Theo Fidelis Tarigan TKA-C Kelompok 5 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Kelompok: 5



RTA 3322 – TEORI DAN KRITIK ARSITEKTUR



VARIETAS KRITIK



LIBERAL-CRITICSM, SPECULATIVE-CRITICISM, PROFESSIONALCRITICISM, DAN SELF-CRITICSM



OLEH: 1. Aurellia Khairunnisa



(17 0406 128)



2. ZAUZAN ARIEF



(17 0406 129)



3. JEFF EDWIN GULTOM



(17 0406 130)



4. SAMUEL TAMPUBOLON



(17 0406 132)



5. ADE LISMAN JAYA ZAI



(17 0406 133)



6. THEO FIDELIS



(17 0406 134)



DEPARTEMEN ARSITEKTUR FAKULTAS TENIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2020 1



KRITIK TERHADAP TULISAN “LETUSAN TOBA PENGARUHI ARSITEKTUR RUMAH ADAT BATAK” Saya ingin mengkritik korelasi antara judul tulisan dengan isi tulisannya. Judul tulisannya adalah “Letusan Toba Pengaruhi Arsitektur Rumah Adat Batak”. “Letusan Toba” merupakan variabel bebas dan “Arsitektur Rumah Adat Batak” merupakan variabel terikat. Dalam proses penulisan sebuah tulisan variabel bebas merupakan variabel yang memengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat. Sehingga dalam hal ini proses terjadinya “Letusan Toba” sebagai variabel bebas dan pengaruhnya terhadap “Arsitektur Rumah Adat Batak” sebagai variabel harus dijelaskan. Sedangkan pada tulisan “Letusan Toba Pengaruhi Arsitektur Rumah Adat Batak” tidak dijelaskan proses terjadinya letusan Gunung Toba pada puluhan ribu tahun lalu dan bagaimana letusan tersebut memengaruhi arsitektur rumah adat Batak secara langsung maupun tidak langsung Pada kalimat pertama paragraf pertama tulisan hanya dijelaskan bahwa pernah ada letusan Gunung Toba pada 74.000 tahun yang lalu. Selanjutnya tidak dijelakan bagaimana kronologisnya dengan jelas dan apa saja dampaknya terhadap arsitektur. Selanjutnya pada kalimat keempat paragraf pertama malah terdapat pernyataan bahwa jumlah rumah asli Batak berkurang karena dipengaruhi oleh dunia modern. Pernyataan ini sangat tidak relevan dengan judul tulisan apalagi untuk sebuah paragraf pertama. Penulis malah mengungkit permasalahan modernisme dengan arsitektur vernakular yang jelas sangat tidak relevan dengan judul tulisan. Seharusnya tulisan dimulai dengan pernyataan bahwa pernah terjadi letusan Gunung Toba pada puluhan ribu tahun lalu kemudian dilanjutkan dengan bagaimana letusan tersebut terjadi, apa penyebabnya, bagaimana kronologisnya, bagaimana keadaan manusia (penduduk Batak secara khusus ) dan lingkunganya sebelum dan sesudah letusan tersebut. Kemudian pada paragraf kedua dikutip sebuah pernyataan dari seseorang yang menyatakan bahwa “Rumah adat panggung batak sudah jarang didapati, padahal mempunyai keunikan dan fungsi serta makna bagi pemiliknya.” Pernyataan ini jelas tidak memiliki korelasi dengan judul tulisan dan tidak menjelaskan judul tulisan. Pernyataan ini adalah pernyataan berhubungan dengan permasalahan Arsitektur Vernakular pada zaman sekarang dan tidak menjelaskan arsitektur pasca letusan Gunung Toba. 2



(sumber:



http://mercubuana.ac.id/files/MetodeLogiPenelitian/Variabel%20Penelitian



%20UMB%205-ok.pdf, Harnovinsah. Metodologi Penelitian. Universitas Mercua Buana) Kemudian saya ingin mengkritik referensi foto yang digunakan di dalam tulisan. Fotofoto rumah adat Batak, foto detail arsitektur Batak, serta foto perkampungan Batak yang digunakan di dalam tulisan adalah foto-foto yang didokumentasikan pada beberapa tahun terakhir dengan menggunakan arsitektur Batak yang sudah dipengaruhi modernisme sebagai objek. Artinya, foto yang digunakan sebagai referensi dalam tulisan adalah bukan foto arsitektur Batak yang “asli”. Rumah adat Batak yang difoto tidak lagi asi dan tidak menggambarkan proses transformasi arsitektur rumah adat Batak dari zaman ke zaman setelah letusan Gunung Toba.



