.A. Navis, 1986: 1). Latar waktu dalam cerpen Robohnya Surau Kami juga terdapat pada kutipan latar tempat di atas. Namun, adapula pemaparan lain sebagai berikut: “Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai,”di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang.” (A.A. Navis, 1986: 6). “Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh….” (A.A. Navis, 1986: 2). “Sedari mudaku aku di sini, bukan?....” (A.A. Navis, 1986: 5). Latar sosial dalam cerpen ini digambarkan seperti pada kutipan berikut: “Dan di pelataran kiri surau itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek.” (A.A. Navis, 1986:1). Dari kutipan tersebut kita mengetahui latar sosial mengenai usia, pekerjaan, dan kebiasaan kakek Garin. Adapula latar sosial yang menggambarkan mengenai tokoh-tokoh yang kritis, vokal dan berani. Namun, karena terlalu berlebihan, mereka menji sombong. “Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?” Suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu. “Kita protes. Kita resolusikan,’’ kata Haji Saleh…”Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh, “sebuah suara menyela. “Setuju. Setuju. Setuju.” Mereka bersorak beramai-ramai. (A.A. Navis, 1986:9). Dijelaskan pula latar sosial bahwa salah satu tokoh dalam cerita ini termasuk dalam kelompok sosial pekerja. “Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal….’’Dan sekarang ke mana dia?” “Kerja.” “Kerja?” tanyaku mengulangi hampa. “Ya, dia pergi kerja.” (A.A. Navis, 1986: 13).



3.4 Penokohan dalam Cerpen Robohnya Surau Kami



Penokohan dalam Robohnya Surau Kami digambarkan sebagai berikut: a.



Tokoh Aku



Tokoh ‘aku’ sangat berperan dalam cerita Robohnya Surau Kami. Tokoh aku’ adalah kedudukan pengarang dalam cerita tersebut, yang digambarkan sebagai tokoh utama seperti pada kutipan: “kalau beberapa tahun lalu tuan datang ke kota kelahiranku…” (A.A. Navis, 1986:1). Penggambaran tokoh ‘aku’ sebagai tokoh yang serba ingin tahu dan selalu ikut campur urusan orang lain, seperti kutipan “Tiba-tiba aku ingat lagi pada kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku Tanya kakek lagi, apa ceritanya, kek?” (A.A. Navis, 1986: 4). “Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku Tanya dia.” (A.A. Navis, 1986: 13).



b. Tokoh Ajo Sidi Tokoh Ajo Sidi sangat berperan walau tidak banyak muncul, karena tokoh Ajo Sidi menjadi acuan berlangsungnya cerita. Ia digambarkan sebagai seorang pembual dan cinta kerja. Hal tersebut diperkuat dengan kutipan berikut: “Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu…. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya…” (A.A. Navis, 1986: 3). c. Tokoh Kakek Tokoh Kakek dalam cerpen Robohnya Surau Kami menjadi tokoh sentral, karena ia menjadi pusat cerita. Tokoh kakek digambarkan sebagai tokoh yang mudah dipengaruhi, tidak berpikir panjang, dan lebih mementingkan diri sendiri. Seperti pada kutipan berikut yang menunjukkan egoistisnya tokoh kakek. “Sedari mudaku aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orangorang lain, tahu?” (A.A. Navis, 1986: 5). Dan yang menggambarkan watak tokoh kakek yang tidak berpikir panjang dan mudah percaya bualan Ajo Sidi terdapat dalam kutipan “Ya. Tadi subuh kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.” (A.A. Navis, 1986: 13). d. Tokoh Haji Saleh



Tokoh Haji Saleh adalah tokoh ciptaan Ajo Sidi untuk menyindir tokoh kakek. Dalam bualan Ajo Sidi, tokoh Haji Saleh seakan hidup yang digambarkan sebagai orang yang hanya mementingkan diri sendiri, menganggap enteng orang lain dan menjadi sombong. Seperti dalam kutipan berikut: “Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk…” (A.A. Navis, 1986: 6). Watak tokoh Haji Saleh yang egoistis juga digambarkan pada kutipan percakapannya dengan Tuhan. “Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka… kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang….kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri…inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis.” (A.A. Navis, 1986: 11-12).



