Tesis 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TESIS



EVALUASI SISTEM PENGADAAN OBAT DAN ALAT MEDIK HABIS PAKAI SECARA E-KATALOG DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO EVALUATION OF THE PROCUREMENT SYSTEM OF DRUG AND CONSUMABLE MEDICAL DEVICES BY USING E-CATALOGUE IN RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO



Furqan Djamaluddin NPM PROGRAM STUDI XXXXXX



SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA MAKASSAR 2018



TESIS



EVALUASI SISTEM PENGADAAN OBAT DAN ALAT MEDIK HABIS PAKAI SECARA E-KATALOG DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO



Disusun dan diajukan oleh



Furqan Djamaluddin NPM



Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Terapan



PROGRAM STUDI MAGISTER TERAPAN ADMINISTRASI PEMBANGUNAN NEGARA KONSENTRASI ADMINISTRASI PELAYANAN KESEHATAN



SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA MAKASSAR 2018



HALAMAN PERSEMBAHAN



TESIS HALAMAN PERSETUJUAN



EVALUASI SISTEM PENGADAAN OBAT DAN ALAT MEDIK HABIS PAKAI SECARA E-KATALOG DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO Disusun dan diajukan oleh



Furqan Djamaluddin Nomor Pokok Mahasiswa : Akan dipertahankan dalam Seminar proposal / seminar hasil penelitian / ujian tesis Pada tanggal Dan dinyatakan telah memenuhi syarat Menyetujui, Komisi Pembimbing



XXXXXX Pembimbing



Mengetahui, Ketua STIA LAN Makassar



Prof. Amir Imbaruddin, MDA, Ph.D NIP. 19640706 199303 1 001



HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI



SURAT PERNYATAAN



KATA PENGANTAR



ABSTRAK



ABSTRACT



DAFTAR ISI



DAFTAR TABEL



DAFTAR GAMBAR



DAFTAR LAMPIRAN



BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.1 Dalam memberikan pelayanan kesehatan yang profesional, bermutu, dan berkesinambungan, rumah sakit perlu didukung dengan ketersedian alat kesehatan yang memenuhi standar. Peralatan tersebut terdiri dari peralatan medis untuk instalasi gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, rawat intensif, rawat operasi, persalinan, radiologi, laboratorium klinik, pelayanan darah, rehabilitasi medik, farmasi, instalasi gizi, dan kamar jenazah.2 Salah satu komponen penting yang ketersediaannya berpengaruh dalam keberhasilan penyelenggaraan upaya kesehatan di rumah sakit adalah system kefarmasian. Biaya kefarmasian di negara-negara menengah dan berpenghasilan rendah merupakan masalah penting dan kontroversial. Oleh karena kebanyakan pasien tidak memiliki asuransi dan membayar sendiri biaya kefarmasian, maka biaya kefarmasian yang sesuai dengan pendapatan sangat penting agar dapat dijangkau oleh pasien (Danzon dkk, 2015). Berdasarkan penelitian WHO (2015), hampir 90% dari populasi di negara berkembang membayar sendiri biaya kefarmasian sehingga membuat pengobatan menjadi jenis pengeluaran keluarga terbesar setelah makanan. Di Indonesia, 60 sampai 80% masyarakat membayar biaya kefarmasian sendiri, hal ini tentu akan membebani masyarakat (Anggriani dkk, 2014). Sebagai negara dengan pendapatan menengah, biaya kefarmasian di Indonesia termasuk tinggi baik di sektor publik maupun swasta. Biaya pelayanan kefarmasian di