Gambar: Rumah Adat Batak Toba zaman dahulu Sumber: google



Padahal jika penulis mencoba mentelusuri banyak sekali foto-foto arsitektur rumah adat Batak zaman dahulu dapat ditemukan pada situs-situs online secara mudah. Dalam menulis tulisan ini penulis dipengaruhi oleh pemikiran modernisme. Selain itu, referensi yang digunakan oleh penulis bukan referensi yang masih asli. Sehingga tulisan tidak bisa menjelaskan bagaimana arsitektur rumah adat batak dipengaruhi oleh letusan Gunung Toba secara jelas dan tepat. Namun, posisi dan penempatan rumah sampai arsitektur rumah Batak ini tetap dapat dijelaskan secara ilmiah melalui beberapa penelitian. Bentuk atap pun memiliki kelebihan aerodinamika, artinya para leluhur benar-benar memahami topografi letusan di bukit-bukit kaldera Pada paragraf ke -2 terdapat kalimat “Prihatin. Sepanjang perjalanan berkeliling Toba, sudah jarang mendapati rumah adat panggung Batak. Padahal, rumah itu unik dan sarat fungsi 3



serta makna bagi pemiliknya,” jelas Sampe L Purba, budayawan Batak, saat bertemu tim peneliti Kaldera Nusantara Badan Geologi Kementerian ESDM bersama KOMPAS pada akhir tahun 2019 lalu, di kawasan Toba, Sumatera Utara. Menurut hasil analisa saya apakah Sampe L. Purba tersebut merupakan budayawan Batak yang mengetahui tentang rumah adat Batak? Menurut KBBI budayawan/bu·da·ya·wan/ n orang yang berkecimpung dalam kebudayaan; ahli kebudayaan: ia seorang -- yang senantiasa mengikuti perkembangan zaman Setelah ditelusuri Sampe L. Purba adalah staff Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam. Apakah penulis langsung menerka bahwa seseorang yang mengetahui adat Batak diasumsikan sebagai budayawan tanpa melihat latar belakang dan apa saja yang dia lakukan (narasumber). Hal ini tentunya dapat membuat orang bertanya apakah sumber ini kredibel? Karena dalam membuat suatu pernyataan atau mendapatkan informasi yang terpercaya maka perlu narasumber yang memang berkecimpung sesuai bidangnya dan mengerti akan hal tersebut walaupun mereka mempunyai pekerjaan lain. Sebaiknya penulis membuat sedikit ulasan seperti latar belakang bagaimana budayawan Sampe L. Purba ini, sehingga orang percaya bahwa sumber tersebut kredibel.



(Sumber: https://petrominer.com/sampe-l-purba-jadi-staf-ahli-menteri-esdm/ Diakses pada tanggal 12 September 2019)



Pada paragraph ke -3 terdapat kalimat Ya, rumah adat Batak itu diyakini tidak mudah diwariskan sekalipun kepada keturunannya langsung atau saudara semarga. Kenapa? Nah, perhatikan saja jika menemui beberapa rumah adatnya terutama dibagian ukiran-ukiran kayu yang menempel di dindingnya. Ukiran-ukiran ini disebut gorga. Gorga ini tidak sembarang