3.5 Konflik dalam Cerpen Robohnya Surau Kami Konflik yang terdapat pada cerpen Robohnya Surau Kami adalah konflik internal, yang lebih tepatnya adalah konflik batin atau kejiwaan. Konflik tersebut dialami oleh tokoh kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi. Kakek Garin merasa bualan Ajo Sidi adalah untuk menyindir dirinya. Kakek yang mengaku ahli ibadah, kuat iman, senantiasa tawakkal, bersabar dan berbuat baik, justru ada kerapuhan dalam jiwanya. Hal tersebut digambarkan pada kutipan sebagai berikut: “Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakkal kepada Tuhan…” (A.A. Navis, 1986: 4). “Dan aku melihat mata kakek berlinang…” (A.A. Navis, 1986: 5). “Ya. Tadi subuh kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.” (A.A. Navis, 1986: 13).



3.6 Sudut Pandang dalam Cerpen Robohnya Surau Kami Sudut pandang pada cerpen Robohnya Surau Kami, pengarang sebagai tokoh utama, sebab secara langsung pengarang terlibat dalam cerita. “kalau beberapa tahun yang lalu tuan datang ke kota kelahiranku…” (A.A. Navis, 1986: 1). Namun pengarang juga berperan sebagai tokoh bawahan, ketika kakek bercerita tentang Haji Saleh di depan tokoh “aku”. Demikian kutipannya dalam A.A. Navis, 1986: 6) “Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekkah, Haji Saleh namaku.” Setelah tokoh kakek selesai menceritakan tokoh Haji Saleh, kedudukan pengarang kembali ke posisi awal cerita. “Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari kakek.” (A.A. Navis, 1986: 12).



3.7 Amanat dalam Cerpen Robohnya Surau Kami Amanat atau moral value yang dapat kita ambil sebagai pelajaran dalam kehidupan secara pribadi maupun dalam lingkungan sosial masyarakat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah sebagai berikut ini: a. Jangan mudah terpancing emosi dan marah ketika ada orang yang mencoba menasehati maupun mengejek, karena perilaku kita yang kurang berkenan bagi orang lain. Seperti dalam kutipan dialog kakek Garin dengan tokoh “aku” berikut ini: “Marah? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya…” (A.A. Navis, 1986: 4). b. Jangan membanggakan diri sendiri atas perbuatan baik yang kita lakukan. Karena belum tentu perkara yang menurut kita baik, justru tidak baik di hadapan Tuhan dan orang lain. Seperti pada kisah Haji Saleh berikut: “Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambaah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekkah dan bergelar Syekh pula.” (A.A. Navis, 1986: 8). c. Janganlah menjadi orang yang puas dan bangga dengan gelar dan status sosial yang kita punya. Karena hal tersebut bisa saja mendatangkan kemadharatan bagi kita. “ Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekkah, Haji Saleh namaku.” (A.A. Navis, 1986: 6). “…bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekkah dan bergelar Syekh pula.” (A.A. Navis, 1986: 8). d. Kita harus mensyukuri segala sesuatu pemberian Tuhan dan hendaknya kita tidak ingkar dan menyia-nyiakannya dengan percuma. “Kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka…” (A.A. Navis, 1986: 11). e. Jangan menjadi orang yang egoistis, yang hanya mementingkan diri sendiri. Jangan melupakan hakekat hidup kita sebagai makhluk sosial. “…kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis…” (A.A. Navis, 1986: 12).



BAB IV PENUTUP



4.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka kami mendapat simpulan antara lain : 1. Tema atau gagasan pokok dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah seorang kepala keluarga yang egoistis, hanya mementingkan akhirat sehingga ia melupakan kewajibannya terhadap anak istri dan sebagai makhluk sosial. 2. Alur atau plot dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis berupa alur sorot balik atau flashback, yang sudah dipaparkan pada awal cerita Robohnya Surau Kami. 3. Latar atau setting pada cerpen Robohnya Surau Kami meliputi tiga bentuk latar. Latar tempat disebutkan seperti di surau, di perkampungan. Latar waktu digambarkan dengan penyebutan “pada suatu waktu, kalau beberapa tahun yang lalu.” Latar sosial digambarkan adanya tokoh pekerja, pembual, seorang garin. 4. Penokohan dalam cerpen Robohnya Surau Kami ada pengarang sebagai tokoh aku, tokoh utama peran utama dan juga sebagai tokoh bawahan peran utama. Ada tokoh kakek Garin sebagai tokoh orang ketiga pusat cerita. Ajo Sidi , orang ketiga yang menjadi pengembang cerita. Dan ada tokoh Haji Saleh, tokoh bualan Ajo Sidi yang seakan tokohnya benar-benar hidup. 5. Konflik yang terjadi dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis berupa konflik batin yang dialami kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi yang tidak bisa disangkal kebenarannya dan pada akhirnya membuat dia membunuh dirinya sendiri. 6. Sudut pandang cerpen Robohnya Surau Kami, pengarang sebagai tokoh utama karena secara langsung pengarang terlibat dalam cerita. 7. Amanat yang diperoleh setelah membaca cerpen Robohnya Surau Kami di antaranya himbauan agar kita tidak menjadi orang yang sombong, menganggap remeh orang lain, dan tidak egoistis.