Indonesia meliputi pegelolaan sediaan farmasi (obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika), alat kesehatan, dan bahan medik habis pakai (Permenkes RI No 72, 2016). Komponen biaya terbesar dalam pelayanan kesehatan adalah obat yang dapat mencapai hingga 70% dari total biaya pelayanan kesehatan. Karena itu dalam pemilihan obat, faktor harga harus dipertimbangkan apakah terjangkau dibandingkan dengan manfaatnya (Depkes dalam Situmorang, 2011). Harga obat dapat mepengaruhi tingkat kesehatan masyarakat, masyarakat dapat memiliki kesempatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan lebih baik apabila harga obat terjangkau. Sebagai Negara berkembang, harga obat di Indonesia masih tergolong mahal baik di sektor pemerintah maupun swasta. Survey yang dilakukan pada tahun 2004 menunjukan bahwa harga obat di Indonesia masih tinggi. Untuk obat paten di Indonesia, harganya 22 sampai 26 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan international reference price (IRP). Sedangkan untuk obat generik, walaupun harganya lebih murah daripada obat paten, tetap saja harganya masih sembilan kali lipat dibandingkan IRP (Anggriani dkk, 2014). Begitupun yang terjadi dengan biaya kefarmasian berupa bahan medik habis pakai. Bahan medis habis pakai adalah alat kesehatan yang ditujukan untuk sekali pakai (single use) yang daftar produknya diatur dalam peraturan perundang-undangan (PERMENKES RI No 58, 2014). Bahan medis habis pakai digunakan untuk menunjang proses pengobatan. Sama halnya dengan obat, harga bahan medis habis pakai yang beredar di Indonesia sangat bervariasi tergantung dari merk dagang dan spesifikasi produknya. (Binfar Kemenkes, 2013). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah berupaya memperbaiki kinerja pengadaan obat dan bahan medik habis pakai dengan memberlakukan sistem pengadaan obat secara elektronik menggunakan sistem e-catalogue. Adopsi sistem elektronik tersebut diharapkan prinsip pengadaan yang berkualitas seperti transparansi, efisiensi, efektivitas maupun persaingan yang sehat dapat dicapai.



RSUP Dr. Wahidin merupakan salah satu rumah sakit yang telah menjalankan pengadaan obat dan bahan medik habis pakai dengan menggunakan e-katalog.



******************** Pengadaan obat dan alat medik habis pakai merupakan salah satu elemen dalam siklus manajemen obat yang bertujuan untuk menjamin ketersediaan obat dengan kualitas standar, dalam jumlah yang tepat, dan dengan biaya seminimal mungkin. Pengadaan obat yang tersedia dalam daftar katalog elektronik (e-catalogue) menggunakan metode pembelian secara e-purchasing. Jika obat yang dibutuhkan tidak terdapat dalam ecatalogue obat, proses pengadaan dapat mengikuti metode lainnya sesuai pedoman pengadaan barang/jasa pemerintah (Kementerian Kesehatan RI, 2014). E-purchasing merupakan salah satu metode pengadaan berbasis elektronik (e-procurement). E-proc urement merupakan pemanfaatan sistem teknologi informasi dalam otomatisasi proses pengadaan (Bottani dan Rizzi, 2005). E-procurement telah dilaksanakan di berbagai negara, seperti yang telah diteliti oleh Gunasekaran et al. (2008) di Hongkong, Teo et al (2009) di Singapura, Eei et al (2012) di Malaysia. Implementasi sistem e-procurement pada sektor kesehatan telah diteliti oleh Ketikidis et al (2010).



Sistem e-procurement obat berdasarkan e-catalogue merupakan sistem pengadaan obat yang baru di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan transparansi, efektifitas dan efisiensi proses pengadaan obat. Menjelang empat tahun berjalannya e-purchasing obat di Indonesia, berbagai penelitian sudah dilakukan untuk mengetahui implementasinya. Sutriatmoko et al (2015) melakukan analisis penerapan e-purchasing berdasarkan e-catalogue yang bertujuan mempelajari variabel yang berpengaruh terhadap kinerja epurchasing obat dan pengaruh kinerja terhadap efisiensi pengadaan obat di dinas kesehatan. Ningsih et al (2015) meneliti tentang hubungan penerapan e-katalog terhadap



efisiensi pengadaan dan ketersediaan obat secara kualitatif di rumah sakit. Penelitian yang bertujuan mengidentifikasi hambatan pelaksanaan e-purchasing obat dan dampaknya terhadap ketersediaan dan efisiensi biaya obat belum pernah dilakukan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dwiaji et al (2016) melakukan evaluasi pemesanan obat secara elektronik dibandingkan dengan rencana kebutuhan obat.



