Teori Pengasuhan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II LANDASAN TEORI II.A. Pengasuhan Pengasuhan erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga atau rumah tangga dan komunitas dalam hal memberikan perhatian, waktu dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan serta bagi anggota keluarga lainnya (Engel, 1997). Orangtua dalam pengasuhan memiliki beberapa definisi yaitu ibu, ayah, atau seseorang yang akan membimbing dalam kehidupan baru, seorang penjaga, maupun seorang pelindung. Orangtua adalah seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat, melindungi, mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahapan perkembangannya (Brooks, 2001).



Brooks (2001) juga mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses yang merujuk pada serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan orangtua untuk mendukung perkembangan anak. Proses pengasuhan bukanlah sebuah hubungan satu arah yang mana orangtua mempengaruhi anak namun lebih dari itu, pengasuhan merupakan proses interaksi antara orangtua dan anak yang dipengaruhi oleh budaya dan kelembagaan sosial dimana anak dibesarkan. Pengasuhan merupakan proses yang panjang, maka proses pengasuhan akan mencakup 1) interaksi antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya, 2) penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya, 3) pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak,



4) proses mendukung dan menolak keberadaan anak dan orang tua, serta 5) proses mengurangi resiko dan perlindungan tehadap individu dan lingkungan sosialnya (Berns 1997). Hoghughi (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan mencakup beragam aktifitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Prinsip pengasuhan menurut Hoghughi tidak menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada aktifitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Oleh karenanya pengasuhan meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi dan pengasuhan sosial. Beberapa definisi tentang pengasuhan tersebut menunjukkan bahwa pengasuhan merupakan sebuah proses interaksi yang terus menerus antara orangtua dengan anak yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, baik secara fisik, mental maupun sosial, sebagai sebuah proses interaksi dan sosialisasi yang tidak bisa dilepaskan dari sosial budaya dimana anak dibesarkan.



II.B. Pola Asuh Orangtua II.B.1.Definisi Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orangtua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak (Baumrind dalam Irmawati, 2002). Menurut Darling, (1999), pola asuh adalah



aktivitas kompleks yang melibatkan banyak perilaku spesifik yang bekerja secara individual dan bersama-sama untuk mempengaruhi anak. Hubungan baik yang tercipta antara anak dan orangtua akan menimbulkan perasaan aman dan kebahagiaan dalam diri anak. Sebaliknya hubungan yang buruk akan mendatangkan akibat yang sangat buruk pula, perasaan aman dan kebahagiaan yang seharusnya dirasakan anak tidak lagi dapat terbentuk, anak akan mengalami trauma emosional yang kemudian dapat ditampilkan anak dalam berbagai bentuk tingkah laku seperti menarik diri dari lingkungan, bersedih hati, pemurung, dan sebagainya. Pola asuh orangtua merupakan pola interaksi antara anak dengan orangtua bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, dan lain-lain), tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan (Hurlock, 1994). Pola asuh adalah suatu cara orangtua menjalankan peranan yang penting bagi perkembangan anak selanjutnya, dengan memberi bimbingan dan pengalaman serta memberikan pengawasan agar anak dapat menghadapi kehidupan yang akan datang dengan sukses, sebab di dalam keluarga yang merupakan kelompok sosial dalam kehidupan individu, anak akan belajar dan menyatakan dirinya sebagai manusia sosial dalam hubungan dan interaksi dengan kelompok (Meuler, 1987 dalam Iswantini, 2002). Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh orangtua adalah cara yang dipakai oleh orangtua dalam mendidik dan memberi bimbingan dan pengalaman serta memberikan pengawasan kepada anak-anaknya



agar kelak menjadi orang yang berguna, serta tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik dan psikis melainkan juga menanamkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang akan menjadi faktor penentu bagi anak-anaknya dalam menginterpretasikan, menilai dan mendeskripsikan kemudian memberikan tanggapan dan menentukan sikap maupun berperilaku.



II.B.2. Dimensi pola asuh Menurut (Baumrind, 1983) ada dua dimensi besar pola asuh yang menjadi dasar dari kecenderungan jenis kegiatan pengasuhan anak, yaitu : a. Responsiveness atau Responsifitas Dimensi ini berkenaan dengan sikap orangtua yang penuh kasih sayang, memahami dan berorientasi pada kebutuhan anak. Sikap hangat yang ditunjukkan orangtua pada anak sangat berperan penting dalam proses sosialisasi antara orangtua dengan anak. Diskusi sering terjadi pada keluarga yang orangtuanya responsif terhadap anak – anak mereka, selain itu juga sering terjadi proses memberi dan menerima secara verbal diantara kedua belah pihak. Namun pada orangtua yang tidak responsif terhadap anak – anaknya, orangtua bersikap membenci, menolak atau mengabaikan anak. Orangtua dengan sikap tersebut sering menjadi penyebab timbulnya berbagai masalah yang dihadapi anak seperti kesulitan akademis, ketidakseimbangan hubungan dengan orang dewasa dan teman sebaya sampai dengan masalah delikuensi.