4.2 Saran Berdasarkan uraian pada pembahasan. Maka saran yang kami simpulkan adalah:



1. Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis cocok dibaca untuk semua kalangan, karena kisahnya ringan, sering terjadi di masyarakat, dan mudah dipahami. 2. Ketika kita membaca sebuah karya sastra baik berupa novel maupun cerpen, kita harus benarbenar memahami isi cerita tersebut agar amanat yang terkandung dalam cerita bisa sampai pada pemahaman kita. 3. Hal yang harus diperhatikan dalam menganalisis sebuah karya fiksi ialah unsur-unsur yang membangun karya itu, baik unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsiknya. 4. Hendaknya sebagai pembaca dan penggemar karya sastra, kita harus bisa membedakan karya sastra yang baik dan yang bukan. Hal tersebut bertujuan agar kita sebagai pembaca juga mendapatkan hal-hal yang bermanfaat dari sumber bacaan yang kita baca. 5. Di era yang semakin maju dan semakin banyaknya karya-karya fiksi yang beredar, kita harus jeli dan menjadi pembaca yang cerdas pula.



Daftar Pustaka



Alam & Rumini, Mien. 1996. Bimbingan Apresiasi Sastra Jilid I Cerita Pendek dan Novel. Jakarta: Departemen Pendidikan & Kebudayaan. Aminuddin. 1985. Semantik. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Departemen Pendidikan & Kebudayaan. 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Departemen Pendidikan & Kebudayaan. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Esten, Mursal. 1978. Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: PT Angkasa. Harjito. 2007. Melek Sastra. Semarang: IKIP PGRI Semarang Press. Kosasih, dkk. 2004. Kompetensi Ketatabahasaan dan Kesusastraan: Cermat Berbahasa Indonesia. Bandung: CV Yrama Widya.



Navis, Ali akbar. 1986. Robohnya Surau Kami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjag Mada University Press. Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra (cetakan kedua). Yogyakarta: BPFE. Rusyana, Yus. 1988. Perihal Kedwibahasaan (Bilingualisme). Jakarta: Depdikbud. Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Jogjakarta: Gama Media. Sumardjo, Jacob & Saini K.M. 1997. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Tarigan, H. G. 2008. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. http://www.hasansadili.my.id/2013/01/pengertian-sastra-secara-umum-dan.html (diakses pada 29 Februari 2016 pukul 20:17).



Diposkan 9th May 2016 oleh Anonymous



0 Tambahkan komentar



MAY 9 makalah analisis teori fungsi dalam cerita rakyat asal-usul Banyuwangi



ANALISIS TEORI FUNGSI DALAM CERITA RAKYAT ASAL-USUL BANYUWANGI



Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Sastra.



Dosen Pengampu: Alfian Setya Nugraha, S.S., M.Hum



Disusun Oleh: NAILATUL FAUZIAH



(1597184005)



UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA 2016



Kata Pengantar



Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillahi robbil alamin, dengan puji syukur kehadirat Illahi Robbi yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.



Sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw beserta keluarga, sahabat dan semua umat Islam yang senantiasa berlomba fii tholabil ilmi.



Dengan penuh rasa syukur kehadirat Illahi Robbi, kami dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul “Analisis Teori Fungsi dalam Cerita Rakyat Asal-Usul Banyuwangi”.



Makalah ini disusun berdasarkan pengetahuan yang kami peroleh dari buku-buku referensi dan pengetahuan dari dosen pengampu mata kuliah Teori Sastra.



Selanjutnya kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Teori Sastra, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini.



Dengan ini kami mengharapkan semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Dan kami selalu mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi tercapainya kualitas yang lebih baik.



Akhirnya kepada Allah jualah penulis kembalikan segala sesuatu, mudah-mudahan sedikit jerih payah ini dapat memberikan ilmu bagi kita semua.Amin ya Robbal alamin.