E-purchasing obat merupakan tata cara pembelian obat sesudah sistem e-catalogue obat terbangun (Kementerian Kesehatan RI, 2014). E-catalogue obat adalah sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis, dan harga obat dari berbagai penyedia obat. Produk IF penyedia dan informasi harga yang ditampilkan melalui katalog elektronik bisa diakses oleh pembeli melalui web. Pada proses pembelian keputusan menjadi lebih mudah (Ketikidis et al., 2010).



Sebagai sistem pengadaan obat yang baru, terdapat hambatan dalam pelaksanaan epurchasing obat. Hambatan dalam penerapan e-purchasing obat berdasarkan e-catalogue antara lain (1) Obat tidak ada di e-catalogue, (2) Pemesanan tidak direspon oleh IF penyedia sementara kebutuhan mendesak dan tidak dapat ditunda, (3) IF penyedia telah menyetujui pemesanan tapi baru tersedia beberapa bulan kemudian atau waktu pengiriman terlalu lama, (4) Penolakan pemesanan oleh IF penyedia karena stok tidak tersedia, (5) IF penyedia dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan, (6) Kendala operasional e-purchasing, (7) Faskes swasta tidak bisa melakukan pengadaan secara e-purchasing, (8) Pembayaran yang tertunda, (9) Distributor tidak memenuhi kesepakatan waktu pengiriman, tanggal kedaluwarsa produk dan return barang, (10) Distributor meminta biaya pengiriman, (11) Tidak ada tenaga kefarmasian dalam pemesanan obat oleh dinas kesehatan atau puskesmas (Kementerian Kesehatan RI, 2016).



Kendala suplai IF penyedia menyebabkan realisasi e-purchasing obat tidak sesuai dengan rencana. Dampak yang paling sering terjadi pada fasilitas pelayanan akibat hambatan pada pelaksanaan e-purchasing obatadalah terjadinya kekosongan obat untuk pelayanan, ketidaktersediaan obat untuk pelayanan dan potensi inefisiensi anggaran penyediaan obat akibat tidak terpenuhinya pengadaan obat secara e-purchasing. Akibat terjadi kekosongan dan kelangkaan obat, hampir setiap pasien, termasuk pasien miskin, mengeluarkan biaya untuk berobat.



********* Sistem e-Catalogue Obat Generik adalah sistem informasi elektronik yang memuat informasi seputar daftar nama obat, jenis, spesifikasi teknis, harga satuan terkecil, dan pabrik penyedia. Harga yang tercantum dalam e-Catalogue adalah harga satuan terkecil, dimana sudah termasuk pajak dan biaya distribusi. Dari data di lapangan ditemukan perbedaan harga beli bahan medis habis pakai antara dua rumah sakit dengan sistem pengadaan yang berbeda yaitu sistem pengadaan konvensional dan sistem pengadaan e-catalogue. E-catalogue merupakan sistem informasi elektronik yang memuat informasi seputar daftar nama obat dan alat kesehatan, jenis, spesifikasi teknis, harga satuan terkecil dan pabrik penyedia (Binfar Kemenkes, 2013). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, saat ini pemerintah memfasilitasi pengadaan obat generik dengan menggunakan sistem e-Catalogue. Sistem e-Catalogue Obat Generik adalah sistem informasi elektronik yang memuat informasi seputar daftar nama obat, jenis, spesifikasi teknis, harga satuan terkecil, dan pabrik penyedia. Harga yang tercantum dalam e-Catalogue adalah harga satuan terkecil, dimana sudah termasuk pajak dan biaya distribusi. ***** Selain obat, biaya kefarmasian yang senantiasa perlu dilakukan pengadaan adalah bahan medis habis pakai. Bahan medis habis pakai adalah alat kesehatan yang ditujukan untuk sekali pakai (single use) yang daftar produknya diatur dalam peraturan perundangundangan (PERMENKES RI No 58, 2014). Bahan medis habis pakai digunakan untuk menunjang proses pengobatan. Harga bahan medis habis pakai yang beredar di Indonesia sangat bervariasi tergantung dari merk dagang dan spesifikasi produknya. Akan tetapi perlu dipertanyakan jika terjadi perbedaan atau diskriminasi harga. Diskriminasi harga terjadi ketika sebuah perusahaan memberikan harga yang berbeda untuk kelompok konsumen yang berbeda pada barang atau jasa yang sama (Lichtenberg, 2010). Dari data di lapangan, ditemukan perbedaan harga beli bahan medis habis pakai antara dua rumah sakit dengan sistem pengadaan yang berbeda yaitu sistem pengadaan konvensional dan sistem pengadaan e-catalogue. E-catalogue merupakan sistem informasi elektronik yang