Menurut (Baumrind, 1983 dalam Berk, 2000) responsiveness atau responsifitas terdiri atas : 1) Clarity of communication (menuntut anak berkomunikasi secara jelas), yaitu orangtua meminta pendapat anak yang disertai alasan yang jelas ketika anak menuntut pemenuhan kebutuhannya, menunjukkan kesadaran orangtua untuk medengarkan atau menampung pendapat, keinginan atau keluhan anak, dan juga kesadaran orangtua dalam memberikan hukuman kepada anak bila diperlukan. 2) Nurturance (upaya pengasuhan), yaitu orangtua menunjukkan ekspresi kehangatan dan kasih sayang serta keterlibatan orangtua terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan anak dan menunjukkan rasa bangga akan prestasi yang diperoleh anak. Orangtua mampu mengekspresikan cinta dan kasih sayang melalui tindakan dan sikap yang mengekspresikan kebanggaan dan rasa senang atas keberhasilan yang dicapai anak-anaknya.



b. Demandingness atau tuntutan Untuk mengarahkan perkembangan sosial anak secara positif, kasih sayang dari orangtua belumlah cukup. Kontrol dari orangtua dibutuhkan untuk mengembangkan anak agar anak menjadi individu yang kompeten baik secara intelektual maupun sosial. Menurut (Baumrind, 1983 dalam Berk, 2000) demandingness atau tuntutan terdiri atas : 1) Demand for maturity (menuntut anak bersikap dewasa), yaitu orangtua menekankan pada anak untuk mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi



lebih dewasa dalam segala hal. Orangtua memberikan tekanan terhadap anak untuk dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam aspek sosial, intelektual dan emosional. Orangtua pun menuntut kemandirian yang meliputi pemberian kesempatan kepada anak-anaknya untuk membuat keputusannya sendiri. 2) Control (kontrol), yaitu menunjukkan upaya orangtua dalam menerapkan kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan orangtua yang kaku yang sudah di buat sebelumnya. Orangtua juga terlihat berusaha untuk membatasi kebebasan, inisiatif dan tingkah laku anaknya. Orangtua memiliki kemampuan untuk menahan tekanan dari anak, dan konsisten dalam menjalankan aturan. Mengontrol tindakan didefinisikan sebagai upaya orangtua untuk memodifikasi ekspresi ketergantungan anak, agresivitas atau perilaku bermain di samping untuk meningkatkan internalisasi anak terhadap standar yang dimiliki orangtua terhadap anak.



II.B.3.Gaya Pola Asuh Orangtua Gaya pola asuh adalah kumpulan dari sikap, praktek dan ekspresi nonverbal orangtua yang bercirikan kealamian dari interaksi orangtua kepada anak sepanjang situasi yang berkembang (Darling & Steinberg, 1999). Gaya konseptual pola asuh Baumrind didasarkan pada pendekatan tipologis pada studi praktek sosialisasi keluarga. Pendekatan ini berfokus pada konfigurasi dari praktek pola asuh yang berbeda dan asumsi bahwa akibat dari salah satu praktek tersebut tergantung sebagian pada pengaturan kesemuanya. Variasi dari konfigurasi elemen utama pola asuh (seperti kehangatan, keterlibatan, tuntutan kematangan,



dan supervisi) menghasilkan variasi dalam bagaimana seorang anak merespon pengaruh orangtua. Dari perspektif ini, gaya pola asuh dipandang sebagai karakteristik orangtua yang membedakan keefektifan dari praktek sosialisasi keluarga dan penerimaan anak pada praktek tersebut (Darling & Steinberg, 1999). Tipologi gaya pola asuh Baumrind (1971) mengidentifikasi tiga pola yang berbeda secara kualitatif pada otoritas orangtua, yaitu authoritarian parenting, authoritative parenting dan permissive parenting. Menurut (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000), ada tiga tipe pola asuh orangtua: a. Pola asuh authoritarian, yaitu pola asuh yang penuh pembatasan dan hukuman (kekerasan) dengan cara orangtua memaksakan kehendaknya, sehingga orangtua dengan pola asuh authoritarian memegang kendali penuh dalam mengontrol anak-anaknya. Authoritarian mengandung demanding dan unresponsive. Yang dicirikan dengan orangtua yang selalu menuntut