Penulis



Daftar Isi



Kata Pengantar ....................................................................................... i Daftar Isi ................................................................................................ ii BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................... 1 B.



Rumusan Masalah .............................................................. 2



BAB II. LANDASAN TEORI A. Pengertian Folklore ............................................................ 3 B. Fungsi dalam Cerita Rakyat ............................................... 4 BAB III. PEMBAHASAN A. Fungsi Hiburan Bascom dalam Asal-Usul Banyuwangi .... 6 B.



Fungsi Pendidikan dalam Asal-Usul Banyuwangi............. 6



BAB IV. PENUTUP A. Simpulan ............................................................................ 9 B. Saran ................................................................................... 9 Daftar Pustaka ........................................................................................ 10



BAB I PENDAHULUAN



A.



Latar Belakang



Karya sastra pada dasarnya berupa permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat. Setiap bangsa atau suku mempunyai kehidupan sosial yang berbeda dengan bangsa atau



suku lain. Demikian pula suku Jawa yang mempunyai kehidupan sosial khas terutama dalam sistem kehidupannya. Sastra lahir atas hasil karya perilaku manusia dalam kebudayaan yang beranekaragam suku, ras, agama, dan tradisi. Kebudayaan dalam masyarakat merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa masyarakat yang telah disesuaikan dengan lingkungan dimana masyarakat tersebut tinggal dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat tersebut. Oleh karena itu, sebuah karya sastra mempunyai fungsi dalam masyarakat baik fungsi secara langsung maupun tidak langsung. Karya sastra sebagai media penyampaian isi hati pengarang atas apa yang dirasakan atau dialami sendiri maupun hal-hal apa saja yang terjadi di masyarakat. Misalnya, cerita rakyat berupa legenda asal-usul Banyuwangi, oleh sebagian orang cerita tersebut hanyalah sebuah dongengan bagi anak-anak namun, di balik legenda tersebut tersirat fungsi yang dapat kita ambil dari adanya cerita asal-usul Banyuwangi. Sehingga cerita-cerita fiksi yang sering kita dengar tidak hanya sekadar hisapan jempol semata, melainkan mempunyai nilai dan fungsi yang disampaikan oleh pengarangnya. Meskipun cerita rakyat bersifat anonim, namun sedikit banyak telah memengaruhi pranata-pranata sosial dalam kehidupan masyarakat. Fungsi seperti apa yang dimaksudkan akan kami bahas dalam makalah ini dengan judul “Analisis Teori Fungsi dalam Cerita Rakyat Asal-Usul Banyuwangi”.



B.



Rumusan Masalah



Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, kami merumuskan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana fungsi hiburan William R. Bascom dalam cerita rakyat asal-usul Banyuwangi? 2. Apa fungsi pendidikan William R. Bascom dalam cerita rakyat asal-usul Banyuwangi?



BAB II LANDASAN TEORI



A.



Pengertian Folklore



Menurut Alan Dundes, folklore berasal dari kata folk dan lore. Folk adalah sekelompok orang yang mempunyai ciri-ciri pengenal fisik, sosial, kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-



kelompok lainnya. Lore berarti sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun melalui lisan atau contoh dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat. (Danandjaja, 1997: 1). Jadi, dapat disimpulkan bahwa folklore merupakan sebagian kebudayaan yang tersebar secara turuntemurun baik dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat. Ciri-ciri folklore menurut Danandjaja (1997: 3-4) adalah sebagai berikut: 1. Penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi berikutnya. 2. Folklore bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar, dan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama, paling sedikit dua generasi. 3. Folklore ada dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara pembacanya menyampaikan cerita dari mulut ke mulut, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau interpolasi folklore dengan mudah dapat mengalami perubahan. Walau demikian, perbedaan hanya terletak pada bagian karyanya saja, sedangkan bentuk dasarnya tetap bertahan. 4. Folklore bersifat anonim, yakni tidak diketahui nama pengarangnya. 5. Folklore mempunyai bentuk berumus atau berpola dan menggunakan kata-kata klise. 6. Folklore mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan. 7. Folklore bersifat prologis, yakni mempunyai logika sendiri yang berbeda dengan logika umum. 8. Folklore menjadi milik bersama dari kolektif tertentu. 9. Folklore pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali kelihatan kasar atau terlalu spontan.



Klasifikasi cerita rakyat menurut Bascom dalam Danandjaja (1997: 50), dibagi menjadi tiga yakni, mite, legenda, dan dongeng. Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh si empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Sedangkan legenda adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi namun tidak dianggap suci. Legenda ditokohi oleh manusia walaupun ada kalanya mempunyai sifat luar biasa dan sering dibantu makhluk-makhluk ajaib. Dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun cerita.