memuat informasi seputar daftar nama obat dan alat kesehatan, jenis, spesifikasi teknis, harga satuan terkecil dan pabrik penyedia (Binfar Kemenkes, 2013).



**** Bahan medis habis pakai adalah alat kesehatan yang ditujukan untuk sekali pakai (single use) yang daftar produknya diatur dalam peraturan perundang-undangan (PERMENKES RI No 58, 2014). Bahan medis habis pakai digunakan untuk menunjang proses pengobatan. Harga bahan medis habis pakai yang beredar di Indonesia sangat bervariasi tergantung dari merk dagang dan spesifikasi produknya. Akan tetapi perlu dipertanyakan jika terjadi perbedaan atau diskriminasi harga. Diskriminasi harga terjadi ketika sebuah perusahaan memberikan harga yang berbeda untuk kelompok konsumen yang berbeda pada barang atau jasa yang sama (Lichtenberg, 2010). Dari data di lapangan, ditemukan perbedaan harga beli bahan medis habis pakai antara dua rumah sakit dengan sistem pengadaan yang berbeda yaitu sistem pengadaan konvensional dan sistem pengadaan ecatalogue. E-catalogue merupakan sistem informasi elektronik yang memuat informasi seputar daftar nama obat dan alat kesehatan, jenis, spesifikasi teknis, harga satuan terkecil dan pabrik penyedia (Binfar Kemenkes, 2013).



Untuk mendapatkan alat kesehatan yang sesuai kebutuhan, memenuhi standar, dan optimal dalam pemanfaatan, maka diperlukan manajemen logistik alat kesehatan yang baik. Manajemen logistik adalah proses pengelolaan yang strategis terhadap pemindahan dan penyimpanan barang, suku cadang, dan barang jadi dari supplier, diantara fasitas perusahaan dan kepada para langanan.3 Sedangkan manajemen logistik di rumah sakit didefinisikan sebagai suatu proses pengolahan secara strategis terhadap pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, pemantauan persediaan bahan (stock, material, supplies, inventory dan lain-lain) yang diperlukan bagi produksi jasa rumah sakit.4 Rumah Sakit Umum Pendidikan Dr. Wahidin Sudirohusodo merupakan Rumah Sakit Umum Untuk mencapai visi dan misinya dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan memerlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Dalam memberikan pelayanan kesehatan diperlukan alat kesehatan yang sesuai standar, aman dan optimal pemanfaatan serta efisien. Untuk dapat mewujudkannya maka sangat diperlukan suatu manajemen logistik alat kesehatan yang baik.4 Pengelolaan manajemen logistik alat kesehatan yang baik, dengan memperhatikan rencana kebutuhan, skala prioritas, perencanaan pengembangan, dan mengevaluasi manfaat bagi pelayanan kesehatan di rumah sakit tentunya akan membuat Rumah Sakit Umum Pendidikan Dr. Wahidin Sudirohusodo akan lebih sempurna dalam melakukan proses pengadaan alat kesehatan. Keberhasilan dalam perencanaan kebutuhan harus didukung oleh semua pihak. Rencana yang dipaksakan akan sulit mendapatkan dukungan, bahkan sebaliknya akan berakibat tidak lancar dalam pelaksanaannya. 6



************* Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat



jalan dan gawat darurat.1 Dalam memberikan pelayanan kesehatan yang profesional, bermutu dan berkesinambungan rumah sakit perlu didukung dengan ketersedian alat kesehatan yang memenuhi standar, peralatan tersebut terdiri dari peralatan medis untuk instalasi gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, rawat intensif, rawat operasi, persalinan, radiologi, laboratorium klinik, pelayanan darah, rehabilitasi medik, farmasi, instalasi gizi, dan kamar jenazah.2 Untuk mendapatkan alat kesehatan yang sesuai kebutuhan, memenuhi standar dan optimal dalam pemanfaatan maka diperlukan manajemen logistik alat kesehatan yang baik. Manajemen logistik adalah proses pengelolaan yang strategis terhadap pemindahan dan penyimpanan barang, suku cadang dan barang jadi dari supplier, diantara fasitas perusahaan dan kepada para langanan.3 Sedangkan manajemen logistik di rumah sakit didefinisikan sebagai suatu proses pengolahan secara strategis terhadap pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, pemantauan persediaan bahan (stock, material, supplies, inventory dan lain-lain) yang diperlukan bagi produksi jasa rumah sakit.4 Rumah Sakit Umum Daerah Padang Pariaman merupakan Rumah Sakit Umum Kelas C yang melakukan pelayanan kesehatan dan melaksanakan sistem rujukan bagi masyarakat Daerah Kabupaten Padang Pariaman.5 Untuk mencapai visi dan misinya dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan memerlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Dalam memberikan pelayanan kesehatan diperlukan alat kesehatan yang sesuai standar, aman dan optimal pemanfaatan serta efisien. Untuk dapat mewujudkannya maka sangat diperlukan suatu manajemen logistik alat kesehatan yang baik.4 Pengelolaan manajemen logistik alat kesehatan yang baik, dengan memperhatikan rencana kebutuhan, skala prioritas, perencanaan pengembangan dan mengevaluasi manfaat bagi pelayanan kesehatan di rumah sakit tentunya Rumah Sakit Umum Daerah Padang Pariaman akan lebih sempurna dalam melakukan proses pengadaan alat kesehatan. Keberhasilan dalam perencanaan kebutuhan harus didukung oleh semua pihak, rencana yang dipaksakan akan sulit mendapatkan dukungan, bahkan sebaliknya akan berakibat tidak lancar dalam pelaksanaannya.6 ***** Komponen biaya terbesar dalam pelayanan kesehatan adalah obat yang dapat mencapai hingga 70% dari total biaya pelayanan kesehatan. Karena itu dalam pemilihan obat, faktor harga harus dipertimbangkan apakah terjangkau dibandingkan dengan manfaatnya (Depkes dalam Situmorang, 2011). Harga obat dapat mepengaruhi tingkat kesehatan masyarakat, masyarakat dapat memiliki kesempatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan lebih baik apabila harga obat terjangkau. Sebagai Negara berkembang, harga obat di Indonesia masih tergolong mahal baik di sektor pemerintah maupun swasta. Survey yang dilakukan pada tahun 2004 menunjukan bahwa harga obat di Indonesia masih tinggi. Untuk obat paten di Indonesia, harganya 22 sampai 26 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan international reference price (IRP). Sedangkan untuk obat generik, walaupun harganya lebih murah daripada obat paten, tetap saja harganya masih sembilan kali lipat dibandingkan IRP (Anggriani dkk, 2014). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, saat ini pemerintah memfasilitasi pengadaan obat generik dengan menggunakan sistem e-Catalogue. Sistem e-Catalogue Obat Generik adalah sistem informasi elektronik yang memuat informasi seputar daftar nama obat, jenis, spesifikasi teknis, harga satuan terkecil, dan pabrik penyedia. Harga yang tercantum dalam e-Catalogue adalah harga satuan terkecil, dimana sudah termasuk pajak dan biaya distribusi. Tetapi tidak semua rumah sakit dapat melakukan pembelian obat melalui fasilitas e-Catalogue, beberapa rumah sakit masih menggunakan cara konvensional untuk pengadaan kebutuhan obat sehingga terdapat perbedaan antara harga beli dengan cara konvensional dengan harga eCatalogue