anak



tanpa



memberi



kesempatan



pada



anak



untuk



mengemukakan pendapatnya, tanpa disertai dengan komunikasi terbuka antara orangtua dan anak juga kehangatan dari orangtua. Pola asuh authoritarian ditandai dengan ciri-ciri sikap orangtua yang kaku dan keras dalam menerapkan peraturan-peraturan maupun disiplin. Orangtua bersikap memaksa dengan selalu menuntut kepatuhan anak, agar bertingkah laku seperti yang dikehendaki oleh orangtuanya. Karena orangtua tidak mempunyai pegangan mengenai cara bagaimana mereka harus mendidik, maka timbul berbagai sikap orangtua yang mendidik menurut apa yang dinggap terbaik oleh mereka sendiri, diantaranya



adalah dengan hukuman dan sikap acuh tak acuh, sikap ini dapat menimbulkan



ketegangan



dan



ketidak



nyamanan,



sehingga



memungkinkan kericuhan di dalam rumah (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000). Menurut Stewart dan Koch (1983), orangtua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri sebagai berikut: 1) Kaku 2) Tegas 3) Suka menghukum 4) Kurang ada kasih sayang serta simpatik 5) Orangtua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk lingkah laku sesuai dengan yang orangtua inginkan serta cenderung mengekang keinginan anak 6) Orangtua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian 7) Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa. b. Pola asuh authoritative, yaitu pola asuh yang memberikan dorongan pada anak untuk mandiri namun tetap menerapkan berbagai batasan yang akan mengontrol perilaku mereka. Adanya saling memberi dan saling menerima, mendengarkan dan didengarkan. Pola ini lebih memusatkan perhatian pada aspek pendidikan daripada aspek hukuman, orangtua memberikan peraturan yang luas serta memberikan penjelasan tentang sebab diberikannya hukuman serta imbalan tersebut. Authoritative mengandung demanding dan responsive dicirikan dengan adanya tuntutan



dari orang tua yang disertai dengan komunikasi terbuka antara orangtua dan anak, mengharapkan kematangan perilaku pada anak disertai dengan adanya kehangatan dari orangtua. Jadi penerapan pola asuh authoritatif dapat memberikan keleluasaan anak untuk menyampaikan segala persoalan yang dialaminya tanpa ada perasaan takut, keleluasaan yang diberikan orangtua tidak bersifat mutlak akan tetapi adanya kontrol dan pembatasan berdasarkan norma-norma yang ada (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000). Menurut Stewart dan Koch (1983) menyatakan ciri-cirinya adalah: 1) Bahwa orangtua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak antara orangtua dan anak. 2) Secara bertahap orangtua memberikan tanggung jawab bagi anakanaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa. 3) Mereka selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anakanaknya. 4) Dalam bertindak, mereka selalu memberikan alasannya kepada anak, mendorong anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas tetapi hangat dan penuh pengertian. c. Pola asuh permissive, yaitu pola asuh yang menekankan pada ekspresi diri dan regulasi diri anak. Mengizinkan anak untuk memonitor aktivitas mereka sendiri sebanyak mungkin tanapa adanya batasan dari orangtua



(Baumrind, 1989 dalam Papalia, 2008). Maccoby dan Martin (dalam Santrock, 2002) membagi pola asuh ini menjadi dua: neglectful parenting dan indulgent parenting. Pola asuh yang neglectful yaitu bila orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak (tidak peduli). Pola asuh ini menghasilkan anak-anak yang kurang memiliki kompetensi sosial terutama karena adanya kecenderungan kontrol diri yang kurang. Pola asuh yang indulgent yaitu bila orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anak, namun hanya memberikan kontrol dan tuntutan yang sangat minim (selalu



menuruti



atau



terlalu



membebaskan)



sehingga



dapat



mengakibatkan kompetensi sosial yang tidak adekuat karena umumnya anak kurang mampu untuk melakukan kontrol diri dan menggunakan kebebasannya tanpa rasa tanggung jawab serta memaksakan kehendaknya. Permissive mengandung undemanding dan unresponsive (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000). Dicirikan dengan orangtua yang bersikap mengabaikan dan lebih mengutamakan kebutuhan dan keinginan orangtua daripada kebutuhan dan keinginan anak, tidak adanya tuntutan larangan ataupun komunikasi terbuka antara orangtua dan anak. Hurlock (1994) mengatakan bahwa pola asuhan permisif bercirikan : 1) Adanya kontrol yang kurang 2) Orangtua bersikap longgar atau bebas 3) Bimbingan terhadap anak kurang.