4



orang mengukirnya karena rumah adalah cerminan masa lalu hingga masa depan sang pemiliknya. Hal itu membuat rumah tidak mudah diwariskan. Tentunya pernyataan tersebut disampaikan oleh Sampe L. Purba (mengikuti bacaan dari paragraf per paragraf). Gorga merupakan salah satu corak khas Batak Toba. Tentunya corak atau ornamen ini mempunyai arti dan makna tersendiri. Kesimpulan ornament menurut Haryanto (2019) dalam penilitiannya “Makna Ornamen Dalam Arsitektur Studi Kasus Arsitektur Batak Toba” adalah setiap detail dari bentuk, tekstur dan warna yang sengaja dieksploitasi atau ditambahkan pada bangunan arsitektur yang tidak memiliki fungsi utilitas namun bisa membentuk karakter style, menarik perhatian/kenikmatan visual, bisa memberikan persepsi bagi pengamatnya dan sebagian dimaksudkan memenuhi tuntutan jiwani (simbol keyakinan). Nah dari ulasan Haryanto tersebut maka Gorga ini merupakan perwujudan symbol keyakinan dalam masayarakat Batak, tetapi apakah symbol perwujudan ini merupakan cerminan masa lalu hingga massa depan sang pemiliknya? Gorga pada ornament Batak dilihat dari ulasan Haryanto (2019) adalah bentuk perwujudan keyakinan orang Batak Toba. Ornamen Gorga pada Batak secara keseluruhan memiliki nilai kosmis atau pengetahuan tentang asal – usul manusia dan alam semester atau nilai religi tetapi jika kita melihat sisi prestige, estetika dan dan ekspresi kita bisa mendapat fungsi lain dari gorga tersebut tetapi tidak ada ditemukannya gorga adalah bentuk perjalanan hidup pemilik rumah atau tidak ada yang mewakili hal tersebut Menurut Haryanto (2019) ornament tersebut adalah mutlak bagi pemilik rumah adat tersebut dan masyarakat. Artinya premis yang menyatakan bahwa rumah adat tersebut tidak bisa diwariskan adalah tidak benar karena itu adalah mutlak bagi pemilik rumah karena gorga asli tersebut adalah sama bagi setiap rumah karena nilai kosmis tersebut. Nilai kosmis tersebut terdapat dirumah adat batak dan bukan bentuk gorga perjalanan hidup si pemilik rumah. (Sumber: Simanjuntak, Haryanto. 2019. Makna Ornamen Dalam Arsitektur Studi Kasus Arsitektur Batak Toba. Universitas Sumatera Utara)



Jadi premis yang menyatakan bahwa gorga tersebut adalah bentuk perjalanan hidup pemilik dan tidak sembarang diwarsikan terjadi sintesa. Sintesa berasal dari penggabungan dari Thesa dan anthithesa dimana tesa adalah budaya asli batak yaitu gorga asli mereka, karena dipengaruhi oleh perkembangan zaman atau hal lainnya dari luar maka muncul antithesa yang menyebabkan pernyataan narasumber menyatakan bahwa gorga adalah bentuk perjalanan hidup pemilik dan tidak mudah diwariskan padahal gorga asli mereka tidak ditemukannya nilai perjalanan hidup melainkan nilai kosmologis atau nilai religi mereka. 5



Pada paragraph ke-5 terdapat kalimat “Namun, posisi dan penempatan rumah sampai arsitektur rumah Batak ini tetap dapat dijelaskan secara ilmiah melalui beberapa penelitian. Bentuk atap pun memiliki kelebihan aerodinamika, artinya para leluhur benar-benar memahami topografi letusan di bukit-bukit kaldera” Apakah pada zaman dahulu masyarakat Batak Toba memiliki pengetahuan tentang aerodinamika dimana kata aerodinamika ini adalah kata modern yang dimulai pada tahun 1500-an dan apakah pada zaman tersebut juga masyarakat Batak Toba sudah ada. Menurut hasil kajian di yang didapatkan dari internet ataupun jurnal sangat sedikit ditemukannya asal usul Batak untuk tahun berapa mereka ditemukannya. Tetapi bentuk atap mereka jika dikaji dalam aspek kosmologi memiliki arti. Secara kosmologi, suku Batak Toba membagi dunia menjadi 3 layer: dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Dunia atas merupakan tempat bertahtanya Mulajadi Nabolon, dewa tertinggi Dunia tengah menjadi tempat hidup manusia sedangkan dunia bawah menjadi tempat hidup bagi orang yang sudah mati, hantu dan roh-roh jahat. (Sumber: Simanjuntak, Haryanto. 2019. Makna Ornamen Dalam Arsitektur Studi Kasus Arsitektur Batak Toba. Universitas Sumatera Utara)