B.



Fungsi dalam Cerita Rakyat



Fungsi folklore tidak lepas dari kebudayaan secara luas dan konteksnya. Suatu folklore dapat dimengerti sepenuhnya dengan mengetahui kebudayaan pemilik folklore tersebut. Biasanya pemilik folklore tidak menganggap penting asal-usul folklorenya, mereka cenderung lebih tertarik pada fungsi folklore tersebut. Pada dasarnya folklore akan berfungsi memantapkan identitas dan integrasi sosial yang secara simbolik mampu memengaruhi masyarakat. Teori fungsi pada awalnya dikemukakan oleh Malinowski seorang antropolog sosial. Menurut Malinowski, dongeng dapat dijadikan sebagai alat pendidikan anak dan kontrol sosial. Dongeng suci dianggap sebagai hal sakral dan benar-benar terjadi. (Endraswara, 2008: 127-128). Sedangkan teori fungsi menurut William R. Bascom ada empat yaitu, sebagai sistem proyeksi, sebagai alat pengesahan kebudayaan, sebagai alat pendidikan anak, sebagai pemaksa berlakunya norma-norma sosial serta sebagai alat pengendali sosial.(Danandjaja, 1997: 19).



BAB III PEMBAHASAN



A.



Fungsi Hiburan William R. Bascom dalam Asal-Usul Banyuwangi



Penerapan teori fungsi Bascom dalam legenda asal-usul Banyuwangi di antaranya adalah sebagai hiburan. Suatu cerita rakyat seperti asal-usul Banyuwangi yang termasuk dalam legenda, memiliki fungsi sebagai hiburan karena pada dasarnya fungsi utama sebuah cerita rakyat adalah sebagai hiburan. Hiburan yang dimaksudkan di sini adalah hiburan yang bersifat positif. Dianggap nyata atau tidaknya asal-usul Banyuwangi tersebut, dibuktikan melalui respon masyarakat mengenai fakta cerita dengan adanya sebuah daerah yang bernama Banyuwangi. Seperti dalam kutipan berikut: “sambil menyesali perbuatannya, ia lari mengikuti aliran sungai itu. Ia meraung-raung sambil berteriak, “Banyuwangi, Banyuwangi, Banyuwangi!”. Sejak itu, sampai sekarang daerah itu dan sekitarnya dinamakan Banyuwangi”. (Hutomo, Suripan Sadi & Yonohudiyono, 1996: 6).



B.



Fungsi Pendidikan William R. Bascom dalam Asal-Usul Banyuwangi



Filsafat etika mengajarkan mengenai sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk. Legenda asal-usul Banyuwangi memiliki fungsi sebagai alat pendidikan anak untuk mengetahui mana hal yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Fungsi pendidikan pada cerita ini terdapat pada sifat Sri Tanjung yang tidak gegabah untuk menerima tamu yang belum dikenal. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: “Sebentar Tuan, kupanggil ayah hamba dulu, barangkali beliau mengizinkan!”. (Hutomo, Suripan Sadi & Yonohudiyono, 1996: 2).



Selain itu, adapula pelajaran yang menunjukkan sikap Raja Sidareja yang tidak patut untuk dicontoh. Mengambil hak milik orang lain dengan tipu muslihat adalah sikap buruk yang tidak boleh dimiliki seseorang. Seperti dalam kutipan berikut: “Namun, begitu melihat kecantikan Sri Tanjung, iman Raja goyah dan hatinya bergejolak. Ia ingin memilikinya. Oleh karena itu, dicarinyalah akal.” (Hutomo, Suripan Sadi & Yonohudiyno, 1996: 3).



Adapula sifat baik, penurut dan rasa tanggungjawab yang patut ditiru seperti sikap Patih Sidapaksa dalam kutipan berikut: “Hamba sanggup Gusti. Hanya hamba titip istri hamba untuk dijaga keselamatannya, jawab patih dengan suara bergetar.” (Hutomo, Suripan Sadi & Yonohudiyono, 1996: 3).