II.B.4.Faktor–faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah (Edwards, 2006): a. Pendidikan orangtua Pendidikan dan pengalaman orangtua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain: terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak (Edwards, 2006). Latar belakang pendidikan orangtua, informasi yang didapat oleh orangtua tentang cara mengasuh anak, kultur budaya, kondisi lingkungan sosial, ekonomi akan mempengaruhi bagaimana orangtua memberikan pengasuhan pada anak-anak mereka (Winengan, 2007). Orangtua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran asuh, selain itu orangtua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal (Supartini, 2004). b. Lingkungan Faktor sosial, ekonomi, lingkungan, budaya dan pendidikan memberikan kontribusi pada kualitas pengasuhan orangtua (Zevalkinki, 2007). Pengasuhan merupakan proses yang panjang, maka proses pengasuhan akan mencakup 1) interaksi antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya, 2) penyesuaian



kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya, 3) pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak, 4) proses mendukung dan menolak keberadaan anak dan orang tua, serta 5) proses mengurangi resiko dan perlindungan tehadap individu dan lingkungan sosialnya (Berns 1997). Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orangtua terhadap anaknya (Edwards, 2006). c. Budaya Sering kali orangtua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak, karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan (Edwards, 2006). Orangtua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orangtua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya (Anwar,2000). Budaya yang ada di dalam suatu komunitas menyediakan seperangkat keyakinan, yang mencakup (a) pentingnya pengasuhan; (b) peran anggota keluarga (c) tujuan pengasuhan; (d) metode yang digunakan dalam penerapan disiplin kepada anak; dan (e) peran anak di dalam masyarakat(Brooks, 2001). Oleh karenanya, bila budaya yang ada mengandung seperangkat keyakinan yang dapat melindungi perkembangan anak, maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua kemungkinan juga akan berdampak positif terhadap perkembangan anak. Sebaliknya, bila ternyata seperangkat keyakinan yang ada



dalam budaya masyarakat setempat justru memperbesar munculnya faktor resiko maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua pun akan menyebabkan perkembangan yang negatif pada anak (Suhartono, 2007).



II.C.Gaya Pengasuhan Ibu dan Ayah Berbeda Orangtua mungkin tidak menyadari, sebenarnya gaya pengasuhan antara ayah dan ibu berbeda. Hal ini dikarenakan, pada dasarnya gender laki-laki dan perempuan berbeda, baik dalam pola kehidupan, latar belakang maupun pekerjaannya. Perbedaan pada gaya ayah dan ibu sangat wajar, mengingat pada bapak-bapak, secara fisik memang lebih kuat dari ibu-ibu. Selain itu, secara umum bapak-bapak adalah breadwinners (pencari nafkah, Red.) dalam keluarga. Namun begitu, keduanya tetap harus sinergis dalam membangun kehidupan anak. ayah dan ibu tetap memiliki peranan yang sama besarnya dalam membangun anak. Kalau ayah lebih kepada membangun visi dan misi, dan menumuhkan kompetensi dan percaya diri. Ibu lebih kepada memberikan kasih sayang, sentuhan, memeluk, memberikan contoh kasih sayang, ataupun mengajak anak ngobrol (Verauli, 2012). Secara umum, ayah dan ibu memiliki peran yang sama dalam pengasuhan anak-anaknya. Namun ada sedikit perbedaan sentuhan dari apa yang ditampilkan oleh ayah dan ibu (Verauli, 2009). a. Peran ibu 1. Menumbuhkan perasaan mencintai dan mengasihi pada anak melalui interaksi yang jauh melibatkan sentuhan fisik dan kasih sayang.



2. Menumbuhkan kemampuan berbahasa pada anak melalui kegiatan-kegiatan bercerita dan mendongeng, serta melalui kegiatan yang lebih dekat dengan anak, yakni berbicara dari hati ke hati kepada anak. 3. Mengajarkan tentang peran jenis kelamin perempuan, tentang bagaimana harus bertindak sebagai perempuan, dan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial dari seorang perempuan. b. Peran ayah 1. Menumbuhkan rasa percaya diri dan kompeten pada anak melalui kegiatan bermain yang lebih kasar dan melibatkan fisik baik di dalam maupun di luar ruang. 2. Menumbuhkan kebutuhan akan hasrat berprestasi pada anak melalui kegiatan mengenalkan anak tentang berbagai kisah tentang cita-cita. 3. Mengajarkan tentang peran jenis kelamin laki-laki, tentang bagaimana harus bertindak sebagai laki-laki, dan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial dari laki-laki. Peran orangtua dalam pengasuhan anak berubah seiring pertumbuhan dan perkembangan anak. Karenanya, diharapkan orangtua bisa memahami fase-fase perkembangan



anak



dan



perkembangan



Jean



Piaget,



mengimbanginya. anak



perlu



Menurut



melakukan



pakar aksi



psikologi



tertentu



atas



lingkungannya untuk dapat mengembangkan cara pandang yang kompleks dan cerdas atas setiap pengalamannya. Sudah menjadi tugas orangtua untuk memberi anak pengalaman yang dibutuhkan anak agar kecerdasannya berkembang sempurna (Verauli, 2009).