Pada zaman tersebut belum masyarakat Batak Toba belum mengenal agama. Sehingga premis yang menyatakan bahwa leluhur benar – benar memahami topografi letusan di bukit – bukit kaldera mungkin menyatakan bahwa para leluhur memiliki nilai tertinggi sehingga ,ereka menyatakan bahwa kelebihan aerodinamika itu adalah pemahaman leluhur mereka terhadap topografi letusan tersebut. Jika diikuti dari paragraf 5 penulis menyatakan bahwa “Mitigasi bencana pun tercermin dari pasak serta sambungan-sambungan kontaruksi rumah. Karena Sumatera dilalui sesar aktif yang mampu menggerakkan tanah melalui sejumlah gempa-gempa. Leluhur rupanya memahami betul konsep mitigas gempa ini dengan membangun rumah aman gempa.” Diikuti paragraph 9 “Rumah panggung adat Batak menggunakan beberapa jenis kayu seperti jior, poki, ingul. Kayu-kayu berdiameter sekitar 20 sentimeter dipergunakan sebagai pasek (penyangga). Kayu penguat pasak memakai kayu kecil yang berfungsi seperti paku. Pada paragraph 5 kalimat tersebut juga terdapat kesalahan penulisan kata “kontaruksi” yang seharusnya “konstruksi” karena penulis menceritakan tentang pasak dan sambungan rumah adat tersebut yang lebih kepada “konstruksi” rumah adat mereka Jika dilihat dari segi garis waktu atau zaman mengapa mereka menggunakan pasak sebagai sambungan konstruksi rumah mereka hal tersebut mengacu pada lingkungans sekitar 6



mereka. Mereka memanfaatkan alam dalam material bangunan mereka pada saat itu. Apakah sudah ditemukannya besi? Besi merupakan salah satu produk revolusi industry yang dimulai pada tahun 1750-1850. Pasak yang digunakan merupakan paku kayu, dimana kayu sangat mudah ditemukan pada zaman tersebut sehingga mereka menggunakannya sebagai sambungan konstruksi rumah adat tersebut (Sumber: Balai Litbang Perumahan Wilayah I Medan, Tata Cara Dan Tata Bangunan Rumah Adat Batak) Pada paragara ke -7 terdapat kaliamat “Sinar matahari yang terbit dari timur leluasa menyinari seluruh huta tersebut dengan melintasi halaman. Bagian belakang, biasanya dimanfaatkan untuk berkebun. Mereka menggunakan pagar-pagar hidup dari pepohonan sebagai dinding pagar. Pintu gerbang sering disebut Bahal yang biasanya ditanam pohonpohon bertuah, seperti pohon hariara, mirip seperti beringin sebagai lambang kehidupan untuk penanda keberadaan suatu huta.” Terdapat kosa kata yang menyatakan bahwa kata “Bahal” (Kamus Bahasa Batak Toba oleh Op Faustin Panjaitan) yang memiliki arti lahan bagian depan perkampungan ditanami pepohonan. Penulis menyatakan bahwa bahal merupakan pintu gerbang. Penulis kurang akan penjabaran pintu gerbang yang ia sebut bahal itu seperti apa. Menurut hasil penelusuran “Bahal” tersebut berbentuk seperti gambar dibawah ini:



Dapat dilihat dari sketsa diatas “Bahal” tersebut tampak seperti lahan yang memiliki space atau ruang yang disediakans sebagai pintu masuk atau gerbang utama seperti “entrance” yang disekelilingi ditanam pepohonan. Penulis seharus mengkaji pintu gerbang tersebut 7