Tabel 1 menunjukan perbandingan harga obat yang dibeli rumah sakit dengan harga eCatalogue. Dengan metode pembelian yang dijalankan rumah sakit menjadikan harga obat yang dibeli lebih mahal dari harga e-Catalogue. Seperti jenis obat Glimepiride 4 mg yang harga belinya tiga kali lipat dibandingkan harga yang tertera di e-Catalogue.Berdasarkan penjelasan dan permasalahan diatas, peneliti ingin mengetahui rantai pasok obat dari supplier hingga ke tangan konsumen, bagaimana pertambahan nilai yang terjadi pada setiap alur rantai pasokan. Studi kasus ******* Biaya kefarmasian di negara-negara menengah dan berpenghasilan rendah merupakan masalah penting dan kontroversial. Karena kebanyakan pasien tidak memiliki asuransi dan membayar sendiri biaya kefarmasian, maka biaya kefarmasian yang sesuai dengan pendapatan sangat penting agar dapat dijangkau oleh pasien (Danzon dkk, 2015). Berdasarkan penelitian WHO (2015), hampir 90% dari populasi di negara berkembang membayar sendiri biaya kefarmasian sehingga membuat pengobatan menjadi jenis pengeluaran keluarga terbesar setelah makanan. Di Indonesia, 60 sampai 80% masyarakat membayar biaya kefarmasian sendiri, hal ini tentu akan membebani masyarakat (Anggriani dkk, 2014). Sebagai negara dengan pendapatan menengah, biaya kefarmasian di Indonesia termasuk tinggi baik di sektor publik maupun swasta. Biaya pelayanan kefarmasian di Indonesia meliputi pegelolaan sediaan farmasi (obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika), alat kesehatan dan bahan medis habis pakai (PERMENKES RI No 58, 2014). Sebagai contoh harga obat paten di Indonesia mencapai 22 hingga 26 kali lebih tinggi dari harga referensi internasional (IRP) di sektor publik dan swasta pada tahun 2004. Meskipun obat-obatan generik lebih murah dari obat paten, harganya masih 9 kali dari IRP (Anggriani dkk, 2014). Bahan medis habis pakai adalah alat kesehatan yang ditujukan untuk sekali pakai (single use) yang daftar produknya diatur dalam peraturan perundang-undangan (PERMENKES RI No 58, 2014). Bahan medis habis pakai digunakan untuk menunjang proses pengobatan. Harga bahan medis habis pakai yang beredar di Indonesia sangat bervariasi tergantung dari merk dagang dan spesifikasi produknya. Akan tetapi perlu dipertanyakan jika terjadi perbedaan atau diskriminasi harga. Diskriminasi harga terjadi ketika sebuah perusahaan memberikan harga yang berbeda untuk kelompok konsumen yang berbeda pada barang atau jasa yang sama (Lichtenberg, 2010). Dari data di lapangan, ditemukan perbedaan harga beli bahan medis habis pakai antara dua rumah sakit dengan sistem pengadaan yang berbeda yaitu sistem pengadaan konvensional dan sistem pengadaan ecatalogue. E-catalogue merupakan sistem informasi elektronik yang memuat informasi seputar daftar nama obat dan alat kesehatan, jenis, spesifikasi teknis, harga satuan terkecil dan pabrik penyedia (Binfar Kemenkes, 2013). Berikut adalah perbandingan harga beli bahan medis habis pakai dengan sistem pengadaan konvensional dan e-catalogue.