Erik Erikson (dalam Verauli, 2012) selaku pelopor dunia psikologi anak juga menegaskan bahwa cinta seorang ayah dan kasih seorang ibu berbeda secara kualitatif. Berikut ini keterlibatan seorang ayah membuat perbedaan positif dalam kehidupan anak: 1. Gaya komunikasi berbeda Ayah memiliki gaya komunikasi berbeda. Anak akan lebih berpengalaman, lebih luas interaksi relasional. 2. Gaya bermain berbeda Ayah mengajarkan melempar, menggelitik, menendang, bergulat untuk pengendalian



diri.



3. Membangun rasa percaya diri Meski gaya pengasuhan sendiri dapat membahayakan tubuh, namun ayah mengambil risiko untuk membangun kemandirian dan kepercayaan diri. Sementara anak tetap aman namun memperluas pengalaman dan meningkatkan kepercayaan diri mereka. 4. Gaya disiplin unik Ayah cenderung mengamati dan menegakkan aturan secara sistematis dan tegas. Mengajar anak-anak konsekuensi dari benar dan salah. 5. Persiapkan anak untuk dunia nyata Ayah terlibat membantu anak menyikapi perilaku. Misalnya ayah lebih mungkin dibandingkan ibu untuk memberitahu anak-anak tentang persiapan realitas dan kerasnya dunia.



Masing-masing orangtua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang pendidikan orangtua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh orangtua petani tidak sama dengan pedagang. Demikian pula pola asuh orangtua berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh orangtua yang berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola yang keras/kejam, kasar, dan tidak berperasaan. Namun, ada pula yang memakai pola lemah lembut, dan kasih sayang. Ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas yang biasa disebut pola otoriter (Clemes, 2001). Kedekatan hubungan ibu dan anak sama pentignya dengan ayah dan anak walaupun secara kodrati akan ada perbedaan. Didalam rumah tangga ayah dapat melibatkan dirinya melakukan peran pengasuhan kepada anaknya. Seorang ayah tidak saja bertanggung jawab dalam memberikan nafkah tetapi dapat pula bekerja sama dengan ibu dalam melakuan perawatan anak. Gaya pengasuhan anak merupakan seluruh interaksi antara subjek dan objek berupa bimbingan, pengarahan dan pengawasan terhadap aktivitas objek sehari-hari yang berlangsung secara rutin sehingga membentuk suatu pola dan merupakan usaha yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan si pendidik atau pengasuh. Peran ibu adalah sebagai pelindung dan pengasuh. Seorang ibu, tua maupun muda, kaya atau miskin secara naluriah tahu tentang garis-garis besar dan fungsinya sehari-hari dalam keluarga. Ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga, khususnya bagi anak-anak yang berusia dini. Oleh karena itu



keterlibatan ibu dalam mengasuh dan membesarkan anak sejak masih bayi dapat membawa pengaruh positif maupun negatif bagi perkembangan anak di masa yang akan datang (Berk, 2000).



II.D. Perkembangan Pada Masa Anak-anak Akhir Pembentukan kualitas seorang individu dapat dimulai dari masa anakanak, terutama pada usia dini. Anak-anak adalah generasi penerus bangsa, merekalah para pengganti dan penyempurna generasi sebelumnya. Pada masa ini seorang anak mulai belajar untuk semua hal yang ada di dunia. Masa anak-anak ini terbagi dalam dua bagian yaitu masa anak-anak awal yang berlangsung dari usia 2-6 tahun dan masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia 6-13 tahun pada anak perempuan dan 14 tahun pada anak laki-laki (Hurlock, 1994). Periode ini dimulai ketika anak mulai memasuki Sekolah Dasar dan berakhir ketika anak mengalami kematangan seksual. Periode ini juga disebut sebagai periode anak usia Sekolah Dasar, karena pada masa ini anak mulai memasuki sekolah formal (Hurlock, 1994). Anak usia sekolah telah menginternalisasi rasa malu dan bangga serta dapat memahami dan mengontrol emosi negatif lebih baik. Anak usia sekolah menjadi lebih empati dan lebih condong kepada perilaku prososial, anak prososial cendrung bertindak sesuai dengan situasi sosial, relatif bebas dari emosi negatif dan menghadapi masalah secara konstruktif. Anak usia sekolah lebih sedikit menghabiskan waktunya dengan orangtua, namun hubungannya dengan orangtua tetap sangat penting. (Papalia, 2008)