bagaimana bentuknya dan memiliki bukti berupa foto karena berdasarkan hasil penelusuran kamus Batak benar seperti lahan tetapi penulis sebaiknya memberi argument kuat pintu gerbang itu seperti apa. (Sumber: Napitupulu S.P, dkk. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Utara. Jakarta: Proyek lnventarisasi dan Ookumentasi Kebudayaan Daerah ) Pada paragraph ke -14 terdapat kalimat “Ragam bentuk, arsitektur serta keseluruhan kontruksinya turun temurun berdiri hingga mengalami transformasi modern sesuai perkembangan zaman serta kebutuhan. Jika dipetakan, rumah adat Batak beragam dan berwarna. Unik dan menarik, jika membahas proses sebelum, selama serta setelah terbangun rumah adat itu.” Menurut hasil penelusuran kata beragam menurut KBBI adalah beragam/be·ra·gam/ v banyak ragamnya; bermacam-macam; berwarna-warni;ramai ~ , rimbun menyelara, pb setiap orang mempunyai pendapat dan kegemaran masing-masing;beragam-ragam/be·ra·gamra·gam/ v berbagai ragam; bermacam-macam Jenis Rumah Adat Batak hanya memiliki 2 jenis yaitu rumah adatnya sebagai tempat tinggal dan soponya sebagai tempat menyimpan makanan atau lumbung. Beragam disini seperti apa? Karena rumah adat batak hanya 2 yaitu rumah adatnya sendiris sebagai tempat tinggal dan lumbung padi yaitu sopo, (Sumber: Napitupulu S.P, dkk. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Utara. Jakarta: Proyek lnventarisasi dan Ookumentasi Kebudayaan Daerah ) Pada paragraph 20 terdapat kalimat penulis menyatakan “Konsep tata letak, tata cara dan tata bangunan rumah adat Batak semacam ini mirip konsep asta kosala kosali bangunan rumah di Pulau Bali. Begitu pula ritual pemilihan hari untuk pohon-pohon yang dipakai kontruksinya mirip juga dengan pande di Bali.” Menurut kajian yang ditelusuri Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan filosofis, etis, dan ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya. Astakosala-kosali berisi pengetahuan tentang ajaran hakikat seorang arsitek (undagi), hal-hal yang harus diketahui dan dipatuhi oleh undagi, dewa pujaan seorang undagi (Bhatara Wiswakarma), ukuran-ukuran (sikut) yang digunakan dan dijadikan pedoman dalam melakukan kerja arsitektur, teknik pemasangan bahan bangunan, tata cara mengukur luas bangunan, jenis-jenis bangunan tradisional Bali, ajaran mengenai hubungan seorang undagi 8



dengan pekerjaan dan kewajibannya terhadap Tuhan, jenis-jenis kayu yang layak dijadikan bahan bangunan, sesajen yang digunakan dalam mengupacarai bangunan, serta mantra-mantra yang wajib digunakan seorang undagi (arsitek tradisional Bali). Astakosala-kosali memiliki tradisi sejarah yang panjang. Tampaknya, astakosalakosali sebagai pengetahuan arsitektur tradisional Bali telah dikenal pada abad ke-9. Hal ini dibuktikan berdasarkan data Prasasti Bebetin berangka tahun 818 Saka (896 M). Pada saat itu, di Bali telah dikenal ahli arsitektur tradisional Bali yang disebut Undagi. Asta Kosala Kosali, merupakan pengetahuan arsitektur tradisional Bali yang berisikan tentang cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. Penataan bangunan biasanya menggunakan anatomi tubuh manusia (dalam hal ini pemilik rumah atau pekarangan). Tata cara proses pendirian bangunan rumah Batak Toba sebelum bangunan didirikan, yaitu menyediakan pertapakan rumah yang akan dibangun. Dalam menyediakan pertapakan biasanya disampaikan persembahan kepada dewa penguasa tanah ‘Boras pati ni tano‘. Menurut keyakinan orang Batak Toba, Boras pati ni tano-lah yang memberikan berkat dari segala sesuatu yang berhubungan dengan tanah. Boras pati ni tano juga dihormati dengan pertanian. Dengan menghormati dan menyembah Boras pati ni tano, orang yakin bahwa sang dewa akan memberikan keberkahan kepada rumah yang akan dibangun dan penghuninya. Setelah upacara persembahan dan doa dilakukan, maka dilanjutkan dengan penanaman pohon beringin, hariara dan bintar yang menurut keyakinan orang Batak, bahwa jika pohon itu tumbuh, maka pembangunan ruma tersebut akan memperoleh keberkahan. Sebelumnya, penghuni rumah sudah harus menyediakan segala kayu untuk bahan bangunan ruma. Pada waktu pengambilan kayu di hutan, si pembangun rumah harus memerhatikan syarat-syarat pengambilan kayu yang akan digunakan. Konon, pada waktu mengambil kayu dari hutan, si pembangun rumah juga harus membawa persembahan ke hutan, tempat kayu hendak ditebang dan diambil. Ketika menemukan pohon atau kayu yang sesuai untuk digunakan sebagai bahan bangunan, penebang kayu terlebih dahulu akan membersihkan daerah di sekitar pohon yang akan ditebang, dan kemudian menyampaikan persembahan dan permohonan mulia, permintaan suci, permohonan keselamatan, (pangidoan sangap, pangidoan badia, pangidoan horas-horas, pangidoan dingin-dingin) kepada dewi penguasa hutan.