Kemudian ada pelajaran yang berharga guna membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sikap Raja Sidareja yang pembohong dan Sri Tanjung yang teguh pendirian serta memiliki kesetiaan yang luar biasa terhadap suaminya. Seperti dalam kutipan berikut: “Sri Tanjung siang malam berdoa agar suaminya selamat dalam perjalanan dan berharap cepat kembali. Ia ketakutan, sebab selalu diganggu oleh kedatangan Raja yang meminta dan merayu agar mau dijadikan istrinya. Bahkan raja mengatakan bahwa Patih Sidapaksa telah gugur ketika menjalankan tugas di negeri Indran. Sri Tanjung selalu menolak ajakan Raja. Ia percaya bahwa suaminya selamat.” (Hutomo, Suripan Sadi & Yonohudiyono, 1996: 4).



Selain itu, di dalam cerita asal-usul Banyuwangi tersirat nilai bahwa fitnah bukanlah hal yang baik dalam kehidupan dan kita harus menghindarinya. Sebelum bertindak hendaknya difikirkan dahulu resikonya, jangan mudah percaya pada ucapan orang lain yang belum tentu kebenarannya. Seperti dalam kutipan berikut:



“Rupanya, fitnah Raja itu termakan benar di hati Patih. Ia sangat marah…tanpa diselidiki dulu kebenarannya…ia menghunus keris akan membunuh Sri Tanjung.” (Hutomo, Suripan Sadi & Yonohudiyono, 1996: 4).



Selanjutnya, terdapat nilai kejujuran yang dapat diterapkan seperti sifat jujur yang dimiliki Sri Tanjung. Seperti dalam kutipan berikut: “Begitu mayat itu menyentuh air sungai, bau harum pun semerbak tercium oleh Sidapaksa. Dia sadar dan baru teringat akan pesan Sri Tanjung. Istrinya tidak bersalah. Ia suci.” (Hutomo, Suripan Sadi & Yonohudiyono, 1996: 6).



Selain itu, ada sifat gegabah tanpa ada usaha untuk membuktikan kebenaran hingga berdampak pada penyesalan yang dialami Patih Sidapaksa. Hal tersebut tentunya bisa dijadikan pembelajaran, untuk tidak direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti kutipan berikut: “Sidapaksa segera menancapkan keris itu ke dada Sri Tanjung…begitu mayat itu menyentuh air sungai, bau harum pun semerbak tercium…istrinya tidak bersalah…sambil menyesali perbuatannya, ia lari mengikuti aliran sungai…” (Hutomo, Suripan Sadi & Yonohudiyono, 1996: 6).



BAB IV PENUTUP



A.



Simpulan



Folklore merupakan sebagian kebudayaan yang tersebar secara turun-temurun baik dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat. Ciri-ciri folklore di antaranya, bersifat anonim atau tidak diketahui siapa pengarangnya, bentuk penyebarannya melalui lisan secara turun-temurun, bersifat tradisional, dan memunyai nilai fungsi. Folklore dibagi menjadi tiga yakni, mite, legenda, dan dongeng. Cerita asal-usul Banyuwangi masuk dalam bentuk folklore legenda asal-usul nama suatu tempat. Sebuah cerita dibuat dengan fungsi dan tujuan tertentu sehingga tidak menjadi hisapan jempol semata. Penerapan teori



fungsi yang dikemukakan William R. Bascom dalam asal-usul Banyuwangi meliputi sebagai media hiburan dan media pendidikan. Bascom mengungkapkan empat fungsi folklore, namun dalam cerita asal-usul Banyuwangi terdapat dua fungsi Bascom.



B.



Saran



Legenda asal-usul Banyuwangi sudah melekat dan dipercayai dalam masyarakat. Legenda ini sangat cocok dijadikan bahan ajar guna membedakan antara perbuatan baik dan perbuatan buruk. Isi ceritanya cukup ringan, jadi akan mudah dicerna oleh anak-anak. Selain itu, dalam penyampaian cerita asal-usul Banyuwangi perlu digarisbawahi antara mana perbuatan yang harus ditiru dan mana yang tidak harus direalisasikan dalam kehidupan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkannya. Analisis teori fungsi ini juga membantu pembaca dan guna mengetahui bahwa sebuah cerita memiliki nilai fungsi di dalamnya, bukan sekadar omong kosong atau hisapan jempol semata.



Daftar Pustaka



Hutomo, Suripan Sadi & Yonohudiyono. 1996. Cerita Rakyat dari Banyuwangi. Jakarta: PT Grasindo. http://eprints.ums.ac.id/2455/1/A310040121.pdf (diunduh pada 18 April 2016 pukul 08:15).



Diposkan 9th May 2016 oleh Anonymous



0 Tambahkan komentar