II.E. Praktek Pengasuhan Pada Anak-anak Akhir Orangtua dari anak yang berprestasi menciptakan lingkungan untuk belajar. Mereka menyediakan tempat untuk belajar, menyimpan buku serta berbagai peralatan, mereka menentukan waktu makan, tidur, dan pekerjaan rumah, mereka memonitor seberapa banyak acara televisi yang ditonton anak mereka dan apa yang dilakukan anak mereka setelah sekolah dan mereka menunjukkan ketertarikan kepada kehidupan anak mereka dengan berbincang-bincang tentang sekolah dan terlibat dalam aktivitas sekolah (Cooper dkk, 1998 dalam Papalia, 2008) . Orangtua memotivasi anaknya dengan cara ekstrinsik maupun intrinsik. Orangtua yang menggunakan cara ekstrinsik yaitu dengan cara memberikan uang atau barang apabila sang anak mendapatkan peringkat yang bagus atau menghukumnya apabila peringkat sang anak buruk. Orangtua yang menggunakan cara intrinsik yaitu dengan cara memuji kemampuan ataukerja keras mereka. Motivasi intrinsik akan lebih efektif untuk pembelajaran sang anak (Miserandino, 1996 dalam Papalia, 2008). Gaya pengasuhan akan mempengaruhi motivasi. Dalam sebuah studi penelitian anak kelas lima, hasil menunjukkan bahwa orangtua otoritarian, selalu mengurung anak agar mengerjakan pekerjaan rumah mereka, mengawasi dengan ketat, dan menyandarkan diiri kepada motivasi ekstrinsik cendrung memiliki anak berprestasi rendah. Begitu pula dengan orangtua yang permissive yang lepas tangan tidak tampak peduli dengan yang dilakukan sang anak di sekolah. Orangtua yang autoritative cendrung memiliki anak yang bersikap terbuka pada



orangtuanya, orangtua memberikan kesempatan bagi anak-anaknya namun tidak lepas dari pengawasan (Bronstein & Ginsburg, 1996 dalam Papalia, 2008).



II.F. Masyarakat Pesisir II.F.1. Definisi Masyarakat Pesisir Pengertian masyarakat pesisir tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat itu sendiri. Maka dari itu sebelum membicarakan tentang masyarakat pesisir terlebih dahulu kita memahami tentang definisi masyarakat. Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang telah hidup lama dan bekerja sama sehingga mereka dapat mengatur diri dan menganggap diri mereka sebagai kesatuan sosial dengan batas tertentu yang diharuskan dengan jelas. Pada hakikatnya pengertian masyarakat mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: (a). Adanya sejumlah manusia yang hidup bersama (b). Bercampur atau bersama-sama untuk waktu yang cukup lama (c). Menyadari bahwa mereka merupakan satu kesatuan (d). Menyadari bahwa mereka bersama-sama di ikat oleh perasaan anggota yang satu dengan yang lainnya (e). Menghasilkan suatu kebudayaan tertentu (Audiyahira, 2011). Masyarakat pesisir dapat didefinisikan sebagai kelompok orang atau suatu komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Mereka terdiri dari nelayan, buruh nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, pengolah ikan, sarana produksi perikanan (Mudjahirin, 2009). Masyarakat pesisir yang identik dengan nelayan merupakan bagian dari masyarakat terpinggirkan



yang masih terus bergulat dengan berbagai persoalan kehidupan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, maupun budaya. Kondisi kehidupan mereka selalu dalam kondisi yang memprihatinkan, terutama secara ekonomi. Dengan penghasilan yang selalu tergantung pada kondisi alam (Winengan, 2007). Masalah kompleks yang dihadapi masyarakat pesisir adalah kemiskinan, keterbatasan pengetahuan serta dunia pendidikan dan teknologi yang berkembang (Nikijuluw, 2001).



II.F.2.Karakteristik Masyarakat Pesisir Masyarakat di pesisir pantai secara umum mempunyai karakteristik yaitu sebagian besar mrupakan nelayan tradisional dengan penghasilan pas-pasan, dan tergolong keluarga miskin yang disebabkan oleh faktor alamiah, yaitu sematamata bergantung pada hasil tangkapan dan bersifat musiman, serta faktor non alamiah berupa keterbatasan teknologi alat penangkap ikan, sehingga berpengaruh terhadap pendapatan keluarga. Rendahya pendapatan keluarga berdampak terhadap ketersediaan pangan keluarga, ketersediaan rumah yang layak, pendidikan yang minimal untuk anak-anaknya. (Kusnadi 2003). Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang memiliki tempramental dan karakter watak yang keras dan tidak mudah di atur. Realitas pendidikan di masyarakat pesisir adalah pendidikan yang mengalami “Dehumanisasi”, dikatakan demikian karena pendidikan mengalami proses kemundurun dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Dengan pendidikan seperti itu maka



anak-anak menjadi putus sekolah dan lebih memilih bekerja sebagai nelayan untuk mencari nafkah (Audiyahira, 2011). Lingkungan alam sekitar akan membentuk sifat dan perilaku masyarakat. Lingkungan fisik dan biologi mempengaruhi interaksi sosial, distribusi peran sosial, karakteristik nilai, norma sosial, sikap serta persepsi yang melembaga dalam masyarakat. Perubahan lingkungan dapat merubah konsep keluarga. Nilainilai sosial yang berkembang dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi lingkungan dapat memacu perubahan sosial (Usman, 2003). Karateristik sosial ekonomi masyarakat pesisir dapat dilihat dari faktor mata pencaharian dan lingkungan pemukiman. Mata pencaharian sebagian besar penduduk di wilayah pesisir adalah di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resources base), seperti nelayan, petani ikan (budidaya tambak dan laut), penambangan pasir, kayu mangrove dan lain-lain. Sebagian besar penduduk wilayah pesisir memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum tertata dengan baik dan terkesan kumuh (Fakhrudin, 2008). Keterbatasan penghasilan atau kemiskinan menjadi karakteristik utama masyarakat pesisir, mereka tidak jarang membuat sang isteri ikut terlibat mencari nafkah tambahan guna memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan tidak mentup kemungkinan sang anak juga ikut terlibat dalam proses mencari nafkah yaitu dengan cara melaut. Pada umumnya isteri-isteri nelayan menjual hasl tangkapan suaminya. Dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, peranan isteri sangat cukup dominan, secara hati-hati isteri mengatur sepenuhnya pengeluaran rumah tangga



sehari-hari berdasarkan tingkat kebutuhan konsumsi jumlah anggota rumah tangganya. Selain itu gambaran umum yang pertama kali yang bisa dilihat dari kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi dalam kehidupan masyarakat pesisir adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah yang sangat sederhana, berdinding anyaman bamboo, berlantai tanah pasir, beratap daun rimba, dan keterbatasan pemilikan perabotan rumah tangga adalah tempat tinggal para nelayan buruh atau nelayan tradisional (Kusnadi, 2003). Selain gambaran fisik tersebut, untuk mengidentifikasi kehidupan nelayan miskin dapat dilihat dari tingkat pendidikan anak-anak, pola konsumsi sehari-hari dan tingkat pendapatan mereka. Karena tingkat pendapatan mereka rendah, maka adalah logis jika tingkat pendidikan anak-anak mereka juga rendah. Banyak anak yang harus berhenti sebelum lulus sekolah dasar atau kalaupun lulus, mereka tidak akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah pertama. Disamping itu, kebutuhan hidup yang paling mendasar bagi rumah tangga nelayan miskin adalah pemenuhan kebutuhan pangan. Kebutuhan dasar yang lain, seperti kelayakan perumahan dan sandang dijadikan sebagai kebutuhan sekunder. Kebutuhan akan pangan merupakan prasyarat utama agar rumah tangga nelayan dapat bertahan hidup (Kusnadi, 2003).



II.G. Gambaran Pola asuh Pada Masyarakat Pesisir Pantai Penduduk komunitas pantai yang disebut dengan masyarakat pesisir hampir sebagian besar bekerja sebagai nelayan tradisional umumnya mempunyai ciri yang sama yaitu kurang berpendidikan. Artinya, karena pekerjaan sebagai nelayan sedikit -banyak merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman, maka setinggi apa pun tingkat pendidikan masyarakat pesisir tersebut tidaklah akan mempengaruhi kecakapan mereka melaut (Sudarso, 2005). Masyarakat pesisir sangat tergantung dengan lam, sehingga ada waktu-waktu tertentu mereka memperoleh ikan dan ada waktuwaktu tertentu mereka tidak melaut. Oleh karena itu tidak jarang ditemukan masyarakat pesisir yang berhutang pada penjual atau warung yang bera di sekitar tempat tinggalnya. Hal ini adalah salah satu cara mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup (Kusnadi, 2003). Masyarakat pesisir yang identik dengan nelayan merupakan bagian dari masyarakat terpinggirkan yang masih terus bergulat dengan berbagai persoalan kehidupan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, maupun budaya. Kondisi kehidupan mereka selalu dalam kondisi yang memprihatinkan, terutama secara ekonomi. Dengan penghasilan yang selalu tergantung pada kondisi alam. Kondisi alam tersebut yang membuat sulit bagi mereka untuk merubah kehidupannya menjadi lebih baik. Kondisi yang memprihatinkan tersebut yang menyebabkan rendahnya kemampuan dan ketrampilan masyarakat pesisir sehingga membuat mereka hidup dalam kemiskinan (Winengan, 2007). Keterbatasan penghasilan atau kemiskinan yang dialami oleh masyarakat pesisir tidak jarang membuat isteri