9



Ritual ini bersumber dari kepercayaan animistis yang mengakui bahwa segala sesuatu yang ada di bumi ini memiliki tondi. Hal ini dimaksudkan agar rumah yang akan dibangun nantinya membawa berkah dan kesejahteraan bagi penghuninya, sehingga beberapa persyaratan harus ditaati. Sebelum kayu ditebang, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan menjadi larangan oleh si penebang kayu di hutan, yaitu tidak boleh menebang pohon yang kulitnya terkelupas habis ketika ditebang, karena diyakini akan menghabiskan harta si pemilik rumah, pohon yang memiliki akar tunjang (akar gantung) yang menyentuh akar di tanah dan menjadi pohon baru yang lebih kuat sehingga batang utama (tua) akan mati, pohon tersebut tidak boleh digunakan karena akan membunuh si penghuni atau pemilik rumah nantinya. Kemudian pohon yang daun dan batangnya disambar petir, pohon yang dililiti tumbuhan merambat dan berserabut, pohon tempat tabuhan bersarang, dan pohon yang pucuknya mati, ke semua jenis pohon tersebut tidak



boleh



digunakan



karena akan



membahayakan si pemilik rumah nantinya. Setelah kayu untuk bahan bangunan tersedia menurut ketentuan di atas, maka pembangunan rumah sudah bisa dimulai dengan berdoa terlebih dahulu, agar para tukang yang akan memulai pekerjaan tidak terkena bala (tulah). Pekerjaan awal yang dimulai oleh para tukang adalah mempersiapkan tiang-tiang utama dari rumah dengan melakukan martiktik, yaitu menjajarkan semua kayu yang akan digunakan untuk tiang rumah dan kemudian memukul kayu tersebut untuk mendengarkan bunyi yang dikeluarkan oleh setiap kayu. Tiang dengan jenis kayu bona digunakan untuk bagian rumah yang menjadi tempat tuan rumah (suhut) tinggal. Kayu tersebut haruslah kayu khusus yang mengeluarkan bunyi yang nyaring dan jernih, karena dianggap memiliki tondi yang kaya dan kekuatan yang mempunyai pengaruh untuk menguatkan rumah dan penghuninya nanti. Sebaliknya, kayu yang tidak atau kurang nyaring berbunyi, diartikan bahwa penghuni yang akan tinggal di rumah tersebut kurang bernasib baik. Pendirian bangunan diawali dengan pendirian tiang-tiang yang didirikan secara tegak lurus atau vertikal dan sejajar dengan luas lahan yang ada. Dari keseluruhan pekerjaan pendirian bangunan ini, pemasangan atap atau lais serta konstruksi atap lainnya seperti teritis atap, bubungan yang ditumpu oleh balok atap (ninggor) merupakan pekerjaan yang cukup sulit. Pada waktu menyusun lapisan atap yang terbuat dari ijuk (serat dari batang enau) tali pengikat pada deretan pertama harus cukup panjang dan tidak boleh terlalu pendek. Alasannya bila tali itu cukup panjang, maka penghuni rumah itu akan selalu mewah di masa yang akan datang. 10