Dengan adanya perbedaan harga antara kedua sistem pengadaan, menimbulkan berbagai pertanyaan sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap kedua sistem pengadaan tersebut, terutama pada struktur rantai pasoknya. Menurut Ballou (2004) dalam Pettersson & Segerstedt (2013), rantai pasok atau supply chain mengacu pada semua kegiatankegiatan yang berhubungan dengan transformasi dan aliran barang dan jasa, termasuk aliran informasi, dari sumbersumber bahan baku kepada pengguna akhir.



*****



1.2. Rumusan Masalah Atas dasar hal-hal yang telah diuraikan pada latar belakang, maka penulis tertarik untuk melakukan evaluasi terhadap pengadaan obat dan bahan medik habis pakai berdasarkan e-katalog dengan meneliti lebih dalam tentang persepsi pelaku pengadaan obat dan bahan medik habis pakai berdasarkan e-katalog dalam mewujudkan tujuan dari pengadaan obat dan bahan medik habis pakai berdasarkan e-katalog yang diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2014, dengan rumusan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah e-katalog meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengadaan obat dan bahan medik habis pakai? 2. Apakah e-katalog memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan obat dan bahan medik habis pakai? 3. Apakah e-katalog memperbaiki tingkat efektivitas proses pengadaan obat dan bahan medik habis pakai? 4. Apakah e-katalog memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time bagi pelaku pengadaan obat dan bahan medik habis pakai? 1.3. Batasan Penelitian Penulis membatasi penelitian sebagai berikut : 1. Penelitian ini fokus mengevaluasi sejauh mana pencapaian tujuan pengadaan obat dan 2. Hh 3. hhh 1.4. Tujuan Penelitian 1.5. Kontribusi dan Manfaat Penelitian 1.6. Sistematika Penulisan



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Publik 2.1.1. Definisi 2.1.2. Evaluasi Kebijakan Publik 2.2. E-Katalog 2.2.1. Definisi E-Katalog 2.2.2. Tujuan dan Prinsip E-Katalog 2.3. Transparansi 2.4. Akuntabilitas 2.5. Efisiensi 2.6. Akses Informasi ? 2.7. Korea Selatan Sebagai Best Practice E-Procurement 2.7.1. KONEPS 2.7.2. Arsitektur Koneps 2.8. RSUP 2.9. Penelitian Terdahulu



BAB III E-KATALOG DI INDONESIA 3.1. Kebijakan Publik



BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Desain Penelitian 4.1.1. Variabel Penelitan 4.1.2. Indikator Variabel Penelitian 4.1.3. Teknik Pengumpulan Data 4.1.4. Analisis Data 4.2. Populasi dan Pengambilan Sampling 4.3. xx



BAB V PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Responden 5.1.1. Karakteristik Umum 5.1.2. Karakteristik Khusus 5.2. Evaluasi Pasal 107 Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 5.2.1. Peningkatan Transparansi 5.2.2. Peningkatan Akuntabilitas 5.2.3. Peningkatan Efisiensi 5.2.4. Peningkatan Informasi yang Real Time 5.3. Efisiensi Proses Pengadaan : Studi Kasus Medan, Jakarta, dan Kupang



BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan 6.2. Rekomendasi



DAFTAR PUSTAKA Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit. 1. UU RI NO. 44 TAHUN 2009 1. DPR RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009. Tentang Rumah Sakit. Jakarta: DPR RI; 2009. 2. Kementerian RI. Peraturan Menteri Kesehatan Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014.Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit. Jakarta: Kemenkes RI; 2014 3. Bowersox D J. Manajemen Logistik, Jakarta: Bumi Aksara; 2006. P. 3-12. 4. Aditama T Y. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Jakarta: Uneversitas Indonesisa; 2003. P. 109-120 5. RSUD Padang Pariaman. Profil RSUD Padang Pariaman Tahun 2017. Bidang Penunjang Medis. Parit Malintang; 2017. 6. Febriawati H. Manajemen Logistik Rumah Sakit.Yogyakarta: Gosyen Publishing; 2013. P. 5-46. LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP



KUISIONER



PEDOMAN WAWANCARA



PEDOMAN OBSERVASI



PEDOMAN TELAAH DOKUMEN