ikut terlibat mencari nafkah tambahan guna memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan tidak menutup kemungkinan anak-anak mereka juga ikut terlibat dalam proses mencari nafkah seperti anak lelaki yang ikut melaut bersama ayah mereka (Kusnadi, 2003). Kemiskinan yang melanda rumah tangga masyarakat pesisir telah mempersulit mereka dalam membentuk kehidupan generasi berikutnya yang lebih baik dari keadaan mereka saat ini (Fathul, 2002). Karena mereka selalu hidup dalam kemiskinan, bagi mereka menikah dalam usia yang mungkin belum terlalu matang ini tidaklah menjadi soal. Masalah yang sesungguhnya biasanya baru mulai terasa jika keluarga-keluarga nelayan tradisional miskin itu mulai dikaruniai anak (Sudarso, 2005). Orangtua yang hidup dalam rumah kumuh, yang kehilangan pekerjaan, yang susah cari makan, dan yang merasa tidak dapat mengontrol kehidupan cendrung menjadi cemas, tertekan dan lekas marah. Orangtua akan menjadi kurang mengasihi anak-anaknya, kurang responsif, kasar yang berlebihan. Mereka juga cendrung mengabaikan perilaku yang baik dan hanya memperhatikan perilaku yang salah. Dampaknya, sang anak akan tertekan, kesulitan bermain dengan teman sabayanya, kurang percaya diri, memiliki masalah perilaku, dan terlibat dalam tindakan antisosial (Brooks-Gunn et al, 1998 dalam Papalia, 2008). Keluarga yang berada dalam kesulitan ekonomi memiliki kecendrungan yang lebih rendah dalam mengontrol aktivitas anak-anak mereka, dan kurangnya memonitor prestasi sekolah dan penyesuaian sosial sang anak (Bolger dkk, 1995 dalam Papalia, 2008). Akan tetapi, gambaran suram tersebut tidak baku, ada juga



orangtua yang mengalami kemiskinan namun ia merawat anaknya dengan baik, mengasuh anak secara efektif. Maka anak-anaknya akan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, anak-anak mereka juga akan lebih mudah untuk mencapai kesuksesan yang mereka inginkan (Ackerman dkk, 1999 dalam Papalia, 2008). Secara sosial-psikologis, kehadiran seorang anak bagi sebuah keluarga memang akan menjadi pelengkap kebahagiaan dan sudah sewajarnya jika disambut dengan gembira. Tetapi, bagi keluarga miskin kehadiran anak adalah sebagai beban mereka, karena mereka harus membiayai hidup dan sekolahnya. Anak-anak mereka harus menerima kenyataan untuk mengenyam tingkat pendidikan yang rendah. Karena ketidakmampuan ekonomi orang tuanya (Fathul, 2002). Fenomena keseharian masyarakat pesisir yang terlihat yaitu anak lelaki maupun wanita secara lebih dini terlibat dalam proses pekerjaan nelayan dari mulai persiapan orangtua mereka untuk ke laut sampai dengan menjual hasil tangkapan. Hal ini tentunya berimplikasi kepada kelangsungan pendidikan anakanaknya (Pengemanan, 2002). Pada umumnya rumah tangga nelayan tidak memiliki perencanaan yang matang untuk pendidikan anak-anaknya. Pendidikan bagi sebagian besar rumah tangga masyarakat pesisir masih menjadi kebutuhan nomor sekian dalam rumah tangga. Dapat dikatakan bahwa antusias terhadap pendidikan di masyarakat nelayan relatif masih rendah (Anggraini, 2000). Di kalangan keluarga nelayan tradisional, mempekerjakan anak-anak untuk ikut membantu orang tua mencari nafkah dalam usia dini adalah hal yang



biasa, sehingga jangan kaget jika anak-anak mereka pun rata-rata tidak sempat menyelesaikan pendidikan hingga jenjang yang setinggi –tingginya (Sudarso, 2005). Anak-anak di tuntut untuk ikut mencari nafkah, menanggung beban kehidupan rumah tangga, dan mengurangi beban tanggung jawab orang tuannya (Fathul, 2002). Di lingkungan komunitas masyarakat pesisir pantai, peran istri dan anak-anak dalam membantu ekonomi keluarga umumnya besar, dan bahkan tidak jarang menjadi sumber utama pemasukan keluarga (Sudarso, 2005). Oleh karenanya, bila budaya yang ada mengandung seperangkat keyakinan yang dapat melindungi perkembangan anak, maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua kemungkinan juga akan berdampak positif terhadap perkembangan anak. Sebaliknya, bila ternyata seperangkat keyakinan yang ada dalam budaya masyarakat setempat justru memperbesar munculnya faktor resiko maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua pun akan menyebabkan perkembangan yang negatif pada anak (Suhartono, 2007).



II.H. Paradigma Berfikir



Karakteristik masyarakat pesisir: - Memiliki banyak persoalan kehidupan - Status ekonomi yang rendah - Wawasan pengetahuan yang sempit - Tingkat pendidikan yang rendah



Faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua: - Pendidikan - Lingkungan - Budaya



Pola asuh antara ibu dan ayah berbeda



Pola asuh orangtua : -



Authoritarian



-



Authoritative Permissive