Tetapi bila sebaliknya, yaitu bila tali terlalu pendek kemewahan akan singkat. Karena itulah dalam pembangunan rumah Batak Toba yang asli tidak boleh dipakai paku atau alat dari sejenis besi. Setelah bangunan selesai didirikan dan berdiri tegak, maka dilakukan upacara memasuki rumah baru yang disebut ‘mangompoi jabu’. Pada saat ini juga di lakukan pembayaran utang piutang pemilik rumah kepada pihak dalihan natolu secara adat. Penulis disini tidak menjelaskan sedikit pemaparan konsep Astakosala-astakosali Bali. Dari hasil kajian diatas bahwa konsep Astakosala-astakosali Bali ini adalah bentuk pemahaman yang mereka dapat dari leluhur mereka yaitu Bhatara Wiswakarma dalam pekerjaan arsitekturnya ritual yang dilakukan mereka berupa upacara agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin. sedangkan bagi orang Batak sebelum membangun mereka mengadakan ritual yang akan memberikan keberkahan kepada rumah yang akan dibangun dan penghuninya. Tidak ada kaitannya ritual batak dengan Astakosala-astakosali dalam konsep tata letak, tata cara dan tata bangunan rumah adat Batak. Tetapi dalam hal pengukuran bangunan terdapat kesamaan yaitu menggunakan anatomi tubuh manusia. (Sumber: Hutabalian, Banri Sondarto (2014) Studi Struktur Rumah Adat Tradisional Batak Toba Terhadap Gaya Gempa, Balai Litbang Perumahan Wilayah I Medan, Tata Cara Dan Tata Bangunan Rumah Adat Batak https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/asta-kosala-kosali-pengetauhan-arsitektur-tradisional-bali/)



Pada paragraph 21 - 23 kalimat Bukkuklan atau Atap Rumah adat Batak itu berbedabeda bentuk dan bisa menunjukkan siapa pemilik rumah/perkampungan. Jenis atap melengkung ciri rumah adat Batak adalah bentuk Abalungan, Harbopaung, dan Hulambujati. Bentuk Abalangun itu puncak atap ujung depan dan belakang sejajar diartikan hewan bersayap yang sedang menjadi pelindung. Sejajar ini seperti hewan bersayap yang melindungi. Biasanya Abalungan ini ditinggali oleh pendeta, atau orang pengayom. Bentuk lainnya Harbopaung, atap depan lebih tinggi dan ada tanduk kerbau yang melambangkan keperkasaan adalah rumah tokoh yang berpengaruh. Lalu, Hulambujati ini atap belakang lebih tinggi seperti ayam jantan adalah rumah tokoh masyarakat.



11



Dari hasil penelusuran pembentukan atap pada rumah adat batak seperti bentuk atap Abalangun seperti hewan bersayap yang biasanya ditinggali oleh pendeta atau orang pengayom bukanlah suatu hal yang pasti. Bentukan atap sejajar seperti ini juga melambangkan Suku Pakpak yang akan terus berpegang teguh kepada adat istidat dengan sekuat tenaga. Pada atap Harbopaung atau Hulambujati bangunan atap depan yang lebih tinggi atau bagian atap belakang lebih tinggi bukan pula karena tokoh yang menempati rumah tersebut, tetapi ada keyakinan pada beberapa marga yang mana jika



ketinggian bukulan yang



menghadap langsung ke gunung dibuat lebih tinggi dari pada bukulan yang berorientasi ke danau, karena mereka memercayai gunung dapat memberi kekuatan positif dan danau dipercaya memiliki kekuatan negatif. Pada intinya, menurut Tarigan (2011)” Posisi atap rumah harus lebih tinggi rabung bagian depan daripada rabung bagian belakang. Filosofi orang Batak selalu mengedepankan anak daripada diri sendiri. Kedudukan anak harus lebih tinggi daripada kedudukan orangtua. Segala sesuatu upaya akan dilakukan orang tua demi anaknya. Filosofi orang Batak mengatakan :Anakhonkido hamoraon di ahu" (Anakkulah kekayaan bagiku).” (Sumber :Tarigan, Nelson (2011) Analisis Nilai-Nilai Kecakapan Hidup (Life Skill) Yanng Terkandung Dalam Makna Simbol Arsitektural Tradisional Rumah Adat Batak Toba Sebagai Kontribusi Pendidikan Karakter Bangsa)



12